Misteri Lukisan Tengkorak Bab 22 : Gelembung Air Kecil

22. Gelembung Air Kecil.

Ting Tong-ih ingin menjerit, namun tak sepotong suara pun yang bisa diucapkan.

Sambil memegangi lambung sendiri Yan Yu-gi berdiri terengah-engah, lama sekali dia mengawasi mayat Yan Yu-sim sebelum napasnya tenang kembali.

Sambil menuding mayat saudaranya, ia berseru, "Kau itu manusia macam apa? Hmm, jangan disangka karena kau adalah saudara kandungku maka kau bisa mencari untung sendiri! Mencuri ilmu pukulan mayat hidup adalah ideku, kalau tidak, mana mungkin kau bisa memiliki kungfu seperti hari ini? Kabur dari benteng keluarga Yan pun merupakan usulku, kalau tidak, kau sudah lama mampus dalam keluarga Yan!

Membuat kekacauan dalam benteng keluarga Yan sehingga kita punya peluang untuk kabur pun merupakan usulku, tanpa aku, kau sudah lama mampus! Tapi kau selalu mendapat bagian lebih banyak”

Makin bicara semakin naik darah, kembali umpatnya, "Kitab ilmu pukulan kau ikut mendapat bagian, bahkan berhasil melatih jauh lebih baik ketimbang aku! Status, posisi dalam masyarakat kau pun jauh lebih tinggi ketimbang aku, nama, keuntungan materi, kau selalu mendapat lebih banyak ketimbang aku, padahal jasaku yang paling banyak, pengorbananku juga lebih banyak, tapi dalam semua hal mesti berbagi denganmu. Sekarang kau bakal memperoleh uang emas dalam jumlah besar, atas dasar apa kau ingin berbagi keuntungan denganku”

Dia berjalan mendekati jenazah Yan Yu-sim, lalu ditendangnya kuat-kuat sambil teriaknya, "Kau sangka aku tidak mendengar semua pembicaraanmu dengannya? Kau anggap aku tidak menaruh perhatian? Sebetulnya kau berencana melahap sendiri harta karun itu lalu kabur dari situ, sekarang kau sudah punya wanita, apakah kau bakal memperhatikan adikmu lagi? Sekarang kau tidak mengkhianatiku, bukan berarti lain waktu tak bakal membunuhku, sekalipun kau tak ingin membunuhku, sudah pasti kau akan mendengarkan omongan perempuan iblis itu untuk mencelakai.aku! Siapa turun tangan lebih dulu, dialah yang kuat, siapa yang terlambat dia akan celaka! Kaulah yang memaksa aku membunuhmu, kau ... kau tak usah dendam dan marah kepadaku!"

Sekali lagi dia menginjak batok kepala Yan Yu-sim, serunya lagi, "Sudah kau dengar? Jangan salahkan aku atas kematianmu! Jangan salahkan aku”

Terdengar suara gemerutuk yang amat nyaring, batok kepala Yan Yu-sim sudah diinjaknya kuat-kuat hingga hancur, bahkan dia masih menginjak terus hingga terbenam ke dalam tanah.

Kini Yan Yu-gi merasakan hawa darah dalam dadanya bergolak keras, pandangan matanya berkunang-kunang dan kepalanya amat pening, tenaga pukulan terakhir yang dilancarkan Yan Yu-sim menjelang ajalnya telah meninggalkan luka yang cukup parah di tubuhnya. Kemudian setelah memaksakan diri menarik napas panjang dan menenangkan hati, ia tuding Ting Tong-ih sambil teriaknya, "Sekarang juga aku akan mulai menggali, jika emas kutemukan maka sekembalinya kemari, aku akan bersenang- senang dulu denganmu, lalu bersenang lagi dengan bocah perempuan itu ... tapi jika tak kutemukan emasnya...”

Sambil tertawa dingin ia berjalan keluar ruangan, Ting Tong-ih ikut tertawa dingin.

Angin malam terasa sangat dingin, angin di saat berakhirnya malam memang paling dingin, kabut pun tampak paling tebal.

Yan Yu-gi yakin bahwa Ting Tong-ih tak bakal berbohong, sebab dari sikap Li Ok-lay yang mengirim begitu banyak jago untuk menyelesaikan persoalan ini, ia dapat menyimpulkan pengiriman uang pajak itu sudah menimbulkan masalah besar.

Lima belas juta tahil emas murni yang seharusnya disetorkan ke pihak kerajaan, sekarang akan dipersembahkan kepada dirinya, siapa yang tidak tertarik? Mata siapa yang tidak berubah merah karena iming-iming itu?

Yan Yu-gi merasa kepalanya sedikit pening, tapi dia berusaha mempertahankan diri, berusaha melangkah maju ke depan.

Tiba-tiba ia merasa kakinya menginjak sesuatu yang lembek, sesuatu yang mengeluarkan bunyi aneh.

Ia merasa tanah yang diinjaknya sangat lembut, sangat empuk ... aneh, kenapa permukaan tanah bisa begitu empuk, begitu lembek? Dia mengira badannya sedang limbung, kepalanya sedang pening karena luka yang dideritanya, maka lagi-lagi dia maju beberapa langkah.

Tiba-tiba ia merasa sepasang kakinya diisap masuk ke dalam lumpur, dalam waktu singkat mata kakinya sudah amblas ke bumi, ternyata tempat dimana ia berada sekarang adalah sebuah kubangan lumpur yang mengisap.

Ingatan pertama yang melintas dalam benaknya adalah dia harus melewati tempat ini dengan gerakan tercepat dan mencapai tempat penyimpanan harta karun itu.

Maka cepat dia mencabut kakinya dan berlarian ke depan dengan gerakan kilat.

Seringkali mati hidup seseorang hanya diputuskan dalam ingatan sesaat, begitu tubuhnya bergerak ke muka, ia segera tahu bahwa arah yang dituju adalah sebuah rawa-rawa berlumpur yang menghanyutkan, bahkan waktu itu lumpur basah telah membenamkan kakinya hingga sebatas lutut.

Seandainya saat itu dia segera berlari balik, maka dengan mengandalkan kekuatan tubuh yang dimiliki, mungkin masih ada kesempatan hidup baginya, tapi waktu itu dia bukannya sedang takut, sebaliknya malah benci dan sakit hati, ternyata wanita bejad itu sedang membohonginya! Dia pun sedang menyesal, kenapa gara-gara sepatah ucapan bohong, dia telah menghabisi nyawa Lotoa! Pikirannya semakin bimbang, benarkah harta karun itu disembunyikan di depan sana?

Karena keraguan dan kesangsian inilah dia harus mempertaruhkan nyawanya!

Kini lumpur sudah menenggelamkan pinggulnya.

Ia berpeluk nyaring, dengan mengandalkan ilmu silatnya yang hebat dia ingin melambung ke udara. Tapi sayang isapan lumpur itu sangat kuat dan liat, begitu dia mengerahkan tenaga dalamnya, daya isap lumpur itupun semakin menguat, sekarang tubuhnya sudah tenggelam hingga batas pinggang.

Tak terlukiskan rasa takut dan ngeri yang mencekam hatinya sekarang, bagaimanapun juga dia adalah seorang jago persilatan yang banyak pengalaman dan luas pengetahuannya, dengan menghimpun seluruh kekuatan yang dimiliki, sekuat tenaga ia menggerakkan badannya, selangkah demi selangkah berbalik ke arah daratan.

Pada saat itulah cahaya obor kembali menerangi seluruh angkasa, menyusul suara teriakan berkumandang dari empat penjuru.

Penduduk desa sambil mengangkat obor tinggi-tinggi meluruk datang dari empat penjuru dan mengepung sekeliling tempat itu, ada yang memakai batu cadas, ada yang memakai senjata tajam, semua benda yang mereka temukan di situ segera digunakan untuk menimpuk Yan Yu-gi.

Bila berada dalam keadaan biasa, tentu saja Yan Yu-gi tak perlu merasa takut, tapi sekarang lumpur telah menggenang hingga dadanya, bahkan tubuhnya masih tenggelam terus ke bawah.

Maka tak ampun setiap timpukan benda yang diarahkan ke tubuhnya segera menghajar wajah, kening dan tubuhnya secara telak, darah segar mulai bercucuran membasahi mukanya.

Penduduk desa amat benci dengan kekejamannya, mereka masih menimpuk tiada hentinya, malah para pemuda desa mulai menggunakan katapel untuk menimpuknya dengan batu cadas yang besar dan keras.

Yan Yu-gi sama sekali tak sanggup menghindar, lagi-lagi kepalanya tertimpuk secara telak. Kini lumpur sudah menggenangi kepalanya.

Saking takut dan ngerinya dia mulai menangis, mulai berteriak minta tolong, sayang caci-maki dan kata umpatan yang dilontarkan penduduk desa telah menenggelamkan suaranya.

Semakin Yan Yu-gi berteriak, lumpur semakin cepat menenggelamkan tubuhnya, kini air lumpur sudah mulai mengalir masuk ke dalam mulutnya. Begitu mulutnya tersumbat lumpur, tubuhnya semakin cepat tenggelam ke bawah, dalam waktu singkat tinggal beberapa lembar rambutnya yang masih kelihatan di atas permukaan.

Kemudian gelembung kecil dan buih mulai bermunculan di atas permukaan lumpur, diikuti sebuah pusaran kecil, tubuh Yan Yu-gi lenyap ditelan bumi.

Pusaran dan gelembung mulai menyatu, berubah menjadi sebuah buih yang besar, kotor dan kental, "Blupp!", buih-buih itu pecah dan hilang, permukaan kubangan lumpur pun pulih kembali dalam ketenangan.

Para penduduk desa masih berdiri di tepi rawa sambil mencaci-maki dengan sumpah serapahnya, hingga seseorang berseru, "Cepat tolong orang dalam rumah!"

Semua orang baru teringat akan hal ini dan segera menerobos masuk ke dalam rumah.

Tapi bukan pekerjaan yang gampang bagi penduduk desa untuk membebaskan Ko Hong-liang, Tong Keng serta Ting Tong-ih dari pengaruh totokan, bahkan tabib desa pun tak sanggup melakukannya.

Masih untung Ting Tong-ih berada dalam kondisi sadar, sekalipun tubuhnya tak mampu bergerak, tapi ia bisa memberi petunjuk kepada para penduduk desa guna menusuk beberapa bagian jalan darah Ko Hong-liang yang tertotok dengan benda tumpul.

Setelah berusaha cukup lama, akhirnya Ko Hong-liang berhasil terbebas dari pengaruh totokan, dengan sendirinya jalan darah Ting Tong-ih serta Tong Keng yang tertotok pun sudah bukan menjadi persoalan.

Diam-diam Ting Tong-ih menyimpan buli-buli sakti itu, kemudian menyerahkan seluruh uang yang dimiliki kepada bocah perempuan yang cantik itu, dia pun berterima kasih kepada penduduk desa yang telah menyelamatkan mereka, bahkan berpesan agar segera mengubur mayat-mayat di situ dan tak perlu melapor ke petugas keamanan.

Para penduduk desa segera menyanggupi, mereka memang tidak berharap kedatangan para petugas keamanan, karena itu mereka pun tak ingin menambah masalah bagi dusunnya.

Segera mereka pun meninggalkan dusun itu, Tong Keng berjalan lebih dulu di depan dengan langkah lebar, melihat itu segera Ting Tong-ih memperingatkan, "Hati-hati, jangan sampai terinjak di rawa-rawa lumpur!"

"Jangan kuatir," jawab Tong Keng cepat, "aku hapal sekali dengan wilayah sini, tempat ini dinamakan Siau-kun-sui (gelembung air kecil), asal kita sudah menguasai medan, dengan sendirinya tak akan salah berpijak."

"Aaah benar," seru Ko Hong-liang pula, "nona Ting tidak menguasai keadaan medan di seputar sini, bagaimana ceritanya hingga kau berhasil menggiring bajingan itu tercebur ke dalam kubang lumpur?"

"Sejak ditawan dalam rumah itu, secara diam-diam aku sudah memperhatikan keadaan medan di seputar situ, suara letupan buih dan lumpur panas sempat menarik perhatianku. Kemudian aku sempat membisikkan sesuatu ke telinga saudara yang gemuk itu menjelang lari dari situ, aku bilang kalian bukan tandingan kedua orang ini, cepat kabur dari sini. Tolong lapisi kubangan lumpur di depan rumah dengan rerumputan, lalu cepatlah bersembunyi, aku akan memancing kawanan bajingan itu terjerumus ke dalam kubangan itu. Tak nyana lelaki gemuk itu memang sangat cekatan, dia telah membantu kita melakukan persiapan yang matang, karena itulah aku berhasil memancing bajingan itu masuk ke dalam perangkap." Kemudian setelah tertawa ujarnya, "Sebelum melakukan semua ini, dalam hati aku berdoa kepada Kwan-toako, sekarang kita berhasil sukses, sudah pasti arwahnya di alam baka yang telah melindungi kita semua."

Dalam keheningan yang mulai mencekam, terdengar Tong Keng bergumam, "Entah bagaimana dengan keadaan opas Leng?"

"Menurut pendapatku," kata Ko Hong-liang yakin, "ilmu silat yang dimiliki opas Leng masih jauh di atas kemampuan Ni Jian-ciu, dia tak bakal mengalami apa-apa, cuma...”

Sesudah menghela napas, lanjutnya, "Setelah keonaran yang dilakukan dua manusia bedebah ini hingga menyebabkan jatuhnya beberapa korban, penduduk desa di seputar sini pasti akan menaruh sikap antipatik terhadap orang-orang yang dikirim pihak pemerintah, terutama terhadap orang luar, bisa jadi mereka akan memasang sikap permusuhan."

"Yang patut dikasihani adalah nasib keluarga A-lay” sambung Ting Tong-ih sambil menghela napas pula.

"Nona cilik yang bernama Ikan rebus itu yang paling mengenaskan nasibnya," sambung Ko Hong-liang, "seandainya perusahaan Sin-wi-piau-kiok milikku masih berdiri, sudah pasti akan kubawa pulang dua bersaudara itu”

"Yang aku kuatirkan adalah selama hidup dia tak akan bisa melupakan peristiwa yang dialaminya malam ini”

Kini mereka dalam perjalanan menuju ke kota Cing-thian. Dalam keremangan fajar yang hampir menyingsing, Ko

Hong-liang balik ke perusahaan ekspedisinya untuk

berpamitan dengan keluarganya, Tong Keng pun pergi berpamitan dengan kedua orang tuanya, bagaimana dengan Ting Tong-ih?

Kedatangannya ke kota Cing-thian adalah untuk mencari adik kandung Kwan Hui-tok yang konon bersekolah di sebuah sekolah kenamaan di kota itu, dia berniat mempersiapkan sesuatu bagi Kwan Siau-ci sebelum pergi berkelana dalam dunia persilatan.

Jarak sejauh tiga puluhan li sebenarnya bukan jarak yang terlalu jauh bagi Leng-hiat, sebenarnya ia bisa mencapai wilayah Siau-kun-sui dalam waktu singkat, tapi sayang opas kenamaan ini tidak kenal jalan.

Apalagi menempuh perjalanan di tengah malam yang gelap dan medan yang sangat berbahaya, kendatipun ia memiliki kepandaian silat yang lebih hebat juga tak sanggup bergerak lebih cepat lagi.

Ketika tiba di wilayah 'gelembung air kecil', langit sudah terang benderang, ia menjumpai penduduk dusun sedang mengubur bebeberapa sosok mayat, satu di antaranya sedang ditendang, diinjak dan disumpahi banyak orang.

Ternyata mayat yang sedang dihina itu adalah mayat Yan Yu-sim.

Leng-hiat amat terperanjat, dia tahu dengan kemampuan yang dimiliki penduduk dusun itu tak nanti mereka sanggup menghadapi dua bersaudara Yan, segera dia maju mendekat sambil mencari berita.

Seandainya ia tidak bertanya, mungkin keadaan masih mendingan, gara-gara peristiwa yang menimpa dusun mereka semalam, orang-orang dusun itu sudah menaruh sikap permusuhan terhadap setiap orang asing, ketika melihat Leng¬ hiat menggembol pedang dan bertanya panjang lebar, hampir saja mereka maju mengerubutnya.

Bagaimanapun Leng-hiat berusaha memberi penjelasan, orang-orang dusun itu tak mau mendengarkan, sementara dia pun tak ingin melukai orang tak berdosa, hal ini membuatnya menjadi tertegun beberapa saat. Tiba-tiba seseorang maju mendekat sambil mengguyurkan seember air kotor ke atas kepalanya sembari mengumpat, "Kalian kawanan petugas keamanan memang kaum bedebah, sudah memaksa kami membayar pajak, sekarang minta kami membayar lagi dengan alasan uang pajak itu hilang, memangnya kalian anggap kami bukan manusia? Setiap hari kami bekerja di sawah, mandi peluh, memeras keringat, untuk makan keluarga pun tak kenyang, eeeh, kalian datang merampoknya. Kalian gunakan uang keringat kami untuk apa? Membunuh orang? Perang dengan negara tetangga?

Membangun istana? Pesta pora? Manusia bedebah, kalian semua memang bukan manusia!"

Leng-hiat ingin memberi sedikit uang kepada penduduk dusun itu, siapa tahu si gendut membentak, "Aaah, kau pura pura baik, kucing menangisi tikus!"

Baru saja akan mengayunkan tongkatnya, tiba-tiba terdengar seseorang membentak, "Engkoh gendut, tunggu sebentar!"

Leng-hiat seketika tertegun, ternyata yang muncul adalah kakek berpakaian compang-camping itu.

Sambil batuk kakek itu berjalan mendekat, penduduk dusun tak ada yang mengenalinya, tapi dengan beberapa patah kata kakek itu berhasil membaur dengan para penduduk desa.

Tak lama kemudian ia berhasil mendapat tahu apa yang telah terjadi semalam di tempat itu.

Segera kakek itu menarik Leng-hiat pergi meninggalkan tempat itu, dalam perjalanan kakek itu baru berkata, "Tak disangka nasib dua bersaudara Yan berakhir secara tragis, tampaknya siapa  yang  berbuat kejahatan akhirnya akan memperoleh pembalasan yang setimpal."

Leng-hiat tidak berkata apa-apa, dia hanya melanjutkan perjalanan dengan mulut membungkam. "Kelihatannya Ko-kokcu sekalian telah berhasil lolos dari bahaya maut, mungkin mereka sudah berangkat ke kota Cing- thian," kembali kakek itu berkata.

Leng-hiat tetap membungkam.

"Aku dapat mengantar orang-orang itu pulang ke rumah dengan selamat, kau tak perlu kuatir lagi," kakek itu berkata lagi sambil tertawa.

Leng-hiat segera menghentikan langkahnya.

"Ada apa?" seru si kakek sambil tertawa, "kau sudah tidak mengenali diriku lagi?"

"Siapa kau?" tanya Leng-hiat sambil menatapnya dingin.

Seorang kakek yang terbatuk-batuk hingga nyaris putus napasnya ternyata berhasil mengantar pulang sekawanan manusia lemah, kemudian menyusul Leng-hiat ke Siau-kun- sui, dapat dipastikan kakek ini pasti bukan sekedar kakek berpenyakitan.

Kembali kakek itu tertawa lalu batuk, selesai batuk kembali tertawa. "Kau benar-benar tidak mengenaliku lagi?" tegurnya.

Mendadak Leng-hiat tertawa lebar. "Rasanya kau belum terlalu tua," katanya.

"Ya, hanya keriput wajahku bertambah banyak."

Setelah tertawa lebar, sikap Leng-hiat jauh lebih halus dan lembut, katanya, "Sebenarnya aku ingin bertanya siapakah kau, tapi, kau pun tak pernah bertanya siapakah aku."

"Siapa dan siapa bukan hal yang penting, bukan begitu?" "Asal siapa terhadap siapa tak punya niat jahat, itu sudah

lebih dari cukup."

Kakek itu seketika menghentikan batuknya, dengan mata setengah terpicing tanyanya, "Menurut kau, apakah aku berniat jahat terhadapmu?" "Bukankah kita sudah berteman?"

Kakek itu segera tertawa, lalu terbatuk-batuk lagi.

Waktu itu mereka sudah berada di jalan raya, tiba-tiba dari arah belakang bergema suara derap kaki yang sangat ramai tapi amat teratur.

Leng-hiat mengerut kening, saat itu dia pun merasa di luar derap kaki yang ramai dan penuh disiplin itu, terdapat pula dua buah langkah kaki yang mendekati belakang tubuhnya tanpa menimbulkan sedikit suara pun.

Baru saja perasaan itu timbul, mendadak suara langkah kaki yang ringan itu telah memisahkan diri ke samping jalan.

Leng-hiat mencoba melirik sekejap, dia saksikan ada dua sosok bayangan manusia memisahkan diri ke samping kiri dan kanan, lalu mendahuluinya dan menjepitnya di tengah.

Ketika kedua orang itu, satu mendekati bahu kiri, yang lain mendekati bahu kanan Leng-hiat, mendadak mereka mencabut pedangnya serentak.

Ternyata di balik jubah sutera yang dikenakan kedua orang itu tersoreng sebilah pedang mestika yang bertaburkan intan permata.

Tiba-tiba Leng-hiat turun tangan, sepasang tangannya menekan di atas punggung tangan kedua orang itu, membuat lawannya meski berhasil menggenggam gagang pedangnya namun tak berhasil melolosnya keluar.

Reaksi yang dilakukan kedua orang itupun sangat cepat, mereka tidak terkejut, juga tidak menghardik, seakan-akan kedua orang itu memiliki hubungan batin yang sempurna, ketika pedangnya tak tercabut, serentak mereka menggunakan tangannya yang kosong untuk mencengkeram bahu kiri dan kanan si Darah dingin. Dalam posisi begini Leng-hiat dihadapkan pada dilema, jika dia tak lepas tangan maka bahunya akan dicengkeram orang, sebaliknya bila dia lepas tangan maka kedua orang itu segera akan melolos pedangnya.

Jika Leng-hiat harus menghadapi kedua bilah pedang itu, dia pun terpaksa harus mencabut pedangnya untuk melakukan perlawanan.

Kelihatannya kedua orang itu berniat memaksa Leng-hiat melolos pedangnya dalam satu gebrakan.

Jika pedang sudah tercabut, situasinya pun tak sulit untuk ditebak ... sayang Leng-hiat sama sekali tidak melolos senjatanya.

Sebab pada saat itulah terdengar seseorang membentak nyaring dari arah belakang,

"Tahan!"

ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar