Misteri Lukisan Tengkorak Bab 19 : Ikan Rebus

19. Ikan Rebus.

Kode rahasia yang ditinggalkan Yan Yu-sim sepanjang perjalanan hanya dipahami anak buah Li-thayjin, orang lain jangan harap memahaminya.

Bahkan Leng-hiat pun tidak paham.

Dia memang bukan Tui-beng (si Pengejar nyawa).

Seandainya dia adalah Tui-beng, terlepas kode rahasia itu dipahami atau tidak, ia pasti akan melacak dan berusaha mencari tahu.

Cahaya bintang bertaburan di angkasa, sinar lentera yang memancar keluar dari balik kuil pun kelihatan lamat-lamat, membuat suasana dalam hutan tidak terasa terlalu gelap.

Leng-hiat merasa hatinya sedikit sendu.

Sambil menyeka peluh yang mulai membasahi jidatnya, ia bersandar pada sebatang pohon sebelum merosot duduk ke tanah, pikirnya, "Dimana letak kesalahannya? Apakah dia salah arah? Masih sempatkah kedatangannya atau sudah terlambat?"

Yang terpenting, apakah Ko Hong-liang, Tong Keng dan Ting Tong-ih sudah tertimpa musibah? Bagaimana nasib mereka selanjutnya?

Pada saat itulah terdengar suara langkah kaki sempoyongan berkumandang.

Seorang kakek kurus kering yang mengenakan pakaian semrawut, berjalan sempoyongan sambil terbatuk-batuk tiada hentinya.

Orang itu berjalan sambil terbatuk-batuk, ketika batuknya sudah tak tahan, sekujur badannya mulai mengejang keras, lalu sambil bersandar di sebatang pohon dia mulai mengatur napasnya yang tersengal.

Walaupun ia sudah berusaha menarik napas panjang, naimun suara yang muncul dari dengusan napasnya seperti kayu retak, seakan-akan semua udara yang sudah diisap tak mampu tersalur ke dalam paru-parunya.

Cepat Leng-hiat menghampiri dan memayang tubuhnya, ia merasa sepasang tangan kakek itu dingin membeku, pakaian yang dikenakan pun sangat tipis yang membuat perasaannya menjadi iba.

Orang itu masih terbatuk-batuk dengan hebatnya, napas yang diisap seakan sudah tak mampu ditelan kembali, setiap saat seakan napasnya bisa terhenti, tapi dengan sepasang matanya yang sayu dia masih mengawasi Leng-hiat.

Meski sorot mata itu sayu, namun Leng-hiat masih dapat merasakan luapan rasa terima kasihnya.

Akhirnya orang itu mulai berjongkok sambil muntah- muntah, Leng-hiat tahu yang dimuntahkan orang itu adalah air bercampur darah.

Selesai muntah, terlihat orang itu merasa sedikit baikan namun ia masih tetap berjongkok, selang sesaat kemudian napas yang semula tersengal-sengal baru lambat-laun menjadi tenang kembali.

Selama ini Leng-hiat terus menerus mengurut punggungnya, bahkan menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh kakek itu, ia bermaksud menggunakan kekuatannya untuk membantu si kakek pulih kondisinya.

Tiba-tiba sambil berpegangan pada dahan pohon kakek itu bangkit berdiri, ia berpaling, tertawa dan bisiknya, "Engkoh cilik, sungguh mulia hatimu."

"Sudah seharusnya” jawab Leng-hiat, "Lotiang mau kemana? Biar kuantar!" Di bawah cahaya bintang dan rembulan, tiba-tiba Leng-hiat lihat wajah kakek itu meski penuh dengan kerutan muka dan bekas dimakan usia, ternyata dia tidak setua apa yang dibayangkan semula.

Tangan kakek itu gemetaran terus, dengan tangan gemetar itulah dia tepuk-tepuk bahu Leng-hiat, ujarnya, "Kau pergilah, setiap orang tentu mempunyai tugas dan pekerjaan yang harus diselesaikan."

Agaknya Leng-hiat kuatir kakek itu mendadak putus nyawa di tengah jalan, ia bersikukuh dengan niatnya dan ujarnya lagi, "Lotiang, bila tempat tinggalmu tak jauh dari sini, mari kuantar sampai rumah."

Orang itu membesut darah yang membasahi ujung bibirnya, lalu dengan mata setengah terpicing melirik Leng- hiat sekejap, sahutnya sambil tertawa, "Engkoh cilik, kau memang naga di antara manusia, hatimu mulia, sayang aku tak punya anak perempuan”

Kontan Leng-hiat merasa pipinya panas, selama ini dia memang hanya tahu berjuang dan membunuh musuh, yang penting baginya adalah menyelesaikan tugas sebaik-baiknya, kecuali Cukat-sianseng, jarang ia mendengar kata-kata pujian semacam ini.

Mendadak kakek itu terbatuk lagi, segera Leng-hiat memayangnya, orang itu mengeluarkan sapu tangannya sambil memuntahkan sesuatu, ternyata ada sebagian tumpahan itu menodai pakaian Leng-hiat.

"Aaah, maaf, aku telah mengotori bajumu," segera orang itu membersihkan noda itu.

"Aaah, tidak masalah," tampik Leng-hiat sambil membersihkan sendiri kotoran di pakaiannya.

Saat itulah tiba-tiba berkumandang suara derap kaki kuda yang makin lama semakin mendekat. Dengan cekatan Leng-hiat melepaskan genggamannya sambil menghadang di hadapan kakek itu, tangannya meraba gagang pedang.

Yang muncul semuanya berjumlah tujuh ekor kuda, penunggangnya berdandan sebagai opas, tapi anehnya masing-masing menjepit tubuh seorang nenek, putrinya dan bayi, ketika rombongan kuda itu bertambah dekat, terdengar suara jeritan dan tangisan orang-orang yang ditangkap itu.

Leng-hiat tertegun, di tengah bentakan nyaring ketujuh ekor kuda itu segera melintas.

Tiba-tiba Leng-hiat menggeser tubuhnya persis menghadang di tengah jalan.

Dua orang penunggang kuda paling depan mendengus dingin, mereka mengayun cambuknya melancarkan serangan.

Dengan sekali betotan Leng-hiat menangkap cambuk itu dan membetotnya ke bawah, kontan kedua orang penunggang kuda itu terjungkal dari kuda tunggangannya.

Seorang bocah perempuan yang berada dalam jepitan mereka segera terlempar jatuh ke bawah, dengan cekatan Leng-hiat menyambar tubuhnya, tapi bayi yang berada di tangan seorang lagi segera terlempar ke atas sebuah batu.

Leng-hiat terkesiap, tak sempat baginya untuk menyelamatkan bayi itu, tampaknya bayi yang tak berdosa itu segera akan menumbuk di atas batu cadas.

Saat itulah tiba-tiba tampak kakek itu maju dengan sempoyongan, ternyata dengan tepat ia berhasil membopong bayi itu, malah kemudian sambil duduk di tepi jalan kakek itu menimang sang bayi agar berhenti menangis.

Tak tahan Leng-hiat melempar sekulum senyuman ke arah kakek itu. Sang kakek pun membalas senyuman itu dengan tertawa ringan.

Dalam pada itu kawanan opas dan pasukan pemerintah itu sudah berlompatan turun dari kuda mereka, sambil melolos senjata hardiknya, "He, siapa kau? Berani menghalangi petugas negara melaksanakan tugas?"

"Apa dosa dan kesalahan mereka?" tanya Leng-hiat sambil menuding bayi yang masih menangis itu.

"Apa urusannya denganmu!" bentak petugas opas itu gusar.

"Kalau sedang menjalankan tugas, seharusnya jelaskan dulu alasannya," kata Leng-hiat hambar, "kalau tidak, orang lain akan menganggap kalian sebagai gerombolan bandit!"

"Kami sedang melaksanakan tugas atas perintah Li-thayjin, kau berani mencampurinya?" opas itu semakin gusar.

"Aku tak peduli Li-thayjin atau bukan, aku hanya tahu manusia tetap manusia!" jawaban Leng-hiat semakin dingin dan ketus.

Sebetulnya opas itu hendak mengumbar amarahnya, tapi setelah menyaksikan kebolehan Leng-hiat barusan, dia tahu orang itu bukan manusia sembarangan, maka sambil menuding ke arah tawanannya dia berkata, "Mereka tak mau membayar pajak, maka kami pun menangkap keluarganya sebagai jaminan, asal uang pajak sudah disetorkan, mereka bisa membawa pulang keluarganya!"

Leng-hiat dan kakek itu saling bertukar pandang.

"Bayar pajak," terdengar kakek itu bergumam, "bukankah pajak baru saja selesai dibayar."

"He, tua bangka, kau tahu apa? Hmm, tahumu cuma kentut!" umpat opas itu geram, ia sama sekali tak pandang sebelah mata terhadap kakek itu, "uang pajak yang disetor tempo hari telah dirampok habis orang-orang Sin-wi-piau-kiok, karena itu mereka harus membayar pajak lagi!"

"Kalau uang pajak dilarikan orang, seharusnya kalian mengejar mereka yang merampok, masakah malah memeras rakyat jelata? Apa gunanya?" gumam kakek itu lagi.

Tampaknya habis sudah kesabaran opas itu, dengan gemas ia menjejakkan kakinya ke dada kakek itu.

Dengan sekali sambaran, tangan Leng-hiat sudah mencengkeram kakinya.

Opas itu menjerit kesakitan, suaranya melolong bagai babi disembelih, tampaknya jepitan jari tangan Leng-hiat lebih kuat dari sepasang jepitan baja.

Opas itu mencoba meronta ke sana kemari sambil membacok dengan goloknya, sayang semua usahanya tak berguna, setiap kali dia mengayun goloknya membacok, Leng- hiat hanya mengegos ke samping, tahu-tahu serangannya sudah mengenai tempat kosong.

Jangan kan melukai musuhnya, membentur ujung bajunya pun tak mampu, sementara Leng-hiat masih mencengkeram kaki opas itu dengan kuat.

Bebeberapa orang opas serentak maju mengembut sambil mengayunkan goloknya melancarkan bacokan.

Leng-hiat sama sekali tidak melolos pedangnya, tapi pertempuran telah diakhiri dalam waktu singkat.

Siapa yang maju lebih dulu, dia akan jatuh merintih lebih dulu, menanti keempat opas roboh kesakitan, dua orang yang tersisa ketakutan setengah mati hingga siapa pun tak berani maju barang setengah langkah pun.

Opas yang kakinya kena dicengkeram pun sudah kehabisan tenaga, sekarang ia mulai merengek minta ampun.

"Hohan, ampuni jiwaku ... ampuni jiwaku” Leng-hiat melepaskan cengkeramannya, kemudian sambil melotot ke arah beberapa orang opas yang ketakutan setengah mati katanya, "Jika di kemudian hari kalian menganiaya rakyat kecil lagi, lebih baik bayangkan dulu ketika kalian sedang minta ampun kepada orang."

"Baik, baik," jawab kawanan opas itu cepat.

Diam-diam Leng-hiat menghela napas, dia tahu kawanan opas itu tak mungkin mengingat perkataannya itu, namun dia juga tak mungkin membunuh orang-orang itu.

Akhirnya sambil lepas tangan hardiknya, "Cepat enyah dari sini!"

Tergopoh-gopoh kawanan opas itu memungut kembali senjatanya, mereka tak berani lagi mengusik kawanan orang tua dan bocah itu.

Salah seorang opas dengan wajah masam berkata, "Tayhiap, biarpun kau bebaskan kami, tapi... tapi ... bagaimana kami mempertanggung jawabkan tugas ini?"

Leng-hiat tahu, memang ada sekawanan pejabat yang suka menjatuhkan hukuman kepada anak buahnya yang tak mampu melaksanakan tugas, maka segera ujarnya, "Aku she Leng, bernama Leng Ling-ci, laporkan kejadian ini kepada atasan kalian, bila kurang puas suruh cari aku."

Sayang pengetahuan kawanan opas itu sangat cetek, mereka tidak tahu Leng Ling-ci adalah nama lain Leng-hiat, si Darah dingin yang tersohor sebagai salah satu empat opas kenamaan.

Mereka segera mengingat baik-baik nama itu, kemudian tergesa-gesa pergi meninggalkan tempat itu.

Rakyat yang tertolong itupun segera maju mengucapkan terima kasih, Leng-hiat sadar, pertolongannya sekarang hanya membantu mereka terlepas dari bahaya sesaat, sambil mengulap tangan ujarnya kemudian, "Lebih baik kalian bahu membahu saling menolong, pulanglah segera dan kumpulkan uang untuk membayar pajak, kalau tidak, kesulitan akan selalu berdatangan."

Ia merasa tanah perbukitan itu sepi dan jauh dari keramaian, sudah seharusnya orang-orang itu diantar dulu sampai ke tempat aman sebelum dilepas, tapi dia pun menguatirkan keselamatan Ko Hong-liang sekalian, sehingga untuk sesaat dia tak bisa mengambil keputusan.

Tiba-tiba kakek itu berkata, "Biarlah aku yang mengantar pulang orang-orang ini."

Leng-hiat tidak langsung menjawab, pikirnya, "Orang tua ini sedang menderita sakit parah, kalau sampai kambuh lagi di tengah jalan nanti, siapa yang akan merawatnya? Mengurus diri sendiri pun sulit, mana mungkin bisa menjaga orang lain?"

Baru saja dia hendak berkata, tiba-tiba kakek itu bertanya sambil tertawa, "Leng-siauhiap, apakah kau sedang mencari dua lelaki dan satu wanita yang ditangkap dua orang berwajah kembar?"

Leng-hiat terkesiap bercampur keheranan, untuk sesaat dia hanya berdiri tertegun.

Sesudah berdehem, kembali kakek itu berkata, "Tampaknya kau sudah salah arah, jalan yang mereka tempuh ke arah situ, bisa jadi mereka sedang melewati sisi kanan wilayah Siau-kun- sui, kalau tidak dikejar sekarang, mungkin kau tak bisa menyusulnya lagi."

"Lotiang, darimana kau tahu?" tanya Leng-hiat keheranan. "Hidungku lebih tajam dari anjing, aku bisa mengendus

baunya," sahut kakek itu tertawa.

Kemudian sambil menggendong sang bayi dan menggandeng tangan si bocah, serunya kepada orang yang lain, "Ayo, kita segera berangkat!" Memandang ke arah rombongan itu Leng-hiat hanya berdiri tertegun, ia saksikan bayangan bungkuk kakek itu makin lama semakin menjauh, suara batuknya sayup-sayup masih terdengar, tak lama kemudian semuanya sudah lenyap dari pandangan.

ooooo

Bintang dan rembulan masih memancarkan sinarnya dengan terang.

Dari balik keheningan yang mencekam kegelapan malam, tiba-tiba terlihat kobaran api obor menerangi seluruh udara, cahaya api yang menyilaukan mata itu bergerak mendekati sebuah bangunan rumah gubuk.

Rupanya mereka telah mendengar ada suara wanita sedang berteriak, para tetangga yang datang mengintip segera mengira rumah itu kedatangan penyamun, maka mereka pun menghimpun seluruh penduduk desa untuk bersama-sama menghadang penyamun itu.

Sambil berteriak dan mengayunkan peralatan seadanya, mereka menyerbu berusaha menangkap kawanan perampok.

Tapi dalam waktu singkat sudah tujuh delapan orang roboh terkapar di tanah, roboh sambil merintih kesakitan.

Yan Yu-gi sembari menginjak patah tulang iga beberapa orang korbannya berjalan menuju ke depan pintu, sambil menyongsong cahaya obor yang menerangi tubuhnya ia berseru lantang, "Mau apa kalian?"

"Kalian sedang berbuat apa di sini?" seorang tokoh desa berteriak.

Sambil menyeringai seram seru Yan Yu-gi, "Kami adalah petugas keamanan dari kota, datang kemari untuk menangkap orang!"

Kehebohan segera melanda semua orang. Yan Yu-sim yang mendengar teriakan saudaranya segera menarik ujung bajunya, membunuh orang dalam keadaan seperti ini jelas merupakan tindakan melanggar hukum, apalagi mengaku sebagai petugas negara, kalau sampai berita ini tersebar, jelas mereka sendiri yang akan mendapat kesulitan.

Yan Yu-gi sadar ia telah salah bicara, cepat dia mengangguk.

"Tidak mungkin," terdengar tokoh desa itu berseru, "A-lay dan istrinya adalah orang baik, tak mungkin mereka melanggar hukum dan melakukan tindak kriminal!"

"Orang baik?" Yan Yu-gi mendengus dingin, "atas dasar apa kalian menilai seseorang baik atau buruk?"

Terdengar seorang petani berteriak keras, "Tapi aku melihat kedua orang bajingan ini membunuh kakak A-lay dan memperkosa enso A-lay!"

Seorang lelaki yang lain dengan mata melotot berteriak pula, "Di dalam rumah masih ada beberapa orang yang mereka tangkap, anak-anak A-lay juga masih ada di situ! Mereka telah membunuh banyak orang baik!"

"He, cepat bebaskan orang-orang itu!" seorang lelaki bercambang menghardik gusar.

Umpatan demi umpatan yang dialamatkan ke arah mereka membuat Yan Yu-gi sangat berang, sorot matanya berubah hijau menyeramkan, serunya penuh amarah, "Jika kalian tidak segera pergi, jangan salahkan kalau aku akan membantai kalian semua, dasar orang udik goblok!"

Gerombolan orang dusun itu segera berteriak gusar, serentak mereka mengayunkan senjatanya melancarkan serangan.

Sayang sebagian besar dari mereka tak mengerti ilmu silat, tak selang beberapa saat kemudian banyak di antara mereka yang tergeletak di tanah, malah ada tiga orang di antaranya mati terbunuh.

Dalam keadaan begini terpaksa kawanan penduduk desa itu mengundurkan diri.

Yan Yu-gi kembali menyerbu ke depan dan membunuh dua orang lagi.

Menggunakan kesempatan ini si lelaki gemuk dan lelaki bercambang itu menyusup masuk ke dalam rumah, si lelaki cambang segera membopong bocah lelaki itu dan dibawa kabur, sementara si gendut ingin membebaskan Ting Tong-ih bertiga dari ikatan, tapi sayang dia tak mengerti bagaimana caranya membebaskan pengaruh totokan, selain itu dia pun tak mengerti bagaimana caranya membebaskan pengaruh jaring yang dihasilkan buli-buli itu.

Untuk sesaat dia menjadi bingung dan tak tahu apa yang mesti dilakukan.

Segera Ting Tong-ih memberi tanda agar ia mendekat, kemudian dengan cepat ia membisikkan sesuatu ke telinganya.

Baru saja si gendut mengangguk, Yan Yu-sim sudah muncul di dalam ruangan, sekali tendang ia hajar si gemuk hingga terguling di tanah.

Baru saja dia akan melancarkan serangan untuk membunuhnya, mendadak Ting Tong-ih memanggil, "Yan Toako!"

"Ada apa?" tanya Yan Yu-sim tertegun.

"Mereka toh tidak paham ilmu silat, mustahil bisa mengganggu kalian berdua, kenapa tidak kalian ampuni saja nyawanya?"

Sementara Yan Yu-sim masih sangsi, si gendut segera memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur lewat jendela. Suasana di luar rumah gubuk itu sangat kalut, banyak penduduk desa yang terluka, banyak pula yang mati, sementara yang selamat sudah melarikan diri, kini yang tersisa di sana hanya alat-alat pertanian serta obor.

Dengan jengkel Yan Yu-gi menghampiri obor-obor itu dan menginjaknya hingga padam, kemudian umpatnya, "Dasar sekawanan orang goblok yang mencari jalan kematian sendiri!"

"Kita sudah membunuh orang kelewat banyak, lebih baik cepat tinggalkan tempat ini," kata Yan Yu-sim.

"Meninggalkan tempat ini?" Yan Yu-gi melotot besar, "aku belum lagi tidur nyenyak, belum lagi bermain dengan gembira, masakah harus pergi? Memangnya mereka bisa apa? Masakah dengan posisiku sekarang pun harus takut kepada mereka?"

"Takut sih tidak, tapi alangkah baiknya kalau bisa menghindari segala kerepotan."

Yan Yu-gi berpikir sejenak, kemudian ujarnya, "Dua kentongan lagi hari sudah terang, kalau mau pergi lebih baik menunggu sampai matahari terbit, kau toh tahu, wilayah Siau- kun-sui dipenuhi letupan lumpur panas, kalau sampai salah langkah, kita sendiri yang berabe."

"Kalau begitu baiklah," dengan perasaan apa boleh buat akhirnya Yan Yu-sim menyetujui.

Mendadak Yan Yu-gi seperti teringat sesuatu, tanyanya, "Mana para sandera? Apakah ada yang kabur?"

"Sandera sih tidak ada yang lolos, hanya bocah lelaki itu berhasil melarikan diri," sahut Yan Yu-sim tertawa.

"Yang laki atau yang perempuan?" "Yang laki." "Aaah, masih untung bukan yang perempuan," Yan Yu-gi tertawa, "dia memang akan kusimpan untuk dinikmati perlahan-lahan."

"Loji," tegur Yan Yu-sim sambil berkerut kening, "bocah perempuan itu masih kecil, apa enaknya?"

Yan Yu-gi kontan tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha, ada apa Lotoa, tiba-tiba kau bisa beriba hati? Tiba-tiba merasa kasihan dengan bocah itu? Jangan kuatir, aku hanya akan menikmati yang kecil, sementara Ting Tong-ih tak bakalan kusentuh."

Mendengar saudaranya menyinggung soal Ting Tong-ih, paras muka Yan Yu-sim berubah hebat.

Sambil berjalan masuk ke ruang dalam, kembali Yan Yu-gi berkata sambil tertawa, "Hanya orang muda yang bisa menikmati masa romantis, aku anjurkan kepadamu, mumpung usia kita belum terlalu tua, kalau ingin mencari kesenangan, carilah sepuasnya, kalau orang sudah diserahkan ke tangan Li- thayjin dan dijebloskan ke dalam penjara, kau tak punya harapan lagi untuk menikmati kehangatan tubuhnya!"

Begitu apa yang menjadi rahasia hatinya disinggung oleh rekannya, kontan saja paras muka Yan Yu-sim berubah merah padam, sesaat dia tak tahu apa yang mesti diucapkan.

Kembali Yan Yu-gi menepuk bahunya, setengah berbisik katanya lagi, "Loko, ada sementara persoalan lebih baik dilakukan secepatnya, toh semua pihak tak akan dirugikan dalam hal ini, apalagi dia kan sudah bukan...”

Melihat saudaranya mulai menarik muka, segera Yan Yu-gi menghentikan ucapannya dan segera mengeluyur masuk ke dalam ruangan.

Waktu itu bocah perempuan itu masih menangis tiada hentinya, ia merasa amat sedih setelah menyaksikan orang tuanya dalam semalam tewas dibunuh orang, kemudian menyaksikan juga bagaimana gembong iblis itu membantai penduduk desa semaunya, meski begitu ia berusaha untuk tidak menimbulkan suara.

Menyaksikan gadis cilik itu menangis tanpa bersuara, Yan Yu-gi merasa makin dipandang gadis itu tampak makin menawan, tiba-tiba napsu birahinya muncul kembali, segera hardiknya, "He, sediakan dulu hidangan yang enak, selesai bersantap nanti kita mencari kesenangan!"

Gadis cilik itu menangis makin menjadi, sementara Ting Tong-ih sekalian pun merasa semakin mencemaskan keselamatannya.

Melihat gadis cilik itu tidak menuruti perintahnya, Yan Yu-gi ingin mengumbar amarahnya, tapi setelah berpikir sebentar, ujarnya kemudian sambil tertawa, "Sudahlah, nona cilik, asal kau mampu memasak hidangan yang lezat, aku berjanji akan membebaskan dirimu, setuju?"

Gadis cilik itu mendongakkan kepala, butiran air mata membasahi pipinya yang bulat dan cantik, ia tidak mirip bocah dusun yang kebanyakan hitam dan kekar, sebaliknya raut mukanya halus dan lembut, hanya saja sepasang matanya sudah merah membengkak, merah karena kebanyakan menangis, membuat siapa pun yang memandangnya merasa iba.

Kembali Yan Yu-gi tertawa terkekeh-kekeh, tanyanya, "Eh, bocah perempuan, siapa namamu?"

Gadis cilik itu menggigit bibir menahan amarah, sahutnya lirih, "Ikan rebus."

"Ikan rebus?" ulang Yan Yu-gi melengak.

Gadis cilik itu manggut-manggut kemudian menundukkan kepala lagi, rambut di depan kepalanya terjulai ke bawah, beberapa di antaranya menutupi keningnya, membuat wajahnya setengah tertutup. "Kau benar-benar bernama Ikan rebus?" sambil berjongkok Yan Yu-gi menengok wajahnya.

Sementara dalam hati ia berpikir, "Aneh betul nama ini”

Tapi kemudian ia berpikir bahwa orang dusun sudah terbiasa memberi nama anaknya dengan sebutan yang gampang seperti A-kau, A-miau, A-ti, A-gou dan lain sebagainya. sehingga nama semacam itupun sesungguhnya tidak aneh. Gadis cilik itu kembali mengiakan.

Yan Yu-gi segera memegang dagunya dan berkata sambil tertawa, "Baiklah, Ikan rebus. Ikan rebus! Sekarang pergilah mengukus seekor ikan, selesai bersantap kita segera akan pergi dari sini!"

Seakan tumbuh secercah harapan, Ikan rebus segera menyeka air matanya dan menuju ke dapur.

Mengawasi bayangan tubuh si gadis yang mungil, tiba-tiba sekulum senyuman licik tersungging di ujung bibir Yan Yu-gi.

Ting Tong-ih semakin gelisah, sebab mereka tahu Yan Yu- gi pasti sedang menggunakan akal busuknya untuk membohongi gadis cilik itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar