Panji Sakti Bab 07 : Budi Tan He Kongcu

7. Budi Tan He Kongcu

„Supeh, harap lekas menuturkan tentang diri Lojin itu, karena sutit hendak lekas-lekas berangkat,” buru-buru dia mendesak.

„Ya, yah, dia mempunyai seorang anak perempuan, mengapa dibuat aneh, dan mengapa anak haram?" sebaliknya Wan-ji bernapsu untuk mendengar cerita ayahnya.

Thiam-lam-ping-siu geleng-geleng kepala, ujarnya: „Tadi dengan ilmuku thia-thong-ji itu, dapatlah kuketahui akan kedatangan Swat-san Lojin. Tapi bahwasanya anak perempuannyapun ikut datang, sama sekali tak dapat kutangkap suaranya. Thian-thong-ji itu sebenarnya suatu ilmu menangkap suara yang sakti, kecuali hanya terhadap orang yang sudah sempurna lwekangnya saja, dapat lolos dari tangkapan thian-thong-ji itu. Cerita itu amat panjang untuk dituturkan. Oleh karena Ih-ji kesusu hendak berangkat, jadi biarlah lain kali saja kuceritakan. Hanya tentang diri Lojin itu ketika pada masa itu dia muncul, dunia persilatan menjadi gempar. Ada beberapa ciang-bun-jin (ahliwaris) dari beberapa partai persilatan, jatuh ditangannya. Dunia persilatan paling mengutamakan budi dan dendam. Dengan binasanya beberapa ciang-bun-jin itu, maka partai-partai persilatan bersatu padu untuk mengadakan pembalasan. Namun terhadap tokoh macam Swat-san Lojin itu, orang-orang itu sekalipun berjumlah besar, tetap seperti telur membentur tanduk saja. Ketika itu aku masih muda, dengan mengandalkan Panji Sakti dan terdorong oleh tugas menyelamatkan kaum persilatan, terpaksa tak dapat berpeluk tangan. Apalagi kuatir kalau orang-orang dari seluruh partai itu akan jatuh banyak korban, maka seorang diri aku tampil menghadapinya. Juga dalam keyakinanku, tetap aku tak percaya bahwa Lojin itu mampu menandingi ketiga sin-ciau pusaka Panji Sakti itu.”

Sampai disini, suara Thian-lam makin lemah, nyata napasnya memburu. Buru-buru Ceng Ih berbangkit, katanya:

„Supeh, sudahlah jangan melanjutkan lagi. Kupercaya dengan ketiga sin-ciau itu, supeh dapat mengenyahkan Swat-san Lojin dari daerah Tiong-goan (Tiongkok). Walaupun kini orang tua itu muncul kembali dengan ilmunya yang sakti, namun rasanya supeh takkan kalah terhadapnya. Tetapi persoalan sekarang ini, berbeda jauh dari mencari permusuhan, karena Lojin itu suruh aku datang kesana meminta obat. Sekalipun kepandaian sutit masih dangkal, tetapi dengan membawa

rasa-damai rasanya takkan kena apa-apa. Harap supeh menjaga diri baik-baik, karena sekarang juga sutit hendak berangkat."

Habis berkata Ceng Ih lantas memberi hormat selaku minta diri. Thian-lam-ping-siu menghela napas, ujarnya: „Kutahu kau cemas akan penyakitku, tetapi bukankah telah kukatakan tadi, jangan terburu pergi dulu, dengarkan ceritaku ”

Baru dia mengucap sampai disini, tiba-tiba jago buta itu tertegun, sikapnya seperti mendengarkan sesuatu. Memang pada saat itu, diluar goa ada seseorang tengah memasang telinganya. Adalah ketika Thian-lam berhenti menutur itu, orang itupun terbeliak. Kuatir dipergoki, secepat kilat dia melesat ketempat gelap.

Kejadian itu sama sekali diluar pengetahuan Ceng Ih dan Wan-ji. Tiba-tiba tampak wajah Thian-lam-ping-siu berobah, tetapi hanya untuk sekejap saja. Pada lain saat dia sudah bersikap tenang kembali lalu melanjutkan kata-katanya: „Pada masa itu kupimpin kaum persilatan untuk mencari Swat-san Lojin. Tetapi tak usah dicari ternyata Lojin itu sudah datang sendiri. Hatiku menjadi tegang. Bahwa aku menjadi ahliwaris Panji Sakti dan memiliki ketiga sin-ciau yang menggetarkan dunia itu, dia tentu sudah tahu. Tapi bahwasanya dia berani datang sendiri, terang kalau dia sudah mempunyai pegangan untuk mengatasi diriku. Berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh, mau tak mau perasaanku menjadi goncang.”

„Tadi aku hanya mendengar suaranya saja tapi tak melihat orangnya. Entah apakah Lojin itu masih seperti pada masa itu. Pada waktu itu, kedatangannya seperti tebaran hujan salju.

Mula-mula tipis lalu lama kelamaan tebal dan tahu-tahu berobah menjadi sesosok tubuh orang. Munculnya secara luar biasa itu saja, telah menyebabkan pemimpin-pemimpin partai itu mundur teratur. Tiba-tiba Lojin itu tertawa meloroh, nadanya telah meruntuhkan nyali orang. Ucapannya yang pertama-tama, ialah dia hendak minta pengajaran padaku akan ketiga sin-ciau itu!"

„Yah, kau tentu dapat mengalahkannya!" tiba-tiba Wan-ji menyeletuk. Wan-ji masih penasaran karena pedangnya dijepit kutung, karenanya ia harap ayahnya dapat mengalahkan orang tua aneh itu.

Namun diluar dugaan, Thian-lam menghela napas, sahutnya: „Kala itu aku berpikir, kecuali dengan ketiga sin- ciau, tak nanti dapat menundukkannya."

Ceng Ih dan Wan-ji mendengari dengan mata terbeliak, tapi tiba-tiba Thian-lam geleng-geleng kepala, katanya pula:

„Dengan peyakinanku ketiga sin-kang yang sudah cukup dalam itu, sejurus demi sejurus kulancarkan, namun tak dapat mengapa-apakan dia. Bagaimana kejutku, sukar dilukis! Diluar dugaan, Lojin itu tak mau balas menyerang. Dengan tertawa gelak-gelak dia berkata: „Kalau aku tak datang, kalian tentu masih penasaran. Tapi janganlah kalian takut. Aku tetap memegang janji pada Hoa-he Hi-hu. Aku takkan membikin susah pada kalian. Nah, sejak sekarang aku akan kembali ke Swat-san!” Habis berkata, serupa dengan datangnya tadi, tiba-tiba ada segunduk awan putih melayang naik dan pada lain kejap, lenyaplah orang aneh itu.”

Walaupun tadi Ceng Ih dan Wan-ji sudah menyaksikan sendiri bagaimana kesaktian Swat-san Lojin dan gadisnya itu, namun mereka tetap terperanjat. Ceng Ih nampak berduka. Kalau begitu halnya, sekalipun dia nanti sudah sempurna meyakinkan ketiga jurus pukulan sakit itu, tetap tak dapat mengalahkan orang tua dari gunung salju itu.

Thian-lam-ping-siu melanjutkan pula: „Belakangan terdengar kabar, ketika dalam perjalanan pulang ke Swat-san, Swat-san Lojin membawa seorang wanita cantik. Wanita itu

.......”

Thian-lam berhenti dan menggeleng-geleng kepala.

„Bukankah wanita itu ibu dari gadis tadi? Sedemikian lanjut usianya, mengapa Lojin itu masih menikah dengan seorang wanita muda!" kata Ceng Ih.

Thian-lam-ping-siu mengangguk, jawabnya: „Adalah karena wanita itu, maka timbullah berbagai urusan dikemudian hari.

Munculnya Swat-san Lojin kali ini, jangan-jangan ada hubungannya dengan urusan itu. Kalau benar demikian, dikuatirkan dunia persilatan akan mengalami banjir darah lagi!"

Betapapun keinginan Ceng Ih untuk mendengarkan habis cerita supehnya itu, namun kecemasannya akan keadaan supehnya itu, lebih benar. Akhirnya dia minta supehnya menunda dulu ceritanya itu sampai lain kali saja, karena itu segera dia akan berangkat. Kemudian berpaling memberi salam kepada Wan-ji, dia memberi pesan: „Adik Wan, dalam sebulan ini harap kau menjaga baik-baik pada supeh. Sedapat mungkin jangan keluar goa, agar tak ketahuan musuh!"

Setelah memberi hormat kepada Thian-lam-ping-siu, Ceng Ih lalu melangkah keluar. Satu-satunya bekal Ceng Ih hanya sebatang pedang. Thian-lampun tak mencegahnya lagi. Ketika Wan-ji hendak berbangkit mengantar, Thian-lam mencegahnya: „Wan-ji, jangan keluar. Tutup sajalah pintunya. Adanya Swat-san Lojin menyuruhnya datang sendiri, tentu ada sebabnya. Jiwaku ini, rasanya tak perlu dikuatirkan lagi. Hanya dikuatirkan kali ini Ih-ji akan mengalami hal-hal yang rumit."

Kembali jago tua itu menghela napas dalam. Adalah ketika Ceng Ih keluar dari goa rahasia itu, bayangan yang bersembunyi ditempat gelap tadipun mendahului keluar dan melenyapkan diri. Maka ketika Ceng Ih keluar dihalaman, didapatinya disekeliling tempat situ tiada sesuatu yang mencurigakan. Namun untuk meyakinkan, dia loncat keatas karang dan memandang disekitarnya. Setelah tak nampak sesuatu apa, berkatalah dia seorang diri: „Bo-ang Sancu telah terpatah nyalinya oleh Swat-san Lojin, untuk sementara waktu ini dia tentu tak berani datang mengganggu kemari.”

Dengan lega hati dia loncat turun dan terus lari kebawah gunung. Ketika tiba ditempat dimana dia pernah menempur keempat Cuncia, tiba-tiba ada sesosok tubuh melayang. Orang itu memakai ikat kepala orang sekolahan. Batu permata yang terpasang pada bagian dahinya, berkilat-kilat tertimpah sinar rembulan. Kejut Ceng Ih bukan kepalang.

Sebaliknya orang itu tertawa melengking, serunya: „Ceng- heng hendak bepergian jauh, siaote sengaja datang mengantar perpisahan!" Tadi jelas diperiksanya bahwa disekeliling tempat goa situ tiada tampak barang sesuatu yang mencurigakan, maka betapa kejut Ceng Ih demi anak sekolahan itu tahu-tahu muncul dihadapannya. Namun dia cepat-cepat memberi hormat, sahutnya: „Oh, kiranya hengtay. Dalam beberapa hari ini sudah berkali-kali hengtay datang, sayang siaote tak ada. Kalau tiada bantuan hengtay, pastilah supeh sudah tercelaka. Kalau hengtay tak datang sekarang, sungguh siaote akan penasaran sekali.”

Mendengar kata-kata penasaran itu, si anak sekolahan agak terkesiap. Tapi Ceng Ih melanjutkan lagi kata-katanya: „Kali ini siaote hendak mengadakan perjalanan jauh. Mengingat hengtay seorang kelana yang menjalankan dharma kebajikan, maka kukuatir kalau tak berjumpa lagi sekarang, siaote, supeh dan sumoay tentu tak sempat lagi menghaturkan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya!"

Ceng Ih mengakhiri kata-katanya dengan membungkuk badan memberi hormat. Mengetahui, rasa penasaran Ceng Ih itu karena hendak menyatakan terima kasih, anak sekolahan itu tertawa mengikik. Ai, mengapa seorang pemuda dapat tertawa mengikik seperti nada tertawa anak gadis? Namun karena Ceng Ih tengah membungkuk jadi dia tak sempat memperhatikan gerak gerik anak sekolahan yang serba aneh itu.

Buru-buru anak sekolahan itu menanggapi: „Mengapa Ceng-heng berkata begitu? Walaupun kita berdua belum saling kenal, tapi pepatah mengatakan bahwa 'didalam laut tentu saling mengetahui, langit dan cakrawala itu adalah bertetangga'. Adakah setiap perjumpaan itu harus berkenalan lebih dahulu? Karena Ceng-heng hendak bepergian jauh, kuharap suka menjaga diri baik-baik. Peribahasa mengatakan: 'gunung kan tetap menghijau, air nan tetap mengalir'

Mengapa Ceng-heng ketahui kalau kita takkan saling berjumpa lagi?"

Mendengar kata-kata itu, timbul pertanyaan dalam hati Ceng Ih: „Dalam beberapa hari ini, setiap kali dia datang, tentu aku tak berada. Rasanya hal itu bukan sesuatu hal kebetulan, tapi memang sengaja dia hendak menyingkiri aku.”

Tiba-tiba terkilas sesuatu dalam hatinya, pikirnya: „Ai, Ceng Ih. Ceng Ih. Masakan didunia terdapat seorang tolol seperti kau? Adanya dia datang selagi kau tak ada itu, tentu ada maksudnya. Ya, disengaja supaya dapat seorang diri dengan Wan-ji. Bukankah dia memberi seperangkat pakaian pada Wan-ji dan berlaku begitu menghormat terhadap supeh?"

Mengira dugaannya itu benar, Ceng Ih bersenyum kepada anak sekolahan itu. Sebaliknya orang itu menundukkan kepala kemalu-maluan.

„Kepandaiannya nyata tak dibawahku, tapi mengapa dia begitu pemaluan," diam-diam Ceng Ih membatin.

Tiba-tiba anak sekolahan itu mendongak kemuka. Dengan wajah masih bersemu merah, dia berkata: „Kutahu kepergian Ceng-heng ke Swat-san kali ini, amat terburu-buru sekali, jadi tak sempat membawa perbekalan. Nah, siaote sudah mempersiapkan perkenalan itu, harap Ceng-heng suka menerimanya!"

Kembali Ceng Ih heran mengapa anak sekolahan itu tahu kalau dia hendak menuju ke Swat-san. Namun buru-buru dia menghaturkan terima kasih dan menyambuti bungkusan itu. Ketika dibuka, ternyata dalamnya terisi sebuah mantel dari kulit rase. Itulah mantel yang biasa dipakai oleh anak sekolahan itu sendiri, anak muda itu kini hanya memakai baju biasa. Rasanya baru saja anak sekolahan itu melepas mantelnya itu. Saking diliputi oleh rasa syukur, untuk sesaat Ceng Ih tak dapat mengucap barang sepatah kata. Hatinya bertanya sendiri, mengapa anak sekolahan itu sedemikian baiknya terhadap dia. Mulut terkancing, mata lekat-lekat memandang kepada si anak sekolahan.

Rupanya pemuda itupun tahu juga apa yang dikandung dalam hati Ceng Ih. Kembali wajahnya menebar warna merah. Kemudian dengan menyungging senyum, dia berkata : „Harap Ceng-heng jangan pikirkan apa-apa tentang baju rase itu.

Oleh karena leng-supeh sangat memerlukan obat itu, harap Ceng-heng lekas berangkat saja!”

Habis berkata, si anak sekolah tampak memberi hormat selaku perpisahan. Oleh karena orang begitu bersungguh- sungguh, Ceng Ihpun tak enak untuk menolaknya. Tersipu- sipu dia menghaturkan terima kasih. Setelah menyampirkan mantel itu dibahunya, diapun segera berputar tubuh mengayunkan langkah.

Anak sekolahan itu mengantarkan kepergian Ceng Ih dengan sorot mata yang iba. Sesaat kedengaran mulutnya berkata seorang diri: „Dia telah pergi, ya, sudah pergi. Dalam sebulan lagi baru kembali. Ah, betapa lama nian waktu sebulan itu. Sebuian, tiga puluh hari lamanya aku takkan melihat wajahnya lagi ”

Entah apa sebabnya, matanya berlinang-linang air mata. Ia tampaknya seperti kehilangan sesuatu. Angin pegunungan yang meniup bajunya itu, seolah-olah tak dihiraukannya.

Sejenak kemudian, tiba-tiba wajahnya berseri girang. Sepasang matanyapun bercahaya pula, katanya: Ai, mengapa dia kembali, apakah dia tak jadi pergi!”

Kearah yang dipandangnya itu, tampak Ceng Ih bergegas- gegas lari mendatangi. Mengapa Ceng Ih kembali saja, anak sekolahan itu menjadi kegirangan? Demi Ceng Ih tiba, dia cepat-cepat menyongsongnya : ''Mengapa Ceng-heng kembali lagi ?”

Dengan wajah gegetun, menyahutlah Ceng Ih: „Siaote sungguh seorang limbung. Beberapa kali menerima budi pertolongan hengtay dan kali ini menerima pemberian mantel kulit rase, siaote terus terburu-buru pergi tanpa menanyakan lebih dahulu nama hengtay yang mulia ini. Sudilah hengtay memberitahukan, agar siaote dapat mengukir dalam sanubari!”

Lagi-lagi anak sekolahan itu kemerah-merahan wajahnya.

Aneh ini! Masakan seorang persilatan begitu malu untuk memberitahukan namanya saja.

Siaote orang she Hoa sahutnya lalu berhenti lagi tanpa mengatakan namanya.

Ceng Ih mendengari dengan hikmat. Anak sekolahan itu menundukkan kepala, beberapa saat kemudian baru berkata lagi: „Siaote bernama tunggal ‘Tan’!”

She Hoa, nama Tan, sungguh sebuah she yang aneh dan nama yang ganjil. Namun karena Ceng Ih tergesa-gesa jadi dia tak sempat memikirkan she dan nama yang aneh itu.

Secepat memberi hormat. dia segera minta diri: „Hoa-heng, siaote hendak minta diri. Bila Hoa-heng belum meninggalkan tempat ini, sudilah kiranya sering menjenguk supeh dan sumoayku!”

Begitu membungkuk tubuh memberi hormat, Ceng Ih segera loncat pergi tanpa menoleh lagi. Anak sekolahan itu baru saja hendak balas memberi hormat, atau Ceng Ih sudah melesat jauh. „Kau pergi, hanya cara begini saja kau berangkat.

Sepatahpun kau tak menanyakan diriku lagi!” kedengaran anak sekolahan itu mengingau seorang diri. Kembali wajahnya mengerut. Ditaburi sepasang alis yang indah, wajahnya itu nampak bagaikan sebuah lukisan.

Tapi adakah Ceng Ih benar-benar berhati dingin seperti yang diduga anak sekolahan itu? Tidak. Sebenarnya diapun ingin berkenalan lebih lanjut dengan pemuda yang serba aneh gerak geriknya dan berkepandaian tinggi itu. Hanya karena ingin lekas-lekas memulai per¬jalanan jadi terpaksa untuk sementara waktu maksudnya itu ditangguhkan. Pikirnya:

„Gunung kan tetap menghijau, air nan senantiasa mengalir. Dia begitu memperhatikan Wan-ji dan Wan-jipun rasanya ada hati padanya. Mungkin sekembalinya anak sekolahan itu masih berada disini. Jadi biarlah lain kali sa¬ja kutanyakan!”

Ceng Ih belum pernah pergi ke Se-pak (perbatasan utara), jadi dia tak begitu paham jalanan. Tapi dia pernah mendengar bahwa gunung Swat-san itu terletak dipropinsi Se-kiang (Tibet), jadi dia langsung menuju kesebelah barat saja. Ketika melintasi sebuah puncak gunung yang tinggi, dia berpaling dan astaganya. kiranya anak sekolahan itu masih tegak berdiri ditempatnya. Dalam herannya, tergerak juga hati Ceng Ih akan kesungguhan hati anak sekolahan itu mengikat tali persahabatan. Diam-diam dia merasa bersyukur karena telah bertemu dengan seorang sahabat yang begitu tulus ikhlas.

Setelah memandang untuk yang penghabisan kali, dia berputar tubuh menuju kearah barat lagi.

> ∞ <

Kira-kira tiga hari kemudian, diluar pintu sebuah kota tampak mendatangi seorang penunggang kuda. Penungang itu seorang anak muda yang mukanya penuh berlumuran debu. Dia loncat turun dan membaca huruf-huruf besar yang tertera pada pintu kota itu. Tay-goan-hu, demikian bunyi tulisan yang menyatakan nama kota itu.

Walaupun mukanya berlumuran debu, namun tak dapat menutupi matanya yang indah bak bintang kejora itu. Dia mengenakan kain kepala seorang anak sekolahan. Batu permata yang menghias pada kain kepala itu berkilauan tertimpah sinar lampu. Ya, memang pemuda itu bukan lain ialah si anak sekoiahan yang menyebut dirinya sebagai Hoa Tan. Dengan menuntun kudanya, Hoa Tan masuk kedalam kota. Tapi baru saja dia melangkah beberapa tindak, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki kuda mendatangi.

Berselang sepeminum teh lamanya Hoa Tan dapat menyembunyikan diri, penunggang dari kawanan pendatang itu, sudah tiba diambang pintu kota. Begitu loncat turun, ternyata ia itu seorang wanita. Dibawah cahaya lampu, tampak ia itu dalam pakaian kemerah-merahan. Ia tampak mencopot kain kepalanya yang juga berwarna merah. Sekali dilambaikan, penunggang kuda yang datang belakangan, segera loncat turun. Mereka ternyata dua orang tosu yang berjubah merah, umurnya diantara lima puluhan tahun.

Sepintas tentu pembaca maklum siapa-apa mereka itu.

Wanita berbaju merah itu ialah selir Bo-ang Sancu si Siang-hui dan kedua tosu tua itu adalah petugas keamanan gunung Siao-ngo-tay-san, kedua Sian-ong.

„Kuda say-cu-hoa dari budak perempuan itu benar-benar pesat sekali. Kita cari didalam kota sini. Kalau tak ada, kita harus lekas-lekas mengejarnya lagi," kata Siang-hui kepada kedua Sian-ong. Sahut kedua Sian-ong: „Memang benar begitu. Tapi Tan He kongcu adalah puteri kesayangan Sancu, kalau berjumpa, harap Siang-hui jangan turunkan tangan ganas padanya!"

Kerut wajah Siang-hui melekuk, ujarnya: „Budak itu keliwat kurang ajarnya, mengapa harus diampuni!"

Kedua Sian-ong itu bercekat. Tan He kongcu adalah puteri kesayangan Bo-ang Sancu, tapi Siang-hui itupun selir yang paling dikasihi pemimpin itu. Sebagai orang sebawahan, sudah tentu ke dua Sian-ong itu tak berani membantah perintah Siang-hui untuk diajak mengejar Tan He. Benar-benar mereka berdua dalam keadaan serba salah.

Baru Siang-hui habis mengucap, sekonyong-konyong tampak ada seorang berlari-lari mendatangi. Sekujur badan sampai rambut orang itu penuh berlumuran debu. Sikapnya amat ter-buru-buru sekali. Ketika dekat, barulah ketahuan kalau orang itu Ceng Ih adanya. Kala itu matahari sudah condong disebelah barat, orang-orangpun sudah jarang yang masuk keluar pintu kota.

Karena Ceng Ih menyelinap diantara orang-orang yang berjalan jadi tak diketahui oleh Siang-hui. Sebaliknya Ceng Ih dari kejauhan sudah mengetahui masuknya Siang-hui dan kedua pengikutnya itu kedalam kota.

„Ah, walaupun aku tak gentar menghadapi mereka, tapi keadaan supeh itu perlu lekas-lekas ditolong. Lebih baik aku menghindarkan diri saja," demikian Ceng Ih mengambil putusan. Diapun segera menggabungkan diri kedalam rombongan orang-orang yang berjalan.

„Walaupun say-cu-hoa-cian-li-ma itu seekor kuda sakti sehingga kita tak mudah mengejarnya, namun ciri-ciri kuda yang berbulu kuning emas itu amat kentara sekali dan mudah dikenal orang. Adakah budak itu sudah sampai dikota Thay- goan-hu atau belum, mudah kita tanyakan orang,” kata Siang- hui sembari menuntun kudanya.

Kedua Sian-ong itu tersipu-sipu mengiakan. Ceng Ih yang menguntit dibelakang, dapat mendengar jelas akan pembicaraan ketiga orang itu.

„Ai, kiranya mereka itu tak bermaksud mencegat aku, melainkan akan mengejar Tan He koncu itu. Benar aku mempunyai urusan penting, tapi mengingat Tan He kongcu itu pernah menolong mengeluarkan aku dari penyara Han-tham (rawa dingin), tak seharusnya aku berpeluk tangan saja," kata Ceng Ih dalam hati.

Sesaat benak Ceng Ih membayangkan seorang gadis cantik yang mempunyai sepasang mata dan alis bagai bunga Bo-tan dan gerak tubuhnya yang lemah semampai laksana He (bianglala) bertebar. Tapi karena dia merenung itu, pada lain saat didapatinya Siang-hui dan kedua Sian-ong itu sudah tak tampak bayangannya.

Kiranya dengan mendapat perhatian besar dari orang-orang yang tengah berjalan karena warna pakaiannya yang merah itu, Siang-hui menuju kesebelah utara. Tiba-tiba ia menunjuk kesebuah rumah penginapan, ujarnya: „Rumah penginapan ini cukup bagus, banyak tetamunya. Baik kita mencari keterangan disitu!"

Sembari berjalan kesitu wanita itu mendengus seorang diri:

„Aku tak percaya budak itu dapat terlepas dari tanganku!"

Pada saat itu distal kuda yang terletak dibelakang rumah penginapan itu, si anak muda sekolahan sedang melepaskan pelana kudanya. Serasi dengan pakaiannya, pelana kudanya itupun indah dan mahal sekali. Habis melepas pelana, pemuda itu mengelus-elus bulu suri kudanya seraya berkata: „Say-cu- hoa, aku hendak menyuruhmu mengantar orang. Hari ini belum dapat menjumpahi orang itu, tapi besok pagi tentu sudah. Selanjutnya kuminta kau baik-baik mengantarkan menempuh perjalanan berpuluh ribu li!”

Kala itu Siang-hui dan kedua Sian-ong tengah clipersilahkan masuk oleh pelayan rumah penginapan. Beberapa saat kemudian, diantara orang-orang yang berjalan dijalanan sana, tampak seseorang menyelonong masuk kedalam rumah penginapan situ. Orang itu mengenakan sebuah kopiah yang menutupi sampai kedahi, jadi yang kelihatan hanya bagian mulutnya saja.

„Tiam-ke, tiam-ke!” serunya. Tiam-ke artinya pengurus rumah penginapan.

Karena pelayan sedang sibuk, maka pengurus rumah penginapan itu segera menyambutnya: „Apakah tuan hendak bermalam disini?”

Ketika mengawasai punggung tetamunya itu, si pengurus menjadi terkesiap. Kiranya tetamu itu memanggul sebuah mantel dari kulit rase, suatu barang yang tak ternilai harganya.

„Ai, kiranya langganan kami yang berdagang kulit, silahkan masuklah!” kata pengurus itu dengan sikap berobah menghormat sekali.

„Aku ingin mendapat kamar yang sebelah utara saja,” sahut tetamu itu. Seorang pelayan segera muncul. Begitu datang, pelayan itu memberi isyarat ekor mata kepada pengurus, lalu berkata dengan suara pelahan kepada tetamu itu: „Kamar sebelah utara? Mana tuan dapat tinggal disitu? Bukan aku melarang, tapi mantel tuan ini amatlah mahal harganya. Pengurus, apa kau tak melihatnya, ai, mungkin kaupun tak mengerti. Mantel tuan ini adalah dari bahan swat-ho (sebangsa rase didaerah salju). Harganya puluhan ribu perak lho! Mengingat tuan ini datang dari daerah selatan dan hanya membeli sebuah benda itu, dapatlah dibayangkan betapa nilai mantel itu!"

„Pengurus," pelayan tersebut merobah nada suaranya seperti berbisik kepada si pengurus, „apakah kau tak memperhatikan gerak gerik wanita baju merah dan kedua tosu yang kurang baik itu tadi?"

Tetamu yang berkopiah menutupi dahi itu tampak sedikit mendongakkan kepala. Matanya berkilat. Si pengurus itu tampak terkesiap, maksudnya dia hendak minta pikirannya sang pegawai.

„Kamar kosong dikebun belakang itu, bukankah disewa oleh seorang siang-kong (putera keluarga hartawan). Siang- kong itu seorang lemah dan dari kalangan baik-baik. Disitu masih ada dua kamar yang kosong. Ini amat kebetulan sekali.

,.Benar, hampir saja aku lupa. Masakan ada rejeki datang. kita tolak," kata si pengurus sambil bertepuk tangan.

Tetamu itu makin mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Dibawah cahaya penerangan, ternyata orang itu seorang pemuda yang cakap. Dia memang bukan seorang pedagang kulit seperti apa yang diduga si pengurus rumah penginapan, melainkan Ceng Ih adanya. Agar tak diketahui orang, dia sengaja membeli sebuah kopiah.

Sementara itu Siang-hui yang ternyata mengambil kamar sebelah utara, kedengaran berseru: „Totiang berdua, coba kalian dengarkan, suara ringkikan itu seperti ringkik kuda say- cu-hoa bukan?" 

„Siang-hui, rupanya siang malam kau selalu ingin lekas- lekas menangkap Tan He kongcu, jadi setiap ada kuda meringkik, lantas kau anggap sebagai say-cu-hoa," kata kedua Sian-ong itu sembari tertawa.

Baru saja mereka berkata begitu, kembali terdengar suara kuda macam naga meringkik. Kini kedua Sian-ong itu tampak terbeliak.

„Siao-ji-ko, beri makan kacang yang direbus dengan arak wangi!” distal kuda sana kedengaran pemuda Hoa Tan memesan pelayan. Siao-ko-ji adalah sebutan yang lazim bagi seorang pelayan rumah penginapan.

Sekonyong-konyong anak muda itu seperti merasakan sesuatu yang mencurigakan. Secepat kilat dia gerakkan tangannya untuk memadamkan pelita yang dibawa si pelayan, dan menghardiknya: „Jangan bersuara!"

Si pelayan terperanjat dan tak berani buka suara. Istal kuda situ menjadi gelap gulita. Kawanan kuda yang berada disitu, sama meringkik-ringkik. Pada saat itu, dari atas kamar yang berada disebelah muka istal kuda itu ada sesosok tubuh berkelebat dan sesaat lagi disusul oleh sesosok tubuh lain.

Kedua orang itu melayang turun kebawah, terus menyelinap ke sudut istal yang gelap.

„Hai, pembawa lentera, jangan bilang kalau aku berada disini," tiba-tiba pelayan itu mendengar ada orang berbisik didekat telinganya. Habis itu dia (si pelayan) diisyaratkan supaya menyulut lenteranya. Demi lentera dinyalakan, pelayan itu terbeliak kaget dan mengingau seorang diri: „Aneh, aneh, Hoa ” Sebenarnya dia bermaksud hendak mengatakan mengapa baru saja Hoa siangkong tadi baru saja bicara disisinya, tahu- tahu kini sudah lenyap. Namun saking herannya, dia tak dapat berkata dengan lampias. Berbareng itu dari sudut gelap muncul dua orang berpakaian merah. Yang satu seorang tosu tua dan lainnya seorang wanita. Itulah Siang-hui dan salah seorang dari Sian-ong. Belum si pelayan sempat membuka mulut, lampu pelitanya sudah direbut oleh Siang-hui lalu digunakan untuk menyuluhi kawanan kuda disitu. Si tosu tuapun buru-buru ikut menyertai.

„Aneh, aneh! Terang tadi terdengar ringkik say-cu-hoa berada disini, mengapa sekarang tak kelihatan,” teriak Siang- hui.

Sian-ong memeriksa semua kuda, lalu menggeleng kepala:

„Siang-hui, telah kukatakan, kau gemas sekali terhadap Tan He kongcu jadi selalu seperti kedengaran suara say-cu-hoa sajalah!'

Siang-hui angkat pelitanya tinggi. Ia berdiri dimuka seekor kuda yang berbulu kuning emas. Tapi kuda itu mempunyai terotol putih diseluruh tubuhnya. Siang-hui menggeleng, katanya dengan gemas: „Masakan ia dapat lari dari tanganku. Ayuh. kita kembalilah!”

Habis itu ia segera loncat keluar dari kandang kuda.

Kembali istal itu gelap gulita. Si tosu pun cepat menyusul keluar. Baru keduanya pergi, kedengaran ada orang bersuara pelahan: „Siao-ji-ko, nyalakan lampumu!”

Oleh karena mencari-cari lampu yang dibuang oleh Siang- hui, jadi agak sedikit lama si pelayan baru dapat menyalakannya. Baru saja penerangan menyala, si pelayan segera kaget seperti disambar petir. Dihadapannya tegak berdiri Hoa Tan siangkong! Pemuda itu tertawa mengikik sembari menghampiri kuda bulu kuning emas tadi. Sekali tangannya meraba ke badan kuda, kembali si pelayan menjadi tersentak kaget. Kiranya terotolan putih pada kuda itu, mendadak hilang lenyap.

„Siao-ji-ko, tolong kau sediakan kacang direbus arak, kemudian tolong kau bersihkan badan kuda ini karena tetesan gamping itu tak boleh lama-lama berada dibadannya agar jangan merusakkan bulunya yang bagus!" kata Hoa Tan dengan tertawa riang.

Dalam mendengari orang berkata-kata itu, mata si pelayan memandang kesudut dinding, ujarnya: „Ho, kiranya selagi lampu padam tuan telah melumuri kuda dengan gamping.

Tosu dan wanita itu rupanya bangsa begal kuda, tapi kali ini mendapat hidung panjang!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar