Misteri Lukisan Tengkorak Bab 36 : Firman Kaisar

36. Firman Kaisar.

Selesai bersantap malam, ruangan Sin-wi-piau-kiok diterangi bebeberapa lentera yang sudah lama tak pernah disulut, semua orang telah berganti pakaian ringkas dan berkumpul di depan meja bundar.

Selesai membagi tugas, Ko Hong-liang memperhatikan wajah semua orang, kemudian tanyanya, "Kita bisa berangkat?"

Tong Keng menengok ke arah Ting Tong-ih.

Gadis itu tersenyum, biar bagaimanapun seramnya hawa pembunuhan yang menyelimuti suasana di situ, namun baginya semua tetap tenang dan santai.

"Baik," seru Ko Hong-liang sambil membalikkan badan dan mengucapkan beberapa patah kata pada istrinya.

Tentu saja perkataan yang disampaikan adalah kata-kata perpisahan. Tiba-tiba Tong Keng merasa ujung bajunya ditarik orang, ketika berpaling ia lihat Ko Siau-sim sedang mengawasinya dengan air mata berlinang.

"Aku tahu, tadi akulah yang salah," kata gadis itu sambil menyandarkan kepalanya di atas bahu Tong Keng, "Tong- toako, sekalipun sikapmu kurang baik padaku, namun aku tetap akan baik padamu, barusan pikiranku telah terbuka, selama ini kau anggap aku sebagai adikmu lantaran kau menyayangi aku, merindukan aku, aku pun merindukan dirimu, selama hidup sampai mati pun aku tetap akan merindukan dirimu."

"Ayo, kita berangkat!" kata Ko Hong-liang kemudian sambil berdehem.

ooOOoo

Leng-hiat berdiri dengan punggung menempel pintu. Bila Li Ok-lay melancarkan sebuah tusukan dari balik pintu, dengan posisinya saat ini dia pasti akan mati konyol.

Tapi mau tak mau dia harus bertahan dengan cara begini.

Sebab Li Hian-ih tak boleh kalah.

Jika Li Hian-ih kalah, bukan saja mereka berdua bakal mati, seluruh anggota Sin-wi-piau-kiok akan turut musnah, seluruh penduduk kota Cing-thian akan tertimpa bencana.

Dia percaya Li Hian-ih tak bakal membiarkan Li Ok-lay menghujamkan tusukan mautnya itu.

Tempat yang dia pertahankan saat ini hanya merupakan sebuah lorong, sebuah lorong dengan sebuah pintu masuk.

Lorong itu panjangnya hanya seputar dua meter. Jika musuh ingin menyerbu ke dalam ruang rahasia,

mereka harus menyerang dari arah depan, tentu saja harus

melangkahi juga mayatnya. Siapa pun yang ingin melangkahi mayat Leng-hiat, dia harus membayar dengan sangat mahal.

Membayar dengan suatu nilai yang mengerikan!

Tapi teriakan Li Ok-lay menjelang tertutupnya pintu lorong tak disangkal mendatangkan daya tarik yang luar biasa.

Siapa yang tak ingin dinaikkan pangkatnya menjadi wakil Li Ok-lay, di bawah kekuasaan satu orang tapi di atas berjuta orang? Siapa pun pasti rela mempertaruhkan nyawanya untuk mencoba meraih peluang itu, mencoba mendapatkan suatu posisi yang terhormat, yang akan mendatangkan kekayaan yang berlimpah-ruah.

Setelah terjadi sedikit kegaduhan, orang pertama yang muncul dengan langkah lebar adalah seorang pria bersenjata golok besar.

Sambil maju mendekat, serunya dengan lantang, "Gak Seng-bun dari perguruan Lampu Buddha datang minta petunjuk."

Leng-hiat mengangguk sebagai pertanda memberi hormat.

Kini ia sudah terluka parah, dia tak ingin banyak bicara sehingga membuang tenaga percuma.

Gak Seng-bun segera memutar goloknya melancarkan serangan, secara beruntun dia melepaskan tujuh bacokan, satu jurus dengan tujuh perubahan, semuanya merupakan jurus ganas yang mematikan.

Terlihat cahaya pedang berkelebat, "Criiit!", tahu-tahu ujung pedang milik Leng-hiat sudah menembus tenggorokan Gak Seng-bun.

Diiringi jeritan ngeri, Gak Seng-bun roboh terkapar bersimbah darah.

Seorang lelaki kekar lainnya dengan membawa senjata sekop melangkah masuk ke dalam, serunya dengan suara nyaring bagai genta, "Gi-san-tin-hay (memindah bukit membendung samudra) Tong Pak-an datang minta petunjuk."

Leng-hiat membutuhkan tiga jurus serangan untuk menusuk roboh orang ini.

Kembali seorang lelaki muncul sambil berseru, "Lip Tan-san dari perguruan Wi-tou-bun datang minta petunjuk."

Dengan kepalan bajanya dia langsung merangsek maju sambil melancarkan serangan maut.

Leng-hiat butuh lima jurus serangan untuk membuatnya terluka parah, namun pergelangan tangan sendiri ikut pecah karena tenaga getaran lawan.

Ketika ia berhasil menusuk mati penantang ketujuh. Siang Hong-in dari perguruan Seng-ko-kou, darah yang mengalir dari luka Leng-hiat bertambah deras, ia sudah mulai kehabisan tenaga dan tak mampu mempertahankan diri lagi.

Ketika ia harus menghadapi penantang yang kesebelas, tubuh Leng-hiat telah bertambah dengan sebuah luka lebar sebelum berhasil menghabisi nyawanya.

Kini luka yang diderita Leng-hiat bertambah parah, situasi pun makin lama bertambah gawat.

Pintu rahasia yang tertutup rapat masih tertutup.

Ketika penantang yang kedua belas dengan membawa sebuah tombak menyerbu ke dalam, paras muka Leng-hiat telah pucat pias seperti mayat, sementara penantangnya, Ko Tay-san menyeringai semakin seram.

Di saat yang amat kritis itulah tiba-tiba terdengar seseorang berseru, "Bagaimana kalau aku mewakilimu melakukan pertarungan ini?"

Suara itu berasal dari belakang punggung Ko Tay-san. Dengan satu gerakan cepat Ko Tay-san membalikkan badan, kemudian terdengar suara pekikan nyaring yang dipenuhi perasaan gusar.

Di tengah pekikan itu, tombak emas di tangan Ko Tay-san telah patah, diikuti tulang lengan, tulang ketiak, tulang iganya patah berantakan, dia sudah terdesak keluar dari lorong sempit itu.

Pendatang adalah seorang lelaki berambut hitam, wajahnya kurus tapi bermata tajam.

"Rupanya kau yang datang," sapa Leng-hiat sambil tertawa lebar.

"Kau terluka?" tegur Ni Jian-ciu.

"Bila ingin berduel, kedatanganmu bukan waktu yang tepat!" jawab Leng-hiat cepat.

"Tidak, aku datang tepat pada waktunya," jawaban Ni Jian- ciu terdengar sangat hangat, "berkat kau, saudara-saudaraku mau bertobat dan kembali ke jalan yang benar, aku berhutang budi kepadamu, bagaimana kalau aku yang mewakilimu dalam pertarungan selanjutnya?"

Sebelum Leng-hiat sempat menjawab, penantang ketiga belas telah melancarkan tusukan dengan sebilah lembing.

Ni Jian-ciu segera melancarkan serangan balasan.

Dia menyerang diiringi suara pekikan nyaring, orang itupun menemui ajalnya di tengah pekikan itu.

Ketika penantang ketiga puluh satu masuk ke dalam lorong rahasia, darah mulai mengalir keluar dari tubuh Ni Jian-ciu.

Ketika penantang ketiga puluh sembilan roboh terkapar, tubuhnya telah bertambah dengan tujuh delapan buah luka berdarah.

"Biar aku yang menggantikan!" bentak Leng-hiat nyaring. Dengan napas tersengal Ni Jian-ciu tertawa tergelak, "Hahaha, memangnya kau sangka kondisimu jauh lebih baik ketimbang aku?"

Dengan sekali puntiran dia patahkan tengkuk si penyerang berikut, tapi perutnya terhajar tendangan lawan, lagi-lagi Ni Jian-ciu memuntahkan darah segar.

Penantang keempat puluh satu kembali melancarkan serangan dengan cambuknya.

Leng-hiat ingin sekali mewakili Ni Jian-ciu menghadapi serangan itu, sayang lorong itu kelewat sempit, tak mungkin baginya untuk menerobos lewat.

Mendadak terjadi kegaduhan di luar lorong rahasia diikuti suara pertarungan yang berlangsung sangat ramai, dengan pedang terhunus Leng-hiat segera menerjang keluar dari situ, sementara Ni Jian-ciu berjaga di depan pintu rahasia.

Tampak para jago yang mengepung di depan pintu sedang bertarung sengit melawan beberapa orang Ya-heng-jin yang baru saja muncul.

Tak terkirakan rasa gembira Leng-hiat setelah menyaksikan kehadiran beberapa orang itu, serunya tertahan, "Akhirnya kalian datang juga!"

"Ya, kami telah datang!" jawab Ko Hong-liang sambil mengayunkan goloknya membacok roboh seorang lawannya.

Ko Hong-liang, Ting Tong-ih, Tong Keng serta Yong Seng telah bermunculan di arena pertarungan.

Orang persilatan memang selalu mengutamakan persatuan, sekalipun masing-masing orang memiliki jalan pikiran berbeda, namun asal bisa bersanding dengan temannya, asal dapat bertarung bersama rekan-rekannya, mereka tak akan mengundurkan diri dari keramaian.  Kawanan jago yang dibawa Li Ok-lay mencapai ratusan orang banyaknya, di antara sekian banyak orang, sebagian di antaranya merupakan jago-jago suku asing yang memiliki kemampuan luar biasa.

Walaupun begitu, di antara sekian banyak jago, tokoh sakti seperti Ni Jian-ciu telah berpaling, Gi Ing-si, Yan Yu-sim, Yan Yu-gi telah tewas, bahkan Li Hok dan Li Hui pun telah menemui ajalnya, hal itu membuat kekuatan musuh mengalami kerugian yang amat besar.

Sayangnya Leng-hiat maupun Ni Jian-ciu sudah kehabisan tenaga, tubuh mereka telah dipenuhi luka yang cukup parah, sementara pihak lawan paling tidak masih ada lima puluhan jago yang belum turun tangan.

Kehadiran Ko Hong-liang, Ting Tong-ih, Tong Keng serta Yong Seng memang berhasil merobohkan paling tidak sepuluh orang jago, namun luka yang diderita keempat orang itupun cukup parah.

Jadi kalau diperhitungkan, posisi Leng-hiat sekalian justru sudah terjerumus ke dalam kondisi yang amat kritis.

Pada saat itulah mendadak dari luar gedung berjalan masuk serombongan pasukan berpakaian lapis baja, begitu tiba di situ, pasukan itu serentak membagi diri menjadi dua rombongan dan berdiri di kiri kanan jalan.

Dari tengah jalan itulah terlihat seseorang dengan membawa sebuah kotak berjalan masuk ke dalam ruangan.

Ternyata orang itu tak lain adalah sang pembesar Bun Tio.

Terdengar komandan pasukan yang berada paling depan membentak keras, "Semuanya berhenti! Terima firman kaisar!"

Firman kaisar memang jauh lebih penting daripada apapun juga, keempat puluh orang jago yang sedang bertempur serentak menghentikan serangannya dan menjatuhkan diri berlutut di tanah.

Leng-hiat, Ko Hong-liang, Ni Jian-ciu, Ting Tong-ih, Tong Keng serta Yong Seng saling bertukar pandang sekejap, akhirnya mereka ikut menjatuhkan diri berlutut sambil menunggu dibacakannya firman kaisar.

Perintah apa yang akan disampaikan sang kaisar lalim yang selama ini hanya memandang nyawa rakyat bagai sampah?

Kecuali mayat yang terkapar di tanah, para jago yang terluka tak sanggup merangkak bangun serta dua orang jago yang sedang berduel dalam kamar rahasia, semua yang hadir telah berlutut, berlutut sambil menerima perintah itu.

ooOOoo

Pertarungan yang berlangsung antara Li Hian-ih melawan Li Ok-lay berjalan makin sengit.

Li Hian-ih dengan mengandalkan pukulan tangan kosong selalu mengancam dan menyerang bagian tubuh lawannya serta bagian yang sulit dipertahankan.

Setengah jam kembali berlalu, telinga kiri Li Ok-lay sudah terpapas kutung, darah segar bercucuran dari lukanya, tumit kaki kirinya sudah terinjak patah, kaki kanan dihajar remuk, lengan kanan kena ditendang patah, jari tangan kirinya sebagian patah, selain itu hidungnya lecet dan rambutnya pun sudah terpapas separoh.

Sekalipun berbagai luka telah menghiasi seluruh tubuhnya, namun isi perutnya masih sehat, hawa murninya juga sama sekali tidak berkurang.

Mula-mula dia melancarkan serangan dengan tangan sebelah, namun betapa sempurna dan ganasnya jurus serangan yang digunakan, ia tak pernah berhasil melukai Li Hian-ih. Tapi begitu dia mulai mengembangkan serangannya dengan ilmu pedang sepasang tangannya, keadaan segera berubah.

Kemana pun Li Hian-ih berusaha kabur, berkelit, melompat atau menghindar, sulit bagi si Raja opas itu untuk meloloskan diri dari pengejaran ujung pedangnya.

Dalam situasi yang amat gawat inilah Li Hian-ih telah melakukan satu tindakan.

Dia menghajar meja berisi lilin itu hingga roboh terjungkal ke tanah.

Sekarang tinggal sebatang lilin saja yang menerangi seluruh ruangan.

Kini ia sedang menerjang ke arah cahaya lilin yang terakhir.

Li Ok-lay kuatir lawannya akan memadamkan lilin yang terakhir itu, segera dia memutar pedangnya melakukan penghadangan.

Angin pedang bergetar menimbulkan suara yang menggidikkan hati.

Tiba-tiba Li Hian-ih menghindar dan kemudian menyingkir jauh-jauh dari serangan itu.

Ketika angin pedang menusuk ke sasaran kosong, hembusan angin tajam itu seketika memadamkan cahaya lilin di meja.

Seketika itu juga seluruh ruangan tercekam dalam kegelapan.

Li Ok-lay sadar dirinya terjebak oleh siasat Li Hian-ih, angin pedang yang dilancarkan justru telah membantu lawan memadamkan lilin itu.

Kini suasana berubah gelap gulita, dalam kegelapan siapa pun tak dapat melihat keadaan lawan. Berada dalam keadaan begini, terpaksa Li Ok-lay tak berani banyak bergerak, dia berdiri tegap sambil bersiaga.

Sama sekali tak terdengar suara apapun, bahkan dengus napas Li Hian-ih pun tidak terdengar.

Akhirnya Li Ok-lay tak sanggup menahan diri lagi, dia memutar pedangnya sambil diobat-abitkan ke sekeliling tubuhnya, dia memutuskan untuk melacak setiap jengkal tanah dalam ruangan itu, asal Li Hian-ih masih berada di situ, pada akhirnya dia pasti dapat melubangi tubuh lawannya bagaikan sebuah sarang lebah.

Pedang masih berada dalam genggaman Li Ok-lay, oleh sebab itu dia merasa lega.

Dalam waktu singkat seluruh ruang rahasia telah dipenuhi deru angin pedang yang menusuk pendengaran.

Kegelapan yang mencekam dalam ruangan membuat kedua orang itu sama-sama tak tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya.

Siapa yang bakal mati? Siapa yang bakal hidup? ooOoo

Di luar dugaan.

Ko Hong-liang maupun Tong Keng sekalian tidak menyangka kalau persoalan berkembang menjadi suatu keadaan yang di luar dugaan.

Bahkan Leng-hiat sendiri pun sama sekali tak menyangka. Firman kaisar berbunyi,

"Setelah dilakukan penyelidikan dan pelacakan yang seksama, diketahui bahwa tuduhan yang dialamatkan kepada Sin-wi-piau-kiok ternyata merupakan tuduhan yang tak terbukti dan merupakan fitnah. Ternyata semua kekacauan dan perampokan uang pajak yang terjadi selama ini merupakan rencana busuk yang dimotori Li Ok-lay, oleh karena itu diperintahkan kepada Leng- hiat dan Li Hian-ih sekalian untuk menangkap orang ini dan menyeretnya ke meja pengadilan.

Wilayah Cing-thian juga dibebaskan dari kewajiban menyetor pajak tahunan lagi, kepada para penanggung jawab daerah diperintahkan untuk segera menemukan kembali uang pajak yang dirampok dan mengirimnya ke kotaraja.

Mengenai kasus penyerbuan ke dalam penjara, peristiwa ini diketahui sebagai ulah pemimpin Bu-su-bun, Kwan Hui-tok, tapi karena yang bersangkutan sudah tewas maka persoalan ini tak perlu diselidiki lebih lanjut.

Seluruh anggota Sin-wi-piau-kiok dipandang sebagai orang- orang yang setia dan berani melindungi barang milik negara, kesetiaan dan keberanian ini dianggap sebagai sebuah pahala besar, karena itu dianugerahkan gelar 'Hu-kok-piau-kiok', perusahaan ekspedi pelindung negara, Kokcu Ko Hong-liang diperintahkan datang ke kotaraja untuk menerima anugerah itu.

Semua anak buah Li Ok-lay yang tidak terlibat dalam peristiwa ini dibebaskan dari hukuman dan diperintahkan untuk menangkap antek-antek lainnya yang terlibat sebagai penebus dosanya".

Dalam firman kaisar itupun dijelaskan bahwa semua peristiwa bisa terungkap berkat penyelidikan yang dilakukan perdana menteri Hu Tiong-su secara diam-diam.

Meskipun jabatan Li Ok-lay sangat tinggi, namun jabatannya masih jauh di bawah kekuasaan Hu Tiong-su.

Apalagi perintah itu datang melalui firman kaisar!

Begitu selesai mendengar pembacaan firman tadi, hampir sebagian besar kawanan jago itu tak berani berkutik lagi, semua orang berusaha membebaskan diri dari keterlibatan mereka dari peristiwa ini, bahkan banyak di antara mereka yang ingin membunuh Li Ok-lay untuk membuktikan kebersihan mereka.

Di antara sekian orang, Ko Hong-liang yang paling terperangah dibuatnya.

Dia sebenarnya adalah seorang buronan kelas kakap.

Perusahaan Sin-wi-piau-kiok pun sebenarnya sudah tumbang, sudah hancur dan musnah, tapi secara tiba-tiba segala sesuatunya telah berubah.

Kini bukan saja sudah terbebas dari segala tuduhan, bahkan mendapat anugerah sebagai perusahaan ekspedisi pelindung negara sementara dia sendiri pun mendapat pangkat.

Kenyataan itu benar-benar membuat Ko Hong-liang terkejut bercampur gembira, sambil menyembah berulang kali, teriaknya, "Hidup kaisar, hidup kaisar...”

Tentu saja Tong Keng pun ikut merasa amat gembira. Hanya Ting Tong-ih seorang yang berdiri termangu-mangu.

Isi Firman kaisar sudah jelas sekali, bukan saja semua persoalan telah diputar balikkan, bahkan seluruh kesalahan dan tanggung jawab telah dilimpahkan ke tubuh Li Ok-lay seorang. Bukan cuma itu, bahkan kesalahan lain pun sudah dilimpahkan ke tubuh Kwan Hui-tok.

Tapi Ting Tong-ih tahu, Kwan Hui-tok tak pernah melakukan pelanggaran seperti apa yang dituduhkan, dia mati di penjara karena dicelakai anak buah Li Ok-lay, dia mati karena membela kaum lemah.

Dia tak bisa mengakui tuduhan itu.

Dia tak ingin Kwan Hui-tok tercemar namanya, meski orangnya sudah lama mati. "Bukan perbuatan Kwan-toako” jeritnya kemudian, "Kwan Hui-tok tidak bersalah!"

Semua orang segera berpaling, memandang ke arah Ting Tong-ih dengan sinar mata bermusuhan.

Segera Ko Hong-liang mencegahnya, "Nona Ting, jangan bicara sembarangan!"

"Akulah yang menyerbu ke dalam penjara, persoalan ini tak ada sangkut-pautnya dengan Kwan-toako," teriak Ting Tong- ih, "dia merampok yang kaya untuk menolong yang miskin, dia tak pernah punya niat berkhianat pada negara, tak pernah memberontak pada kerajaaan!"

"Nona Ting...” tukas Ko Hong-liang.

Sementara itu Bun Tio dengan kening berkerut telah menghardik, "Hanya orang pintar yang tahu keadaan, kau berani membangkang perintah kaisar?"

Serentak para jago yang ada di situ bergerak maju, mereka siap mengepung Ting Tong-ih.

"Nona Ting...” segera Tong Keng berseru.

"Aku tak boleh membiarkan arwah Kwan-toako di alam baka tak bisa beristirahat dengan tenang, aku tak ingin dia jadi kambing hitam."

"Nona Ting," hardik Ko Hong-liang kemudian, "perintah kaisar telah dibacakan, lebih baik kita jangan mencari masalah, jangan sampai kau menghancurkan masa depanmu."

Perlahan-lahan Ting Tong-ih berpaling, dengan sorot mata dingin dan hambar ia memandang ke arah Ko Hong-liang, seakan-akan baru pertama kali ini dia bersua dengan orang itu.

"Sekarang kau sudah memperoleh apa yang kau inginkan, namamu sudah bersih dari segala tuduhan, tentu saja kau jangan ikut campur urusan orang lain." "Omong kosong!" bentak Ko Hong-liang dengan wajah merah padam.

Dalam pada itu kawanan jago telah maju mengepung Ting Tong-ih, asal Bun Tio menurunkan perintah, serentak mereka akan melancarkan serangan.

Tiba-tiba Tong Keng melompat maju dan berdiri bersanding di sisi perempuan itu.

"Minggir kau!" bentak Ting Tong-ih dengan hati bergetar. "Tidak, aku tak akan pergi," sahut Tong Keng lantang,

"kalau harus berangkat, mari kita berangkat bersama."

Ting Tong-ih merasa sangat terharu, kecuali terhadap Kwan Hui-tok, belum pernah perasaan semacam itu tumbuh dalam hati kecilnya.

Tapi sekarang, kembali dia merasakan hal itu. "Nona Ting," tiba-tiba Leng-hiat berseru, "kau...” "Kau tak perlu membujuk aku," tukas Ting Tong-ih.

Tiba-tiba Leng-hiat melangkah maju ke samping Bun Tio, dengan ketakutan Bun Tio mundur selangkah.

Tapi Leng-hiat sudah berbisik di sisi telinganya, "Aku tahu, oleh karena perdana menteri Hu sadar bila Cukat-sianseng telah mencampuri urusan ini dan sedang mengumpulkan bukti, maka dia manfaatkan peluang ini untuk menjadi orang baik dengan membujuk Sri baginda menurunkan firmannya, kau sebagai pelapor tentunya juga ada pahala besar bukan

"Mau apa kau?" tanya Bun Tio.

"Nona Ting adalah anak buah Cukat-sianseng." "Oya?" Bun Tio segera menunjukkan wajah sangsi,

"baiklah, apakah Kwan Hui-tok difitnah orang atau tidak pasti akan kulaporkan ke atasan agar Paduka Yang mulia melakukan penyelidikan lagi. Kalau begitu kita tunda dulu persoalan ini, harap semuanya menunggu perintah berikut dengan sabar."

Selesai bicara dia bersama orang-orangnya segera menyingkir ke samping.

Kini tinggal bekas anak buah Li Ok-lay yang berdiri saling berpandangan, mereka tak tahu bagaimana Leng-hiat akan menghukum mereka.

Sementara itu Leng-hiat sudah merasakan kepalanya pening.

Darah yang mengalir keluar dari tubuhnya kelewat banyak, seandainya Ni Jian-ciu tidak datang membantu, mungkin sejak tadi ia sudah tak mampu menahan diri.

Luka yang diderita Ni Jian-ciu pun cukup parah, tapi sambil tertawa dia sempat menepuk bahu Leng-hiat sambil berkata, "Budi kebaikanmu telah kubayar lunas!"

Tiba-tiba ia menyusupkan sesuatu benda ke tangan Leng- hiat sambil bisiknya lagi, "Sejak awal aku sudah tak tahan menyaksikan ulah Li Ok-lay dan putranya, maka ketika terjadi kekacauan dalam penjara, diam-diam kucuri lukisan tengkorak ini, aku tak ingin peristiwa pengulitan terhadap narapidana terulang kembali, tapi aku pun tak tahu apa gunanya benda ini, tapi aku yakin benda ini sangat penting karena semua orang mencarinya, sekarang biar kuhadiahkan untukmu!"

“Kau...” saking terharunya Leng-hiat sampai tak sanggup berkata-kata.

Sementara itu Ni Jian-ciu sudah berjalan meninggalkan ruangan itu, tanpa berpaling serunya lagi, "Aku akan pergi mencari saudara-saudaraku."

Kemudian setelah tertawa tergelak, lanjutnya, "Karena merekalah kesunyian bagiku, juga kebanggaan bagiku!" "Sehari dia menjadi saudaraku, selama hidup dia adalah saudaraku!"

Ketika mengucapkan kata-kata itu, bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik salju nan tebal. Leng-hiat hanya berdiri termangu.

Mendadak terdengar suara benturan keras bergema dari arah belakang, menyusul kemudian tampak pintu rahasia dibuka orang.

oooOOooo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar