Lembah Tiga Malaikat Jilid 17

Jilid 17

"Boanpwe adalah Kwik Soat kun..."

"Kwik Soat kun... Kwik Soat kun.." gumam kakek baju biru itu berulang kali. "Aku lahir agak terlambat, sehingga ketika Locianpwe masih ternama dan menggetarkan seluruh dunia persilatan dulu, boanpwe masih belum terjun ke dalam arena dunia persilatan."

"Oh... kiranya begitu."

Kwik Soat kun segera mengalihkan sorot matanya memandang wajah Buyung Im seng, setelah itu ujarnya: "Locianpwe, apakah kau tidak kenal dengan Buyung kongcu ini?"

Kakek baju biru itu menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya pelan. "Sesudah belasan tahun lamanya lohu menghuni tempat ini, terhadap dunia persilatan boleh dibilang sudah jauh sekali. tentu saja tiada orang yang kukenal lagi, terutama angkatan mudanya."

"Walau locianpwe tidak kenal dengan Buyung kongcu, tapi menggunakan nama ayahnya sudah pasti locianpwe akan segera mengenalinya."

"Walaupun lohu sudah cukup lama berkelana didalam dunia persilatan, namun tidak banyak yang kukenal, belum tentu lohu kenal dengan ayahnya."

"Nama ayahnya itu meski belum pernah locianpwe jumpai paling tidak pasti pernah kau dengar."

"Oh... kalau begitu dia pastilah seorang manusia yang amat ternama sekali." "Betul, apakah locianpwe pernah mendengar tentang Buyung Tiang kim?"

325 

Seakan-akan dadanya secara tiba-tiba kena dihantam keras, mendadak kakek berbaju biru itu melompat bangun, tapi sejenak kemudian pelan-pelan dia duduk kembali ke tempat semula, katanya pelan. "Lohu memang pernah mendengar nama Buyung tayhiap..."

Kemudian sambil mengulapkan tangannya, dia melanjutkan. "Kalian boleh segera menutup pintu dan pergilah!"

Buyung Im seng yang menyaksikan kejadian itu menjadi agak tercengang dan tidak habis mengerti, dengan termangu-mangu dia mengawasi sekejap wajah kedua orang itu, akhirnya pelan-pelan dia menutup kembali pintu ruangan itu.

Kwik Soat kun segera menghela napas panjang, katanya. "Kongcu, untung saja kau tak sampai bertarung melawan mereka, kalau sampai pertarungan berkobar tadi, niscaya sulit buat kita meloloskan diri dari tempat ini."

"Kenapa?" tanya Buyung Im seng dengan suara lirih.

"Liong-hong siang kiam merupakan manusia yang termasyhur namanya dalam dunia persilatan dimasa lalu, terutama sekali di kalangan wilayah Kang lam maupun Kang pak, semua jago2 yang ada di dunia persilatan ketika itu, terutama sekali kaum liok lim rata2 menaruh rasa segan dan takut yang besar terhadap mereka."

"Siapa tahu kalau nama besar mereka itu hanya nama kosong belaka?" sela Nyo hong leng.

"Perkumpulan kami bisa menanamkan kekuatannya didalam perguruan Sam seng bun bukannya sama sekali tanpa sebab, bila berbicara soal ilmu silat bukan saja sulit bagi kami untuk beradu kekuatan dengan pihak Sam seng bun, sekalipun dengan perguruan lain yang lebih tangguhpun kami masih kalah, itulah sebabnya kami mengesampingkan kekuatan dengan memilih kecerdasan otak untuk menghadapi mereka, sekalipun Sam seng bun memiliki kekuatan yang sangat tangguh, tapi mereka tak mampu untuk menekan dan mendesak Li ji pang kami untuk keluar dari keramaian dunia persilatan, bukan saja perkumpulan kami sangat menguasai tentang situasi yang berada dalam dunia persilatan dewasa ini,

lagi pula kamipun mempunyai catatan yang cermat dan seksama terhadap jago-jago dunia persilatan selama puluhan tahun berselang ini, bukan saja kami berhasil melakukan penyelidikan terhadap para jago-jago yang pernah tersohor pada lima puluh tahun berselang lagi pula kamipun berhasil membuat catatan tentang raut wajah mereka.."

"Oleh karena itu begitu berjumpa dengan mereka berdua, nona segera mengenalinya sebagai Liong hong siang kiam?"

"Benar!"

Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan. "Hanya ada satu kasus dalam dunia persilatan yang hingga kini tidak berhasil kami ketahui."

"Kasus apakah itu?"

"Tentang kematian ayahmu, walaupun perkumpulan kami telah mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki untuk melakukan penyelidikan, tapi sampai kini 

masih tetap merupakan teka teki yang tak terpecahkan, kami tidak berhasil mengetahui keadaan yang sebenarnya."

"Buyung tayhiap mati karena dikerubuti orang banyak, tentu saja sukar untuk diselidiki keadaan yang sebenarnya, sebab pelaku dari kejahatan itu bukan cuma seorang saja." sela Nyo hong leng.

"Sekalipun begitu kenyataannya dan pangcu kamipun berpendapat demikian ketika itu, namun setelah melakukan penyelidikan yang seksama, kemudian baru diketahui kalau bukan demikianlah duduk persoalan yang sebenarnya, semua titik terang yang berhasil kami kumpulkan atau kami lacaki itu, tahu-tahu sudah terputus ditengah jalan, bahkan makin diselidiki keadaannya semakin kalut dan membingungkan."

Tampaknya dia merasa sudah membeberkan rahasia terlampau banyak, maka secara tiba-tiba dia membungkam diri.

Terdengar suara dari kakek baju biru itu berkumandang lagi dari balik pintu ruangan yang tertutup rapat. "Buyung kongcu!"

Sekalipun suaranya tak terlalu keras, tapi Buyung Im seng dapat mendengar dengan jelas sekali, bahkan Kwik Soat kun maupun Nyo hong leng juga dapat dengar dengan jelas.

Buyung Im seng segera berhenti, ditengoknya pintu ruangan itu, kemudian serunya. "Apakah locianpwe sedang memanggilku?"

Dari balik pintu ruangan kembali berkumandang. "Memandang muka ayahmu, lohu bersedia memberitahukan beberapa persoalan kepadamu."

"Dengan senang hati boanpwe akan mendengar petunjuk tersebut."

Suara itu kembali berkumandang. "Bila kau dapat mengurangi rasa ingin tahumu dan tidak mendorong pintu lain untuk mengetahui isinya, sebaliknya berjalan menuju ke ruang Seng tong, maka hal ini justru akan memberi banyak keuntungan bagi dirimu."

Sekalipun Buyung Im seng merasa keheranan setengah mati, namun diapun tak banyak bertanya lagi, setelah menjura katanya. "Terima kasih banyak atas petunjuk locianpwe.

Dari balik ruangan kembali terdengar. "Sekarang kalian boleh pergi, maaf kalau lohu tak bisa memberi petunjuk lagi kepadamu."

"Tidak berani merepotkan cianpwe."

Kwik Soat kun segera menarik ujung baju Buyung Im seng dan berbisik lirih. "Mari kita pergi!"

Beberapa orang itu segera membalikkan tubuhnya dan berjalan lebih jauh ke depan.

Tempat itu bagaikan sebuah jalan raya saja, kedua belah sisi jalan penuh dengan perumahan yang saling bersambungan satu dengan lainnya, dan bangunan tadi 

kebanyakan adalah rumah-rumah batu yang rendah dan pendek dengan warna yang sama.

Tapi pintu kayu tidak banyak, setiap pintu paling tidak berjarak antara empat kaki lebih.

Oleh karena dalam ruangan batu pertama tadi mereka telah menemukan Liong hong siang kiam, hal mana menimbulkan suatu keinginan dalam hati Buyung Im seng untuk memeriksa ruangan yang lain, sebab dia merasa bahwa dibalik ruangan tersebut besar kemungkinannya juga dihuni oleh orang.

Akan tetapi dalam harinya dia pun masih teringat dengan pesan si kakek baju biru yang melarangnya untuk mendorong pintu kayu tersebut untuk menengok ke dalam.

Padahal dorongan hati yang kuat mendorong dirinya untuk membuka pintu tadi untuk melihat keadaan yang sesungguhnya.

Alhasil timbullah pertentangan batin yang cukup kuat didalam hatinya, hal mana membuat pemuda itu menjadi sangsi, akibatnya setiap kali berada di depan pintu kayu, tanpa terasa dia menghentikan sejenak langkah kakinya.

Kwik Soat kun, Nyo hong leng dan Siau tin tidak berkata apa-apa, namun dalam hati merekapun timbul perasaan ingin tahu yang tak kalah besarnya daripada perasaan Buyung Im seng sendiri.

Maka setiap kali Buyung Im seng berhenti sejenak untuk menengok ke arah pintu ruangan itu, mereka turut berhenti sejenak, enam buah mata bersama sama dialihkan ke arah pintu itu, sedangkan mimik wajahnya menunjukkan gejolak perasaannya yang ingin maju dan menengok keadaan yang sebetulnya.

Secara beruntun mereka telah melewati empat buah pintu, tapi semuanya dilewati saja tanpa dibuka untuk memeriksa keadaan yang sesungguhnya, setelah melewati empat buah pintu tadi, sampailah mereka di perempatan jalan.

Ternyata bangunan rumah yang berada ditengah dinding pekarangan yang amat tinggi ini aneh sekali, di sana terbentang sebuah jalan yang berbentuk persimpangan, ketika Buyung Im seng berdiri ditengah persimpangan jalan tadi dan memeriksa keadaan di sekelilingnya, maka dijumpainya pada ketiga buah jalan yang lain pun mempunyai corak serta keadaan yang sama dengan bangunan dimana mereka baru saja melewatinya.

Kecuali sebuah jalan raya yang membentang lurus dikedua belah sisinya juga terdapat bangunan rumah yang terbuat dari batu.

Bangunan batu yang bersusun susun dibangun dalam satu deretan yang sama, sepintas lalu tampaknya seluruh deretan penuh dengan bangunan, adalah yang sebenarnya adalah terpisah-pisah.

Anehnya pintu yang ada di sana sangat sedikit sekali jumlahnya, sepertinya tiap lima buah bangunan rumah baru terdapat sebuah pintu dan pintu itupun berada dalam keadaan tertutup rapat.

Keanehan yang terdapat pada bangunan rumah batu adalah selain pintu, ternyata di situ tak ada sebuah jendelapun, seakan akan tempat itu hanya sebuah gudang penyimpanan barang saja. 

Buyung Im seng memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian pelan2 katanya. "Ditempat ini benar2 terdapat sebuah pemandangan lain dari yang lain, bangunan rumah berwarna abu-abu, ditambah pintu yang tertutup rapat dan sama sekali tidak ada bayangan manusia, tidak kedengaran sedikitpun suara, tapi dalam setiap bangunan rumah tersebut kemungkinan besar dihuni orang, dalam suasana yang begini misterius dan anehnya aku jadi bertanya tanya kepada diri sendiri, sebenarnya tempat ini neraka ataukah surga?"

"Bukan neraka, juga bukan sorga." jawab Nyo hong leng cepat, "Tempat ini tak lebih hanya sebuah penjara yang dibuat oleh seseorang manusia yang amat cerdas untuk mengurung jago-jago persilatan."

"Setelah menyaksikan kehadiran Liong hong siang kiam suami istri di sana aku merasa bahwa ucapan nona memang tepat sekali." kata Kwik Soat pula, "meskipun aku tak dapat melihatnya, akan tetapi dapat kurasakan bahwa ditempat ini seakan akan terdapat sesuatu kekuatan tak berwujud yang dapat membelenggu para jago lihai seperti sepasang suami istri tadi, sehingga mereka sama sekali tak berani keluar ruangan itu untuk melarikan diri."

Pelan-pelan Buyung Im seng mengangguk, "Benar" sahutnya, "setelah sampai di sini sepanjang jalan kita tidak menjumpai alat jebakan atau penjagaan yang ketat, tapi herannya kenapa para tawaran itu rela berdiam di sini dan mati ditempat ini daripada mengambil keputusan untuk melarikan diri."

"Dimana tidak nampak suatu penjagaan yang berwujud, berarti di sana pasti terdapat suatu kekuatan tak berwujud yang telah membelenggu mereka semua." kata Nyo hong leng.

"Pendapat ini memang lihai sekali" bisik Kwik Soat kun, "tapi apakah kongcu telah melihat bahwa di sana terdapat rantai atau borgol tak berwujud yang telah membelenggu mereka?"

Nyo hong leng menggelengkan kepalanya berulang kali. "Aku sama sekali tidak menemukannya, tapi asal aku diberi kesempatan dan waktu yang cukup, rasanya tak sulit untuk menemukan sebab musabab yang membuat mereka berbuat demikian."

"Kalau toh mereka sudah tahu akan kunjungan kita kemari, aku sungguh heran, kenapa belum nampak juga ada manusia yang menampilkan diri untuk membawa jalan?"

"Apakah merekapun bermaksud untuk membelenggu dan mengurung kita ditempat ini?" kata Buyung Im seng.

Kwik Soat kun memeriksa dulu di situ, kemudian setelah menentukan arah dia berkata: "Kita masuk dari pintu selatan, jika Seng tong tidak terletak didalam halaman yang luas ini, berarti kita harus berjalan menunjuk ke sebelah utara." "Yaa, tampaknya kita memang harus berbuat demikian sekarang!" sahut Buyung Im seng. 

Tanpa banyak bicara lagi dia segera melangkah menunjuk ke arah utara lebih dahulu. Jalanan itu panjangnya hanya belasan kaki setelah melewati empat buah pintu kayu, sampailah mereka di ujung jalan.

Tampak sebuah pintu batu yang menghalangi jalan pergi mereka pelan-pelan membuka sendiri, lalu sebuah pemandangan lain yang luar biasa terbentang kembali di depan mata.

Dibalik pintu batu itu terbentang sebuah jalan yang beralaskan batu putih, batu putih beraneka warna bunga tumbuh dengan indahnya disekitar sana, jalanan tadi langsung berkelok ke arah kerumunan bunga tadi, dibandingkan dengan suasana menyeramkan di luar pagar dinding tadi benar2 jauh berlawanan.

Nyo hong leng memandang sekejap aneka bunga yang tumbuh di sana, kemudian termenung beberapa saat lamanya, setelah itu sambil menghela napas panjang katanya. "Aku mengerti sekarang aku mengerti..."

"Apa yang kau pahami?" tegur Buyung Im seng dengan wajah keheranan. Pelan-pelan Nyo hong leng berjalan ke arah pintu batu itu, kemudian katanya. "Coba kalian perhatikan dengan seksama warna dari bunga-bunga ini?" "Adakah sesuatu yang tidak beres dengan warna bunga ini?"

Nyo hong leng mengulurkan tangannya untuk menuding sekelompok bunga, kemudian katanya. "Coba kalian perhatikan warna dari bunga tersebut, bukankah di setiap bagian tentu terdapat warna yang amat jelas? Walaupun sepintas lalu nampak serabutan tapi sesungguhnya beraturan sekali."

"Kesemuanya itu melambangkan apa?" tanya Buyung Im seng setelah memperhatikannya beberapa saat.

"Sesungguhnya tumbuh bunga yang berada di sini disusun menurut suatu kedudukan ilmu barisan yang sangat lihai, tampaknya Sam seng tong memang benar-benar luar biasa, pelbagai manusia berbakat tampaknya muncul di sini." "Menggunakan bunga untuk membuat barisan aneh?"

"Ehm... aku kenal sekali dengan ilmu barisan ini dan aku yakin pandanganku tak bakal salah lagi."

"Seandainya warna2 bunga itu luntur apakah barisan aneh ini masih digunakan?" tanya Kwik Soat kun tiba-tiba.

"Sekalipun warna bunganya sudah luntur barisan aneh ini masih ada kegunaannya."

Kwik Soat kun segera memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian katanya. "Kalau toh nona sudah mempunyai keyakinan terhadap ilmu barisan ini, mari kita serbu saja ke dalam."

"Tampaknya mereka bermaksud untuk mengurung kita dalam barisan bunga ini, maka mereka tidak mengirim orang untuk menyambut kedatangan kita ini." 

Kwik Soat kun segera tersenyum, katanya, "Sayang mereka sama sekali tidak menyangka kalau diantara mereka berempat masih terdapat seorang tokoh lihai yang memiliki kecerdasan yang luar biasa sekali."

Nyo hong leng tersenyum. "Aaah... cici suka benar bergurau." katanya. Sambil melangkah maju ke depan, bisiknya dengan suara lirih.

"Kalian harus perhatikan baik2 tempat dimana kakimu berpijak, jangan sampai salah barang selangkahpun, sebab bila salah melangkah akibatnya akan merepotkan sekali."

"Jangan kuatir nona, rupanya kami tak akan salah mengikuti jejakmu..."

Nyo hong leng tidak banyak bicara lagi, dia segera melangkah ke depan dan menelusuri barisan bunga itu.

"Kongcu..." seru Kwik Soat kun sambil menjura.

Buyung Im seng juga tidak sungkan-sungkan lagi, dengan cepat dia mengikuti di belakang Nyo hong leng.

Kwik Soat kun dan Siau tin segera menyusul di belakangnya, selangkah demi selangkah mereka mengikuti terus dengan ketat di belakang tubuh Nyo hong leng. Siau tin berjalan dipaling belakang, dia merasa beraneka bunga yang tumbuh di sana menyiarkan bau semerbak, dan tak ditemukan sesuatu yang aneh, tanpa terasa timbullah sifat kekanak-kanakannya.

"Dia bilang barisan bunga ini sangat lihai sekali" demikian nona itu berpikir. "heran, kenapa aku sama sekali tak menemukan apa-apa? Mungkin ucapan tersebut hanya tipuan belaka, kenapa aku tak mencoba-coba untuk membuktikan sampai dimanakah kehebatan dari ilmu barisan yang dikatakan hebat ini?" Berpikir demikian sengaja dia tak menuruti langkah kaki yang dilakukan Nyo hong leng, sebaliknya malah melangkah dua tiga ke samping kiri.

Sekalipun hanya berbeda dua langkah ternyata pandangan yang dihadapinya mendadak berubah sama sekali. Dia merasakan pandangan matanya menjadi kabur, tahu-tahu ia sudah kehilangan jejak Nyo hong leng sekalian.

Mimpi pun Siau tin menyangka kalau perbedaan yang cuma dua langkah itu akan mengakibatkan suatu perubahan yang begitu besar, tak tahan lagi dia segera berteriak keras.

Mendadak Nyo hong leng berhenti dan berpaling ke belakang, ia saksikan Siau tin yang berada ditengah kerumunan aneka bunga itu sedang menari-nari seperti orang gila, tampaknya dia terperosok ke dalam barisan yang sangat lihai itu.

Kwik Soat kun yang menyaksikan Siau tin sedang tergagap seperti orang yang tercebur ke dalam air juga turut keheranan, diam-diam pikirnya di hati. "Sudah jelas tempat ini hanya kerumunan bunga belaka, kenapa bisa memperlihatkan kehebatan seperti ini? Benar2 membuat orang tidak habis mengerti."

Tampak butiran keringat sebesar kacang kedelai sudah membasahi seluruh tubuh Siau tin, agaknya dia sedang merasakan suatu penderitaan yang luar biasa sekali, 

sikap seperti itu bukan sengaja dilakukan untuk berpura-pura tapi terasa kembali dia berpikir.

"Jika aku mengulurkan tangan untuk menyelamatkan dirinya, kejadian ini pasti akan merusak nama baik perkumpulan Li ji pang dimata orang lain."

Perempuan ini memang sangat cekatan dan cerdik sekali, walaupun dia berniat untuk menolong orang, namun sebisanya dia berusaha untuk menghindarkan diri dari suatu ancaman bahaya, maka sepasang kakinya dipantekkan lekat-lekat ditempat semula sementara tubuhnya segera membungkuk ke depan untuk meraih tubuh Siau tin.

Terdengar Nyo hong leng berbisik lirih. "Tidak usah Nona Kwik repot2."

Dia segera masuk kerumunan bunga itu, sekalipun jaraknya dengan Siau tin tidak begitu jauh dan hanya memerlukan tiga lima langkah sudah akan mencapai tempat dimana Siau tin berada, namun didalam kenyataannya dia harus berputar satu lingkaran besar lebih dahulu sebelum mencapai tempat tersebut.

Kemudian setelah berhasil meraih tubuh Siau tin sekali lagi Nyo hong leng harus berputar cukup jauh sebelum balik ke tempat semula.

Setelah sampai di sisi Kwik Soat kun, Siau tin seakan akan melihat matahari kembali, sambil membesut keringat yang membasahi wajahnya dia bergumam. "Sungguh lihai, sungguh lihai sekali!"

Ketika dilihatnya Kwik Soat kun sedang melotot ke arahnya dengan wajah gusar, buru-buru dia menundukkan kepalanya sambil berseru. "Dosa tecu benar2 patut dihukum mati!"

Kwik Soat kun segera mendengus dingin, tegurnya. "Kau terjebak dalam barisan itu karena tidak sengaja, ataukah memang bermaksud untuk mencobanya?" "Tecu..."

Buyung Im seng yang berada disampingnya segera menukas. "Sudahlah, harap nona Kwik suka memandang wajahku untuk tidak memperpanjang persoalan ini lagi."

Sambil tertawa Kwik Soat kun lantas manggut2, sahutnya. "Perintah kongcu tentu saja akan kuturuti." Kemudian sambil mengalihkan sorot matanya ke wajah Siau tin, dia melanjutkan. "Tempat ini adalah tempat yang sangat berbahaya, setiap langkah berarti ancaman yang mematikan, sudah berhati-hati dan bertindak cermatpun ada kalanya akan terperosok juga ke dalam perangkap, tak kusangka kau berani mencoba-coba untuk menentang bahaya. Hm... kau harus tahu, soal mati hidupmu adalah soal kecil, tapi kalau akibatnya sampai merembet kepada orang lain, bukanlah kesalahanmu itu benar2 tidak terampuni?"

"Tecu tahu salah."

"Sudahlah" sela Nyo hong leng pula. "Bagaimanapun juga persoalan ini kan sudah lewat, kini selanjutnya hati-hati. Mari kita berangkat!"

Selesai berkata dia lantas melangkah maju lebih dulu, Buyung Im seng dan lainlain segera mengikuti kembali di belakang Nyo hong leng. 

Waktu itu Siau tin sudah mengetahui akan kelihaian barisan bunga itu, maka kali ini dia mengikuti petunjuk orang dengan seksama, sedikitpun tak berani bertindak gegabah lagi.

Di bawah petunjuk Nyo hong leng, akhirnya beberapa orang itu berhasil keluar dari barisan bunga itu dengan selamat.

Setelah melewati barisan bunga, pemandangan yang terbentang di depan mata kembali berubah. Tampak dua orang bocah baju hijau yang masing2 menyoren sebilah pedang sedang berdiri lurus lebih kurang dua kaki di luar barisan bunga tersebut.

Sepanjang jalan yang terbentang sekarang merupakan pepohonan yang sengaja dipotong rendah dan rata, tampaknya pepohonan rendah itu dipakai sebagai pengganti dinding pekarangan, didalamnya terbentanglah tanah lapang berumput yang indah.

Dimana dua orang bocah berpedang itu berdiri tak lain adalah pintu masuk dari dinding pekarangan yang berupa pohon2 pendek itu.

Nyo hong leng segera berbisik kepada Kwik Soat kun. "Tampaknya kembali akan terjadi perang mulut, cici, lebih baik kau saja yang menghadapi mereka."

Kwik Soat kun tersenyum, pelan-pelan dia melangkah ke depan dan langsung menuju kehadapan dua orang bocah itu.

Dua orang bocah itu segera mementangkan matanya bulat2 dan mengawasi wajah Kwik Soat kun tanpa berkedip.

Diam-diam Kwik Soat kun memperhatikan dua orang bocah itu sementara otaknya sedang berputar bagaimana caranya untuk bicara menghadapi kedua bocah ini, kalau dilihat dari pandangan yang terbentang di sana, tampaknya jaraknya dengan Seng tong tak jauh lagi. 

Dalam keadaan dan situasi semacam ini setiap perkataan maupun tindakan sudah tak boleh melakukan kesalahan lagi.

Siapa tahu, apa yang kemudian terjadi sam sekali di luar dugaannya, ketika Kwik Soat kun telah tiba di hadapan kedua bocah itu, ternyata mereka belum juga mengucapkan sepatah katapun.

Ketenangan dan kemantapan yang diperlihatkan dua bocah itu membuat kewaspadaan Kwik Soat kun meningkat, ia segera berhenti, kemudian setelah memperhatikan sekejap kedua bocah itu tegurnya. "Mohon petunjuk dari kalian berdua!"

Empat buah mata jeli dari kedua bocah itu bersama sama dialihkan ke wajah Kwik Soat kun, kemudian manggut2 dan menyingkir ke samping untuk memberi jalan lewat, jelas mereka bermaksud untuk mempersilahkan mereka melewati tempat itu.

Cuma anehnya, kedua bocah itu sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Dengan pandangan yang dingin Kwik Soat kun memperhatikan terus gerak gerik dari dua bocah tadi, sewaktu dilihatnya mereka sama sekali tidak bermaksud jahat, dia menjadi semakin keheranan lagi, pikirnya kemudian, "Heran, mengapa kedua 

bocah ini tidak berbicara sebaliknya menggunakan gerakan tangan untuk menggantikan ucapannya, apa arti dan tujuan mereka yang sebenarnya?" Berpikir sampai di situ, sengaja dia bertanya "Maksud kalian apakah tempat ini adalah jalan menuju ke ruang Seng tong?"

Dua bocah itu tertawa dan manggut2, namun mereka tetap membungkam dalam seribu bahasa.

Dalam pad itu, Buyung Im Seng dan Nyo hong leng sekalian telah tiba di situ, dua orang bocah itu segera memperhatikan beberapa orang itu sekejap, setelah itu masing-masing mundur dua langkah.

Maksud dari tindakannya itu sudah jelas sekali, yakni bersiap siap untuk mempersilahkan beberapa orang itu lewat, sama sekali tidak bermaksud untuk menghalanginya.

Kwik Soat kun yang selama ini cekatan dan cerdik, pada saat ini dibikin tertegun juga dibuatnya, dia benar2 dibikin tidak habis mengerti oleh sikap lawannya, maka sambil mengerahkan tenaga dalamnya bersiap siaga, dia melangkah ke dalam.

Buyung Im Seng, Nyo hong leng dan Siau tin dengan cepat mengikuti pula. Benar juga, dua bocah itu sama sekali tidak turun tangan untuk menghalangi jalan, apa yang mereka lakukan hanya menyaksikan beberapa orang itu lewat dengan sikap tenang.

Kwik Soat kun berpaling dan memandang sekejap ke arah Buyung Im Seng, lalu bisiknya. "Kejadian ini benar2 aneh sekali."

"Bagaimana anehnya?"

"Kedua bocah itu sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun, sikap mereka seperti orang bisu saja, tapi kalau kita lihat raut wajah mereka, tampaknya orang2 itu bukan seorang bisu, lagi pula tempat ini sudah merupakan Sam seng tong yang paling keramat dalam pandangan mereka, mana mungkin mereka mengutus penjaga pintu bisu untuk menyambut kedatangan kita? Kejadian ini benar2 membuat orang merasa tidak habis mengerti."

"Ya, tempat ini memang penuh diliputi oleh kemisteriusan dan keanehan yang luar biasa, kita tak bisa menulisnya dengan menggunakan pikiran wajar, dan lagi sekarang kita sudah memasuki daerah yang paling rawan, harapan untuk meninggalkan tempat ini dalam keadaan selamat minim sekali, asal kita bisa melihat sesuatu yang aneh tak anggap aneh rasanya hal mana cukup aman untuk kita."

Kwik Soat kun segera tersenyum. "Kita datang kemari dengan menempuh marabahaya, tapi bukan berarti sama sekali tiada harapan lagi untuk meraih kemenangan, bukankah tujuan kongcu datang kemari hanya ingin menambah pengetahuan dan pengalaman saja? Bukankah kau bermaksud untuk memecahkan pelbagai kecurigaan yang mencekam hatimu?"

"Kecuali kalau pihak Sam seng tong ada maksud menghantar kita untuk meninggalkan tempat ini, pada hakekatnya sukar untuk berlalu dari sini, apalagi untuk melewati lorong rahasia di dalam lambung bukit tersebut." 

"Kongcu, siapa yang berhati bajik dia akan memperoleh banyak bantuan, siapa tahu kalau mara bahaya yang kita hadapi akan berubah menjadi suatu kemujuran?"

Buyung Im Seng tertawa. "Ah... ucapan semacam begitu tak bisa dianggap sebagai suatu kata yang benar, apalagi toh sama sekali tak ada hubungannya dengan semua perhitungan dan akal manusia."

Kwik Soat kun membereskan rambutnya yang panjang, baru saja bersiap hendak menjawab, tiba2 tampaklah seorang kakek jubah hijau telah muncul dari depan sana.

Maka diapun segera menutup mulutnya rapat2. sungguh cepat sekali langkah kaki si kakek itu, dalam waktu singkat telah tiba di hadapan mereka. Tampak ia menjura kemudian tegurnya. "Siapakah diantara kalian yang bernama Kwik hu pangcu?"

Kwik Soat kun segera memberi hormat sambil menyahut. "Akulah orangnya!" Kakek itu segera manggut2, katanya. "Sekarang kalian telah tiba di suatu tempat yang amat penting, di depan sana terbentang sebuah persimpangan jalan, disanalah terletak persimpangan yang akan menentukan mati dan hidup kalian..." "Ketika melewati jalan rahasia dalam lambung bukit tadi, pelbagai mara bahaya telah kami hadapi, sampai detik inipun kami tak pernah berhasrat untuk mundur, itu berarti kami sudah tidak mempersoalkan mati hidup lagi." Tukas Kwik Soat kun.

"Oh... begitu, anggap saja lohu yang telah banyak mulut."

"Itu sih tidak, sekalipun kami tidak menerima anjuran baikmu itu, namun kami merasa amat berterima kasih sekali atas maksud baik dari locianpwe."

Pelan-pelan kakek itu mengalihkan sorot matanya ke wajah Buyung Im Seng, setelah itu tegurnya. "Apakah kau adalah Buyung kongcu?"

"Betul, boleh aku tahu siapa nama locianpwe?"

"Lohu sudah cukup lama berbakti kepada Seng tong, namaku sudah lama tidak pernah digunakan lagi, lebih baik tak usah disinggung."

Kedengarannya hanya beberapa patah kata yang amat sederhana, padahal dibalik perkataan itu terseliplah rasa sedih yang tebal.

Walaupun Buyung Im Seng tak dapat meresapi rasa kesal dan sedih yang sudah lama mencekam perasaan si kakek itu, namun dia dapat merasakan bahwa orang ini ramah dan sama sekali tak bersikap bermusuhan.

Maka sambil menjura katanya. "Bila locianpwe enggan untuk menyebutkan namamu, boanpwe juga tidak akan memaksa, tapi kami tak tahu bagaimana sebutan kami kepada locianpwe?"

Kakek itu tertawa, "Nama besar ayahmu sudah lama tersohor di seluruh dunia, sikapnya yang ramah tamah dan tahu sopan santun sudah lama dipuji orang, tampaknya kongcu telah mewarisi semua kebaikan ayahmu itu..." 

Buyung Im Seng mendongakkan kepalanya dan memperhatikan kakek itu sekejap, dia lihat kakek itu mempunyai alis mata yang panjang dengan sepasang mata yang tajam, dia tampak berwibawa sekali, cuma sayang kemurungan dan kesedihan mencekam wajahnya.

Mendadak timbul perasaan hormatnya terhadap kakek itu, sambil menjura sahutnya. "Locianpwe terlalu memuji."

Kakek itu tertawa, katanya. "Lohu adalah hu-hoat dari ruang Seng tong, harap kongcu memanggilku sebagai Im hu-hoat saja."

"Oh... rupanya Im locianpwe, maaf jika boanpwe kurang hormat."

Cepat2 Im hu-hoat mengulapkan tangannya. "Tidak berani." Dia menyahut, "keberhasilan kongcu untuk mencapai tempat ini dengan selamat sangat menggetarkan hati Seng tong oleh sebab itu lohu khusus diutus kemari untuk menyambut kedatangan kongcu sekalian..." 

"Kalau toh kau datang untuk menyambut kenapa pula kau singgung soal jalan kehidupan dan kematian?" sela Kwik Soat kun.

"Kalian terlalu memperhatikan kemampuan yang kalian miliki, karenanya Sen-cu telah memutuskan untuk menyambut kedatangan kalian untuk memasuki ruang Seng tong, menurut apa yang lohu ketahui, barang siapa yang memasuki ruang seng tong maka hanya ada dua jalan yang ditempuh, kalau bukan jadi anggota Sam seng bun hanya kematian yang tersedia, selama dua puluh tahun belakangan ini belum pernah lohu saksikan ada orang yang bisa mengundurkan diri dengan selamat setelah memasuki ruang seng tong tersebut."

Setelah memandang sekejap ke arah Kwik Soat kun, dia melanjutkan. "Sebelum lohu berangkat, mari untuk melaksanakan tugas, Seng cu telah berpesan, hanya Buyung kongcu seorang yang diperkenankan masuk untuk menjumpainya, itu berarti ia berhasrat untuk membebaskan hu pangcu sekalian dari kematian, asal nona Kwik tidak memasuki Seng tong, berarti terbentang kesempatan untuk meninggalkan tempat ini dalam keadaan selamat."

Buyung Im Seng mendengar perkataan itu segera berkerut kening, katanya. "Siapakah Seng cu kalian? Sebetulnya dia itu orang atau dewa? Heran, kenapa begitu banyak jago silat yang bersedia mendengarkan perintahnya?"

Im hoat memandang sekejap ke arah Buyung Im Seng, kemudian menghela napas panjang, katanya. "Tentu saja Seng cu adalah manusia yang luar biasa sekali kehebatannya."

Mendadak dia merendahkan suaranya sambil melanjutkan, "Bila kongcu masih mau mempertahankan selembar jiwamu, lebih baik hadapilah kenyataan dengan kecerdasan otak, ketahuilah sebagai seorang lelaki sejati kau harus bisa mengimbangi keadaan..."

Sambil tertawa Buyung Im Seng manggut2, selanya. "Terima kasih banyak atas petunjuk Im locianpwe, sayang boanpwe sudah memperhitungkan segala sesuatunya." 

"Kalau memang kongcu sudah mempunyai perhitungan yang matang, lohu pun tak akan banyak bicara lagi."

Sorot matanya segera dialihkan ke arah Kwik Soat kun, Nyo hong leng dan Siau tin bertiga, kemudian melanjutkan. "Aku rasa kalian bertiga sebagai anggota Li ji pang tentunya tak usah mengikuti Kongcu memasuki Seng tong, bukan?"

Diam-diam Buyung Im Seng berpikir. "Walaupun kami sudah mempunyai janji untuk bersama sama memasuki tempat berbahaya ini dan hidup mati bersama, tapi sebelum benar2 melangkah ke dalam suatu keadaan yang tak menentu, memang ada baiknya bila mereka sendiri yang mengambil keputusan."

Berpikir demikian ia lantas berkata sambil tertawa. "Tentang soal ini, lebih baik mereka bertiga saja yang memutuskan sendiri."

Paras muka Im hu-hoat menjadi serius sekali, dipandangnya sekejap Kwik Soat kun bertiga. Kemudian berkata. "Lohu rasa kalian tak perlu untuk bersama sama menyerempet bahaya, sebab hal itu sama sekali tak ada gunanya."

Nyo hong leng memandang sekejap ke arah Kwik Soat kun, kemudian katanya. "Cici dan Siau tin tak perlu memasuki ruang Seng tong, bagaimana kalau siau moay seorang yang menemani Buyung kongcu?"

"Bukankah kita sudah mengadakan perjanjian sebelumnya, sekalipun ruang Seng tong itu berbahaya, sudah sewajarnya kalau kita pergi bersama-sama?" kata Kwik Soat kun.

Im hu-hoat yang menyaksikan keadaan itu segera menghela napas panjang, katanya. "Baiklah, jikalau kalian memang sudah terikat janji, lohu akan membawakan jalan buat kalian."

Setelah berkata dia lantas membalikkan badan dan berjalan ke depan sana.

Buyung Im Seng berpaling dan memandang sekejap ke arah Nyo hong leng, tampak olehnya gadis itu bersikap amat tenang, sorot matanya memancarkan sinar kelembutan, sama sekali tak nampak perasaan jeri atau ngeri barang sedikitpun

jua, hal mana segera mengobarkan dan menimbulkan kembali semangatnya, tanpa banyak bicara lagi dia lantas melangkah pergi dengan tindakan lebar...

Im hu-hoat membawa mereka menuju ke persimpangan jalan itu, mendadak dia berhenti dan mengalihkan sorot matanya memperhatikan raut wajah mereka, ketiak dilihatnya mereka tidak menunjukkan reaksi apa-apa, dia baru membalikkan badan dan berjalan menuju ke arah jalanan beralas batu putih yang berada di bagian tengah.

Walaupun ia tidak mengucapkan sepatah katapun, namun Buyung Im Seng sekalian tahu bahwa palingan tadi merupakan suatu anjuran terakhir tanpa katakata, dia ingin tahu apakah ada diantara mereka yang berubah pikiran.

Tempat itu merupakan sebidang tanah lapang yang berumput halus, terdapat tiga buah jalan kecil yang beralaskan batu putih, dua jalan kecil masing-masing membentang ke arah timur laut dan barat laut, jalanan tersebut membentang ke arah sebuah pepohonan yang jarang. 

Sebaliknya jalanan yang berada dibagian tengah itu paling lebar, tapi juga penuh dengan tikungan, pepohonan amat rapat dan persis menghalangi pemandangan yang berada di depannya, sehingga siapapun hanya dapat memandang satu jarak pandangan seluas lima kaki.

Buyung Im Seng maupun Kwik Soat kun tidak mengenal ilmu ngo heng atau ilmu barisan sebangsanya, maka mereka tak merasakan apa2, hanya dalam hatinya timbul satu perasaan yang aneh, seakan akan pepohonan tersebut diatur dengan suatu maksud tertentu, sebab setiap pohon yang ada di sana seakan2 digunakan untuk menghalangi pandangan orang lain.

Lain halnya dengan Nyo hong leng, diam-diam ia merasa terkejut sekali, sebab dia tahu tempat itu merupakan barisan aneh yang luar biasa hebatnya, terpaksa dia harus pusatkan semua perhatiannya untuk memperhatikan keistimewaan dari barisan tadi.

Setelah berjalan lebih kurang beberapa ratus kaki dan melewati belasan tikungan, akhirnya ia mendengar percikan air yang sedang mengalir, ketika mendongakkan kepalanya, tampak sebuah jembatan terbentang di depan mata.

Di atas jembatan, di bawah gardu kecil duduklah seorang kakek baju merah yang gundul dan berperawakan tinggi besar. Waktu itu, kakek itu sedang menyandarkan kepalanya di punggung kursi dan memejamkan matanya rapat2, jenggotnya yang putih dan sepanjang dada itu berkibar terhembus angin.

Tampaknya sikap Im hu-hoat terhadap kakek baju merah itu menghormat sekali, tiba di ujung jembatan ia segera berhenti, kemudian sambil menjura, katanya. "Saudara Thian heng, siaute mendapat tugas untuk menyambut tamu agung..." 0O0

Bagian ke 25

"Im lote, tak usah banyak adat." Tukas kakek baju merah itu sambil membuka matanya. Pelan-pelan sorot matanya dialihkan ke wajah Buyung Im Seng, setelah memperhatikannya beberapa saat, dia bertanya.

"Pemuda inikah yang dinamakan Buyung kongcu?"

"Betul, apakah saudara Thian heng hendak melakukan penggeledahan?"

Kakek baju merah itu mengerdipkan matanya, mendadak mencorong sinar tajam dari balik matanya, sambil menatap Buyung Im Seng lekat2 katanya. "Sekalipun kau adalah orang yang diundang oleh pihak Seng tong, tapi kaupun harus menuruti juga peraturan yang ditetapkan pada jembatan kiu coan kiau yang lohu jaga ini!" "Peraturan apa?"

"Tidak diperkenankan membawa sepotong besipun menyeberangi jembatan ini." Buyung Im Seng segera menepuk sakunya seraya berkata. "Aku sama sekali tidak membawa senjata."

"Senjata rahasiapun tidak boleh dibawa, seinci besi atau seinci emas pun tak boleh dibawa."

"Oh... begitu keraskah peraturannya?" kata Buyung Im Seng sambil tertawa. 

"Benar, lohu memang bertugas untuk melaksanakan kewajiban itu, harap kau suka memahaminya."

"Perkataan locianpwe terlalu serius." Selesai mengucapkan perkataan itu, dia tidak banyak bicara lagi.

Kakek baju merah itu segera mengerutkan dahinya rapat2, katanya lagi. "Seandainya dalam sakumu terdapat senjata rahasia, atau benda yang termasuk dalam jenis baja, sekarang juga boleh kau serahkan kepada lohu..."

"Jikalau peraturan yang berlaku ditempat ini begini keras, entah bolehkah aku tidak menyeberanginya?"

"Nak, tahukah kau tempat apakah ini?" "Boanpwe tahu."

"Siapa yang tahu keadaan dialah lelaki yang pintar, sudah belasan tahun lamanya lohu berada di atas jembatan ini, tapi belum pernah ada bersikap begini sungkan terhadap orang lain."

"Buyung kongcu", kata Im hu-hoat pula dengan suara lirih, "bila kau membawa senjata rahasia bagaimana kalau diserahkan saja?"

"Benar, sekalipun kau masuk ke dalam dengan membawa senjata, juga belum tentu akan memberikan kegunaan yang besar bagimu." Kata kakek baju merah itu.

Untuk kesekian kalinya Im huhoat berbisik. "Kongcu, turutlah perkataan lohu, keluarkan senjata rahasia yang berada dalam sakumu."

Pelan0pelan Buyung Im Seng merogoh sakunya dan mengeluarkan sebilah pisau belati, kemudian sambil dibuang ke atas tanah katanya. "Demikian sudah boleh bukan?"

Im huhoat segera mengalihkan sorot mata ke arah Kwik Soat kun, lalu katanya pula. "Apa kalian bertiga juga akan turut serta Buyung kongcu untuk bersama sama kesana?"

"Apakah Seng tong ada perintah?" tiba-tiba kakek baju merah itu bertanya. "Walau Seng tong tidak menitahkan kepada siaute untuk membawa serta ketiga orang itu, akan tetapi juga tidak diturunkan perintah melarang mereka ikut."

"Kalau begitu, Im lote sendiri yang memutuskan untuk membawa serta diri mereka bertiga?"

"Mereka berempat sudah mempunyai perjanjian lebih dulu untuk sehidup semati bersama, oleh sebab itu terpaksa siaute membawa serta mereka bertiga, harap saudara Thian heng bersedia untuk melepaskan mereka lewat."

Kakek baju merah itu segera tertawa dingin, "Im lote", katanya. "tidakkah kau rasakan bahwa tamu itu terlalu banyak?"

"Siaute hanya melaksanakan tugas seperti apa yang diperintahkan."

Kakek baju merah itu termenung dan berpikir beberapa saat, kemudian dia berkata. "Baiklah, kesalahan memang bukan terletak pada diri Im lote, lohu tak akan mempersoalkan denganmu." 

Buru-buru Im huhoat memberi hormat sambil berseru. "Kalau begitu siaute ucapkan terima kasih..."

Pelan-pelan kakek baju merah itu mengalihkan sorot matanya memandang Nyo hong leng bertiga, kemudian katanya. "Lohu tak ingin banyak bicara lagi, senjata tajam yang masih berada dalam saku kalian harap segera diserahkan."

"Aku memang membawa senjata rahasia dan senjata tajam." Kata Nyo hong leng pelan, "tapi sayang, aku tak ingin menyerahkannya kepadamu."

"Apa kau bilang?" teriak kakek baju merah itu dengan melotot.

"Akupun tak ingin mengulangi perkataanku sekali lagi, aku rasa tentunya ucapanku tadi sudah cukup jelas bagimu."

"Nona..." seru Im huhoat dengan cemas.

"Persoalan ini tidak menyangkut dirimu." Tukas Nyo hong leng cepat, kau hanya mendapat tugas untuk membawa kami sampai di sini dan kami sudah mengikuti kau sampai di sini maka urusan selanjutnya sama sekali tak ada sangkut pautnya denganmu."

Mendadak kakek baju merah itu mendongakkan kepalanya sambil tertawa terbahak2, suaranya keras bagaikan pekikan naga dan membubung tinggi ke angkasa, siapapun yang mendengarkan suara tertawa tersebut segera merasakan telinganya menjadi sangat sakit. Jelas dia mempunyai tenaga dalam yang sempurna.

"Hmm. Apa yang kau tertawakan?" tegur Nyo hong leng dingin. "Nona cilik, lohu benar-benar merasa kagum sekali kepadamu." "Apa yang kau kagumi?"

"Lohu kagum sekali akan nyalimu yang amat besar." "Oh... terlalu memuji!"

Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan. "Aku tak ingin bertarung denganmu, tapi akupun tak ingin menyerahkan senjata rahasia dan senjata tajam yang berada dalam sakuku, aku rasa kecuali cara ini, tentunya masih ada cara lain untuk menyelesaikan persoalan ini, bukan?"

"Maksud nona?"

"Bagaimana kalau kita mencari suatu cara untuk bertaruh? Bila aku menang, tentu saja aku tak usah menyerahkan senjata rahasia dan senjata tajam yang kumiliki." "Bila lohu yang menang?"

"Terserah apapun keputusanmu."

"Selama hidup lohu hanya silat, sekalipun hendak bertaruh maka pertaruhan tersebut harus berkisar pada ilmu silat."

"Sudah barang tentu."

"Pertaruhan ini tak boleh dilangsungkan." Dengan gelisah Im huhoat mencoba untuk mencegahnya. 

Tapi Nyo hong leng berlagak seakan tidak mendengar ucapan itu, sambil memandang wajah kakek baju merah itu, tanyanya. "Bagaimana cara kita bertaruh?"

Di dalam anggapan Im huhoat sikap kasar dari Nyo hong leng itu pasti akan membangkitkan kemarahan kakek baju merah itu. Siapa tahu, kejadian yang kemudian berlangsung sama sekali di luar dugaannya.

Sambil tersenyum kakek baju merah itu segera berkata. "Begini saja! Lohu akan berdiri di ujung jembatan tersebut dan kau boleh berusaha untuk menerobosinya, asal kau bisa mencapai belakang tubuh lohu, anggap saja kau menang."

"Baik! Dengan cara seperti itu kita harus turun tangan juga, namun baru berkisar antara tiga lima gebrakan belaka, asal ada suatu batasan dan tak perlu saling beradu jiwa, rasanya hal ini sudah lebih dari cukup."

Im huhoat berpaling dan memandang sekejap ke arah Buyung Im Seng, tampak olehnya paras muka pemuda itu amat tenang sekali, seakan sama sekali tak menguatirkan keselamatan Nyo hong leng, bahkan marahpun tidak, tanpa terasa ia lantas bertanya. "Apakah nona itu anggota Li ji pang?"

"Soal itu aku kurang jelas." Jawab Buyung Im Seng.

Im huhoat segera menghela napas panjang, katanya. "Seorang nona cilik berani berbicara sesumbar, aiiii... tak bisa disangkal lagi perbuatannya itu sama halnya dengan mencari kematian sendiri..."

Buyung Im Seng merasa sukar sekali untuk menemukan jawaban yang cocok dan tepat, terpaksa dia berlagak tidak mendengar.

Dalam pada itu, kakek baju merah telah berdiri di ujung jembatan, dengan dingin dia lantas berkata. "Nona cilik, lohu hanya akan menggunakan telapak tangan kiri saja menghadang terjanganmu."

"Jangan terlampau takabur", kata Nyo hong leng sambil tertawa, "siapa tahu kalau nasibku lagi mujur dan bisa melewatinya dengan mudah?"

Paras muka kakek baju merah itu berubah hebat, katanya lagi. "Lohu yakin dengan tangan sebelahpun sanggup untuk menghalangi jalan pergimu."

"Kalau memang begitu, mari kita buktikan bersama!"

Sambil menghimpun tenaga, pelan-pelan ia berjalan ke depan, ketika tiba lebih kurang dua depa dari ujung jembatan, ia baru berhenti seraya berkata. "Masih ada satu hal lagi yang ingin kukatakan lebih dulu."

"Persoalan apa?"

"Kami datang berempat, andaikata aku sampai kena kau lukai atau kau banting ke bawah, mungkin saja mereka akan mencoba lagi atau melakukan seperti apa yang menjadi peraturanmu, tapi bila aku beruntung dan berhasil menangkan dirimu, apakah mereka bertiga masih perlu untuk melakukan pertandingan lagi?"

"Maksud nona?" 

"Aku rasa lebih baik digabungkan menjadi satu saja, bila aku kalah maka mereka akan menuruti peraturan yang berlaku, sebaliknya bila aku yang menang maka mereka akan mengikuti aku untuk menyeberang jembatan bersama, ini berarti tak usah dilangsungkan pertandingan lagi."

"Baik, akan kululuskan permintaanmu itu." Kata si kakek. "Nah, bersiaplah, aku akan melakukan serbuan."

Ketika kakek baju merah itu mendengar ucapan Nyo hong leng makin lama makin besar, tiba-tiba muncul kecurigaan didalam hatinya, setelah menatap wajah gadis itu lekat2 tegurnya. "Kau bukan anggota Li ji pang?"

"Sayang sekali kita tak berjanji untuk saling menerangkan asal usul dan nama masing2, aku rasa kaupun tak perlu banyak bertanya."

Begitu selesai berkata ia lalu melompat ke depan dan langsung menerjang ke arah kakek itu.

Didalam pikiran kakek itu, gadis ini pasti akan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk melayang melewati di atas kepalanya, siapa tahu dia menerjang dengan kekerasan, kontan saja hawa amarah menyelimuti wajahnya, tangan kiri diangkat dan segera melepaskan pukulan ke depan.

Nyo hong leng hanya merasakan tenaga pukulan itu kekuatannya besar sekali, bagaikan gulungan ombak samudra yang menyambar, ia menjadi terkesiap sekali. Dengan cepat pikirnya dalam hati. "Tak nyana kalau si kakek ini mempunyai ilmu silat yang maha dahsyat, tak heran kalau dia berani omong besar."

Sementara itu tangan kanannya secepat kilat telah menyerang ke muka, jari2 tangannya yang runcing khusus mengancam urat nadi pada pergelangan lawan. Kakek itu tertawa dingin. "Bagus!" serunya. Pergelangan tangannya diputar kencang, kelima jari tangannya bagaikan kaitan langsung menyambar ke depan dan balas mencengkeram pergelangan tangan Nyo hong leng.

Kedua pihak sama-sama mempergunakan serangan jarak dekat untuk merobohkan, semua gerakan membacok, menangkap, menotok dan memapas digunakan secara bergantian.

Menghadapi kelihaian lawannya itu, diam2 Nyo hong leng berpikir. "Tampaknya kakek ini selain memiliki tenaga dalam yang sempurna, jurus serangannya juga memiliki perubahan yang luar biasa sekali, aku tak boleh memandang enteng dirinya."

Berpikir demikian, tangan kanannya segera melepaskan sentilan jari yang dilepaskan secepat kilat. Beberapa desingan angin sentilan yang tajam segera meluncur ke depan membelah angkasa.

Agaknya kakek baju merah itu sama sekali tidak menyangka kalau Nyo hong leng memiliki kepandaian sedahsyat itu, dengan perasaan terkesiap ia segera menarik kembali tangannya sambil berseru tertahan. "Haaah... ilmu Tan ci sin kang?!" "Ehmm... pengetahuan yang locianpwe miliki benar2 luas sekali." Puji Nyo hog leng. 

Tangan kirinya segera diangkat dan diayunkan ke depan, seperti menotok seperti pula membacok, jari tangannya yang ramping bergerak kian kemari dengan lincahnya.

Sekali lagi kakek itu berteriak keras. "Haah...! Ilmu totokan Lan hoa hud hiat jiu!" Tangan kirinya segera diayunkan ke depan, bersiap siap menyambut serangan tersebut dengan kekerasan, tampaknya dia sudah tiada kemampuan lain untuk menghindari diri kecuali menangkis datangnya serangan itu.

Siapa tahu Nyo hong leng telah menduga sampai ke situ, pada saat tangan kirinya melancarkan serangan tadi, jari tangan kanannya dilancarkan pula bersamaan waktunya.

Baru saja kakek itu mengangkat tangan kirinya, jari tengah dan jari telunjuk Nyo hong leng telah disentilkan ke depan menghajar jalan darah Ci ti hiat di bawah sikut si kakek.

Walaupun tenaga sentilan yang digunakan Nyo hong leng kali ini tidak terlalu kuat, tapi oleh karena jalan darah penting yang terkena, akibatnya lengan kiri kakek itu tak sanggup diangkat kembali...

Dalam gugupnya kakek itu lupa dengan ucapan sendiri, buru2 tangan kanannya didorong ke depan melancarkan sebuah pukulan.

Tapi dengan cekatan Nyo hong leng melompat mundur, serunya sambil tertawa. "Kau sudah kalah, tangan kananmu telah kau gunakan."

Dengan wajah sedih kakek baju merah itu segera mundur dua langkah, katanya. "Lohu benar2 telah salah melihat, tidak kuduga nona memiliki ilmu silat yang maha dahsyat."

"Kau terlalu memuji."

Kakek baju merah itu menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya kemudian, "Sekarang, kalian boleh menyeberangi jembatan ini."

Dengan langkah lebar dia lantas balik ke dalam gardu duduk kembali ditempat semula.

(Bersambung ke jilid 18)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar