Misteri Lukisan Tengkorak Bab 32 : Nyanyian Manusia Berjas Hujan

32. Nyanyian Manusia Berjas Hujan.

Orang yang memainkan seruling itu adalah seorang pemuda berbaju putih yang berwajah bersih, tampan dan berperawakan tegap.

Sambil meniup serulingnya orang itu berjalan mendekat bagai sebuah sampan yang mengikuti arus sungai.

Ia berhenti setibanya di ujung jembatan, mencabut keluar sebatang bambu yang masih berdaun hijau dan melanjutkan langkahnya ke depan. Suara nyanyian manusia berjas hujan itu masih bergema tiada hentinya.

Batang bambu itu panjangnya sekitar dua setengah meter, ketika tiba lebih kurang empat meter di hadapan manusia berjas hujan itu tiba-tiba ia berhenti.

"Aaah, rupanya kau!" serunya terperanjat. "Ya, memang aku!"

Pemuda itu melanjutkan permainan serulingnya, tapi irama lagu yang dibawakan kali ini adalah irama lagu yang sangat memedihkan hati.

Permainan serulingnya memang sangat hebat dan mungkin sudah mencapai tingkat kesempurnaan, baru mendengar sejenak, Leng-hiat sudah merasakan matanya berkaca-kaca, nyaris air matanya bercucuran, Li Hian-ih sendiri pun ikut terhanyut dalam kesedihan.

Tapi dengan cepat si Raja opas tersadar kembali, segera bisiknya kepada Leng-hiat, "Dia adalah si Bambu muda!"

Kini irama seruling itu sudah berada lebih kurang lima meter dari posisi semula, namun Li Hian-ih tidak mendengar reaksi Leng-hiat, saat itulah baru ia sadar kalau suara pembicaraannya sudah tenggelam di balik irama seruling itu.

Manusia berjas hujan itu masih melanjutkan pula nyanyiannya.

Nyanyian tetap nyanyian, tapi lagu yang dibawakan sudah bukan lagu yang pertama kali tadi, nyanyiannya kali ini mendatangkan kesan seolah-olah berasal dari suatu tempat yang sangat jauh.

Mendadak cahaya golok berkelebat.

Bambu yang berada di tangan pemuda itu terpapas kutung, ruas demi ruas terpotong jadi beberapa bagian. Terakhir batok kepala pemuda itupun ikut terpapas kutung, tercebur ke dalam sungai.

Kembali terlihat cahaya golok berkelebat, tahu-tahu senjata itu sudah disarungkan kembali.

Manusia berjas hujan itu memandang sekejap mayat sang pemuda tanpa kepala itu, kemudian sambil melanjutkan nyanyiannya ia berjalan menuju ke arah Leng-hiat serta Li Hian-ih.

Li Hian-ih segera menjumpai bahu kiri orang itu sedikit miring ke samping sewaktu berjalan, ia berpaling dan maksudnya akan memberitahukan hal ini kepada Leng-hiat, tapi dengan cepat ia lihat sorot mata rekannya sedang memandang orang itu dengan sikap penuh hormat, wajahnya tulus dan mimik mukanya menampilkan kemesraan dan kehangatan.

Dalam waktu singkat Li Hian-ih jadi paham siapa gerangan orang itu.

Manusia berjas hujan itu berhenti lebih kurang dua meter di hadapan Leng-hiat, tampak dia mengulapkan tangannya mencegah Leng-hiat memberi hormat.

Entah mengapa ternyata Li Hian-ih pun merasakan suatu luapan emosi yang luar biasa setelah berjumpa dengan orang itu, biarpun sudah puluhan tahun ia hidup malang melintang dalam dunia persilatan, belum pernah sekalipun timbul perasaan aneh semacam ini di hatinya.

Manusia berjas hujan itu masih tetap menyembunyikan wajahnya di balik topi lebar, Li Hian-ih tak sempat melihat raut mukanya namun ia dapat merasakan sorot mata yang dingin bagai sambaran petir sedang mengawasi wajahnya.

"Dulu si Bambu muda pernah mendapat didikan ilmu silat dariku, keluarganya pernah berhutang budi kepadaku maka dia sama sekali tak melakukan perlawanan, tapi wataknya kelewat keras, kelihatannya dia memang berniat menghabisi nyawa sendiri, aaaai ... Dia tak ingin membunuhku, tapi dia pun tak bisa menyelesaikan tugasnya, orang angkuh macam dia akhirnya sengaja membiarkan dirinya tewas di tanganku. Manusia menengah sadar bukan tandinganku, dia mundur sebelum bertarung dengan harapan di kemudian hari masih bisa bangkit kembali, manusia seperti dialah terhitung manusia paling pintar di dunia ini. Walaupun aku berhasil membunuh si Tua tak mau mati, namun tubuhku sendiri ikut terluka oleh getaran tenaga dalamnya, lagi pula aku harus mengejar si Manusia menengah hingga keluar dari daratan Tionggoan. Bun Tio adalah orang kepercayaan Li Ok-lay, dia sudah mengirim burung merpati untuk mengabarkan kalau kalian sudah mengetahui rahasianya, itulah sebabnya Li Ok-lay segera mengutus 'tua, menengah dan muda' untuk membunuh kalian. Tapi kini 'tua, menengah dan muda' sudah menderita kekalahan, atasan mereka manusia she Coa itu pasti akan mengubah semua rencananya, orang itu pandai sekali mengikuti arus, tapi aku pikir perubahan yang terjadi pasti akan menguntungkan pihak rakyat kecil maupun Sin-wi- piau-kiok, berarti persoalannya tinggal Li Ok-lay seorang, dia kuserahkan kepada kalian untuk menyelesainya, mengenai lukisan tengkorak, bila sudah ditemukan segera dimusnahkan saja. Kalian mesti mengutamakan keselamatan negara."

Perkataan manusia berjas hujan itu seperti kata-kata nasehat saja, begitu selesai berkata dia melanjutkan kembali nyanyiannya dan berlalu dari situ.

Tak lama kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik putihnya salju.

Siapakah orang itu?

Darimana dia tahu Leng-hiat sedang menghadapi kesulitan sehingga tiba tepat waktunya? Dengan cara apa dia menghabisi nyawa 'tua, menengah dan muda' itu?

Li Hian-ih sama sekali tak bertanya. Ketika suara nyanyian itu sudah semakin jauh, Raja opas hanya mengajukan satu pertanyaan, "Apakah dia?"

"Ya, memang dia!" Leng-hiat mengangguk.

Li Hian-ih tidak bertanya lagi. Asal sudah tahu kalau orang itu adalah 'dia', ia merasa tak perlu mengajukan pertanyaan lagi.

"Sekarang aku harus pergi mencari seseorang," kata Leng- hiat kemudian.

"Siapa?"

"Ong Beng-kun!" "Suya itu?"

Leng-hiat mengangguk, pandangan matanya dialihkan ke tempat jauh, mengawasi salju nan putih dengan termangu.

"Walaupun Ong Beng-kun sudah melanggar hukum, tapi pelanggaran yang dia lakukan tidak terhitung serius, semestinya kita harus menyelesaikan dulu persoalan di depan mata," kata Li Hian-ih kemudian.

"Aku mencarinya bukan lantaran dia sudah menyerahkan diri atau belum."

"Aaah, lantaran Ni Jian-ciu?" Li Hian-ih segera tersadar. "Oleh karena saudara angkatnya berkhianat, Ni Jian-ciu

menjadi sedih, dalam keputus asaan dia pun menempuh jalan sesat. Besok dia pasti akan berpihak pada Li Ok-lay, aku tak ingin melangsungkan pertarungan yang tak bermanfaat dengan dirinya, selain itu aku pun ingin menyingkirkan salah satu pembantu tangguh Li Ok-lay ini."

"Kau ingin membujuk Ong Beng-kun agar bertobat, minta maaf kepada Ni Jian-ciu dan berusaha mengembalikan harapan serta rasa percaya diri Ni Jian-ciu?" "Bila kita benar-benar dapat berbuat begitu, jelas hal ini merupakan satu kebaikan, cuma ... aku kurang begitu percaya dengan Ong Beng-kun!"

"Bila dia keras kepala, ngotot dan tak mau merubah sifatnya, apakah kau akan membunuhnya?"

"Kali ini aku tak akan menuruti nasehatmu, lagi pula...” dia memandang sekejap genangan darah di atas jembatan, "dalam pertarungan esok, berapa banyak kemungkinan kita tetap hidup? Jika nasib kita kurang beruntung hingga tertimpa musibah, apakah kita akan membiarkan manusia macam Ong Beng-kun tetap merajalela di kolong langit sambil melakukan perbuatan yang menyengsarakan rakyat? Jika dia tak mau bertobat, aku bersumpah akan mencabut nyawa anjingnya!"

Li Hian-ih seketika terbungkam.

"Kau akan menghalangi aku?" tanya Leng-hiat kemudian. Li Hian-ih menggeleng. "Setelah persoalan di sini selesai,

aku pun akan membunuh seseorang, aku berharap sampai waktunya kau pun jangan menghalangi aku."

Sebenarnya Leng-hiat ingin bertanya siapakah dia, namun ketika melihat Li Hian-ih tidak bermaksud mengungkap nama orang itu, terpaksa dia pun bertanya, "Sekarang kau akan kemana?"

"Aku akan tetap tinggal di sini, kini kedok Li Ok-lay sudah tersingkap, besar kemungkinan dia tak akan membiarkan Kwan Siau-ci dan kedua orang saksi kunci itu tetap hidup, kita tak bisa meninggalkan mereka begitu saja," kata Li Hian-ih, "aku pikir sebelum fajar menyingsing baru berkunjung ke perusahaan Sin-wi-piau-kiok, karena jauh lebih aman."

Leng-hiat setuju dengan usul itu, katanya, "Aku rasa besok Li Ok-lay pasti akan mengalihkan seluruh pasukannya ke kota ini, pertumpahan darah tampaknya tak terhindarkan lagi!"

Dengan termangu kedua orang itu memandang salju yang tampak begitu bersih, begitu hening, entah bagaimana pula pemandangan di esok hari?

"Aku tidak habis mengerti," mendadak Li Hian-ih berkata. Leng-hiat berpaling dengan sorot mata penuh tanda tanya.

Sambil mengawasi potongan bambu yang berserakan di atas jembatan, kata Li Hian-ih, "Seandainya tua, menengah dan muda turun tangan bersama, sanggupkah mereka membunuhnya?"

"Aku sendiri pun kurang jelas, mungkin mereka terlalu yakin dengan kemampuan sendiri hingga merasa tak perlu main kerubut, bisa juga lantaran mereka bukan datang secara berombongan. Atau mereka tak menyangka kalau dia akan muncul di situ hingga gelagapan dan gugup sendiri, bisa juga si tua tak mengira akan bertemu musuh tangguh, si menengah kabur karena merasa tak mampu melawan dan si muda rela berkorban demi membayar budinya dulu, itulah sebabnya mereka bertiga tak turun tangan bersama."

Sesudah menghembuskan napas panjang, tambahnya, "Tentu saja semua ini hanya sebatas dugaan, siapa yang tahu keadaan sebenarnya."

Malam itu Li Hian-ih sedang berbincang-bincang dengan Kwan Siau-ci.

"Dia memelihara aku, mendidik aku, agar setelah menginjak dewasa nanti menjadi seorang lelaki yang berguna. Aku harus meniru dia menjadi seorang enghiong hohan, untuk mewujudkan cita-cita itu aku bergabung dengan Sin-wi-piau- kiok untuk menimba pengalaman, dia pun setuju dengan langkahku ini, sekarang aku sudah menjadi anggota keamanan, aaai ... mungkin dia masih belum tahu perkembanganku sekarang... aku... aku tak akan membiarkan dia kecewa." Baru bicara sampai di situ, terlihat seseorang sudah melayang masuk ke tengah ruangan.

Tanpa berpaling Li Hian-ih tahu orang itu Leng-hiat. Sekulum senyuman menghiasi wajah Leng-hiat yang dingin.

Ia berjalan mendekati perapian, membiarkan cahaya api menghangatkan tubuhnya.

Kwan Siau-ci mengambil secawan arak dan disodorkan kepadanya.

Menggenggam cawan arak itu Leng-hiat merasakan suatu kehangatan, tegurnya sambil tersenyum, "Sedang berbincang- bincang?"

"Ya," sahut Kwan Siau-ci, "bagaimana dengan rencanamu mencari Ong-suya?"

"Di luar dugaan Ong-suya benar-benar mengajak kedua orang petugas keamanan itu pergi menyerahkan diri," kata Leng-hiat dengan rasa puas, "ketika aku berhasil menemukan dia dan mengungkit masalah Ni Jian-ciu, ia segera menyatakan penyesalannya, dia bilang Ni Jian-ciu telah menaruh salah paham kepadanya, padahal dia bersama saudara lainnya amat merindukan Ni Jian-ciu, katanya dia akan minta maaf dan memohon kepadanya untuk berkumpul kembali."

"Aaai, baguslah kalau begitu," Li Hian-ih menghela napas. "Kuberitahu Ong Beng-kun bahwa Ni Jian-ciu sudah datang,

mungkin dia sedang beristirahat di luar kota, saking girangnya ia melelehkan air mata, katanya segera akan dicari saudara yang lain untuk segera menyambangi Toakonya itu, melihat ketulusan hatinya, aku pun memberi nasehat agar dia tidak menindas rakyat kecil lagi."

"Jika Ong Beng-kun benar-benar bisa membujuk Ni Jian-ciu meninggalkan jalan sesat dan kembali ke jalan benar, jasa itu sudah cukup untuk menebus dosa-dosanya." "Semoga saja dia sanggup melakukannya," bisik Leng-hiat kemudian, "aku akan gembira sekali bila tidak membunuh Ong Beng-kun, sebaliknya malah bisa menolong Ni Jian-ciu!"

"Sayangnya, aku justru harus membunuh seseorang," kata Li Hian-ih sambil meneguk araknya.

Ko Siau-sim merasa jantungnya berdebar keras, sejak Tong Keng muncul kembali hingga kini rasa gembiranya belum juga mereda, luapan kegembiraan yang tak berbendung membuat dia bertanya pada diri sendiri, begitu pentingkah Tong Keng baginya ketimbang mati hidup ayahnya?

Ia tak berani berpikir lebih jauh, kini hanya berharap bisa banyak berbincang dengan pemuda pujaan hatinya ini.

"Apakah selama ini kau ... kau menderita?" "Tidak, sama sekali tidak menderita." "Apakah kau ... kau selalu tersiksa?" "Tidak jadi masalah."

"Selama ini ... kau sebenarnya...” dia ingin bertanya 'apakah kau kangen padaku', tapi sebagai seorang gadis, dia merasa jengah untuk melanjutkan perkataannya itu.

"Ehmm?" Tong Keng mendesis keheranan.

"Aku tahu kau pasti kembali," sambung Siau-sim riang. "Aku sendiri pun tak menyangka masih bisa pulang ke

rumah” Tong Keng terbayang kembali pengalamannya selama ini, "sungguh berbahaya, sangat mengerikan, sayang ... sayang saudara Go masih tertinggal dalam penjara."

"Setelah berhasil kabur dari penjara, kenapa kau masih berani menyerempet bahaya pulang ke sini?" tanya Siau-sim hati-hati, "seharusnya kau kabur ke tempat jauh." "Karena Kokcu ingin pulang, aku pun mengikutinya pulang," jawab Tong Keng jujur, "dalam keadaan begini, aku tak bisa meninggalkan Kokcu."

"Kau pulang kemari...” sambil mempermainkan ujung bajunya Siau-sim mencoba bertanya, "apakah kau secara khusus ingin menjumpai seseorang?"

Tong Keng menghela napas panjang. "Aaai, si ketapel cilik telah pergi, perusahaan besar ini telah kosong, yang pergi, yang kabur”

"Tapi toh masih ada aku," dengan tak senang Siau-sim membuang muka.

"Ya, terpaksa hanya bertemu dengan kau," tapi begitu ucapan itu diucapkan, ia segera tahu artinya menjadi berbeda.

Kontan saja Siau-sim menangis tersedu.

Segera Tong Keng menarik tangannya sambil berseru, "Aku bukan bermaksud begitu, maksudku...”

Dengan air mata bercucuran Ko Siau-sim mengebas tangannya, namun ia tidak pergi juga.

"Kalau tak ingin menemui aku, tak usah datang kemari," serunya jengkel.

Tong Keng tak menyangka kalau Ko Siau-sim yang sejak kecil main bersamanya kini sudah tumbuh dewasa, sudah barang tentu pikiran seorang gadis dewasa sangat berbeda dengan jalan pikiran seorang nona cilik.

Dalam gelisah dan cemas ia berseru, "Aku memang ingin bertemu denganmu, aku memang ingin bertemu denganmu”

"Hmmm, siapa tahu kalau kau hanya berbohong, dasar tak punya perasaan, kapan kau pernah teringat diriku?"

"Aku benar-benar teringat dirimu," seru Tong Keng cepat, "aku selalu merindukanmu." "Benar kau teringat padaku?"

"Benar, hanya tadi aku kurang perhatian sebab sedang memikirkan soal lain, kau jangan marah”

Siau-sim semakin jengkel, serunya, "Aku sedang mengajakmu bicara, kemana kau taruh perhatianmu?"

"Aku ... aku sedang memikirkan nona Ting, dia ada di atas loteng, aku tidak tahu apakah dia menemukan ember untuk cuci muka?"

Ko Siau-sim kontan merasa hatinya amat sakit, dia tak menyangka kalau pemuda pujaan hatinya ternyata malah memikirkan perempuan lain.

Sekalipun sakit hati, ia berlagak seakan tak pernah terjadi sesuatu, sahutnya, "Kau tak usah bingung, ada dayang yang menyiapkannya untuk nona Ting."

"Aaah benar, benar...”

Mendadak Ko Siau-sim berseru, "Sebenarnya kau anggap aku ini siapa?"

Tong Keng melengak, dia tidak menduga pertanyaan itu.

Kembali Ko Siau-sim berkata, "Engkoh Keng, kau tahu aku tak punya saudara, orang tuaku pun hanya memiliki seorang putri, aku sangat berharap bisa memiliki seorang kakak lelaki."

"Kau memang adikku," jawab Tong Keng cepat, "apalagi kita teman bermain bersama sejak kecil, selama ini aku memang selalu menganggap kau sebagai saudaraku."

Seketika itu juga Siau-sim merasakan hatinya seakan tercebur ke dalam salju yang dingin, semua impian indah yang dibayangkan selama ini seakan hilang tak berbekas.

Tapi dia berusaha mengendalikan diri, segera ujarnya lagi, "Coba kau lihat tubuhmu, penuh dengan lumpur, cepat bersihkan badan sebelum bertemu nona Ting, kalau tidak, siapa yang mau ambil peduli dengan seorang kakak macam kau."

Sekali lagi Tong Keng menengok ke arah loteng dimana Ting Tong-ih berada, kemudian baru garuk-garuk kepala.

Saat itu kebetulan Lan-ci, sang dayang berjalan lewat, ketika Siau-sim melihat dayang itu membawa baskom air dan handuk, segera tanyanya, "Hendak kau berikan nona Ting?"

"Benar, sudah tiga kali ganti air bersih," jawab Lan-ci. "Kalau begitu biar aku yang mengantar air ini," kata Siau-

sim sambil menyambut ember air itu, "kau boleh ke dapur

membantu Sin-pek!"

Kemudian sambil berpaling lagi ke arah Tong Keng yang masih berdiri bodoh, ujarnya sambil tertawa, "Kenapa belum pergi mandi? Jangan kuatir, kan ada adikmu yang akan melayani nona Ting?"

Sambil berkata ia bergerak naik ke loteng, cahaya api menyinari rubuhnya, membiaskan sesosok bayangan bagaikan bidadari naik ke awan.

ooOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar