Misteri Lukisan Tengkorak Bab 14 : Mandi Bersama

14. Mandi Bersama.

Orang yang berada di atas kuda itu bergerak dengan tubuh menempel di punggung kuda.

Punggung kuda nampak berkilauan tajam ketika tertimpa cahaya matahari.

Kini kuda itu sudah menerjang ke ujung jembatan. Ketika hampir mendekat, orang baru dapat melihat dengan jelas bahwa orang yang berada dipunggung kuda itu sedang memainkan sebuah kapak raksasa, ketika kapak itu tertimpa cahaya matahari, segera terhiaslah sekuntum bunga perak yang berpusing, desingan angin yang menderu serasa melumat gendang telinga pendengarnya.

Derap kuda yang ramai dengan cepat mendengung di atas jembatan.

Kapak raksasa itu secepat kilat dibacokkan ke tubuh Leng- hiat.

Si Darah dingin tetap berdiri di tengah jembatan, punggungnya menghadap si pendatang, ia sama sekali tak berkutik.

Tiba-tiba sangkar burung ikut melayang di udara, menyusul kemudian terlintas sekilas cahaya terang.

Saat itulah Leng-hiat melolos pedangnya, selapis cahaya putih memancar keluar dari balik tangannya.

Sangkar burung itu segera rontok ke tanah.

Kuda yang berlari kencang sudah melampaui tengah jembatan, bahkan sudah melompati pagar tepi jembatan itu.

"Blaaam!", akhirnya kuda itu mendarat sepuluh langkah dari jembatan, jatuh terjerembab ke tanah.

Dengan cepat darah segar berhamburan membasahi seluruh lantai berpasir.

Jeritan kaget pun bergema di sekeliling tempat itu, banyak orang berlarian menjauh sambil menutupi wajahnya.

Sangkar burung yang terbanting di atas jembatan ikut hancur berantakan, burung pun beterbangan di angkasa sementara sang pemiliknya masih berdiri kaku di tempat. Kini sangkar burung sudah lenyap, orang yang berada di belakang sangkar sebetulnya mengenakan topi lebar dari bambu, tapi sekarang topi bambu itupun terbelah dua, maka tampaklah rambutnya yang beruban.

Dengan suara yang dingin bagai es, orang berambut putih itu berkata, "Tak kusangka kepandaianmu maju sangat pesat, lagi-lagi aku salah menilai dirimu."

Selesai berkata dia membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ.

Di bawah cahaya matahari terlihat beberapa butir darah membasahi rambutnya yang putih.

Tong Keng, Ko Hong-liang dan Ting Tong-ih mengikuti jalannya pertarungan ini setegang anak panah yang sudah dipentangkan di atas busur, lama kemudian baru terdengar Tong Keng berseru, "Dia telah salah menilai soal apa?"

Dengan termangu Leng-hiat mengawasi bayangan punggung Ni Jian-ciu yang makin menjauh, kemudian baru sahutnya, "Dia telah salah menilai, tiga tahun berselang pedangku hanya bisa menyerang tanpa mampu bertahan, aku hanya bisa membunuh tanpa kenal ampun, tak disangka tiga tahun kemudian pedangku mampu membendung serangan buli-bulinya, bahkan segera dapat melancarkan serangan balasan yang berhasil mengenai tubuh sang penyergap."

Setelah berhenti sejenak, sambil mengawasi tubuh Gi Eng- si yang terkapar di tengah genangan darah, lanjutnya, "Oleh karena itu Ni Jian-ciu membunuh Gi Eng-si?"

"Berarti kaulah pemenangnya!" teriak Tong Keng kegirangan.

"Tidak, sampai sekarang baru ia menggunakan sebuah buli- bulinya, masih ada dua yang belum digunakan, padahal kedua buli-buli yang tersisa itulah senjata pamungkasnya." Setelah menyaksikan pertarungan yang barusan berlangsung, Ko Hong-liang segera merasa bahwa pertarungan yang dilakukannya dulu bagaikan permainan anak-anak saja, dengan wajah sedih tanyanya, "Lalu kenapa dia tidak menggunakan senjata pamungkasnya untuk menghadapimu?"

"Ia sedang menanti kesempatan lain yang jauh lebih bagus," ucap Leng-hiat sambil mengawasi bayangan punggung Ni Jian-ciu yang semakin menjauh, "ketika serangannya gagal mencapai sasaran, tenaga dalamnya jadi melemah dan isi perutnya turut terluka, itulah sebabnya dia harus menanti kesempatan lain yang jauh lebih menguntungkan."

"Kalau dia tidak turun tangan, kenapa kau pun hanya berdiam diri?" tanya Ting Tong-ih cepat.

Leng-hiat tertawa getir. "Sebab aku sendiri pun tidak memiliki keyakinan untuk menang, lagi pula aku memang tidak berniat untuk membunuhnya."

Kemudian setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, lanjutnya, "Aku hanya berharap dia tidak membunuh kalian."

Sementara itu dari arah jalan raya terdengar suara bentakan nyaring.

Mendengar itu segera Leng-hiat berseru, "Cepat kita tinggalkan tempat ini ketimbang terseret dalam kesulitan."

Keempat orang itu segera melompat naik ke punggung kuda masing-masing dan mencemplak kudanya untuk berlalu dari situ.

Kini di atas jembatan hanya tersisa sebuah sangkar burung yang telah hancur serta sebuah topi bambu yang telah terbelah dua.

Tak lama kemudian petugas opas dan petugas keamanan sudah berkerumun di seputar jembatan itu. Selang beberapa saat kemudian kerumunan opas itu baru menyingkir ke samping dan membuka sebuah jalan lewat.

Tiga buah tandu dipimpin seekor kuda perlahan-lahan berjalan mendekati jembatan itu.

Orang yang berada di atas kuda tak lain adalah Lu Bun- chang.

Ia melompat turun dari kudanya dan membukakan tirai yang menutupi tandu, tiga orang manusia, seorang lelaki tua, seorang lelaki setengah umur dan seorang pemuda perlahan- lahan berjalan keluar dari balik tandu.

Sikap Lu Bun-chang sangat menaruh hormat, sisir kegemarannya masih berada dalam genggamannya, siap menyisir kumisnya yang lebat.

Lelaki tua itu berjalan ke atas jembatan, memungut sangkar burung yang rusak itu kemudian mengamatinya beberapa saat.

Lelaki setengah umur itupun memungut topi bambu yang terbelah dua dan menelitinya dengan seksama.

Kemudian kakek itu mendongakkan kepalanya, saling bertukar pandang dengan lelaki setengah umur itu.

"Apakah dia?" tanya kakek itu kemudian.

"Ya, benar, memang dia!" jawab lelaki setengah umur itu.

Sementara kedua orang itu sibuk meneliti, pemuda berbaju putih itu hanya berdiri santai di tepi sungai sambil menggendong tangan, dia seakan tidak menggubris urusan di atas jembatan, pikirannya seolah lebih terpusat untuk menikmati lambaian ranting pohon liu yang tertiup angin dan burung walet yang terbang rendah di atas kepalanya.

Tampaknya para opas kota kecil itu tak ada yang tahu siapa gerangan ketiga orang itu, mereka hanya berbisik-bisik membicarakan persoalan itu. “Siapakah ketiga orang itu?" "Darimana aku tahu?"

"Tampaknya asal-usul mereka luar biasa!" "Darimana kau bisa berkata begitu?"

"Kalau orang macam Lu-thayjin saja mau membukakan tirai tandu mereka bahkan menjadi petunjuk jalan, masakah pangkat ketiga orang itu jauh lebih rendah dari posisinya?"

"Benar juga perkataanmu."

"Tapi terlepas siapa pun mereka itu, sepak-terjang orang- orang itu sungguh menyebalkan."

"Sttt, jangan sembarangan bicara, konon ketiga buah tandu itu digotong keluar dari gedung kediaman Li-thayjin, kalau kita sampai melakukan kesalahan terhadap mereka bertiga, bisa jadi nyawa kita bakal segera lenyap dari muka bumi."

"Hmmm, tapi aku tetap menganggap mereka menyebalkan, coba lihat gaya pemuda itu, betul-betul memuakkan”

Orang yang mengucapkan perkataan itu adalah seorang anggota keamanan setempat, biasanya dia selalu dihormati orang, tapi sekarang, bukan saja ada orang lain yang menginjak-injak daerah kekuasaannya, bahkan tidak pandang sebelah mata kepadanya, tak heran dia pun menggerutu panjang lebar.

Sekalipun dia bicara secara berbisik-bisik, siapa tahu perkataan itu tampaknya terdengar oleh pemuda itu, mendadak si anak muda berpaling dan melemparkan sekulum senyuman ke arahnya.

Petugas keamanan itu tertegun dan tak berani bicara lebih jauh.

Hari itu juga, ketika petugas keamanan itu sedang mandi di rumah, mendadak terdengar ia menjerit kesakitan dan tahu- tahu orang menjumpai dia sudah tewas di dalam bak mandinya dengan lidah sudah tercabut keluar.

Setelah menyeberangi Put-lo-si dan berjalan menelusuri sungai, waktu pun sudah mendekati senja, awan gelap mulai muncul di ujung langit, kuda pun sudah lelah, manusia juga mulai penat.

Di tepi sungai banyak berdiri warung penjual teh yang dibangun ala kadarnya, tiba-tiba Ting Tong-ih bertanya, "Kalian berminat mandi air panas?"

Semua orang melengak.

"Mandi air panas?" tanya Tong Keng kemudian.

"Betul, di seputar sini pasti ada sumber air panas, aku bisa mengendus baunya," jawab Ting Tong-ih sambil tertawa, tapi sesaat kemudian dengan wajah termangu lanjutnya, "dulu aku sering berkelana bersama Kwan-toako, tempat mana pun pernah kami kunjungi, tempat macam apapun pernah kusambangi”

"Bagus sih bagus" kata Leng-hiat tiba-tiba, "hanya saja ”

Seandainya mereka semua adalah kaum lelaki, urusan menjadi lebih gampang diselesaikan karena mandi bersama antar lelaki bukan sesuatu yang aneh, tapi di antara mereka ada yang perempuan, jelas hal ini membuat masalah menjadi tidak segampang itu.

Ting Tong-ih segera tertawa, tukasnya, "Kita sebagai orang dewasa yang sudah lama berkecimpungan dalam dunia persilatan, kenapa cara pandang kalian masih macam anak- anak?"

Seraya berkata ia segera menuding ke arah depan, betul saja di sisi sungai terdapat beberapa buah kubangan kecil, dari kubangan itulah terlihat uap panas mengepul. "Itulah sumber air panasnya," kembali Ting Tong-ih berseru, "kalau ingin mandi, ayolah mandi, kita langsung saja mencebur ke situ."

Sambil berkata ia membuka buntalan kecilnya, mengeluarkan sebatang hio, lalu menancapkan di atas tanah.

Sementara semua orang masih termangu, terdengar Ting Tong-ih dengan suara lirih sedang berdoa, "Toako, aku tahu kau tak bakal melupakan aku, aku pun tak pernah akan melupakan dirimu walau sampai mati. Semasa hidupmu dulu kau banyak bermain perempuan di luaran, aku sendiri pun tak pernah menjaga kehormatanku, kini kau sudah mati sementara aku masih hidup, sebelum berhasil membalaskan dendam sakit hatimu, aku pasti akan menjaga hidupku secara baik-baik, kau tak usah menguatirkan keselamatanku”

Berdoa sampai di sini dia pun menjura tiga kali, kemudian dengan santainya dia melepaskan seluruh pakaian yang dikenakan dan berjalan menuju ke sumber air panas.

Ketika melepaskan seluruh pakaian yang dikenakan, Ting Tong-ih melakukannya tanpa canggung dan malu, seakan- akan melepaskan pakaian sama urusannya seperti melepas ikat kepala saja.

Dengan tangan kanan ia melepaskan kancing baju kirinya, baru saja ia melepas kancing, ikat pinggang pun segera terlepas dan pakaian pun terbuka, bahunya yang putih mulus, payudaranya yang kenyal dan berdiri menantang seketika muncul dari balik pakaiannya yang terlepas, dalam waktu singkat gadis itu benar-benar dalam keadaan bugil.

Tatkala gadis itu mulai melepas pakaiannya, Leng-hiat segera merasakan kepalanya mendengung keras, segera dia melengos ke arah lain dan tak berani memperhatikan lagi.

Tatkala pakaian gadis itu mulai terlepas dan sepasang payudaranya yang kenyal besar mulai melompat keluar, Ko Hong-liang ikut melengos ke arah lain. Tinggal Tong Keng seorang yang masih menikmati tubuh bugil gadis itu dengan mata terbelalak lebar.

"Apa? Dia berani berbugil ria di hadapan kaum lelaki” demikian ia berpikir.

Tapi pikiran lain segera melintas, "Aaah, aku tak boleh berpikir yang bukan-bukan dan lagi aku tak boleh melototi terus tubuh bugilnya, kalau enci Ting saja tak takut dilihat orang, kenapa aku mesti takut mandi bersama?"

Tapi sesaat kemudian pikiran lain melintas, "Cuma, setiap kali melihat tubuhnya yang bugil, melihat payudaranya yang menantang, aku ... aku merasa mulai terangsang ... aaah, sungguh memalukan, aku tak boleh berpikiran sesat macam begini, tapi apakah salah kalau aku sebagai lelaki sehat terangsang setelah melihat gadis bugil? Apalagi aku melihatnya secara terbuka, kalau aku mengintip dia lagi mandi, itu baru salah, kenapa aku mesti berlagak seolah tidak melihatnya?"

Dalam waktu singkat berbagai ingatan melintas dalam benaknya, sementara sepasang matanya masih terbelalak lebar, mengawasi tubuh bugil Ting Tong-ih tanpa berkedip.

Tubuh gadis itu memang putih, mulus dan sangat indah, di balik warna putih terselip warna kemerah-merahan, tak lama kemudian ia sudah berendam di dalam kolam air panas, berendam hingga ke batas dadanya.

Setelah mengikat rambutnya dengan seutas pita, gadis itu mulai memejamkan mata sambil menikmati hangatnya air dalam kolam, tangannya yang putih mulus mulai menggosok seluruh bagian tubuhnya, mulai menggosok lengannya, payudaranya, perutnya ....

Mendadak Ting Tong-ih membuka matanya kembali, sambil tertawa ujarnya, "Aku adalah perempuan persilatan yang tak pernah merisaukan persoalan semacam ini, aku tak suka terikat dengan tradisi dan segala peraturan busuk, kalian boleh saja menuduhku tak tahu malu, memakiku perempuan murahan, tapi terus terang saja, siapa manusia di dunia ini yang tidak telanjang ketika sedang mandi? Buat apa masalah sepele macam begini dijadikan masalah serius yang seolah- olah sangat memalukan?" 

Sambil berbicara gadis itu mulai mandi dengan santainya, bahkan dengan wajah riang mulai membersihkan seluruh bagian tubuhnya yang kotor.

Di antara sekian orang, ilmu silat Leng-hiat terhitung paling hebat, tapi sekarang ia merasa jantungnya berdetak sangat cepat seolah-olah ada anak yang sedang menjotos dadanya, mungkin hal ini lantaran tenaga dalamnya yang kuat sedang bergolak di dalam tubuhnya, tapi gejolak perasaan yang dialaminya saat ini membuat pendekar sakti ini menjadi sangat gelisah dan tak tenang pikirannya.

Mendadak ia melepaskan seluruh pakaian yang dikenakan, kemudian bagaikan kembali ke zaman purba pemuda itu melangkah ke arah kolam air panas dan menceburkan diri ke dalam air.

Dalam waktu singkat air panas menggenangi seluruh tubuhnya, hawa hangat yang menyelimuti badan membuat ia merasa segar dan sangat nyaman.

Sambil tertawa Ting Tong-ih menengok ke arah Leng-hiat, serunya tiba-tiba, "Kau jangan memaksakan diri mengendalikan perasaan, cara menahan diri semacam ini merupakan pantangan bagi seorang lelaki, apa salahnya kalau seorang lelaki terangsang? Kenapa tidak kau biarkan badanmu bereaksi sesuai alamnya?"

Leng-hiat sama sekali tidak menyangka kalau ada gadis yang berani menegur masalah kesensitifannya, untuk sesaat dia tertegun, entah karena air panas yang begitu hangat atau karena malu, paras mukanya kontan berubah menjadi merah padam. Ko Hong-liang yang mendengar perkataan itu segera menarik napas panjang dan tertawa terbahak-bahak, kepada Tong Keng serunya, "Hahaha, aku bukan seorang lelaki sejati, aku pun tahu imamku kurang tegar, tak tahan godaan, kalau suruh aku ikut mandi bugil bersama, mungkin yang paling memalukan adalah diriku, kelihatan kejelekanku sendiri ... hahahaha ... lebih baik kau saja yang ikut berbugil ria, maaf, aku tidak ingin mendapat malu!"

"Aku ” Tong Keng membelalakkan matanya semakin

lebar.

Terdengar Ting Tong-ih tertawa cekikikan, waktu itu ia sedang menggesekkan punggungnya di tepi bebatuan sambil menggosok kakinya yang mulus, teriaknya, "He, kenapa kalian yang menjadi anak lelaki malah begitu rewel dan malu-malu”

Tong Keng berteriak keras, dengan masih berpakaian lengkap ia segera menceburkan diri ke dalam kolam air panas.

"He, macam apa itu? Mau bunuh diri dengan mencebur ke kolam?" teriak Ko Hong-liang sambil tertawa tergelak.

"Bukan, bukan bunuh diri, lebih mirip laron menubruk api," imbuh Ting Tong-ih sambil tertawa cekikikan.

Dengan tubuh basah kuyup Tong Keng muncul ke permukaan air, mukanya yang bercambang kelihatan semakin hitam berkilat, rambutnya basah kuyup, dengan termangu dia hanya bisa mengawasi Ting Tong-ih tanpa mampu berbicara sepatah kata pun.

Sementara itu Leng-hiat sudah memperoleh kembali ketenangan hatinya, tiba-tiba saja dia seperti kembali ke masa anak-anaknya dulu, memukul air, membuat gelombang dan memercikkan air ke wajah rekannya, keriangan, kegembiraan dan kenakalannya muncul kembali, bahkan seluruh hawa pembunuhan yang biasanya menghiasi wajahnya, kini hilang lenyap. Sambil tertawa kembali Ting Tong-ih berseru, "Kalian orang lelaki memang banyak yang dipikirkan, kalau tidak menikmati suasana secara santai dan riang, apakah tidak menyiksa diri namanya?"

Ko Hong-liang yang berdiri di tepian segera menyahut sambil tertawa, "Nona Ting, padahal orang lelaki bukannya tak berani melakukan, hanya masalahnya yang tidak dimiliki kaum wanita justru dimiliki kaum pria, kalian kaum wanita tak perlu malu karena tak bakal kelihatan jeleknya, beda dengan kaum lelaki, begitu dia terangsang maka ada bagian tertentu di tubuhnya yang bereaksi berlebihan, padahal benda yang sudah bereaksi susah disembunyikan, terlebih jika mesti berjalan dalam keadaan bugil, bagian yang sudah bereaksi itu akan sangat mencolok mata, memangnya kita mesti berjalan sambil memperlihatkan 'tombak'? Hahaha”

"Betul juga perkataanmu itu," sahut Ting Tong-ih sambil tertawa cekikikan, "keadaan seperti itu memang mudah membikin orang serba salah."

"Nona Ting," kembali Ko Hong-liang berkata sambil tertawa getir, "jika aku menjadi kau, berwajah cantik, bertubuh indah, aku tak akan berani mandi telanjang di depan kaum pria”

"Memangnya ada larangan berbuat begitu?" seru Ting Tong-ih sambil tertawa, "memangnya aku mesti menyembunyikan terus badanku di balik pakaian? Apakah tubuhku baru boleh dilihat petugas yang memandikan mayat ketika aku sudah berubah menjadi nenek peyot dan menghembuskan napas terakhir?"

Untuk sesaat Ko Hong-liang menjadi bungkam dan tak mampu berkata lagi.

Terdengar Ting Tong-ih berkata lebih jauh, "Padahal bisa mandi telanjang di tengah hutan seperti ini merupakan kenikmatan yang luar biasa, ketika kita membuang semua atribut budaya yang membebani pikiran serta kelakuan kita, ketika kita bertelanjang ria, kembali ke alam semesta, ooh... betapa ringannya pikiran kita, betapa bebasnya kita berbuat, sungguh sebuah kenikmatan yang tak terlukiskan."

Ko Hong-liang tertawa getir. "Yang aku kuatirkan justru ”

Belum selesai ia bicara mendadak terlihat burung gagak beterbangan ke angkasa.

Menyusul kemudian terlihat seseorang sedang berjongkok di atas tebing batu cadas.

Kalau dilihat dari gaya bayangan hitam itu, seakan setiap saat dia akan menubruk ke bawah sambil melancarkan sergapan mematikan.

Ko Hong-liang seketika menghentikan perkataannya, Leng- hiat sendiri pun segera merasa kalau ada seseorang sedang bersembunyi di atas batu cadas.

Tapi kini dia berada dalam keadaan bugil, tubuhnya sedang berendam di dalam kolam. Sementara musuh justru berada persis di atas kepalanya.

Mendadak bayangan hitam itu memekik nyaring, cahaya tajam berkelebat, tahu-tahu orang itu diiringi desingan angin tajam telah menerjang ke arah Ko Hong-liang.

"Byuuur!", percikan air menyebar ke empat penjuru, tahu- tahu Leng-hiat sudah melompat keluar dari dalam kolam, kemudian di antara kilauan cahaya air, sebuah tusukan maut telah dia lancarkan mengarah lambung bayangan hitam itu.

Kelihatannya orang itu sangat terkejut, dia tak menyangka Leng-hiat mencebur ke dalam kolam sambil menggembol pedang, tergopoh-gopoh dia membuka penutup buli-buli keduanya yang tergantung di pinggang.

Dalam waktu singkat muncullah semburan kabur tebal yang segera menyelimuti wajah Leng-hiat. Dengan sekali berjumpalitan Leng-hiat sudah menyambar Tong Keng di tangan kiri dan Ting Tong-ih di tangan kanan untuk melompat keluar dari kolam, kepada Ko Hong-liang yang masih berdiri melongo di tepi kolam segera teriaknya, "Cepat tutup pernapasanmu!"

Menanti lapisan kabur telah buyar, Leng-hiat dan Ting Tong-ih juga selesai mengenakan pakaian, bersama Ko Hong- liang dan Tong Keng yang sudah melompat naik ke punggung kuda masing-masing, mereka segera bergerak meninggalkan tempat itu.

Pedang masih terhunus di tangan Leng-hiat, pada ujung pedang terlihat beberapa tetes noda darah yang masih menempel, ketika pemuda itu mengebaskan senjatanya, butiran darah pun menetes ke dalam air kolam.

Di tengah hembusan angin malam yang dingin, Tong Keng menggigil keras hingga gigi pun saling beradu, tanyanya setengah berbisik, "Mana dia?"

"Sudah pergi," sahut Leng-hiat dengan suara berat.

Ting Tong-ih tak sempat mengikuti jalannya pertarungan secara jelas, sebab pertempuran itu berlangsung cepat dan singkat, selain itu orang berdiri membelakangi dirinya.

"Apakah Ni Jian-ciu?" tanyanya kemudian.

"Betul, sekarang menjelang senja, rambutnya sedang berubah dari putih menjadi abu-abu."

"Kau berhasil melukainya?" Leng-hiat manggut-manggut.

"Dia tidak menyangka di saat aku sedang berbugil ria, di saat tubuhku sedang berendam di dalam air, pedang tak pernah berpisah dari sisi tubuhku." "Ya, siapa yang mengira ketika sedang mandi pun kau menggembol pedang," sambung Ting Tong-ih sambil mengerling ke arahnya dan tertawa.

"Aaai, bintang pembawa bencana” gumam Ko Hong-liang sambil menghela napas, "untung saja dia sudah pergi”

"Tidak, dia akan menunggu kita di depan sana," tukas Leng-hiat.

Kemudian setelah mengawasi rembulan yang mulai muncul di angkasa, lanjutnya, "Aku telah berhasil menghancurkan dua buah buli-bulinya, bila turun tangan kembali, akulah yang akan menjadi target utamanya."

Tong Keng memandang sekejap ke arah Leng-hiat, lalu menengok Ting Tong-ih dan akhirnya memandang rembulan, ketika angin malam berhembus lewat, tak tahan dia pun bersin, suara keras yang mengejutkan kudanya hingga meringkik panjang.

ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar