Misteri Lukisan Tengkorak Bab 35 : Pertarungan Dua Jago Bermarga Li

35. Pertarungan Dua Jago Bermarga Li.

Senja yang redup telah mengubah lapisan salju menjadi keabu-abuan.

Tong Keng sedang duduk di halaman belakang, di atas undak-undakan yang dipenuhi lumut dengan wajah termangu.

Dia sedang melamun, sedang berpikir dengan hati murung.

Ternyata Ting Tong-ih begitu membencinya. Ia rela memberikan tubuhnya kepada orang lain, tapi tak rela memberikan kepadanya.

Berpikir akan hal itu dia merasa malu sekali, rasa malu yang membuatnya ingin menggali liang dan menyembunyikan kepalanya dalam liang itu, ingin membenturkan kepalanya di atas dinding, membenturkan sampai mati.

Biasanya seorang lelaki akan merasa malu, merasa terhina ketika cintanya ditolak wanita, seperti sebuah balon udara yang tiba-tiba tertusuk jarum, meledak dan lenyap begitu saja. Kini dia benar-benar merasa sedih, sedihnya setengah mati, dia pun jengkel, mendongkol dan ingin mengumbar hawa amarahnya.

Mungkin saja ia dapat memaafkan wanita itu, namun tak bisa memaafkan diri sendiri, perasaan semacam ini hanya bisa terobati bila ada wanita lain yang mau berada dalam pelukannya, mau dibelai olehnya dengan lembut.

"Kenapa aku harus mengungkap perasaanku kepadanya!" Tong Keng sangat menyesal, bila ia tak pernah mengungkap perasaannya, tak mungkin dia akan menerima penolakan, asal dia tak pernah ditolak maka dirinya tak perlu begitu malu, sedih dan serba salah.

Pikir punya pikir, ia melihat ada seekor belalang berjalan di hadapannya, berhenti sejenak sambil mengawasinya, tapi sejenak kemudian sang belalang mendesis lirih sambil melanjutkan langkahnya, seolah-olah serangga itu hanya bermaksud mengejek Tong Keng, menertawakan kebodohannya.

Tong Keng sangat mendongkol, ingin sekali dia menginjak belalang itu sampai mati.

Tapi ingatan lain segera melintas, Thian maha pengasih, siapa tahu dengan tidak membunuh belalang itu, Thian akan memberi kesempatan kepadanya untuk berbaikan lagi dengan Ting Tong-ih, memberi kesempatan kepadanya untuk menyatakan rasa cintanya.

Tong Keng mencoba menarik napas panjang, kemudian bisiknya, "Ooh, harum sekali."

Waktu itu sang belalang sudah menemukan sebuah liang kecil dan menerobos masuk ke dalam, Tong Keng mencoba berjongkok sambil melongok, pikirnya, "Liang itu begitu kecil, apa dia tidak salah masuk?" Mendadak sorot matanya terhenti di atas sepasang ujung sepatu, sepatu yang terbuat dari kain kuning dengan renda berwarna biru.

Dengan tertegun Tong Keng mendongakkan kepalanya, dia pun segera melihat wajah Ting Tong-ih yang bermandikan cahaya, cahaya rembulan yang membias di atas wajahnya.

Kontan Tong Keng merasa pipinya menjadi amat panas, sepanas terkena cahaya sang surya.

"Sedang menikmati salju?" sapa Ting Tong-ih sambil tersenyum.

Tong Keng hanya termangu, mengawasi wajah Ting Tong- ih yang cantik bak bidadari dari kahyangan.

"Atau sedang menikmati bunga?" kembali Ting Tong-ih bertanya.

Tong Keng tidak menjawab, dia hanya tertawa bodoh. "Boleh duduk di sini?" kembali si nona bertanya, tapi ia segera duduk.

Ting Tong-ih duduk bersanding dengan Tong Keng, bau harum terasa makin menusuk penciuman. Pemuda itu mencoba melirik gadis itu sekejap, wajahnya putih bersih tapi terasa dingin bagai salju.

Mau apa dia datang kemari? Menghiburnya karena penolakan tadi? Dia berpikir terus, lantai terasa makin dingin.

"Kehidupan manusia memang sangat aneh, sekarang kita masih hidup segar bugar, tapi sejenak kemudian kita tak tahu apa yang bakal terjadi, mungkin masih hidup, mungkin sudah mati, mungkin merasa gembira, mungkin juga bersedih," sewaktu mengutarakan perkataan itu Ting Tong-ih nampak sangat murung. Tong Keng semakin merasa kehadiran gadis itu memang berniat menghiburnya, rasa malu, rasa terhina segera tumbuh kembali, hawa amarah pun mulai menggelora.

Sesungguhnya Ting Tong-ih pun merasa amat menyesal, dia merasa tidak seharusnya menampik luapan cinta lelaki itu.

Terlebih selewatnya malam ini siapa pun tak bisa meramalkan bagaimana nasib yang akan mereka hadapi, dapatkah ia melewati hari esok?

Maka untuk menghilangkan rasa sedih dan murungnya, Ting Tong-ih berjalan menelusuri serambi samping, berusaha mencari ketenangan hati di malam yang dingin.

Tapi Tong Keng tidak memahami perasaan perempuan itu. Dia mengira Ting Tong-ih merasa kasihan kepadanya,

karena kasihan baru ia menyampaikan simpatinya, menghampirinya dan mencoba berbagi sedikit kepuasan kepadanya.

Tong Keng bukan lelaki yang senang menerima simpati, apalagi simpati berdasarkan rasa kasihan.

Salju kembali menyelimuti angkasa, sekuntum demi sekuntum, selembar demi selembar beterbangan di udara, melapisi ujung ranting, atap rumah, pelataran depan ....

"Ayo, kita masuk saja?" gadis itu mengajak.

Tong Keng tidak menjawab, dia memang tak tahu bagaimana harus menjawab ajakan itu.

"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan sekarang," dengan perasaan puas Ting Tong-ih memejamkan matanya, dia seakan sudah memahami jalan pikiran lelaki itu.

"Aku tidak memikirkan apa-apa!" mendadak Tong Keng bangkit berdiri dengan perasaan gusar, "jangan kau anggap aku adalah seorang lelaki yang tak punya harga diri! Apa maksudmu bersikap begitu? Simpati? Mengejek? Atau berbelas kasihan? Terus terang aku katakan, aku tidak butuh semua itu! Aku adalah seorang lelaki, aku tak butuh belas kasihanmu!"

Dengan wajah sedingin salju Ting Tong-ih ikut berbangkit, kemudian tangannya diayunkan ke depan, menghadiahkan sebuah tempelengan ke wajahnya.

"Kau sebenarnya memang begitu! Siapa yang sedang bersimpati? Siapa yang sedang memberi belas kasihan? Memangnya kau buta? Tuli? Tangan kakimu buntung? Kenapa aku mesti memberi derma kepadamu, aku beritahu sekarang, aku kemari karena aku ingin mengajak kau merasakan sedikit kehidupan yang senang menjelang datangnya kematian esok, aku tak peduli dengan semua itu, apakah kau peduli? Justru karena aku suka padamu maka aku ingin berbuat begitu, berbicara begitu, tapi kau ... kau justru menganggap dirimu seorang idiot yang pincang, seorang bocah dungu yang tak punya otak!"

Selesai bicara, sambil mendengus dingin perempuan itu segera beranjak pergi.

Tong Keng tertegun, berdiri termangu di tengah halaman. Bunga salju mulai melapisi alis matanya, hidungnya,

bibirnya ....

Lama sekali dia termangu, kepergian Ting Tong-ih membuat suasana di situ terasa dingin, membeku, bunga pun terasa tidak harum lagi.

Sambil menghentakkan kakinya jengkel ia membalikkan tubuh hendak mengejarnya, mendadak seseorang muncul di hadapannya, nyaris mereka saling bertumbukan. Ternyata Yong Seng yang datang.

"Ayo, makan malam," ajak Yong Seng kemudian, "mari kita rayakan malam pertemuan ini dengan makan bersama!"

ooOOoo 

"Bagaimana?" tanya Li Ok-lay.,

"Aku ingin makan dulu," jawab Li Hian-ih. Jawaban yang membuat Li Ok-lay tertegun.

"Dalam cuaca begini dingin dan membeku, setelah makan kita baru bertarung lebih bersemangat," Li Hian-ih menjelaskan, "sayur adalah hawa, nasi adalah tenaga."

Li Ok-lay tertawa tergelak, sambil bertepuk tangan serunya, "Pengawal, ambilkan nasi untuk si Raja opas!"

Ternyata sekeliling gedung itu sudah dipenuhi manusia, manusia bersenjata lengkap.

Li Hian-ih mencoba menghitung, ternyata jumlah mereka mencapai ratusan orang.

"Kelihatannya malam ini aku harus membuka pantangan membunuhku," dengus Leng-hiat dingin.

Padahal luka yang dideritanya terasa amat sakit, jangan lagi beratus orang, untuk menghadapi tiga empat orang pun belum tentu dia sanggup.

"Heran," kembali ia menertawakan diri sendiri, "setiap kali menyelesaikan kasus, aku harus melakukan pembantaian secara besar-besaran terlebih dulu sebelum bisa menyelesaikan tugas itu."

"Kali ini kau tak perlu membunuh siapa pun," ujar Li Hian-ih sambil berjaga di hadapan Leng-hiat, "aku yang akan mewakilimu melakukan pembunuhan."

Leng-hiat berusaha menarik tangannya menyingkir, tapi begitu bergerak, lukanya terasa sakit sekali, tampaknya luka yang ia derita jauh lebih parah daripada bayangannya.

"Kau tak pernah membunuh orang, biar aku saja yang menghadapi mereka," katanya. "Tidak, kali ini aku akan melanggar pantangan membunuhku!"

"Kau tak perlu melanggar pantangan membunuhmu, Li Ok- lay seorang sudah cukup membuatmu kerepotan."

Li Hian-ih segera tertawa tergelak. "Hahaha, baik, aku tak akan membunuh manusia, yang kubunuh adalah buaya, buaya tua yang makan manusia berikut tulangnya!"

"Buaya tua memang hebat, tapi tidak selicik buaya muda!" seru Leng-hiat sambil menahan sakit.

Dengan pandangan sinis Li Hian-ih menengok sekejap Kwan Siau-ci yang masih memegangi lukanya, darah bercucuran dengan derasnya membasahi tubuh orang itu.

"Hebat, hebat sekali, ternyata Kwan Hui-tok, Kwan-tayhiap mempunyai adik yang luar biasa!"

"Dia memang adik kandung Kwan Hui-tok," ujar Li Ok-lay sambil tertawa, "tapi begitu tahu kakaknya adalah buronan, seorang narapidana mati yang busuk namanya, demi masa depan sendiri terpaksa dia menggabungkan diri dengan pihak pemerintah. Aku memang sengaja menyuruh dia berperan seperti seorang enghiong, kalian pasti senang melihat sikapnya yang gagah perkasa, hahaha ... biarpun ilmu silatnya tidak hebat, tapi hampir saja serangannya berhasil membunuh kalian berdua, maka dari itu kemampuan otak selalu lebih penting daripada kemampuan tangan!"

"Hmm, dia memang seorang begundalmu yang hebat!" sindir Li Hian-ih sambil tertawa dingin.

"Jika tak yakin pasti menang, aku tak bakal datang sendiri kemari," seru Li Ok-lay tertawa tergelak.

"Jangan lupa, kau belum seratus persen menang!" "Aku pun belum sampai mampus," sambung Leng-hiat. "Baiklah," kata Li Ok-lay kemudian sambil mengulap tangan, "ketika kemenangan seratus persen berada di tanganku, kalian pasti sudah mampus!"

Tangannya diayunkan ke muka, lalu mendulang dari bawah ke atas.

Pedang di tangan Leng-hiat bergetar di udara, bagaikan seekor ular berbisa secepat kilat menerobos ke arah lima buah jalan darah penting di tubuh Li Ok-lay.

Mimpi pun Li Ok-lay tidak menyangka, dalam keadaan terluka parah ternyata Leng-hiat masih sanggup melancarkan serangan sehebat itu, segera dia menggerakkan pedangnya untuk menangkis, tak urung badannya terdesak juga hingga mundur lima langkah.

Pada saat itulah Li Hian-ih turun tangan. Telapak tangan kirinya dihantamkan ke tubuh Li Ok-lay.

Waktu itu pedang di tangan kanan Li Ok-lay sedang digunakan untuk menghadapi serangan berantai Leng-hiat, tergopoh-gopoh dia sambut datangnya pukulan Li Hian-ih dengan telapak tangan kirinya.

Mimpi pun dia tak menyangka serangan Li Hian-ih itu ternyata adalah serangan tipuan.

Tenaga pukulan yang dilontarkan pun seakan-akan menghantam di atas dinding kosong.

Tenaga serangan sudah telanjur dilontarkan, sementara 'dinding' pun hanya ruang hampa, ditambah tekanan dahsyat yang dilontarkan kelima jurus serangan pedang Leng-hiat, tak ampun keseimbangan tubuh Li Ok-lay gontai, tubuhnya langsung menerjang ke sisi kiri.

Sisi kirinya merupakan ruang bagian dalam gedung pengadilan. Ruang bagian dalam itu merupakan ruangan yang biasa dipakai untuk menginterogasi narapidana berat, bentuknya mirip leher sebuah botol dan hanya memiliki sebuah pintu keluar.

Terhuyung-huyung Li Ok-lay terjerumus ke dalam ruang rahasia itu..

Secepat kilat telapak tangan kiri Li Hian-ih melepaskan serangkaian serangan maut mengancam lima buah jalan darah penting di punggung Li Ok-lay.

Dengan kecepatan luar biasa Li Ok-lay mundur ke belakang, sambil menyusup masuk ke dalam ruangan untuk menghindari ancaman Li Hian-ih, pedangnya ditusukkan ke depan langsung membabat tubuh musuh.

Terlihat sekilas bianglala berwarna hijau melintas dalam ruangan, diikuti percikan bunga darah.

Sebuah luka memanjang berdarah segera muncul di tubuh Li Hian-ih.

Tapi Raja opas tak menyia-nyiakan kesempatan itu, dia ikut menerobos masuk ke dalam ruangan.

Begitu berada dalam ruangan itu, Li Ok-lay baru sadar ia sudah terjebak dalam sebuah ruangan buntu yang sekelilingnya berdinding rapat, cepat dia mundur lagi ke belakang.

Dengan cepat Li Hian-ih menghadang di depan pintu.

Mulut pintu amat sempit, bila ingin keluar dari situ maka satu-satunya jalan adalah menerjang dengan kekerasan.

Dalam keadaan begini, mau tak mau Li Ok-lay harus menyerbu dengan kekuatan penuh.

Li Hian-ih mendengus dingin, kembali sebuah pukulan dilontarkan ke depan. Li Ok-lay menyambut datangnya serangan dengan keras lawan keras, maksudnya setelah menerima kedua pukulan lawan, dia akan mengandalkan kehebatan ilmu pedangnya untuk menghancurkan dulu pertahanan si setan penyakitan ini.

Sayangnya dia tak menyangka kalau tenaga pukulan itu disertai tenaga serangan yang maha dahsyat.

Begitu bentrokan terjadi, seketika itu juga ia merasa hawa darah bergolak keras dalam dadanya, terhuyung dia mundur tiga langkah sambil mengatur pernapasan.

Dia berniat melancarkan serangan lagi selesai mengatur napas nanti. Seandainya dia tidak mengatur napas mungkin keadaan masih mendingan, begitu hawa murninya disalurkan, tubuhnya segera bergetar keras, sekali lagi badannya mundur sejauh tujuh langkah dengan sempoyongan.

Sekuat tenaga dia berusaha berdiri tegap, tapi sayang kakinya seolah-olah kehilangan tenaga, lagi-lagi badannya terlempar sejauh dua setengah meter. "Blaaam!", punggungnya menghantam dinding ruangan dengan keras.

Kini Li Ok-lay baru tahu, ternyata tenaga pukulan yang dimiliki Li Hian-ih benar-benar sangat menakutkan.

Sekalipun begitu, Li Hian-ih tertusuk juga oleh serangan pedangnya.

Selangkah demi selangkah Li Hian-ih berjalan masuk ke dalam ruangan, kemudian menutup pintu ruangan dengan rapat.

Ia memang sudah bersiap melakukan duel satu lawan satu dengan Li Ok-lay.

Di luar ruangan terlalu banyak anak buah Li Ok-lay, dia merasa bukan satu pekerjaan mudah untuk menaklukkan orang ini di bawah dukungan anak buahnya. Dia pun tahu bila tak berhasil menguasai Li Ok-lay berarti sedikit kesempatan untuk hidup pun tak akan mereka miliki.

Padahal bukan pekerjaan yang mudah untuk menaklukkan jagoan tangguh macam Li Ok-lay, paling tidak dia butuh waktu.

Tapi berapa lamakah waktu yang dibutuhkan? Persoalannya sekarang, sebeberapa lama Leng-hiat sanggup mempertahankan diri?

Li Ok-lay bukan orang bodoh, tentu saja dia pun memahami keadaan itu.

Dia tahu Leng-hiat pasti berusaha mati-matian mempertahankan pintu masuk, padahal situasi di situ tidak memungkinkan untuk pertarungan dalam jumlah banyak.

Li Ok-lay tahu, bila ingin menjebol pertahanan yang dijaga Leng-hiat, dia harus membiarkan anak buahnya menyerang secara bergilir, bergantian terus satu dengan lainnya, lama kelamaan lawan yang sudah terluka parah pasti tak akan sanggup mempertahankan diri.

Maka sebelum pintu ruangan itu ditutup, teriaknya dengan suara nyaring, "Serang dengan sekuat tenaga, bunuh orang itu dengan cara apapun, orang pertama yang berhasil membunuh Leng-hiat, dialah yang akan kuangkat menjadi wakil komandan!"

Begitu seruan itu berkumandang, kawanan prajurit dan jagoan yang berada di luar serentak menyahut, "Siap jalankan perintah!"

Kini pintu sudah tertutup rapat.

Li Hian-ih telah berdiri saling berhadapan dengan Li Ok-lay.

Dengan pedang terhunus, Li Ok-lay mengawasi gerak-gerik musuhnya tanpa bergerak. Dalam ruangan itu tak ada jendela, hanya ada lilin, dua batang lilin yang memancarkan sinar.

Ruangan itupun tak ada perabot apapun, seluruh dinding terbuat dari batu bata, di balik batu bata tertanam batang besi yang kurang dan kokoh.

Cahaya lilin bergoyang lembut, membuat suasana dalam ruangan bagaikan kilatan cahaya air, membuat tempat itu bagaikan sebuah perahu yang terombang-ambing.

Batang lilin manakah yang akan padam duluan?

Mampukah Leng-hiat yang berada di luar ruangan menghadapi serbuan brutal kawanan manusia srigala itu?

ooOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar