Misteri Lukisan Tengkorak Bab 31 : Salju Atau Bunga

31. Salju Atau Bunga.

Suara itu berasal dari atas tiang penglari, tapi meja besar yang berada di hadapan mereka justru hancur berantakan diiringi suara benturan nyaring.

Di antara debu dan pasir yang beterbangan, di atas bekas meja itu sudah bertambah dengan dua sosok tubuh manusia.

Bun Tio hanya kenal salah seorang di antaranya, "Kwan Siau-ci!"

Selama ini dia selalu beranggapan bahwa orang ini hanyalah seorang opas rendahan yang tak pantas dikuatirkan, ditinjau dari ilmu meramal wajah, dia berpendapat usia orang ini tak lebih dua puluh lima tahun.

Tapi seorang yang lain sangat dikenal oleh Li bersaudara. "Leng-hiat!"

Paras muka Leng-hiat sama sekali tak berperasaan, hanya garis mukanya seakan-akan tergurat jauh lebih jelas.

Suara batuk masih berkumandang dari belakang papan nama di atas penglari.

Suara batuk itu mulai bergeser, dengan berdiri di atas dinding perlahan melangkah turun ke bawah.

Kali ini Li Hok dan Li Hui betul-betul terbelalak dengan mulut melongo, beberapa saat mereka seakan tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Papan nama itu tergantung di atas, tapi orang yang berpenyakitan itu berjalan di atas dinding seolah sedang berjalan di tanah datar saja, selangkah demi selangkah berjalan turun ke bawah.

Seangkuh dan sejumawa apapun, kini Li bersaudara tak berani ayal lagi, mereka sadar telah berjumpa musuh tangguh. Tapi mereka sudah tidak memiliki pilihan lagi, karena ketiga orang itu jelas sudah mendengarkan semua pembicaraan yang mereka lakukan tadi.

Raja opas Li Hian-ih, Leng-hiat maupun Kwan Siau-ci memang sudah mendengar semua pembicaraan yang berlangsung, bahkan menyaksikan juga siasat 'di balik senyuman sembunyi golok' yang dilakukan dua bersaudara itu.

Sebenarnya selesai hujan tadi mereka akan meminta Kwan Siau-ci membawa mereka berdua ke perusahaan Sin-wi-piau- kiok, tapi ketika Leng-hiat menemukan ada batang hio dalam gardu, ia segera tahu kalau Ting Tong-ih sekalian baru saja melalui tempat itu.

Leng-hiat tak ingin mengganggu Ko Hong-liang sekalian yang baru berkumpul kembali dengan keluarganya setelah buron cukup lama, maka dia sengaja mengulur waktu.

Tentu saja Raja opas memahami maksudnya itu.

Tak lama setelah hujan berhenti, Leng-hiat mengajukan usul dan minta Kwan Siau-ci mengajaknya menyelidiki kantor pengadilan kota Cing-thian, dia ingin mencari sedikit data mengenai pajak rakyat sebelum pergi ke kantor perusahaan Sin-wi-piau-kiok.

Raja opas tidak menyatakan setuju, namun tidak menampik, karena Leng-hiat ingin ke situ maka dia pun mengikutinya, maka mereka bertiga pun dengan menerjang hujan salju berangkat ke kantor pengadilan.

Belum lama mereka tiba di kantor pengadilan, Lu Bun- chang telah muncul di situ diikuti Bun Tio.

Leng-hiat sama sekali tak menyangka gara-gara kehadirannya di situ, secara kebetulan mereka malah mengikuti jalannya drama pembunuhan itu serta mendengar sebuah rahasia besar. Sebenarnya Kwan Siau-ci ingin melompat keluar, tapi Leng- hiat segera mencegahnya, sebab dia merasa kematian Lu Bun- chang memang tak perlu disayangkan, justru yang penting adalah mengetahui rahasia lain.

Akhirnya Bun Tio berhasil membunuh Lu Bun-chang secara tiba-tiba, kejadian ini berlangsung mendadak dan di luar dugaan siapa pun, dalam keadaan begini tak sempat bagi Li Hian-ih sekalian mencegahnya.

"Mereka semua telah melanggar hukum, mereka pun merupakan saksi kunci," ujar Leng-hiat kemudian.

Setelah melewati dua bersaudara Li, tanyanya kepada Raja opas, "Apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?"

Dia memang ingin memancing reaksi Li Hian-ih, jika Raja opas berniat mencari pangkat, dia pasti akan mendukung Li Hok dan Li Hui, Leng-hiat merasa dirinya belum tentu mampu mencegah mereka.

Raja opas terbatuk-batuk lagi, setelah memuntahkan darah segar dia menjawab singkat, "Tangkap mereka!"

Dengan cepat dua bersaudara Li dapat melihat Leng-hiat serta orang berpenyakitan itu sudah menyumbat jalan maju maupun jalan mundurnya, tapi Li Hok maupun Li Hui tidak menjadi takut karena kejadian ini, sebab sejak awal mereka memang berniat membunuh Leng-hiat dan membuat sebuah pahala besar.

Mereka sama sekali tak pandang sebelah mata terhadap kakek penyakitan itu, bahkan seolah memandangnya sebagai seonggok sampah.

"Bunuh mereka!" perintah Li Hok kepada Bun Tio.

Bun Tio sama sekali tak bergerak. Ilmu silatnya masih jauh di bawah kemampuan Li Hok maupun Li Hui, bahkan dengan Lu Bun-chang pun masih kalah jauh. Namun sudah cukup lama dia menjadi pejabat negeri, hingga sekarang dia sudah dua puluh delapan tahun mengabdikan diri pada kerajaan, tentu saja pengalaman bertempurnya jauh lebih matang dari siapa pun.

"Aku sudah terluka," katanya dengan wajah masam.

"Sialan! Kau terluka apa?" teriak Li Hui tertawa dingin. "Ketika membunuh Lu Bun-chang tadi, isi perutku sudah

terluka oleh getaran tenaga dalamnya!" jawab Bun Tio sambil meringis.

Dua bersaudara Li tahu kalau Bun Tio sedang berbohong, saking jengkelnya ingin sekali mereka bunuh orang ini dengan sekali tusukan, tapi musuh tangguh di depan mata, apalagi musuh yang harus dihadapi adalah Leng-hiat, tentu saja mereka tak ingin memecah perhatiannya.

"Criiing, criiing!", dua bersaudara Li telah mencabut keluar pedangnya.

Leng-hiat masih berdiri dengan wajah dingin, tangannya memegang gagang pedang, selangkah demi selangkah ia berjalan mendekat.

Dua bersaudara Li memang mempunyai hubungan batin yang hebat, mereka menggerakkan bahunya dan siap melancarkan serangan.

Mendadak dari arah belakang terdengar orang penyakitan itu menghardik, "Lihat serangan!"

Serentak Li Hok dan Li Hui berpaling, tapi dengan cepat mereka dibuat kaget setengah mati, sukma seraya melayang meninggalkan raganya, untuk sesaat mereka tak tahu bagaimana harus menghadapi ancaman itu.

Selama hidup belum pernah mereka jumpai senjata sebesar ini. Papan nama itu panjangnya mencapai dua puluh kaki, tapi kakek berpenyakitan itu sudah mengayunkan papan itu ke arah mereka, "Weesss!", diiringi deru angin tajam, papan itu menyapu ke dada mereka berdua.

Tergopoh-gopoh Li Hok dan Li Hui melompat mundur, tapi papan kayu itu merangsek terus dan membuat mereka berdua segera terpojok di sudut dinding ruangan.

Menggunakan kesempatan itu dua bersaudara Li menarik napas panjang, pedang mereka serentak dicabut keluar dan langsung dibabatkan ke atas papan nama itu.

Siapa tahu baru saja sepasang pedang dua bersaudara Li menusuk papan nama itu, mendadak Li Hian-ih mengendorkan tangannya. "Plaaak, plaaaak!", sepasang tangannya menghantam papan itu hingga jebol sementara tangan kanannya secepat kilat mencengkeram pergelangan tangan kiri Li Hok, sementara tangan kirinya mencengkeram bahu kanan Li Hui.

Kedua tempat itu merupakan mulut luka yang diderita mereka berdua, susah bagi dua bersaudara itu untuk menghindarkan diri, tak ampun tubuh mereka segera berhasil dicengkeram.

Li Hok dan Li Hui mencoba memberontak, sayang cengkeraman itu membuat sekujur tubuh mereka kesemutan, apalagi ketika Raja opas melancarkan tendangan berantai, jalan darah di tubuh mereka segera terhajar telak.

Tak ampun tubuh mereka menjadi lemas, roboh terjungkal ke tanah dan tak mampu bergerak lagi.

Saat itulah Raja opas baru mengendorkan tangannya, membuang papan nama itu dan berkata kepada Leng-hiat sambil tertawa, "Aku kuatir pedangmu langsung mencabut nyawa mereka!" Diam-diam Leng-hiat terkesiap, dia tak menyangka Li Hian- ih hanya menggunakan papan nama sebagai senjata bisa membekuk kedua orang jago tangguh itu hanya dalam dua gebrakan, bukan saja cara kerjanya cepat, bahkan tak perlu melukai lawan, satu hal yang tak mungkin bisa dilakukan si Darah dingin.

Sementara itu Kwan Siau-ci berseru dengan nada jengkel, "Orang-orang ini memang bedebah, bukan saja sudah merampok uang pajak, mereka pun memaksa rakyat untuk membayar pajak untuk kedua kalinya! Betul-betul laknat!"

Li Hian-ih tidak bicara apa-apa, dia hanya termenung dengan kening berkerut kencang.

"Ada apa? Apakah kau sedang memikirkan masalah lukisan tengkorak?" tiba-tiba Leng-hiat bertanya.

"Kenapa tidak kita tanyakan kepada mereka?" ujar Li Hian- ih kemudian, kini mereka baru sadar bahwa Bun Tio telah melarikan diri.

"Haah! Dia telah kabur!" seru Kwan Siau-ci terperanjat. "Ternyata ilmu silat yang dimiliki orang ini jauh di atas

kepandaian Li Hok dan Li Hui," gumam Li Hian-ih dengan

kening semakin berkerut.

"Kalau begitu kita tanyakan saja kepada Li bersaudara!" usul Leng-hiat.

Hasil interogasi yang berhasil mereka kumpulkan hanyalah membuktikan bahwa Li Ok-lay memang memberikan beberapa tugas kepada Lu Bun-chang, antara lain merebut kembali lukisan tengkorak, memusnahkan perusahaan ekspedisi Sin- wi-piau-kiok. merampok uang pajak kemudian memaksa rakyat untuk membayar pajak lagi.

Selain itu mereka juga membubarkan pasukan yang telah dipersiapkan di sekitar perusahaan Sin-wi-piau-kiok, tentang lukisan tengkorak ternyata mereka sama sekali tidak tahu. Leng-hiat serta Li Hian-ih tahu pengakuan kedua orang itu tidak bohong, sebab dua bersaudara Li belum pernah mengalami siksaan dan kejadian semacam ini, ketika Leng-hiat memerintahkan Kwan Siau-ci mengurungi sebuah kakinya lebih dulu, dua bersaudara ini sudah ketakutan setengah mati hingga terkencing-kencing dalam celana.

Berada dalam kondisi dan situasi seperti ini, tak ada alasan bagi dua bersaudara Li untuk tidak menjawab dengan sejujurnya.

Kwan Siau-ci masih menguatirkan kaburnya Bun Tio, katanya, "Mungkinkah dia pergi melaporkan kejadian ini kepada Li Ok-lay?"

"Tentu saja," jawab Leng-hiat, "tapi aku pikir ada baiknya kita berangkat ke Sin-wi-piau-kiok terlebih dulu baru kemudian mencari mereka."

"Apa leluasa dengan membawa serta dua orang bersaudara ini?" tanya Li Hian-ih.

Di seputar gedung Sin-wi-piau-kiok masih terdapat pasukan yang disiapkan Li Ok-lay, mereka semua tak ingin membabat rumput mengejutkan ular.

"Serahkan saja kepadaku," Kwan Siau-ci mengusulkan, "toh mereka tidak banyak tahu tentang persoalan ini, biar kusekap mereka di dalam kamar tahanan."

"Tempat ini merupakan sarang serigala gua ular, kau tidak takut menggelandang dua orang jagoan sekaligus sambil setiap saat harus berjaga-jaga terhadap serangan lain?" tanya Li Hian-ih sambil tertawa.

Berkilat sepasang mata Kwan Siau-ci, serunya, "Tahukah kau, bagaimana kakakku mengajarkan padaku? Kami anggota keluarga Kwan tak pernah takut melakukan perbuatan apapun, bahkan berani melakukan perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan, berani berbuat apa yang orang lain tak berani memikirkan dan menyatakan suka pada sesuatu yang disukai."

Kemudian sambil bertepuk dada lanjutnya lagi dengan suara lantang, "Aku memang tidak sebanding dengan kegagahan kakakku, tapi aku harus belajar seperti dia, menjadi seorang enghiong, karena aku adalah adiknya!"

Sebenarnya Leng-hiat ingin bertanya siapa kakaknya, tapi karena tak ada waktu maka dia pun mengurungkan niatnya.

"Bagus, bagus sekali," terdengar Li Hian-ih berseru sambil tertawa, "generasi Lak-san-bun berikut tampaknya harus tergantung pada manusia macam kalian, kalau aku memiliki seorang anak macam kau”

Tiba-tiba ia mulai terbatuk-batuk.

"Aku pun merasa gembira, merasa sangat bangga bisa menyumbang tenaga untuk kalian berdua," seru Kwan Siau-ci penuh bersemangat.

"Jaga dengan hati-hati, kedua orang ini merupakan saksi kunci, penting sekali” kembali ia terbatuk keras, begitu kerasnya seolah-olah paru-parunya akan meledak, membuat seluruh tubuhnya seakan menyusut menjadi satu, membuat badannya seperti sebatang ranting kering yang setiap saat bakal patah dan rubuh oleh hembusan angin.

Untuk sesaat dia seolah kehabisan daya, seolah tak tahu bagaimana harus mengatasi batuknya itu.

Kwan Siau-ci juga tak bisa berbuat apa-apa, sebab ia dapat melihat batuknya sudah mencapai saat yang paling kritis, penyakit batuknya sudah berada pada tingkat yang begitu parah hingga setiap saat bisa merenggut nyawanya.

Leng-hiat dan Li Hian-ih telah keluar dari dalam gedung, kini mereka sedang berjalan di tanah yang putih berlapiskan salju. Air sungai di kejauhan sana sudah mulai membeku, tapi masih nampak riak air yang mengalir perlahan, membawa bongkahan salju yang hancur.

Bunga yang tumbuh di sepanjang sungai pun telah memutih, membuat orang susah membedakan mana salju dan mana bunga....

Di ujung jembatan duduk seorang kakek, sedang memancing ikan.

Pancingan itu ada mata kail namun tiada senar.

Tapi kakek itu masih memancing dengan santainya, setiap kali berhasil mengail seekor ikan, dia pun membesut ujung hidungnya.

Sekilas pandang dia mirip seorang kakek yang sedang asyik memancing ikan.

Tapi begitu Leng-hiat dan Li Hian-ih melihat kehadiran orang itu, paras muka mereka berdua segera berubah hijau membesi.

Leng-hiat bisa memiliki posisi dan nama besar setenar ini dalam dunia persilatan antara lain karena dia berani, ampuh, telengas dan ulet.

Dia pernah membunuh tokoh paling misterius dalam dunia persilatan 'Na-jin', dia pun berhasil menghabisi nyawa si opas sakti Liu Ci-yan, anak murid si iblis darah, kemudian dalam keadaan terluka parah dia pun berhasil menghabisi nyawa To Ko-wi, murid paling ampuh Kiu-yu Sinkun, lalu pernah bertarung melawan Cap-ji-tan-ih-kiam, di dusun Tan-ke-cun pernah membunuh lima belas orang jago buas, malah Tio Yan-hiap yang konon memiliki lima puluh empat orang guru pun akhirnya terluka parah di tangannya.

Belum pernah terdengar Leng-hiat takut terhadap seseorang. Tapi sekarang dia justru takut menghadapi orang yang berada di ujung jembatan itu.

Takut terhadap kakek pemancing yang sedang memancing ikan dari sungai yang hampir membeku itu.

Sebab dia tahu dengan jelas siapakah orang tua itu.

Kakek itu begitu tersohor, begitu termashur namanya jauh sebelum dia mulai berlatih silat.

Ketika ia selesai belajar silat, ketika mendengar para Cianpwe membicarakan ketiga tokoh manusia yang menakutkan ini, ia pernah bertanya kepada Cukat-sianseng.

"Apa yang harus aku lakukan bila bertemu dengan si Tua tak mau mati?"

"Bertarung melawannya? Kau masih bukan tandingannya." "Bagaimana kalau bertemu dengan si Manusia menengah?" "Kabur!" jawab Cukat-sianseng singkat.

"Lantas bagaimana kalau bertemu dengan si Bambu muda?"

"Tak ada cara lain," Cukat-sianseng menghela napas, "bila orang awam bertemu dengan seekor ular kobra yang sudah melilit kakinya, cara terbaik adalah jangan bergerak."

"Bila kau bertemu dengannya, keadaanmu tak jauh berbeda dengan posisi seorang manusia cacad yang di lehernya telah dililit seekor ular berbisa", itulah kesimpulan yang disampaikan Cukat-sianseng.

Selama ini Cukat-sianseng tak pernah membesar-besarkan masalah yang diucapkan, Leng-hiat sangat percaya dengan kesimpulan yang diambil Cukat-sianseng, karena dia pun merupakan murid hasil didikan Cukat-sianseng.

Tidak percaya dengan Cukat-sianseng sama halnya dengan tidak percaya pada diri sendiri. Jalan pikiran Li Hian-ih sekarang pun tidak jauh berbeda dengan apa yang dipikirkan Leng-hiat, dia cuma berbisik lirih, "Si Tua tak mau mati?"

Leng-hiat mengangguk.

"Dengan dua lawan satu, mungkin kita masih bisa meraih kemenangan," bisik Li Hian-ih lagi.

Sebenarnya Leng-hiat ingin berkata, "Bagaimana kalau si Manusia menengah dan si Bambu muda ikut datang?".

Belum sempat perkataan itu diucapkan, terlihat sesosok tubuh manusia telah meluncur datang dari balik lapisan salju.

Orang itu muncul dengan mengenakan jas hujan, bahkan sambil bersenandung.

Dari balik irama lagunya yang lembut, terselip semangat yang berkobar.

Orang itu mengenakan topi caping yang nyaris menutupi wajahnya, berjalan sambil bernyanyi, tak lama sudah tiba di ujung jembatan dan menghentikan langkahnya.

Kakek pemancing itu segera membesut ujung hidungnya, kemudian bangkit berdiri.

Tiba-tiba ia sudah menerjang ke depan jembatan, menerjang ke hadapan manusia berjas hujan itu, dipandang dari kejauhan tampak tangannya telah bersentuhan dengan caping bambu yang dikenakan orang berjas hujan itu.

Seketika suara nyanyian orang yang mengenakan jas hujan itu terhenti di tengah jalan.

Kemudian kedua orang itupun sama-sama berdiri tegak tanpa bergerak.

Selang beberapa saat kemudian di atas lapisan salju yang membentang di ujung jembatan mulai tersirat cahaya merah. warna merah yang makin lama semakin melebar dan bertambah luas.

Manusia berjas hujan itupun mulai bernyanyi lagi, melanjutkan nyanyiannya yang terhenti setengah jalan tadi.

Si Tua tak mau mati perlahan-lahan roboh terkapar ke tanah, Leng-hiat sempat melihat sebuah garis luka memanjang di pundaknya, dari situ darah menyembur keluar.

Jurus serangan apa yang telah digunakan? Kenapa si jagoan tangguh si Tua tak mau mati bisa tertusuk sebilah golok di punggungnya ketika sedang bertarung saling berhadapan dengan lawannya?

Si Tua tak mau mati kini sudah tergeletak di ujung jembatan, tergeletak kaku untuk tidak bangkit kembali.

Manusia berjas hujan itu melanjutkan nyanyiannya, berjalan sambil bernyanyi.

Ketika tiba di tengah jembatan, mendadak terdengar suara deburan air yang nyaring diikuti munculnya seseorang dari balik lapisan salju, orang itu meluncur ke udara dan melayang turun di atas jembatan.

Tampaknya orang itu sudah cukup lama bersembunyi di dalam air, namun dia sama sekali tak nampak kedinginan, bukan saja tidak kedinginan, pakaian yang dikenakan pun seolah tak basah.

Padahal orang itu jelas baru muncul dari dalam air, muncul dari balik lapisan salju yang mulai membeku di permukaan sungai.

"Manusia menengah!" Leng-hiat berseru tertahan.

Li Hian-ih tidak mengucapkan sepatah kata pun, tampaknya dia masih terkesima menyaksikan si Tua tak mau mati menemui ajalnya di ujung golok manusia berjas hujan itu, tertusuk di punggungnya. Manusia menengah sama sekali tidak melancarkan serangan bokongan setelah melompat keluar dari balik sungai, karena bokongan hanya akan berhasil bila digunakan untuk menyergap jagoan kelas dua.

Ketika melompat keluar dari balik salju tadi, dia bukannya tak berniat melakukan serangan bokongan, tapi niat itu segera diurungkan setelah menyaksikan sikap lawannya yang begitu tenang dan teratur.

Dia tahu bokongannya tak nanti bisa mencabut nyawa orang ini dalam sekali gempuran.

Setelah berada di atas jembatan, dia pun tidak mencoba melancarkan serangan, orang itu hanya bersiap sambil berdiri saling berhadapan.

Berada di atas jembatan, apalagi dalam selisih jarak yang begitu dekat, pada hakikatnya tak mungkin bagi pihak lawan untuk menghindar, mau berkelit pun susah.

Tapi manusia berjas hujan itu masih melanjutkan langkahnya, berjalan sambil menyanyi.

Lagu yang dinyanyikan masih tetap lagu yang tadi, ayunan langkahnya juga tetap lebar, seperti ayunan langkahnya tadi.

Manusia menengah sudah menyiapkan anak panahnya, siap melancarkan serangan mematikan, namun dia tak yakin panah yang bakal dilepaskan bisa menghajar mati lawannya, maka kembali dia mundur setengah langkah.

Manusia berjas hujan itu masih melanjutkan langkahnya maju ke depan.

Sekarang suara nyanyiannya berubah jadi lebih sendu dan menyedihkan.

Manusia menengah belum berhasil juga menemukan kesempatan untuk turun tangan, lagi-lagi dia mundur satu langkah. Tangan manusia berjas hujan itu mulai meraba gagang golok yang terselip di pinggangnya, namun ia masih tetap berjalan maju sambil tertawa.

Mendadak Manusia menengah membuang busurnya, melemparkan anak panahnya ke tanah, lalu gumamnya sambil menghela napas panjang, "Aku kalah!"

"Byuuurr!", dia melompat ke bawah jembatan dan menceburkan diri ke dalam sungai yang membeku.

Pusaran air segera menggelombang di atas permukaaan, tapi hanya selang sesaat kemudian permukaan air kembali tenang.

Manusia berjas hujan itu masih berdiri di tengah jembatan, hembusan angin membawa suara nyanyiannya menggema lembut di angkasa.

Tiba-tiba terdengar suara seruling, irama seruling itu mengalun di angkasa mengiringi suara nyanyiannya.

Suara nyanyian manusia berjas hujan itu mulai bergetar, nadanya mulai bergelombang, seakan bongkahan salju di atas permukaan sungai yang membentur sesuatu benda.

ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar