Panji Sakti Bab 16 : Penyerbuan ke Siao-ngo-tay-san

16. Penyerbuan ke Siao-ngo-tay-san 

Memberi hormat kepada mereka, berkatalah ia: "Kalau lo- cianpwe berempat menghendaki Panji itu, Ceng Ih terpaksa menghaturkan maaf sebesar-besarnya. Tadi ketika berada dikota Hin-peng-koan telah didahului oleh ketujuh Chit-Cincu anak buahnya Bo-ang Sancu. Karena tak kuat bertanding, terpaksa Panji itu terampas dan wanpwe lolos kemari.”

Dengan mengaku sebagai Ceng Ih, ia hendak menyiasati keempat orang tua itu ke Hin-peng. Asal sudah tiba disana, tentu ia akan dapat menggabungkan diri dengan Ceng Ih dan si nona baju putih itu.

Si tua berwajah kuning, deliki mata dan tertawa seperti iblis. Serunya: "Apakah kau ini si Ceng Ih murid ahliwaris angkatan kelima dari Panji Sakti? Sejak di Jwan-se, kami selalu mengikutimu, mana bisa kau berada di Hin-peng. Jangan- jangan kau ini berbohong?!"

„Kuda wanpwe amat pesatnya, menjelang tengah malam tadi sudah tiba di Hin-peng. Kalau tak percaya, mari kita pergi kekota itu,” kata Tan He yang tak kurang akal. Pikirnya, asal sudah berada dikota itu, tentu ada dua kemungkinan, syukur bertemu dengan Ceng Ih, setidak-tidaknya biarlah berjumpa dengan Chit-Cincu. Dengan demikian dapatlah ia mengadu Chit-Cincu dengan keempat orang tua buas ini.

Empat orang tua dengan empat warna wajahnya itu, saling berpandangan. Akhirnya berkatalah si muka merah: „Mungkin buyung ini mengatur siasat, tapi tiada halangan kita menuju ke Hin-peng-koan sebentar, hanya dia ”

Yang dimaksudkan dengan "dia" ialah Tan He. Si muka hijau yang bertubuh kurus, rupanya adalah pemimpin rombongan mereka. „Biar kuberesi dahulu budak ini baru kita kesana. Kalau dia bohong, rasanya tak terlambat untuk menghajarnya!" serunya.

Mendengar dirinya akan diberesi, Tan He bersiap. Tapi baru si muka hijau itu berkata, entah dengan gunakan gerakan apa, cepat laksana kilat dia sudah berada didekatnya (Tan He).

Sepasang tangan bergerak, dan rubuhlah Tan He karena tertutup jalan darah pingsannya „Trang,” pedang nona itupun jatuh ke tanah.

Setelah dinaikkan keatas kuda, dalam keadaan tak berkutik, Tan He dibawa keempat orang tua asing itu menuju ke Hin- peng.

> ∞ <

Belum pukul sebelas malam, tibalah sudah say-cu-hoa beserta kedua penunggangnya dikota Hin-peng-koan. Pintu kota sudah setengah ditutup. Begitu masuk kedalam kota, ternyata jalan-jalan sudah sepi dengan orang. Sebaliknya di rumah-rumah makan masih ramai dengan tetamu-tetamu yang makan minum dan datang bermalam.

Pada sebuah hotel yang terletak disebelah timur, Ceng Ih hentikan kudanya. Tampak olehnya hotel itu menggunakan nama „Ing Jun" atau menyongsong musim semi.

Seorang jongos buru-buru menghampiri dan kepadanya Ceng Ih segera berkata: „Siao-ji-ko, cucilah kuda itu dan berilah makanan kacang direbus arak. Ongkosnya boleh tambahkan pada rekeningku. Sekarang harap ambilkan lampu.”

Tertawa-tawa jongos itu mengiakan. Setelah mengantarkan kedua tetamunya pada sebuah ruangan, lalu dia membawa hidangan. Peng-ji yang cerdik, segera merasakan sesuatu yang luar biasa. Tegurnya kepada si jongos: „Menilik kesibukanmu, rupanya hotel ini kedatangan banyak tetamu bukan?"

Si jongos mengikik tertawa, sahutnya: „Memang hari ini agak luar biasa. Ada rombongan paderi dan imam datang kemari, mabuk-mabukan dan ngoceh semau-maunya. Ai, repot melayaninya!"

„Siao-ji-ko, bukankah jumlah mereka itu ada sebelas orang, empat paderi berpakaian jubah merah dan tujuh iman dengan tujuh warna pakaiannya?" buru-buru Ceng Ih menegas.

Jongos itu terbeliak kaget. Menjempitkan sang mata, dia berkata: „Apakah mereka itu sobat tuan? Perlukah kupanggilkan mereka pada tuan disini? Mereka belum lama datang kemari!"

„Apakah mereka hanya ada sebelas orang saja?” tanya Peng-ji pula.

Karena belum mengetahui siapa adanya kedua tetamu muda itu, si jongos garuk-garuk kepala. Mengatakan salah, tidakpun salah. Tiba-tiba dari luar terdengar teriakan orang memanggilnya, maka buru-buru dia lari keluar dari ruangan situ.

„Ini yang dikatakan segala penasaran tentu ada balasnya. Aku yang menyerahkan Kongcu pada Chit-Cincu, kini akulah yang akan mengambilnya kembali. Ayuh, selekas selesai dahar, kita segera melihat ramai-ramai," kata Peng-ji.

Wajah Ceng Ih pun mengerut ketegangan, ujarnya:

„Mudah saja adik Peng ini berbicara. Tapi menurut pikiranku, lebih baik begini. Selagi kawanan Cuncia dan Cincu itu berada disini, kita lekas-lekas menyerbu ke Siao-ngo-tay-san untuk membebaskan Tan He Kongcu!"

„Engkoh Ih mengapa begitu jeri terhadap Chit-Cincu dan Su Cuncia itu. Bukan aku bermulut besar, tapi benar-benar aku tak memandang mata kepada mereka itu!" Peng-ji menyanggah dengan genitnya.

Baru Ceng Ih hendak membantah, dari arah ruangan belakang sana terdengar seseorang berseru: „Hai, kawanan paderi hidung kerbau, apa kalian masih membandel tak mau lekas-lekas menyerahkan Panji Sakti? Ceng Ih sudah kutawan, kalian mau apa lagi?"

Mendengar nama Ceng Ih disebut-sebut, Peng-ji dengan sebatnya sudah lantas menarik tangan anak muda itu dan sekali kebut ia padamkan lampu. Dari sela pintu, mereka mengintai keluar.

Pada tembok yang tak seberapa tinggi di sebelah luar, berdirilah empat orang tua yang potongan tubuhnya berlainan satu sama lain. Walaupun rembulan remang, namun jelas kelihatan bagaimana sombongnya wajah mereka itu. Dan yang luar biasa ialah biji mata mereka itu, berkilat-kilat memancarkan cahaja seram.

„Wut, wut,” dari kamar sebelah selatan melesat keluar sebelas sosok bayangan. Mereka yang bukan lain ialah Chit- Cincu dan Su Cuncia dari Siao-ngo-tay-san segera sama berbaris berjajar-jajar.

Ang-i tojin yang menjadi pemimpin Chit-Cincu, kedengaran tertawa panjang, serunya: „Kukira siapa yang berani menantang kami bertujuh, kiranya keempat Tay-thian-ong.

Tay-thian-ong berempat adalah tiang-cia (angkatan tua) dari dunia persilatan, dari gunung Ngo-ci-san di pulau Lamhay yang sejauh itu datang kemari, entah ada keperluan apa?"

Si muka hijau tertawa iblis, sahutnya: „Kami orang tua tak mau adu tajamnya lidah dengan kamu. Lekas serahkan Panji Sakti, berani berayal sedikit, tentu akan kukirim jiwamu ke akhirat!"

„Panji Sakti?" gerutu Cincu baju merah. „Bukankah Panji Sakti milik pusaka sucou kita itu?"

Si muka hijau yang berewok, cepat mendesak lagi dengan congkaknya: „Bagimana? Menyerahkan Panji itu berarti lepas dari bahaya maut!"

Cincu baju merah tertawa panjang, serunya: „Justeru pemimpin kami pun menghendaki Panji itu kembali! Bukankah kalian sudah dapat menawan Ceng Ih? Nah, dialah ahliwaris kelima dari Panji Sakti itu. Langsung minta saja padanya kan lebih praktis bukan? Mengapa menggerecoki kami?"

Belum si orang tua muka hijau menyahut, kawannya yang beralis gompjok dan berada dibelakangnya sudah lantas berjingkrak-jingkrak seperti orang kebakaran jenggot. Saking kerasnya, lantai dan atap rumah pada berderak-derak.

„Toako, terang dia tak mau minum arak kesenangan, karena mengandalkan jumlah banyak. Usah sungkan- sungkanan, lekas tandangi sajalah!" serunya. Kemudian menatap ke arah kawanan Chit-Cincu dan Su Cuncia, dia menantang: „Orang yang banyak mulut, bukan orang gagah. Kiranya tak perlu kita ramai-ramai, ayuh kita bertemu diluar pintu sebelah selatan sana!"

Bagai burung rajawali, keempat orang tua itu melesat pergi dan menghilang dalam kegelapan. Gerakan mereka luar biasa cepatnya. Ditilik dari kepandaiannya gin-kang itu saja, terang mereka itu bukan jago sembarangan.

Ketujuh Cincu dan keempat Cuncia itu berunding beberapa saat, lalu enjot tubuhnya sama melayang keluar. Ruangan disitu menjadi hening sunyi.

Ceng Ih merabah kebajunya dan dapatkan Panji keramat itu masih ada. Sekilas merenung, dia cepat menarik tangan Peng-ji untuk diajak lari keistal dibelakang. Say-cu-hoa dituntun keluar, melemparkan sekeping perak kepada pengurus hotel, lalu menceplak kuda dilarikan ke arah pintu timur. Sekejap saja say-cu-hoa sudah lari sejauh empat puluhan li.

„Ceng Ih enak-enak naik kuda, mereka saling gasak sendiri di pintu selatan. Untuk merebut Panji keramat itu, biarlah mereka saling gigit-gigitan sendiri. Kini mumpung (selagi) Siao-ngo-tay-san kosong, kita serbu dan bebaskan Tan He Kongcu," kata Ceng Ih dengan tertawa riang.

Kini barulah Peng-ji mengetahui rencana anak muda itu. Ia balas menertawakan: „Jadi kau takut ilmu persatuan pedang dari Chit-Cincu itu. Aku sih tetap tak memandangnya berat.

Malah dengan munculnya empat serangkai Thian-ong itu, jangan-jangan kesebelas orang Siao-ngo-tay-san itu akan tumpah darah!"

„Empat serangkai Thian-ong tadi mengempit sesosok tubuh yang lemas tak berdaya. Terang dia bukan aku si Ceng Ih ini, habis siapa, ya?” tanya Ceng Ih.

Setelah beberapa jam mengasoh, say-cu-hoa pulih kembali kesegarannya. Larinya amat pesat dan saat itu sedang menyusur sepanjang jalan besar Tong-kwan yang sudah sepi orang. Seperti tadi pun Peng-ji masih membonceng dibelakang dan memegang erat-erat pinggang si anak muda. Masih ia tak puas akan rencana Ceng Ih itu.

„Engkoh Ih, empat serangkai Thian-ong itu tentu sengaja membawa seorang Ceng Ih palsu untuk mencari perkara.

Ingin benar aku menyaksikan pertempuran kawanan anjing cakar-akaran itu. Juga hendak kulihat betapa kemajuan ilmu empat serangkai Thian-ong itu setelah turun gunung kali ini. Dengan modal apa mereka begitu bernafsu hendak mengangkangi Panji keramat itu?”

„Siapa dan bagaimana kehebatan empat serangkai Thian- ong itu, aku belum pernah mendengarnya," sahut Ceng Ih.

Peng-ji menyahut dengan nada dingin: „Apanya yang dibuat bangga. Keempat orang itu adalah bekas pencundang dari ayahku. Demi kepentingan ibuku, ayah sudah memberi pengampunan sehingga sampai sekarang mereka masih bernyawa. Setelah sepuluh tahun menyembunyikan diri, tentu mereka mempunyai modal kepandaian yang dibuat andalan lagi, tapi kalau ingin coba-coba mencari perkara pada ayah, hem, jangan mereka mengimpi!”

Waktu membanggakan kesaktian ayahnya itu, dara dari gunung salju itu teramat jumawa sikapnya.

Mendengar keterangan dara itu, buru-buru Ceng Ih bertanya dengan heran: „Mengapa sewaktu datang ke Swat- san aku tak menjumpahi ibumu?"

Bibir Peng-ji menyeringai rawan: „Sudah pergi. Sejak aku berusia lima tahun, ibu sudah pergi dan sampai sekarang tetap tiada beritanya. Ceritanya amat panjang sekali, kelak kau tentu mengetahui juga. Yang nyata, kalau mendengar empat serangkai Thian-ong itu muncul lagi, ayah tentu akan kegirangan sekali!" 

Teringat Ceng Ih, sewaktu digoa gunung Leng-san tempo hari, supehnya pernah menceritakan juga tentang ibu dari Peng-ji itu. Supehnya mengatakan bahwa dalam dunia persilatan bakal terjadi peristiwa besar lagi. Walaupun belum jelas persoalannya, tapi rasanya keterangan supehnya itu ada hubungannya dengan keterangan Peng-ji sekarang.

Ceng Ih menghela napas panjang, ujarnya: „Tak kusangka bahwa selembar Panji Sakti dari mendiang Hoa-hi Hi-hu itu, sangat dimaui sekali oleh sekalian orang persilatan. Aku harus menjaganya betul-betul, jangan sampai hilang."

Peng-ji cepat memberi komentar dengan sinis: „Ya, siapa bilang tidak. Memang kedatangan ayah bersama aku ke Siao- ngo-tay-san itu apalagi kalau bukan karena ingin memiliki Panji itu. Tapi tiada kusangka sama sekali begitu berjumpa padamu ”

Ceng Ih julangkan punggungnya kebelakang, sehingga menempel rapat-rapat ketubuh si dara, desaknya: „Mengapa tak mengatakan terus? Mata hatiku sudah terang, mengapa masih malu-malu?"

Peng-ji mencubit lengan pemuda itu, katanya dengan riang:

„Kalau seandai kau tak menyukai aku juga, biarpun ada tiga orang Ceng Ih, tak nanti dapat turun dari Swat-san. Benar setelah makan ulat mustika itu tenagamu setingkat lebih atas dari su¬pehmu, tapi kalau dibandingkan dengan aku, tetap masih jauh terpautnya!"

Alis Ceng Ih mengerut tak puas. Dengan hati tinggi, dia membalas: „Ah, rasanya belum tentu begitu. Ketika digunung Swat-san, kalau tak mengingat budi, ayahmu tentu akan sudah menjadi badan halus, masakan masih ” Cepat Peng-ji menggablok punggung pemuda itu, kemudian menertawakannya: „Jadi kau tak percaya toh? Lupakah kau bahwa akulah yang melarang ayah memukulmu. Masakan orang sebodoh itu, tahu kalau ketiga ilmu sam-coat- ciau itu teramat saktinya, mengapa hanya mempermainkanmu saja dan mau adu kekerasan? Hem, tolol benar kau ini!”

Ceng Ih seperti dibangun dari tidurnya. Kini dia jelas duduk perkaranya dan dengan terbata-bata: „Ah .... oh ..... oh ”

Dengan kemalu-maluan, Peng-ji susupkan kepalanya pada bahu si anak muda, bisiknya: „Bukankah aku rela membagi kebahagiaan dengan Tan He Kongcu? Masakan hatimu masih bingung tak keruan?"

Makin merangkul erat-erat pinggang si anak muda, gadis itu menumpahkan perasaannya lebih lanjut: „Ayah hanya keras dimulut, tapi baik hatinya. Ah, seorang tua yang kasihan nasibnya. Selanjutnya kuharap kau berlaku baik kepada kami, jangan sampai ayah mengatakan aku seorang buta ”

Say-cu-hoa bagaikan terbang larinya menuju ke arah timur.

Cuaca makin terang dan terdengar ayam berkokok, unggas ber¬bunyi. Ceng Ih hentikan kuda, lalu memberi kepastian kepada sang dara.

„Masakan adik Peng tak percaya padaku? Aku selamanya menjunjung tinggi budi orang. Budi kalian ayah dan puteri terhadap diriku, seumpama langit tingginya. Sekalipun hancur lebur tubuhku, tetap budi itu belum terhimpas!"

Kemudian menghela napas panjang, dia melanjutkan kata- katanya: „Aku adalah pewaris kelima dari Panji Sakti. Beban yang terpikul dibahuku amat beratnya. Setelah dapat membebaskan Tan He Kongcu, kita berdua akan berkelana di dunia persilatan untuk menyemarakkan keagungan Panji Sakti itu, menjalankan amal dharmanya. Dengan begitu dapatlah aku membalas budi supeh. Tapi yang menginginkan Panji Keramat itu bukan melainkan Bo-ang Sancu dan empat serangkai Thian-ong itu saja, boleh dikata seluruh kaum persilatan. Sebenarnya nyaris hatiku bila menampar rintangan- rintangan setinggi gunung yang terbentang dihadapanku itu, namun kalau adik Peng sudi membantu, kiranya tugas itu pasti dapat kuselesaikan!"

„Ai, kita kan sudah menjadi orang sendiri, mengapa masih sungkan-sungkanan. Kini aku menyesal sekali, kalau Tan He Kongcu sampai kena apa-apa, rela aku menebus dosa dengan tubuh hancur lebur!" tukas Peng-ji.

Kedua anak muda itu ingin lekas mencapai Siao-ngo-tay- san, maksudnya sih baik karena hendak cepat-cepat menolong Tan He kongcu. Tapi sebagaimana diketahui, sebaliknya dengan makin terpisah jauh, kesempatan untuk menolong Kongcu itu makin tipis. Dan karena ketidak-tahuan mereka itu, hampir-hampir saja nanti puteri tunggal dari Swat-san Lojin itu terancam jiwanya di gunung Siao-ngo-tay-san.

Melewati kota Thay-goan, setelah berhenti sebentar, Ceng Ih larikan kudanya mulai mendaki Siao-ngo-tay-san. Bayang- bayang puncak gunung Siao-ngo-tay-san yang sudah kelihatan dari jauh itu, membuat hati Ceng Ih menjadi riang longgar.

Melintasi jalanan yang kedua tepiannya ditumbuhi pohon, lalu menikung ke sebuah jalan dilamping gunung, tampaklah sudah rumah kediaman Bo-ang Sancu.

Melihat kekokohan penjagaan markas pemimpin gunung Siao-ngo-tay-san itu, mau tak mau bercekat juga hati Ceng Ih. Rupanya hal itu diketahui juga oleh Peng-ji. Segera dara itu menyatakan bersedia menempur Bo-ang Sancu. Penjaga pintu kedua Sian-ong dan keempat selir itu, boleh diurus Ceng Ih sendiri. 

Tiba dimuka pintu markas, kedua Sian-ong segera menghadangnya. Sampai pada usia lima puluhan tahun itu, kedua Sian-ong itu dapat menikmati kemasyhuran namanya sebagai tokoh kelas satu dalam dunia persilatan. Tapi tak disangkanya, pada perjumpaan pertama kali dengan Ceng Ih, ternyata mereka berdua dapat dijatuhkan oleh anak muda tak terkenal itu.

Demi mengetahui siapakah yang berada diatas kuda itu, semangat kedua Sian-ong itu serasa terbang. Selain pemuda yang pernah merobohkannya itu, kini malah gadis baju putih yang pernah bertempur dengan Bo-ang Sancu digunung Leng- san tempo hari itu, juga turut datang. Ai, celaka ini!

Namun walaupun hati keder, wajahnya diusahakan supaya tetap tenang. Tegurnya dengan tertawa ramah: „Tolong tanya ada keperluan apakah kalian berdua berkunjung ke Siao-ngo- tay-san ini?”

Belum lagi Ceng Ih menyahut, Peng-ji sudah apungkan tubuhnya loncat turun dimuka kudanya. Dengan menudingkan tangan, ia berkata: „Jangan membanggakan diri sebagai ahli lwekang jempolan, karena nonamu ini tetap tak memandang mata. Lekas suruh Tan He Kongcu keluar, dan urusan akan tak kutarik panjang!”

Melihat betapa garangnya dara itu, kedua Sian-ong itu tak berani bermain api. Setelah saling berpandangan, mereka menerangkan: „Nona mungkin tak mengetahui bahwa Kongcu kami siang-siang sudah tak berada digunung Siao-ngo-tay-san sini!"

„Tidak ada? Bohong kamu! Jadi masih mau coba-coba bertempur lagi bukan?" bentak Peng-ji seraya mengambil sikap. Pun Ceng Ih yang masih bercokol diatas kuda, tak mau percaya akan keterangan kedua Sian-ong itu.

Melihat sang dara naik pitam, kedua Sian-ong itu menyisih kepinggir lalu berkata dengan tertawa: „Kalau nona tak percaya, biar kuundang Sancu kemari!"

Bahwa kedua Sian-ong itu tetap bersikap merendah, Peng- ji tak mau memberi hati, lengkingnya: „Terhadap Sancu-mu, mungkin lain orang takut, tapi aku tidak. Mau mengundangnya atau tidak, itu urusanmu sendiri, siapa sudi turut campur!”

Kedua siang-ong itu tak mau adu lidah lagi. Secepat mengeluarkan tiga buah peluru, terus dilontarkan keatas udara. Begitu saling berhantaman, ketiga peluru itu sama meledak, memancarkan cahaja api kehijau-hijauan warnanya.

Ceng Ihpun turun dari kudanya dan tegak berjajar disamping Peng-ji. Berhadapan dengan sejoli muda mudi yang sama cantik, cakap dan gagah tegar itu, kedua Sian-ong menjadi mati kutunya.

Tak berapa lama kemudian, pintu markas tampak terbuka perlahan-lahan. Suara musik terdengar dan muncullah delapan gadis dengan membawa delapan macam alat tetabuhan.

Musik bernada rawan, membuat hati sayu. Dibelakang kedelapan gadis pemain musik itu, terdapat empat orang wanita muda berpakaian merah dan menjinjing pedang. Keempat wanita muda itu cantik-cantik semua.

Kalau Peng-ji baru pertama kali melihat pameran kebesaran Bo-ang Sancu, adalah Ceng Ih sudah tak asing lagi. Dengan berbisik-bisik, dia menerangkan kesemuanya itu kepada Peng- ji. „Huh, pemimpin yang berderajat kecil saja, masih mau unjuk lagak tak keruan. Swat-san lebih luas dari Siao-ngo-tay- san, kepandaian ayahpun jauh lebih tinggi dari Bo-ang, tetapi toh tak mau banyak bertingkah model begini-beginian.

Sungguh tak malu!" Peng-ji melengking jemu.

Sejenak kemudian, muncullah pemimpin dari gunung Siao- ngo-tay-san kepintu markas. Matanya menatap tajam-tajam ke arah kedua pemuda itu. Ceng Ih melihat sikap Bo-ang Sancu itu masih tetap garang seperti dulu. Terutama sepasang matanya yang berapi-api itu dapat meruntuhkan nyali orang.

Peng-ji acuh tak acuh, mengingau seorang diri: „Hem, kawanan anjing yang galak karena berjumlah banyak.

Membanggakan diri sebagai keturunan Hoa-he Hi-hu, lantas menganggap sebagai superman (manusia tertinggi). Kalau tak diberi sedikit ajaran, tentu tak insjaf!”

Bahwa yang datang itu ternyata sepasang pemuda lihay, membuat Bo-ang Sancu kebat kebit hatinya. Si pemuda mewarisi Panji Sakti pusaka kakek moyangnya (Bo-ang Sancu) beserta ketiga ilmu pelindungnya yang teramat Sakti.

Si pemudi, adalah puteri kesayangan dari tokoh nomor satu dunia persilatan. Apalagi pemimpin Siao-ngo-tay-san itu belum mengetahui bahwa kini setelah makan ulat salju, Ceng Ih sudah jauh bedanya denpan Ceng Ih yang bertemu padanya sebulan yang lalu itu.

Namun karena sudah saling berhadapan, dia tak mau bersikap lemah yang dapat menurunkan martabatnya sebagai pemimpin Siao-ngo-tay-san. Tertawalah ia dengan jumawanya: „Bermaksud apa kalian datang kemari ini lagi?"

Ceng Ih busungkan dada, dongakkan kepala, sahutnya:

„Bo-ang Sancu, kalau kau tahu diri, harap lekas serahkan Tan He Kongcu dan segala urusan takkan ditarik panjang. Tapi kalau bersitegang leher, Siao-ngo-tay-san akan kujadikan karang abang (umpan api)!”

Kedatangan anak muda itu ternyata tepat apa yang telah diduganya. Kembali pemimpin gunung itu tertawa memanjang, serunya: „Kejumawaanmu itu, anak muda, mirip dengan perbawaku. Tanpa tedeng aling-aling lagi, kuberitahukan padamu, bahwa anakku yang sudah tersesat pikirannya itu, kini diam-diam sudah melarikan diri lagi. Bahwa kau sudah berani datang kemari dan sesumbar itu, akupun takkan membiarkan kau pulang dengan kecewa!"

Alis Ceng Ih berjungkat, sementara Peng-ji sudah lantas berseru: „Aku tak percaya!"

Siang Hui yang paling mendapat hati dari Bo-ang, sudah lantas membuka mulut: „Karena Kongcu dilarikan oleh mereka berdua, rasanya kuda say-cu-hoa itupun tentu turut dibawanya kemari!"

Bo-ang Sancu berpaling ke arah kedua selirnya yang lain yakni Ceng-hui dan Ciang-hui dan memberi isyarat tangan:

„Lekas ambil kembali kuda say-cu-hoa!"

Mulut mengiakan, tubuh kedua wanita itupun sudah lantas bergerak hendak menuju ketempat kuda say-cu-hoa, tapi secepat Ceng Ih gerakkan pukulan kay-cu-na-si-mi, kedua wanita itu sudah lantas menjadi runyam. Mereka tak menyangka sama sekali, maka bukan saja langkahnya itu tertahan, pun tubuh mereka seperti didorong oleh suatu tenaga kuat. Tergeleparlah kedua wanita mencelat jatuh dihadapan Bo-ang.

Amarah Bo-ang meluap-luap. Dengan sebuah tangan menggurat keudara, dia menggerung keras: „Anjing kecil, jalan kesorga kau tak mau menuju, sebaliknya hendak cari penyakit. Bo-ang Sancu tiada tandingannya dikolong jagad, lihat saja apakah nanti bangkaimu mempunyai liang untuk berkubur?"

Habis itu dia memberi perintah kepada anak buahnya:

„Ayuh, kalian semua harus mengambil posisi masing-masing. Kalau anjing kecil itu mau menyerahkan Panji Keramat, nah ya sudah. Tapi kalau berani membangkang, tentu akan kubuat mulut mereka muntah darah!"

Anak buah Bo-ang cepat melakukan perintah pemimpinnya.

Mereka sama mengepung Ceng Ih dan Peng-ji. Disebelah belakang, ada kedua Sian-ong dengan kebut hud-tim, disebelah kiri kedua Ceng-hui dan Ciang-hui dengan mencekal pedang, di sebelah kiri dijaga oleh Siang-hui dan Kui-hui.

Sedang Bo-ang sendiri tegak berhadap-hadapan di sebelah muka.

Dikepung sedemikian rapat, tetap Peng-ji mengicupkan kelopak mata ke arah Bo-ang, serunya dengan menghina:

„Lain orang mungkin takut kepada Bo-ang Sancu yang membanggakan dirinya paling jempol itu, namun nonamu ini tetap tak memasukkannya dalam hitungan. Tadi kalian mengatakan kalau Tan He Kongcu tak berada digunung sini, benarkah itu ataukah hanya berbohong saja?"

Bo-ang Sancu berkaok-kaok: „Kalau ada disini, mengapa takut mengatakan, apakah kaukira mudah merampasnya pergi? Sudah jangan banyak omong, serahkan Panji Sakti dan kau boleh berlalu dengan bebas!"

Kata-kata itu ditutup dengan sebuah gerakan tangan dan dari tiga jurusan menyerbulah para anak buah Siao-ngo-tay- san itu ke arah kedua pemuda itu. Ceng Ih cepat menyambutnya dengan tinju Sakti dan pukulan dahsyat. Yang pertama-tama menderita adalah keempat wanita itu. „Bum, bum,” tubuh mereka berempat seperti dilontarkan keatas, dan jatuhlah mereka ditanah dengan terlentang ........

„Dia keluarkan sin-kun (tinju Sakti), jangan sembarangan merangsang, biarkan aku sendiri yang maju!" seru Bo-ang mencegah keempat selirnya itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar