Misteri Lukisan Tengkorak Bab 16 : Jala Yang Tak Terlihat

16. Jala Yang Tak Terlihat.

Pada saat bersamaan Tong Keng, Ting Tong-ih serta Ko Hong-liang merasakan datangnya angin sergapan yang dingin dan memekakkan telinga, menanti mereka sadar akan datangnya bahaya, keadaan sudah terlambat.

Mendadak terasa desingan angin tajam datang dari atas gua, kemudian diikuti suara gemerincing nyaring, terlihat sekilas cahaya merah berkelebat.

Sekali lagi cahaya merah itu berkilat, kemudian segalanya menjadi sepi, hening dan tak terdengar suara apapun.

Suasana di dalam gua pun kembali dalam kegelapan.

Lama kemudian baru terdengar Leng-hiat berseru, "Pasang obor!"

Segera Tong Keng dan Ko Hong-liang memasang obor, kemudian terdengar Ting Tong-ih menjerit sambil menutupi bibirnya dengan jari tangan.

Ternyata separuh bagian kaki kiri Leng-hiat telah berdarah. "Kau terluka!" seru Tong Keng.

Ting Tong-ih turut mendekat dan membantu Leng-hiat menghentikan aliran darah.

"Ni Jian-ciu yang datang!" bisik Leng-hiat. "Apa? Dia?" seru Ko Hong-liang. "Dia sendiri pun terpaksa, untuk membunuh kalian, mau tak mau dia harus membunuhku terlebih dulu."

Ting Tong-ih memberi tanda agar Leng-hiat duduk bersandar di dinding batu, kemudian tanpa ragu dia mengangkat kaki kiri Leng-hiat yang diletakkan di atas lutut kanannya, kemudian dengan merobek celananya untuk dipakai membalut luka itu.

Sewaktu ia menundukkan kepala sambil membubuhkan obat, rambutnya yang harum semerbak serasa menusuk penciuman, di bawah remang-remangnya cahaya obor, dengus napasnya terdengar amat berirama.

Tiba-tiba, "Sreet!", ia merobek pakaian sendiri untuk dijadikan perban, lalu merobek lagi celananya yang digunakan sebagai tali, dalam waktu singkat gadis itu telah membubuhkan obat serta membalut luka di kaki kiri Leng-hiat.

Selama ini Leng-hiat hanya duduk mematung dengan wajah tak berubah, tapi sorot matanya memancarkan perasaan terima kasih yang amat sangat.

Dalam pada itu Tong Keng telah menyoroti sekeliling tempat itu dengan obornya, kemudian berseru, "Di ... dimana dia?"

"Dia ada di dalam tanah," sahut Leng-hiat.

Dengan perasaan terperanjat segera Tong Keng menyoroti permukaan tanah.

"Dia telah menggunakan sebuah buli-bulinya lagi," ujar Leng-hiat lebih jauh.

"Tapi kau pun berhasil menjebolnya," sambung Ko Hong- liang dengan senyum di kulum.

"Tapi aku pun terluka."

"Mungkin ... mungkinkah dia balik lagi?" tanya Tong Keng agak tergagap. Leng-hiat tidak menjawab pertanyaan itu sebaliknya malah bertanya, "Masih jauhkah gua ini?"

Tong Keng memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, kemudian baru menjawab, "Kita sudah hampir keluar dari mulut gua, mulut gua berada di lambung bukit Jui-bin-san."

"Pemandangan alam di tempat itu pasti amat indah," tiba- tiba Leng-hiat berkata lagi.

Pemandangan alam di depan sana memang amat indah, sejauh mata memandang terlihat bukit yang menjulang ke angkasa dengan kabut yang menyelimuti pepohonan, gua yang berserakan di antara dinding bukit dengan air terjun yang memercikkan air, membuat suasana di situ selain indah juga terasa nyaman.

Di depan mulut gua duduk bersila seseorang.

Orang itu berambut putih, cara duduknya sangat aneh, gaya tangannya seolah-olah sedang menyebar sebuah jala.

Di sisi badannya tergeletak sebuah buli-buli. Buli-buli berwarna hitam pekat, buli-buli ketiga.

Tapi anehnya tiada jala di tangannya, bahkan dalam genggaman tangannya sama sekali tak terlihat adanya sesuatu benda.

Di belakang orang berambut putih itu, tak jauh dari mulut gua, berdiri dua orang manusia, perawakan tubuh mereka seimbang, tapi mereka hanya berdiri di kejauhan sambil menanti dengan wajah amat tegang.

Dilihat dari mimik muka kedua orang itu, tampaknya mereka sangat takut terhadap benda yang berada dalam genggaman manusia berambut putih itu, karenanya mereka hanya berdiri di kejauhan dan sama sekali tak berani mendekat. Tapi tak nampak sesuatu benda pun di tangan manusia berambut putih itu.

Matahari senja sudah condong ke barat.

Cahaya matahari yang berwarna kemerah-merahan memancar masuk melalui mulut gua yang lembab.

Leng-hiat, Ko Hong-liang, Ting Tong-ih dan Tong Keng akhirnya secara beruntun muncul. Kini Leng-hiat sudah saling bertatap muka dengan Ni Jian-ciu yang duduk bersila di depan mulut gua.

Leng-hiat sama sekali tidak menghentikan langkahnya, dia berjalan terus mendekati mulut gua itu.

Posisi mulut gua sedikit agak serong ke samping, sementara posisi Ni Jian-ciu berada di sebelah atas.

Tapi Leng-hiat berjalan terus, posisi medan yang tegak lurus ke atas dianggapnya sangat menguntungkan posisi sendiri.

Ting Tong-ih, Ko Hong-liang maupun Tong Keng berada dalam keadaan siaga penuh, mereka mengikuti terus di belakangnya secara ketat.

Ni Jian-ciu masih duduk dengan tenang, dia sama sekali tidak melakukan sesuatu tindakan apapun.

Leng-hiat masih bergerak terus ke depan, dia seakan tidak memandang sebelah mata terhadap lawannya.

Dua bersaudara Yan masih berdiri di kejauhan, sekalipun kedua orang ini banyak pengalaman dan sudah berulang kali menghadapi pertarungan sengit, namun kini paras muka mereka telah berubah hebat saking tegangnya.

Mendadak Leng-hiat merasakan sesuatu tak beres, dia mendapat firasat jelek. Sejak kecil dia memang tumbuh besar di tengah hutan belantara, ia telah menguasai kemampuan seekor serigala, dapat membedakan dimana ada jebakan, dimana ada perangkap dan dimana ada ancaman mara bahaya.

Tapi sekarang, meskipun dia sudah memperoleh sinyal yang menunjukkan mara bahaya, sayangnya tidak diketahui berada dimanakah mara bahaya itu.

Mara bahaya yang tidak terlihat, justru merupakan mara bahaya yang betul-betul amat berbahaya!

Tangannya yang mantap bagai sebuah batu karang, kini sudah mulai memegang gagang pedangnya.

Pada saat itulah tiba-tiba Ni Jian-ciu memperdengarkan suara pekikan yang keras dan memekakkan telinga.

Begitu dahsyat suara pekikan itu membuat pasir dan debu segera beterbangan, ujung baju berkibar kencang, rumput dan pohon bergoyang, bahkan rambut putihnya ikut bergelombang bagai gulungan ombak samudra.

Serentak dua bersaudara Yan, Ting Tong-ih serta Tong Keng menutupi lubang telinga mereka dengan tangan, bahkan Ko Hong-liang sendiri pun seketika mengernyitkan dahi.

Hanya Leng-hiat yang tetap berdiri tenang, paras mukanya sama sekali tak berubah.

Pada saat itulah secara tiba-tiba Leng-hiat merasakan tubuhnya terjerumus ke dalam sebuah jala, dan dia pun segera merasa bahwa perasaan itu bukan sebatas perasaan saja, tapi benar-benar terjerumus ke dalam kurungan jala.

Dengan cepat dia merasakan tangan dan kakinya mulai mengencang, seakan terbelenggu kencang, membuat ia sama sekali tak mampu meronta, tak mampu bereaksi secara wajar. Pada saat bersamaan, Ting Tong-ih serta Tong Keng telah menjerit sambil membentak nyaring, rupanya kedua orang itupun merasakan hal yang sama.

Yang berbeda adalah Leng-hiat telah mencabut pedangnya.

Dengan pedang di muka, tubuhnya ada di belakang, dia melebur diri menjadi gabungan tubuh dan pedang yang menyatu, kemudian secepat kilat melesat ke depan.

Leng-hiat segera merasakan tubuhnya terbelenggu makin kencang, badannya seolah-olah dililit oleh tangan gurita raksasa yang menghisapnya kuat-kuat, tapi saat itu juga pedangnya telah memancarkan cahaya tajam yang menyilaukan mata, dari ujung pedangnya telah memancarkan suara desingan tajam yang mengiringi suara gemerincing seolah-olah ada benda yang mulai robek.

Padahal sekeliling tubuh mereka sama sekali kosong, tiada sesuatu benda pun.

Leng-hiat merasakan seluruh tulang belulangnya terbelenggu kencang bagai ikatan sebuah bakcang, tapi seluruh pikiran dan perhatiannya telah bersatu-padu dengan cahaya pedangnya, "Sreeet!", mendadak ia merasakan badannya menjadi kendor, menyusul kemudian tubuhnya telah melesat keluar dan melayang turun beberapa depa dari mulut gua.

Dia seakan baru saja berhasil menjebol kurungan jala raksasa yang tak berwujud, seakan-akan juga dia telah mencapai ujung langit yang tak bertepian, berhasil menembus tepi langit dan menerobos keluar.

Segera Ko Hong-liang mengikut di belakang Leng-hiat dan berusaha menerobos keluar melalui lubang yang berhasil dirobek rekannya, tapi sayang jalan perginya mendadak terhalang, tersumbat kembali. Padahal tiada sesuatu benda pun yang menghalangi di hadapannya.

Dia merasa ada semacam benda tak berwujud yang tumbuh dan berkembang di hadapannya, benda itu berakar kuat dan mengembang dengan cepat menyelimuti seluruh angkasa, lubang kecil yang semula berhasil dijebol serasa tumbuh dan tertambal kembali dalam waktu singkat, membuat seluruh jalan keluar tersumbat dan mengurung korbannya di dalam.

Jika benda tak berwujud itu adalah sebuah jala, maka saat ini jala itu sudah mulai ditarik, sudah mulai menyusut kencang.

Ko Hong-liang, Ting Tong-ih serta Tong Keng merasakan sekujur tubuhnya seolah terbelenggu, sama sekali tak mampu berkutik, seluruh benang jala seolah mencengkeram setiap bagian badannya, mengait setiap jalan darahnya, membuat mereka tak mampu meronta, tak mampu bergerak dan tak mampu berkutik.

Dengan pedang terhunus Leng-hiat membalikkan badan, sorot mata tajam memancar keluar dari balik matanya.

Waktu itu Ni Jian-ciu sedang melakukan gerakan seolah sedang menarik tali jala raksasanya.

Kini sorot mata Leng-hiat telah tertuju ke atas buli-buli yang berada di sisi Ni Jian-ciu.

Suara pekikan nyaring Ni Jian-ciu tiba-tiba berhenti, kini dia pun berpaling ke arah Leng-hiat.

Sambil menatap tajam buli-buli di tanah, tegur Leng-hiat, "Itulah jaring langit penggubah impian? Serat sakti tanpa wujud?"

Ni Jian-ciu menepuk buli-bulinya satu kali. Tong Keng, Ting Tong-ih dan Ko Hong-liang yang terbelenggu menjadi satu seketika terlihat bergetar keras, rasa gusar bercampur kaget segera muncul di wajah mereka.

Terdengar Leng-hiat menegur, "Bukankah sewaktu berada dalam gua aku telah menjebol buli-buli ketigamu?"

"Kau hanya menjebol buli-buliku yang kedua," jawab Ni Jian-ciu, "buli-buli kedua selain dapat menyemburkan asap beracun Tay-ih-ngo-lo-yan, juga bisa melepaskan cahaya sakti bayangan merah Ci-im-sin-kong, hawa pedangmu telah menghancurkannya. Tapi buli-buliku yang ketiga belum kugunakan."

Kemudian dengan wajah penuh kebanggaan dia melanjutkan, "Selama ini serat sakti tanpa wujud, jala langit penggubah impianku tak pernah gagal!"

"Tapi aku toh berhasil menjebol jalamu dan keluar dari kurungan," jengek Leng-hiat dingin.

Paras muka Ni Jian-ciu sedikit berubah, tapi dengan cepat katanya, "Tapi nyatanya aku berhasil menangkap orang yang harus kutangkap."

Kali ini Leng-hiat hanya mengucapkan empat kata, "Kau jangan paksa aku!"

Kemudian seluruh konsentrasinya tertumpu pada ujung pedangnya.

Ni Jian-ciu sama sekali tidak berpaling, hanya perintahnya kepada dua bersaudara Yan, "Ambil buli-buli itu dan segera gelandang pergi ketiga orang buronan itu! Beritahu Li Ok-lay, apa yang dia inginkan telah kulaksanakan baginya, mulai sekarang Ni Jian-ciu sudah tidak berhutang apa-apa lagi kepadanya!"

"Baik!" sahut Yan Yu-gi cepat. "Ni-lotoa," seru Yan Yu-sim pula, "kenapa tidak menggunakan kesempatan ini kita bekerja sama melenyapkan bajingan”

Ni Jian-ciu seorang pun sudah merupakan seorang musuh yang sangat tangguh, bila ditambah dua bersaudara Yan, jelas tidak gampang bagi Leng Kiat untuk menghadapnya.

Ni Jian-ciu sama sekali tidak menanggapi usul itu, dia hanya mengucapkan satu kata, "Pergi!"

Berputar sepasang biji mata Yan Yu-gi, serunya, "Aku tahu, kau kuatir kami bukan tandingannya bukan?"

Mendadak dia melompat ke samping Ko Hong-liang bertiga, sambil menggenggam tiga batang peluru Cing-leng-soh serunya lagi, "Bila dia tak mau menyerahkan diri, aku segera akan melepaskan senjata rahasia untuk membunuh mereka bertiga, akan kulihat apakah dia masih berani membangkang!"

Kali ini Ni Jian-ciu lebih tak sungkan lagi, umpatnya nyaring, "Menggelinding dari sini!"

Segera Yan Yu-sim menarik ujung baju Yan Yu-gi sambil memberi tanda agar tidak berbuat ulah, kemudian dengan sangat berhati-hati mereka berdua menghampiri buli-buli yang tergeletak di tanah itu, sambil bergerak mereka mengawasi terus ketiga orang yang terbelenggu di balik jala tak berwujud itu.

Sungguh aneh, begitu buli-buli itu bergerak ketiga orang tawanan itupun ikut bergerak, mereka seakan kehilangan seluruh kekuatannya untuk meronta, jangan kan melawan, mau bergerak bebas pun Lik mampu.

Ketika Leng-hiat mulai menggerakkan tubuhnya, Ni Jian-ciu telah melepaskan buli-buli lainnya dari sisi pinggang.

Buli-buli itu merupakan sisa satu-satunya yang dia miliKi. Seketika itu juga Leng-hiat menghentikan langkahnya dan berdiri dengan wajah serius.

Tak seorang pun berani berpikiran cabang di saat sedang menghadapi serangan maut dari Ni Jian-ciu dengan ketiga buli-buli mestikanya, termasuk Cukat-sianseng sekalipun.

Ia sadar, bila ingin menyelamatkan Ko Hong-liang sekalian dari ancaman kematian, dia sendiri harus tetap berada dalam keadaan hidup.

Dua bersaudara Yan kabur dengan langkah yang sangat cepat, tak selang beberapa saat kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.

221

Leng-hiat sadar, bila dia ingin menyelamatkan rekan- rekannya, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah membunuh lawannya, membunuh musuh di depan mata yang amat menakutkan itu!

Mendadak Ni Jian-ciu kembali berpekik nyaring.

Begitu suara pekikannya berkumandang, dengan cepat tubuhnya bergerak mundur ke belakang.

Dengan pedang terhunus Leng-hiat segera merangsek maju, ternyata arah yang diambil Ni Jian-ciu ketika mundur persis sama seperti arah yang diambil dua bersaudara Yan.

Semakin keras suara pekikan nyaringnya, semakin cepat juga Ni Jian-ciu mundur dari situ.

Leng-hiat menempel terus secara ketat, selisih jarak mereka selalu bertahan dalam posisi sebelas kaki, ujung pedangnya tertuju ke depan, tapi selama ini dia belum berhasil menemukan kesempatan untuk melancarkan serangan.

Sekonyong-konyong Ni Jian-ciu berhenti. Udara di tanah perbukitan itu dingin dan segar, tapi suasana di sekeliling tempat itu justru amat panas, tanah yang diinjak pun tanah lumpur berwarna hitam, tanah yang mengandung bau belerang, bau yang sangat menyengat hidung, sementara tanah lumpur itupun terasa becek dan panas.

Lamat-lamat terdengar juga suara gerumuh yang bergema dari seputar tempat itu.

Mimpi pun Leng-hiat tidak menyangka kalau di atas tanah perbukitan yang begitu segar, indah dan nyaman, ternyata terdapat sebuah wilayah yang begitu aneh.

Mendadak Ni Jian-ciu menghentikan langkahnya, pada saat bersamaan Leng-hiat menghentikan langkahnya.

Selisih jarak antara ujung pedangnya dengan tubuh Ni Jian- ciu sama sekali tak bergeser, persis berjarak sebelas kaki.

Tiba-tiba Ni Jian-ciu bertanya, "Tahukah kau, mengapa aku memancingmu kemari?"

Leng-hiat tidak menjawab. Meskipun matanya tidak bergeser namun secara diam-diam telah memperhatikan keadaan di seputar situ. Tampak di arah depan, kiri dan kanan terdapat beberapa kubangan lumpur yang mengeluarkan gelembung berasap putih, gelembung itu ada yang besar seperti kepala gajah, ada pula yang kecil seperti biji mata, sembari meletupkan gelembung udara, terbawa juga semburan lumpur berhawa panas.

Terdengar Ni Jian-ciu berkata lagi, "Tempat ini disebut kolam bergelembung besar, karena gerakan magma di perut bumi membuat lumpur di seputar situ menjadi panas sekali, itulah sebabnya gelembung udara yang menyembur ke atas membawa cairan lumpur panas, semburan itu mengalir di sekeliling tempat ini hingga terbentuklah kolam lumpur panas, barang siapa berjalan kurang hati-hati di sini, badannya akan tenggelam ke dalam kolam dan tubuhnya akan terhisap oleh cairan lumpur panas itu, bila sampai demikian, selamanya dia akan menjadi tamu neraka dan jangan harap bisa lolos lagi!"

Kemudian sambil menatap wajah lawannya, dia berkata lagi, "Tahukah kau apa alasannya kuajak kau datang kemari?"

Leng-hiat hanya menatapnya tanpa berkedip, sama sekali tak berbicara.

Tiba-tiba Ni Jian-ciu mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak, "Sejak tadi kau tidak melancarkan serangan, sebuah kesalahan besar telah kau lakukan!"

"Aku tidak melancarkan serangan karena aku tak berhasil menemukan kesempatan untuk turun tangan," jawab Leng- hiat hambar.

Ni Jian-ciu segera menghentikan gelak tawanya. "Sayang mulai sekarang kau lebih sukar menemukan

peluang itu," katanya, "aku sengaja memancingmu kemari

lantaran kakimu sudah terluka."

Tanah lumpur di seputar situ amat lembek, sekali diinjak maka permukaannya gampang amblas ke dalam, lagi pula bila kurang hati-hati, badannya bisa terperosok ke dalam kolam lumpur berbahaya itu, padahal luka di kaki Leng-hiat termasuk parah, bila dia sampai salah berpijak, maka tak ada harapan lagi untuk menyelamatkan jiwanya.

Dengan pandangan tajam Ni Jian-ciu mengawasi kaki kiri lawannya, kembali ia berkata, "Pertarungan satu lawan satu baru bisa dianggap pertarungan yang adil. Apalagi sekarang aku telah menjelaskan situasi di wilayah ini secara gamblang, bila kau tak beruntung dan mati di sini, jangan salahkan aku tidak menjelaskan lebih dulu."

Leng-hiat manggut-manggut.

"Mencari kemenangan dengan mengandalkan jumlah banyak memang bukan kelakuan seorang enghiong, apalagi dalam satu pertempuran, menggunakan akal bukan suatu pantangan."

"Apakah kau sudah siap?" tanya Ni Jian-ciu kemudian.

Mendadak terjadi letupan gelembung udara secara beruntun dari kubangan lumpur itu, diikuti suara gemuruh seperti suara air yang mendidih dari dasar permukaan bumi.

Ni Jian-ciu segera berseru lagi, "Hati-hati, sumber air panas yang berada di balik kubangan lumpur segera akan memancar keluar, di saat itulah mati hidup kita berdua segera akan ditentukan!"

Dengan cepat Leng-hiat dapat memahami maksud tujuan Ni Jian-ciu yang sesungguhnya.

Rupanya di tempat itu terdapat sumber air panas yang letaknya berada di dasar kubangan lumpur, tak heran dalam radius beberapa ratus kaki di wilayah itu tak nampak ada tumbuhan yang bisa hidup, dari sini bisa disimpulkan betapa dahsyat dan jahatnya hawa panas beracun yang dipancarkan keluar dari sumber air panas itu.

Bagi kebanyakan jago silat, mereka pasti memiliki satu kegemaran, ada yang tergila-gila dengan pedang maka dia pun mengandalkan ilmu pedang, ada yang tergila-gila dengan berbagai aliran ilmu silat, maka dia pun mempelajari ilmu silat gado-gado dari berbagai aliran.

Begitu juga halnya dengan seorang pembunuh, bila sedang berhadapan dengan seorang musuh tangguh, maka dia pun selalu berharap bisa membunuh lawannya atau terbunuh oleh lawannya dalam satu keadaan dan situasi khusus.

Bagi mereka, mungkin hanya berbuat begitu baru bisa memenuhi selera dan kepuasannya sebagai seorang pembunuh!

Sayang Leng-hiat bukan seorang pembunuh. Dia hanya seorang opas.

Dia pernah menangkap buronannya dengan berbagai situasi dan keadaan, di tempat yang paling panas, di tempat yang paling dingin, di tempat yang susah sekali, di tempat yang sama sekali tak terduga, bahklan pernah bertarung dalam situasi dan keadaan yang tak mungkin bisa dibayangkan dengan akal sehat.

Walau begitu, dia tak pernah gagal. Sekarang dia pun dapat memahami perasaan Ni Jian-ciu. Pada saat itulah tiba- tiba Ni Jian-ciu berpekik nyaring. Pada saat bersamaan pekikan itu berkumandang, serangan pun dimulai.

ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar