Misteri Lukisan Tengkorak Bab 12 : Pedang Kehidupan

12. Pedang Kehidupan.

Dia tidak menyangka orang yang berada di belakang tubuhnya segera akan melakukan satu hal.

Tanpa banyak bicara orang itu menarik kembali pedangnya. Ni Jian-ciu tidak langsung membalikkan tubuhnya.

Lama sekali dia termenung, kemudian baru ujarnya, "Sekarang katakan syaratmu!"

"Syaratku ada tiga," kata orang itu.

Ni Jian-ciu merasa belakang punggungnya bagaikan ada beribu anak panah yang sudah terpasang dibusur, tapi seperti juga sebuah benteng lapis baja, maka tanyanya, "Apa syaratmu?"

"Pertama, jangan berpaling!"

Ni Jian-ciu mengangguk tanda setuju. "Kedua, jangan bunuh mereka!"

Kali ini Ni Jian-ciu termenung tanpa menjawab.

Orang yang berada di belakang punggungnya juga termenung.

Tong Keng, Ting Tong-ih, Ko Hong-liang, Yan Yu-sim serta Yan Yu-gi hanya menyaksikan Ni Jian-ciu berdiri di bawah remang-remang rembulan, di depan batang pohon yang roboh tanpa bergerak sedikitpun, sementara di samping pohon yang roboh berdiri pula sesosok bayangan manusia.

"Malam ini aku bisa saja tidak membunuh," kata Ni Jian-ciu kemudian, "tapi bukan berarti aku tak akan membunuh mereka, kemana pun mereka pergi, cepat atau lambat akhirnya akan mati juga di tanganku." "Aku tahu."

"Kecuali orang yang bernama Tong Keng," imbuh Ni Jian¬ ciu, "karena aku tak berhasil membunuhnya dengan pukulanku tadi, maka tak ada serangan kedua baginya."

"Aku mengerti."

"Aku pun tahu, dia bisa lolos dari seranganku tadi lantaran kau telah menyambit lututnya dengan buah pohon cemara," kata Ni Jian-ciu lebih jauh, "tapi aku tak pernah akan menarik kembali setiap perkataan yang telah kuucapkan."

"Aku tahu dengan jelas."

"Lantas apa syaratmu yang ketiga?"

"Yang ketiga bukan syarat melainkan sebuah permintaan," terdengar orang yang berdiri di belakangnya itu berbicara dengan sungguh-sungguh dan tulus, "jangan dikarenakan ada sebagian kecil manusia berhati busuk, licik dan kejam, maka kau kehilangan rasa percayamu terhadap semua sahabatmu."

"Sudah selesai perkataanmu itu?" tiba-tiba Ni Jian-ciu bertanya.

"Sudah selesai."

"Aku mau membicarakan soal syarat karena kau adalah musuhku, bukan sahabatku," kata Ni Jian-ciu kemudian, "bagiku, lebih baik aku percaya kepada musuhku ketimbang harus mempercayai sahabatku."

Lalu dengan nada tegas dia menambahkan, "Oleh sebab itu syaratmu yang ketiga tidak dapat kupenuhi."

"Aku memahami," ujar orang yang berdiri di belakangnya dengan suara berat.

Mendadak Ni Jian-ciu melemaskan otot badannya sembari menggeliat, katanya, "Oleh karena pada malam ini aku tak akan membunuh, tentunya aku boleh pergi bukan?" "Silakan!"

Setelah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Ni Jian-ciu kembali berhenti, katanya sambil tertawa, "Kau melarangku berpaling, apakah lantaran tak ingin kukenali?"

Sambil menyungging sekulum senyuman aneh dia menambahkan, "Tapi sayangnya, meskipun tidak berpaling aku bisa mengenali pedangmu, gayamu dan hawa pembunuhanmu."

Manusia yang berada di balik remang-remangnya cuaca itu sama sekali tak bergerak, sedemikian tenangnya orang itu membuat siapa pun ragu, sebenarnya dia itu manusia ataukah hanya sebuah patung batu.

"Aku tidak berharap benar-benar adalah dirimu, tapi seandainya benar, jangan lupa, si Raja opas pun sudah datang!"

Selesai mengucapkan perkataan itu, Ni Jian-ciu segera melompat naik ke punggung kudanya dan berlalu dari situ.

Di tempat itu semuanya terdapat empat ekor kuda, dua bersaudara Yan masing-masing menunggang seekor kuda dan bergerak meninggalkan tempat itu, kini tersisa seekor kuda yang masih berada di sisi pohon serta sebuah kereta kuda yang telah hancur.

Di bawah cahaya rembulan, di sisi pohon yang tumbang, suasana amat hening dan sepi, orang itu masih berada di bawah bayangan kegelapan.

Meskipun raut muka orang itu susah dikenali karena berada di balik remang-remangnya cuaca, namun potongan badannya kelihatan jelas tertera di depan mata.

Ko Hong-liang menghembuskan napas panjang, dengan wajah hijau kepucat-pucatan ia berdiri sempoyongan, segera Ting Tong-ih memayangnya. Terdengar orang yang berada di balik kegelapan itu berkata, "Sewaktu bertempur melawan Lu Bun-chang tadi, kau sudah menderita luka luar, tidak ringan lukamu waktu itu, kemudian ketika bertarung melawan Yan Yu-gi, kau banyak kehilangan tenaga dalammu, sementara tiga bacokan yang dilancarkan Ni Jian-ciu telah menguras segenap kekuatan yang kau miliki, untung dia tidak menyerang secara maksimal, kalau tidak, mungkin luka yang kau derita akan jauh lebih parah."

"Tidak mengapa, asal beristirahat sejenak tenaga dalamku akan pulih kembali kata Ko Hong-liang sambil tertawa, kemudian sambil menuding Tong Keng, lanjutnya, "justru luka yang dideritanya jauh lebih parah ketimbang aku

"Kokcu, kau tak usah menguatirkan keselamatanku," cepat Tong Keng menanggapi, "badanku kekar bagai seekor kerbau, apalah artinya beberapa kali gebukan yang mampir di tubuhku?"

"Aah, mana ada orang melukiskan diri sendiri seperti seekor kerbau," seru Ting Tong-ih sambil tersenyum.

"Betul, dia bukan mirip kerbau, tapi lebih mirip seekor macan kumbang" sambung Ko Hong-liang sambil tertawa pula.

"Sayang macan kumbangnya goblok!" Tong Keng menambahkan.

Gelak tertawa pun segera berderai memecahkan keheningan.

Bukan hanya Ting Tong-ih berdua yang tertawa, bahkan orang yang berdiri di balik kegelapan pun ikut tertawa.

Kelihatannya orang itu tidak sedingin dan tidak berperasaan seperti hawa pembunuhan yang terpancar dari tubuhnya, dia pun tidak semisterius identitasnya.

Tiba-tiba Tong Keng berseru keras, "Mana Wan Hui?" Ternyata dia masih memikirkan keselamatan Wan Hui yang telah kabur terlebih dulu meninggalkan dirinya.

"Dia telah mati dibunuh Ni Jian-ciu!" sahut orang di balik bayangan gelap sambil menghela napas.

"Kalau toh kau mengetahui Ni Jian-ciu akan membunuh Wan Hui, mengapa tidak tampil untuk mencegahnya?"

"Saudara Tong," Ko Hong-liang segera menukas, "kalau dugaanku tak keliru, waktu itu Tayhiap ini sedang sibuk menjatuhkan para pengejar yang datang sambil menggotong cermin untuk mengunci gerak-gerik Ni Jian-ciu, jadi tak mungkin baginya untuk turun tangan di dua tempat yang berbeda."

Tong Keng melengak, beberapa saat kemudian baru ia berseru, "Ooh, maaf, kusangka kau memang tak ingin menyelamatkan jiwanya."

Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya, "Padahal aku sangat berterima kasih kepadamu karena kau telah menyelamatkan nyawaku, tapi aku pun tak berani bertanya siapa namamu."

Sejak kejadian di rumah pelacuran Kiok-hong-wan, dimana secara terbuka dia menanyai nama Ko Hong-liang, pemuda ini jadi lebih waspada dan hati-hati dalam bertindak.

Mendadak terdengar Ting Tong-ih berseru, "Kau bisa saja mengelabui orang lain, tapi jangan harap bisa mengelabui diriku."

Kemudian dengan nada yang sangat yakin katanya lebih jauh, "Aku tahu siapakah kau!"

Dengan perasaan terkejut Tong Keng menengok ke arah Ting Tong-ih.

"Kau adalah Kho Kit!" seru gadis itu lagi, "benar, kau pasti Kho Kit!" Kemudian sambil tersenyum kembali gadis itu berkata, "Aku adalah anak wanita, seringkali Kwan-toako bilang, aku jadi orang amat cermat, suara pembicaraan orang yang pernah kudengar satu kali saja, sampai delapan sepuluh tahun pun masih bisa aku kenali secara tepat."

Ketika menyinggung soal Kwan Hui-tok, senyumannya kelihatan lebih manis dan mesra, sinar kebahagiaan melintas di wajahnya, dia seolah-olah sedang bermimpi.

"Bahkan suara bersin atau orang menguap yang pernah kudengar, pasti bisa kupilah secara jelas."

Orang di balik kegelapan itu termenung beberapa saat, kemudian baru katanya, "Bagiku, asal bisa melihat darah yang menempel di ujung pedang, maka segera bisa kubedakan yang terluka di tubuh musuh adalah kaki atau tangannya, hatinya atau paru-parunya, bahkan parah tidaknya luka itu, mampukah mencabut nyawanya atau tidak, dari setetes darah yang terlihat, aku bisa memastikannya secara benar."

Suaranya masih dingin dan kaku, namun nadanya terdengar jauh lebih hangat.

"Tampaknya kemampuanmu masih setingkat di atasku!"

Sambil berkata, perlahan-lahan dia berjalan keluar dari balik kegelapan.

Ketika orang itu berjalan keluar dari tempat persembunyiannya, kebetulan rembulan purnama baru saja menongol dari balik awan gelap, seluruh permukaan bumi pun menjadi terang benderang.

Terdengar suara ringkikan kuda bergema memecah keheningan, angin berhembus menggoyang dedaunan di dahan pohon siong.

Pada pandangan pertama, Ko Hong-liang mengira dia sedang menyaksikan munculnya seekor hewan kekar yang muncul dari tanah pekuburan, tapi pada pandangan kedua, dia merasa suasana jauh lebih hangat dan bersahabat.

Semacam kehangatan yang dipenuhi tenaga kehidupan, kehangatan, ketegaran dan kesabaran.

Dengan penuh kegembiraan Tong Keng segera berteriak keras, "Kho Kit, aku selalu merindukan dirimu, ternyata kau belum mati... Kho Kit, kau membuatku amat kuatir!"

Sikap maupun penampilan Kho Kit saat ini jauh berbeda dengan Kho Kit sewaktu berada dalam tandu bersamanya tadi, tapi dia masih tetap sebagai Kho Kit.

"Aku tahu," jawab Kho Kit sambil tertawa, dengan sorot mata yang tajam dia mengawasi Tong Keng, sikapnya amat bersahabat dan penuh kehangatan, "padahal kita baru berjumpa satu kali, tak nyana kau begitu menaruh perhatian kepadaku."

"Kita pernah berjuang bersama, pernah menderita bersama, apakah tidak pantas menjadi seorang sahabat?" sahut Tong Keng cepat.

"Kalau dia tidak menganggapmu sebagai sahabat, mana mungkin menolongmu sampai dua kali?" sela Ko Hong-liang.

"Dua kali?" agaknya Tong Keng tidak habis mengerti. "Pertama kali sewaktu berada di pintu gerbang Kiok-hong¬ wan, dia dengan gumpilan lilin telah menghadang pengejaran sastrawan berkapak raksasa Gi Eng-si."

Tong Keng masih tak habis mengerti kapan Kho Kit pernah menolongnya, terdengar Kho Kit telah berkata, "Ko-kokcu, sungguh tajam penglihatanmu...”

Sambil berkata, tubuhnya kelihatan sedikit gemetar.

Ting Tong-ih yang tajam penglihatannya segera menyaksikan noda darah yang membasahi ujung bibir Kho Kit, segera serunya, "Kau ... kau terluka?" Dengan tenang Kho Kit membesut darah yang menodai ujung bibirnya. "Tidak masalah, luka yang tak berarti," sahutnya.

"Bagaimana mungkin kau bisa terluka?" tanya Ting Tong-ih lagi penuh perhatian, seakan seorang kakak yang menguatirkan adiknya yang tiba-tiba terjatuh hingga berdarah.

Sekali lagi sekulum senyuman menghiasi wajah Kho Kit. "Tusukan pedang yang dilancarkan ke tubuh Ni Jian-ciu tadi

telah menggunakan segenap kekuatan yang kumiliki, siapa

tahu baru sampai di tengah jalan sudah dipantulkan balik oleh tenaga dalamnya, tenaga pantulan itu tampaknya sempat melukai diriku ... tapi tidak menjadi masalah, kau tak perlu kuatir."

Betul-betul sebuah ilmu pedang yang sangat menakutkan!

Begitu serangan dilancarkan, jangankan musuh tak sanggup menghadapinya, bahkan diri sendiri pun tak mampu mengendalikan, begitu terhenti di tengah jalan, serangan itu malah berbalik melukai diri sendiri.

Jelas serangan pedang ini bukan merupakan jurus serangan, tapi merupakan nyawa dari pedang.

Orang yang menggunakan pedang itu telah membuat pedang memiliki nyawa sendiri, berdiri mandiri dan tidak berada di bawah kendali manusia.

Daya pengaruh yang dihasilkan ilmu pedang semacam ini merupakan himpunan kekuatan maha dahsyat dari perpaduan pedang itu sendiri dengan tubuh manusia, sehingga begitu dilancarkan, soal mati hidup sudah tak diperhitungkan lagi.

Kho Kit segera menjelaskan, "Sepuluh tahun lalu, ketika Ni Jian-ciu berhasil menguasai ilmu 'Auman harimau di tengah malam', kemampuannya sudah luar biasa, padahal sekarang dia telah menguasai ilmu 'Tiga mestika buli-buli', kehebatannya tak boleh dipandang enteng, akan tetapi aku tak ingin membunuhnya."

"Bukankah kau telah berhasil memukul mundur dirinya?" tanya Ting Tong-ih.

"Kemenanganku diraih karena aku menyerang di saat dia tak siap, selain itu aku pun telah memanfaatkan selembar cermin untuk menarik perhatiannya ... lagi pula dari ketiga buah buli-bulinya, baru satu yang ia gunakan."

Sambil mendongakkan kepala memandang rembulan di angkasa, katanya lebih jauh, "Orang ini berwatak emosional, gampang marah dan berangasan, langkah serta sepak terjangnya suka menonjolkan diri, bahkan mendekati jumawa, jika serangannya gagal mengenai sasaran, dia selalu enggan untuk mengulangi kembali serangannya, apalagi jika dia sampai dipaksa berada di bawah angin, jangan harap dia mau mengakuinya. Tapi ... di kemudian hari aku pasti akan mencarinya lagi untuk mengajaknya berduel."

"Apakah kau ... kau yakin bisa mengunggulinya?" tanya Tong Keng cemas.

"Kalau dia pun tak bisa mengungguli, jangan harap orang lain bisa menangkan orang ini," kata Ko Hong-liang tiba-tiba, "si Auman harimau di tengah malam memang hebat, tapi kalau dibilang empat opas dari kolong langit pun tak sanggup mengunggulinya, siapa yang mau percaya perkataan ini?"

Tong Keng berdiri dengan mata terbelalak dan mulut melongo, diawasinya wajah Ko Hong-liang tanpa berkedip.

Terdengar Ko Hong-liang dengan suara dingin berkata, "Pedang siapa yang memiliki hawa pembunuhan sebesar itu? Ilmu pedang siapa yang begitu hebat bahkan menguasai kepandaian sehebat itu dalam usia yang sangat muda? Siapa pula yang mampu memukul mundur Ni Jian-ciu dalam satu gebrakan? Siapa pula yang bisa melukai diri sendiri karena menghentikan serangan di tengah jalan?" Setelah berhenti sejenak, sepatah demi sepatah dia melanjutkan, "Leng-hiat si darah dingin, bila kau hendak membekuk kami untuk kasus berdarah ini, silakan saja lakukan, tak usah bermain kucing mempermainkan tikus lagi, sudah ditangkap sengaja dilepas lalu ditangkap lagi."

Tong Keng membelalakkan matanya lebar-lebar sambil mengawasi Kho Kit.

Mata pedang boleh dingin, dinginkah hati manusia?

Dinginkah darah manusia?

Kho Kit tertawa.

"Aku adalah Leng-hiat!" katanya memperkenalkan diri, senyuman itu seolah sudah melumerkan semua kebekuan salju yang semula menyelimuti wajahnya, mendatangkan kehangatan yang sukar ditampik oleh siapa pun.

"Sebenarnya aku datang untuk membekuk kalian," Leng- hiat melanjutkan, "tapi kelihatannya aku tak bakal menangkap kalian semua."

"Kenapa?" Ko Hong-liang segera bertanya.

"Sebab kalian tidak bersalah, kalian hanya difitnah" jawab Leng-hiat, "selamanya aku tak pernah menangkap orang tak bersalah, apalagi orang yang difitnah."

Tiba-tiba Ko Hong-liang merasa matanya basah, basah oleh lelehan air mata.

Orang yang tak pernah difitnah, tak pernah dijadikan kambing hitam, tak bakalan bisa merasakan betapa tersiksa dan menderitanya orang yang difitnah dan dijadikan kambing hitam. Apalagi ketika tidak dipercaya orang lagi, harus berlarian di jalanan seperti seekor tikus yang digropyok beramai-ramai orang sekampung.

Tapi kini ternyata ada orang yang mengatakan bahwa mereka tidak bersalah, mereka hanya dijadikan kambing hitam, difitnah orang, bahkan orang yang mengatakan hal itu adalah seorang jagoan sangat tangguh yang sebenarnya sedang memburu dan hendak membekuk mereka.

Tong Keng segera berpaling ke arah Ting Tong-ih sambil berseru, "Enci Ting, hal ini...”

Sambil menggigit bibir Ting Tong-ih melirik Leng-hiat sekejap, kemudian sahutnya, "Aku sendiri pun tidak jelas, dia belum lama bergabung dengan perkumpulan Bu-su-bun, bahkan seringkali tidak berada di tempat, Toako yang menarik dia masuk partai, lagipula banyak kejadian yang tidak diikuti dirinya, malah dia sempat lenyap selama beberapa hari ... sampai saat kami hendak membongkar penjara untuk menolong Toako baru ia menampilkan kebolehannya”

Mimik mukanya saat ini tak bisa dibedakan apakah sedang gembira atau gusar, terusnya, "Aku sama sekali tidak tahu kalau Kho Kit adalah Leng-hiat, seorang saudara kecil yang belum lama bergabung dalam perkumpulan Bu-su-bun ternyata adalah anggota empat opas yang paling muda dan paling ganas, Leng-hiat si darah dingin."

"Maaf," segera Leng-hiat berseru, "oleh karena aku sedang melacak dan melakukan penyelidikan atas kasus ini, maka untuk sementara waktu identitasku terpaksa harus dirahasiakan."

"Tapi malam ini kau telah menolongku, bahkan sudah membongkar identitasmu, apakah kau masih berniat merahasiakan asal-usulmu lagi?" tanya Ting Tong-ih lembut.

Leng-hiat mengangguk.

"Tapi kau masih tetap membohongi kami akan satu hal," kata Ting Tong-ih cepat.

Dengan pandangan tercengang Leng-hiat berpaling mengawasi gadis itu. Sambil tersenyum Ting Tong-ih berkata lebih jauh, "Kau bilang asal melihat darah, maka kau bisa menentukan darah itu berasal dari mana, tapi menurut pendapatku, kemampuan Leng-hiat dalam mengingat wajah dan suara orang bahkan jauh di atas kemampuan yang kumiliki."

Setelah tertawa terkekeh-kekeh, terusnya lagi, tapi kali ini dengan wajah yang amat dingin, "Opas Leng, terima kasih banyak atas pujianmu, tapi aku tak ingin mendengar perkataan bohong, dalam keadaan senang atau susah aku tak ingin mendengarkan perkataan yang tidak sejujurnya."

Leng-hiat selain terkenal karena keganasan pedangnya, kebesaran nyalinya dan kenekadannya yang nomor wahid, dia pun termashur sebagai orang yang tak mudah melupakan wajah orang yang pernah dijumpainya dan tak pernah melupakan suara orang yang pernah didengarnya.

Tampaknya si darah dingin tidak menyangka kalau Ting Tong-ih akan mengajukan perkataan itu di saat seperti ini, sesudah tertegun beberapa saat sahutnya, "Aku sama sekali tidak berbohong."

"Kalau begitu ada beberapa pertanyaan ingin kuajukan kepadamu," ujar Ting Tong-ih sambil menatap tajam lawannya.

Ada orang bilang, hati Leng-hiat diasah dengan pedang, oleh sebab itu dia tak takut sakit, susah, terluka atau mati.

Tapi setelah mendengar perkataan Ting Tong-ih yang dingin bagaikan es itu, hati Leng-hiat seolah mati secara mendadak.

Ditatapnya gadis itu sekejap, sekarang baru ia merasakan betapa indahnya lekukan tubuh gadis itu, betapa cantiknya wajah gadis itu, terutama sepasang lesung pipinya yang begitu indah. Segera dia mengendalikan gejolak perasaannya sambil berseru, "Tanyalah!"

Ting Tong-ih tidak langsung bicara, dari sakunya dia mengeluarkan sebatang hio, menyulutnya lalu bersembahyang ke atas langit, bibirnya yang mungil kelihatan komat-kamit entah apa yang sedang didoakan.

Kemudian setelah menancapkan hio itu ke atas tanah, baru berpaling.

ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar