Misteri Lukisan Tengkorak Bab 03 : Kwan Hui-tok

3. Kwan Hui-tok.

Sambil memicingkan sebelah matanya yang sesat dan sembari senyum tak senyum Li Wang-tiong menegur, "Kau bernama Tong Keng bukan?"

Setelah tertawa, kembali terusnya, "Sebetulnya belum secepat itu jatuh pada giliranmu, tapi berhubung kemarin kau membuat keonaran dalam penjara, terpaksa aku harus memilih untuk menguliti dirimu terlebih dulu."

Walaupun sadar nasibnya bakal tragis, namun Tong Keng tidak mengerti apa yang dimaksud Li Wan-tiong, lekas serunya, "Aku difitnah, aku tak bersalah, aku pun tidak merampok barang kawalan apalagi membunuh, sekalipun akan menjatuhi hukuman, seharusnya hukuman berdasarkan peraturan negara, kenapa kalian bertindak sewenang- wenang?"

"Setelah berada di sini, hukum negara sudah tak berlaku lagi, di sini tak ada peraturan, tak ada hukum, yang ada hanya perkataanku, keputusanku adalah hukum," ujar Li Wan-tiong hambar.

"Baik, kami orang-orang dari perusahaan ekspedisi Sin-wi- piau-kiok tak pernah merampok, tak pernah membunuh, kami dikambing-hitamkan, kau harus memberi keadilan untuk kami."

"Setiap orang tentu akan berkata kalau dirinya tak bersalah, biar sudah salah membunuh orang pun tentu akan beralasan khilaf karena sedang mabuk dan tak sadar, kalau ada yang memperkosa, dia akan berkata si wanita yang menjebaknya, merayunya ... uang kawalan jelas lenyap ketika sedang kalian kawal, kalau bukan perbuatan kalian, lantas siapa yang berbuat?"

"Ketika bertarung mempertahankan barang kawalan itu, dari empat puluh satu orang anggota Sin-wi-piau-kiok kami, ada dua puluh tujuh orang tewas, apakah bukti ini tidak cukup?" teriak Tong Keng semakin gusar.

Li Wan-tiong tertawa. "Jelas banyak anggota kalian yang mampus," katanya, "kalau hasil rampokan tidak dibagi secara merata dan adil, tak heran kalau terjadi saling gontok, saling membunuh di antara sesama”

"Sebenarnya apa maksudmu selalu menuduh dan memfitnah perusahaan ekspedisi Sin-wi-piau-kiok kami?" teriak Tong Keng mulai murka.

"Maksudku? Kalau aku menghendaki kau hidup, kau pun hidup, kalau aku menghendaki kau mati...”

Dia melirik sekejap ke arah tubuh berdarah yang tergeletak di tengah ruangan, lalu menambahkan, "Maka kau pun mati!" "Baik, kalau kau memang bersikeras menuduhku, bawa aku ke pengadilan!"

"Hahaha, aku kan sudah bilang," ujar Li Wan-tiong sambil tertawa sinis, "setelah berada di sini, tunggu saja keputusan apa yang akan Siauya berikan kepadamu, buat apa mesti repot mengadilimu di pengadilan."

"Kalau begitu kau tak usah banyak bacot lagi!" tukas Tong Keng semakin sewot, "hari ini aku sudah terjatuh di tangan kalian, paling juga kehilangan batok kepala!"

"Aku tak ingin memenggal kepalamu," Li Wan-tiong tertawa.

Tong Keng tertegun, belum sempat ia mengucapkan sesuatu, Li Wan-tiong sudah berkata lebih jauh, "Aku hanya ingin menguliti tubuhmu, mengulitimu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, akan kukuliti kau seutuhnya, hahaha, biarpun kulitmu sedikit rada kasar, tapi amat kenyal dan tahan banting, aku rasa masih terhitung berkwalitas bagus."

"Apa kau bilang?" teriak Tong Keng.

Li Wan-tiong memandangnya sekejap lalu tertawa, tiba-tiba dia membentangkan gulungan kain yang berada di tangannya dengan sangat hati-hati.

Begitu terbentang maka terlihatlah sebuah lukisan yang panjangnya beberapa kaki dan lebar beberapa meter, sebuah lukisan hasil sulaman yang sangat indah.

Tong Keng melirik sekejap, dia saksikan lukisan itu menggambarkan sebuah bangunan loteng yang sangat indah dan meja dengan perabot serta peralatan yang serba mewah, suasana yang ditampilkan adalah suasana saat berlangsungnya perayaan ulang tahun.

Tong Keng hanya merasa begitu lukisan itu dibentangkan, maka terasalah semacam hawa yang menyesakkan napas, namun dia tak tahu dimana letak keistimewaan lukisan itu. "Maksudku, aku hendak membuatmu menjadi manusia dalam lukisan," kembali Li Wan-tiong berkata sambil tertawa.

Tong Keng semakin tak habis mengerti.

Yan Yu-sim yang duduk di bangku kayu cendana tiba-tiba menimbrung, "Lukisan aneh yang berada di tangan Kongcu itu terbuat dari kulit manusia."

Yan Yu-gi segera menambahkan, "Kulit yang kelewat tua atau muda serta kelewat banyak bekas lukanya tidak masuk hitungan, lukisan ini membutuhkan tiga puluh empat lembar kulit manusia yang paling bagus untuk disusun menjadi selembar lukisan yang indah."

"Dan kau seharusnya gembira, karena giliran berikutnya adalah dirimu," kata Yan Yu-sim lagi sambil tertawa.

"Oleh sebab itu Kongcu tak akan memenggal kepalamu," sambung Yan Yu-gi, "kami hanya membutuhkan selembar kulit tubuhmu, asal kau bisa bertahan hidup setelah dikuliti, silakan saja untuk melanjutkan hidupmu."

Sejak lahir belum pernah Tong Keng mendengar cara keji yang begitu menggidikkan hati, menyaksikan sobat karibnya yang masih terkapar di tengah genangan darah itu, segera ia berteriak parau, "Kalian...”

"Itulah dia," ujar Li Wan-tiong sambil manggut-manggut dan tertawa, "kulit manusia she Lan itu yang paling jelek kwalitasnya, dia mempunyai tujuh-delapan belas luka di tubuhnya, oleh sebab itu kulit yang bisa digunakan hanya beberapa inci saja, masih mendingan manusia she Thio ini karena sebagian besar kulitnya bisa dipergunakan, entah bagaimana dengan mutu kulitmu? Apakah bisa digunakan seluruhnya?"

Tong Keng berteriak aneh, sekuat tenaga ia meronta, meskipun borgol tidak sampai terlepas, namun borgol kayu yang dipasang di kepalanya segera tergetar hingga retak dan terlepas.

Menyaksikan hal itu, sastrawan berkapak raksasa Gi Eng-si menggelengkan kepala berulang kali, katanya, "Nyali macan kumbang! Kau pun terhitung jagoan persilatan, semestinya tahu diri, dengan kepandaian yang kau miliki itu paling hanya mampu menghadapi tiga empat gebrakan dari salah satu di antara kami berempat, lebih baik tak usah kau membuang tenaga!"

Tong Keng tahu apa yang dikatakan Gi Eng-si memang kenyataan.

Selama ini dia hanya pernah membayangkan cara kematian yang mungkin akan menimpanya, mati dalam pertempuran, mati terbunuh bahkan mati karena sakit, mati karena terpeleset, atau mati karena kepala dipenggal, mimpi pun dia tak pernah membayangkan kalau suatu hari nanti dia harus dikuliti hidup-hidup sehingga mau hidup susah, mau mati pun sulit.

Dia dijuluki orang 'nyali macan kumbang', tentu saja nyalinya memang melebihi siapa pun, meski demikian, setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang rekannya yang telah dikuliti terkapar di tengah genangan darah, tak urung hatinya merasa bergidik juga.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu, seorang lelaki setengah umur masuk ke dalam ruangan dengan tergopoh-gopoh, mula-mula dia menjura pada Li Wan- tiong, kemudian kepada orang yang tak diketahui namanya itu seraya berkata, "Tuan Ni, Toaloya mempersilakan anda masuk ke dalam."

Kakek berambut putih dari marga Ni itu menyahut, dia menengok sekejap ke arah Li Wan-tiong. Kelihatannya Li Wan-tiong menaruh hormat terhadap orang ini, lekas katanya, "Ayah tentu ada urusan penting, silakan Ni- ya masuk ke dalam."

Orang she Ni itu manggut-manggut kepada semua orang, kemudian mohon diri, tidak melihat bagaimana ia bangkit berdiri, tahu-tahu bangku kayu cendana yang didudukinya sudah melambung ke udara, seolah di bawahnya terdapat permadani tak berwujud yang menarik bangku itu, tahu-tahu dia bersama bangkunya sudah meluncur keluar, tidak terlalu cepat juga tidak lambat, dia mengikut di belakang lelaki setengah umur itu.

Menyaksikan hal itu, Li Wan-tiong segera memuji, "Ni-ya, ilmu Sin-liong-kian-siu (naga sakti menongolkan kepala) milikmu ini makin dilatih semakin sempurna, bila ayah bisa memperoleh bantuanmu, semua masalah pasti gampang di atasi"

"Hahaha!"

Ketika Li Wan-tiong selesai bicara, dua bersaudara Yan dan Gi Eng-si segera ikut tertawa, gelak tawa Yan Yu-gi paling keras, sementara Yan Yu-sim hanya mendesis perlahan sebagai pertanda tertawa, sedang tertawa Gi Eng-si yang kelihatan paling gembira, cuma dia tertawa setelah selang beberapa saat.

Tentu saja Tong Keng tak punya waktu untuk memperhatikan suara tawa mereka.

Dari pembicaraan Li Wan-tiong tadi, tiba-tiba teringat olehnya pada seorang tokoh lihai dari dunia persilatan, orang itupun berasal dari marga Ni, terhadap tokoh yang satu ini, Tong Keng tidak mengetahui terlalu banyak, dia hanya pernah mendengar dari pemilik perusahaan ekspedisi, Ko Hong-liang, Ko-loyacu yang pernah menyinggung tentang orang ini.

Ketika mendengar nama itu, Ko-loyacu sempat menghela napas sambil berkata, "Sebetulnya gembong iblis ini selalu malang melintang di seputar wilayah Soat-say, namanya menggetarkan seluruh kolong langit, semoga saja anggota perusahaan piaukiok kita jangan pernah berjumpa dengan gembong iblis ini!"

Setelah kepergian orang she Ni itu, kembali Li Wan-tiong memandang ke arahnya sambil tertawa, ujarnya, "Kulit manusia yang sudah mati susah dikuliti, sebab begitu orang mati, kulitnya mulai menyusut dan menjadi kaku, tidak bagus bila dipakai untuk menyulam, kulit orang semaput bila dikulitipun kurang bagus, karena kulitnya akan kendor, tidak kenyal dan tak punya kekuatan, sangat susah bila dipakai untuk menyulam, oleh sebab itu menguliti orang hidup yang paling bagus, semakin kesakitan orang itu maka kulitnya akan semakin kencang dan paling cocok untuk digunakan sebagai bahan sulaman, oleh sebab itu ... hahaha ... terpaksa kau mesti menahan sakit nanti...”

Mendengar sampai di sini, Tong Keng tak kuasa menahan diri lagi, diam-diam ia mengambil keputusan, daripada dikuliti hidup-hidup dan harus merasakan siksaan yang mengerikan, lebih baik bertarung sampai titik darah penghabisan.

Andaikata harus mati pun, paling tidak ia mesti menghadiahkan enam tujuh puluh tusukan di tubuh sendiri agar kulit badannya rusak dan tak bisa dipakai sebagai bahan sulaman orang.

Sementara dia masih berpikir, tiba-tiba terdengar Liong Giam-ong berseru dari luar pintu, "Kongcu, tawanan sudah dibawa kemari."

"Bawa masuk!" perintah Li Wan-tiong dengan kening berkerut.

"Baik!" sambil menjawab Liong Giam-ong melangkah masuk ke dalam ruangan sambil mendorong sebuah kereta kayu dimana seseorang duduk di dalamnya. Lelaki yang duduk dalam kereta beroda itu memiliki sepasang alis mata yang tebal, wajah penuh cambang, sepasang kakinya lemas tak bertenaga, meski duduk dalam posisi yang tersiksa, namun wajahnya masih memancarkan kewibawaan yang luar biasa.

Begitu berjumpa dengan orang itu, Tong Keng segera berseru kegirangan, "Kwan-toako!"

Orang cacad yang duduk di atas kursi beroda itu memang tak lain adalah Kwan Hui-tok.

Kwan Hui-tok menyahut, sementara sepasang matanya langsung berubah merah setelah menyaksikan tubuh berdarah yang tergeletak di tengah ruangan, dengan cambang yang berdiri bagai duri, serunya penuh amarah, "Manusia she Li, kau memang bajingan berhati biadab, perbuatan keji semacam inipun berani kau lakukan."

Yan Yu-sim tertawa dingin. "Kwan Hui-tok!" jengeknya dingin, "untuk melindungi keselamatan dirimu sendiri pun sudah tak mampu, apa gunanya kau banyak bacot mengurusi urusan lain?"

"Yan Yu-sim, percuma kau menjadi bagian dari umat persilatan, manusia buas dan bejad macam kau tidak pantas hidup terus di dunia ini," umpat Kwan Hui-tok.

Tidak memberi kesempatan kepada Yan Yu-sim bicara lebih jauh, Li Wan-tiong segera menukas, "Sudah kau pertimbangkan usulku beberapa hari lalu?"

"Hahaha, sekarang kakiku sudah cacad, apa yang bisa kulakukan jika bergabung denganmu?" Kwan Hui-tok tertawa tergelak.

"Terus terang saja, dengan kemampuan yang dimiliki saudara Kwan, asal kau bersedia bergabung dengan kami ayah dan anak, tanggung kondisi badanmu akan berubah, dan lagi dengan keadaanmu sekarang...” Dia menatap sekejap sepasang kakinya yang cacad, kemudian meneruskan, "Kami malah jauh lebih mempercayai saudara Kwan."

"Hahaha, kakiku sudah cacad, apa yang bisa kulakukan?

Apa lagi yang mesti kalian takuti?" kembali Kwan Hui-tok tertawa tergelak.

Tiba-tiba Yan Yu-sim menyela, "Padahal kita tak butuh manusia macammu ini, dalam dunia persilatan masih terdapat delapan ratus sampai seribu orang yang bersedia bekerja untuk Thayjin dan Kongcu, sementara dia sombong, takabur dan tak tahu diri, lebih baik dibunuh saja."

"Kwan-heng, sudah kau dengar perkataan itu?" sambil tertawa Li Wan-tiong melirik sekejap ke arah Kwan Hui-tok.

"Sudah kudengar."

"Jika kau masih belum mau sadar dan tetap tak tahu diri, aku tak berani menjamin keselamatanmu."

"Sejak memasuki gedung ini, aku orang she Kwan memang sudah siap keluar dari sini dalam keadaan mampus."

Tong Keng segera meronta sambil berusaha mendekati Kwan Hui-tok, teriaknya lantang, "Kwan-toako, kau sungguh mengagumkan, aku bersedia mati bersamamu!"

Siapa tahu tiba-tiba Kwan Hui-tok berbisik, "Saudara cilik, kalau bisa tidak mati, lebih baik jangan mati dulu!"

Selesai bicara dia mencengkeram rantai borgol yang membelenggu di tubuh Tong Keng, kemudian dengan beberapa kali sentakan dia putuskan semua rantai yang membelenggu kawannya itu.

Tindakan yang dilakukan ini sangat mendadak dan di luar dugaan siapa pun, untuk sesaat Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi hanya bisa berpaling ke arah Li Wan-tiong dengan pandangan melongo. Tampaknya Li Wan-tiong sudah dibuat murka oleh ulah Kwan Hui-tok yang sama sekali tidak memberi muka kepadanya itu, hardiknya penuh amarah, "Bunuh dia!"

Kata "bunuh" baru meluncur keluar, dua bersaudara Yan, satu dari kiri yang lain dari kanan sudah melejit ke muka bagai burung rajawali dan serentak melancarkan serangan.

Dalam waktu singkat kursi beroda yang diduduki Kwan Hui- tok sudah tergulung oleh semacam tenaga tekanan tak berwujud.

"Blaaam!", kursi itu seketika hancur berkeping-keping, tapi pada saat yang bersamaan Kwan Hui-tok sudah melejit ke udara, meninggalkan kursi beroda itu.

Dengan menekankan sepasang tangannya ke sisi bangku, Kwan Hui-tok sudah meminjam tenaga tekanan itu untuk menerkam ke arah Li Wan-tiong.

Baru beberapa detik dia meninggalkan kursi beroda itu, seluruh bangku kayu itu sudah terhajar dan hancur.

Tubuhnya segera menyelinap di antara Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi, sepuluh jari tangannya yang dipentang bagai cakar baja tampaknya segera akan bersarang di tubuh Li Wan-tiong ....

Mendadak sekilas cahaya tajam berkelebat dari udara, tahu-tahu sebuah kapak raksasa sudah meluncur datang melancarkan bacokan maut.

Kekuatan serangan ayunan kapak itu sungguh dahsyat, kecepatannya pun bagai sambaran kilat, tanpa menimbulkan sedikit suara tahu-tahu sudah di depan mata.

Kwan Hui-tok membentak nyaring, sepasang telapak tangannya dihantamkan ke muka lalu menjepit mata kapak itu kuat-kuat, bersamaan waktunya tubuh mereka sama-sama meluncur jatuh ke bawah.

Orang yang melancarkan serangan itu tentu saja Gi Eng-si. Begitu bacokan kapaknya dijepit oleh sepasang tangan Kwan Hui-tok, ternyata kekuatan serangannya lenyap seketika, bukan saja serangannya gagal bahkan kapak itu bagai terjepit oleh batu karang, sama sekali tak mampu dicabut lepas, kontan saja kejadian ini membuat Gi Eng-si naik pitam.

Tapi begitu tubuh mereka sudah mencapai permukaan tanah, situasi seketika berubah total.

Begitu melayang turun ke permukaan tanah, Gi Eng-si segera memperkuat kuda-kudanya, sedang Kwan Hui-tok di pihak yang dirugikan karena ia tidak memiliki kaki, maka tubuhnya segera jatuh terjerembab ke bawah.

Begitu terjatuh, asal dia sedikit kurang waspada, segera Gi Eng-si akan melepaskan bacokan dengan sepenuh tenaga maka tak sulit untuk membelah tubuhnya menjadi dua bagian.

Ternyata Kwan Hui-tok tidak sampai roboh terjerembab, karena pada saat yang bersamaan Tong Keng telah memburu ke depan dan meletakkan tubuh rekannya itu di atas bahunya.

"Kwan-toako, kau tak usah takut," teriak Tong Keng lantang, "aku akan menggendongmu, aku akan mendukung tubuhmu...”

Sebenarnya dia masih ingin mengucapkan sesuatu lagi, namun tak sepatah kata pun sempat diucapkan.

Rupanya pada saat itu Kwan Hui-tok yang didukung di atas kepalanya sudah mulai bertarung sengit melawan Gi Eng-si, bagaimana keadaan pertarungan itu memang tidak terlihat jelas olehnya, namun ia dapat merasakan tenaga tekanan di atas bahunya makin lama semakin berat, saking beratnya nyaris seperti mau mematahkan seluruh tulang pinggang dan pinggulnya.

Tapi Tong Keng mengertak gigi, dia terus bertahan dan berusaha mendukung rekannya untuk bertarung. Tiba-tiba Gi eng-si mengayunkan kakinya melancarkan tendangan, yang diarah adalah pinggangnya.

Andaikata tendangan ini sampai bersarang telak, bukan saja tubuhnya akan menderita luka parah, bahkan Kwan Hui- tok yang berada dalam gendongannya pun akan ikut roboh.

Dalam keadaan begini, Tong Keng tak berani bergeser ataupun menghindar, sebab bila ia bergeser setengah langkah saja, maka hal itu sudah pasti akan mempengaruhi keadaan Kwan Hui-tok yang sedang bertarung seru. Dia rela terluka parah daripada menggeser badannya yang akan berakibat Kwan-toakonya kehilangan satu jurus serangan.

Di luar dugaan tendangan Gi Eng-si hanya dilepaskan separoh jalan, tiba-tiba dia menghentikan tendangannya, sampai lama kemudian baru menarik kembali serangannya itu.

Sejak itu sudah empat kali Gi Eng-si mencoba menendang dengkulnya, menyapu kakinya atau menendang betisnya, tapi setiap kali serangannya hanya mencapai setengah jalan, dia selalu membatalkan kembali ancamannya, sebab begitu dia melakukan tendangan, langkah kakinya justru kacau sendiri hingga nyaris tak mampu berdiri tegap.

Kepandaian silat yang dimiliki Tong Keng pun terhitung bagus, untuk wilayah seputar Soat-say, nama perusahaan ekspedisi Sin-wi-piau-kiok cukup berkibar, sementara si nyali macan kumbang Tong Keng termasuk seorang jago yang paling diandalkan perusahaan itu, khususnya ilmu pukulan Siau-lim-sin-kun dan tiga puluh enam jurus ilmu golok Hong- tau-to-hoat yang diyakininya boleh dibilang sangat disegani orang.

Dari pertarungan yang sedang berlangsung, dengan cepat Tong Keng dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam pertarungan antara Gi Eng-si melawan Kwan Hui-tok kali ini, jika Gi Eng-si ingin merebut kemenangan, maka dia harus melukai dulu dirinya agar Kwan Hui-tok kehilangan tumpangan serta tempatnya berpijak.

Tapi rupanya Kwan Hui-tok tahu taktik musuhnya itu, maka setiap kali pihak lawan menyerang Tong Keng, dia pun segera melancarkan serangkaian serangan maut yang memaksa Gi Eng-si harus menarik kembali serangannya di tengah jalan.

Dari kejadian itu, bisa disimpulkan bahwa Kwan Hui-tok telah berhasil merebut posisi di atas angin.

Sementara berpikir, tanpa terasa Tong Keng pun menengok ke atas, tapi begitu menengok, dia pun terkesiap dibuatnya, ternyata rambut miliknya sudah terpapas kapak hingga sebagian besar telah gundul.

Bukan hanya begitu, mata kapak berulang kali menyerempet di atas kulit kepalanya, terkadang menempel juga di atas hidungnya, cahaya tajam yang berkilauan betul- betul menggidikkan hatinya.

Tak kuasa lagi keringat dingin bercucuran membasahi tubuh Tong Keng, ia segera menundukkan kembali kepalanya dan tak berani menengok ke atas lagi.

Ditinjau dari keadaan ini, bukankah berarti posisi Gi Eng-si yang berada di atas angin?

Belum habis ingatan itu melintas, mendadak tampak olehnya tubuh Gi Eng-si sudah mundur sejauh delapan langkah dengan tubuh sempoyongan.

Kenyataan ini membuat Tong Keng merasa sangat lega, ketika menengok lagi ke atas, tampak cahaya kapak semakin berkembang ke empat penjuru diiringi suara deruan angin kencang.

Rupanya Kwan Hui-tok telah berhasil merampas senjata kapak raksasa itu dari tangan Gi Eng-si, kini dengan mengandalkan senjata itu menghadapi dua bersaudara Yan. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar