Panji Sakti Bab 02 : Si Tua Buta

2. Si Tua Buta

Sekonyong-konyong terdengar orang berteriak keras. Giok- bin-sam-long dan kedua kawannya loncat menyerbu pemuda itu. Karena melihat nyonya majikannya didesak mundur oleh Ceng Ih, maka mereka tak segan-segan lagi mengeroyoknya. Namun pemuda itu tak jeri. Dengan bersuit keras, pedang diputarnya seperti hujan deras. Tubuh dan bayangan sinar pedang seolah-olah menjadi satu. Tiga jurus kemudian, tombak-rantai terpental, disusul dengan terlemparnya golok. Berbareng dengan gerungan anak muda itu, kedua pengeroyoknya itu rubuh mandi darah ditanah!

Siang-hui mengertak gigi, sedang Giok-bin-sam-long

berapi-api matanya. Karena tak keburu untuk menolong kedua kawannya tadi, kini mereka berbalik menyerang lawan dengan buasnya. Tapi karena dua dari keempat pengeroyoknya sudah rubuh, Ceng Ih anggap sepi saja sisanya yang dua itu.

Sebenarnya ilmu silat Siang-hui dan Giok-bin-sam-long cukup lihay, tapi beberapa kali serangannya yang berbahaya itu selalu dapat dihindar lawan.

Ceng Ih bertempur dengan riang gembira. Diiring dengan tawa gelak, dia robah permainan pedangnya menjadi seperti bianglala yang mengarungi udara. Dan pada lain saat kedengaran pemuda itu bersenandung: „Ha, ha, inilah yang disebut ‘sepasang naga mengibas ekor', tangkai pedang melingkar-lingkar seperti ‘akar pohon menyusup awan mengganti matahari', untuk menyambut nyawamu. Ha, ha, ilmu permainan pedang ini laksana ular yang memangut!"

Mendengar itu, Wan-ji bertepuk tangan, ujarnya: „Yah, lihatlah! Setiap kali bergerak, dia memberitahukan dahulu nama jurusnya. Fui, tak berguna berbuat begitu, toh mereka tak dapat menghindar!"

Baru saja ia mengucap begitu, disana sudah kedengaran Giok-bin-sam-long menjerit, „aduh.” Pedangnya terpapas kutung menjadi dua, orangnya terluka.

„Wan-ji, jangan izinkan dia membunuh orang lagi, biarkan wanita itu lari!" tiba-tiba Thian-lam-ping-siu mengisiki puterinya. Oleh karena wajah ayahnya tampak kereng, Wan-ji tak berani membantah. Sekali enjot, ia sudah melesat ke gelanggang.

Untuk menyelesaikan musuhnya yang terakhir, Ceng Ih menghujaninya dengan ribuan sinar pedang, hingga Siang-hui menjadi kempis-kempis mandi keringat. Selagi keadaannya amat berbahaya itu, tiba-tiba tampak ada sesosok tubuh menerjang ke tengah. Dengan gunakan ilmu gong-chiu-jip- peh-jim (dengan tangan kosong merebut senjata lawan), orang yang baru datang itu kerjakan tangan dan sikunya.

Tahu-tahu pedang Siang-hui terpental dan orangnyapun terlempar keluar gelanggang.

Orang yang datang menengahi itu ialah Wan-ji. Sebenarnya dia berbareng kerjakan kedua tangannya untuk merebut senjata kedua seteru yang tengah bertempur itu. Siang-hui berhasil dapat didorongnya keluar, tapi ia tak berhasil mencekal pergelangan tangan si pemuda. Memang pemuda itu dengan tangkasnya, cepat-cepat menarik mundur pedangnya.

„Ayah hendak bicara, biarkan wanita itu lolos!" Wan-ji meneriaki pemuda itu.

Dikala Ceng Ih terkesiap, adalah disana Siang-hui sudah loncat keatas wuwungan rumah dan kabur. Ceng Ih tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengawasi nona yang mengganggunya itu. Diam-diam dia merasa kagum melihat kepandaian nona itu. Benar dia yakin dapat mengatasi Siang- hui, tapi toh dalam lima-enam jurus saja belum tentu dia dapat menang. Tapi hanya sekali bergebrak saja, ternyata nona kurus itu sudah dapat merebut senjata Siang-hui dan mendorongnya keluar gelanggang!

Juga Wan-ji balas memandang tajam-tajam kepada pemuda itu, tegurnya: „Kepandaianmu amat lihay, siapa yang mengajar kau?" Ceng Ih tertawa geli melihat „keberanian" nona itu.

„Kau tertawa apa?" bentak Wan-ji dengan deliki mata. Dia yakin karena tak dapat merebut senjatanya, maka pemuda itu tentu mengejeknya. Tanpa berkata apa-apa, ia ulurkan tangannya kanan untuk menyambar siku lengan pemuda itu. Rencananya, setelah berhasil mencengkeram, ia akan barengi menyentak maju untuk merebut senjata orang. Dengan demikian pastilah anak muda itu tak bersikap sombong lagi.

Ceng Ih terkejut juga melihat gerakan yang sebat dari nona itu. Diapun tak mau unjuk kelemahan. Dengan gunakan gerak kaki toa-na-i-hwat, dia menyurut setindak kebelakang.

„Wan-ji, suruh dia kemari!" tiba-tiba Thian-lam-ping-siu berseru.

Gerakan merampas pedang orang tadi, tak berhasil lagi. Betapa mengkal hati Wan-ji, dapat dimengerti. Tapi karena ayahnya memanggilnya jadi terpaksa ia berkata: „Ayah memanggilmu kesana!" Kemudian dengan jebikan bibir, ia menyengir: „Hem, jangan coba melarikan diri ya!"

Menengok keadaan disekitar ruangan situ, disana si Tiang- cui-oh-ya sudah mati kutu bersembunyi ditempat gelap. Bong- kim-kong merangkak bangun, tapi tak berani bergerak kemana-mana, hanya sepasang matanya yang sebesar telur ayam itu mendelik mengawasi si pemuda. Giok-bin-sam-long yang tak berapa berat lukanya juga tak berani berkutik.

Sedang si jongos yang garang tadi, siang-siang sudah tak kelihatan batang hidungnya!

„Kau, kau paham ilmu silat sin-kun!" kata pemuda itu dengan penuh keheranan memandang Wan-ji. Kemudian setelah sejenak memandang kearah Thian-lam-ping-siu, dia masukkan pedangnya ke sarung lalu maju, menghampiri jago tua itu.

Baru saja dia hendak memberi hormat kepada tokoh lihay itu, tiba-tiba ada sesosok bayangan berkelebat kemuka Ceng Ih. Astaga, kiranya itulah si pemuda sekolahan yang tadi mau masuk ke dalam rumah penginapan situ. Ya, benar memang dialah. Wajahnya berseri gilang, alisnya melengkung bak dahan pohon liu semampai, matanya bening seperti air telaga. Kepalanya terbungkus dengan kain anak sekolahan, sedang jubahnya tersulam dengan benang emas. Ai, benar-benar seperti gadis cantik dalam lukisan.

Lemah semampai tampaknya, namun gerakan pemuda cakap itu amat tangkas sekali. Sampai seorang gadis lihay macam Wan-ji pun heran karena kagumnya. Dan Ceng Ih? Kalau tak keburu menghentikan langkahnya, hampir saja dia berbenturan dengan anak muda itu. Sebaliknya pemuda sekolahan itu tertawa kepadanya. Begitu manis nada kulum tawanya itu, hingga Ceng Ih sampai terkesiap. Memang nada ketawanya itu hanya layak dimiliki oleh kaum gadis, bukan seorang pria.

„Ini untukmu, lekas larilah!” kata pemuda sekolahan itu sembari angsurkan tangannya. Ketika Ceng Ih menyambuti, ternyata itu hanya segulung kertas. Tengah dia tertegun, disana si pemuda sekolahan sudah ayun tubuhnya melesat kehadapan Wan-ji. Sebelum Wan-ji dapat berbuat apa-apa, dalam gerakan yang luar biasa tangannya pemuda sekolahan itu sudah mentowel pipinya, bisiknya: „Adik kecil, jangan terlambat, ayuh larilah!”

Benar Wan-ji itu seorang nona yang masih tergolong dara, badannya pun kurus ramping. Namun ia tetap seorang nona yang pemaluan. Baru saja tadi dia membuat kagum orang- orang dengan kepandaiannya, kini berbalik di „towel” pipinya oleh seorang pemuda yang halus lemah seperti seorang perempuan. Fui, bagaimana ia tak marah-marah? Secepat kilat ia sambar tangan si pemuda, tapi ternyata pemuda itu sudah melesat pergi.

„Hai, hendak lari kemana kau!” seru Wan-ji terus mengejar dengan geramnya.

Pemuda sekolah itu kembali perdengarkan tertawa kecil, sahutnya: „Adik kecil, aku menuju kebarat-daja!”

Wan-ji loncat keatas wuwungan rumah mengejarnya. Berbareng itu ayahnyapun berseru: „Wan-ji, katanya itu memang benar, lekas menuju kebarat-daja!”

Nada seruan jago tua itu tidak lagi gemetar, tetapi nyaring berwibawa. Dalam pada itu setelah membaca gulungan kertas kecil tadi, Ceng Ih segera meremasnya hancur dan dilemparkan ke tanah. Habis itu dia maju menghampiri kehadapan Thian-lam-ping-siu.

„Lo-cianpwe, maafkan kelancangan wan-pwe ini!” katanya dengan memberi hormat lalu memanggul tubuh orang tua buta itu diatas punggungnya. Sekali enjot kakinya, dia loncat ke atas wuwungan rumah terus lari menuju ke barat-daja menyusul Wan-ji. Dalam sekejap saja, dia sudah menghilang didalam kegelapan malam.

Pada saat Ceng Ih menghilang itu, dari arah utara tampak ada sesosok bayangan hitam berlari-lari dengan pesatnya.

Begitu dia loncat ke atas rumah, dari atas ruangan timur dan barat dari rumah penginapan itu, muncul berpuluh-puluh orang. Gerakan mereka tangkas sekali. Tiba-tiba ada suara benda melayang di udara dan „tar”, dua bola api pecah memancarkan sinarnya yang terang benderang. Kini diatas wuwungan rumah penginapan itu menjadi seperti siang.

Bayangan yang pertama muncul tadi bukan lain ialah Siang- hui, siwanita baju merah yang kembali kesitu lagi. Sementara orang-orang yang muncul dari barat dan timur itu ialah pengikutnya terdiri dari belasan orang.

Siang-hui tekankan kakinya dan ada beberapa genteng yang pecah. Dengan geram ia berseru: „Terlambat!”

Rupanya wanita itu datang kembali dengan membawa bala bantuan besar, namun „sang burung" sudah lolos. Memang kala itu Ceng Ih dengan memanggul tokoh buta Thian-lam- ping-siu sedang berlari-lari bagaikan terbang disepanjang jalan. Dibawah cahaya rembulan, dia laksana sesosok bayangan yang terbang diantara bayang-bayang pohon.

Tiba-tiba kedengaran jago tua itu menghela napas, ujarnya: „Anak muda, bukankah disebelah muka ada sebatang pohon tua yang menjulang tinggi?"

Ketika Ceng Ih memandang kemuka, memang disana tampak ada sebatang pohon yang luar biasa tingginya dengan daunnya yang rindang. Pohon yang hampir sepuluhan tombak tingginya itu, amat menonjol sekali. Heran dia dibuatnya.

Adalah orang tua yang dipanggulnya itu tak buta sesungguhnya? 

„Apakah ingatanku masih lengkap? Ai, sedang meninggalkan Leng-san kini sudah sepuluh tahun, kenangan itu masih terasa segar. Anak muda, dibawah pohon itu ada sebuah anak sungai, airnya mengalir kearah selatan, nah, berjalanlah menyusur anak sungai itu!" kata Thian-lam-ping- siu.

Benar nada suara jago tua itu agak gemetar, namun mempunyai perbawa yang harus diturut. Tiba dibawah pohon, ternyata disitu benar terdapat sebuah anak sungai yang mengalir ke sebelah selatan. Selama menyusur anak sungai itu, tak henti-hentinya Thian-lam-ping-siu memberi petunjuk ini itu, belok kekiri menikung kekanan. Benar anak sungai itu ada kalanya menyusur karang gunung dan kalanya melintasi hutan, tapi berkat petunjuk Thian-lam-ping-siu. Ceng Ih mengikuti dengan aman. Jago tua yang tampaknya buta itu, ternyata jauh lebih awas dari orang melek.

„Anak muda, lintasi anak sungai itu dan menyusup ke gunung. Carilah sebuah lembah sempit dan masuklah!” akhirnya Thian-lam-ping-siu memberi petunjuk. Suaranya makin getar.

Ceng Ih turut perintah. Ia menyeberang sungai masuk ke gunung, benar juga terdapat sebuah lembah sempit.

Menyusup lembah itu, banyak nian jalan-jalan kecil malang melintang yang dikelilingi hutan belantara. Thian-lam-ping-siu makin gencar memberi komando, sebentar kekiri sebentar kekanan, kiri kanan kanan kiri, sehingga membuat Ceng Ih agak pening kepalanya. Dia seolah-olah memasuki suatu barisan.

Tiba-tiba Thian-lam-ping-siu menghela napas longgar, ujarnya: „Sudahlah, disebelah muka ada sebuah telaga, ditepi telaga itu ada sebuah rumah pondok, apakah masih baik keadaannya?

Pada lain saat, mata Ceng Ih agak silau. Sebuah telaga membentang dengan airnya yang berkilau keperak-perakan ditimpah cahaya rembulan. Dikelilingi oleh rumpun semak bambu, terdapat sebuah pondok asap yang masih baik keadaannya.

„Sebuah tempat yang bagus sekali! Sekalipun Bo-ang Sancu mengirim orang-orangnya, masakan dapat mencari tempat yang sepelik ini!" Ceng Ih tertawa. Dengan beberapa loncatan saja, tibalah dia sudah didepan rumah pondok itu Setelah menurunkan „muatannya", Ceng Ih berlutut:

„Wanpwe Ceng Ih, mempersembahkan hormat kepada Ping- siu!"

Ketika tangan Thian-lam-ping-siu mengelus-elus kepalanya Ceng Ih, didapatinya tangan orang tua itu sedemikian kurusnya, seolah-olah hanya tinggal tulang terbungkus kulit saja. Dengan terengah-engah orang tua itu berkata: „Bagus, bagus, segala apa sudah suratan takdir. Cousu telah menitahkan kau datang kemari pada saat-saat terakhir ini, dengan demikian pamor kita takkan terputus. Aku, aku pun takkan menelantarkan amanat Cousu!"

Ceng Ih terkesiap, tapi dia tak mengerti apa arti ucapan orang tua itu. Buru-buru dia berkata: „Orang tua, silahkan lekas masuk kedalam. Tadi ada orang memperingatkan, walaupun tempat ini pelik tapi orang-orang Bo-ang tetap tak hentikan usahanya. Lambat atau laun mereka tentu akan dapat mencari tempat ini!"

Tiba-tiba bagian putih dari mata Thian-lam-ping-siu membalik, dan tertawalah: „Anak muda, takutkah kau?" Ceng Ih kerutkan alisnya menyahut dengan lantang:

„Wanpwe Ceng Ih, setelah datang ke Saypak sini, berniat masuk ke daerah Ki-yong-kwan lagi. Dia atau aku yang akan binasa? Mengapa takut pada kawanan Bo-ang Sancu!"

Wajah Thian-lam-ping-siu berseri girang. Dengan suara nyaring dia memberi pujian. Tapi setelah itu nada suaranya berganti kereng, katanya: „Bukankah kau seperti telur hendak menggempur tanduk? Bo-ang Sancu disegani oleh golongan Ceng-to dan Ya-to, berapa tinggikah kepandaianmu itu?

Kecintaan orang tua belum dibalas, budi ajaran suhu belum terhimpas, kawanan iblis bersimaharajalela. Tugas yang maha berat itu, merupakan tantangan kewajiban bagi kaum gagah! Bukankah suhumu mengajarkan begitu padamu?"

Ceng Ih terkejut mendengar ucapan Thian-lam-ping-siu yang bersifat mengecam itu. Dan lebih mengkirik pula dia demi nama suhunya disebut. Namun sekalipun matanya buta, Thian-lam-ping-siu memiliki indera tajam untuk melihat perasaan orang. Kembali dia menghela napas, ujarnya:

„Apakah suhumu tak pernah menyebut diriku? Masakan sampai pada saat-saat terakhir dia masih tetap membenci pada sukonya ini?"

Dari terkejut, Ceng Ih menjadi girang bukan kepalang.

Serempak dia berlutut dihadapan jago tua itu, ujarnya: „Kau, kau adalah supeh!"

Jago tua itu mendongak menarik napas. Setelah mengangguk, berkatalah dia: „Thian-lam-ping-siu, seperti darah dan daging dengan suhumu. Pada masa kita berdua bahu membahu menyalankan dharma kaum persilatan, kawanan durjana sama ketakutan .........

Thian-lam-ping-siu berhenti sejenak untuk menarik napas.

Tiba-tiba dari gunung di belakang telaga sana, terdengar suara aneh. Menyusul dengan itu, dari sebelah kanan dan kiri telaga itu, terdengar pula suara aneh macam itu. Ceng Ih kerutkan alisnya. Memindahkan pedang ke tangan kanan, buru-buru dia berkata: „Supeh, biar kuundurkan musuh dulu baru nanti kumenghadap lagi!"

Baru dia hendak bergerak, Thian-lam-ping-siu segera berseru: „Besar amat nyalimu! Baru saja kukatakan dirimu seperti telur yang hendak membentur tanduk, kau lantas berani gegabah tak mendengar nasehatku!"

Ceng Ih mengkeret demi mendengar dampratan bengis dari supehnya itu. Suara aneh itu makin jelas kedengarannya, mirip dengan petikan harpa tapipun menyerupai dengan genderang perang yang membangkitkan hawa pembunuhan.

„Momok itu, bertambah hebat pengaruhnya!” kata Thian- lam-ping-siu.

Ceng Ih maju selangkah, berkata dengan setengah meratap: „Supeh sakit berat, bagaimana dapat menanggulangi musuh sekuat itu? Apakah kita mandah terikat tangan kita?"

Thian-lam-ping-siu tetap tenang saja. Dia melambai pada Ceng Ih suruh anak muda itu ikut masuk ke dalam pondok. Ceng Ih agak meragu. Masakan pondok itu dapat menahan serbuan Bo-ang Sancu. Bo-ang Sancu adalah seorang momok durjana yang sakti kepandaiannya. Perbawa serbuannya pada saat itu, sangat terasa sekali. Demikian keraguan hati Ceng Ih.

Namun walaupun langkahnya terhuyung-huyung. Thian- lam-ping-siu tetap tenang saja kelihatannya dikala menuju kedalam pondok. Apa boleh buat Ceng Ih mengikutinya, hanya saja dia palangkan pedang didada untuk siap sedia. Pondok itu sudah tak seberapa jauh jaraknya. Kini Thian-lam- ping-siu berlaku aneh. Bukannya dia langsung berjalan lurus, melainkan berbelok-belok ke kiri kanan di antara tumpukan batu yang berserakan di muka pondok itu. Ternyata dia mengitari pondok itu. setelah membelok sebuah tikungan, wajahnya menampil seri gembira!

Suara aneh dari empat penjuru itu, makin mendekati. Ceng Ih tetap mengikuti Thian-lam-ping-siu tiba dimuka pondok itu. Sekonyong-konyong dari empat jurusan terasa ada angin menderu. Ceng Ih berpaling dan alangkah terkejutnya

Dibalik deretan pohon liu yang tumbuh di tepi telaga sebelah kanan, muncullah empat orang gadis yang berpakaian putih dan bersolek macam dayang istana. Mereka sama meniup seruling dan mengapung langkahnya macam orang menari. Irama seruling dan gerak tariannya itu amat serasi sekali.

Belum habis kejut Ceng Ih, atau dari sebelah belakang kembali terdengar bunyi „trang-trang, tring-tring”. Buru-buru dia menoleh ke belakang. Kini di sebelah kiri dari jalan yang dilaluinya bersama Thian-lam-ping-siu tadi, lagi-lagi ada empat orang gadis berpakaian putih yang menari-nari sambil memetik pi-peh (harpa)! Berbareng pada saat itu, terdengarlah tiupun terompet mengaum di udara. Cepat-cepat Ceng Ih mendongak ke atas dan dapatkan pada puncak karang setinggi tujuh tombak yang berada di atas rumah pondok itu, muncul empat orang lelaki. Rambut mereka terurai, lengan dan kakinya tak tertutup pakaian. Mulut mereka meniup ou-ka (semacam terompet dari tanduk)!

Thian-lam-ping-siu masih belum masuk ke dalam pondok.

Dia pasang telinga mendengari kesemuanya itu.

„Momok itu telah mengadakan persiapan besar-besaran.

Anak muda, coba tengok ke arah telaga sana, apakah tampak ada perahu muncul?" 

Ceng Ih alihkan pandangan matanya ke arah telaga.

Memang di permukaan telaga itu tampak ada lima buah sinar lampu, tapi karena amat jauh jadi hanya kelap kelip seperti cahaya bintang saja. Sinar lampu itu menyusur dengan lajunya kedalam lapisan kabut malam dan tak berapa lama kemudian, benarlah muncul sebuah perahu.

„Supeh, memang ada perahu datang!" buru-buru dia memberitahukan supehnya.

Pada saat itu, suara seruling makin melengking tinggi, suara harpa beriak riuh dan terompet menggema lantang bagai memecah batu-batu gunung. Paduan bunyi-bunyian itu merupakan semacam musik seram yang dapat menegangkan urat syaraf. Sementara perahu pun makin jelas bentuknya.

Diterangi oleh lima buah lampu yang terang benderang, perahu yang bercat warna warni itu, makin indah kelihatannya. Pada buritan perahu, tegak berdiri empat orang gadis berpakaian putih macam dayang istana. Hanya saja mereka tak membawa alat bunyi-bunyian, melainkan mencekal pedang. Ditingkah cahaya penerangan, pedang mereka itu berkilau-kilau memancarkan cahaya pelangi.

Sungguh indah, mewah dan perkasa!

„Momok itu, ternyata siang-siang sudah mengadakan persiapan!” kata Thian-lam-ping-siu, lalu mendongak tertawa nyaring.

Ceng Ih terbeliak kaget, katanya dengan geram: „Supeh, siaotit yang tak tahu diri ini, telah gegabah menyelundup ke gunung Siao-ngo-tay. Ternyata belum dua puluh jurus saja, siaotit sudah terpecundang oleh Bo-ang Sancu. Siaotit dijebloskan dalam Han-tham (tahanan rawa dingin). Syukur berkat pertolongan Tan He kongcu, puteri Bo-ang Sancu, siaotit dapat diloloskan keluar. Kali ini kalau siaotit sampai tertangkap lagi, itulah memang kesalahan siaotit sendiri. Tapi yang siaotit sesalkan sekali, perbuatan siaotit itu telah merembet supeh. Ah asal supeh selamat tak kurang suatu apa, siaotit rela membayarnya dengan kematian yang bagaimana ngerinyapun juga!" 

Ceng Ih membawakan kata-katanya itu dengan rasa haru. Bukan takut kepada keganasan musuh, tapi dia memikirkan diri supehnya yang sudah tua dan berpenyakitan itu.

Tiba-tiba suara bunyi-bunyian itu berganti nada. Seruling melengking tinggi, harpa menggemuruh hawa pembunuhan dan terompet melolong-lolong seperti serigala kelaparan.

Barisan pohon liu yang mengitari tepi telaga dan disekitar pondok situ, menjadi makin terang. Kiranya perahu itu makin dekat ketepi. Lampunya memancarkan sinar sampai jauh.

Keempat dayang itu, makin jelas wajahnya.

Nyata mereka adalah gadis-gadis yang cantik jelita. Ruang perahu itu dihias dengan untaian mutiara. Untuk menggambarkan suasana pada saat itu, kira-kira adalah sebagai berikut:

Disambut dengan aneka alat bunyi-bunyian dari empat penjuru, meluncurlah sebuah perahu yang berhiaskan untaian mutiara. Lima buah lampunya yang terang benderang, menyiak kabut malam yang membungkus permukaan telaga. Empat dayang cantik tegak berdiri diburitan perahu dengan pedang terhunus ..........

Sebaliknya Thian-lam-ping-siu malah tertawa lepas.

Sedikitpun nada ketawanya itu tak mengunjuk kalau dia itu seorang tua yang berpenyakitan. Ceng Ih kaget dibuatnya.

„Anak muda, kalau Bo-ang Sancu hendak mencarimu, masakan dia mengerahkan seluruh anak buahnya kemari? Tujuan durjana itu, terang pada diriku. Mengapa kau sesali dirimu? Ha, ha, pecah sebagai ratna? Mungkin tidak sampai begitu!" kata Thian-lam-ping-siu dengan suara yang gagah, jauh sifatnya dari orang berpenyakitan.

„Tian-lam-ping-siu, sikakek penyakitan!” tanpa terasa Ceng Ih mengingau seorang diri. Tiba-tiba mimik wajahnya berseri, serunya dengan girang: „Ping-siu adalah gelaran supeh yang menggetarkan seluruh gelanggang persilatan. Kesaktian supeh justeru terletak dalam ping-siu (berpenyakitan) itu. Ah, siaotit sungguh tolol. tak sadar akan hal itu!"

Diluar dugaan, Thian-lam-ping-siu menghela napas panjang. Sikapnya lemas kembali seperti orang berpenyakitan lagi. Dengan suara yang lemah, dia berkata: „Itu hanya kegagahan dimasa yang lampau saja. Di gunung tiada pohon yang tak lapuk, di dunia tiada insan yang hidup abadi. Akupun tak terluput dari hukum alam itu. Satu-satunya harapanku pada malam ini, agar aku dapat menyerahkan tugas mulia yang berat dari kaum kita itu kepadamu. Dengan begitu barulah aku dapat mati dengan meram. Lekas ikut aku masuk kedalam pondok!"

Saat itu sekitar tempat disitu menjadi terang benderang.

Baru kaki Ceng Ih ikut supehnya melangkah kedalam pondok, suara bunyi-bunyian itu serempak sama berhenti. Seketika, suasana di telaga pegunungan situ, sunyi lelap seperti di kuburan. Pada lain saat dari arah tepi telaga sana terdengar orang berteriak: „Sambutlah kedatangan Sancu!"

Empat gadis peniup seruling dan empat gadis pemetik harpa tadi, menari-nari menghampiri tepi telaga. Ketika perahu merapat ketepi, terdengarlah tiga kali tiupan terompet. Dua dari keempat dayang yang tegak diburitan perahu tadi, ter-sipu-sipu menuju kepintu ruang perahu dan berlutut. Pintu tirai yang berhias mutiara terbuka, dan memancarlah sinar ke- merah-merahan. Dari dalam ruang perahu itu keluarlah empat orang wanita cantik. Pada belakang bahu mereka, sama memanggul pedang. Yang pertama keluar, bukan lain ialah Siang-hui. Ia mengenakan pakaian warna merah darah. Itulah sebabnya, maka sewaktu tirai dibuka, yang memancar adalah sinar merah. Ia diikuti oleh tiga wanita cantik.

Begitu turun ketepi, Siang-hui dan ketiga kawannya itu serentak memecah diri berbaris berjajar dengan dua rombongan gadis peniup seruling dan harpa, yang tegak berdiri dikanan kiri jalan.

Cara penyambutan itu tak ubah dengan penyambutan terhadap raja. Tapi anehnya, tokoh Bo-ang Sancu itu masih belum munculkan diri.

Saat itu Thiam-lam-ping-siu yang sudah berada didalam pondok, kedengaran menggerutu: „Durjana itu keliwat ber- lebih-lebihan!"

Walaupun wajahnya tak menampil ketakutan, namun perasaan Ceng Ih tegang juga. Tapi ketika dia memandang Thian-lam-ping-siu yang tegak berdiri dengan tenangnya itu, dia malu dalam hati sendiri.

„Anak muda, lekas bongkarlah keempat dinding pondok ini!” tiba-tiba Thian-lam-ping-siu memberi perintah.

Sudah tentu Ceng Ih terperanjat dibuatnya. Sekalipun dikelilingi oleh dinding, tetap pondok itu tak kuasa menahan serbuan musuh yang begitu kuat. Apalagi, kini malah hendak dihilangkan dindingnya. Ai, bagaimana ni? Tapi setelah merenung sejenak, tersadarlah Ceng Ih. Buru-buru dia gunakan lwekang untuk menghantam keempat dinding pondok itu. Jadi kini yang masih tertinggal, hanyalah atap wuwungannya saja. 

Tapi suatu kejadian aneh terasa oleh Ceng Ih. Walaupun keempat dinding itu sudah dibongkar, namun cahaya lampu dari perahu lawan tak dapat menerobos alias tak kelihatan menyorot masuk. Yang masuk ke dalam pondok hanyalah cahaya rembulan melalui sela-sela atap saja!

Sedang kini dari dalam perahu yang berlabuh di tepi telaga itu, turunlah dua orang tojin yang mengenakan jubah merah. Kebut pertapaannyapun merah rambutnya. Usia mereka diantara lima puluhan tahun. Ciri-cirinya yang menyolok ialah sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam. Hal itu menandakan bahwa mereka memiliki lwekang yang tinggi.

Sewaktu turun dari perahu, mereka menggunakan ilmu lwekang yang dinamakan leng-gong-hi-to (mengambang ditempat kosong), jadi sepatunyapun tak kena lumpur.

Menyusul dengan itu, empat orang hwesio gemuk keluar dari ruang perahu. Merekapun mengenakan jubah pertapaan warna merah darah. Senjata mereka adalah hong-pian-jan (semacam sekop) yang bergigi. Ujung gigi senjata itu berkilat- kilat ditimpa sinar lampu. Baru perbawanya saja sudah menimbulkan rasa seram!

Tanpa terasa Ceng Ih cekal pedangnya erat-erat. Dengan tegang dia berkata seorang diri: „Hem, Ceng, Ciang, Siang, Kui keempat Hui (selir), kedua Ji Sian-ong penjaga gunung, keempat Cun-cia penilik rawa, sama datang semua. Nyata Bo- ang Sancu mengadakan konfrontasi besar-besaran!"

Thian-lam-ping-siu menyambut dengan tertawa getir:

„Anak muda, masih ada Chit-cinjin (tujuh cinjin) lagi. kau lihatlah!”

Serentak terdengar seruling dan harpa berbunyi lagi.

Mengira kalau Bo-ang Sancu yang akan muncul, Ceng Ih buru- buru berpaling mengawasi kemuka. Tapi ternyata yang muncul sesudah keempat hweshio gemuk itu, adalah 7 orang tojin tua. Mereka mengenakan jubah warna warni. Yang dimuka sendiri berwarna merah, lalu coklat, kuning, hijau, biru, biru laut dan wungu. Ditingkah sinar penerangan, sepintas pandang seperti warna pelangi!

„Anak muda, apakah kau tahu gelaran dari ketujuh tojin itu?" tanya Thian-lam-ping-siu.

Benar Ceng Ih pernah mengaduk kesarang mereka di gunung Siao-ngo-tay-san dan bertempur sendiri dengan pemimpin mereka ialah Bo-ang Sancu. Tapi pada saat itu, pihak Siao-ngo-tay-san tidak mengerahkan seluruh

„panglimanya”. Maka diapun tak mengetahui jelas urut-urutan dan susunan organisasi mereka. Hanya saja sebagai seorang persilatan yang berilmu tinggi, tahulah Ceng Ih bahwa tokoh- tokoh lawan yang berturut-urut memamerkan kekuatannya itu, setiap rombongan yang muncul tentu lebih lihay dari rombongan yang muncul sebelumnya. Keempat Hui yakni Ceng-hui, Ciang-hui, Siang-hui dan Kui-hui itu, sedang-sedang saja. Tapi kedua Ji Sian-ong itu, tidak dibawah kepandaiannya (Ceng Ih). Keempat Cun-cia itu tentu lebih hebat. Sedang ketujuh tojin tua itu, jangan dikata lagi.

Setelah dia menjawab tak tahu, Thian-lam-ping-siu menerangkan kalau ketujuh tojin itu bergelar Chit Cin-cu. Mereka adalah tokoh-tokoh yang mahir dalam ilmu lwekang. Jadi orang bawahannya saja sudah sedemikian hebatnya, apalagi pemimpinnya si Bo-ang Sancu. Bagaimanapun kerasnya nyali Ceng Ih, namun mau tak mau dia bercekat juga.

„Supeh, ketika siaotit mengaduk seorang diri ke Siao-ngo- tay-san, siaotit berhasil menyusup dari pengawasan Ji Sian- ong dan keempat Cun-cia. Tapi ketika hendak menerjang ke istana, siaotit dipegat oleh keempat Hui itu. Baru siaotit mengalahkan mereka, Bo-ang Sancu muncul sendiri dan kesudahannya siaotit dapat ditawan. Jadi siaotit tak sempat mengetahui ketujuh tojin itu!” kata Ceng Ih.

„Hem, kalau dengan mengerahkan seluruh pembantunya itu Bo-ang Sancu akan dapat menerobos kemari dengan mudahnya, itulah keliru. Anak muda, duduklah disisiku sini. Kita masih ada waktu beberapa detik, biar kuberitahukan padamu mengenai siasat yang akan mereka gunakan nanti!" kata Thian-lam-ping-siu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar