Panji Sakti Bab 15 : Pelarian Kedua

15. Pelarian Kedua

„Tidak kira buyung, kau masih punya modal ilmu yang aneh-aneh, ya? Mari, mari, kau sambuti lagi pukulanku ini!" seru Swat-san Lojin sambil tertawa.

Dengan masih bergaya seperti dalam gerak tong-cu-pay- koan-im, begitu sepasang tangan dirangkap, kembali Lojin itu melancarkan lwekang dingin menyerang Ceng Ih.

Bahwa adanya Ceng Ih sampai gunakan dua buah tangan mendorong kemuka tadi, adalah karena dia merasa tenaganya masih belum sempurna. Jadi maksudnya dia ingin menambah kekuatan pukulan kay-cu-na-si-mi itu.

Sedikit pun dia tak mengira, bahwa ulat salju yang dimakannya itu mempunyai khasiat sedemikian besarnya. Kekurangan tenaganya itu telah dipenuhkan dengan khasiat ulat mujijat itu.

Betapapun Saktinya Swat-san Lojin, namun dia tetap tak kuat menahan kedahsyatan ketiga hu-ki-sam-coat-ciau yang diciptakan dalam waktu berpuluh tahun oleh mendiang Hoa-he Hi-hu itu. Buktinya, Swat-san Lojin menjadi terhuyung mundur sampai tujuh tindak baru dapat berdiri jejak.

Bahwa orang tua dari gunung salju itu masih ingin mencobanya lagi dan menyerangnya dengan gaya serupa tadi, Ceng Ih sudah bersiap. Sekonyong-konyong lengan diputar balik dalam setengah lingkaran. It-ci-ting-kian-gun, dilancarkan dengan sepenuh tenaga.

It-ci-ting-kian-gun atau sebuah jari menyusun dunia, adalah jurus yang terlihay dalam ketiga hu-ki-sam-coat-ciau itu. Bahwa dalam keadaan sekarang (sesudah makan ulat salju), Ceng Ih gunakan seluruh tenaganya untuk melancarkan it-ci-ting-kian-gun itu, dapatlah diperkirakan betapa kedahsyatannya.

Oleh karena bertahun-tahun galang gulung dengan Hoa-he Hi-hu, jadi Swat-san Lojinpun cukup mengetahui betapa Saktinya ketiga sam-coat-ciau ciptaan sang sahabat karib itu. Tapi oleh karena belum pernah bertanding, dia tak mengetahui bahwa it-ci-ting-kian-gun itu mempunyai daya guna yang luar biasa yakni dapat memunahkan tenaga pukulan serta menobros angin pukulan lawan. It-ci-ting-kian-gun yang dilepas Ceng Ih itu, masuk menyelundup kedalam samberan thian-hud-ciang, terus menghantam kemuka Swat-san Lojin. Suatu hal yang tak disangkanya sama sekali.

Thian-hu-ciang sudah terlanjur dilontarkan, untuk menariknya kembali terang tiada keburu lagi. „Peletak- peletek,” demikian kedengaran suara pecah dan terkejutlah ketiga orang (Thian-lam-ping-siu, Wan-ji dan Peng-ji) yang berdiri dipinggir gelanggang itu. 

Dua sosok bayangan segera melesat dengan pesatnya kedalam gelanggang.

„Ih-ji, jangan kurang ajar, lekas haturkan maaf. Kalau sampai terlanjur, masakan kau dapat bernyawa?" bentak Thian-lam-ping-siu dengan bengis.

Bayangan satunya yang bukan lain ialah Wan-ji, sebaliknya segera unjukkan jempolnya memuji: „Engkoh Ih. hebat benar kau. Ayah sendiri belum mampu menjatuhkan Swat-san Lojin, Panji Sakti akan bertakhta dalam keagungannya lagi!"

„Wan-ji, jangan lancang mulut! Kalian lekas ikut aku kemari!" Thian-lam-ping-siu membentak puterinya.

Kalau Ceng Ih seperti anak kambing segera mengikuti sang supeh, adalah Wan-ji masih penasaran, serunya: „Yah, kau ini bagaimana?"

Wajah Swat-san Lojin yang pucat, memancar warna merah, serunya dengan lapang hati: „Bagus, pandanganmu ternyata tepat. Buyung itu ternyata masih mendengar kata, kalau dia tak buru-buru menarik pukulannya, masakan jiwaku ini masih ada?" Habis itu dia kebutkan jubah bagian bawah, ternyata ujung kiri dari jubah bawah itu telah rompal sepanjang dua puluhan centi. Kalau robekan itu terjadi diatas tubuh, tak ampun lagi Swat-san Lojin tentu sudah bakal menjadi almarhum.

Wajah Peng-ji berobah-robah, sebentar merah sebentar pucat. Setelah menghela napas panjang, sikapnya menjadi tenang kembali.

Mengikuti sang supeh kehadapan Swat-san Lojin. Ceng Ih segerai menjura memberi hormat: „Lo-cianpwe telah berlaku murah. Wan-pwe berlaku kurang adat hingga membikin lo- cianpwe terkejut!"

Tak kecewa Swat-san Lojin diagungkan sebagai tokoh nomor satu. Dengan lapang dada, dia mendongak tertawa keras.

Kemudian berserulah dia kepada Thian-lam-ping-siu:

„Hebat, hebat! Dahulu aku pernah menerima pukulan sam- ciau-sin-kang, tapi tak kukira kalau dia sedemikian hebatnya. Tenaga buyung itu memang dahsyat!"

Thian-lam-ping-siu ganda tertawa, kemudian berkata kepada Ceng Ih: „Ilmu sam-coat-ciau pelindung Panji Sakti, memang hebat tiada taranya. Tetapi ilmu gin-kang dan ilmu pelindung diri dari Swat-san Lojin, juga tiada bandingannya di dunia. Tadi Lojin memang tak mau melukaimu sungguh- sungguh, kalau beliau mau, tentu semudah orang membalikkan telapak tangan!"

Ceng Ih membungkukkan badan selaku menerima nasehat itu. Kembali dia menghaturkan maaf kepada Swat-san Lojin:

„Ceng Ih menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan lo- cianpwe!" Swat-san Lojin ulurkan tangan kanan untuk mengangkat bangun Ceng Ih, sedang tangan kiri menarik puterinya.

Sebentar memandang kesebelah kanan, sebentar menatap kesebelah kiri.

Janggutnya bergerak-gerak mengiring gelak tertawa: „Ceng Ih, aku si orang tua hendak bertanya padamu. Bagaimana pandanganmu terhadap dara ini?"

Selebar wajah Peng-ji memerah jambu. Tahu ia kemana jatuhnya pertanyaan sang ayah itu. Tapi karena tangannya dicekal sang ayah, ia tak kuasa meronta lepas. Dia hanya menundukkan kepala kemalu-maluan.

Sebaliknya Ceng Ih sendiripun terlongong-longong mendengar ucapan orang tua itu. Tapi pada lain kilas, segera dia mengerti juga. Wajahnya merah seperti kepiting direbus. Setelah diam menjublek sampai sekian saat, barulah dia dapat membuka mulut dan berkata dengan terputus-putus: „Ia ... ia

... ia amat ... baik!"

Swat-san Lojin memandang kepada Thian-lam-ping-siu. Dia menghela napas, ujarnya: „Peng-ji kumanjakan sampai rusak, maka perangainya aleman dan angkuh. Bertahun-tahun ini ia selalu kesepian tak gembira. Tapi anehnya, begitu melihat Ceng Ih, ia tampak bersemangat. Mengusir Bo-ang Sancu, menolong supehnya dibawa ke Swat-san, dan mendesak lohu supaya memberi kedua ulat mustika padanya. Kesemuanya ini adalah kemauannya, sama sekali tiada hubungannya dengan lohu!"

Berhenti sejenak, dia sapukan mata ke arah sekalian orang.

Kemudian melanjutkan pula: „Penasarankah? Haramkah? Jodohkah atau cinta murnikah? Lohu tak mengetahui. Ceng Ih, apa katamu?" Didesak dengan pertanyaan semacam itu, Ceng Ih merasa serba sulit. Tidak mengatakan kandungan hatinya, berarti mengelabuhi orang. Namun mengatakannya, dikuatirkan ayah dan puterinya itu akan salah paham. Turut suara hati kecilnya, baik Peng-ji maupun Tan He Kongcu, dua-duanya pernah melepaskan budi besar kepadanya.

Ada sebuah kiasan: „ikan dan kaki beruang, adalah dua macam masakan yang sama nilainya.” Artinya, dua macam benda atau hal, yang berat untuk dipilih karena sama berharganya. Peng-ji dan Tan He, berat untuk menjatuhkan pilihan. Inilah yang menyebabkan Ceng Ih „ak-uk ak-uk” seperti orang keselak tulang. Beberapa kali mulut hendak mengatakan, namun selalu batal.

Peng-ji inelirik dan tahu bagaimana perasaan hati Ceng Ih. Namun sebagai anak gadis, ia terpancang oleh rasa malu dan susila. Tapi sebagai gadis yang lincah mulut, ia tetap tak keputusan akal. Serunya dengan kemalu-maluan: „Yah, karena persoalan Tan He Kongcu, dia masih benci padaku!"

Ceng Ih terkesiap. Kuatir kalau sampai membuat Swat-san Lojin marah, buru-buru dia menanggapi: „Kepadaku Tan He telah memberi empat macam kebaikan: menolong jiwa, memberi mantel, kuda say-cu-hoa dan mengundurkan musuh. Saat ini ia berada dalam sarang harimau, maka bagaimana aku dapat tenang pikiran? Nona Peng pun melepas budi sebesar gunung kepadaku. Bagaimana cara kudapat mengatasi kedua hal itu, mohon lo-cianpwe suka memahami kedudukanku!"

Kini barulah Swat-san Lojin mengerti duduk persoalannya. Diam-diam dia menaruh simpati kepada pemuda yang jujur itu. Sekilas merenung, wajahnya berseri, mulut tertawa. Tapi baru dia hendak membuka suara, Peng-ji sudah mendahului:

„Karena aku yang menyerahkan Tan He Kongcu kepada Chit- Cincu, maka seharusnya akulah yang menolongnya juga. Yah, kali ini kau harus memberi ijin padaku!"

Ceng Ih girang, serunya: „Jika adik Peng sudi mencapekan diri, Ceng Ihpun sedia untuk memasuki sarang harimau.

Bagaimana kalau kita berdua berangkat bersama?"

Wajah Swat-san Lojin mengerut tajam, ujarnya: „Karena hati kalian sudah ketemu, lantas mau menyingkirkan kita orang-orang tua ini, ya? Ceng Ih, ingatlah! Lohu hanya mempunyai seorang anak gadis yang menjadi buah hidupku. Sejak kini akan kuserahkan kedalam penjagaanmu!"

Ceng Ih tersipu-sipu mengiakan. Dalam pada itu Thian-lam- ping-siu segera memberi pesan padanya: „Ih-ji, Bo-ang Sancu adalah anak keturunan Hoa-he Hi-hu. Dimana dapat memberi maaf, berilah kelonggaran se-luas-luasnya, jangan terlalu turuti panasnya hati. Asal kewibawaan Panji Sakti terjamin, harapanku si orang tua ini sudah tercapailah!"

Maka tertawalah Swat-san Lojin, serunya: „Ilmu pelindung Panji Sakti dan ilmu dari Swat-san sama-sama membagi keunggulan dan kelemahan. Bersatu teguh, bercerai runtuh. Biarkan mereka kaum muda pergi, kita orang tua yang sudah tak berapa lama hidupnya ini, juga harus menikmati sisa-sisa kehidupan yang berbahagia. Kita berdua sama-sama sudah menunaikan tugas, ayuh kita kembali kedalam rumah untuk menikmati arak buatan gunung Swat-san sini?"

Habis berkata itu, Swat-san Lojin berpaling. Demi tampak Wan-ji termangu-mangu, segera dia menegurnya: „Wan-ji, marilah. Besok pagi ayah tentu mengajarimu ilmu kepandaian cabang Swat-san, tanggung kau pasti akan lebih lihay dari mereka berdua! Ayuhlah!" Kabut kekecewaan yang menabur diwajah Wan-ji segera berganti dengan seri kegirangan. Buru-buru ia mengikut Swat- san Lojin pulang kekandang.

Setelah cukup beristirahat beberapa hari, kuda say-cu-hoa menjadi segar kembali. Walaupun dinaiki oleh dua orang muda mudi, namun kuda itu dengan lenggangnya dapat mencongklang turun dari gunung Swat-san. Selanjutnya dalam perjalanan, kuda itu hanya mengasoh sebentar saja.

Tiga hari yang lalu, mereka berdua juga melintasi jalanan semula. Hanya saja pada waktu itu, ia (Peng-ji) masih main sembunyi dibalik semak-semak. Ya, hanya berselang tiga hari saja, kini ia sudah bonceng dibelakang pemuda yang sudah mencuri hatinya itu. Kalau saja say-cu-hoa itu mengerti, dia tentu akan kepingin sekali melihat asyik masyuknya kedua penumpangnya itu.

Pada hari keempat, mereka sudah tiba dijalan besar kota Tong-kwan. Kini mereka dapat menempuh perjalanan dengan pesat. Tetapi sedikitpun Ceng Ih tentu tak mengira bahwa sembilan hari setelah dia tinggalkan kota Thay-gwan-hu, diatas gunung Siao-ngo-tay-san sudah terjadi keributan besar. Selagi orang tak bersiaga, diam-diam Tan He Kongcu sudah dapat melarikan diri ...........

> ∞ <

Memang benar apa yang diduga Ceng Ih itu. Mengingat ikatan kasih ayah dan anak, demi melihat puterinya dibawa pulang Chit-Cincu, Bo-ang Sancu marah. Tan He disekap dalam kamar kui-tat (keputren atau ruangan untuk puteri), dijaga secara bergilir oleh Ceng-hui, Ciang-hui, Siang-hui dan Kui-hui. Makanan diantar dengan teratur, supaya Tan He jangan kemana-mana. Penyerbuan Bo-ang ke Leng-san ternyata gagal lagi, berkat kedatangan Swat-san Lojin dan puterinya. Tahu tak dapat mengalahkan tokoh Sakti itu, Bo-ang tak berani mengeluruk ke Swat-san. Dia ambil putusan untuk menyekap diri di markasnya selama satu tahun karena hendak meyakinkan ilmu Sakti tok-liong-ciang atau pukulan naga berbisa. Dengan ilmu Sakti itu, dia yakin tentu akan dapat merebut kembali Panji Sakti.

Demikianlah keadaan Siao-ngo-tay-san menjadi tenang sunyi. Tapi ketenangan itu, mendadak terganggu lagi. Tan He Kongcu yang sudah menyerahkan hatinya pada Ceng Ih, sejenakpun tak dapat melepaskan ingatannya kepada pemuda itu.

Selagi keempat hui itu tak menduganya, dengan diam-diam berhasillah ia loncat keluar jendela. Dengan cerdiknya dapatlah dia melalui penjagaan keempat Cuncia dan kedua Sian-ong yang bertugas menjaga pintu markas. Sekali tancap gas, turunlah kini sang kijang dari gunung Siao-ngo-tay-san dengan bebasnya.

Oleh karena sudah pernah lolos, jadi kini ia mempunyai pengalaman. Anak buah ayahnya pasti akan mengejar, dari itu ia tak mau mengambil jalan besar. Tujuannya ialah ke arah barat ke gunung Swat-san. Dengan mengambil jalan mengitari kota Thay-goan-hu, ia segera menyaru jadi pria. Kemudian setelah membeli seekor kuda, ia mencongklang pesat ke arah barat.

Mendapat laporan puterinya lolos lagi, Bo-ang marah bukan kepalang. Keempat selirnya itu, termasuk Siang-hui yang paling disayangi, didampratnya habis-habisan. Cepat dia perintahkan dua rombongan orang untuk mengejar.

Rombongan pertama dikepalai oleh keempat Cuncia dan rombongan kedua oleh Chit-Cincu. Begitulah sebelas orang jago lihay, dengan naik kuda susul menyusul mengejar ke arah barat.

Tapi begitu berkumpul di Thay-goan-hu, mereka tak dapat melihat bayangan Tan He Kongcu. Mereka coba mencari kabar dirumah makan yang terkenal dikota situ, namun sia-sia juga.

Kalau sampai pulang dengan hampa tangan, mereka tentu akan dicerca sang pemimpin. Begitu setelah berunding, akhirnya keempat imam dan ketujuh paderi itu mengambil putusan untuk menuju kekota Tong-kwan. Kota itu amat ramai, masakan Tan He dapat meloloskan diri dari pandangan orang banyak. Nah, disitulah mereka tentu bakal mendapat berita.

Tapi rencana kawanan pengejarnya itu sudah diperhitungkan Tan He Kongcu. Ia tetap mengambil jalan yang sepi. Setelah mengitari gunung Lu-liang-san dan melintasi kota Han-seng dapatlah dia melalui kota Tong-kwan itu. Maka ketika kawanan pengejarnya itu sudah melewati kota Han- yang, iapun baru tiba dijalan kota itu.

Kala itu matahari sudah tiba dibalik gunung. Walaupun dijalanan sudah agak sepi dengan orang, namun ia tetap tak mau mengambil jalan besar. Tetap ia menyusur jalanan kecil dipinggiran kota. Tiba didaerah pegunungan, tak tersangka- sangka telah terjadi suatu peristiwa aneh.

Bahwa setelah lolos dari Siao-ngo-tay-san, Tan He Kongcu ibarat seekor burung yang lepas dari sangkarnya. Segala bayang-bayang ketakutan dan keletihan tak dihiraukan lagi, pikirannya bulat sudah akan menempuh perjalanan yang bagaimana sukarnya juga.

Dan memang kenyataan, jalanan kecil yang dilaluinya itu menurun naik. Tak terasa rembulan sudah memancarkan cahajanya. Bayang-bayang pepohonan yang tertiup angin malam itu, menyerupai hantu-hantu yang mulai muncul berkeliaran. Suasana sunyi menyeramkan.

Diam-diam Tan He menyesal mengapa tadi ia tak singgah saja didalam kota untuk bermalam. Berjalan dimalam hari pada jalanan gunung yang penuh dengan tebing dan jurang yang curam itu, memang bukan kepalang sukarnya

Apalagi kuda tunggangannya .itu bukan kuda istimewa macam say-cu-hoa. Diam-diam ia teringat akan kudanya yang sakti itu. Kalau sekarang ia naik say-cu-hoa tentu tadi-tadi sudah tiba didataran.

Akhirnya tibalah ia disebuah tempat yang terdapat beberapa tumbuhan rumput dan payau (tebat kecil). Terpaksa ia berhenti untuk memberi kesempatan sang kuda minum dan beristirahat dulu. Pikirannya kembali melayang kepada kudanya say-cu-hoa.

Dan karena mengingat say-cu-hoa, dengan spontan (serentak) terbayanglah wajah Ceng Ih. Tiba-tiba diluar kemauannya, meluncurlah kata-kata dari mulutnya: „Engkoh Ih, ah, engkoh Ih! Dimanakah kau sekarang ini?”

Seruan itu berkumandang jauh menembus kesunyian malam. Tiba-tiba terdengarlah bunyi kelinting bergema. Tan He Kongcu tersentak bangun dari lamunannya. Kelinting, ya, kelinting yang biasanya dipakai oleh say-cu-hoa, mengapa terdengar pada saat itu?

Memang kelinting itu berasal dari kuda say-cu-hoa. Pada malam itu, Ceng Ihpun terlanjur tak menginap didalam kota. Diapun tersasar menyusur jalanan gunung. Untuk menahan goncangan kuda, Peng-ji memegang erat-erat pinggang Ceng Ih, kepalanya disandarkan kepunggung anak muda itu. Begitulah dengan mesra romantis, mereka menempuh perjalanan ditengah malam buta.

Karena kepala menyandar kepunggung, Peng-ji serasa mendengar detak jantung Ceng Ih yang mendebur-debur itu. Suatu perasaan aneh yang belum pernah dirasakan, terjadi dalam hati dara Itu. Jantungnyapun ikut berdebar-debar.

Ketika angin malam berhembus kemukanya, barulah Peng- ji tersadar dari lamunannya itu. Diam-diam ia malu pada diri sendiri. Jalanan makin naik turun amat sukarnya, sementara rembulanpun masih malu-malu bersembunyi dibalik awan.

Akhirnya ia berseru: „Memburu perjalanan bukan begini caranya. Dijalan datar tak mau berhenti, ditebing jurang tetap tak mau beristirahat juga. Akan menuju kemanakah kita malam ini?"

Walaupun sebenarnya dirinya juga lelah, namun Ceng Ih menghiburnya: „Adik Peng, jangan kuatirlah. Nanti setelah tiba dijalanan besar, kita beristirahat. Agar kau tak keliwat letih, kita nanti berhenti dikota Him-peng-koan. Menolong orang adalah serupa dengan menolong kebakaran. Adik Peng, sabarlah beberapa menit lagi!"

Kuda mencongklang dengan pesatnya lagi. Peng-ji cukup memaklumi isi hati Ceng Ih. Ia biarkan saja bagaimana anak muda itu hendak bertindak. Tiba-tiba dalam keremangan malam itu, mata Peng-ji yang tajam dapat melihat ada seseorang duduk ditepi payau, sedang didekatnya ada seekor kuda tengah makan rumput.

Heran mengapa ditengah malam sekelam itu, ada orang menunggui ikan dalam payau. Demikian pikir Peng-ji, lalu mencubit punggung Ceng Ih, katanya: „Engkoh Ih, jangan- jangan orang itu tak waras pikirannya. Masa pada malam buta begini, dia duduk ditepi payau, cari apa saja dia itu?"

Ceng Ih tertawa menyahut: „Dalam kalangan hitam (penjahat), memang bukan mustahil terjadi hal-hal yang aneh. Sejak tadi akupun sudah melihatnya. Itulah yang dinamakan ada rejeki tapi tak dapat menikmati, ha, ha, sungguh menggelikan!"

Kumandang ucapannya masih terdengar, namun orangnya sudah pergi jauh. Betapa pesat lari kuda say-cu-hoa itu, dapat dibayangkan.

Pada saat Ceng Ih bercakap-cakap dengan Peng-ji, Tan He Kongcu pun mendongak kemuka mengawasi. Walaupun tak jelas akan penunggangnya, namun ia mendengar jelas apa yang dipercakapkan itu.

„Dalam kalangan hitam, memang bukan mustahil terjadi hal-hal yang aneh. Ada rejeki tak dapat menikmati hem

....” demikian tak terasa Tan He mengulang ucapan Ceng Ih itu.

Pada lain kilas, ia terkesiap. Ujarnya: „Ai, nada suara itu, tak asing lagi bagiku, tapi dimana pernah kudengarnya?

Bukankah gadis baju putih yang membonceng itu menyebut engkoh Ih? Hai, dia kan Ceng Ih, ya, Ceng Ih, Ceng Ih ”

Tan He merasa menyesal mengapa tak tadi-tadi terbuka pikirannya. Kini mereka sudah jauh, untuk memanggilnya terang sudah tak mungkin. Tapi segera ia teringat akan pembicaraan mereka tadi.

„Bukankah tadi mereka mengatakan hendak berhenti dikota Hin-peng? Benar, kalau aku segera kesana kita tentu bakal berjumpa. Gadis berpakaian putih itu terang adalah puteri Swat-san Lojin. Aku pemah bertemu sekali digunung Leng-san tempo hari!"

Selekas masak berpikir, secepat itu ia lantas menyeret kudanya. Tapi baru sang kaki hendak melangkah naik, tiba- tiba dari arah belakang terdengar suara bentak keras: "Budak, mau lari kemana kau?"

Tan He terkejut mendengar bentakan itu, tapi lebih besar lagi terkejutnya demi ia berpaling kebelakang Empat orang tua yang berwajah hijau, merah, putih dan kuning, menghadang dibelakangnya. Perawakan keempat orang tua itupun berbeda- beda, kurus, gemuk, tinggi dun pendek. Tapi yang aneh, ketika tertawa mengekeh, nada suara mereka ternyata sama kedengarannya.

Dalam keadaan terkepung ditempat yang terpencil semacam itu, Tan He coba tenangkan diri untuk menanti apa yang bakal terjadi.

Sambil mengurut janggut, si orang tua bermuka merah kedengaran berkata kepada si tua muka hijau yang kurus kering itu: „Lo-toa, tak sia-sia perjalanan malam ini!"

Si tua muka putih yang bertubuh gemuk segera berkata kepada Tan He: "Kalau kau menyerahkan Panji Sakti itu, kami berempat Tay-thian-ong, tentu takkan membikin susah padamu. Kalau mau melarikan diri, jangan harap. Camkanlah baik-baik dalam hatimu!"

Mengetahui kedatangan keempat orang itu karena akan merampas Panji Sakti. Tan He terkejut sekali. Kalau melawan, terang kalah. Akhirnya ia mendapat akal.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar