Misteri Lukisan Tengkorak Bab 37 : Salju Di Awal Fajar (Tamat)

37. Salju Di Awal Fajar (Tamat)

Dalam ruang rahasia yang gelap gulita, pertarungan tinggal berlangsung satu gebrakan.

Waktu itu Li Ok-lay merasa Li Hian-ih menyelinap maju menghampiri rubuhnya.

Maka dengan satu gerakan cepat dia melepaskan sebuah tusukan kilat, serangan ini dilancarkan dengan sepenuh tenaga dan disertai sebuah tekad, menghabisi nyawa lawan.

"Crriiit!", tusukan itu langsung bersarang telak di perut Li Hian-ih.

Li Ok-lay sangat girang, belum sempat ingatan kedua melintas, tubuh Li Hian-ih sudah merangsek maju ke depan, dan dalam waktu singkat dia sudah menotok tujuh buah jalan darah penting di tubuhnya.

Li Ok-lay mendesis tertahan, tubuhnya seketika terkulai lemas di tanah.

Ternyata Li Hian-ih sengaja membiarkan badannya tertembus tusukan pedangnya dengan niat menangkapnya hidup-hidup. Dalam keadaan begini Li Ok-lay hanya bisa menghela napas panjang.

"Bunuhlah aku," keluhnya.

Li Hian-ih terbatuk-batuk, dengan susah payah jawabnya, "Sayang aku tak punya wewenang untuk membunuhmu."

Kini Li Ok-lay dapat mendengar tetesan darah yang mengalir keluar dari tubuh Li Hian-ih, kembali serunya, "Ternyata kau berani mengadu nyawa ... jauh lebih ulet, jauh lebih mengerikan ketimbang Leng-hiat!"

"Ilmu silatmu sangat tangguh," Li Hian-ih merintih, "bila aku tidak berkorban ... mana mungkin bisa membekukmu hidup-hidup."

"Dengan mengandalkan ilmu silatmu, menangkapku memang bukan pekerjaan yang gampang, tapi untuk membunuhku, seharusnya tidak sulit untuk kau lakukan!"

Li Hian-ih menghela napas panjang. "Aaai, aku heran, kenapa kalian ... kalian begitu suka membunuh orang, apakah tidak terkecuali terhadap keselamatan diri sendiri?"

Di balik kegelapan, meski kedua orang itu tak dapat saling memandang, tapi kedua belah pihak sama-sama menghargai kemampuan lawannya.

Sampai lama sekali Li Ok-lay termenung, kemudian baru bertanya, "Dalam hidupmu ini ... apakah ... apakah tak pernah berpikir untuk membunuh seseorang?"

"Ada...” ada seorang jawab Li Hian-ih dengan suara pedih.

Belum selesai dia berkata, pintu sudah dibuka dan dia muncul sambil menggelandang Li Ok-lay.

Melihat pemimpin mereka sudah tertawan, anak buah Li Ok-lay semakin tak berani berkutik lagi. Leng-hiat sekalian pun merasa gembira setelah menyaksikan kemenangan yang berhasil diraih Li Hian-ih, namun mereka pun terkejut ketika melihat sebilah pedang masih menancap di lambungnya.

Segera Leng-hiat menotok beberapa jalan darah di seputar luka Li Hian-ih, kemudian mencabut keluar pedang itu dan membubuhi obat.

"Aku ... aku berhasil membekuknya!" bisik Li Hian-ih sambil tertawa getir.

"Bunuh!" tiba-tiba Bun Tio menurunkan perintahnya.

Serentak semua orang melolos senjata sambil meluruk maju ke depan.

"Tahan!" hardik Li Hian-ih gusar.

"Kenapa?" tanya Bun Tio sambil menarik wajah.

"Akulah yang menangkap dia, akan kubawa dia ke kotaraja, dia harus diperiksa sesuai dengan prosedur."

"Kau berani membangkang perintah kaisar?" jengek Bun Tio sambil tertawa dingin.

Li Hian-ih melengak, sambil manggut-manggut Leng-hiat berkata, "Benar, firman kaisar baru saja turun, diperintahkan untuk menghabisi nyawa Li Ok-lay!"

Sementara Li Hian-ih masih tertegun, tiba-tiba tampak seseorang menyelinap maju ke depan sambil menghujamkan goloknya ke punggung Li Ok-lay.

Jerit kesakitan bergema memecah keheningan, rasa sakit yang luar biasa membuat jalan darah Li Ok-lay yang tertotok seketika tertembus bebas, dengan mata melotot gusar ia berpaling.

Ternyata sang pembokong adalah Kwan Siau-ci! "Kalian ... kalian hendak melenyapkan saksi ...!" jeritnya gusar.

Kwan Siau-ci mendengus sinis, sekali lagi dia menghujamkan goloknya ke hulu hati lawan.

Darah segar segera menyembur ke empat penjuru, seketika itu juga Li Ok-lay terkapar di tanah dan tewas.

Li Hian-ih maupun Li Ok-lay tahu perbuatan itu merupakan perintah Hu Tiong-su, setelah rencana busuk mereka mengalami kegagalan, tentu saja dia perlu menghilangkan nyawa Li Ok-lay secepatnya.

Tak disangka tampaknya Li Ok-lay sudah mendapat firasat jelek, maka sebelum mulutnya dibungkam, dia membongkar dulu rahasia besar itu.

"Kau memang manusia laknat yang tak tahu malu!" umpat Li Hian-ih sambil melotot ke arah Kwan Siau-ci.

Dengan cepat Kwan Siau-ci mundur selangkah, sahutnya cepat, "Aku hanya melaksanakan perintah kaisar."

Dengan gemas Leng-hiat maju selangkah, kini dia benar- benar ingin menghabisi nyawa manusia rendah yang licik dan tak tahu malu itu.

"Siau-ci!" tiba-tiba terdengar Ting Tong-ih berteriak keras. Rupanya Tong Keng telah memberitahu kepada Ting Tong-

ih bahwa orang ini adalah adik kandung Kwan Hui-tok.

Kwan Siau-ci melongo, tentu saja dia tak mengenal siapakah wanita cantik yang memanggil namanya itu.

"Ketapel cilik" Ko Hong-liang segera berseru, "dia adalah nona Ting, sahabat karib kakakmu Kwan Hui-tok, kakakmu... berpesan kepada nona Ting untuk datang menengokmu."

Kwan Siau-ci sadar, posisinya saat ini sangat berbahaya, sejak Li Ok-lay membocorkan rahasia tentang lukisan tengkorak kepada Leng-hiat dan Li Hian-ih, dia tahu dirinya telah menjadi salah satu saksi, maka bila rencana Li Ok-lay mengalami kegagalan, dia pun pasti akan dihabisi nyawanya.

Tak ingin kehilangan nyawa maka dia pun mendahului turun tangan dengan membunuh Li Ok-lay.

Tapi dia pun sadar bahwa Leng-hiat sekalian tak bakal melepaskan dirinya begitu saja, maka begitu tahu di antara kerumunan musuh tiba-tiba muncul 'orang sendiri', dia segera memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.

Segera dia menyongsong ke depan seraya berseru, "Enci Ting, Toako pernah menyinggung tentang dirimu."

Leng-hiat tahu, Kwan Siau-ci yang licik ingin menggunakan perlindungan Ting Tong-ih untuk menyelamatkan diri, dalam keadaan begini dia tak ingin mencari masalah lain maka sambil menghela napas dia hanya menggelengkan kepala berulang kali.

Bun Tio yang melihat tugasnya telah selesai dilaksanakan, segera mengajak anak buahnya untuk pergi meninggalkan tempat itu.

Hingga menjelang tengah malam Leng-hiat dan Li Hian-ih baru tiba kembali di kantor Sin-wi-piau-kiok

Karena sama-sama terluka parah, kedua orang itu harus saling membantu mendekati kantor Sin-wi-piau-kiok.

Saat itulah mereka mendengar suara Ko Hong-liang sedang berseru dengan nada gembira, "Ayo, cepat, cepat ganti papan nama itu, kita harus segera menggantung papan nama pemberian Sri Baginda."

"Yong-sute, cepat ambil buku catatan, kita harus menyebar undangan untuk mengundang semua sahabat dunia persilatan, peristiwa besar ini harus kita rayakan dengan ramai." "Baginda memang bijaksana, Thian memang punya mata, akhirnya aku tidak mempermalukan kejayaan serta nama baik mendiang ayahku!"

Terenyuh juga Li Hian-ih dan Leng-hiat menyaksikan kegembiraan yang melanda perasaan Ko Hong-liang waktu itu.

"Aaai...” Leng-hiat menghela napas panjang, "setelah kehilangan banyak nyawa, setelah menanggung semua penderitaan dan hinaan, akhirnya hanya dengan sepucuk firman kaisar semuanya telah berlalu, semua luka telah terobati, semua dendam sakit hati sudah terlupakan ... tak heran orang selalu bilang, bersin seorang pembesar tinggi jauh lebih berharga daripada mati hidup seorang rakyat kecil."

"Ko-kokcu tidak mengingat dendam, tidak mengingat rasa benci, hal ini menunjukkan kebesaran jiwanya," Li Hian-ih mencoba menjelaskan.

Ketika mereka berdua mendekati pintu gerbang, terdengar Tong Keng kembali bertanya kepada Ko Hong-liang, "Kokcu, Go Seng... Go-piauthau masih berada dalam penjara, apakah...”

"Kita tak usah pedulikan dia lagi!" tukas Ko Hong-liang tak senang, "Sri baginda pasti akan mengutus orang untuk menyelidiki persoalan ini, cepat atau lambat dia pasti akan dibebaskan, tak ada gunanya kita merasa cemas!"

"Tapi ... Go-piauthau masuk penjara bersama kita, sudah seharusnya dia telah dibebaskan dari penjara ... apa perlu kita kirim orang untuk menyelidikinya?"

"Menyelidiki?" terdengar Ko Hong-liang semakin jengkel. "bukankah Kaisar telah berkata akan dilakukan

penyelidikan? Urusan kita masih banyak, kalau sampai

membikin gusar kaisar, hidup kita bisa sengsara lagi...” Kelihatannya kehidupan yang berat dan penderitaan selama ini telah membuat hatinya ciut, dia tak ingin mencari masalah lagi.

Diam-diam Leng-hiat memberi tanda kepada Tong Keng agar keluar ruangan.

Tong Keng mengajak Leng-hiat dan Li Hian-ih naik ke loteng, selesai menghidangkan air teh baru ia berkata, "Biar kuundang Kokcu datang kemari."

"Tidak usah," tampik Leng-hiat, "dia... dia tentu sedang repot sekali."

Saat itulah tiba-tiba muncul seorang gadis berwajah cantik, ternyata dia adalah Ko Siau-sim, segera Tong Keng memperkenalkan gadis itu kepada semua yang hadir.

Dari dalam sakunya Ko Siau-sim mengeluarkan selembar kain putih yang sudah agak menguning, katanya tiba-tiba, "Inilah benda yang sedang dicari kawanan opas itu, sebenarnya apa sih kegunaannya?"

"Apakah kain itu adalah kain pembungkus jenazah Lotoaya?" tanya Li Hian-ih.

"Kita semua tak tahu....” Leng-hiat tertawa getir, mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, segera

dia mengeluarkan gulungan kain yang diserahkan Ni Jian-ciu kepadanya dan membukanya lebar.

Ternyata gulungan kain itu merupakan kulit manusia dengan sulaman berpuluh buah tulang tengkorak berwarna putih, ada yang besar ada pula yang kecil, tengkorak- tengkorak itu dilukiskan sedang mengadakan pesta di sebuah gedung, ada yang memegang cawan arak, ada bangunan gedung, ada gunung-gunungan, ada pula lentera indah, semua benda itu disulam sangat indah.

"Oooh, sungguh menakutkan” pekik Ko Siau-sim lirih. Leng-hiat tahu lukisan itu terbuat dari beberapa lembar kulit manusia yang diperoleh dari menguliti para narapidana, tapi dia tak tahu apa kegunaannya, dengan perasaan sedih dia pun meletakkan lukisan itu di atas meja.

Siapa tahu ketika lukisan tengkorak saling menempel dengan kain pembungkus mayat itu, terjadilah kilatan cahaya fosfor yang menyilaukan mata.

Segera Leng-hiat menyambar kedua lembar kain itu dan direntangkan di bawah cahaya lentera, tampak bentuk serta potongan kedua lembar kain itu persis satu dengan lainnya, bahkan di atas tengkorak-tengkorak itu segera muncul banyak sekali kilatan cahaya fosfor yang merupakan kode-kode rahasia.

Menyaksikan keanehan itu, tak kuasa lagi Li Hian-ih menghela napas sambil memuji, "Ternyata Am-hoa Thaysu memang tak malu disebut tokoh ilmu rajah, biarpun orangnya sudah lama terkubur dalam tanah, namun ketika kain pembungkus mayat disatukan dengan lukisan pada kulit manusia itu, seluruh kode rahasianya segera bermunculan, benar-benar sebuah maha karya yang luar biasa!"

Rupanya Hu Tiong-su telah memerintahkan Li Wan-tiong untuk membuat seperangkat lukisan tengkorak dari kulit manusia, tentu saja semua lukisan yang tertera pada kulit manusia itu dibuat persis sama dengan gambar rajah yang ada di dada Ko Hway-sin.

Tampaknya dia memang sengaja melakukan hal itu agar setelah ditempelkan pada kain pembungkus mayat, semua kode rahasia yang tersimpan segera akan bermunculan dan terbaca dengan jelas, dengan sendirinya semua tempat rahasia dan strategis yang ada dalam istana pun dapat terlihat jelas. Dengan perasaan girang Leng-hiat segera berseru, "Akan kubawa pulang benda ini dan kuserahkan kepada Cukat- sianseng”

Tiba-tiba dia susupkan kain pembungkus mayat dan lukisan tengkorak itu ke tangan Ko Siau-sim, lalu pasang telinga sambil mendengarkan dengan seksama.

Ternyata pada saat itu terdengar suara derap kaki kuda yang bergerak mendekat, ketika tiba dalam lorong dekat pintu gerbang Sin-wi-piau-kiok, terlihat tubuh seseorang terjatuh dari atas pelana kuda.

Serentak Leng-hiat dan Li Hian-ih melompat bangun, membuka jendela dan menengok ke bawah.

Tampak seekor kuda telah berhenti di depan pintu, di punggung kuda itu terlihat noda darah kental, sesosok tubuh manusia terkapar di atas permukaan salju, darah kental pun berceceran membasahi lapisan salju di seputar sana.

Orang itu berambut panjang berwarna hitam.

Li Hian-ih saling bertukar pandang sekejap dengan Leng- hiat, kemudian secepat kilat mereka melompat turun sambil membangunkan orang tadi.

"Aaah, Ni Jian-ciu!" jerit mereka tertahan.

Ternyata orang yang terluka parah dan berada dalam keadaan sekarat itu tak lain adalah manusia latah berambut putih Ni Jian-ciu.

Saat itu darah kental berwarna hitam masih meleleh keluar dari mulut, hidung dan telinga Ni Jian-ciu, dengan susah payah dia membuka matanya lalu berbisik lirih, "Saudara- saudaraku ... Ong Beng-kun ... mereka ... mereka telah membohongi aku ... mereka melarikan ketiga buli-buli mestika yang ... yang telah kuperbaharui ... mereka telah ... telah meracuni aku ... aku ... sangat... sangat menyesal...” Tiba-tiba ia berpekik nyaring, suaranya lirih dan mengenaskan, lalu tubuhnya mengejang keras, rambutnya yang hitam berubah menjadi putih kembali dan akhirnya dia menghembuskan napasnya yang terakhir.

Leng-hiat menggenggam kencang sepasang tangan Ni Jian- ciu yang mulai mendingin, teriaknya, "Aku pasti akan membalaskan dendam sakit hatimu!"

Dia sangat sedih dan menyesal, bagaimanapun dia merasa kematian Ni Jian-ciu gara-gara ulahnya yang telah mempersatukan kembali dia dengan saudara-saudaranya yang telah berkhianat, akibatnya Ong Beng-kun bukan saja tidak berubah watak jahatnya, mereka justru telah mencelakai nyawa Ni Jian-ciu dan memperoleh ketiga buli-buli mestika itu.

Dalam pada itu Tong Keng telah ikut melompat turun, dia menjadi tertegun setelah menyaksikan Ni Jian-ciu tergeletak di tanah bersimbah darah.

Li Hian-ih segera berkata kepada Leng-hiat, "Aku akan menemanimu pergi menangkap Ong Beng-kun, cepat kau ambil kembali lukisan tengkorak serta kain pembungkus mayat itu sementara aku dan saudara Tong akan mengubur jenazah Ni Jian-ciu."

"Baik!" sahut Leng-hiat sambil melompat kembali ke atas loteng.

Mendadak ia teringat luka tusuk yang diderita Li Hian-ih pada lambungnya, luka itu cukup parah dan seharusnya tak baik kelewat lama berada di tempat yang dingin.

Kalau ingin mengubur jenazah Ni Jian-ciu, sepantasnya bila mereka menggali tanah kubur bersama.

Berpikir begitu segera dia balik kembali ke tempat semula.

Dari atas atap rumah ia lihat Li Hian-ih sedang berbicara dengan Tong Keng, kemudian tampak Raja opas itu mencabut keluar pedang hijau milik Li Ok-lay dan langsung ditusukkan ke tubuh Tong Keng.

Kepandaian silat yang dimiliki Tong Keng masih jauh ketinggalan dibandingkan kepandaian Li Hian-ih, baru berhasil menghindari sebuah tusukan, tubuhnya sudah roboh terjungkal ke atas tanah.

Tampak Li Hian-ih segera berkomat-kamit seperti membaca doa, kemudian pedangnya langsung ditusukkan ke bawah.

"Ampuni jiwanya!" segera Leng-hiat berteriak, secepat kilat dia melompat turun sambil berusaha menangkis tusukan itu.

Li Hian-ih segera menarik kembali pedangnya, lalu sambil menuding ke arah Leng-hiat serunya, "Urusan ini tak ada sangkut-pautnya dengan dirimu!"

Mimpi pun Leng-hiat tidak menyangka kalau Li Hian-ih yang tak pernah membunuh orang ternyata berusaha menghabisi nyawa Tong Keng, teriaknya tertahan, "Kenapa kau berbuat begitu?"

Rasa sedih, pedih dan murung terlintas di atas wajah Li Hian-ih, dia sama sekali tidak menjawab.

Tong Keng yang terkapar di atas tanah segera berseru, "Dia bilang Li Wan-tiong adalah putranya! Dia bilang Li Wan- tiong adalah putranya!"

"Jadi kau bilang harus membunuh seseorang, orang itu adalah dia? Kau ingin membalas dendam atas kematian putramu?" tanya Leng-hiat tercengang.

Li Hian-ih tertawa pedih.

"Aku hanya mempunyai seorang anak saja, Li Wan-tiong adalah satu-satunya putraku, justru karena aku tak ingin dia hidup menderita seperti aku, maka kuserahkan dia kepada Hu- thayjin untuk dipelihara, ternyata perdana menteri Hu menyerahkan Wan-tiong kepada Li Ok-lay ... aku ... aku tidak menyangka akhirnya dia tewas dibunuh orang ini ... aku tahu anakku memang jahat dan banyak melakukan kekejaman, tapi aku hanya mempunyai seorang anak, aku harus membalas dendam atas kematiannya!"

Dengan cepat Leng-hiat menghadang di hadapan Tong Keng, serunya, "Anakmu terbunuh karena Li Ok-lay telah salah mendidik, karena Li Ok-lay kelewat memanjakan dirinya, bila ingin membalas dendam, seharusnya kau mencari Li Ok-lay, Tong Keng sama sekali tak bersalah."

"Aku tahu dia memang tak salah," Li Hian-ih sangat sedih, "tapi aku harus mencabut nyawanya sebagai ganti nyawa putraku ... Li Ok-lay sudah tewas, dia pun harus mati!"

"Hmm, aku sangka kau selalu adil dan bijaksana dalam mengambil keputusan," jengek Leng-hiat sambil tertawa dingin, "ternyata sama saja, kau pun egois, kau hanya tahu memikirkan kepentingan sendiri, kau sama seperti mereka, tak bisa membedakan mana besar mana salah, kau pun membunuh manusia baik!"

"Kau bisa berkata begitu karena kau belum pernah punya anak!" bentak Li Hian-ih sambil mengayunkan pedangnya, "aku menantangnya berduel karena aku menggunakan hukum yang berlaku dalam dunia persilatan, peristiwa ini sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan hukum negara!"

Mendengar ucapan itu Leng-hiat menghela napas panjang. "Aaai, aku tak bisa membiarkan kalian berduel, sebab dia pasti bukan tandinganmu!"

"Batukku sudah membuat paru-paruku membusuk," kata Li Hian-ih sambil tertawa getir, "sebuah tusukan maut juga telah merusak ususku, bukan sesuatu yang sulit baginya bila ingin membunuhku!"

"Aku pun sudah menderita luka parah" kata Leng-hiat sambil tertawa, "kita semua sudah terluka dan kehabisan tenaga, bila kau ingin bertarung melawannya, lebih baik menangkan dulu diriku!"

"Aku tak ingin membunuhmu," ucap Li Hian-ih sambil menghela napas panjang.

"Kalau begitu, ampunilah nyawa Tong Keng."

Kembali Li Hian-ih terbatuk hebat, batuknya begitu keras dan hebat seakan-akan kedua paru-parunya telah hancur, lama kemudian baru ia berkata, "Tidak! aku harus membunuhnya!"

Pedangnya langsung ditusukkan ke tubuh Tong Keng.

Leng-hiat mengayunkan pedangnya dan menangkis bacokan itu.

Sambil terbatuk-batuk Li Hian-ih melambung ke udara, melewati tubuh Leng-hiat dan mengejar ke arah Tong Keng.

Sekali lagi Leng-hiat berguling di atas tanah sambil melancarkan serangan, kembali dia tangkis tusukan maut itu.

Salju yang turun di awal fajar tampak semakin deras, hawa dingin semakin menusuk tulang.

Li Hian-ih terbatuk tiada hentinya, dia seolah tak tahan menghadapi hawa pembunuhan yang terpancar dari pedangnya serta hawa dingin bunga salju yang berguguran.

"Kenapa kau selalu menghalangi aku?"

"Kenapa pula kau ingin membunuh seseorang yang sama sekali tak tersangkut dalam kejadian ini?"

Sambil menghela napas Li Hian-ih kembali melancarkan serangan, tapi Leng-hiat segera menghadang serangan itu.

Dengan cepat Raja opas memutar badannya sambil melakukan babatan, sebuah garis luka yang memanjang segera muncul di tubuh Leng-hiat. Dengan melukai Leng-hiat sebenarnya Li Hian-ih berharap opas kenamaan itu agak terhalang gerakan tubuhnya sehingga dia mendapat peluang untuk membunuh Tong Keng.

Siapa tahu justru karena luka itu, Leng-hiat jadi terangsang, watak nekadnya segera muncul, dengan penuh semangat ia justru balas melancarkan serangkaian serangan berantai.

Batuk Li Hian-ih semakin parah, tapi serangannya sama sekali tak mengendor.

Bunga salju makin deras berguguran ke bumi, kini seluruh permukaan jalan sudah dilapisi oleh salju yang tebal.

Ketika bunga salju menempel di tubuh mereka, segera berubahlah menjadi bunga darah, luka di tubuh mereka pun mengucurkan darah semakin deras, pergulatan yang sengit membuat luka-luka itu merekah semakin lebar.

Lama kelamaan Tong Keng menjadi tak tega juga, dia tahu Leng-hiat sedang mati-matian melindungi keselamatan jiwanya.

"Leng-suya, biarkan dia membunuhku” teriaknya.

Leng-hiat seakan tidak mendengar teriakan itu, dia masih mendesak musuhnya dengan sepenuh tenaga.

Suara batuk Li Hian-ih makin menghebat dan bertambah parah, kini suaranya sudah mirip kotak angin yang bobrok, suara yang seakan bisa terhenti secara tiba-tiba.

Bebeberapa kali Li Hian-ih ingin melampaui Leng-hiat untuk membunuh Tong Keng, tapi ia tak pernah berhasil membobol pertahanan Leng-hiat yang ketat.

Untuk membunuh Tong Keng, dia harus menjatuhkan Leng-hiat terlebih dulu.

Tapi sayang Leng-hiat bukan seorang jago yang gampang dirobohkan. Bila ingin merobohkan Leng-hiat, satu-satunya jalan adalah mencabut nyawanya.

Semakin lama pertarungan berlangsung, daya semangat dan kemampuan yang dimiliki Leng-hiat semakin terangsang keluar, makin bertempur Leng-hiat makin gigih dan kosen, sekalipun darah bercucuran dari lukanya semakin deras.

Ilmu silat yang dimiliki Li Hian-ih memang sangat hebat, tenaga dalamnya jauh di atas kemampuan Leng-hiat, oleh sebab itu semakin bertarung, semua kehebatan ilmu silatnya semakin terpancar keluar.

Tapi gaya pertarungan yang dilakukan Leng-hiat adalah gaya pertarungan orang nekad, menghadapi manusia nekad semacam ini, biar seseorang memiliki ilmu silat tiga empat kali lebih hebat pun tetap sulit mengalahkannya dalam waktu singkat.

Salju turun semakin deras.

Fajar pun mulai menyingsing, secercah sinar terang mulai muncul di ufuk timur.

Waktu itu Tong Keng sudah terdesak hingga tiba di atas dinding loteng, Leng-hiat masih berusaha melindungi Tong Keng dengan punggung membelakangi bangunan, sedangkan Li Hian-ih persis menghadap ke arah bangunan loteng Sin-wi- piau-kiok.

Tiba-tiba Li Hian-ih berpekik panjang, tubuhnya melambung ke tengah udara.

Jurus serangan ini sungguh sangat menakutkan, rupanya dia ingin menyergap dari atas.

Leng-hiat sama sekali tak menyangka kalau Li Hian-ih bakal mengeluarkan jurus serangan mematikan semacam ini, satu ingatan dengan cepat melintas dalam benaknya, "Kau ingin membunuhku, aku pun ingin membunuhmu, aku tak akan membiarkan kau membunuh Tong Keng!" Leng-hiat membentak gusar, tubuh berikut pedangnya meluncur ke atas sambil melepaskan sebuah tusukan.

"Bluuusss!", ujung pedang meluncur ke atas menembus dada Li Hian-ih.

Tapi gerakan tubuh Li Hian-ih sama sekali tak berhenti, dia masih melesat ke arah ruang loteng dan sama sekali tidak mempedulikan tusukan pedang Leng-hiat yang telah menembus dadanya.

Ternyata tusukan maut yang dilancarkan Li Hian-ih tertuju ke dalam ruang loteng itu.

Dengan perasaan terkesiap Leng-hiat berpaling, dia saksikan Kwan Siau-ci yang berada di ruang loteng sedang menghujamkan pisau belatinya ke punggung Ting Tong-ih, sementara tusukan pedang Li Hian-ih telah menghujam di punggung Kwan Siau-ci.

Dalam waktu singkat Ting Tong-ih roboh terkapar, Kwan Siau-ci juga roboh terkapar, Li Hian-ih sambil melepaskan pedangnya ikut terkapar.

Dari balik ruang loteng segera terdengar jeritan kaget Ko Siau-sim.

Bedanya, tubuh Li Hian-ih masih tertinggal di luar jendela, oleh karena itu tubuhnya segera terjungkal dan roboh ke atas tanah.

Dengan perasaan amat pedih Leng-hiat berlari menghampiri, memeluk tubuh Li Hian-ih dengan erat.

Ujung pedang masih menongol di depan dada Li Hian-ih, ia memandang sayu wajah Leng-hiat, beribu kata terkandung dalam tatapan itu, namun tak sepatah kata pun yang diucapkan.

Akhirnya dia mulai batuk. Bersama dengan batuknya, darah segar menyembur keluar dari mulutnya, Li Hian-ih menghembuskan napasnya yang penghabisan.

Leng-hiat memeluk tubuh Li Hian-ih erat-erat, dia sangat membenci, dia amat membenci diri sendiri!

Dia tahu apa yang hendak diucapkan Li Hian-ih, dia bukan ingin membunuh Leng-hiat, karena ia saksikan Kwan Siau-ci yang berada di ruang loteng sedang turun tangan membunuh Ting Tong-ih, karena tak sempat memberi penjelasan, maka ia segera meluncur ke atas berusaha menghalanginya.

Tapi Leng-hiat mengira dia akan melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga sehingga akhirnya malah mencabut nyawanya.

Selama hidup Li Hian-ih tak pernah membunuh seorang manusia pun, hari ini untuk pertama kalinya dia membunuh, tapi dia harus mengorbankan juga nyawa sendiri.

Sambil memeluk jenazah Li Hian-ih, Leng-hiat berlutut di atas permukaan salju, mengawasi fajar yang baru menyingsing, ia berdiri termangu.

Dalam waktu singkat bunga salju telah menyelimuti seluruh tubuhnya, membuat Leng-hiat berubah seperti manusia salju.

Sementara itu Ko Siau-sim sedang menangis di atas loteng, sambil berlari ke dalam pelukan Tong Keng, serunya, "Si ketapel cilik, dia ... dia menggunakan kesempatan di saat kalian sedang bertempur pergi mencuri kain pembungkus mayat dan lukisan tengkorak... Cici Ting tidak mengizinkan, dia pun berlagak tidak jadi ... tiba-tiba dia mencabut pisaunya dan membokong Cici Ting. "

Tong Keng memeluk kepala Ting Tong-ih erat-erat, kulit tubuhnya masih terasa lembut dan halus, tapi darah segar telah membasahi seluruh dadanya, menggenangi seluruh permukaan lantai. Tak selang beberapa saat kemudian Ting Tong menghembuskan napas terakhir. Tong Keng tahu kenapa dia kehilangan nyawanya. Bukan lantaran Kwan Siau-ci. Melainkan karena Kwan Hui-tok.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar