Panji Sakti Bab 06 : Orang Tua Dari Gunung Salju

6. Orang Tua Dari Gunung Salju

Tapi Ceng Ih segera insyaf akan sikap Bo-ang Sancu itu. „Nona, celaka, mundurlah lekas, dia hendak melepas ciak- liong-ciang!" cepat-cepat dia menyerukan nona itu seraya maju kemuka. Ciak-long-ciang atau pukulan naga merah, adalah suatu pukulan lwekang maut.

„Justeru karena itulah maka aku malah sengaja hendak berkenalan. Biar ku mencicipi rasanya ciak-liong-ciang itu!” sebaliknya nona itu malah menertawakan peringatan Ceng Ih.

Berbareng itu tubuh Ceng Ih yang sudah meloncat maju tadi. seperti terdorong oleh suatu hawa yang harum dan tahu- tahu terpental balik ketempatnya semula! Kembali Ceng Ih melongo. Nona itu tampak cantik sekali dalam pakaiannya yang serba putih, tapi sikapnya yang bandel itu nampak centil sekali.

„Ciak-liong-ciang keliwat ganas. Pada jarak beberapa meter jauhnya, dapat melukai orang. Jangan meremehkanlah!" seru Ceng Ih dengan penuh kuatir.

„Anak ini baik juga hatinya. Ping-ji, matamu cukup jeli. Ha ha, dia memperingatkan padamu, memang ciak-liong-ciang tak boleh mengenai tubuh!" dipuncak goa sana si orang tua bergelak tertawa.

Bo-ang menyeringai, rambutnya merah terurai disisi telinganya, makin menambah seram. Karena memiliki siu-ki- hu-hwat-sam-sin-ciau (tiga buah ilmu sakti untuk melindungi Panji), Ceng Ih tak jeri. Tapi bagaimana dengan nona itu?

Orang sudah terang hendak membantunya, adakah dia tega melihatnya sampai dicelakai Bo-ang? Cepat dia tekuk lengan kiri kedada, seluruh lwekangnya dipusatkan ketangan kanan dan melangkah maju.

Dengan mata berapi-api, Bo-ang menatap nona itu sembari ajukan kaki perlahan-lahan. Gerakan kakinya itu lambat dan berat, batu padas yang bekas diinjaknya berbekas telapak kaki yang dalam. Nyata pemimpin Siao-ngo-tay-san itu sudah mengerahkan seluruh lwekangnya, siap untuk dilancarkan.

Sebaliknya acuh tak acuh, nona itu malah berseru kepada ayahnya: „Yah, aku tak percaya!"

Nona itu sama sekali tak menghiraukan Bo-ang, sebaliknya dia melirik kearah Ceng Ih. Tiba-tiba Bo-ang yang sudah makin dekat itu tertawa nyaring, sehingga membuat Ceng Ih terkejut. Menyusul dengan itu, Bo-ang gerakkan tangannya dengan perlahan-lahan. Seketika terdengarlah angin menderu, Ceng Ih yang berada pada jarak setombak jauhnya, merasa tersambar oleh suatu hawa panas. Kejut anak muda itu bukan kepalang.

„Bagaimana nona itu dapat bertahan menghadapi serangan yang begini ganas!" diam-diam Ceng Ih membatin. Tanpa pikir tangan kirinya yang berada didada tadi diacungkan dan tangan kanan mendorong kemuka. Itulah gerak mendorong dari pukulan kai-cu-na-si-mi. Menyusul dia loncat kesebelah kiri, pikirnya hendak me¬nutupi nona itu.

Tapi diluar dugaan, begitu hawa panas tadi melancar, nona baju putih itu sudah lenyap dari pemandangan. Bo-ang cepat berputar kabelakang dan lancarkan pula ciak-liong-ciang.

„Kau kira hanya ilmu pukulanmu itu saja yang mampu pecahkan ciak-liong-ciang ya?" seru gadis itu sembari jebikan bibir kepada Ceng Ih. Dan begitu Bo-ang lancarkan ciak-liong- ciang, ia segera rangkapkan kedua tangannya kedada macam jurus liong-li-pay-koan-im (puteri naga menghadap dewi Koan Im). Tiba-tiba tangannya dibuka keatas, telapaknya didorongkan kemuka. Serangkum hawa dingin telah memecah hawa panas dari lawan. Tidak berhenti sampai disitu saja, gadis itu julurkan dua buah jari kiri untuk menutuk dada Bo- ang. Caranya dia menolak serangan dan membalas tutukan, dilakukan dengan indah sekali. Saking terpesonanya, Ceng Ih terlongong-longong dan lupa untuk bergerak membantu.

„Jangan menyentuh badannya!" tiba-tiba orang tua dipuncak goa sana berteriak. Dan dengan tekankan punggungnya ke karang, dia segera ayunkan tubuh melayang turun.

Dalam pada itu Bo-ang cepat menarik pulang serangannya.

Sepasang lengan dirangkap, jari-jarinya dibuka, dengan tertawa sinis dia sorongkan dada kemuka untuk menerima tutukan si nona. Nona baju putih itu tertawa dingin, belum jarinya menyentuh sasaran, sudah ditariknya kembali. Secepat kilat tubuh mendak kebawah, kakinya kiri mengait mengarah jalan darah yong-cwan-hiat lawan.

„Serangan yang bagus!" teriak Ceng Ih memuji. Saking kagumnya atas permainan yang luar biasa dari nona itu, sesaat lupalah dia kalau sedang berhadapan dengan musuh yang lihay.

Bo-ang Sancu adalah benggolan terkemuka pada jaman itu.

Cepat dia singkirkan kakinya kemudian mendorong kekanan kiri. Karena sinona tadi memberosot kebelakang Bo-ang, jadi kini Bo-ang diapit dari muka dan belakang oleh sinona dan Ceng Ih. Ceng Ih yang terpesona akan gerak sinona tadi, sudah menjadi kelabakan ketika terasa disambar angin panas. Untuk menyalurkan lwekang, sudah tak keburu lagi. Kalau sampai terkena sambaran angin panas itu, tentu akan terluka parah. Ceng Ih berada diujung bahaya.

„Fui!” tiba-tiba terdengar siorang tua aneh tadi membentak,

„dihadapan aku si orang tua kau berani melukai orang!” Sekonyong-konyong Ceng Ih rasakan hawa panas itu berganti sejuk, ya begitu dingin sampai menusuk ke tulang. Dan berbareng itu terasa ada suatu tenaga yang mendorongnya terpental sampai dua tombak. Astaga, ternyata dia berdiri didekat siorang tua berambut putih tadi! Walaupun semangatnya belum tenang, pertama-tama yang dipikirkan ialah keselamatan si nona baju putih. Maka bukannya dia memandang kearah si orang tua aneh tapi lontarkan pandangan matanya kepada si nona sana.

Tampak wajah nona itu memerah jambu, namun keadaannya tak kurang suatu apa. Berbareng pada saat itu dengan menggerung seperti harimau, Bo-ang Sancu menyerbu siorang tua aneh.

„Aduh, hendak memamerkan silat cakar kucing!" orang tua itu mengekeh, tegak terpaku ditanah

Dua buah ciak-liong-ciang yang dilancarkan Bo-ang, ternyata tak kuasa menyentuh tubuh orang tua aneh itu. Hal itu dilihat jelas oleh Ceng Ih. Rambut janggutnya yang putih, berkibaran menjulai didada, pakaiannya melambai-lambai tertiup angin. Sebagai anak murid dari tokoh lihay, tahulah Ceng Ih bahwa orang tua aneh itu sedang menyalurkan hawa kong-gi untuk menangkis serangan orang. Kembali Ceng Ih terlongong-longong.

Tiba-tiba orang tua aneh itu membentak dengan nada kereng : “Karena memandang muka Hoa-he Hi-hu, hari ini kuampuni kau, ayuh lekas enyah!”

Ciak-liong-ciang yang dilancarkan Bo-ang tadi, bukan saja tak berhasil melukai orang sebaliknya, malah tersapu oleh suatu tenaga aneh. Seperti telah diterangkan karena ciak- liong-ciang itu berasal dari racun yang terkumpul di ujung jari, maka dalam lingkaran beberapa meter jauhnya, orang tentu dapat dilukai. Tenaga aneh yang tak kelihatan dari orang tua itu, telah membuat kuda-kuda kaki Bo-ang tergempur, kalau sampai ciak-liong-ciang tadi terpental balik mengenai tubuhnya, wah, senjata makan tuan namanya. Sebagai seorang benggolan besar, Bo-ang tahu bahaya itu. Maka sebelum hawa aneh dari orang tua itu menekan keras, dia sudah loncat mundur sampai tiga tombak jauhnya. Demi mendengar bentakan orang tua itu, pucatlah wajah Bo-ang.

„Kau, kiranya Swat-san Lojin!" serunya terbata-bata sembari mundur dua langkah. Tiba-tiba kakinya tergelincir dan terperosotlah dia ke bawah gunung. Adakah dia memang sengaja hendak melarikan ataukah benar-benar terperosok jatuh, itu kurang terang.

„Swat-san Lojin, Swat-san Lojin!" tanpa disadari mulut Ceng Ih mengingau, matanya memandang tak terkesiap.

Tertawalah orang tua aneh itu, sahutnya: „Benar, berapakah umurku sendiri sudah lupa. Sampaipun namaku siapa, juga tak ingat lagi. Adalah karena aku tinggal digunung Swat-san (gunung salju), maka orang lantas menyebut diriku Swat-san Lojin (orang tua dari gunung salju). Ha, ha, ketika aku berkenalan dengan Hoa-he, Bo-ang itu entah masih berada dimana?"

Kejut Ceng Ih bukan kepalang. Sejak Hoa-he Hi-hu menciptakan Panji Sakti, sampai kini sudah empat turunan lamanya. Jadi entah berapakah usia Swat-san Lojin itu. Begitu keras rasa heran itu mencengkeram hati Ceng Ih, sehingga tanpa terasa mulutnya mengingau apa yang dikandung dalam hatinya itu.

Tiba-tiba dari samping terdengar suara tertawa melengking dan kata-kata yang bernada tinggi: „Mengapa merasa aneh? Pada masa itu Hoa-he Hi-hu hanya mengasingkan diri dari pergaulan ramai saja. Ketika Panji Sakti diwariskan orang dia masih hidup untuk berpuluh tahun. Hoa-he Hi-hu baru saja mangkat (meninggal) kira-kira 30 tahun berselang!”

Ceng Ih terlepas dari teka teki dalam hatinya. Dan ketika dia berpaling kearah suara itu, ternyata yang bicara itulah adalah si gadis baju putih, Dalam pada itu, kedengaran Swat- san Lojin tertawa gelak-gelak. Bagaimana jadinya dengan Bo- ang yang memberosot jatuh kebawah gunung itu, sama sekali tak diacuhkannya. Dia mendongak keatas dan tertawa terkial- kial. Rupanya dia teringat akan sesuatu yang menggelikan.

Ceng Ih tak menduga bahwa nona itu seperti menjadi kemalu-maluan. Entah apakah karena dia (Ceng Ih) memandangnya lekat-lekat ataukah karena ditertawai ayahnya itu tadi. Tapi justeru dalam sikapnya yang malu itu, wajahnya memerah dadu, makin menondjolkan kecantikannya yang gilang gemilang. Ceng Ih memandang kesima.

Pada lain saat nona itu deliki mata kepada Ceng Ih, lalu banting-banting kaki berseru dengan meradang: „Yah, kau menertawai aku lagi ya!”

Swat-san Lojin makin keras gelaknya, ujarnya: „Nona manis, beberapa tahun ini kau jarang gembira. Tadi kulihat kau tertawa, sudah tentu yang jadi ayah turut gembira juga. Hai, anak muda, kau hendak kemana!"

Sekali tubuh bergerak, orang tua aneh itu loncat menerkam Ceng Ih. Begitu cepat gerakannya itu, sampaipun tanpa mengeluarka suara apa-apa, tahu-tahu orang tua itu sudah tiba. Hendak menyingkir, Ceng Ih sudah tak keburu lagi.

Lengannya kiri kena terpegang oleh orang tua itu. Sebenarnya Ceng Ih mempunyai dugaan bahwa orang tua itu tentu tak bermaksud jahat. Tapi orang menyerbu dia menghindar, itulah suatu reaksi yang wajar. Seketika dia rasakan lengannya itu seperti dijepit besi, tak dapat dibuat bergerak sama sekali. Berbareng tubuh merasa ringan, tahu-tahu dia dilempar ke udara.

Cepat-cepat Ceng Ih empos semangatnya. Dengan berjumpalitan dia turun kebumi. Tapi pada saat itu dari arah goa sama terdengar seseorang berteriak: „Hai, siapa kau ini, mengapa berani ugal-ugalan?"

Tepat pada saat Ceng Ih tiba ditanah, sesosok bayangan lari menghampiri. Ceng Ih baru tahu bahwa bayangan itu bukan lain Wan-ji adanya. Pada saat itu siku lengannya terasa mengencang karena disambar Swat-san Lojin. Dengan melengking, Wan-ji menyerbu orang tua itu.

Kiranya sewaktu Swat-san Lojin tengah berkata-kata dengan puterinya tadi. Ceng Ih tiba-tiba melihat Wan-ji menjenguk dari mulut goa. Ceng Ih kejut dan malu dalam hati mengapa sampai tak ingat lagi kepada supehnya. Maka buru- buru dia hendak lari masuk kedalam goa, tapi telah dicegat siorang tua dan dilontarkan keudara. Melihat itu Wan-ji segera hendak menggacar (menerjang) si orang tua, tapi cukup dengan kibaskan lengan bajunya, Wan-ji telah terpental balik kembali. Ya, Wan-ji sih hanya lumajan saja kepandaiannya, tapi Ceng Ih yang sudah tergolong jago muda kelas satu, ternyata dapat dibuat mainan oleh orang tua aneh itu.

Ceng Ih mengeluh, kalau Swat-san Lojin sampai memusuhinya, habislah riwayatnya.

„Adik Wan, inilah Swat-san Lojin!" buru-buru dia meneriaki Wan-ji. Dia kuatir Wan-ji dapat kesalahan pada orang tua aneh itu. Dan memang kekuatirannya itu beralasan. Bukannya menurut. Wan-ji malah merah padam mukanya. Secepat melolos pedang, ia maju lagi dan menusuk Swat-san Lojin.

„Adik Wan, jangan!" seru Ceng Ih dengan cemasnya.

Belum suaranya berhenti, Swat-san Lojin sudah ulurkan dua buah jarinya untuk menjepit pedang Wan-ji.

Wan-ji buru-buru tarik pulang pedangnya, tapi dengan tertawa gelak-gelak Swat-san Lojin membentaknya: „Pergi!”

Seketika itu Wan-ji terlempar sampai dua tombak jauhnya. Ceng Ih terkejut bukan kepalang. Pedang ditangan Wan-ji itu hanya tinggal separoh, yang separoh masih dijepit oleh Swat- san Lojin. „Klik,” tahu-tahu ujung pedang yang dijepit Swat- san Lojin itu patah menjadi dua kutung. Jari orang tua aneh itu ternyata lebih keras dari baja. Cukup dengan dua buah jarinya saja, pedang telah dijepit kutung

Sigadis baju putih mengunjuk wajah dingin, namun tak mengurangi kecantikannya, ujarnya: „Yah, mari kita pergi. Orang toh sudah punya adik Wan!"

Belum lagi Ceng Ih sempat memikir jatuhnya perkataan itu, tiba-tiba sesosok bayangan putih melesat. Dengan perkataannya yang terakhir itu, sigadis baju putih sudah berada dibawah karang sana.

Tiba-tiba sepasang mata Swat-san Lojin memancar kemarahan, serunya: „Untuk menolong Thian-lam-ping-siu, lekas datang ke Swat-san! Buyung, hanya kau seorang diri yang boleh datang kesana!"

Ucapan itu ditutup dengan lambaikan tangan kanannya kemuka dan tahu-tahu Ceng Ih terpental kearah mulut goa. Aduh, tepat sekali jatuhnya itu berbenturan dengan Wan-ji. Dua-duanya jatuh ketanah, sampai beberapa saat tak dapat bangun. Tapi anehnya, mereka tak terluka. Suatu hal yang membuat kedua anak muda itu tak habis herannya!

> ∞ <

Marilah kita tengok keadaan di dalam goa itu. Satu-satunya penerangan yang menembus ke dalam goa batu, hanya sebuah lubang sebesar mangkuk yang terdapat diatas dinding atapnya. Dibawah cahaya remang-remang itu, tampak wajah Thian-lam-ping-siu, dan anak sekolahan itu menampil kekagetan besar.

„Swat-san Lojin, siapakah Swat-san Lojin itu? Dia begitu lihay, ayahku ” kedengaran pemuda sekolahan berkata

seorang diri.

Thian-lam-ping-siu sandarkan diri pada dinding goa. Dia tumpahkan seluruh perhatiannya kearah kejadian diluar.

„Swat-san Lojin muncul kembali, entah suatu berkah atau malapetaka bagi dunia persilatan. Tugas Ceng Ih makin bertambah berat!" katanya.

Kedua orang itu berkata seorang diri dalam waktu yang bersamaan. Begitu mendengar kata-kata si anak sekolahan. Thian-lam-ping-siu berkata dengan nada bergelora: „Meskipun dia sudah pergi, tapi penyakitku ada harapan. Karena Swat- san Lojin muncul kembali, rasanya aku takkan mati. Nona, lekas buka pintu rahasia!"

Anak sekolahan itu melangkah maju dua tindak, tapi sesaat dia tertegun. Dengan wajah agak merah, ia berkata: „Pak tua, adik Wan tak tega padanya dan sudah menyusul keluar!" Tiba-tiba wajah Thiam-lam-ping-siu menampil senyum, ujarnya: „Nona, ai, siaocu, ah ya siangkong, bukalah pintu, Ih- ji dan Wan-ji sudah datang!"

Memang pada saat itu Wan-ji dan Ceng Ih sudah merayap masuk ke dalam goa yang gelap

„Engkoh Ih, tunggulah, biarkan kuingat-ingat dulu. Sewaktu dia memanggul ayah tadi, aku mengikuti dari belakang. Ayah yang menunjukkan jalan, sebentar kekanan sebentar kekiri. Ai, mengapa ingatanku begini tumpul!" kata Wan-ji.

„Adik Wan, tadi mengalami kejadian yang menggoncangkan sekali. Tenangkan dulu pikiranmu dan ingat-ingatlah perlahan- lahan. Tentu supeh masih bersembunyi dalam goa ini, jangan gelisah," Ceng Ih menghiburnya.

Tiba-tiba terdengar derap kaki dan pada lorong (lubang) disebelah kanan tampak memancar sebuah penerangan.

„Disinilah!" seru sebuah suara.

Buru-buru Wan-ji dan Ceng Ih memandang kearah lorong itu. Karena penerangan itu keliwat samar-samar, yang kelihatan hanya seseorang tengah tegak berdiri, tapi bagaimana air mukanya tak kelihatan jelas. Tiba-tiba dari arah belakang orang itu terdengar suara seruan Thian-lam-ping-siu yang lemah: “Apakah itu Ih-ji dan Wan-ji, masuklah!"

Kalau Ceng Ih tergetar mendengar suara supehnya yang bernada getar itu, adalah Wan-ji sudah segera memburu masuk sembari berseru: „Yah!"

Ketika masuk kedalam pintu kamar rahasia itu, ternyata yang berdiri itu adalah si anak sekolahan. Begitu Wan-ji menyerbu masuk, buru-buru anak muda itu menyingkir kesamping.

„Atas bantuan saudara yang menolong supeh, cayhe menghaturkan banyak terima kasih. Budi kebaikan saudara itu akan ku ukir selama hidup!" kata Ceng Ih sembari memberi hormat kepada anak sekolahan itu. Sehabis mengucap kata- kata itu, tiba-tiba dia teringat sesuatu, katanya dalam hati:

„Setiap kali kita menghadapi kesukaran, mengapa dia selalu mengetahui dan memberi pertolongan tepat pada waktunya?”

Ceng Ih tak lekas-lekas masuk ke dalam. Dia menatap anak sekolahan itu lekat-lekat. Hai, mengapa anak sekolahan itu agak bersemu merah wajahnya? Tiba-tiba pemuda sekolahan itu menghela napas. Sepasang matanya yang bagus seperti mengandung sesuatu kepada Ceng Ih, ujarnya: „Kau, tak melupakan itulah sudah cukup. Asal kau selalu teringat, akupun merasa puas!"

Ceng Ih terkesiap mendengar kata-kata yang merawankan itu. Lebih-lebih ketika memperhatikan pada sorot mata pemuda itu seperti memancarkan sesuatu yang aneh.

„Engkoh Ih, lekas kemarilah menjenguk ayah!" tiba-tiba kedengaran Wan-ji berseru.

Ceng Ih terbeliak, buru-buru dia melangkah masuk. Ketika lewat disisi pemuda sekolahan itu, hidungnya membaui hawa yang harum. Tapi karena ingin lekas-lekas melihat keadaan supehnya, jadi dia tak sempat mencari tahu asal datangnya bau harum itu.

Kiranya Thian-lam-ping-siu duduk bersandar diatas ranjang batu. Dengan wajah berseri girang, jago tua itu berkata:

„Wan-ji, jangan kuatir. Tadi ketika kutengah melakukan pengobatan dengan menyalurkan lwekang, karena kaget kedatangan musuh, hawa lwekang itu sudah menyusup kedalam jalan darah ki-kwat, ini berarti tubuhku terancam bahaya besar. Tapi sebaliknya, jiwaku ini malah ada harapan tertolong!"

Mendengar itu Ceng Ih girang sekali, buru-buru dia menegas: „Supeh, apakah benar ada harapan tertolong?"

Diantara mereka bertiga, hanya Wan-ji seorang yang tak tahu bagaimana keadaan ayahnya itu yang sebenarnya.

Sampai detik itu, ia hanya melihat kalau ayahnya itu agak tersengal-sengal napasnya. Tidak demikian dengan Ceng Ih yang cukup menginsyafi keadaan yang berbahaya dari supehnya itu.

Atas pertanyaan Ceng Ih itu, Thian-lam-ping-siu mengangguk. Tiba-tiba dia mendongak kemuka dan menghela napas perlahan-lahan. Ceng Ih dan Wan-ji berpaling mengawasi kearah yang dipandang Thian-lam-ping-siu itu.

Diambang pintu kamar batu situ, si anak muda sekolahan sudah tak kelihatan lagi bayangannya. Setiap kali, pemuda itu muncul secara mendadak dan setiap kalipun pergi dengan diam-diam.

„Munculnya aneh, perginyapun diam-diam. Siapakah gerangan dia itu?" kata Ceng Ih seorang diri.

Thian-lam-ping-siu tersenyum kecil, serunya dengan lemah:

„Siapakah dianya itu, kelak kau tentu akan mengetahui sendiri!"

„Yah, kau mengetahui mengapa tak mau bilang?" tiba-tiba Wan-ji berseru sembari menggoyang-goyang tubuh ayahnya. Thian-lam-ping-siu seperti hendak rubuh, wajahnya berobah pilas. „Adik Wan, jangan!" teriak Ceng Ih sembari cepat memapah supehnya. Wan-ji terbeliak kaget. Dahi Tihian-lam- ping-siu mengucurkan beberapa butir keringat, namun bibirnya tetap memaksa senyum, ujarnya: „Karena terjadi sesuatu diluar dugaan, penyaluran napasku terhalang, menambah berat penyakitku.”

Jago buta itu berkilat matanya, lalu melanjutkan kata- katanya: „Tapi tak apalah, Swat-san Lojin muncul dan menyuruhmu datang minta obat padanya, jadi aku tentu takkan mati. Lojin itu aneh perangainya, kalau jahat keliwat jahat, kalau baik keliwat baik. Dia bebas bergerak menurut kemauan hatinya sendiri. Dengan munculnya kembali kedunia persilatan, entah berarti suatu berkah atau malapetaka. Sutit, bagaimanapun aku tentu takkan binasa!"

Ceng Ih teringat akan ucapan Swat-san Lojin tadi yang menyuruhnya datang ke Swat-san minta obat. Kiranya supehnya itupun mendengarnya juga. Seketika dia bergirang hati. Kata Thiam-lam-ping-siu dengan tersenyum: „Sutit, walaupun kepandaian punah, tapi ilmuku thian-ji-thong (telinga menembus langit) masih baik, apalagi ada lubang hawa diatas ini."

„Jika demikian, aku segera berangkat ke Swat-san saja!" kata Ceng Ih. Tapi sesaat kemudian dia mengunjuk kesangsian. Ditatapnya wajah Wan-ji.

Wan-ji mengerti apa yang dipikirkan anak muda itu. Buru- buru dia mendesak Ceng Ih lekas berangkat, soal ayahnya ada dia yang mengurus. Namun Ceng Ih masih bersangsi, katanya: „Supeh. adik Wan, sekalipun goa ini amat pelik letaknya dan tak mudah dicari musuh, tapi karena kepergianku ke Swat-san itu memerlukan waktu beberapa hari. jadi tetap menguatirkan. Dimisalkan adik Wan keluar mencari makanan dan minuman, orang-orangnya Bo-ang tentu akan dapat mengetahui tempat ini.”

„Benar!” seru Wan-ji terkesiap.

Tapi Thian-lam-ping-siu hanya ganda tertawa, ujarnya: „Ih- ji, disini aku merasa aman sentausa. Lupakah kau masih ada dia itu?"

„Ai, benar sampai lupa," seru Wan-ji dengan bertepuk tangan, „setiap kali bakal ada kejadian, dia tentu muncul. Aneh, dia seolah-olah seperti tahu lebih dahulu apa yang bakal terjadi!"

Ceng Ih tahu yang dimaksud dengan "dia" oleh supeh dan Wan-ji itu ialah si anak muda sekolahan itu. Memang pemuda itu selalu datang pada saat-saat yang berbahaya. Tapi bagaimanapun juga, Ceng Ih tetap kuatir. Kepandaian dari supehnya itu boleh dibilang punah sama sekali, mungkin dengan orang biasa saja dia tak menang. Benar anak sekolahan dan Wan-ji merupakan tenaga yang tangguh, tetapi terhadap Bo-ang dan anak buahnya, itu tak berarti.

„Supeh, menurut pendapatku, lebih baik supeh kubawa ke Swat-san saja!" akhirnya Ceng Ih kemukakan pikirannya.

Diluar dugaan Thian-lam-ping-siu menghela napas dalam, katanya „Ih-ji, bukankah tadi menyaksikan sendiri, begitu Wan-ji mengguncang tubuhku, aku sangat menderita sekali?"

„Supeh, jadi kau ” seru Ceng Ih dengan terperanjat.

Thian-lam-ping-siu menghela napas pelahan, katanya sembari mengangguk: „Jalan darahku telah tersesat, begitu tiba di Swat-san kalau tak mati, keadaanku tentu akan sudah cacad. Memang kekuatiranmu itu beralasan, tapi segala apa biarlah kita serahkan pada takdir. Harapanku hanya supaya kau dapat pergi dan pulang dengan lekas, jangan keliwat dalam satu bulan, karena selewatnya itu biarpun kau membawa ban-lian-ping-jan kemari, jiwa supeh mu ini takkan tertolong!"

Ban-lian-ping-jan atau ulat salju yang hidup ratusan tahun, adalah semacam ulat yang terdapat digunung salju Swat-san. Ulat itu merupakan obat ajaib yang luas biasa khasiatnya.

„Adik Wan, aku segera berangkat ke Swat-san. Jagalah supeh baik-baik. Karena mendapat hajaran, mungkin dalam beberapa hari ini Bo-ang tak berani datang kemari. Siapkan ransum untuk satu bulan, jika tak perlu, jangan kau keluar goa. Tak sampai satu bulan aku tentu sudah kembali!" kata Ceng Ih.

Wan-ji mengiakan. Melihat kedua pemuda itu hubungan makin erat sebagai saudara. Thian-lam-ping-siu menjadi girang. Katanya: „Ih-ji, perjalanan ke Swat-san itu amat jauh. Sebelum pergi, baiklah kau duduk dulu karena aku hendak menceritakan barang sesuatu mengenai diri Swat-san Lojin itu."

Walaupun hatinya ingin buru-buru berangkat, namun Ceng Ih terpaksa melakukan perintah supehnya. Tiba-tiba ruang goa situ menjadi terang. Kiranya hari sudah siang. Melalui lubang diatap goa itulah cahaya matahari menembus masuk.

Thim-lam-ping-siu sapukan matanya kearah kedua anak muda yang duduk berdampingan dihadapannya itu. Sungguh sejoli muda mudi yang setimpal sekali. Setelah berganti pakaian pemberian anak sekolahan itu, Wan-ji nampaknya amat cantik sekali. Sebenarnya Thian-lam-ping-siu itu tidak sesungguhnya buta. Hanya bagian hitam dari biji matanya itu keliwat kecil, jadi sekali dibalikkan bagian itu tertutup sama sekali oleh bagian putih. Sepintas lalu, orang mengira dia itu seorang buta.

Sejenak memandang kedua anak muda itu, hati Thian-lam serasa terhibur. Dengan tersenyum simpul dia berkata: „Kalian berdua harus mengingat perkataanku ini. Sejak ini kalian harus bersatu hati. Bersatu teguh, bercerai runtuh. Asal apa yang kuajarkan itu, kalian latih sampai sempurna, kiranya tiada yang harus dijerikan. Ketahuilah, bahwa pada masa itu Swat-san Lojin pun tak dapat berbuat apa-apa terhadap Hoa- he Hi-hu. Jadi kalau ketiga sin-ciau itu sudah sempurna, kalianpun tak perlu gentar terhadap Swat-san Lojin.”

„Yah!” seru Wan-ji dengan wajah kemerah-merahan.

Sebaliknya Thian-lam-ping-siu hanya tertawa. Memang dalam ucapannya itu terselip suatu arti yang dalam. Hal ini dapat dirasakan oleh Wan-ji tapi tak dapat dirabah oleh Ceng Ih.

„Supeh, dengan munculnya Swat-san Lojin kembali, mengapa harus dibuat jeri?" tanyanya.

Wajah Thian-lam-ping-siu berobah sungguh-sungguh, ujarnya: „Ih-ji, maksudku bukan menyuruh kau mempersoalkan hal itu, tapi hendak menceritakan asal usul Lojin itu. Benar, Lojin itu jarang menampakkan diri di masyarakat ramai, pula tak suka mengu rusi soal-soal dunia persilatan. Tapi dia itu bukan dari golongan jahat pun bukan golongan baik. Dia melakukan sepak terjang seorang diri.

Perangainya amat aneh. Jika ada orang menyalahinya, jangan harap orang itu dapat hidup!"

Thian-lam-ping-siu berhenti sejenak, lalu melanjutkan pula:

„Menurut apa yang kuketahui, peristiwa itu terjadi pada dua puluh tahun yang lalu. Kala itu di dunia persilatan muncul seorang tua yang aneh. Orangnya serba putih, dari pakaian sampai air muka, rambut dan janggutnya semua putih. Orang tak mengetahui siapakah dia itu. Munculnya lenyapnya serba aneh. Asal orang tak me¬njombongkan kepandaian dihadapannya, diapun tak menganggunya. Tapi begitu ada orang coba memamerkan kepandaiannya, dengan mendengus dingin dia kibaskan tangannya dan orang itupun tentu akan terpental jatuh sampai tiga tombak jauhnya. Lebih-lebih kalau orang menggunakan senjata. Bagaimanapun lihaynya, sekali Lojin ulurkan tangan, tahu-tahu senjata tentu akan sudah dapat dirampasnya. Dengan dua buah jari, senjata itu dapat dijepitnya patah!”

Ceng Ih terbeliak, tukasnya:" Ya, benar, tadi pedang adik Wan pun dapat dirampas Lojin itu dan dijepit kutung oleh dua buah jarinya!"

„Apa?" tiba-tiba Thian-lam-ping-siu berseru kaget, „Wan-ji, mana pedangmu itu?"

Selebar wajah Wan-ji kemerah-merahan, sahutnya „Yah, pedang kutung itu sudah kubuang!"

„Jadi dia masih mempunyai seorang anak perempuan?" tanya Thian-lam.

Ceng Ih mengiakan karena tadi didengar gadis baju putih itu menyebut ayah pada Swat-san Lojin. Wan-ji menjadi heran mengapa ayahnya begitu terperanjat mendengar Swat-san Lojin mempunyai seorang anak perempuan. Sebaliknya Thian- lam-ping-siu tak lekas-lekas buka suara, melainkan menggelengkan kepalanya. Dengan diiring helaan napas, dia kedengaran berkata: „Anak haram, anak haram!"

Wan-ji dan Ceng Ih tak mengerti akan sikap aneh dari orang tua buta itu. Tetapi Ceng Ih yang usianya lebih tua, menduga keras kalau dalam hal itu tentu terselip suatu jalinan asmara yang penasaran. Benar dia ingin sekali mengetahui hal itu, namun mengingat keadaan supehnya amat payah, dia lebih suka lekas-lekas berangkat.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar