Misteri Lukisan Tengkorak Bab 30 : Setia Dan Mati

30. Setia Dan Mati.

Selembar kain pembungkus mayat, tentu saja harus dicuci dulu hingga bersih kemudian baru disimpan, kejadian semacam ini adalah kejadian lumrah.

Tapi bila kain pembungkus mayat sudah dicuci bersih, tentu saja tak ada tanda apapun yang tertinggal.

Jantung semua orang yang sudah berdebar keras sekali lagi tenggelam ke bawah.

Ko Siau-sim muncul kembali sambil membawa secarik kain putih yang sudah menguning, semua orang coba memeriksa dengan seksama, namun kecuali bekas lumpur dan lumut yang tak bisa hilang, mereka tidak menemukan sesuatu apapun.

Melihat kekecewaan yang diperlihatkan semua orang, Ko Siau-sim menggigit bibirnya, dia harus menggigit bibirnya sampai memutih sehingga air matanya tak meleleh.

Ting Tong-ih yang memperhatikan hal itu segera berkata sambil tertawa, "Padahal kita sudah berlebihan, kain itu sudah sangat lama terpendam di dasar lumpur, sekalipun diperiksa dengan lebih seksama pun tak ada gunanya, kecuali bekas lumpur, apa lagi yang bisa dijumpai? Aku rasa Li Ok-lay hanya mengada-ada saja!"

Ko Hong-liang mengerling ke arah putrinya sekejap, dia tidak memakinya, hanya sambil berlutut di depan meja abu ayahnya dia berdoa, "Ananda memang tak berbakti, tidak tahu kalau benda itu merupakan sebuah benda yang amat berharga

... bila suatu hari nanti perusahaan Sin-wi dapat berjaya kembali, ananda pasti akan mengebumikan kembali jenazah kau orang tua dengan sebaik-baiknya."

Tong Keng ikut berlutut, gumamnya, "Lotoaya, semua ini adalah kesalahan aku Tong Keng, aku tidak pantas mengganggu tubuh kau orang tua”

Sambil bergumam, ia menampar wajah sendiri berulang kali hingga sembab merah.

Ko Siau-sim ikut berlutut, serunya, "Yaya...” Dia pun menangis tersedu-sedu.

Ting Tong-ih menggeleng kepala berulang kali, katanya, "Aku adalah orang luar, tolong dengarkan dulu perkataan orang luar. Kalian semua telah melakukan kesalahan apa? Mungkin seandainya tak ada penemuan kalian, jenazah Ko- lokokcu bukan saja sudah terlempar keluar dari peti matinya yang merekah, bahkan bisa jadi akan ditemukan para petugas keamanan yang melakukan penggalian. Mungkin arwah Ko- losianseng di alam baka yang telah memberi petunjuk terjadinya semua peristiwa ini sehingga masih terbuka kesempatan untuk melakukan upacara pemakaman lagi di kemudian hari. Sudah, janganlah bersedih."

Setelah dihibur Ting Tong-ih, rasa sedih Ko Siau-sim mulai mereda, dia pun berhenti menangis.

Yong Seng yang melihat Ko Hong-liang, Tong Keng serta Ting Tong-ih basah kuyup macam manusia lumpur segera berkata, "Kalau memang tak punya rencana untuk berangkat sekarang, lebih baik beristirahat dulu sambil membersihkan badan, akan kusuruh Sin-pek menanak nasi, apapun yang bakal terjadi esok, malam ini kita harus menikmati dulu hidangan sambil merayakan berkumpulnya kembali kita semua." Tong Keng serta Ting Tong-ih beranggapan sudah saatnya bagi mereka untuk mengundurkan diri, bagaimana pun mereka harus memberi kesempatan kepada Ko Hong-liang untuk berkumpul kembali dengan keluarganya.

Sebaliknya Ting Tong-ih pun merasa perlu memberi kesempatan kepada Tong Keng untuk berbincang dengan Ko Siau-sim.

Maka masing-masing  dengan jalan pemikiran yang berbeda segera mengundurkan diri dari ruang utama.

Walaupun sisa anggota Sin-wi-piau-kiok sudah tak banyak lagi, namun setelah melihat kembalinya ketua mereka, semua orang merasa amat gembira. Mereka tak peduli apa yang bakal terjadi esok pagi, seluruh kegembiraan mereka dilampiaskan dalam santap malam bersama untuk merayakan pertemuan ini.

Namun Lu Bun-chang tidak berpendapat demikian.

Waktu itu dia sedang duduk di belakang meja pengadilan, sementara pejabat yang sebenarnya hanya berdiri mendampingi tanpa banyak bicara.

Siapa pun tak ingin menyalahi Lu Bun-chang, apalagi sejak awal kota itu memang berada dalam kekuasaannya, dan sekarang ada pejabat yang lebih berkuasa macam Li Ok-lay mendukung dirinya, biar orang sudah makan nyali macan pun tak nanti berani mengusik dirinya.

Baru saja duduk Lu Bun-chang bangkit berdiri, kemudian berjalan mondar-mandir dengan rasa jengkel, kembali ia duduk.

Pejabat yang berdiri di sisinya hanya menyaksikan ulah itu dengan perasaan kebat-kebit, baru saja hatinya menjadi tenteram, tiba-tiba terlihat Lu Bun-chang melompat bangun seraya berteriak, "BunTio!" Pejabat itu merasa sangat terperanjat, jantungnya nyaris melompat keluar dari rongga dadanya.

"Hamba siap!"

"Kenapa kau nampak sangat ketakutan setiap kali mendengar aku memanggil namamu?" tegur Lu Bun-chang sambil melototkan matanya, lagaknya seperti seorang pejabat pengadilan yang sedang memeriksa seorang terdakwa, "Apakah kau sempat korupsi ketika mengumpulkan uang pajak rakyat?"

Sebetulnya dia hanya ingin bertanya apakah di luar sana bunga salju telah menyelimuti jalan, namun menyaksikan ketakutan Bun Tio, dia pun unjuk gigi menggertaknya.

"Tidak, sama sekali tak pernah," jawab Bun Tio ketakutan, "benar-benar tidak pernah, hamba selalu setia dan jujur, sepeser pun tak berani ambil, bisa berbakti kepada Thayjin pun sudah merupakan sebuah berkah bagiku."

"Lantas kenapa kau begitu ketakutan?" tanya Lu Bun-chang sambil tertawa.

"Sebab Thayjin kelihatan sangat keren dan berwibawa” segera Bun Tio menundukkan kepalanya, "sebab sewaktu Thayjin memanggil nama hamba tadi, ketika hamba mendongakkan kepala, maka terlihatlah...”

"Melihat apa?" tanya Lu Bun-chang keheranan. "Hamba tak berani menjawab."

"Kenapa tak berani menjawab?"

"Hamba kuatir Thayjin akan menjatuhkan hukuman berat setelah mendengar jawaban itu, hamba tak sanggup memikulnya!"

Bun Tio semakin tak mau berterus terang, Lu Bun-chang semakin ingin mengetahuinya, kembali dia berseru, "Biar bersalah pun tidak usah takut, akan kupikul semua tanggung jawab itu!"

"Ketika hamba mendongakkan kepala tadi, hamba melihat...” Bun Tio sedikit tergagap, "hamba melihat ada selapis asap tipis muncul dari kepala Thayjin, asap itu mirip sekali dengan...”

"Asap tipis?" Lu Bun-chang semakin tak habis mengerti. "Betul, selapis asap tipis yang mirip sekali dengan seekor

naga emas yang sedang terbang ke angkasa!"

"Sungguh?" seru Lu Bun-chang girang, tapi seperti teringat sesuatu, dengan perasaan bergetar keras hardiknya, "Omong kosong!"

Segera Bun Tio menjatuhkan diri berlutut, serunya ketakutan, "Hamba memang pantas mati, hamba memang pantas mati!"

"Bun Tio!" hardik Lu Bun-chang sambil menggebrak meja, "perkataanmu tadi ... tahukah kau ... ucapanmu itu sangat berbahaya?"

"Hamba tahu salah, tapi apa yang disampaikan adalah sebuah kenyataan, hamba tidak berbohong, juga tidak mengarang cerita ... bukankah ... bukankah Thayjin sudah berjanji akan mengampuni dosaku?"

"Jadi kau bicara sejujurnya?" "Tentu saja hamba bicara jujur."

Diam-diam Lu Bun-chang merasa kegirangan, segera pesannya, "Kali ini kuampuni dosa dan kesalahanmu ... cuma, Bun Tio! Kau jangan bicara sembarangan di luaran sana!"

"Hamba mengerti, hamba pasti akan menutup mulut rapat- rapat dan tak akan membocorkan kepada siapa pun." Mendengar itu Lu Bun-chang segera berkata, "Kau memang pintar sekali, bila di kemudian hari kuangkat dirimu mendampingi aku, apakah kau bersedia?"

Bun Tio memang sangat mengharapkan janji seperti itu, sebab dia tahu wilayah di seputar sini ibarat lampu yang kehabisan minyak, tak mungkin bisa menghasilkan apa-apa lagi, sebaliknya dengan mengikuti Lu Bun-chang, jelas dia akan memperoleh ladang subur lagi.

Maka sambil menyembah berulang kali serunya, "Hamba pasti akan setia kepada Thayjin, hamba pasti akan berbakti kepada Thayjin sampai mati!"

Lu Bun-chang tidak bicara lagi, dia melanjutkan kembali lamunannya, "Sialan betul Ting Tong-ih itu, kenapa dia meninggalkan aku dan malah kabur dengan seorang narapidana macam Kwan Hui-tok? Bahkan sekarang malah bergabung dengan para pemberontak Sin-wi-piau-kiok?"

Dia benar-benar tak habis mengerti.

Sesaat kemudian Lu Bun-chang baru bertanya lagi kepada Bun Tio, "Bukankah kau sudah mengirim orang untuk menyambut kedatangan Li-thayjin? Kenapa hingga sekarang belum balik?"

"Besok baru batas akhir penarikan pajak," mendadak terdengar seseorang berseru.

"Oleh sebab itu Li-thayjin tak perlu datang lebih awal," sambung suara yang lain.

Begitu mendengar suara jawaban itu, Lu Bun-chang merasa hatinya bergetar keras, hampir saja dia melolos senjata.

Sementara itu Bun Tio telah menjura sambil menyapa, "Siauhiap berdua, selamat datang!" Yang muncul adalah dua orang pemuda berbaju perlente yang mirip satu dengan lainnya, mereka adalah Li Hok dan Li Hui.

Lu Bun-chang segera mendengus dingin, tegurnya, "Kalau mau masuk juga harus lapor dulu, benar-benar tak tahu sopan santun."

Li Hok tertawa dingin. "Kami masuk dengan blak blakan, siapa suruh anak buahmu buta semua matanya hingga tidak melihat kehadiran kami."

"Masih untung yang datang adalah kami berdua," sambung Li Hui, "coba kalau orang lain, mungkin...”

Bicara sampai di sini, kedua orang bersaudara itu tidak melanjutkan kembali kata-katanya.

Bun Tio tahu, meskipun Lu Bun-chang dan dua bersaudara Li sama-sama bekerja pada Li Ok-lay, namun hubungan mereka tak pernah baik, bahkan secara diam-diam saling menjegal, saling gontok sendiri.

Lu Bun-chang adalah anak buah Li Ok-lay yang sudah bekerja cukup lama bahkan menguasai bun maupun bu, tapi Li Ok-lay sendiri pun tahu orang ini selain suka main perempuan, gampang emosi, dia pun mempunyai ambisi besar, wataknya serakah dan punya keinginan mengangkangi sendiri semua keuntungan yang ada, maka dia tak pernah menyerahkan urusan penting kepadanya.

Sementara Li Hok dan Li Hui adalah anak angkatnya, kedua orang pemuda ini sudah dipeliharanya sejak kecil, meskipun selalu menganggap dirinya bagai malaikat, sayang cara kerja mereka kurang pengalaman, mereka lebih cocok mendapat tugas melenyapkan seseorang, karena tugas yang lain selalu tak dapat diselesaikan secara baik. Karena itu Li Ok-lay hanya mengajarkan ilmu silat kepadanya dan selama ini hanya menjadi pengawal pribadinya.

"Tentu saja anak buahku tidak mengetahui kehadiran kalian, karena ilmu meringankan tubuh kalian berdua cukup hebat," seru Lu Bun-chang sambil menahan emosi, "lantas apa keinginan Li-thayjin untuk menghadapi rakyat yang tak mau membayar pajak besok pagi? Biar sekarang juga aku membuat sedikit persiapan."

"Kau tak usah membuat persiapan lagi," tukas Li Hok.

"Kita akan habisi dulu orang-orang Sin-wi-piau-kiok," sambung Li Hui, "kemudian mengirim rakyat yang tak mau membayar pajak keluar perbatasan, tanah dan rumah yang mereka tinggalkan akan menjadi milik Li-thayjin, yang akan dijual di kemudian hari."

"Ini namanya siasat sekali timpuk mendapat dua ekor burung, mengerti kau?" kata Li Hok lagi.

"Oleh sebab itu kau tak perlu membuat persiapan," Li Hui menambahkan.

Lu Bun-chang benar-benar tak sanggup mengendalikan diri lagi, pikirnya, "Bagus, kalian dua orang bocah sialan juga berani menghina aku? Peduli amat kalian anak angkat Li- thayjin atau bukan, kalau harimau tidak mengaum dianggapnya aku hanya kucing buduk!" 

Berpikir sampai di situ, ia segera membentak nyaring, "Ketika aku mulai menjual nyawa bagi Li Thay-jin, kalian berdua entah masih berada di langit lapisan ke beberapa, memangnya kau anggap aku tidak paham? Sejak Li-thayjin menyuruh aku bersama 'si Tua tak mau mati' dengan membawa manusia berkerudung merampok uang pajak, aku sudah mengerti permainan catur apa yang sedang dilakukan Thayjin, kalian...” "Tutup mulut!" kali ini Li Hui membentak duluan.

Lu Bun-chang tidak menyangka kalau pemuda itu berani menghardiknya, untuk sesaat dia terbungkam.

"Kau berani membocorkan rahasia besar ini?" sambung Li Hok pula dengan suara geram.

Tampaknya Lu Bun-chang sendiri pun sadar kalau dia sudah salah bicara, walaupun begitu ia tetap menjengek dengan nada keras, "Apa yang mesti ditakuti? Waktu itu Bun Tio juga terlibat dalam peristiwa ini, kita semua toh orang sendiri!"

Bun Tio tidak berani banyak komentar, dia hanya mengikuti pembicaraan itu sambil menentukan arah angin, walaupun Lu Bun-chang adalah atasannya namun Li Hok dan Li Hui adalah orang yang diutus Li Ok-lay, sementara Li Ok-lay merupakan atasan yang memiliki kekuasaan untuk membunuh orang, tentu saja dia tak ingin bertindak gegabah dengan berpihak pada satu golongan.

Dalam pada itu Li Hui telah meraba gagang pedangnya dan berkata lagi sambil tertawa dingin, "Jadi kau menuduh Li- thayjin merampok uang pajak lebih dulu kemudian baru menindas rakyat?"

"Aku sama sekali tak punya pikiran begitu," sahut Lu Bun- chang tak kalah gusarnya, "Li-thayjin sengaja berbuat begini, tujuan utamanya adalah demi lukisan tengkorak, karena lukisan itu merupakan rencana besar perdana menteri Hu, kau tak usah menuduh aku dengan kesalahan yang sengaja dibuat-buat!"

Li Hok dan Li Hui saling bertukar pandang sekejap, kemudian Li Hok berkata lagi, "Ternyata dugaan Thayjin tidak meleset, semua rahasia besar selalu bocor melalui mulutmu, berarti tidak menjamin di kemudian hari kau tetap akan merahasiakan peristiwa ini." Lu Bun-chang bukan orang bodoh, ucapan itu segera meningkatkan kewaspadaannya, seakan baru sadar akan sesuatu, serunya terkejut, "Jadi kalian ... kalian diutus Li- thayjin untuk ...?”

Dua bersaudara Li tertawa terbahak-bahak. "Lu-thayjin," kata Li Hui kemudian, "memang ayah angkat yang mengutus kami berdua datang kemari, beliau ingin memberi kabar kepadamu bahwa sebentar lagi pangkatmu akan dinaikkan tiga tingkat."

Lu Bun-chang melengak.

Sambil tertawa Li Hok berkata pula, "Ayah angkat menyuruh kami menjajal kesetiaanmu."

"Aku selalu setia kepada Li-thayjin, biar harus mati pun tak akan menyesal!" segera Lu Bun-chang menyahut.

"Kalau soal ini kami sudah tahu," ujar Li Hui sambil tertawa juga, "itulah sebabnya tadi kami sengaja mencoba dirimu, ternyata kau memang selalu melindungi ayah angkat, tak heran ayah angkat sering berkata, 'Banyaklah belajar dari paman Lu..."

Sikap dan ucapan dua bersaudara Li yang begitu hangat dan mesra membuat sikap permusuhan Lu Bun-chang seketika hilang sebagian besar, katanya sambil tertawa, "Aaah, mana, mana ... budi yang diberikan saudara Ok-lay kepadaku lebih berat dari bukit karang, selain sangat berterima kasih, aku malah belum sempat membalas semua budi kebaikannya itu."

"Benar," sambung Li Hok, "ayah angkat selalu memuji kau sebagai seorang yang jago baik soal bun maupun soal bu, konon kemampuanmu jauh melebihi siapa pun."

"Malah katanya sangat menguasai dalam berpantun dan menulis indah...”

Lu Bun-chang tertawa terbahak-bahak, sambil berjalan mendekat katanya, "Ayah angkat kalian pandai amat bergurau ... memang kadangkala saudara Ok-lay minta aku berpantun, maka aku pun memenuhi keinginannya, hahaha ... lain kali jika kalian ada waktu senggang, aku pun bersedia membuatkan pantun untuk kalian berdua."

"Lu-thayjin, kau benar-benar kuda tua yang hapal dengan jalanan," puji Li Hok.

Sambil merangkul pundak Li Hok, kata Lu Bun-chang lagi, "Bukan aku takabur, hampir semua orang di karesidenan ini mengenal Lu Bun-chang dengan baik."

"Nah, apa kubilang, ayah angkat bilang kau memang pandai mengambil hati orang, selain itu juga terhitung seorang pejabat hebat, oleh sebab itu beliau berniat menaikkan pangkatmu dan memindahkan kau ke kotaraja”

"Benarkah?" berseri wajah Lu Bun-chang, "sebelum berangkat ke kotaraja, aku pasti akan mengajak kalian berpesiar dulu ke tempat-tempat yang indah”

Sementara dia berpikir, "Waah, berarti apa yang disaksikan Bun Tio tadi memang ada betulnya, setibanya di kotaraja kesempatanku menggaet rezeki pasti akan semakin banyak, aku tentu akan kaya raya dan hidup terhormat."

Berpikir sampai di situ, ia merasa semakin perlu mengambil hati kedua orang ini agar di kemudian hari ada orang yang mau memperhatikan dirinya.

Dengan setengah berbisik Li Hok berkata lagi, "Ayah angkat bilang, kau terlalu banyak menyimpan rahasia besar, terlalu berat dan tersiksa kalau hidup terus di luaran, maka ada baiknya kau pulang ke kotaraja saja."

"Betul, betul," seru Lu Bun-chang semakin percaya, "setibanya di kotaraja nanti, berarti setiap hari aku akan mendampingi Li-thayjin, tentu saja beliau pun tak perlu merisaukan diriku lagi." "Bahkan kau bisa langsung berbakti kepadanya, hingga mati pun tak perlu dirisaukan."

"Betul, betul sekali!" Lu Bun-chang tertawa tergelak, kembali dia merangkul pundak Li Hui berlagak mesra.

"Keliru besar, seharusnya bukan betul betul sekali," sela Li Hok tiba-tiba sambil tertawa.

"Kalau bukan betul lantas apa?" tanya Lu Bun-chang tak habis mengerti.

"Seharusnya, mati, matilah!" sambung Li Hui. Lu Bun-chang tertegun.

Mendadak dua bersaudara Li melolos pedangnya dan dihujamkan ke pinggang kiri dan kanannya, setelah itu serentak mereka melompat menghindar.

Lu Bun-chang hanya merasakan dua buah benda tajam menghujam ke dalam pinggangnya hingga tembus ke lambung, ia menjerit keras, untuk sesaat tubuhnya maju sempoyongan.

"Kenapa?" jerit Lu Bun-chang sambil maju lagi setengah langkah.

"Bukankah kau bilang setia sampai mati? Bukankah kau bilang sampai mati pun tak menyesal? Sekarang pergilah mati!" ejek Li Hok sambil tertawa.

"Kalau toh kau memang kuda yang berpengalaman," sambung Li Hui sambil tertawa mengejek, "lebih baik berangkatlah lebih dulu ke alam baka, sehingga suatu saat nanti kau bisa menjadi petunjuk jalan bagi kami berdua."

Dua orang bersaudara ini benar-benar saudara kembar sejati, bukan saja wajahnya mirip, potongan badannya mirip bahkan perasaan mereka pun seakan sudah menyatu, selain turun tangan pada saat bersamaan, waktu mundur, bicara dan tertawa pun seakan sama. Darah segar menyembur keluar dari mulut Lu Bun-chang, dengan perasaan tak terima teriaknya, "Aku benar ... benar setia..."

"Sayang terlalu banyak rahasia yang kau ketahui," tukas Li Hok sambil tertawa, "bayangkan sendiri, mungkinkah ayah angkat membiarkan manusia yang kelewat banyak mengetahui rahasianya tetap hidup di dunia ini?"

"Apalagi kau rakus, kemaruk harta dan tidak tahu diri," sambung Li Hui sambil tertawa juga, "baru menjadi seorang pejabat kecil saja sudah ingin memiliki naga emas kepala, betul-betul mimpi di siang hari bolong."

Mendengar perkataan itu Lu Bun-chang segera berpaling dengan susah payah, umpatnya sambil menuding ke arah Bun Tio, "Kau ... kau manusia rendah yang tak tahu malu."

Tiba-tiba ia mematahkan sisir besi dalam genggamannya, kemudian disambitkan ke tubuh dua bersaudara Li.

Mimpi pun dua bersaudara Li tidak menyangka kalau menjelang ajalnya Lu Bun-chang masih bisa melancarkan serangan balasan, tergopoh-gopoh yang satu menghindar ke samping dan yang lain menangkis dengan tangan kosong.

"Duuuk, duuuuk!", dua kali benturan nyaring bergema, separuh potongan sisir menancap di telapak tangan Li Hok dan separuh yang lain menembus bahu Li Hui.

Sekuat tenaga Lu Bun-chang menerjang ke depan, siap melancarkan serangan maut lagi, mendadak sebilah golok yang berlumuran darah muncul dari balik dadanya diikuti semburan darah bagai pancuran.

Lu Bun-chang tertegun, tubuhnya terhentak, matanya terbelalak dan mimik mukanya mulai kaku.

Bun Tio melepaskan tangannya, membiarkan pisau belati tetap menancap di punggung Lu Bun-chang, setelah mundur, jengeknya, "Yang rendah dan tak tahu malu itu siapa?" Kemudian sambil membalikkan badan dan menjura kepada dua bersaudara Li, katanya, "Tugas telah selesai!"

"Blaaam!", tubuh Lu Bun-chang roboh terjungkal ke tanah, ketika menghembuskan napasnya yang terakhir, sepasang matanya masih melotot.

Sambil menahan rasa sakit dua bersaudara Li mencabut keluar potongan sisir dari tubuh mereka, kemudian sesudah mengobati lukanya yang berdarah, kata Li Hok, "Bagus sekali cara kerjamu."

"Kau sudah tahu bukan perbuatan ini atas perintah siapa?" tanya Li Hui.

"Hamba tidak tahu, tapi sangat paham di dalam hati," jawab Bun Tio dengan wajah tak berubah.

"Bagus bagus, tidak tahu tapi tahu, kau memang seorang pintar!" puji Li Hok tertawa.

"Hamba hanya seorang bodoh!" kembali Bun Tio merendah.

"Besok, jika Li-thayjin bertanya kepadamu, katakan saja kalau Lu-thayjin tewas di tangan rakyat yang memberontak, mengerti?" pesan Li Hui.

Sambil berkata dia mencabut keluar pedang dan golok yang bersarang di tubuh Lu Bun-chang.

Mendadak terdengar seseorang bertanya sambil terbatuk- batuk, "Kalau begitu Li-thayjin pasti bisa menggunakan alasan ini untuk menumpas pemberontakan, memaksa rakyat menyingkir dari sini, memusnahkan anggota piaukiok dan melakukan pembantaian sesuka hati bukan?"

Li Hok, Li Hui serta Bun Tio amat terkesiap, sebab mereka sama sekali tak menyangka kalau di atas penglari, di belakang papan nama ternyata bersembunyi seseorang!

ooOOOoo 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar