Misteri Lukisan Tengkorak Bab 05 : Melarikan Diri

5. Melarikan Diri.

Untuk sesaat Kwan Hui-tok masih belum merasakan kesakitan, dia hanya merasa gusar, sedih bercampur benci.

Sementara itu suasana di arena pertarungan pun menjadi hening seketika.

Li Wan-tiong dengan mengangkat tangan menunjuk bekas noda darah yang memanjang di bawah dagu Kwan Hui-tok, katanya dengan bangga, "Bagaimana? Sekarang kau sudah terjatuh ke tanganku bukan?"

Sebetulnya dia hendak bicara lebih lanjut, tapi sorot mata lawan yang begitu menyeramkan seketika membuatnya bungkam.

Menyusul kemudian terdengar suara teriakan pilu dari gadis itu. Tiba-tiba Yan Yu-gi berteriak keras, "Kongcu, cepat bunuh dia, cepat!"

Suara teriakannya terdengar sedikit gemetar.

Sementara Li Wan-tiong masih melengak, tahu-tahu Kwan Hui-tok telah mengayun telapak tangannya, dengan tangan sebelah yang masih tersisa dia menjotos wajah pemuda itu dengan kuat.

Ilmu silat yang dimiliki Li Wan-tiong tidak terhitung bagus, namun jotosan dari Kwan Hui-tok pun dilancarkan tanpa memakai peraturan, dalam gugupnya lekas Li Wan-tiong menangkis dengan pedangnya, tapi Kwan Hui-tok sama sekali tidak menarik balik serangannya itu.

"Blaaaam!", jotosan itu dengan telak menghajar wajah Li Wan-tiong, membuat hidungnya langsung berdarah, tubuhnya mencelat ke belakang tapi tusukan pedangnya berhasil juga menembus lengan lawan.

Sambil membentak nyaring gadis itu menerkam ke hadapan Kwan Hui-tok, pedangnya diputar membentuk gulungan bunga pedang yang tebal, sedemikian hebatnya serangan itu memaksa Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi yang berusaha mendesak maju kembali terpukul mundur.

Kini Kwan Hui-tok mulai merasakan rasa sakit yang merasuk hingga ke tulang sumsum, serunya dengan parau, "Kau cepat kabur, kalian cepat kabur...”

Sambil memutar pedangnya semakin kencang, tiada hentinya gadis itu berpaling memandang Kwan Hui-tok seraya berseru, "Tidak, aku tak akan pergi, aku tak akan pergi, kalau mau pergi, kita pergi bersama”

Sekonyong-konyong terdengar Li Wan-tiong menjerit aneh, suaranya keras bercampur ngeri, tapi hanya sejenak kemudian jeritan itu terputus di tengah jalan. Rupanya setelah termakan pukulan Kwan Hui-tok tadi, tubuhnya terlempar ke belakang, baru saja dengan susah payah ia berhasil berdiri tegak, mendadak dari depan dadanya menongol keluar ujung golok yang bercampur dengan semburan darah.

Mula-mula Li Wan-tiong tertegun, kemudian setelah mengetahui apa yang menimpa dirinya, dia pun menjerit ngeri, tampaknya dia tidak percaya kalau kenyataan yang menakutkan dan menyeramkan itu sudah menimpa dirinya.

Tapi belum lagi jeritan ngerinya bergema di udara, nyawanya sudah keburu melayang meninggalkan raga.

Ternyata orang yang menghadiahkan tusukan golok dari punggungnya adalah Tong Keng.

Kepandaian silat Tong Keng tidak lebih tinggi dibanding kungfu yang dimiliki kawanan lelaki berpakaian ketat itu, dalam hal kemampuan bertarung pun dia tidak menonjol sehingga untuk sesaat dia tak tahu bagaimana harus menjalin kerja sama yang baik dengan kawanan jago itu.

Dalam keadaan begitu, terpaksa dia hanya bisa berdiri melongo sambil mengikuti jalannya pertempuran di tengah arena.

Sampai Li Wan-tiong secara licik membokong Kwan Hui-tok hingga kehilangan sebelah tangannya, Tong Keng seketika merasa darah di tubuhnya mendidih, dia langsung menerjang ke muka, tanpa berpikir panjang lagi disambarnya sebilah golok yang tergeletak di tanah.

Sewaktu Li Wan-tiong secara kebetulan terlempar jatuh ke belakang, dia pun segera memanfaatkan kesempatan itu menghujamkan goloknya ke punggung lawan.

Tusukan goloknya itu seketika menghujam punggung Li Wan-tiong hingga tembus ke dada, tak ampun lagi tewaslah pemuda keji itu seketika. Menyaksikan kematian Li Wan-tiong, semua jago yang hadir di arena menjadi terperangah.

Sampai lama kemudian, Yan Yu-gi baru berseru agak tergagap, "Kau...”

"Kongcu Yan...” Yu-sim pun mencoba berteriak memanggil. Sementara itu Tong Keng telah melepaskan tangannya, Li

Wan-tiong berikut golok yang tembus di dadanya seketika

roboh terjerembab ke tanah, kini semua orang dapat melihat kalau Li Wan-tiong telah tewas.

Tong Keng sendiri pun mulai menyadari, di dalam amarah yang meluap tadi meski dia telah melakukan satu perbuatan yang memuaskan hati, namun sebuah kesalahan besar telah dilakukannya.

Di antara sekian banyak jago yang hadir, hanya pemuda biadab itu yang paling terhormat dan paling tinggi kedudukannya, walaupun dia juga yang memiliki kepandaian silat paling rendah, semestinya orang itu tak boleh dibunuh, melainkan harus dijadikan sandera, dengan demikian semua orang baru bisa meninggalkan tempat itu dengan selamat.

Tapi sekarang, dia justru telah menghabisi nyawanya!

Tong Keng memandang sekejap mayat yang tergeletak di hadapannya, dengan cepat cucuran darah segar menggenangi seluruh permadani putih itu dan mulai mengalir menuju ke kakinya, tanpa terasa dia mundur selangkah.

Selama ini dia tak pernah menyangka kalau suatu hari nanti dia akan menghabisi nyawa putra tunggal seorang pejabat tinggi karesidenan, putra Tihu Cing-thian-sian propinsi Soat- say yang tersohor karena disegani baik oleh kawanan Hek-to maupun Pek-to.

Mendadak terdengar Kwan Hui-tok berseru keras, "Kalian harus berhasil menyelamatkan dirinya!" Ucapan itu jelas ditujukan kepada gadis itu.

Si nona nampak agak tertegun, tapi sesaat kemudian ia sudah mengerti siapakah 'dia' yang dimaksud.

Begitu menyelesaikan perkataannya, Kwan Hui-tok dengan wajah pedih kembali berseru keras, "Jaga diri baik-baik, cepat kabur!"

Mendadak ia meluncur ke depan dan membenturkan kepalanya di atas dinding ruangan.

Percikan darah segar kembali berhamburan kemana-mana, tak sempat memberikan pertolongannya si nona bersama beberapa orang lelaki berpakaian ringkas itu berseru kaget, "Toako...!"

Dalam pada itu Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi sudah menghampiri mayat Li Wan-tiong, sambil bergerak mendekat mereka melepaskan sebuah pukulan dahsyat.

Saat itu Tong Keng masih berdiri dengan mata terbelalak dan mulut melongo, gulungan angin pukulan yang sangat kuat itu kontan membuat badannya mundur dengan terhuyung.

Ketika menyaksikan Kwan Hui-tok sudah mati membenturkan diri ke tembok, keempat lelaki berpakaian ringkas itupun menjadi kaget, untuk sesaat pikiran mereka menjadi kalut dan tak tahu apa yang mesti dilakukan.

Mendadak dari atas atap rumah melayang turun seorang lelaki kekar, begitu mencapai tanah serunya, "Enci Ting, kita

...?”

Waktu itu Ting Tong-ih masih berlutut di hadapan jenasah Kwan Hui-tok dengan membelakangi mereka, dia sedang menangis sesenggukan.

Ketika Yan Yu-sim memastikan Li Wan-tiong sudah menghembuskan napas terakhir, dengan wajah pucat kehijau- hijauan ia segera bangkit berdiri, teriaknya, "Bunuh semuanya tanpa ampun!"

Yan Yu-gi dengan cepat menyelinap ke sisi mayat Li Wan- tiong, kemudian menyambar lukisan kulit manusia yang tergeletak di tanah.

Keempat lelaki berpakaian ringkas itu serentak menyiapkan senjata masing-masing dan siap menghadapi serangan musuh.

Liong Giam-ong tergopoh-gopoh lari keluar dari ruangan, sambil berlari dia berteriak minta tolong.

Pada saat itulah mendadak Ting Tong-ih berpaling, waktu menoleh sebetulnya masih ada bekas air mata di wajahnya, tapi berbareng dia menyeka air matanya, kemudian dengan nada suara yang rendah, berat dan penuh perasaan sedih bercampur dendam serunya, "Segera lindungi orang ini dan tinggalkan tempat ini!"

"Bagaimana dengan jenazah Toako?" tanya lelaki bersenjata cula itu.

Sebenarnya dia bermaksud membopong jenazah Kwan Hui- tok untuk dibawa pergi, tapi secara tiba-tiba Ting Tong-ih mengayunkan tangannya berulang kali melepaskan beberapa titik bintang api, dalam waktu singkat terjadilah kebakaran yang sangat hebat di tempat itu, bukan saja barang yang ada di sekitar sana terbakar hebat, bahkan jenazah Kwan Hui-tok ikut terbakar.

"Enci Ting ” seru lelaki kekar itu tercengang.

Ting Tong-ih mengebaskan tangannya sambil bangkit berdiri, katanya, "Orang sudah mati ”

Dengan cepat dia menyelinap ke samping Tong Keng.

Waktu itu Tong Keng masih berdiri termangu, dia hanya merasakan pandangan matanya kabur, lalu terendus bau harum semerbak, tahu-tahu gadis itu sudah tiba di hadapannya.

Kini Tong Keng baru bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas, ternyata nona itu memiliki wajah yang cantik tapi sendu, biarpun tidak terlalu lincah namun tidak menutupi keanggunannya.

Melihat kepedihan yang mencekam nona itu, untuk sesaat Tong Keng berdiri tertegun, dia seakan lupa kalau dirinya sedang berada dalam situasi berbahaya, seolah baru berjumpa dengan sanak keluarganya, ingin sekali dia mengucapkan beberapa patah kata menghibur, seakan juga seorang ayah yang bertemu dengan putrinya menjelang ajalnya.

Ting Tong-ih sama sekali tidak memandang ke arahnya, hanya serunya, "Kenapa kau belum juga pergi?"

"Tangkap pembunuh jahanam itu!" bentak Yan Yu-gi nyaring.

Dengan satu gerakan cepat Ting Tong-ih menyambar tangan Tong Keng, kemudian bagai selapis awan berwarna ungu, dia menjebol atap rumah dan langsung menerobos keluar.

Yan Yu-sim, Yan Yu-gi serta Gi Eng-si segera berpencar melakukan pengepungan, tapi tiga lelaki kekar bersenjata cula, golok bergigi serta martil berantai serentak melakukan penghadangan, hanya pemuda kekar tadi yang mengikuti Ting Tong-ih serta Tong Keng meluncur keluar dari ruangan.

Baru saja ujung kaki Ting Tong-ih menginjak di atas atap rumah, suara desingan angin tajam telah menderu dari empat penjuru, tahu-tahu dari sekeliling tempat itu sudah berhamburan anak panah.

Lekas Ting Tong-ih mengebaskan mantel ungunya kian kemari, di antara gulungan angin tajam, anak panah yang tertuju ke arahnya kontan tersampuk runtuh. Sebelum meninggalkan tempat itu dia sempat menengok ke bawah lubang atap seraya berseru, "Jangan bertarung kelewat lama, cepat kabur...”

Hanya beberapa patah kata itu saja yang sempat diucapkan, karena kata berikutnya sudah tak perlu disampaikan lagi. Rupanya saat itu juga dia telah menyaksikan keadaan yang sebenarnya di tempat itu.

Dari sekilas pandang, dia sadar kalau ketiga saudaranya sudah tak mungkin lagi melepaskan diri dari kepungan untuk menghadang pengejaran dari dua bersaudara Yan serta Gi Eng-si, mereka telah mempertaruhkan sisa kekuatan yang dimiliki.

Sebenarnya dia bersama tiga orang lelaki yang berada di bawah ruangan maupun dengan tiga orang yang sedang bertarung dalam penjara mempunyai hubungan yang lebih akrab dari hubungan saudara, bila berada dalam keadaan biasa, jika mereka terlibat dalam pertarungan antara mati hidup, dia pun tak nanti akan kabur seorang diri.

Namun setelah melirik sekejap situasi di bawah sana, dia pun segera mengambil keputusan, bagaimanapun juga dia harus keluar dari situ dalam keadaan hidup.

Tiba-tiba pedangnya lenyap dari pandangan.

Mantel lebarnya segera menggulung bagaikan amukan topan, seakan sekuntum warna unggu yang tidak terkendali, dengan cepat menyapu ke hadapan kawanan prajurit kerajaan yang sudah mulai mengepung sekitar tempat itu.

Melihat datangnya gulungan sinar ungu itu, lekas kawanan prajurit itu melolos goloknya untuk menangkis, sayang, dimana cahaya ungu itu menggulung tiba, seketika ada beberapa orang prajurit yang tersapu roboh. Ketika mereka menyaksikan munculnya ujung pedang berwarna biru di antara gulungan mantel itu, mau menghindar sudah tak sempat lagi.

Tong Keng serta pemuda gagah itupun melancarkan serbuan dengan sepenuh tenaga, ia berhasil merampas sebatang tombak berbulu merah, sementara senjata yang digunakan pemuda itu adalah peluru perak, mereka berdua bahu-membahu menerjang keluar kepungan.

Dimana ayunan mantel Ting Tong-ih menggulung lewat, kawanan prajurit itu ibarat ranting kayu kering yang diterjang topan, langsung bergelimpangan, tidak hanya begitu, nona itu bergerak pula ke belakang Tong Keng dan pemuda kekar itu, lalu merobohkan pula beberapa orang musuh yang menghadang jalan mundur mereka.

"Enci Ting, geser ke barat-daya!" seorang lelaki kurus berbaju hitam berseru keras.

Ting Tong-ih segera menarik tangan Tong Keng, kemudian bergerak menuju ke barat-daya.

Baru saja bergerak ke situ, mendadak dari atas tembok pekarangan bermunculan tujuh delapan orang pengawal yang rupanya sejak tadi sudah mendekam di balik wuwungan rumah, mereka segera menyebarkan diri dan melakukan pengepungan.

Baru saja Tong Keng siap menggempur lawan, tampak sekilas cahaya pedang berwarna unggu sudah menyambar lewat, dimana cahaya itu bergerak, musuh satu demi satu roboh bergelimpangan.

Tiba-tiba ting Tong-ih menghentikan gerak tubuhnya.

Ternyata di bawah cahaya rembulan, persis di atas tembok pekarangan telah berdiri seseorang.

Sekilas pandang orang itu kelihatan samar-samar, sehingga mirip sekali dengan sesosok mayat hidup. Tong Keng tertegun, tapi dengan cepat dia dapat mengenali orang itu sebagai Yan Yu-sim.

"Po-hong Losat (iblis wanita bermantel ungu), lebih baik buang pedangmu, kau masih bukan tandingan kami," jengek Yan Yu-sim dengan nada dingin.

Ting Tong-ih tidak menjawab. Tahu-tahu pedangnya kembali bergerak melancarkan serangan.

Bagai segumpal awan berwarna ungu, serangan itu langsung menggulung ke tubuh Yan Yu-sim, sementara ujung pedangnya langsung menusuk ke kening lawan.

Yan Yu-sim mendengus dingin, dia sama sekali tak berkedip, bergeming pun tidak, ditunggunya sampai ujung pedang lawan mendekati alis matanya, tahu-tahu dia miringkan kepalanya dan tusukan itupun mengenai sasaran kosong.

Gagal dengan serangan pertama, sekali lagi Ting Tong-ih melancarkan tusukan kedua.

Sekali lagi Yan Yu-sim berdiri menanti, sampai ujung pedang hampir menyentuh badannya, ia baru mundur selangkah dan lolos dari tusukan yang tertuju ke dadanya itu.

Di bawah perlindungan gulungan mantel, ujung pedang nona itu selalu muncul secara tiba-tiba dan biasanya akan membuat lawan kelabakan, tapi hal ini tidak berlaku untuk Yan Yu-sim, setiap kali situasi sudah kritis dan ujung senjata sudah hampir menyentuh badannya, secara mudah dia dapat meloloskan diri.

Ting Tong-ih menggetarkan mantelnya semakin kuat, bagaikan bunga mawar yang sedang merekah, lapis demi lapis bayangan hitam seolah menyelimuti seluruh angkasa.

Berkilat sepasang mata Yan Yu-sim, dengan sorot mata berwarna biru yang aneh dia awasi gulungan mantel lawan tanpa berkedip, dia pun sama sekali tidak bergeser dari posisi semula.

Di bawah gulungan mantel ungu, sama sekali tak nampak cahaya pedang.

Tak selang berapa saat kemudian seluruh tubuh Yan Yu- sim sudah tergulung di balik mantel ungu itu.

Pada saat itulah tiba-tiba Ting Tong-ih melancarkan tusukan, ujung pedangnya menembus gulungan mantel dan langsung menusuk ke badan Yan Yu-sim.

"Plaaak!", tiba-tiba Yan Yu-sim turun tangan, dengan jari tengahnya dia menyentil tubuh pedang itu.

Ting Tong-ih terkesiap, lekas tangan kanannya memperkuat genggaman senjatanya, sementara tangan kirinya menggulung, mantel ungu itu langsung menggulung ke arah tengkuk lawan.

Saat itulah terdengar suara bentakan bergema berulang kali dari bawah atap rumah, kemudian terlihat Gi Eng-si dengan memainkan kapak raksasanya melejit ke udara.

Tong Keng dengan tombak panjangnya menyerang ke sana kemari dengan garangnya, tapi sayang, petugas pengadilan dan pasukan prajurit yang mengepungnya makin lama makin bertambah banyak, di bawah cecaran musuh yang begitu banyak, Tong Keng mulai kewalayahan, permainan tombaknya juga semakin parah, keadaannya sekarang ibarat tombak yang mempermainkan manusia dan bukan manusia yang mempermainkan tombak.

Menyaksikan hal ini Ting Tong-ih semakin gelisah.

Tiba-tiba terdengar Yan Yu-sim yang terkurung di balik gulungan mantelnya berbisik, "Nona, cepat serbu ke arah dalam gedung, tempat itu adalah rumah tinggal kaum wanita dan anak-anak, tidak banyak pasukan yang berjaga di situ, setelah tiba di sisi gedung bertingkat yang paling tinggi, segera berbeloklah ke arah barat-daya, dari situ kau bisa meloloskan diri dari kepungan."

Mendengar bisikan itu Ting Tong-ih seketika tertegun, untuk sesaat dia tak berani mempercayai perkataan lawannya itu.

Bila ditinjau dari kemampuan Yan Yu-sim berbisik kepadanya, dapat disimpulkan juga bahwa gulungan mantel tebal itu sama sekali tak berdaya mengendalikan gerak- geriknya, tapi yang membuat gadis itu ragu adalah bisikan Yan Yu-sim barusan.

Kalau dianalisa dari perkataan Yan Yu-sim itu, jelas ia sedang memberi petunjuk sebuah jalan kehidupan padanya. Tapi dapat dipercayakah perkataan Yan Yu-sim? Belum sempat Ting Tong-ih mengucapkan sesuatu, pergelangan tangannya terasa bergetar keras, gulungan mantelnya tak mampu lagi mengendalikan Yan Yu-sim dan mulai terpental balik keluar.

Saat itulah tiba-tiba Yan Yu-sim menjerit kesakitan, kemudian tubuhnya roboh terjungkal dari atas dinding pekarangan.

Ting Tong-ih melirik sekejap ke bawah, tampak olehnya beratus petugas pengadilan dan pasukan prajurit sedang meluruk maju ke muka, dia tak berani ayal lagi, tanpa pikir panjang ditariknya tangan Tong Keng lalu secara beruntun melancarkan beberapa kali tusukan untuk merobohkan tiga empat orang.

Baru saja dia akan menolong pemuda kekar itu, terlihat olehnya anak muda itu sudah dikurung Gi Eng-si dengan rapat, sadar kalau bala bantuannya tak bakal mendatangkan hasil, dengan cepat tubuhnya melesat menuju ke arah gedung bagian belakang. Betul juga, tindakan Ting Tong-ih yang berbalik arah menerobos masuk ke gedung bagian belakang seketika membuat para musuhnya tercengang bercampur kaget.

Terdengar Yan Yu-sim yang berada di bawah mulai berteriak keras, "Cepat, cepat pergi melindungi keluarga Thayjin!"

Penjagaan di gedung bagian belakang memang sangat longgar dan kendor, kini suasana menjadi kalut dan kacau tak karuan.

Dengan cepat Ting Tong-ih dan Tong Keng sudah menyelinap ke kebun bagian belakang, betul juga, mereka segera menjumpai sebuah bangunan loteng yang amat tinggi, dari situ mereka berbelok menuju ke arah barat-daya dan berlari menelusuri tembok pembatas bangunan.

Sepanjang perjalanan mereka hanya menjumpai dua kali penghadangan, tapi dengan permainan mantel yang dipadukan dengan serangan pedang, Ting Tong-ih kembali berhasil merobohkan tiga orang musuh.

Tiba-tiba terdengar suara pekikan nyaring berkumandang dari bawah dinding pekarangan, terlihat sebuah kereta kuda sudah diparkir di bawah dinding itu.

Di samping kereta berdiri dua orang lelaki kekar yang saat itu sedang mendongakkan kepala memandang ke atas tembok.

Seorang kakek duduk di belakang kursi sais, tangannya menggenggam sebuah cambuk, sementara wajahnya penuh dicekam perasaan gelisah bercampur cemas.

Begitu melihat kemunculan Ting Tong-ih, ketiga orang itu segera berseru kegirangan, "Mana Toako?"

Ting Tong-ih menggelengkan kepalanya berulang kali. Perasaan kecewa seketika melintas di wajah ketiga orang itu, salah seorang di antaranya langsung melolos goloknya dan ikut menyerbu ke dalam.

Tapi seorang rekannya, lelaki beralis tebal dan bermata tajam segera menarik tangannya seraya menghardik, "Telur kerbau! Mau apa kau?"

Lelaki yang disebut telur kerbau itu meronta keras, teriaknya, "Jangan halangi aku, aku mau membalas dendam sakit hati engkoh Kwan!"

Tiba-tiba Ting Tong-ih mendengar suara desingan angin tajam bergema dari arah belakang, ketika berpaling, ia saksikan pemuda kekar itu sedang berlari dengan napas tersengal-sengal, sementara di belakangnya mengikut satu rombongan pengejar yang dipimpin Gi Eng-si, kelihatan sekali kapak peraknya yang berkilauan ketika tertimpa cahaya.

Ting Tong-ih langsung melompat turun ke bawah, tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia langsung menampar si telur kerbau.

Baru saja si telur kerbau berdiri melengak, kembali Ting Tong-ih menghardik, "Kau ingin membalas dendam? Kalau maju lebih ke depan, berarti kau ingin mampus!"

Sementara itu kakek yang bertindak sebagai sais kereta telah berseru keras, "Nona Ting, cepat naik ke atas kereta!"

Tanpa banyak bicara lagi Ting Tong-ih menggapai ke arah Tong Keng dan pemuda itu, kemudian mereka bertiga bersama-sama menerobos masuk ke dalam kereta.

Kepada dua orang lelaki yang berada di luar, kembali nona itu menghardik, "Kenapa kalian tidak segera masuk!"

"Kalau terlalu banyak penumpang, kereta ini tak bisa berlari cepat, biar kami memancing kawanan pengejar itu!" sahut lelaki beralis tebal bermata besar itu. Mendengar perkataan itu, Ting Tong-ih segera memandang mereka sekejap, memandang dengan penuh perasaan.

Walaupun hanya memandang sekejap, namun reaksi si telur kerbau dan lelaki bermata besar itu sangat mendalam, gadis itu manggut-manggut.

Tak lama kemudian kakek itu sudah membentak keras dan keempat ekor kuda penarik kereta pun mulai berlarian kencang meninggalkan tempat itu.

Pemuda bersenjata peluru perak itu sudah melompat naik ke atas kereta, tampak lengan dan jidatnya basah oleh keringat serta darah, namun sambil berpegangan pada sisi kereta, matanya mengawasi luar kereta tanpa berkedip.

Tong Keng ikut menengok ke belakang, ternyata kawanan petugas pengadilan sudah berlompatan turun dari atas dinding, sementara dari empat arah bermunculan pasukan prajurit, tak lama kemudian kedua orang lelaki kekar itu sudah terkepung rapat.

Kereta kuda itu dilarikan berlawanan arah dengan dua orang lelaki terkepung itu, tak selang berapa saat kemudian bayangan tubuh mereka sudah berubah menjadi setitik bayangan hitam, namun dari kejauhan masih tampak dengan jelas bagaimana mereka sudah terlibat dalam pertarungan sengit melawan para pengepung itu.

Kereta kuda berlari kencang, di antara deru angin yang keras Tong Keng menarik napas panjang, meskipun sekarang ia sudah menjadi manusia bebas, akan tetapi perasaan hatinya justru bertambah murung dan berat.

Ting Tong-ih duduk membelakangi mereka berdua, sepanjang perjalanan dia hanya membungkam diri.

Sementara si kakek yang berada di depan berulang kali membentak nyaring, bentakan itu entah ditujukan agar lari kuda bertambah cepat atau ingin menggunakan cara itu untuk melampiaskan semua kekesalan hatinya.

Beberapa saat kemudian mendadak dari arah belakang tampak debu dan pasir beterbangan, rupanya ada tujuh delapan ekor kuda sedang berlarian kencang mendekati kereta kuda itu.

Suara cambuk si kakek terdengar semakin keras, pemandangan dari sisi jendela pun kian lama kian bertambah cepat, tak lama kemudian mereka sudah menerobos masuk ke dalam kota.

Suasana di dalam kota menjadi kacau, para pejalan kaki lekas menyingkir ke samping menghindarkan diri, tapi si kakek tetap bersikap tenang, biarpun dalam kepanikan dan kecemasan, laju kereta kuda itu sama sekali tak berkurang.

Bukan saja lajunya kereta itu tak sampai menyentuh orang lain, namun juga roda kereta pun tak pernah menyentuh para pedagang kaki lima yang berada di tepi jalan.

Berbeda sekali dengan para pengejar yang ada di belakang, kekacauan yang ditimbulkan karena larinya kuda mereka menimbulkan kepanikan luar biasa di kota itu, setiap kali melalui tikungan jalan atau jalanan yang agak sempit, kalau bukan mereka sendiri yang terjungkal dari atas pelana, tentu ada pejalan kaki yang diterjang hingga jatuh terjerembab, keadaannya sangat mengenaskan.

Tiba-tiba terdengar salah satu penunggang kuda itu berteriak keras, "Jangan biarkan pembunuh itu kabur dari pengejaran!"

Sambil berteriak ia mempercepat lari kudanya untuk melakukan pengejaran.

Mendadak dari tepi jalan bermunculan delapan sembilan orang opas, sambil meloloskan golok mereka membentak keras, "Hentikan kereta! Hentikan kereta!" Kakek itu segera menengok sekejap ke arah Ting Tong-ih.

Bagaikan baru sadar dari lamunan Ting Tong-ih segera menganggukkan kepalanya berulang kali.

Kakek itu tampak mendesis perlahan, tali les kudanya dikencangkan dan kereta itupun memperlambat larinya.

Seorang opas yang menghadang jalan kereta itu segera menghardik, "Semuanya menggelinding turun dari dalam kereta”

Belum selesai suara bentakan itu, kakek itu sudah berpekik nyaring, cambuknya digetarkan di udara membentuk empat bunga cambuk, lalu dilecutkan ke punggung keempat kuda itu.

Mendapat lecutan secara tiba-tiba, keempat ekor kuda itu meringkik panjang dan kemudian berlarian dengan cepatnya.

Mimpi pun opas itu tak menyangka kalau kereta berjalan cepat secara tiba-tiba, tak sempat menghindarkan diri, tubuhnya langsung tertumbuk hingga ia jatuh telentang, sementara ketiga orang rekan lainnya lekas menyingkir ke samping menghindarkan diri.

Sisanya yang tiga orang segera mencabut golok dan langsung dibacokkan ke tubuh kuda-kuda itu.

Melihat hal ini Ting Tong-ih membentak nyaring, tangannya segera diayunkan ke muka, terlihat cahaya perak selembut rambut segera melesat ke depan dan merobohkan dua orang opas di antaranya, sedang orang ketiga baru saja mengayunkan golok, cambuk si kakek sudah menggulung tiba dan menjerat goloknya.

Kereta kuda kembali meneruskan terjangannya ke depan.

Tak lama kemudian ada tiga ekor kuda pengejar yang berhasil mendekati kereta itu, penunggangnya adalah tiga orang lelaki yang tampak kekar dan cekatan. Salah seorang di antaranya telah melolos busur dan berulang kali melepaskan anak panah, tapi karena dibidikkan dari punggung kuda yang sedang berlari kencang, bidikannya kurang akurat sehingga dengan mudah berhasil dirontokkan oleh Tong Keng dan pemuda itu.

Sekonyong-konyong seekor kuda yang berada di paling belakang melampaui tiga ekor kuda di depannya, orang yang berada di atas kuda itupun sedang mementang busurnya, ternyata dia adalah Yan Yu-gi.

"Sreeet!", anak panah sudah dilepaskan dari busur, kebetulan pada saat itu kakek kusir kereta itu sedang mengendalikan kuda-kudanya untuk membelok di sebuah tikungan. Walaupun bidikan panah itu sangat kuat, ternyata anak panah itu menyambar lewat di antara Tong Keng dan pemuda itu dan mengenai sasaran kosong.

Meskipun tidak mengenai Tong Keng berdua, namun anak panah itu masih meluncur ke depan dengan kuatnya, kali ini yang menjadi sasaran adalah punggung kakek itu.

Baik Tong Keng maupun pemuda itu tahu kepandaian silat yang dimiliki Yan Yu-gi sangat tangguh, melihat panah itu mengenai sasaran kosong, siapa pun enggan menangkapnya dengan keras lawan keras. Mereka tak menyangka kalau anak panah itu justru mengancam punggung kakek itu, dalam terperanjatnya, mereka berdua serentak menerkam ke dalam kereta.

Kedua orang itu sama-sama melakukan reaksi yang sangat cepat, Tong Keng yang berperawakan tinggi besar bergerak lebih cepat, dia langsung menyambar ujung panah itu, sementara sang pemuda yang lebih lincah menerobos melalui bawah ketiak Tong Keng dan menyambar ekor anak panah itu.

Begitu tangan mereka menyentuh anak panah itu, segera terasa hawa panas yang sangat menyengat badan, namun saat ini mereka berdua hanya berpikir bagaimana secepatnya menyelamatkan nyawa kakek itu, bukannya menarik kembali tangannya, mereka malah mencengkeram lebih kuat.

"Plaaak, plaaak!", di bawah tenaga pantulan keras yang memancar dari tubuh anak panah itu, sang pemuda yang kurang pengalaman seketika merasakan tulang jari kelingkingnya retak dan patah, sementara Tong Keng merasakan telapak tangannya seperti disengat panasnya api hingga muncul sebuah bekas luka berdarah.

Walaupun kesakitan hingga wajahnya menghijau, pemuda itu menyempatkan diri melotot sekejap ke arah Tong Keng sambil memuji, "Hohan sejati!"

"Kau pun hebat!" sahut Tong Keng sambil mendengus tertahan.

"Siapa namamu?" kembali sang pemuda bertanya sambil menahan sakit.

"Tong Keng!"

"Nyali macan kumbang?" kembali pemuda itu bertanya. "Betul, dan kau?"

"Kho Kit!"

"Apa? Si manusia nekad A-kit?" seru Tong Keng terperanjat.

Tiba-tiba Ting Tong-ih menukas, "Sekarang bukan saatnya untuk berbicang!"

Ucapan itu diutarakan dengan suara rendah dan berat, dia masih duduk membelakangi mereka berdua.

"Baik!" Kho Kit segera menyahut, kemudian bersama Tong Keng melakukan penjagaan lagi di belakang kereta.

Kini mereka baru tahu kalau kuda tunggangan yang digunakan Yan Yu-gi untuk membidikkan anak panahnya telah mati di tepi jalan, sementara Yan Yu-gi sendiri sudah melompat ke atas kuda yang lain, sambil melompat dia menghantam opas yang ada di atas kuda itu hingga mencelat.

Tapi dengan kejadian itu maka kudanya jadi tertinggal di belakang, dengan kepandaian dan pengalaman si kakek dalam mengendalikan kereta kuda, dalam waktu singkat ia sudah meninggalkan rombongan pengejar itu jauh di belakang.

Sambil melarikan keretanya menerobos di antara jalan raya dan lorong sempit, terdengar kakek itu bertanya, "Kita akan keluar kota atau kembali ke markas?"

Ting Tong-ih berpikir sejenak, lalu sahutnya, "Lebih baik kembali ke markas."

Kakek itu bersuit nyaring, kembali kereta kuda itu berputar dan berbelok di antara tujuh delapan buah lorong sempit, tiba- tiba ia memberi tanda kepada Ting Tong-ih sambil serunya, "Naik!"

Tubuhnya segera menyelinap masuk ke dalam sebuah bangunan rumah besar.

Sementara Tong Keng masih tertegun, Kho Kit sudah menangkap tangannya dan diajak melompat masuk ke balik pekarangan rumah besar itu.

Ternyata kuda-kuda itu sangat pandai, biarpun para penumpangnya sudah meninggalkan kereta, namun binatang itu masih berlarian kencang menuju ke arah pintu kota yang terletak tak jauh dari situ.

Sementara itu pintu gerbang kota sudah dipenuhi pasukan prajurit, sedemikian rapat dan ketatnya pengepungan yang dipersiapkan di sekitar sana, bisa diibaratkan biar punya sayap pun sulit untuk terbang melintasi tempat itu.

oooOOooo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar