Panji Sakti Bab 08 : Main Petak

8. Main Petak

Lewat beberapa jenak kemudian suasana menjadi hening. Tengah malam diantara belasan batang pohon yang tumbuh dihalaman rumah penginapan itu, tampak ada sesosok tubuh melesat menghampiri salah sebuah dari ketiga kamar yang berada dibagian belakang.

Dari ketiga kamar itu, hanya satu yang tampak ada penerangannya. Disitulah orang itu berhenti lalu pasang telinga mendengari. Tapi betapapun langkahnya tadi tak menimbulkan barang suatu suara, penghuni yang berada dalam kamar itu dapat juga mendengarnya.

„Siao-ji-kokah itu?" tegur orang didalam kamar itu. Orang yang berdiri diluar yang ternyata Hoa Tan adanya,

tampak terkejut girang. Dengan tertawa, dia cepat menyelinap masuk kedalam kamar. Orang yang didalam kamar sudah tentu menjadi terkejut. Kiranya dia itu ialah tetamu yang dikira sebagai pedagang kulit oleh pengurus dan pelayan tadi, atau yang tak lain dari Ceng Ih adanya.

Dalam kejutnya, Ceng Ih cepat loncat berdiri. Memang kesiagaannya itu beralasan karena diketahui bahwa Siang-hui dan salah seorang Sian-ong juga menginap dirumah penginapan situ. Tapi segera dia menjadi lega demi diketahuinya siapa yang datang itu.

„Ceng-heng, orang hidup itu tentu sering berjumpa. Baru dua hari kita berpisah, kini bertemu kembali," kata Hoa Tan sembari memberi hormat.

Ceng Ih tersipu-sipu balas memberi hormat, ujarnya dengan girang: „Ai, kiranya Hoa-heng, tak kuduga kalau juga berada di sini. Jadi yang dikatakan si pelayan tentang adanya seorang siangkong bermalam disini itu, adalah Hoa-heng sendiri."

Hoa Tan mengulum senyum. Wajahnya yang seperti lukisan itu, makin menggairahkan. Sesuai dengan shenya "Hoa" (kembang), dia memang tampak sebagai sekuntum bunga.

„Benar, Ceng-heng. Tiada kukira kalau aku datang lebih dahulu kemari. Adalah karena permintaanku sendiri maka siao-ji-ko menempatkan aku dikamar sini. Sungguh suatu hal yang kebenaran sekali, bahwa Ceng-hengpun diberi kamar disini. Ceng-heng, bukankah ini yang dinamakan kita memang berjodohh?” sahut Hoa Tan.

Dalam mendengari orang berkata itu, Ceng Ih memandang lekat-lekat pada wajah Hoa Tan. Entah bagaimana, pemuda she Hoa itu menjadi merah kemalu-maluan. „Hem. seorang yang berkepandaian lebih tinggi dari aku, mengapa begitu pemaluan seperti laku seorang perawan saja?” diam-diam Ceng Ih membatin. Namun dia segera menjawab: „Hoa-heng, memang kebetulan sekali. Pertemuan kita ini memang aneh dari yang aneh. Silahkan duduk, Hoa- heng, sayur dan arak dimeja ini masih baru, mari kita minum sembari mengobrol!"

Hoa Tan mengiakan. Kini dia tampak tak kemalu-maluan seperti tadi. Katanya: „Ceng-heng, siaote ingin mengetahui apa yang Ceng-heng maksudkan dengan ucapan aneh dari yang aneh itu?"

„Apakah kau tak mengetahui bahwa Siang-hui dan salah seorang Sian-ong juga menginap disini?" tanya Ceng Ih.

Hoa Tan mengangguk, sahutnya: „Hal itu sudah kuketahui. Menilik bahwa Ceng-heng berseteru dengan mereka, tentunya mereka hendak mengejar Ceng-heng. Tapi mengingat bahwa kau telah mewarisi ketiga ilmu sam-ciau dari Thian-lam-ping- siu, jangan lagi mereka bertiga, sekalipun keempat Cuncia dan ketujuh Cincu itu menyusul kemari, Ceng-heng tentu masih dapat mengatasi!"

„Ah, saudara terlalu memuji. Tetapi mereka bukan memburu aku, melainkan hendak menangkap puteri Bo-ang Sancu si Tan He kongcu. Jika mereka mengincar diriku, asal aku menghindar tentu dapat terlepas. Tapi dikarenakan menyangkut diri Tan He kongcu, terpaksa aku tak dapat tinggal diam!"

Hoa Tan menatap wajah Ceng Ih lalu menegas: „Ceng- heng, mengapa kau berbuat begitu!” Dengan wajah bersungguh-sungguh Ceng Ih menyahut:

„Mungkin saudara tak mengetahui bahwa siaote pernah menerima budi pertolongan dari Tan He kongcu itu.”

Hoa Tan tertawa, tukasnya: „Mengapa Ceng-heng berkata begitu. Kalau Tan He kongcu mengetahui Ceng-heng sangat mengenangkannya, masakan ia tak datang kemari, mengapa hal itu Ceng-heng katakan tiada berjodoh?"

Waktu mengucap kata-kata „jodoh" itu, selebar muka Hoa Tan memerah dadu.

„Mudah-mudahan benar seperti yang Hoa-heng katakan itu. Tetapi mengingat Tan He kongcu itu seorang gadis terhormat, masakan ia mengharap pembalasan budi yang telah dilimpahkan padaku itu? Jadi dugaan Hoa-heng, kalau tahu iapun tentu suka datang kemari. rasanya tak mungkinlah. Oleh karena aku tengah mengemban urusan penting, jadi tak sempat untuk mencarinya. Mudah-mudahan setelah berhasil mendapatkan obat dari gunung Swat-san, aku dapat mencarinya untuk menghaturkan terima kasih," kata Ceng Ih.

Sewaktu mendengari kata-kata Ceng Ih itu, wajah Hoa Tan tampak termenung-menung seperti orang yang melayang pikirannya. Adalah karena Ceng Ih seorang pemuda jujur jadi dia tak menaruh perhatian lebih mendalam akan sikap yang aneh dari pemuda she Hoa itu. Buru-buru dia kembali ketempat duduknya.

Sambil mengangkat cawan arak, dia berkata: „Hoa-heng, karena diganggu Siang-hui dan kawan-kawan tadi maka sampai menunda hidangan arak. Marilah kita keringkan cawan, kemudian aku hendak menghaturkan kata-kata lagi.”

Hoa Tan agak terkesiap, namun diangkatnya juga cawan arak dan dikecupnya sedikit. Sebaliknya sekali teguk, Ceng Ih menghabiskan araknya. Setelah itu dia (Ceng Ih) membuka mulut: „Tentunya Hoa-heng mengetahui bahwa kita akan berpisah selama satu bulan. Maka kedatangan Hoa-heng kemari ini, tentu ada sebabnya.”

Hoa Tan mengangguk, jawabnya: „Sekalipun Ceng-heng tak bertanya, akupun akan mengatakan juga. Kedatanganku kemari ini adalah demi untuk ”

Hampir saja Ceng Ih berjingkrak bangun demi mendengar kata-kata itu, tanyanya tersipu-sipu: „Hoa-heng, apakah terjadi sesuatu pada supeh dan adik Wan?"

Hoa Tan menertawai kelakuan anak muda itu, sahutnya:

„Ai, Ceng-heng ini keliwat perangsang. Kalau supeh dan sumoaymu tertimpah sesuatu, masakan aku tinggalkan kemari?"

„Habis apakah maksud ucapan Hoa-heng itu?"

Hoa Tan pandang lekat-lekat kepada Ceng Ih, ujarnya:

„Karena Ceng-heng amat terburu-buru maka dalam perpisahan kala itu aku tak sempat memikirkan sesuatu. Ceng- heng, katakan, berapa puluh ribu li jauhnya perjalanan ke Swat-san itu? Sekalipun kau memiliki kepandaian sakti, namun manusia tetap terdiri dari darah dan daging. Sekalipun ditengah jalan kau tak menjumpahi halangan apa-apa, namun dapatkah Ceng-heng pulang balik dalam waktu sebulan itu?"

Ceng Ih termangu-mangu. Diam-diam dia mengakui kebenaran kata-kata pemuda Hoa itu. Tiga hari sudah dia tempuh perjalanan siang dan malam, tapi ternyata baru tiba dikota Thay-goan-hu. Ini belum ada sepersepuluh dari perjalanan yang bakal dilakukan itu. Jadi dalam waktu satu bulan itu, jangan lagi dapat pulang balik, sedangkan untuk mencapai gunung Swat-san itu saja, rasanya tak keburu lagi. Insyaf apa yang dihadapi itu. Ceng Ih menjadi gelisah.

„Tapi Ceng-heng tak perlu gelisah. Setelah Ceng-heng berlalu, tiba-tiba aku teringat kalau mempunyai seekor kuda lihay. Sekalipun bukan tergolong cian-li-ma (kuda yang dapat menempuh seribu li dalam sehari), namun dalam satu hari dapat juga dia menempuh delapan ratus li. Kedatanganku kemari ini, sengaja memang hendak mempersembahkan kuda itu kepada Ceng-heng. Dengan naik kuda itu, rasanya Ceng- heng tak perlu kuatir kalau tak dapat pulang pergi dalam waktu sebulan."

Saking diluap oleh rasa girang, sampai-sampai Ceng Ih lupa akan peradatan lagi. Serentak berbangkit, dia terus menyabat tangan Hoa Tan, serunya: „Bertubi-tubi Hoa-heng limpahkan budi padaku. Baru saja memberi mantel rase, kini seekor kuda jempol lagi. Kalau kuhaturkan terima kasih, rasanya dapat mengurangkan nilai kebaikan Hoa-heng, sebab bukankah pemberian budi yang ikhlas itu tak mengharap balasan ucapan terima kasih?"

Habis berkata begitu, tiba-tiba dia menghela napas panjang, ujarnya: „Betapakah nilai manusia seperti Ceng Ih ini, maka sampai Hoa-heng sudi memberi budi kebaikan yang berlimpah-limpah itu? Bagaimanakah dalam sepanjang hidup nanti Ceng Ih dapat membalas budi Hoa-heng itu!"

Selama bertukar cakap itu, Hoa Tan mandah membiarkan tangannya diterkam oleh Ceng Ih. Makin terharu, genggaman Ceng Ih itu makin kencang. Tiba-tiba Hoa Tan menarik tangannya dari genggaman Ceng Ih dan secepat angin bertiup, dia mencelat keluar dari jendela.

Pada lain kejap, terdengar ada ringkikan suara kuda. Dari arah suaranya, terang kuda itu sudah beberapa tombak jauhnya. Rupanya seperti kuda yang tengah meringkik-ringkik tak mau menurut perintah orang yang menaikinya. Kalau orang itu tuannya, tentulah takkan binatang itu berbuat begitu, jadi nyata kalau penunggangnya itu tentu lain orang, kebanyakan bangsa pencuri kuda.

Tanpa berayal lagi, Ceng Ih loncat keluar mengejar. Untung suara ringkikan kuda itu masih tetap kedengaran. Ketika tiba ditepi kota, ringkikan kuda itu sudah berada sekira tiga li disebelah muka. Heran Ceng Ih dibuatnya. Dengan gunakan ilmu gin-kang, dia dapat lari tak kalah pesatnya dengan seekor kuda. Tetapi mengapa jaraknya dengan kuda itu malah makin jauh? Saking gemasnya. dia tancap gas penuh-penuh (lari secepat-cepatnya).

Dibawah cahaya rembulan, tampak ada seekor kuda kuning emas lari bagaikan angin kencang. Jauh, jauh, makin jauh binatang itu. Tak berselang berapa lama kembali tampak ada sesosok tubuh orang berlari mengejar. Tapi sudah ketinggalan amat jauh sekali. Orang itu terpaksa hentikan larinya. Dengan banting-banting kaki, dia rubuh ketanah. Mulutnya kedengaran berkeretekan, seperti orang yang mendendam kemarahan besar.

Beberapa saat kemudian, barulah ada seorang lagi yang mendatangi. Orang baru itu berseru: „Hoa-heng, apakah tak dapat mengejarnya?”

Kiranya orang yang jatuhkan diri ketanah itu adalah Hoa Tan, sedang yang datang belakangan dan meneriakinya itu ialah Ceng Ih.

„Apakah yang mengadu biru ini wanita rendah itu lagi?" kata Hoa Tan dengan geram. Ceng Ih terkejut, serunya: „Siapakah wanita rendah itu?

Apakah Siang-hui?"

Hoa Tan tak menyahut, melainkan memandang jauh kesebelah muka. Samar-samar ringkikan kuda itu masih kedengaran. Ceng Ih menghampiri kesisi pemuda itu.

„Ceng-heng, tak terkira besarnya sesalku. Dengan memberikan kuda itu, kuyakin Ceng-heng tentu akan dapat pulang balik dengan tepat. Ah, siapa kira kuda itu dicuri orang!" kata Hoa Tan.

Ceng Ih sendiripun bukan kepalang kecewanya. Bermula, karena hanya terdorong oleh rangsangan hati, dia tak sempat memperhitungkan jarak perjalanan yang akan ditempuhnya itu. Kini setelah diperingatkan Hoa Tan baru dia sadar. Disitu barulah dia tahu betapa artinya kuda pemberian Hoa Tan itu.

„Terang sipencuri itu adalah Siang-hui. Akupun turut memikul kesalahan mengapa tadi memberi ampun pada wanita itu. Tapi apakah dia tak berhenti juga ditengah jalan, kalau kita kejar, masakan tak dapat mencandaknya?” kata Ceng Ih dengan bernapsu. Dalam pada itu dia memperhatikan selama dua kali dia menyebut nama Siang-hui tampak pemuda she Hoa itu selalu mengangguk. Sekilas dia mempunyai gambaran siapakah sebetulnya pemuda itu.

„Hem, dalam beberapa hari ini kau selalu mengelabuhiku, kiranya kau ini adalah ”

Baru dia berpikir begitu, tiba-tiba Hoa Tan kedengaran berkata dengan nada peranjat: „Ceng-heng, dengarkanlah! Apakah itu bukan suara ringkik kuda? Rupanya kuda itu menuju kemari, ayuh, kita kejar!" Ketika Ceng Ih pasang telinga, memang terdengar suara kuda lari makin mendekati. Buru-buru dia enjot tubuhnya lari menyusul Hoa Tan yang sudah lebih dahulu melesat pergi.

Ternyata kedua pemuda itu memiliki ilmu lari yang amat pesat sekali.

Angin terasa mendesis-desis disisi telinga dan pohon-pohon serasa berserabutan lari kearah belakang mereka. Kira-kira lima li jauhnya, ringkik kuda yang sebelumnya terdengar jelas itu, kini malah semakin jauh dan kemudian lenyap suaranya.

„Ceng-heng, mengapa suara kuda itu tak kedengaran lagi, jangan-jangan pencuri itu berganti jalan?" tiba-tiba Hoa Tan hentikan kakinya. Tapi baru saja dia mengucap begitu kembali terdengar ada suara kuda meringkik, jaraknya hanya kurang lebih sepuluhan tombak saja.

Belasan tombak disebelah muka, adalah sebuah hutan yang begitu lebat. Dari tengah hutan itulah tadi suara kuda itu terdengar. Hoa Tan dan Ceng Ih mengawasi kearah datangnya suara itu. Tiba-tiba dari tengah hutan itu berkelebat sebuah bayangan putih, tapi sekali melesat bayangan itu sudah lenyap dan suara kudapun sudah kedengaran amat jauh.

Segera mereka mengejar lagi. Demikianlah sebentar berhenti sebentar kejar mengejar begitu, tahu-tahu haripun sudah mulai terang tanah. Tiba-tiba Ceng Ih mendapat suatu pikiran. Dia hentikan larinya dan berseru: „Hoa-heng, harap berhenti dulu. Nyata kalau mencuri itu tengah mempermainkan kita, rupanya dia hendak memikat kita pergi ketempatnya!"

„Ya, akupun agak jelas persoalannya. Kukira orang itu hanya seorang pencuri kuda biasa, tapi setelah hampir semalam suntuk kita kejar, ternyata bukan dianya. Terang orang itu berpakaian putih, bukan merah!" sahut Hoa Tan.

Ceng Ih menyeringai. Dia kira kalau dialah yang mengetahui hal itu lebih dahulu, kiranya sang kawan itu sudah siang-siang mencium bau.

„Hoa-heng, kita mempunyai persamaan pendapat. Dengan maksud memikat kita berdua itu, tentu pencuri itu mempunyai maksud tertentu. Sebaiknya kita hentikan pengejaran, dia tentu akan balik mencari kita!" kata Ceng Ih.

Hoa Tan mengagumi kecerdikan Ceng Ih, dia mengiakan:

„Ceng-heng benar. Apalagi saat ini sudah fajar, kalau berlari- larian mengejar tentu menarik perhatian orang."

„Hoa-heng, coba lihatlah disebelah muka sana itu ada sebuah dusun. Baik kita melepaskan lelah disitu sembari cari keterangan," kata Ceng Ih sembari menunjuk kesebelah muka.

Ceng Ih tampaknya seperti orang berputus asa. Dia sudah ambil putusan karena tak ada harapan lagi untuk merampas balik kuda yang dicuri orang itu, lebih baik dia segera lanjutkan perjalanan lagi saja.

Hoa Tan mengiakan dan keduanya segera menuju kedesa itu. Sepagi itu ternyata desa itu sudah ramai. Namun ketika bertanya, tiada seorangpun yang pernah melihat bayangan kuda bulu kuning emas.

Kini Hoa Tan sudah yakin bahwa pencuri kudanya itu bukan Siang-hui. Sedang Ceng Ih sudah mupus. Sebelumnya dia memang tak mempunyai kuda, kalau sekarang kuda pemberian Hoa Tan itu hilang, itu sama juga artinya, jadi tak perlu dibuat gegetun. 

Dari keterangan salah seorang penduduk, ternyata desa itu terletak disebelah barat daja dari kota Thay-goan-hu.

Kebetulan sekali, itulah arah jalan kegunung Swat-san. Yang lebih menggirangkan lagi, ternyata tadi malam itu dia sudah berlari sampai jarak dua ratusan li.

Rupanya gerak gerik Ceng Ih menanyakan jalan itu, diketahui juga oleh Hoa Tan. Begitu Ceng Ih datang, pemuda she Hoa menghela napas, ujarnya: „Rupanya ada orang sengaja menggagalkan usahaku untuk membantumu lekas- lekas mencapai Swat-san. Walaupun belum kita ketahui siapakah orang itu, tapi yang nyata dia itu jauh lebih lihay dari kita berdua.”

„Budi Hoa-heng tak nanti kulupakan untuk selama-lamanya. Atas kejadian yang tak tersangka-sangka itu, harap Hoa-heng jangan ambil dihati benar-benar. Ada atau tidak kuda itu, aku segera akan berangkat ke Swat-san. Maaf karena waktunya keliwat mendesak. jadi aku terpaksa tak dapat membantu

Hoa-heng mengejar pencuri itu,” kata Ceng Ih. Dengan itu, Ceng Ih hendak sampaikan kata-kata perpisahan.

Tapi baru saja dia berkata, tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda dari arah belakang mereka. Hai, itulah ringkik kuda say-cu-ma berlari mendatangi. Hoa Tan dan Ceng Ih cepat menanti jalan. Benar juga lewat beberapa detik, tampak seekor kuda bulu kuning emas berlari mendatangi. Saking pesatnya, penunggangnya itu tak kelihatan jelas wajahnya, hanya pakaiannya saja yang serba putih.

Secepat kuda itu tiba, secepat kilat pula Hoa Tan loncat menerkam bulu suri si binatang. Karena kuatir melukai kuda. Ceng Ih tak berani gunakan sin-kang (ilmu sakti). Dia hanya loncat lintangkan sepasang tangan, menghadang ditengah jalan. Diluar dugaan, kuda itu meringkik keras, sekali memijak bumi binatang itu loncat sampai tiga tombak tingginya, melayang diatas kepala kedua penghadangnya itu. Gerakan kuda itu tak ubahnya seperti seekor kuda terbang.

Seketika timbullah kegemparan pada orang-orang yang berada dijalanan situ. Adalah ditengah-tengah hiruk pikuk suara orang-orang itu, Hoa Tan sudah melesat seperti anak panah untuk mengejar.

Untuk sesaat Ceng Ih agak agak kesima. Betapapun cepatnya kuda itu, namun jelas dilihatnya tadi bahwa penunggangnya itu adalah seorang gadis berpakaian putih. Samar-samar dia seperti sudah pernah melihat gadis itu, terutama pita warna hijau yang menghias rambutnya itu!

Setelah tersadar, buru-buru dia lari menyusul.

Diluar desa itu, tampak pada jarak belasan tombak disebelah muka sana, Hoa Tan tengah mati-matian mengejar kuda itu. Namun dia (Hoa Tan) tetap ketinggalan jauh dibelakang. Lapat-lapat terdengar gadis penunggang kuda itu tertawa mengikik, namun suara itu makin jauh dan orangnyapun makin tak kelihatan. Mengejar sepuluhan li lagi, kuda itu sudah lenyap dari pemandangan. Hoa Tan hentikan larinya, menyusul Ceng Ihpun tiba.

„Lagi-lagi terlepas, Fui, pencuri itu seorang gadis!" kata Hoa Tan sembari banting-banting kaki.

Sebaliknya demi mendengar suara Hoa Tan itu, Ceng Ih terkesiap.

„Ai, inikan suara perempuan, jangan-jangan dia itu memang benar. Ah, kalau seorang wanita tentu tak punya biji kerongkongan (kalamenjing). Kalau benar demikian, tentulah dia itu penyaruan dari Tan He kongcu!” diam-diam Ceng Ih berkata dalam hati. Tapi waktu dia hendak mengawasi kearah tenggorokan orang, ternyata Hoa Tan tengah menunduk seperti orang mendengari sesuatu.

„Ceng-heng ayuh lekas kejar, pencuri itu datang kembali!” katanya sembari terus loncat lari.

Kiranya tempat Ceng Ih berdiri disitu, adalah diatas lamping sebuah gunung. Ketika memandang kebawah, ternyata ditegalan di bawah gunung sana ada sebuah benda berwarna kuning emas lari. Jelaslah kini bahwa orang itu bukan semata- mata hendak mencuri kuda saja, tapi memang bermaksud hendak memikat perhatian orang.

Sembari lari turun, Ceng Ih berpikir seorang diri: „Aku baru saja turun didunia persilatan, kecuali Bo-ang Sancu, aku merasa tak mempunyai musuh lagi. Ya, apakah gerangan maksud gadis yang mencuri kuda itu?"

Saat itu diapun sudah tiba ditempat munculnya kuda tadi, tapi ternyata sudah terlambat. Baik penunggang kuda itu maupun Hoa Tan sudah tak kelihatan bayangannya lagi. Oleh karena tempat itu dikelilingi oleh hutan, jadi dia tak dapat melihat ketempat yang jauh. Tengah dia bersangsi, tiba-tiba dari arah belakang terdengar sebuah tertawa melengking. Hai, itulah nada ketawa gadis yang melarikan kuda say-cu-hoa!

„Siapa kau?!" bentak Ceng Ih sembari putar tubuh dan siapkan tinjunya kedada.

Tapi baik dibelakangnya, maupun dihutan situ, tak tampak barang seorang insanpun juga. Yang terdengar hanyalah suara pepohonan berderek-derek tertiup angin. Dalam detik berputar tubuh yang hanya berlangsung setengah kejapan mata itu, terdengarlah jauh disebelah sana suara kuda bebenger. Mendengar suara ketawa, tapi begitu ditengok sudah tak kelihatan orangnya dan pada lain kejap orang itu sudah mencongklangkan kuda jauh sekali. Manusia atau setankah dia itu? Mau tak mau bulu roma Ceng Ih sama berdiri. Pada lain kejap, dia segera gunakan ilmu gin-kang lari menuju kepuncak gunung. Pikirnya disana dia tentu akan berjumpa dengan Hoa Tan.

Memang apa yang diduga Ceng Ih itu benar adanya. Hanya saja Hoa Tanpun mengalami nasib serupa. Dia yang memburu si pencuri kuda itu, pun mendapat hidung panjang.

Penunggang kuda itu lenyap secara gaib.

„Yang terang dia bukan Siang-hui. Tapi siapakah gerangan dia itu? Aku belum pernah terjun kedalam dunia persilatan, tapi mengapa ada orang memusuhiku?” pikirnya. Tengah dia melamun itu sekonyong-konyong dari arah belakang terdengar ketawa orang. Dia yang tetap waspada sudah cepat berputar dan menyerbu kearah suara itu.

Cepat sekalipun dia bergerak itu, namun mengalami juga nasib seperti Ceng Ih. Tiada barang sesosok bayanganpun yang dijumpahinya. Dan berbareng itu, jauh disebelah sana terdengarlah suara kuda say-cu-hoa meringkik. Hoa Tan pun menderita kegoncangan yang membuat bulu romanya sama berdiri. Tapi dengan sebatnya dia sudah segera lari memburu kearah suara kuda itu. Tepat pada saat dia mengejar dan dapatkan kuda itu tidak kedengaran ringkikannya lagi, Ceng Ihpun tiba ditempatnya tadi. (tempat dimana Hoa Tan mendengar ringkik kuda dan lalu lari mengejar).

Jadi dengan demikian, Ceng Ih dan Hoa Tan itu dibikin seperti orang main udak. Keduanya seperti dipisahkan makin lama makin jauh. Pada hari itu gadis yang hanya mau unjukkan kepala tapi sembunyikan ekor itu, menyuruh Ceng Ih dan Hoa Tan saling godak sampai tiga-empat ratus li jauhnya 

Kedua pemuda itu makin percaya penuh kalau ilmu gin- kang dari gadis misterius itu, jauh lebih hebat dari mereka. Dengan mendongkol dalam kagumnya, mereka berdua mengejar sampai hampir petang, namun tetap menubruk bayangan kosong saja. Saat itu mereka tiba didekat daerah sungai Hong-ho. Sembari menyusur tepi sungai, Ceng Ih tak putus-putusnya bertanya pada orang yang dijumpahinya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar