Panji Sakti Bab 14 : Pelarian Kedua

14. Ujian ??

Si gadis makin kemerah-merahan, tegurnya dengan suara merdu: „Engkoh Ih, apa kau belum pernah melihat aku, mengapa memandang diriku begitu macam?"

Ai, ai, dara itu! Mengapa mendadak sontak ia beralih sebutan dengan engkoh Ih? Namun teguran itu telah membuat Ceng Ih gelagapan. Buru-buru dia memberi hormat.

„Belum lagi aku sempat menghaturkan terima kasih atas bantuan nona selama dalam perjalanan itu, kini nona sudah melepas budi besar lagi dengan membawa supehku ke Swat- san sini ”

Kata-kata yang hendak dirangkai seindah-indahnya oleh Ceng Ih itu, ternyata macet ditengah, telah membuat si nona tertawa cekikikan, tukasnya: „Ai, banyak nian yang hendak kau terima kasihkan itu. Telah kutolong untuk melepaskan supehmu dari serangan Bo-ang Sancu dan pemberian dua ekor ulat salju itu masih belum kaukatakan bukan, hi, hi!"

Ceng Ih tak menyangka bahwa gadis cantik itu ternyata mudah bergaul dan bersikap wajar sekali. Bahwa orang-orang mengatakan ia itu seorang nona yang congkak aleman, ternyata tak benar. Ceng Ih pelegak peleguk kehabisan kata- kata.

Melihat orang hanya mengawasi mati-matian ke arahnya, si gadis kembali berkata dengan wajah bersungguh: „Bilanglah terus terang, engkoh Ih, kau benci kepadaku atau tidak?"

Bencikah? Benar-benar mulut Ceng Ih terkancing rapat tak dapat mengatakan. Tidak bencikah? Ini juga memutar balikkan kenyataan. Pemuda itu akhirnya benci kepada dirinya sendiri mengapa dihadapan si dara putih, dia tak mampu mengatakan apa yang dikandung dalam hatinya.

Nampak si pemuda meragu, lagi-lagi mulut si dara menghambur: „Benci atau tidak, itu terserah padamu. Tapi satu hal yang harus kaucamkan, bahwa kedatangan ke Swat- san sini ialah hendak mencari obat. Lupakah kau apa yang dikatakan ayah tempo di Leng-san itu bahwa hanya kau seorang yang diijinkan datang kemari?"

Dengan keterangan itu, terang kalau ia bermaksud baik untuk mengirim balik Tan He Kongcu. Namun dara itu tak mengetahui persoalannya lebih lanjut, bahwa apabila tiba di Siao-ngo-tay-san, Tan He tentu akan menderita hukuman berat dari ayahnya. Sedianya Ceng Ih sudah hendak menegur tentang perbuatan gadis itu, tapi entah bagaimana mulut serasa berat mengatakan. Dia hanya memandang gadis itu dengan senyum getir.

Tangan kiri menyibak rambutnya yang menjulai panjang, tertawalah dara itu: „Engkoh Ih, lapangan ini cukup luas, ayuh kita uji sampai dimana tenagamu setelah makan ulat salju itu, tentu kau akan kegirangan sekali!"

Melihat kewajaran dara itu, diam-diam Ceng Ih malu dalam hati mengapa dia begitu likat-likat sendiri. Ujarnya: „Ai, menguji kepandaian itu bukan seperti anak kecil bermain- main, salah-salah kita bisa celaka. Benar kau pernah mengundurkan Bo-ang Sancu, namun aku tetap mengiri.

Bukankah lebih baik kita omong-omong saja?"

Peng-ji tertawa riang, sekali tangan menekan punggung kuda, ia sudah loncat turun dihadapan Ceng Ih, katanya: „Ho, jadi kau kira dapat mengalahkan aku? Lebih baik kita buktikan saja. Lama sudah aku ingin mencoba sam-coat-ciau (tiga jurus Sakti) dari Hoa-he Hi-hu itu. Setelah makan ulat salju, tentu tenagamu makin bertambah! Tapi kalau kau berkelahi macam berhadapan dengan kawanan Chit-Cincu tempo hari, aku sungguh enggan!"

Congkak benar nada ucapan dara itu. Alis Ceng Ih mengerut naik, darah mudanya bernafsu untuk merebut kemenangan. Tanpa banyak pikir lagi, segera dia mengiakan:

„Kalau begitu, harap adik Peng berhati-hati!"

Tubuh berkisar sedikit kekiri, tangannya segera melancarkan tiga buah serangan hebat, ing-bin-ki-long (menghadap kemuka memukul ombak), wan-kiong-shia-gwat (menarik busur memanah rembulan) dan han-bwe-tho-lui (pohon bwe mementulkan kucing). „Wut, wut,” angin menderu-deru menyambar ke arah Peng-ji, hebatnya bukan kepalang. Sekali si dara putih bergerak, maka lenyaplah dia dari pemandangan. Tapi Ceng Ih tak menjadi terkejut. Sewaktu menyaksikan si dara dari gunung salju itu menculik Tan He Kongcu pada tengah malam dikuburan itu, dia tahu betapa sakti ilmu gin-kang dari dara itu.

Menduga bahwa si gadis tentu sudah menyelinap kebelakangnya, dengan gerak heng-toan-bu-san atau memapas gunung Bu-san, Ceng Ih putar sang kaki sembari lancarkan pukulan dengan deras sekali. Saking gencarnya pukulan itu, diumpamakan air hujan tak dapat menobros masuk, ya benar-benar seperti tembok baja dinding besi rapatnya.

Karena dipanggil „adik Peng" tadi, si dara amat tersengsam sekali, sehingga gerakannya agak berayal sedikit. Coba tidak, Ceng Ih tentu akan sudah dibuat macam Bo-ang Sancu tempo di Leng-san dulu itu, yaitu pakaiannya ditutuk pecah sampai beberapa lubang. Sekalipun begitu hebat dan tangkasnya serangan heng-toan-bu-san itu, namun bagaikan bayangan yang tak bertulang, tubuh dara itu melejit dari serangan Ceng Ih.

Selagi Ceng Ih keheranan, dara itu sudah menyengir:

„Engkoh Ih, tak ada gunanya kau menyerang aku dengan cara itu. Yang kukehendaki ialah ilmumu hu-ki-sam-coat-ciau itulah!"

Bermula Ceng Ih masih enggan untuk gunakan sepenuh tenaganya. Karena dia insjaf setelah makan ulat salju itu, tenaganya bertambah berlipat ganda. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dara itu, dia tentu akan bertanggung jawab terhadap Swat-san Lojin. Tapi serta dilihatnya bagaimana mudah dan lenggangnya dara itu berlincahan menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan, Ceng Ih tersadar akan salah perhitungannya. 

„Adik Peng, sam-coat-ciau bukan barang permainan kanak- kanak, harap kau siap sedia!" akhirnya dia berseru sembari menarik pulang serangannya. Menyusul tangan kanan diangkat, kelima jarinya dipentang dan sekali lepas maka jurus kay-cu-na-si-mi segera dilancarkan.

„Ih-ji, tahan!" sekonyong-konyong dari arah belakang terdengar seseorang berseru. Berbareng itu, dari tengah semak alang-alang, muncullah tiga sosok bayangan. Itulah Swat-san Lojin, Thian-lam-ping-siu dan Wan-ji. Mereka ganda tertawa berdiri dibelakang anak muda itu.

„Supeh", "yah" serentak berserulah Ceng Ih dan Peng-ji sembari lari menghampiri. Tiba dihadapan sang supeh, Ceng Ih segera bertanya: „Supeh, apakah penyakitmu sudah baik?"

Belum jago tua itu menyahut, Wan-ji sudah mendahului:

„Engkoh Ih, tolol benar kau ini! Kalau ayah belum baik, masakan dapat keluar mencegah keisenganmu tadi?"

Mata Thian-lam ping-siu yang lebih banyak bagian putihnya itu menatap ke arah Ceng Ih, tegurnya dengan keren:

„Mengapa kau sembarangan hendak gunakan hu-ki-sam-coat- ciau itu? Kalau sampai terjadi sesuatu, bagaimana pertanggungan jawab kita kepada Swat-san Lojin?”

Melihat wajah pemuda itu mengerut sesal, Thian-lam-ping- siu melanjutkan kata-katanya pula: „Ulat salju yang ratusan tahun umurnya itu benar-benar tergolong makhluk mujijad.

Setelah makan ulat Sakti itu dan ditolong pula dengan pengobatan lwekang oleh Swat-san Lojin, bukan saja hawa sesat yang menutup jalan darahku dibagian ki-kwat itu terbuka, pun penyakit yang kuderita berpuluh tahun itu kini sudah baikan. Paling banyak beristirahat empat-lima hari lagi, aku tentu akan sudah pulih kembali!" 

Kalau Ceng Ih pasang omong dengan supehnya, disana Peng-ji pun sudah menggelandot didada ayahnya. Dengan tingkah kemanja-manjaan, berkatalah ia: „Yah, kalau kau tak datang, dia tentu sudah mengeluarkan ketiga jurusnya yang dibanggakan itu. Yah, aku tak puas!"

Jenggot putih Swat-san Lojin bergontai-gontai mengiring sang mulut terbahak-bahak, ujarnya: „Dia, siapakah dia itu? Kau memang seorang budak yang aleman. Ketahuilah, terlambat sedikit saja aku datang, kau pasti tak dapat menerima pukulan sakti itu!"

„Huh, aku tak percaya!" menyeletuk Peng-ji dengan centilnya.

„Tidak percaya?" bentak Swat-san Lojin dengan nada bersungguh, „itu karena kau terlalu meremehkan dia. Ayah pernah menerima ketiga hu-ki-sam-coat-ciau itu sendiri dari Thian-lam-ping-siu. Kala itu dia sedang menderita penyakit, toh aku sudah menginsjafi kalau pukulan itu benar-benar luar biasa. Benar peyakinan buyung itu belum sempurna, tapi setelah makan ulat salju, tenaganya bertambah beberapa lipat ganda. Dapatkah kau menerima pukulannya?"

Peng-ji menjusupkan lehernya yang jenjang kedalam dada sang ajah. Dengan nada aleman sekali ia berkata: „Yah, aku masih ingin mencobanya!"

Direngeki sang buah hati, Swat-san Lojin menjadi keripukan, ujarnya: „Begini sajalah! Biar ayah ukur dulu sampai dimana kepandaian buyung itu sekarang, bagaimana baik tidak?"

Peng-ji mengangguk. Mengurut jenggotnya yang sudah putih itu, berkatalah Swat-san Lojin dengan tertawa kepada Thiam-lam-ping-siu:

„Oleh karena siaoli (anakku perempuan) kepingin menjajal ketiga hu-ki-sam-coat-ciau itu, biar kutemani dulu Ceng Ih bermain-main barang beberapa jurus saja, bagaimana pendapatmu?"

Thian-lam-ping-siu terkesiap, sahutnya dengan sungguh- sungguh: „Bagaimana Ih-ji dapat melayani seorang lo- cianpwe? Dia kan tentu dianggap tak tahu diri!"

Peng-ji menyengir: „Ho, bukankah karena kalian hendak menyimpan rapat-rapat ilmu itu? Kalau dikata kepandaian ayah terlalu sakti, asal suruh dia tak membalas menyerangkan beres bukan?"

Terpaksa Thian-lam-ping-siu menyuruh Ceng Ih datang kedekatnya, lalu dipesan: „Swat-san Lojin adalah tokoh nomor satu pada jaman ini. Bahwasanya beliau suka menemani kau bermain beberapa jurus, itu adalah rejekimu. Ayuh, lekas menghaturkan terima kasih kepadanya!"

Tersipu-sipu Ceng Ih menghampiri Swat-san Lojin dan menghaturkan terima kasih.

„Ai, buyung ini meskipun cerdas, tapi masih suka banyak peradatan. Mari, mari, walaupun aku si tua ini takkan membalas menyerang, tapi kau harus mengeluarkan seluruh kepndaianmu. Kalau tidak, bila nanti menerima tempeleng, jangan salahkan aku si orang tua yang tak pegang janji," ujar Swat-san Lojin dengan tertawa riang.

Ceng Ih memandang ke arah supehnya, dan jago tua inipun menganggukkan kepalanya. Begitulah setelah Ceng Ih dan Swat-san Lojin saling berhadapan, maka Ceng Ih segera mempersilahkan: „Harap lo-cianpwe berhati-hati!" 

Jurus pertama yang dilancarkan Ceng Ih ialah serupa dengan menghadapi Peng-ji tadi yakni han-bwe-tho-ni. Dan ketika orang tua dari gunung salju itu bergerak menghilang seperti gadisnya itu, tetap Ceng Ih gunakan lagi jurus yang sama ialah heng-toan-bu-san untuk memutar dan menyerang.

Tapi cepat dia mengetahui bahwa gerakan orang tua itu jauh lebih tangkas beberapa kali dari anak gadisnya. Hanya sesosok bayangan putih yang berkelebat dan tahu-tahu tokoh itu menghilang dari hadapannya.

Bahwa dua kali serangannya ternyata memukul angin, telah membuat Ceng Ih kebingungan. Dia kehilangan perhitungan, dimanakah sebenarnya Swat-san Lojin itu berada, karena yang diketahui hanyalah bayangan putih yang berkelebatan kian kemari tak tentu arahnya.

Dari bingungnya dia menjadi kalap. Kemana bayangan putih diduga ada, kesitulah dia memburu dengan serangan yang gencar.

Dan walaupun dalam serangan itu dia hanya gunakan tujuh bagian dari tenaganya, namun debu dan batu diseputarnya sudah sama beterbangan. Swat-san Lojin seolah-olah sudah diburu dengan hujan pukulan.

Tiba-tiba terdengar suara „plak,” dan menyusul berserulah Swat-san Lojin: „Mengapa kau tak mengeluarkan seluruh tenagamu? Ya, kalau tak diberi persen tempeleng, kau tentu tak mau menurut kata, ya?”

Suara „plak,” tadi, ternyata sebuah tempeleng yang diterima Ceng Ih dari tokoh Sakti itu. Kalau tempeleng itu dilakukan orang biasa, rasanya tak begitu mengherankan. Tapi bahwasanya yang berbuat itu seorang tokoh nomor satu dalam dunia persilatan, mau tak mau membuat ketiga orang yang menyaksikan „pertempuran" itu menjadi terbeliak kaget.

Thian-lam-ping-siu terkesiap, Wan-ji terbeliak kaget dan Peng-ji buru-buru berseru: „Yah, mengapa kau memukul orang?"

Sembari masih „menari,” Swat-san Lojin tertawa menyahut:

„Siapa yang suruh tak mendengar kata? Kalau tetap membangkang, tentu akan menerima lagi! Hai, kan aku memukul dia, mengapa kau begitu menyibuki? Perlu apa kau ikut kuatir tak keruan?"

Kembali selebar wajah dara itu bertebar warna merah. Ia tundukkan kepala tak menyahut.

Karena hanya menggunakan tujuh bagian tenaganya, Ceng Ih telah mendapat persen sebuah tempeleng. Pipinya sebelah kiri terasa begap kesemutan. Ah, aku hanya menghormat padamu, jangan kira aku tak berani memukulmu. Demikian dia membatin, demikian dia lantas bersuit nyaring. Tangan kiri ditarik pulang, tangan kanan segera melancarkan pukulan kay- cu-na-si-ni dengan tenaga penuh.

Walaupun merasa sebagai tokoh nomor satu dalam dunia persilatan, tapi demi diketahui pemuda itu telah terbakar hatinya dan menyerang dengan hebat, dia pun tak berani berayal. Dengan tangkasnya dia gunakan ilmu ginkang untuk berlincahan, namun sekalipun begitu, tak urung tubuhnya tetap tersinggung dengan lingkaran pukulan kay-cu-na-si-mi, sehingga tersedot berhenti.

Ceng Ih tetap merangsang. Begitu tampak Swat-san Lojin tersedot diam, dia susuli lagi dengan gerakan tinju kiri beng- kun-han-san-ho. Sekali gus dua buah serangan sakti dilancarkan, perbawanya tiada tertara. 

Hebat benar Swat-san Lojin itu. Memang dia tak bernama kosong. Begitu tubuh terhenti. dia menyadari bakal celaka, maka buru-buru dia gunakan cian-kin-tui untuk menetapkan keseimbangan tubuh, lalu melejit menghindari. „Bum,” terdengarlah sebuah letusan yang gempar, ditempat jatuhnya angin pukulan dan tinju itu, terbukalah sebuah lubang sebesar setengah meter.

Melihat Swat-san Lojin lenyap. Ceng Ih menduga tentu orang sudah menyelinap kebelakangnya. Dengan masih gunakan gaya serangan kay-cu-na-si-mi, tangan kanan menyapu sementara tangan kiri mendadak sontak ditamparkan kebelakang.

Kembali sebuah "kun" (beng-kun-han-san-ho) dan sebuah

„ciang" (kay-cu-na-si-mi-ciang), dilontarkan kemuka dan belakang. Hendak dia mengetahui, cara bagaimana Swat-san Lojin hendak menghindar.

Memangnya Swat-san Lojin sudah mengetahui bahwa ketiga pukulan hu-ki-sam-coat-ciau itu bukan olah-olah perbawanya, maka dia pun tak mau meremehkan. Tapi ketika dia melejit kebelakang si anak muda, serambutpun dia tak mengira kalau anak itu bakal melepaskan beng-kun-han-san- ho tanpa berputar tubuh.

Benar selama bertempur itu dia sudah siapkan hawa kong- gi untuk melindungi tubuh, namun tak urung dia tersambar juga oleh tamparan tinju yang tiba-tiba itu. „Bum,” telak sekali pukulan itu mengenai tubuhnya ......

Swat-san Lojin adalah tokoh paling atas dalam dunia persilatan, tetapi beng-kun-han-san-ho pun merupakan pukulan tinju yang maha sakti. Swat-san Lojin tersurut sampai tiga tindak, tapi dalam pada itu tubuh tokoh itupun memberikan reaksi yang cukup hebatnya.

Beng-kun-han-san-ho seperti terbentur dengan reaksi tenaga yang membalik keras. Ceng Ih terhuyung-huyung sampai lima langkah kemuka, baru dapat berdiri jejak lagi.

Kesudahan itu telah memberi gambaran yang jelas. Kedua pihak saling bertukar pandangan dengan terkejut. Swat-san Lojin tertawa gelak-gelak, serunya: „Buyung, gerakan kun dan ciang yang kau lancarkan itu cukup dahsyat tenaganya, tapi masih belum cukup kecepatannya. Lihatlah aku merangsangmu lagi!"

Ceng Ih hanya menampak sesosok bayangan putih menyerangnya, cepat diapun memberikan reaksi. Mendahului lawan datang, segera dia gerakkan tangan kiri untuk meninju dan tangan kanan untuk memukul. „Wut,” angin menderu menghantam tempat kosong! Astaga, kemana gerangan lenyapnya orang tua aneh itu?

Ceng Ih kertak gigi. Tanpa peduli dimana sebenarnya lawan berada lagi, dia tetap menghujani tinju dan pukulan. Selingkar satu tombak disekelilingnya bagaikan terpagar dengan dinding tinju dan pukulan. Biar lawan lihay dalam ilmu ginkang, tetapi tak nanti dapat mendekati dirinya. Demikian Ceng Ih menetapkan siasat.

Memang orang tua dari gunung salju itu hendak menguji sampai dimana kepandaian anak muda itu. Dalam pada berlincahan itu, kecuali menerobos kedalam hujan tinju dan pukulan, masih dia sempat untuk memberi gaplokan kepipi atau menjewer telinga anak muda itu. Sudah tentu hawa amarah Ceng Ih makin berkobar. Dengan kaki bagai terpancang ditanah, dia menyerang dengan kalapnya. Masakan aku tak dapat memukulmu, pikir Ceng Ih. Tapi sekonyong-konyong ada sebuah suara bagai nyamuk mengiang ditelinganya: „Ih-ji, ilmu sakti berpokok pada ketenangan. Nafsu meluap, pikiran tak dapat jernih dan pandangan matapun akan kabur. Lekas padamkan nafsu, kembali kepada ketenangan. Jangan menurunkan martabat hu-ki-sam-coat-ciau!"

Itulah suara yang dihembuskan dengan lwekang coan- seng-jip-bi. Ceng Ih tahu kalau supehnyalah yang melakukan untuk memberi petunjuk padanya. Diapun tersadar, berkelahi secara kalap begitu, bakal menghabiskan tenaga. Buru-buru dia tenangkan hati, jernihkan pikiran serta melancarkan pukulan secara teratur.

Melihat si anak muda merobah cara berkelahinya dari menyerang menjadi bertahan, sejenak Swat-san Lojin menjadi heran, namun segera dia tertawa keras, serunya: „Buyung, rupanya supehmu mengadu biru. Apa kau kira dengan perobahan caramu berkelahi ini, aku tak dapat memberesimu?"

Mulut berkata, tangan sudah bergerak. Dua buah jari telunjuk dan jari tengah Swat-san Lojin sudah lantas menutuk kian-keng-hiat dibahu Ceng Ih. Ditengah jalan, sekonyong- konyong gerakannya berobah.

Tangan kiri menutuk dada orang dibagian jalan darah suan- ki, hoa-kay dan tham-tiong, tangan kanan me- nampar sekerasnya ke arah pusar orang, yakni juga pada tiga buah jalan darah kwan-goan, khi-hay dan tan-thian. Gerakannya amat cepat, perobahannyapun amat luar biasa. Tubuh bagian muka dari anak muda itu diancam dengan bayangan jari-jari.

Kalau musuh kurang tenang, pasti akan gugup. Karena pada hakekatnya, ancaman dahsyat dari Swat-san Lojin itu hanyalah serangan kosong belaka. Maksudnya tak lain untuk memancing agar si anak muda itu lepaskan siasatnya bertahan diri. Namun serangan itupun dapat berisi juga. Hal itu tergantung bagaimana reaksi lawan. Dan kalau sampai kena tertutuk, tak ampun lagi Ceng Ih pasti akan roboh.

Ternyata Ceng Ih membuktikan bahwa dirinya tak kecewa menjadi ahliwaris angkatan kelima dari Panji Sakti. Untuk rangsangan Swat-san Lojin itu, lebih dahulu dia tutup semua jalan darah pada tubuh bagian muka, kemudian tangannya kiri bergerak untuk meninju kedatangan lawan.

Waktu Swat-san Lojin tertawa sembari menghindar Ceng Ihpun cepat menarik pulang tinju untuk selekasnya diganti dengan pukulan kay-cu-na-si-mi. Malah untuk memperhebat perbawanya, dia sudah gunakan sepasang tangan mendorong kemuka. Tenaga dorongan itu mengandung kekuatan yang dapat merobohkan gunung dahsyatnya.

Bahwa ternyata si anak muda dapat menggunakan lubang kesempatan menyerang secara tiba-tiba itu, telah membuat Swan-san Lojin kelabakan juga. Karena tak menduga sama sekali, dia sudah tak keburu berkelit.

Lojin itu memperhitungkan, kalau menggunakan lwekang kong-gi untuk bertahan, dia tentu bakal mengalami nasib seperti tadi, yakni tersurut kebelakang. Ah, tidak, lebih baik dia gunakan ilmu simpanannya yakni pukulan thian-hud-ciang saja.

Dengan gaya seperti dalam jurus tong-cu-pay-hud-im atau anak menyembah dewi Koan Im, begitu sepasang tangan dirangkapkan kemuka dada, terus ditebarkan kemuka.

Serangkum hawa dingin segera membentur angin pukulan kay-cu-na-si-mi. „Bum,” kembali terdengar letusan yang hebat. 

Salju abadi yang berpuluh tahun rmenutup puncak gunung situ sama berguguran turun kebawah karena tergetar oleh kedua pukulan sakti itu. „Bum, bum,” suaranya berkumandang dahsyat sekali. Ditempat terjadi benturan itu, menjadi amblong seluas satu tombak, bumi bagai tergoncang seperti ada gempa bumi.

Dan bagaimana dengan keadaan kedua orang itu sendiri? Swat-san Lojin itu tokoh nomor satu dalam dunia persilatan ternyata tersurut sampai tujuh langkah, sedang waktu mendongak kemuka didapatinya Ceng Ih hanya terdampar kebelakang sampai empat tindak. Disana pemuda itu sudah tegak berdiri memandang kepadanya.

Swat-san Lojin membuat penilaian. Kalau dianggap bahwa thian-hud-ciang itu memang kalah perbawanya dengan kay- cu-na-si-mi, memang dapat diterima. Tapi kalau dikatakan bahwa dia (Swat-san Lojin) yang sudah sempuma dalam peyakinan lwekang itu, masih kalah dengan hwekang si anak muda, itu terang tak mungkin. Jadi bukan kalah lwekang, melainkan kalah hebat dalam nilai ilmu pukulan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar