Lambang Naga Panji Naga Sakti Jilid 12

 “Apa yang ingin Phoa heng tanyakan?”

“Ke Kongcu sejak semula sudah punya maksud untuk membegal barang ini sehingga tidak kenal susah payah melakukan perjalanan beribu-ribu li dengan menempug di tengah badai dan hujan salju datang kemari, walaupun telah berjumpa dengan Chin Tayhiap sehingga timbulkan sedikit percekcokan, tapi terhadap persoalan Ke  Kongcu

 untuk membegal barang pusaka itu sama sekali tidak mendapatkan gangguan yang besar….”

Mendadak ia perendah suaranya dengan kata yang lirih sehingga cuma Ke Giok Lang seorang yang bisa menangkap, katanya.

“Sewaktu Ke Kongcu menggunakan siasat memancing harimau meninggalkan gunung, memancing aku orang she Phoa berlalu dan kau menerjang masuk ke dalam kamar penginapan, ditinjau dari keadaan pada waktu itu dengan mudah rasanya Ke Kongcu bisa mendapatkan lukisan pengangon kambing itu, tapi mengapa kau tidak melakukan hal tersebut sebaliknya pergi dan kini balik lagi dengan segala tipu muslihat, apakah hal ini tidak terlalu banyak membuang waktu dan tenaga?”

“Dalam sepasang mata Phoa heng yang jeli dan tajam rasanya tak bakal kemasukan pasir bukan? tapi siauw-te tidak paham apakah Phoa heng sungguh-sungguh tidak tahu? Ataukah sudah tahu tapi pura-pura bertanya?”

“Sudah tentu aku sungguh tidak tahu, bila aku sudah tahu apa gunanya ditanyakan kembali?”

“Mengapa Phoa heng tidak tanyakan urusan ini langsung dengan nona Liauw sendiri?”

“Jika semisalnya nona Liauw suka langsung memberitahukan persoalan itu kepada cayhe, rasanya aku orang she Phoa pun tidak perlu banyak mulut menanyakan persoalan ini kepada Ke Heng.”

Di atas selembar wajah Ke Giok Lang secara samar terlintas suatu perasaan bimbang ragu-ragu, kebingungan kurang percaya, jelas ia tidak percaya terhadap apa yang diucapkan Phoa Ceng Yan barusan ini.  Ketika  itu  Phoa  Ceng  Yan  sedang  gerakan pitnya

 siap mencantumkan namanua di atas kertas tersebut, tapi melihat air muka Ke Giok Lang kelihatan ragu-ragu dan bimbang tak menentu, sepertinya ada satu  persoalan besar yang sukar diucapkan keluar, dalam hati semakin heran lagi. Tak kuasa lagi katanya.

“Ke heng, ada urusan apa membuat Ke heng kelihatan begitu bimbang, serba salah dan ragu-raguu?”

Air muka Ke Giok Lang berubah semakin serius lagi, dengan menggunakan nada suara yang palin perlahan katanya.

“Siauw-te telah melakukan pemeriksaan terhadap urat nadi serta denyutan jantung dari nona Liauw itu, ia benar-benar seorang gadis yang tidak mengerti akan ilmu silat, jikalau Phoa heng sendiripun tidak tahu terhadap persoalan ini tentu masih ada rahasia yang lebih mendalam lagi artinya.”

Diam-diam Phoa Ceng Yan pun menghembuskan napasnya panjang-panjang, pikirnya.

“Ternyata nona Liauw yang bersembunyi di dalam kereta benar-benar menyembunyikan suatu rahasia yang maha besar, bahkan rahasia ini menimbulkan tenaga pengaruh yang membuat hati setiap orang merasa bergidik dan ketakutan, Lam Thian Sam Sah serta Hoa Hoa Kongcu sama-sama dipukul mundur dengan ketakutan setelah melihat rahasia tersebut, tapi sungguh aneh sekali setiap kali aku sendiri yang masuk ke dalam kereta atau kamar tidurnya mengapa tidak berhasil kujumpai sedikit tanda yang mencurigakan pun?

Terdengar Ke Giok Lang dengan suara lirih menyambung, “Apakah antara kalian perusahaan ekspedisi Liong Wie Piauw-kiok dengan Lambang Naga Sakti “Wan Liong Piauw Kie” yang pernah menggetarkan

 seluruh daratan Tionggoan pada tiga puluh tahun berselang serta ditakuti tiga bagian oleh seluruh kawan kawan Bu-lim dari seluruh kolong langit betul-betul tiada sangkut paut dengan kalian?”

“Lambang Naga Sakti?” seru Phoa Ceng Yan agak tertegun.

“Sedikitpun tidak salah, aku dilahirkan di dunia rada terlambat sehingga tidak kualami sendiri bagaimanakah kedashyatan dari Lambang Naga Sakti tersebut, tapi peristiwa ini telah diketahui setiap jago yang pernah berkelana dalam Bu Lim bahkan seluruh partai, seluruh perguruan telah turunkan perintah di mana lambang  naga sakti muncul maka siapapun tidak diperkenankan mengganggu barang seujung rambut atau seujung rantingpun, barang siapa yang melanggar maka perguruan-nya ada kemungkinan ikut mengalami kemusnahan, bila dia adalah seorang perampok maka tiga keturunan akan menemui bencana.”

“Di tempat manakah Ke heng telah berjumpa dengan Lambang Naga Sakti tersebut?”

“Phoa heng, kau lagi pura-pura bodoh? Ataulah tidak ingin rahasiamu diketahui orang?” seru Ke Giok Lang dengan alis berkerut.

Phoa Ceng Yan menggerakkan pitnya bagaikan terbang menanda tangani tanda terima yang ditulis Liauw Thay jien tadi, kemudian seraya menyerahkan tanda terima tadi ketangan Ke Giok Lang ujarnya.

“Ke Kongcu, inilah tanda yang membuktikan aku orang she Phoa benar bewnar bukan sedang berpura pura!”

Ke Giok Lang menerima tanda terima tersebut kemudian tertawa tergelak.

 “Ha….ha…..ha….. peristiwa ini sungguh membuat orang engkau terselimut di balik kabut yang tebal, biarlah aku singkirkan dulu hadangan dari si dewa api Ban Cau kemudian baru kita bicarakan lagi persoalan ini dengan lebih seksama.”

Ia berpaling memandang sekejap ke arah Ban Cau, lalu seraya membentangkan kipasnya ujarnya kembali.

“Ban-heng, tanda terima ini ditulis pribadi oleh Liauw Thayjien dan ditanda tangani oleh Phoa Hu Cong Piauwtauw, ini berarti lukisan pengangon kambin sudah menjadi milik Ke Giok Lang, bilamana Ban heng masih ada maksud hendak merampas barang tersebut, nah! Terjanglah aku orang she Ke, setiap terjangan Ban heng akan kuterima dengan senang hati”.

Air muka Ban Cau berubah sangat dingin, ia melirik sekejap ke arah Liauw Thayjien kemudian Phoa Ceng Yan.

“Kalian berdua rela serahkan lukisan pengangon kambing itu buat Ke Giok Lang. Ini berarti kalian tidak pandang sebelah matapun terhadap aku orang she Ban…”

Tidak menanti orang itu menyelesaikan kata-katanya, Ke Giok Lang sudah memotong diiringi gelak tertawa yang keras.

“Haaa…..haaa….haaa…..sekarang, nasi sudah menjadi bubur, kayu sudah menjadi perahu, sekalipun Ban heng bicara keras juga percuma, perlu kau ketahui, jikalau hatimu mengandung maksud tidak baik maka kita berdua terpaksa harus bereskan urusan ini dengan bergebrak, mau tentukan waktu di kemudian hari atau sekarang juga kita selesaikan urusan ini terserah pada Ban heng sendiri, siauw-te selalu menanti petunjuk!”

 “Ke Kongcu, kau terlalu menghina orang.” teriak Ban Cau sambil tertawa dingin.

Tangan kanan diangkat lantas mengirim satu hantaman ke muka.

Ke Giok Lang meloncat berkelit, kipas di tangan kanannya menyambar keluar dalam gerakan mendatar membabat lengan kanan Ban Cau.

Si Dewa Api yang melihat serangannya mencapai sasaran kosong segera melejit ke atas, telapak tangan diputar kemudian menyambar lewat dari sisi Ke Giok Lang.

Mendadak si Hoa Hoa Kongcu mengempos tenaga sin kang, kemudia meloncat setinggi delapan sembilan depa ke tengah udara laksana seekor kuda sembrani, ia melayang sejauh satu tombak lebih.

Pada saat yang bersamaan sewaktu Hoa Hoa Kongcu Ke Giok Lang berkelit ke samping, pada tempat semula ia berdiri secara tiba-tiba terjadi suatu ledakan yang keras, dalam sekejap mata asap biru itu membumbung tinggi ke angkasa disertai jilatan api yang berkobar.

Phoa Ceng Yan yang melihat kejadian ini hanya bisa berdiri terperanjat, sedang dalam hati pikirnya.

“Sungguh dahsyat, sungguh dahsyat, kepandaian Ban Cau dalam penggunaan senjata berapi sungguh berhasil mencapai taraf kesempurnaan.”

Liauw Thayjien semakin terperanjat lagi melihat peristiwa tersebut, badannya tak kuasa mundur dua langkah ke belakang.

Dalam sekejap mata itulah di tengah kalangan telah terjadi  suatu  perubahan  yang  maha  besar, sekonyong

 konyong terdengar Ban Cau berteriak keras lalu putar badan dan ngeloyor pergi.

Sedangkan si Hoa Hoa Kongcu Ke Giok Lang tetap berdiri di atas permukaan salju dengan wajah serius, ia memandang bayangan punggung Ban Cau yang makin menjauh dengan wajah yang penuh senyuman dingin.

“Ke heng, apakah Ban Cau telah terluka?” tegur Phoa Ceng Yan beberapa saat kemudian.

Perlahan lahan Ke Giok Lang berbalik memandang sekejap wajah Phoa Ceng Yan lalu tersenyum.

“Ban heng telah terkena sebatang jarum beracun dari siauw-te……”

“Kalau begitu luka dari Ban Cau sangat parah?”

“Bila dibicarakan berat memang berat, kalau diucapkan ringan sebenarnya memang ringan, bila ia tidak tahu bagaimana caranya mencegah menjalarnya daya kerja racun yang mengeram di badannya, paling tidak badan harus melakukan satu kali operasi!”

“Kepandaian silat yang Ke heng miliki sungguh luar biasa dahsyatnya, hanya dalam sejurus dua jurus sudah berhasil mengalahkan si dewa api Ban Cau, peristiwa ini sangat jarang ditemui dalam Bu Lim.”

Ke Giok Lang tersenyum.

“Dalam pertempuran ini siauw-te lebih banyak menggunakan kegesitan, cuma saja untuk menghadapi manusia macam Ban Cau yang pandai menggunakan senjata berapi, bila tidak berhasil merubuhkan dirinya dalam dua tiga jurus yang rugi bakalnya adalah siauw-te sendiri……”

 Ia merandek sejenak, kemudian sambungnya lebih lanjut.

“Liauw Thayjien, kita berjumpa kembali di istana Kay Hong.”

Ia putar badan lantas berlalu.

“Ke heng, tunggu sebentar.” tiba-tiba Phoa Ceng Yan berteriak.

Ke Giok Lang berhenti, berpaling dan tertawa. “Phoa heng, masih ada urusan apa?”

“Apakah Ke Kongcu hendak berlalu begitu saja?”

“Haaa……..haaa……….haaa……. kami kaum penjahat punya peraturan bagi penjahat sendiri, setelah siauw-te peroleh tanda terima ini tidaklah mungkin bagiku untuk berpeluk tangan belaka, aku dengan membawa anak buahku akan berjalan terlebih dahulu di muka, di samping sebagai pembuka jalan sekalian singkirkan beberapa kesulitan bagi Phoa heng serta Liauw Thayjien, menurut penglihatanku aku orang she Ke, setelah gerombolan Ban Cau yang merupakan rombongan terkuat kena dibikin hancur maka sepanjang jalan raya ini seharusnya tak ada yang berani turun tangan merampas benda itu lagi.”

“Ehmm………agaknya Ke Kongcu begitu yakin.” “Kecuali terjadi suatu peristiwa istimewa yang ada

diluar dugaan, atau munculnya jago lihay tanpa sepengetahuan siauw-te, rasanya tak ada seorangpun yang berani turun tangan mngganggu barang kawalan perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kalian lagi.”

“Semoga saja begitu.”

 “Kalau begitu siauw-te berangkat selangkah terlebih dahulu!” seru Ke Giok Lang kemudian sembari ulapkan tangannya. “Bila di tengah perjalanan tidak terjadi peristiwa lagi, kita berjumpa di kota Kay Hong.”

“Silahkan Ke Kongcu berangkat terlebih dahulu.”

Ke Giok Lang tersenyum, ia meloncat pergi dan dalam sekejap mata telah lenyap dari pandangan.

Liauw Thayjien dengan termangu mangu memandang bayangan punggung Ke Giok Lang berlalu telah lenyap dari pandangan sembari ia mengelus jenggotnya ia mengangguk.

“Ehmmm……..sedikitpun tidak salah, kaum penjahat seharusnya mempunyai peraturan sendiri.”

Phoa Ceng Yan yang mendengar perkataan tersebut hanya bisa menghela napas panjang.

Agaknya Thayjien merasa begitu cocok dengan orang she Ke ini?”

“Dugaan Hu Cong Piauw-tauw sedikitpun tidak salah, walaupun ia berasal dari kalangan Liok-lim, tapi apa yang diucapkan memang cengli semua dan ia pegang teguh tata kesopanan.”

“Aaai….! Kelicikan serta kecurangan dalam dunia kangouw tak bisa dibandingkan dengan kejujuran kaum pembesar, Thayjien! Kau tak boleh hanya menilai mukanya saja.”

Liauw Thayjien tidak ingin berdebat dengan Phoa Ceng Yan hanya karena soal kecil ini, segera ia alihkan bahan pembicaraan ke soal yang lain.

“Phoa ya, bagaimana kalau kita segera berangkat?”

 “Ehmm…. silahkan Thayjien naik ke dalam kereta, aku segera perintah untuk melakukan perjalanan.”

Liauw Thayjien putar badan, baru perjalanan beberapa langkah mendadak seperti teringat akan satu persoalan yang penting, ia berpaling kembali.

“Phoa ya, apakah Cong Piauw-tauw kalian sudah ada kabarnya?”

“Kecuali ia tidak menerima berita kami, kalau tidak malam ini juga ia pasti telah berhasil mengejar kita?”

“Semoga begitu!” perlahan lahan ia naik ke dalam kereta.

Phoa Ceng Yan pun mendekati kereta sendiri. “Giok Liong, kita segera berangkat.”

Lie Giok Liong mengiakan, ia bergerak terlebih dahulu di paling depan.

Kereta melanjutkan perjalanan beiring-iringan, putaran roda terdengar bergerak membelah permukaan salju.

“Jie-ya!” seru Nyoo Su Jan tiba-tiba sambil mengejar datang. “Apakah Ke Giok Lang betul betul hendak bukakan jalan kita?”

“Dalam hatinya punya maksud tertentu, aku kira ia tak akan menunjukkan permainan setan lari kepada kita.”

“Tapi orang ini berakal licik banyak siasat busuk, hatinya keji dan telengas, seharusnya kita berhati-hati menghadapi manusia semacam begini.”

“Aaaaai! Jika ditinjau situasi ini hari seharusnya kita menunggu di antara Ke Giok Lang serta Ban Cau melangsungkan suatu pertarungan mati-matian kemudian  kita  yang  jadi  nelayan  untuk  tinggal  ambil

 hasilnya, perduli siapapun yang berhasil memperoleh kemenangan tentu tidak mendatangkan kebaikan bagi mereka….”

“Jie-ya, bila dalam sekali hantam kita berhasil taklukkan Ban Cau serta Ke Giok Lang, maka wajah kita semakin cemerlang lagi,” sambung Nyoo Su Jan.

“Semisalnya Liauw Thayjien tidak ikut campur, sekalipun kita tidak mungkin berhasil menangkap mereka berdua sekaligus, paling sedikit kita juga singkirkan mereka dari sini.”

“Jie-ya.” tiba-tiba Nyoo Su Jan memperendah suaranya. “Apakah Liauw Thayjien betul-betul tidak tahu rahasia dari lukisan pengangon kambing itu?”

“Kelihatannya ia bukan sedang berpura-pura jika ia berani mencle-mencle dengan manusia macam Ke Giok Lang, apakah kau kira si Hoa Hoa Kongcu suka melepaskan dirinya dengan begitu saja?”

“Seharusnya kita beri penjelasan dulu kepadanya, daripada nantinya tanpa ia sadari sudah kena dicelakai orang,” usul Nyoo Su Jan.

“Terhadap situasi yang berada di depan mata sebetulnya banyak sudah rencana kudapatkan, tapi Liuw Thayjien ngotot ingin mencampuri diri dalam persoalan ini dan menghadapi sendiri Ke Giok Lang, menghadapi perubahan tersebut aku tidak bertenaga untuk menahannya, dan kini kayu sudah menjadi perahu, rasanya susuah bagi kita untuk tarik kembali persoalan tersebut.”

“Hamba punya satu cara untuk membuat Ke Giok Lang repot dengan sia sia,” tiba-tiba Nyoo Su Jan mengajukan usulnya kembali.

 “Apa usulmu?”

“Kita berusaha untuk dapatkan lukisan pengangon kambing itu terlebih dahulu.”

“Apakah Ke Giok Lang suka lepas tangan dengan begitu saja?”

“Setelah Cong Piauw-tauw tiba di sini, apa yang perlu kita takutkan lagi?”

“Su Jan” ujar Phoa Ceng Yan setelah termenung sejenak, “Berapa banyak yang kau ketahui tentang lukisan pengangon kambing itu?”

“Jie-ya, kau jangan salah paham” Buru-buru Nyoo Su Jan menggeleng. “Terhadap lukisan pengangon kambing hamba kurang tahu, tapi dengan ikut campurnya si Dewa Api Ban Cau serta Ke Giok Lang dalam perebutan ini, bukankah hal ini memberi tahu kepada kita seberapa berharganya lukisan tersebut.”

“Sekalipun lukisan pengangon kambing berharga melebihi satu kota, kitapun tak bisa turun tangan untuk merebutnya….”

“Phoa ya, kita bukan merebut, tapi kita berusaha untuk mencegah lukisan pengangon kambing itu jangan  sampai terhjatuh ke tangan Ke Giok Lang.

“Phoa Ceng Yan sebagai seorang jago kawakan sudah tentu bisa meraba apa maksud yang sebenarnya dari pembantunya ini, ia mendehem perlahan.

“Su Jan!” ujarnya lirih. “Untuk menghadapi persoalan ini kita harus berunding secara seksama dan bertindak berhati-hati, untuk melakukan pekerjaan pengawal barang macam begitu justru yang paling ditakuti adalah tersangkut dalam kancah pergolakan Bu Lim, jika bisa menghindar   itu   lebih   bagus   lagi   dan   kini   lukisan

 pengangon kambing telah diserahkan Liuw Thayjien secara sukarela menurut peraturan hal ini tak bisa dimaksudkan orang lain merampas barang itu dengan kekerasan, dan kini si Hoa Hoa Kongcu membawa surat tanda terima yang ditulis Liuw Thayjien sendiri dan tercantum pula tanda tanganku untuk menerima lukisan pengangon kambing itu, hal ini makin sulit bagi kita untuk mungkir.”

“Perkataan Jie-ya sedikitpun tidak salah bila kita mengganggu lukisan pengangon kambing dan urusan ini dibicarakan di atas meja perundingan, yang rugi adalah kita, tapi lukisan tersebut dapat membuat Ke Giok Lang jadi mabok, bahkan tidak sayang sayangnya bermusuhan dengan Ban Cau, ini mengartikan seberapa berharganya lukisan tersebut.”

“Maksudmu lukisan pengangon kambing ini menyangkut soal mati hidupnya seluruh umat Bu Lim, bukankah hal ini merupakan suatu peristiwa yang maha berat dan maha penting?” sambung Nyoo Su Jan dengan cepat.

“Soal ini…… soal ini……… kita memang  harus berpikir panjang….”

Ia mendongak dan menghembuskan napas panjang panjang sambungnya, “Aku hanya berharap Cong Piauwtauw bisa pagian tiba di sini.”

Selagi Nyoo Su Jan ada maksud menjawab, mendadak terdengar suara derapan kaki kuda berkumandang datang.

Ketika mereka berpaling, dilihatnya seekor kuda laksana sambaran kilat berlari mendekat.

 “Aaakh! Cong Piauw-tauw!” teriak Nyoo Su Jan tiba tiba dengan kegirangan.

Waktu itu kuda tersebut dengan cepatnya sudah melewati iring-iringan kereta dan tiba di hadapan kedua orang itu.

Kuda tadi dengan cepatnya berhenti berlari.

Di atas kuda duduk seorang lelaki berusia empat puluh tujuh, delapan tahunan, jenggot hitamnya terurai sepanjang dada.

Orang itu mempunyai wajah persegi empat dengan telinga yang besar, sepasang mata bulat besar dengan wajah keren, membuat setiap orang yang menemuinya tanpa terasa menunjukkan sikap hormat kepadanya.

“Menghunjuk hormat buat Cong Piauw-tauw” buruburu Nyoo Su Jan menjura.

Orang itu bukan lain adalah Cong Piauw-tauw dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok Kwan Tiong Gak adanya.

“Su Jan, tidak usah banyak adat” seru Kwan Tiong Gak seraya ulapkan tangannya.

Sinar matanya segera dialihkan ke arah Phoa Ceng Yan, lalu sambil tersenyum serunya.

“Saudara, sungguh melelahkan dirimu.”

“Siauw-te tidak becus, hanya persoalan yang kecil saja harus menganggu ketenangan Cong Piauw-tauw….”

“Secara garis besarnya aku sudah tahu sedikit tentang situasi yang kita hadapi, perubahan ini merupakan satusatunya perubahan terberat bagi kita perusahaan Liong Wie Piauw-kiok sejak didirikan.”

 “Ooooouw…….., kiranya Cong Piauw-tauw sudah dengar orang berkata tentang hal ini!” seru Nyoo Su Jan seraya menjura.

“Aku hanya mendengar sedikit kabar saja, keadaan yang sebetulnya masih belum begitu tahu.”

“Hamba serta Phoa-ya sudah berapa kali menghantar barang kawalan, selama ini belum pernah pula menemui peristiwa seaneh ini, perubahan yangh terjadi di balik peristiwa ini sungguh amat susah diduga.”

Ketika itulah sembari keprak kudanya untuk bergerak maju ujar Kwan Tiong Gak lagi, “Mari, sembari berjalan kita berbicara.”

Phoa Ceng Yan serta Nyoo Su Jan mengiringi dari kedua belah samping dengan berjalan kaki.

Sinar mata Kwan Tiong Gak perlahan menyapu sekejap permukaan salju yang terbentang di depan mata, setelah ditemuinya tak sesosok bayangan manusiapun ada di sana, ia mendehem perlahan.

“Saudara Phoa, apakah tadi sudah terjadi sesuatu peristiwa?”

Iapun meloncat turun dari punggung kuda untuk berjalan seiring kedua orang lainnya.

“Cong Piauw-tauw” jawab Phoa Ceng Yan perlahan. “Jika kedatanganmu lebih pagi selangkah, maka kau bisa berjumpa dengan si “Hoa Hoa Kongcu” Ke Giok Lang serta si Dewa Api Ban Cau.”

“Ooooouw…. Ke Giok Lang pun sudah tiba?” “Sebelumnya hamba mohon ampun dulu dari Cong

Piauw-tauw” seru orang she Phoa seraya menjura.

 Melihat tindak tanduk Hu COng Piauw-tauwnya, Kwan Tiong Gak kelihatan agak tertegun.

“Apa yang telah terjadi?”

“Baru saja hamba melakukan suatu perbuatan, entah benar atau tidak tindakanku ini?”

“Apakah tindakanmu itu?”

Phoa Ceng Yan menghela napas panjang dan perlahan lahan mulai menceritakan kisah yang baru saja terjadi dengan penuh ketelitian.

“Menurut pemikiran kita pada umumnya” ujar Kwan Tiong Gak setelah termenung sejenak, “tindakanmu ini boleh dikata tidak jelek, tetapi ….”

Ia melirik sejenak ke arah Phoa Ceng Yan lalu sambungnya,

“Urusan sudah lewat, kita anggap saja sudah selesai, saudara Phoa pun tak usah memikirkannya kembali.

“Tentang lukisan pengangon kambing itu sendiri, entah dimanakah letak keberhargaannya?” ujar Nyoo Su Jan tiba-tiba. “Ke Giok Lang tidak sayang sayangnya bermusuhan karena urusan ini, bahkan mereka rela pula untuk mengikat permusuhan dengan perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kita, tentu barang tersebut luar biasa sekali.”

“Nyoo Piauw-tauw tadipun pernah mengusulkan bila lukisan pengangon kambing mempengaruhi peristiwa yang sangat besar, kita bisa berusaha untuk menahannya,” sambung Phoa Ceng Yan pula.

Kwan Tiong Gak menggeleng berulang kali.

“Saudara, kaupun sudah menanda tangani surat tanda terima   tersebut,   mana   boleh   kau   pungkiri   kembali

 pernyataanmu sendiri? rasanya gelar Thiat Ciang Kiem Huan pun tidak seharusnya mendapat cemoohan dari kawan kawan Bu lim bukan?”

“Hamba merasa sangat menyesal!” Kwan Tiong Gak tersenyum.

Demi kepercayaan perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kita, lukisan pengangon kambing boleh kita serahkan kepada Ke Giok Lang, tapi kitapun bisa merebutnya kembali dari tangannya.”

“Merebutnya kembali? Apakah tindakan ini tidak terlalu banyak buang waktu dan tenaga?”

“Sedikit membuang tenagapun tak mengapa, serahkan lukisan tersebut kepada Ke Giok Lang adalah untuk membuktikan kepegang janjian kita, sedang merebut kembali adalah demi menjaga nama baik perusahaan Liong Wie Piauw-kiok.”

“Cong Piauw-tauw!” seru Nyoo Su Jan dari samping. “Di dalam dua jurus saja Ke Giok Lang berhasil melukai si Dewa Api Ban Cau …”

“Akh …!” Kwan Tiong Gak merasa kaget setelah mendengar laporan ini. “Menggunakan kepandaian ilmu silat apakah ia berhasil melukai si Dewa Api Ban Cau hanya dalam dua jurus saja?”

“Agaknya menggunakan senjata rahasia.” jawab Phoa Ceng Yan. “Kepandaian silat si Dewa Api Ban Cau justru kelihayan-nya terletak pada alat-alat berapinya yang ganas, Ke Giok Lang telah berusaha merebut posisi terlebih dahulu dengan lepaskan senjata rahasia untuk melukai diri Ban Cau.”

“Ooooouw….. kiranya begitu.”

 Sinar matanya lantas dialihkan ke arah Phoa Ceng Yan, tambahnya.

“Tentang diri pribadi si “Hoa Hoa Kongcu” Ke Giok Lang sudah banyak dengar dari orang, kecuali ia gemar sekali mempermainkan kaum wanita, dalam urusan lain ia masih suka mengalah satu tindak buat orang.”

“Di antara berjuta-juta kejahatan, memperkosa adalah kejahatan nomor wahid, cukup mengandalkan hal ini sudah bisa kita tentukan dia bukanlah seorang jagoan dari kalangan Pek-to” seru Nyoo Su Jan.

“Sebetulnya ia memang bukan seorang jago dari kalangan Pek-to! Aku dengar orang berkata kecuali memiliki serangkaian ilmu silat yang luar biasa dahsyatnya ia masih memiliki satu kepandaian yang sangat istimewa yaitu mendatangkan rasa simpatik dari setiap orang yang dijumpainya.”

“Sedikitpun tidak salah” Phoa Ceng Yan membenarkan. “Dia benar-benar memiliki kepandaian tersebut, sewaktu ia berhasil menerjang masuk ke dalam kamar Liuw Thayjien tentu membencinya sampai merasup ke tulang sumsum, tapi bukan saja Liuw Thayjien setuju untuk serahkan lukisan pengangon kambing itu kepadanya, bahkan masih mengagumi dan puji tiada hentinya terhadap setiap ucapan maupun tindak tanduk Hoa Hoa Kongcu.”

Kwan Tiong Gak kembali termenung lalu ujarnya, “Aku dengar orang ini mempunyai kemampuan yang hebat di berbagai bidang, baik kecerdasan maupun kepandaian silat terhitung jago nomor wahid di kolong langit, di antara jago-jago muda ia merupakan jago yang paling menonjol, hanya sayang jalan yang ditempuh adalah jalan serong.”

 “Cong Piauw-tauw! Agaknya terhadap watak Ke Giok Lang kau sudah mengetahui sangat banyak,” kata Phoa Ceng Yan lambat.

“Ia pernah mengunjungi Peking bahkan suruh orang menyampaikan surat kepadaku dan berharap bisa berjumpa satu kali dengan diriku, cuma sayang aku banyak urusan tidak bisa penuhi undangannya untuk berjumpa.”

“Sewaktu ada di Peking apakah ia tidak timbulkan keonaran?”

“Justru inilah letak kecerdikan dari si “Hoa Hoa Kongcu” Ke Giok Lang, setelah ia tiba di ibukota, gerak gerik maupun tindak tanduknya sangat misterius, kecuali dia ingin menjumpai orang yang hendak dijumpai rasanya orang lain susah untuk menemukan dirinya.”

“Aaakh….! Tentu urusan ini sudah terjadi banyak tahun berselang bukan?”

“Tidak, peristiwa ini terjadi tahun yang lalu, waktu itu nama besarnya barusan menanjak di dunia persilatan, kudengar kabar kecuali aku, ia masih menjumpai dua orang lainnya.”

“Siapakah mereka?”

“Siapakah kedua orang yang ia jumpai, aku tidak begitu jelas, cuma bila kuselidiki dengan seksama, rasanya tidak susah untuk mengetahui siapa siapakah mereka, tapi justru waktu itu tidak kupandang di dalam hati peristiwa ini. Aaaa…….! Bila kuingat sekarang tindakanku tersebut memang sedikit teledor.”

“Cong Piauw-tauw! Apakah kau merasa adanya hubungan     antara     persoalan     itu     dengan  lukisan

 pengangon kambing?” tiba-tiba Phoa Ceng Yan bertanya setelah termenung sejenak.

“Kemungkinan besar memang benar, selama belakangan ini Ke Giok Lang telah memperluas hubungannya dengan berkenalan dengan banyak kawan, agaknya di balik kesemuanya ini ia telah menyusun suatu rencana besar.

“Lukisan pengangon kambing termasuk salah satu tujuannya?” sela Nyoo Su Jan.

“Dalam keadaaan seperti ini kita masih belum dapat mengambil suatu kesimpulan, tapi terhadap lukisan pengangon kambing aku telah melakukan suatu penyelidikan untuk mengetahui latar belakangnya!”

Semangat Phoa Ceng Yan kontan berkobar kembali. “Dapatkah Cong Piauw-tauw memberi keterangan?”

serunya.

Kwan Tiong Gak tidak langsung menjawab pertanyaan dari Phoa Ceng Yan, sebaliknya malah bertanya.

“Apakah kau pernah melihat lukisan pengangon kambing itu?”

“Pernah, cuma sayang pengetahuan serta kecerdikan siauw-te tidak memadahi, susah bagiku untuk mengetahui rahasia di balik peta lukisan pengangon kambing tersebut.”

“Peta lukisan itu dinamakan lukisan pengangon kambing, sesuai dengan namanya tentulah di atas lukisan tersebut telah terlukis banyak sekali binatang kambing, bukan begitu.”

 “Benar, bermacam macam kambing dengan gaya yang berlainan, di samping itu terlukis seorang bocah gembala yang mencekal cambuk panjang.”

“Saudara, coba kau pikirlah dengan teliti, di bagian manakah letak kecurigaanmu terhadap lukisan tersebut?”

“Siauw-te sudah memeriksa dengan teliti tapi tidak kuketahui di manakah letak hal hal yang patut dicurigai.”

Kwan Tiong Gak termenung sejenak kemudian ujarnya.

“Menurut berita yang kudapat, di atas lukisan tersebut katanya tersembunyi suatu maksud yang sangat mendalam, lukisan ini adalah hasil karya dari seorang cianpwee, di dalam lukisan tersebut terkandunglah seluruh jerih payah serta kepandaiannya.”

“Ooouw…….jadi maksudnya ia sudah terangkan seluruh kepandaian silatnya di atas lukisan pengangon kambing tersebut?”

“Artinya tidak akan segampang itu, aku dengar orang kata lukisan itu mengandung rahasia yang mendalam, bila tidak berhasil memahami rahasia yang meliputi lukisan tersebut sekalipun dapatkan lukisan pengangon kambing juga percuma.”

“Siauw-te sudah memeriksanya dengan teliti” ujar Phoa Ceng Yan memberi tanggapan. “Bila di atas lukisan pengangon kambing benar-benar terkandung rahasia yang mendalam, maka rahasia itu pasti bisa dipecahkan dengan suatu kecerdikan yang benar-benar amat tinggi, siauwte sudah periksa amat teliti tapi tak sesuatupun yang berhasil kudapatkan.”

“Bila kalian bisa mendapat persetujuan dari Liuw Thayjien  untuk  memeriksa  kembali  lukisan pengangon

 kambing itu, ada kemungkinan kita berhasil memperoleh sedikit gambaran.”

“Urusan ini tidak sukar, biarlah aku temui Liuw Thayjien, mungkin ucapanku berhasil mendapat persetujuannya.”

“Kau harus ingat, urusan ini tak boleh dilakukan dengan kekerasan atau menghardik dan menakut-nakuti orang, asalkan diungkap secara sambil lalu cukuplah sudah, disetujui atau tidak itu urusan orang lain….”

Ia merandek sejenak, lalu tambahnya, “Yang membuat orang menjadi tidak paham adalah lukisan pengangon kambing itu secara bagaimana bisa terjatuh ke tangan Liuw Thayjien?”

“Tentang hal ini siauwte pun pernah bertanya kepadanya tapi ia sendiripun tidak berhasil memberikan suatu jawaban yang pasti, agaknya lukisan tersebut ia bawa ke kota Kay Hong karena mendapat titipan dari orang lain.”

“Siapa yang titipkan barang itu kepadanya? Asalkan orang itu punya hubungan dengan orang-orang bu lim maka dengan cepat kita berhasil menemukan asal mulanya seluruh persoalan ini.”

“Apakah Cong Piauw-tauw merasa urusan ini sangat penting?” tanya Nyoo Su Jan.

“Jika lukisan pengangon kambing itu punya sangkut paut dengan peristiwa Bu Lim, aku nilai dari lukisan ini tak dapat dibandingkan dengan nilai uang lagi.”

“Menurut apa yang Cong Piauw-tauw katakan tadi, jelas lukisan tersebut terbukti ada sangkut pautnya dengan  orang-orang  Bu  Lim  apakah  seharusnya  kita

 melakukan penyelidikan?” kembali Piauw su she Nyoo ini bertanya.

Kwan Tiong Gak termenung sejenak, kemudian jawabnya.

“Bila dugaanku tidak salah, bukan saja Ban Cau serta Ke Giok Lang bermaksud hendak merampas barang kawalan kita, sekalipun jago jago dari kalangan luruspun kemungkinan besar akan melibatkan diri dalam peristiwa ini.”

“Maksud Cong Piauw-tauw, dari antara jago-jago kalangan luruspun bisa turun tangan membegal barang kawalan kita?”

“Hal ini susah ditentukan, sekalipun mereka tidak sampai turun tangan membegal, rasanya bisa jadi mereka akan bertanya dan selidiki persoalan ini sampai jadi terang.”

Agaknya Phoa Ceng Yan sama sekali tidak menduga barang kawalannya kali ini bisa menimbulkan kekacauan di dalam dunia persilatan, segera ujarnya.

“Jika demikian adanya, barang kawalan kita kali ini tentu menggemparkan seluruh kolong langit.”

“Sedikitpun tidak salah” Kwan Tiong Gak tersenyum. “Ke Giok Lang. si Dewa Api Ban Cau sekalian masih belum terhitung menggemparkan jika merekalah yang turun tangan membegal barang kawalan kita, tapi lain halnya bila sampai murid-murid dari perguruan kalangan luruspun menghadang perjalanan kita, ini barulah suatu peristiwa maha aneh yang belum pernah terjadi dalam Bu lim.”

Phoa Ceng Yan rada tidak percaya atas perkataan tersebut, tanyanya secara tiba-tiba.

 “Semisalnya anak murid dari perguruan kaum luruslah yang turun tangan membegal barang kawalan kita, hal ini pasti timbulkan cemoohan dari orang banyak, bukankah tindakan mereka ini akan menodai nama baik perguruanperguruan mereka?”

“Semisalnya peristiwa ini mempunyai sangkut paut yang maha besar terhadap keutuhan Bu lim, keadaan jauh berbeda lagi, tindakan mereka ini justru bermaksud hendak mencegah lukisan pengangon kambing ini  jangan sampai terjatuh ke tangan jago-jago kalangan Liok-lim.”

Ia menghembuskan napas panjang, kemudian sambungnya.

“Tapi hal ini hanya menurut pikiranku sendiri, bagaimanakah akhirnya detik ini tak dapat kuduga?”

“Bila demikian adanya, kerepotan yang kita alami dalam mengawal barang hantaran kali ini boleh dihitung belum pernah ditemui sejak jaman kuno,” kata Nyoo Su Jan.

“Memang suatu peristiwa yang sangat merepotkan, tapi bila dipandang dari pihak kita sebagai suatu perusahaan Piauw-kiok, kita harus mencari akal untuk melindungi lukisan pengangon kambing itu jangan sampai terjatuh ke tangan kawanan Liok-lim, juga jangan sampai membiarkan barang itu terjatuh ke tangan kaum lurus, kita harus antar sekeluarga pembesar Liuw tiba di kota Kay Hong dalam keadaan selamat.”

Ke Giok Lang telah menyanggupi untuk bukakan jalan buat kita, sekalipun diperjalanan ada kerepotankerepotan rasanya kini sudah disapu oleh Ke Giok Lang.

 Kwan Tiong Gak berpikir sejenak kemudian ujarnya, “Ke Giok Lang jadi orang sangat cerdik, di hadapan kita ia berkata hendak membantu kita, tapi di dalam pandangan orang mereka akan mengira kita sedang bersekongkolan dengan Ke Giok Lang.”

“Aaakh benar, kita sudah digunakan oleh si Hoa Hoa Kongcu.” teriak Phoa Ceng Yan tak tertahan lagi.

Air muka Kwan Tiong Gak berubah semakin serius. “Urusan belum berubah sampai seburuk itu, walaupun

Ke Giok Lang sangat cerdik, tapi terhadap persoalan ini ia sudah salah langkah.”

“Di dalam anggapannya orang yang mengetahui rahasia lukisan pengangon kambing tidak banyak, semakin tidak menduga lagi bila orang-orang dari kalangan luruspun ikut serta terjun dalam kancah pergolakan ini ….”

Phoa Ceng Yan mengangguk tiada henti memuji kecerdikan Cong Piauw-tauw-nya.

“Sejak jaman kuno hingga sekarang kebanyakan orang yang mau membegal barang kawalan perusahaan Piauw-kiok hanyalah jago-jago kalangan Liok-lim belaka, selamanya belum pernah jago dari kalangan lurus-pun ikut campur dalam persoalan ini, sudah tentu Ke Giok Lang tidak pernah berpikir sampai kesitu.”

Kwan Tiong Gak menghela napas panjang, setelah suasana sunyi beberapa saat lamanya, ia baru berkata kembali.

“Aku akan berangkat terlebih dulu ke muka, kalian susullah perlahan-lahan.”

“Cong Piauw-tauw silahkan berangkat.”

 “Akan kutunggu kalian di sebelah depan!” seru Cong Piauw-tauw dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok lagi seraya meloncat naik ke atas punggung kudanya dan melarikan binatang tunggangan tersebut cepat-cepat ke depan.

Dalam sekejap mata bayangan punggungnya sudah lenyap di ujung langit.

Sembari memandang bayangan punggung Kwan Tiong Gak yang menghilang, bisik Phoa Ceng Yan lirih.

“Su Jan, kau telah berhasil melihat belum?” “Melihat apa?”

“Walaupun selama berada di hadapan kita Cong Piauw-tauw berusaha untuk menjaga ketenangan wajahnya, padahal aku tahu hatinya sangat tertekan, aku pikir di hatinya pasti masih tersembunyi banyak persoalan yang belum diutarakan kepada kita.”

“Soal ini, hamba kurang ambil perhatian, cuma …” “Cuma apa?”

“Secara mendadak Cong Piauw-tauw hendak berjalan dulu seorang diri di paling depan, hal ini membuat hamba menaruh curiga.”

“Apa yang kau curigai?”

“Soal ini tak mungkin tiada alasan.”

“Mari kita percepat perjalanan kita, coba kita lihat apa yang terjadi di depan sana.”

“Jie-ya! Kuda tunggangan Cong Piauw-tauw adalah seekor kuda mustika yang bisa lari ribuan li dalam suatu hari mana mungkin kita berhasil menyandaknya?” bisik Nyoo Su Jan lirih. “Apalagi, apakah Ban Cau bersungguh

 sungguh ingin mengundurkan diri masih susah diyakini pada saat ini, jika kita pergi menyusul dengan kekuatan Giok Liong beberapa orang rasanya terlalu lemah.”

“Perkataanmu tidak salah, kita tak boleh bertindak ceroboh. “ Phoa Ceng Yan ternyata seorang lelaki yang mau menerima nasehat, tampak ia tersenyum.

Mereka berdua dengan mengiringi iring-iringan kereta bergerak maju ke muka.

Kurang lebih sepuluh lie kemudian, tampaklah Kwan Tiong Gak berdiri di bawah sebuah pohon tua di sisi jalan raya sedang menanti kedatangan mereka.

Kwan Tiong Gak menuntun kuda melanjutkan perjalanan, sedang Lie Giok Liong serta Ih Coen maju menyongsong untuk menghunjuk hormat.

Kwan Tiong Gak buru-buru ulapkan tangannya. “Kalian baik-baiklah menjaga kereta.”

Kedua orang itu mengiakan dan segera mengundurkan diri.

“Toako, apa yang telah kau temukan?” bisik Phoa Ceng Yan kemudian dengan suara yang lirih.

“Baru saja aku berjumpa dengan si Hoa Hoa Kongcu Ke Giok Lang.”

“Toako telah bergebrak melawan dirinya?” seru Phoa Hu Cong Piauw-tauw sangat terkejut.

“Tidak!” Kwan Tiong Gak menggeleng. “Kita bercakapcakap sangat baik sekali, ia telah bantu kita melenyapkan dua pos pengintaian dari Ban Cau dan melukai tujuh orang anak buahnya.”

 “Aaaakh! Jadi apa yang diucapkan Liuw Thayjien sedikitpun tidak salah. Bajingan-pun mempunyai peraturan kaum bajingan.”

“Agaknya ia bukan lagi berbohong, anak buahnya Yen San Ngo Koei ada dua orang terluka.”

“Kalau begitu urusan ini sudah pasti dan tak bisa diubah lagi.”

“Ehm! Ke Giok Lang beritahu kepadaku tak usah merasa berterima kasih kepadanya, ia tiada sayangsayangnya mengikat tali permusuhan dengan orang justru maksudnya ingin melindungi lukisan pengangon kambing itu.”

“Aaaakh! Kelihatannya ia tidak mirip seorang keparat berhati keji seperti yang tersiar dalam Bu lim.” Phoa Ceng Yan dan Hu Cong Piauw-tauw dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok berpekik tertahan.

“Saudara!” kata Kwan Tiong Gak lagi setelah termenung sejenak. “Bila Ke Giok Lang tidak menipu diriku, mungkin selama perjalanan selanjutnya menuju kota Kay Hong, kita tak akan temui kesulitan lagi.”

“Yang jadi persoalan sekarang justeru adalah apakah ucapan dari Ke Giok Lang bisa dipercaya atau tidak.”

“Maka dari itu, kita sendiripun harus bikin sedikit persiapan.”

“Kita hendak bikin persiapan apa?”

“Aku berangkat dulu di paling depan, bila menemukan sesuatu yang mencurigakan akan kuperiksa sendiri terlebih dulu, kemudian menggunakan tanda hubungan rahasia dari perusahaan kita memberi petunjuk kepada kalian.”

 “Bagus sekali, kami akan mengikuti petunjuk dari Cong Piauw-tauw.”

Kwan Tion Gak menghela napas panjang.

“Setelah aku tiba di sini, tidak seharusnya Liuw Thayjien serta keluarganya merasa terkejut lagi, juga aku berharap mereka bisa tiba di kota Kay Hong tepat pada saatnya.” ujarnya lambat lambat.

“Cong Piauw-tauw, ada satu persoalan belum siauwte laporkan kepada dirimu?”

“Urusan apa?”

“Lambang Naga sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan pada puluhan tahun berselang kini muncul lagi di dalam Bu lim, bahkan berada di dalam kereta yang ditumpangi nona Liuw.”

“Sungguhkah peristiwa ini telah terjadi?” seru Kwan Tiong Gak tertegun.

“Siauw-te tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri, ucapan ini diutarakan dari mulut Ke Giok Lang, tapi bila kupikir dengan teliti rasanya perkataan ini sedikitpun tidak salah, Ke Giok Lang telah menggunakan siasat memancing harimau turun gunung untuk pancing aku meninggalkan rumah penginapan kemudian mengambil kesempatan itu ia mendatangi rumah penginapan dan merobohkan dulu seluruh piauw su yang berjaga-jaga di sana kemudian terobos masuk ke dalam kamar Liuw siocia, menurut keadaan seharusnya waktu itu ia bisa curi pergi lukisan pengangon kambing, tapi detik itu pula ia telah berubah niat bahkan menghadiahkan sebutir pil buat nona Liuw.”

“Ke Giok Lang suka melepaskan cara merampas dengan    jalan    membokong    dan    rela   mengadakan

 perjalanan dengan kita undurkan lawan, aku rasa di balik kesemuanya ini masih tercantum alasan-alasan lain!” seru Kwan Tiong Gak setelah termenung sejenak.

“Masih ada satu persoalan lagi hingga kini siauwte belum mengerti di manakah letak sebab-sebabnya!”

“Ehmm! Coba katakan.”

“Sewaktu kami bertahan di dalam sebuah kuil, Ban Cau dengan membawa orang-orangnya telah mendekati kuil di mnana kami bertahan dan agaknya hendak turun tangan terhadap kami dari berbagai jurusan, tapi entah apa sebabnya mendadak mereka bersama-sama bubar dan ngeloyor pergi, peristiwa terjadi sangat mendadak, walaupun sudah siauwte pikir sangat lama belum berhasil juga mengetahui sebab-sebabnya.”

“Ooouw…. pernah terjadi peristiwa macam ini?” Kwan Tiong Gak sendiripun agaknya dibikin tertegun.

“Terhadap peristiwa ini siauwte merasa keheranan, tak kupahami apakah sebab-sebabnya sehingga terjadi begitu?”

“Si Dewa Api serta anak buahnya belum pernah berjumpa dengan Lambang Naga Sakti, agaknya peristiwa ini tiada sangkut pautnya dengan Lambang tersebut.”

“Justeru karena itulah, hamba merasa bingung apa sebabnya?”

“Menurut peristiwa yang berlangsung di depan mata, jelas ada seseorang yang bantu kita mengundurkan Ban Cau sekalian dari suatu tempat yang tersembunyi.”

“Siauwte pun pernah berpikir demikian, kemungkinan sekali kesemuanya ini adalah hasil permainan setan dari Ke Giok Lang, tapi setelah kupikir lebih teliti lagi, rasanya

 keadaan tersebut salah besar, bila Ke Giok Lang tahu peristiwa ini, seharusnya ia ungkap kembali persoalan tersebut setelah berhadapan muka dengan kami, tapi tak sepatah katapun yang ia utarakan.”

“Waktu itu apakah kau berhasil temukan kunci dari peristiwa ini?”

“Tidak, hanya aku merasa bila sungguh sungguh ada orang membantu kita secara diam-diam, maka kepandaian silat yang dimiliki orang itu tentu luar biasa dahsyatnya.”

Agaknya terhadap peristiwa ini Kwan Tiong Gak tidak dapat menjawab, ia termenung dan membungkam.

“Toako!” sambung Phoa Ceng Yan lebih jauh. “Mengungkap soal ikut campurnya jago-jago kalangan lurus dalam peristiwa ini mungkinkah ada seorang jago lihay dari perguruan Pek-to yang secara diam-diam memberi bantuan kepada kita ”

“Empat penjuru hanya salju nan putih, tempat macam begini merupakan, perduli siapakah orang itu, ia bisa merahasiakan jejaknya di depan mata jago lainnya bahkan mengundurkan diri Ban Cau sekalian, jelas dia bukan seorang jagoan biasa saja.”

“Siauw-te pun telah berpikir sampai di sana, tapi yang masih belum kupahami adalah siapakah orang itu dan apa sebabnya ia suka memberi bantuan kepada kita”

Kembali Kwan Tiong Gak termenung beberapa saat. “Mungkin sekali maksud hatinya sama pula dengan

maksud Ke Giok Lang, yaitu melindungi peta lukisan pengangon kambing tersebut.”

Tali les disentak derap kuda bergerak laksana terbang berangkat ke arah depan.

 Menanti bayangan punggung dari Kwan Tiong Gak telah lenyap dari pandangan, Phoa Ceng Yan si Hu Cong Piauw-tauw dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok baru berpaling ke arah Nyoo Su Jan.

“Su Jan, suruh mereka percepat perjalanan, kita harus cepat cepat tiba ditempat tujuan.”

“Apakah Jie Ya tidak naik ke dalam kereta?” kata Nyoo Su Jan seraya menjura.

“Tidak usah, aku akan berjalan di depan, bila terjadi angin taupan yang meniup roboh rerumputan, akupun bisa hadapi dengan lebih seksama.”

“Jie-ya terlalu menyikda diri.”

Phoa Ceng Yan hanya tersenyum dan mengangguk, ia melanjutkan langkahnya ke depan.

Ternyata selama di perjalanan Kwan Tiong Gak tidak munculkan diri kembali, Phoa Ceng Yan pun tidak menemui peristiwa yang diluar dugaan lagi selama dalam perjalanan kali ini.

Hari ini mereka menyeberangi sungai Huang Hoo dan melanjutkan perjalanannya ke kota Kay Hong.

Siang melanjutkan perjalanan malam beristirahat, selama perjalanan aman tentram tidak menjumpai hal-hal yang aneh lagi.

Bulan dua belas tanggal dua puluh sembilan iringiringan kereta perusahaan Liong Wie Piauw-kiok akhirnya tiba juga di kota Kay Hong dengan selamat.

Setelah masuk kota, Phoa Ceng Yan menghembuskan napas panjang, kepada Liuw Thayjien katanya.

 “Thayjien, beruntung nyawa kita tidak melayang, akhirnya sebelum penutupan tahun sampai juga kita di kota Kay Hong.”

“Sungguh bagus sekali, cepat hantar aku ke istana Jendral, sesuai dengan janji aku akan perseni kalian seperti telah kusetujui tempo dulu.”

“Upah tambahan sih kami tidak berani terima, hanya Cayhe ingin menjelaskan satu persoalan kepada Liuw Thayjien.”

“Urusan apa?”

“Lukisan pengangon kambing hendak Thayjien selesaikan secara bagaimana? Apakah kau sungguh sungguh hendak serahkannya ke tangan Ke Giok Lang, atau tidak, soal ini kami tak berani ikut campur dan boleh Thayjien selesaikan sendiri, tetapi semisalnya Thayjien tidak ingin lagi berhubungan dengan orang-orang kangouw, lukisan pengangon kambing bolehlah serahkan kepada cayhe biar kami yang serahkan barang tersebut buat Ke Giok Lang.”

“Soal lukisan pengangon kambing bisa aku serahkan sendiri kepadanya” ujar Liuw Thayjien setelah termenung sejenak. “Aku tidak ingin menyusahkan lagi kau Phoa Hu Cong Piauw-tauw, bila kau berjumpa dengan Ke Giok Lang boleh suruh ia mendatangi istana Jendral dan ambil sendiri lukisan itu.”

“Cayhe sama sekali tidak mengusulkan agar Liuw Thayjien suka keluarkan lukisan tersebut untuk diserahkan kepadaku.” Phoa Ceng Yan tertawa hambar. “Cuma saya surat tanda terima kita sudah berada di tangannya, secara terang terangan Ke Giok Lang bisa menuntut barang tersebut dari tangan kami.”

 Kembali Liuw Thayjien tersenyum.

“Tentang soal ini Phoa Hu Cong Piauw-tauw boleh berlega hati, walaupun Ke Giok Lang membawa surat tanda terima tersebut, tapi ia harus berjumpa dulu dengan diriku sebelum bisa terima lukisan tadi.”

Pada mulanya Phoa Ceng Yan kelihatan rada tertegun kemudian disusul tertawa hambar.

“Apakah Liuw Thayjien bermaksud hendak mengingkari janji ini?”

“Phoa heng, He kOan bukanlah bermaksud demikian” Liuw Tahyjien menggeleng dan tertawa.”Aku rasa jikalau Ke Kongcu bisa berjumpa dengan diriku, sudah tentu lukisan pengangon kambing itu akan kuserahkan kepadanya, bila tidak berhasil menjumpai aku sekalipun aku punya maksud untuk serahkan lukisan tadi kepadanya pun tidak tahu harus serahkan barang ini kepada siapa!”

“Liuw Thayjien! Cayhe ingin menasehati sepatah kata kepadamu.”

“Phoa ya silahkan berbicara.”

“Mengandalkan tentara kerajaan tak bakal bisa menahan kekuatannya kecuali kau sendiri memiliki kemampuan untuk melindungi lukisan pengangon kambing tersebut.”

“Soal ini He Koan sudah punya rencana tersendiri dan tak perlu Phoa-ya ikut merasa kuatir.”

Phoa Ceng Yan termenung sejenak, akhirnya dengan perasaan apa boleh buat katanya.

 “Ucapan cayhe akhiri sampai disini saja, Liuw Thayjien siap berbuat bagaimana tentukanlah menurut pikiran dirimu sendiri.”

Liuw Thayjien tertawa hambar.

“Phoa-ya, hantar aku ke istana jendral terlebih dahulu kemudian kita berbicara lagi.”

Phoa Ceng Yan mengiakan, ia perintahkan anak buahnya untuk melanjutkan perjalanan ke muka.

Istana Tok Hu Kong Koan di kota Kay Hong sangat terkenal, tak seorangpun yang tak tahu.

Phoa Ceng Yan dengan memimpin iring-iringan kereta memasuki istana jendral.

Kurang lebih satu tombak dari pintu gerbang istana, dua orang tentara penjaga pintu menghadang jalan pergi iring-iringan kereta tersebut.

Phoa Ceng Yan agaknya sudah dapat meraba maksud Liuw Thayjien yang ingin mengingkari janji, ia tidak ingin membuang banyak waktu lagi, setelah kereta iring-iringan terhadang, ujarnya cepat.

“Thayjien, kereta sudah tiba di depan istana jendral, kami tak bisa melanjutkan kembali perjalanan ke depan.”

Mendengar seruan tersebut, Liuw Thayjien menyingkap horden dan melirik sekejap ke arah kedua orang tentara penjaga pintu itu.

“Si Thayjien adakah dalam istana?” tanyanya. “Siapakah kau?” tanya salah seorang tentara penjaga

pintu yang menyoren golok itu dengan wajah dingin. “He koan she Liuw, datang dari Peking.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar