Misteri Lukisan Tengkorak Bab 02 : Mayat Berdarah

2. Mayat Berdarah.

Hari belum terang tanah, dalam lelap tidurnya, Tong Keng mendengar suara anak kunci yang membuka gembok pintu sel, hatinya waspada, sekali loncat ia sudah terjaga dari tidurnya.

Pintu sel sudah dibuka orang, ada tujuh delapan orang sipir masuk ke dalam ruangan dan menjepit tangan serta kaki Tong Keng, kemudian menyeretnya keluar.

"Mau apa kau?" bentak Tong Keng gusar. Tapi tubuhnya sudah terseret keluar, Tong Keng ingin melawan, tapi ia sadar, setelah berada dalam kondisi seperti ini, mau meronta pun tak ada gunanya, maka setelah menghela napas panjang, ia pun membiarkan tubuhnya dibelenggu orang dan diseret keluar.

Dengan sempoyongan Tong Keng keluar dari penjara, dari balik kegelapan ia menyaksikan seseorang telah menanti kedatangannya, orang itu tak lain adalah Liong Giam-ong.

Tong Keng sadar, setelah terjatuh ke tangan orang ini, sudah pasti akan berakhir dengan keadaan tragis, maka tak sepatah kata pun yang diucapkannya, dia hanya mengawasinya dengan mata melotot gusar.

Liong Giam-ong tertawa dingin, dia segera memberi tanda, para sipir penjara pun menyeret Tong Keng menuju keluar penjara.

Baru melalui tujuh delapan buah sel, beberapa orang narapidana yang berada di balik sel sudah terjaga karena kejadian itu, namun mereka hanya bisa menyaksikan kejadian itu dengan mulut membungkam, tak seorang pun berani bersuara.

Ketika hampir keluar dari bangunan penjara, sewaktu melewati sebuah ruang sel yang di depan pintunya terdapat tujuh delapan buah gembok besar, mendadak dari balik ruang penjara terdengar seseorang menegur dengan suara rendah, "Apa yang hendak kalian perbuat terhadapnya?"

Sebenarnya beberapa orang sipir itu berjalan dengan kepala mendongak dan dada dibusungkan, namun begitu mendengar suara teguran yang berat itu, tanpa sadar mereka segera menyurut mundur, malah perjalanan pun tak berani dilanjutkan.

Dua orang sipir yang tampaknya lebih berpengalaman segera menjawab, "Kwan ... Kwan-toako ... kau ... selamat pagi” Sesaat orang yang berada dalam penjara membungkam. Kembali sipir itu berkata, suaranya terbata-bata, "Kami ...

kami hanya ... hanya melaksanakan perintah”

"Melaksanakan perintah siapa?" kembali orang itu menegur. Tak ada yang berani bicara, semua sipir terbungkam. "Apakah perintah Li Ok-lay? Jangan kelewatan!" kembali

orang itu menambahkan.

Beberapa orang sipir penjara itu hanya saling pandang tak berani menjawab.

Dalam keadaan remang-remang, Tong Keng sempat memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, ia lihat ruang sel itu tak jauh berbeda dengan ruang sel pada umumnya, hanya ruang ini jauh lebih sempit dan besi yang melapisi pintu serta terali besinya jauh lebih besar, tebal dan kuat.

Gerak-gerik Liong Giam-ong tampak mulai tak leluasa, sesaat kemudian ia baru berkata, "Kwan ... Kwan-ya, ini peraturan penjara, kami hanya menjalankan perintah, kau ... lebih baik kau jangan mencampuri urusan ini!"

"Liong Ci-po!" mendadak orang dalam sel itu menghardik nyaring.

Liong Giam-ong nampak terkesiap, tanpa sadar ia mundur beberapa langkah.

Terdengar orang yang berada di dalam sel itu menghardik lagi, "Kau telah melolohi aku dengan obat pemabuk, membuat cacad sepasang kakiku, kemudian mengebiri aku, apakah semuanya ini adalah idemu?"

Berubah hebat paras muka Liong Giam-ong, ia perhatikan sekejap gembok yang ada di depan pintu, setelah yakin cukup kuat, ia baru berani menjawab, "Kwan ... Kwan-toako ... aku

... aku sendiri pun terpaksa!" Orang yang berada di dalam sel tertawa getir, kemudian sekali lagi menarik napas panjang, tampaknya ia sedang berusaha mengendalikan gejolak emosinya, setelah itu baru ujarnya, "Baiklah, Liong Ci-po, aku tidak menyalahkan dirimu. Sekarang katakan terus terang, apa benar Li Ok-lay?"

"Li... Li-tayjin ... dia ” Liong Giam-ong semakin tergagap.

"Cepat katakan!" kembali Kwan Hui-tok yang berada di dalam sel menghardik, "Li Ok-lay atau Li Ciu-tiong?"

Sungguh keras suara bentakan itu, bukan saja membuat Liong Giam-ong terkaget hingga anak kunci dalam genggamannya terjatuh ke lantai, sembilan puluh persen narapidana penghuni kedelapan belas bilik sel dalam penjara Thian-cing pun ikut tersentak bangun dari tidurnya.

"Kau Kwan-toako, aku tidak tahu" sahut Liong Giam-lo

dengan suara gemetar, "aku tahu, reputasi dan kedudukanmu dalam dunia persilatan amat tinggi, tapi setelah tiba di sini, kalian harus mengikuti semua perintah Li-tayjin dan Li-kongcu.

Sebetulnya kami semua merawat dan melayanimu secara baik-baik, tapi ”

Kwan Hui-tok meraung keras, dengan nada pedih tukasnya, "Narapidana wanita dalam penjara pun manusia, tapi kenyataannya Li Ciu-tiong merogol mereka, menganiaya mereka, bagaimana mungkin aku bisa berpeluk tangan!"

Liong Giam-ong memperhatikan sekejap rantai gembok yang berada di depan pintu sel, kemudian memandang pula anak buahnya yang berada di sekitar situ, keberaniannya segera tumbuh kembali, katanya, "Boleh saja kau ikut campur dalam urusan itu, tapi kau sesungguhnya Li-kongcu sangat

menghargaimu, ingin mempromosikan kau, tapi setelah kau berani menyalahi beliau, kini kau harus menderita cacad sepanjang hidup, jangan salahkan kalau kami terpaksa harus bertindak keji!" "Liong Giam-ong!" tiba-tiba Kwan Hui-tok memanggil lagi dengan suara yang lebih tenang.

"Ada apa?"

"Kemarin kau bicara takabur di ruang sebelah, katanya kaulah yang sudah mengebiri aku, membuat cacad kakiku, apa benar begitu?"

Dengan mengeraskan kepala dan membulatkan tekad, Liong Giam-ong menjawab, "Sebetulnya atas perintah Li- kongcu ... memang ... memang aku yang melakukan, mau apa kau?"

"Sekarang kakiku sudah cacad, manusia tak mirip manusia, setan pun tak mirip setan, Li-tayjin tak akan merecoki aku lagi, tentu saja kau pun tak usah takut kepadaku lagi bukan?"

"Orang she Kwan, dulu ... dulu aku menghormatimu sebagai seorang Hohan, sudah kuberi muka kepadamu, kau selalu menolak, jangan salahkan kalau sekarang aku bertindak tanpa perasaan kepadamu."

"Bertindak tanpa perasaan? Bertindak tanpa perasaan ... bagus, bagus sekali!" orang itu tertawa seram.

Liong Giam-ong sangat mendongkol, dengan penuh amarah serunya, "Ayo jalan! Tak usah menggubris orang cacad itu lagi!"

Mendadak, "Blaaaam!", seolah-olah ada benda berat yang menghantam pintu sel itu satu kali.

Begitu berat dan dahsyatnya benturan itu membuat seluruh badan pintu baja itu bergetar keras, "Kraaak!", salah satu gembok yang tergantung di luar pintu seketika patah menjadi dua dan "Sreeet!", meluncur keluar dengan kecepatan tinggi.

Tergopoh-gopoh Liong Giam-ong menghindar ke samping, gembok yang seharusnya meluncur ke arah iganya kini menghajar persis di atas bahunya, "Kraaak!", diiringi benturan keras, tulang bahunya terhajar retak.

Liong Giam-ong kesakitan setengah mati, sambil memegangi bahu kirinya yang terluka, dia meringis lalu menggigit bibir menahan sakit yang bukan kepalang.

Terdengar orang yang berada di dalam sel kembali berkata sambil tertawa, "Masih untung aku si manusia cacad masih memiliki sepasang tangan ... bagaimana kalau sepasang lengan inipun sekalian kau kutungi?"

Tong Keng merasa kagum setengah mati, dia tak menyangka Kwan Hui-tok yang sudah cacad dan disekap dalam penjara baja ternyata masih memiliki kepandaian sehebat itu. Ia makin cemas setelah mendengar perkataan terakhir, sebab sehebat dan segagah apapun Kwan Hui-tok, ia tetap masih berada dalam penjara, jika sampai membuat dendam Liong Giam-ong, takutnya serangan terang-terangan bisa dihindari, serangan bokongan susah diduga, bila kedua belah tangannya sampai benar-benar dikutungi, bukankah makin berabe?

Tiba-tiba terdengar Kwan Hui-tok berkata, "Saudara Tong, kau tak usah mencemaskan keadaanku, sebetulnya aku mendekam di sini dengan tujuan menjadi pelindung hukum, siapa sangka hukum sudah tidak berlaku lagi di tempat ini, lagi pula aku sudah dibikin cacad, aku memang sudah tak ingin hidup lebih lama lagi."

Tong Keng merasa sangat kagum, dia tak menyangka walaupun terpisah oleh selembar pintu besi yang tebal, ternyata Kwan Hui-tok bisa meraba jalan pikirannya, lekas serunya lagi, "Kwan-toako, kau ... kau mesti berhati-hati!"

Dari balik pintu besi, Kwan Hui-tok tertawa tergelak, "Hahaha, kemarin sore kau membela ketidak adilan yang menimpa aku, dan hari ini aku mengantar kepergianmu, sayang kita semua sudah terjatuh ke tangan kawanan srigala buas, kalau tidak, perjumpaan ini mesti dirayakan dengan menenggak tiga ratus cawan arak!"

Para sipir penjara yang berada di belakangnya sudah mulai mendorong Tong Keng, memberi isyarat agar segera beranjak pergi. Tong Keng pun sadar, kepergiannya kali ini belum tentu bisa balik lagi dalam keadaan selamat, maka serunya lagi, "Kwan-toako, aku tahu kepandaian silatmu cukup tangguh, tampaknya nasib saudara kita yang ada dalam penjara harus kau perhatikan lebih seksama lagi”

"Hahaha, dengan mengandalkan kakiku yang sudah lumpuh, perbuatan apa lagi yang bisa diandalkan?"

Nada suaranya terdengar amat sedih.

Dua orang sipir penjara telah mendorong keluar Tong Keng, di tengah gelak tertawa Kwan Hui-tok yang nyaring, pintu gerbang kembali ditutup rapat.

Tong Keng mendongakkan kepalanya memandang fajar yang hampir menyingsing, ketika hembusan angin mendatangkan rasa dingin, dia pun membusungkan dada sambil berpikir, "Walaupun sekarang aku sudah berjalan keluar dari penjara, sayang statusku bukan manusia bebas”

Mungkin dalam kehidupan kali ini dia sudah tak akan menikmati kebebasan lagi tak bisa melakukan pekerjaan secara bebas lagi....

Kawanan sipir itu menggelandangnya melalui sebuah jalanan yang amat panjang, semakin berjalan dinding pekarangan terlihat semakin tipis, sementara bentuk bangunan pun makin megah dan mewah, penjagaan di sana pun semakin berkurang.

Tong Keng tidak tahu hendak dibawa kemanakah dirinya, dia hanya tahu tempat yang dituju pastilah sama seperti tempat yang didatangi kawan-kawan lainnya, rekan-rekan yang sudah pergi tak pernah kembali itu. Ketika tiba di depan sebuah bangunan besar yang megah dengan dinding bercat putih, komandan sipir itu memberi tanda agar berhenti, kemudian bersama-sama menengok ke arah Liong Giam-ong.

Sambil menahan rasa sakit yang luar biasa, Liong Giam-ong mengetuk pintu gerbang itu dengan hormat, kemudian menunggu jawaban dari dalam.

Tiada jawaban.

Suasana amat hening, sehening datangnya sang fajar. Liong Giam-ong sekali lagi mengetuk pintu.

"Siapa?" dari dalam ruangan terdengar seseorang bertanya.

"Budak tua," jawab Liong Giam-ong dengan sikap yang sangat hormat, sikap hormat yang mendekati rasa takut.

"Ooh, kenapa kau terluka?" kembali orang itu bertanya.

Tong Keng yang mengikuti tanya jawab itu diam-diam merasa terperanjat, kalau tadi dia terkejut karena Kwan Hui- tok dapat melukai orang dari balik pintu, maka dia semakin tak habis mengerti ketika orang yang berada dalam ruangan bisa tahu kalau Liong Giam-ong sudah terluka dari nada bicaranya.

"Kongcu, kau melarang aku membunuh manusia she Kwan itu, bukan saja ia tak berterima kasih, sudah melukai budak tua, dia bahkan berulang kali mencaci-maki Kongcu dengan kata-kata yang jahat dan kotor!" keluh Liong giam-ong dengan suara memelas.

Orang ini berperawakan tinggi besar, tapi caranya berbicara yang begitu memelas justru membuat orang yang menyaksikan menjadi bergidik.

Nada suara orang dalam ruangan itu segera berubah, serunya penuh gusar, "Kurangajar, Kwan Hui-tok betul-betul manusia tak tahu diri. Bawa masuk orang itu!" "Blaaam!", Tong Keng segera digelandang masuk ke dalam ruangan.

Bangunan itu berwarna serba putih, selain dindingnya berwarna putih, permadani tebal yang melapisi lantai pun berwarna putih bersih, tapi persis di tengah ruangan justru terlihat ada noda darah yang berwarna merah menyala.

Darah itu sudah lama membeku di atas permadani yang putih, bukan saja terendus aroma busuk, bahkan kelihatan jelas kalau di tempat itu pernah digenangi darah dalam jumlah banyak.

Di atas genangan darah yang membeku itu tergeletak sesosok benda, kalau bukan lantaran benda itu memiliki empat anggota badan, siapa pun tak akan percaya kalau benda itu adalah sesosok tubuh manusia.

Sesosok tubuh manusia yang sudah dikuliti hingga tersisa daging badannya yang merah menyala penuh berlepotan darah.

Lamat-lamat terlihat tubuh manusia yang sudah dikuliti itu masih bergerak, meski Tong Keng adalah seorang Piausu kenamaan dengan gelar Pa-cu-tan (nyali macan tutul) sudah terbiasa hidup bergelimpangan di tengah hujan darah, namun setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang manusia dikuliti hidup-hidup, tak urung timbul juga perasaan mualnya yang luar biasa.

Saking mualnya hampir saja Tong Keng memuntahkan seluruh isi perutnya.

Tapi dia berusaha menahan diri, sebab dia tak ingin merasakan siksaan baru pada lambungnya sebelum ajal merenggutnya nanti.

Terlihat seseorang sedang berbaring di atas pembaringan, dua orang dayang sedang mengipasinya dari samping. Orang itu sedang memusatkan seluruh perhatiannya menyulam selembar kain yang sangat lebar.

Setelah menyulam beberapa saat lamanya, dia baru mendongakkan kepalanya, ternyata seorang pemuda berwajah putih bersih, alis matanya terjulai ke bawah nyaris menutupi mata.

Kata pemuda itu, "Orang yang dikuliti itu adalah salah seorang sahabat karibmu, masih dapatkah kau mengenali dia?"

Setelah berhenti sejenak, kembali tambahnya, "Dia bernama Thio Seng-hong, bukankah kalian saling mengenal?"

Tong Keng merasa seolah-olah orang yang sedang telentang di tengah genangan darah itu sedang menengok ke arahnya, kini dia tak sanggup menahan diri lagi untuk muntah.

Ketika muntah, lambungnya terasa bagai dijepit tenaga yang amat besar, bukan hanya isi perutnya yang tertumpah keluar, empedunya pun terasa bagai diperas, tiba-tiba hawa amarah meluap.

Thio Seng-hong bernasib sama seperti dia, dituduh tanpa bukti.

Sekalipun dia telah melanggar kesalahan yang lebih berat pun, tidak seharusnya mengalami siksaan yang begitu keji, buas dan tak berperi kemanusiaan!

Tong Keng merasa darah panasnya mendidih, hawa amarah yang berkobar membuatnya ingin menyerbu ke depan, memeluk sahabat karibnya yang sudah lama berjuang bersamanya itu, dia pun ingin menerkam ke depan, mencabik- cabik pemuda yang sedang berbaring di ranjang itu hingga hancur berkeping.

Tapi dia hanya bisa menahan diri. Ranjang batu yang digunakan pemuda itu terletak di bagian paling dalam, dekat dinding ruangan, hanya terpaut delapan sembilan kaki dari genangan darah itu, di samping ranjang terdapat empat buah bangku tinggi yang terbuat dari kayu cendana.

Ada empat orang yang duduk di sudut ruangan, duduk tanpa bicara, tapi sekarang mereka telah membuka mata, lalu berjalan menghampirinya.

Keempat orang itu memiliki perawakan tubuh yang berbeda, ada yang tinggi ada yang pendek, ada yang kekar ada pula yang kurus, hanya satu kesamaan yang mereka miliki, paras muka mereka pucat-pias seperti mayat.

Tong Keng terhitung seorang jagoan dari dunia persilatan, sebagai seorang pengawal barang yang setiap hari malang melintang dalam dunia Kangouw, dia wajib memiliki sedikit pengetahuan, sebab pengetahuan justru jauh lebih penting daripada ilmu silat, dan selama ini Tong Keng memang selalu menaruh perhatian khusus terhadap tokoh-tokoh persilatan.

Satu ingatan seketika melintas dalam benaknya, dia jadi teringat pada jagoan dari Soat-say, tiga orang tokoh keji yang menciutkan hati orang.

Dari ketiga tokoh persilatan itu, dua di antaranya sering melakukan perjalanan bersama. Kedua orang itu bersaudara, yang tua bernama Yan Yu-sim, sementara yang muda bernama Yan Yu-gi, biarpun dua bersaudara Yu-sim-yu-gi (bisa dipercaya dan setia kawan) selalu jalan bersama, namun perbuatan yang dilakukan justru Bo-sim (tidak bisa dipercaya) dan Bo-gi (tidak setia kawan).

Sebetulnya kedua orang ini merupakan keturunan dari perkumpulan Pukulan mayat hidup, sebuah perguruan keluarga Yan di kota Seng-ciu, gara-gara rebutan kedudukan sebagai Ciangbunjin, kedua orang bersaudara ini tak segan membantai ayah mereka sendiri, Yan Tay-yok, bahkan menghasut ke sana kemari menimbulkan pertikaian dan pembunuhan antar saudara seperguruan, akibatnya keluarga Yan tercerai-berai, tak pernah bersatu kembali dan runtuhlah perguruan itu.

Tentu saja akibat kehancuran perguruan ini, Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi pun gagal memperoleh posisinya sebagai ketua perguruan.

Selama malang melintang dalam dunia persilatan, perbuatan yang dilakukan dua bersaudara Yan tetap merupakan perbuatan yang melanggar kepercayaan dan melanggar kesetia kawanan, mereka egois, selalu mencari keuntungan pribadi, kerap melanggar janji, malah di antara mereka sendiri pun sering saling berbohong dan menipu.

Namun kepandaian silat yang dimiliki kedua orang itu sangat tangguh, khususnya jika mereka bergabung menjadi satu, itulah sebabnya walaupun sudah beberapa kali putus hubungan, akhirnya mereka tetap bersatu kembali.

Kemudian demi melatih ilmu pukulan mayat hidup, Yan Yu- sim dan Yan Yu-gi telah mengikuti cara kuno dengan mengubur hidup-hidup mangsanya selama tiga hari kemudian merebus tubuh mayat untuk dimakan, perbuatannya selain keji juga melanggar peri kemanusiaan.

Akibatnya peristiwa ini mengejutkan salah seorang tokoh opas yang namanya sudah menggetarkan sungai telaga jauh sebelum empat opas dikenal masyarakat, satu di antara Sam- coat-sin-bu (tiga opas maha sakti) yang disebut orang Bu-ong (Raja opas) Li Hian-ih. 

Li Hian-ih mulai melakukan perburuan ke empat penjuru dunia, terakhir ia berhasil menghadiahkan sebuah pukulan maut ke tubuh kedua orang itu ketika bersua di tepi sungai Nu-kang. Akibat pukulan yang dahsyat itu, dua bersaudara Yan tak pernah muncul lagi dalam dunia persilatan, hingga kini sudah empat lima tahun mereka hidup mengasingkan diri.

Tong Keng bisa mengenali mereka berdua karena dua bersaudara Yan memiliki ciri khas, Yan Yu-sim kehilangan telinga kirinya sementara Yan Yu-gi kehilangan telinga kanannya.

Cacad itu sebetulnya bukan cacad bawaan dari lahir, tapi akibat hadiah yang diberikan Thiat-jiu (si tangan besi), salah satu dari empat opas kenamaan jauh sebelum mereka dihajar si Raja opas.

Waktu bertemu Thiat-jiu, kedua orang bersaudara dari keluarga Yan ini sedang melakukan satu perbuatan biadab, saat itu Thiat-jiu tidak tahu kalau kedua orang sampah masyarakat itu adalah dua bersaudara Yan yang sudah tersohor karena kebiadabannya, oleh sebab itu sebagai hukuman, dia hanya memotong masing-masing sebuah telinganya.

Tapi justru karena kejadian ini, cacadnya telinga mereka berdua malah menjadi ciri khas dari dua bersaudara Yan, tentu saja akibat ciri ini, setiap perbuatan keji yang mereka lakukan tak pernah bisa dipungkiri lagi.

Orang ketiga bernama Gi Eng-si, dia berdandan sebagai sastrawan, dalam genggamannya bukan membawa kipas, juga bukan payung, melainkan sebilah kapak raksasa, tak ada lagi yang berdandan seperti itu selain Ki-hu-suseng (sastrawan kapak raksasa) Gi Eng-si.

Sepak terjang Gi Eng-si pun sangat aneh, sebelum mencapai usia tiga puluh tahun dia adalah seorang pendekar yang disegani dan dihormati setiap orang, sering membantu kaum lemah dan menegakkan kebenaran, bahkan banyak melakukan perbuatan bajik dengan membasmi kaum jahat.

Tapi selewat usia tiga puluh satu, tiba-tiba jejaknya lenyap dari peredaran dunia, dua tahun kemudian ketika sekali lagi dia terjun ke dalam dunia persilatan, wataknya berubah seratus delapan puluh derajat, dari seorang pendekar sejati kini berubah menjadi seorang iblis yang membunuh orang tanpa berkedip.

Seringkali demi sebuah keuntungan kecil dia tak segan melakukan pembantaian berdarah, caranya membunuh sangat kejam dan telengas, tak sampai dua tiga tahun kemudian, perbuatan kejamnya sudah melampaui seluruh perbuatan bajik yang pernah dilakukannya dulu. 

Kungfu yang dimiliki sastrawan kapak raksasa pun amat hebat, konon setahun berselang dia pernah bertarung hampir ratusan jurus melawan Soat-say Tayhiap Kwan Hui-tok sebelum akhirnya terhajar satu kali oleh bogem mentah lawannya, setelah terluka parah dia pun harus menghadapi sergapan sebelas orang jago lihai yang diutus tujuh perguruan besar untuk memburunya, namun berkat keampuhan ilmu silatnya, dia berhasil lolos dari kematian. Gara-gara kesuksesannya itu, nama serta pamornya semakin tersohor di kolong langit.

Selain dua bersaudara Yan dan Gi Eng-si, di situ pun masih hadir seseorang, dia adalah seorang kakek berambut putih yang menggantungkan tiga buli-buli di pinggangnya, muka yang kusut kelelahan dan kerutan wajah yang dalam menunjukkan satu kehidupan yang penuh derita, tapi sorot matanya dingin dan dalam, membuat orang yang memandangnya seolah sedang menatap liang kematian yang sepi.

Tong Keng tidak kenal siapa dia.

Sejak digelandang keluar dari penjara, Tong Keng memang sudah tahu kalau nasibnya bakal tragis, namun mimpi pun dia tak menyangka kalau begitu keluar dari penjara, dia harus berhadapan dengan tiga tokoh persilatan yang paling memusingkan kepala. Kini dia sadar, tindakan yang ceroboh dan gegabah hanya merupakan satu tindakan bodoh, sebab dengan mengandalkan ilmu silat yang dimilikinya, cukup salah satu di antara keempat orang itu sudah mampu untuk membereskan dirinya.

Diam-diam ia coba memperhatikan keadaan di belakang, ternyata kecuali Liong Giam-ong, tak seorang pun yang ikut masuk ke dalam ruangan.

Liong Giam-ong berdiri lurus di tempat dengan kepala tertunduk, sikapnya yang macam singa jantan ketika berhadapan dengan narapidana, kini hilang tak berbekas, sebagai gantinya ia hanya berdiri macam anjing penjaga pintu yang butuh perhatian.

Terdengar pemuda itu bertanya lagi, "Bukankah Kwan Hui- tok disekap dalam penjara besi? Bagaimana mungkin bisa melukaimu?"

Dengan bibir gemetar sahut Liong Giam-ong, "Ketika budak sedang lewat di muka pintunya, dia mencaci-maki Kongcu dan menghina dengan ucapan kotor, karena tak tahan maka budak pun menghardiknya, siapa tahu dia menghantam pintu besi itu hingga gemboknya putus, masih untung aku cepat menghindar, kalau tidak, mungkin pecahan besi itu sudah menghujam di wajah dan budak tak bisa memberi laporan lagi kepada Kongcu."

"Ooh, kalau begitu aku telah menyusahkan kau," kata pemuda itu sambil melirik Liong Giam-ong sekejap.

Tong Keng tak sanggup menahan diri lagi, tiba-tiba teriaknya nyaring, "Dia bohong! Dia bicara ngaco-belo! Kwan- toako sama sekali tidak menyumpahimu, dia hanya bertanya apa benar Li Ok-lay atau Li siapa yang turun tangan kepadanya, atau dia yang memerintahkan untuk memotong urat kaki Kwan-toako dan mengebiri dirinya, Kwan-toako sama sekali tidak pernah menyumpahi siapa pun." Berubah hebat paras muka Liong Giam-ong sambil melompat ke hadapan Tong Keng, teriaknya, "Kau berani memfitnah aku? Bedebah, manusia tak tahu diri! Aku...”

Saking sewotnya, dia langsung mengayunkan tangan untuk membabat.

"Liong Ci-po...” mendadak pemuda itu berseru.

Tangan Liong Giam-ong yang sudah berada di tengah jalan seketika berhenti, lekas dia menyembah sambil merengek, "Kongcu, orang ini memfitnah budak, budak selalu setia kepada Kongcu, sama sekali tak berani bicara ngawur di luaran, apalagi merugikan nama baik Kongcu, tapi dia ... dia kurangajar, mohon kebijaksanaan Kongcu, mohon kebijaksanaan Kongcu”

Tong Keng yang menyaksikan kejadian itu kontan tertawa terbahak-bahak.

Suara tertawanya sangat keras, membuat semua yang hadir tanpa terasa berpaling ke arahnya.

Sadar kalau dirinya sulit lolos dari kematian, Tong Keng semakin nekad, setelah tertawa tergelak, jengeknya, "Hahaha, coba lihat tampang budakmu itu, tak nyana kau begitu ketakutan hingga terkencing-kencing ... hahaha ... rupanya dia sudah menganggap kau sebagai kaisarnya!"

Jelas perkataan terakhir sengaja ditujukan kepada pemuda itu.

Sang pemuda tertawa hambar, katanya, "Aku bernama Li Wang-tiong, bukan Li siapa."

Ternyata ia sama sekali tidak marah.

Dalam pada itu si sastrawan berkapak raksasa Gi Eng-si telah menyela, katanya, "Kongcu, Kwan Hui-tok jelas merupakan manusia yang sangat berbahaya, walaupun otot kakinya sudah dicabut, dia masih sanggup melukai orang dengan tenaga pukulannya, bahkan dari balik pintu masih mampu melukai kepala sipir Liong, lebih baik secepatnya kita babat rumput hingga seakar-akarnya."

Li Wang-tiong termenung sejenak, kemudian sahutnya, "Sebenarnya aku ingin menggunakan orang ini untuk membantu usaha ayah, tapi kalau dilihat wataknya yang begitu keras kepala dan tak tahu diri, kelihatannya dibiarkan terus pun percuma”

Lalu kepada Liong Giam-ong perintahnya, "Cepat kau undang kemari Kwan Hui-tok, ingat! Diundang kemari."

Melihat Li Wang-tiong sama sekali tidak menegur sebaliknya malah memberi tugas lain, Liong Giam-ong girang setengah mati, cepat sahutnya, "Baik!"

Dengan tergopoh-gopoh dia beranjak pergi dari situ.

Dengan begitu, sekarang tinggal Tong Keng seorang yang harus berhadapan dengan lima tokoh aneh berwajah pucat.

ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar