Lambang Naga Panji Naga Sakti Jilid 04

“Hujien!” seru Liauw Thayjien dengan alis yang dikerutkan rapat rapat. “Peristiwa ini adalah kejadian yang menyangkut mati hidup seseorang, siapapun tidak kuasa untuk menghindarinya. Tadi Wan jie berhasil lolos tanpa terluka, hal ini sudah merupakan suatu keuntungan.”

Kedua orang itu saling bantah membantah, hal ini membuat Phoa Ceng Yan merasa sangat sedih dan serba salah, tetapi ketika ini iapun tidak enak untuk ikut banyak berbicara.

Pada saat itulah, mendadak tampak Nyoo Su Jan dengan terburu-buru berlari mendekat.

“Jie-ya, ada mata-mata……”

“Mata-mata… kau tidak salah melihat?” seru Phoa Ceng Yan dengan air muka berubah hebat.

“Tidak bakal salah, hamba percaya penglihantanku tadi tidak bakal salah!”

Agaknya secara mendadak itulah Phoa Ceng Yan sudah memikul suatu beban yang seberat ribuan kati, air mukanya berubah sangat serius, keren dan tegang.

“Kau pergilah beritahu Giok Liong, suruh dia bersiap sedia dengan penuh kewaspadaan. Kali ini kita tak boleh jatuh kecundang lagi di tangan orang lain,” katanya perlahan.

“Perkataan dari Jie-ya sedikitpun tidak salah” sahut Nyoo Su Jan sambil mengangguk. “Peduli aliran manakah yang datang kali ini, kita harus mempertahankan diri mati-matian, bilamana perlu harus mengadu jiwa dan jangan sampai jatuh kecundang lagi di tangan orang lain.”

Setelah menjura buru-buru ia putar badan berlalu.

 “Phoa-suhu!” menanti Nyoo Su Jan sudah berlalu, Liauw Thayjien sambil mendehem datang menyapa. “Apakah yang disebut sebagai mata-mata itu?”

Paras muka Phoa Ceng Yan pada saat ini sudah berubah sangat dingin dan serius.

“Ooow……. mata-mata? itulah orang-orang yang dikirim pihak lawan untuk melakukan pengintaian…..”

“Aku paham sudah, mari kita berbicara di depan saja,” kata Liauw Thayjien mengangguk, ia lantas putar badan berlalu.

Agaknya Liauw Hujien-pun sudah mendengar apa yang sudah terjadi, dengan paras muka berubah buruburu ia menyusup masuk ke dalam kereta.

Phoa Ceng Yan dengan cepata lari mengejar diri Liauw Thayjien.

“Thayjien!” ujarnya dengan cepat. “Aku orang she Phoa ada beberapa pertanyaan yang hendak ditanyakan kepadamu, harap Thayjien jangan menyalahkan diriku.”

“Phoa-suhu silahkan berbicara!”

“Biasanya cukup mengandalkan merek perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kebanyakan orang-orang Liok-lim pada memberi muka kepada kami, kecuali barang kawalan agaknya kali ini orang-orang Liok-lim pada mengandung suatu maksud hendak turun tangan!”

“Maksud Phoa-suhu,” ujar Liauw Thayjien kebingungan.

“Maksudku sudah amat jelas sekali, bilamana Thayjien mempunyai sesuatu rahasia, aku mengharapkan kau orang suka berterus terang dengan diri cayhe.”

 “Aku tak habis pikir sebenarnya diriku mempunyai rahasia apakah yang ada sangkut paut dengan kalian orang-orang kangouw?” kata Liauw Thayjien menggeleng.

“Cayhe ingin menanyakan satu persoalan kepada diri Thayjien” ujar Phoa Ceng Yan dengan dingin. “Kecuali lukisan tersebut, Thayjien sudah membawa barang apa lagi?”

“Phoa-suhu, aku cuma membawa beberapa macam barang antik beserta beberapa lembar lukisan saja, tetapi aku rasa barang-barang tersebut agaknya tiada sangkut pautnya dengan orang-orang dunia kangouw. Walaupun aku belum pernah berkelana di dalam dunia kangouw tetapi diriku bukanlah seorang manusia yang gemar akan harta. Jikalau kali ini ada orang yang menghadang perjalanan kita kembali, tolong Phoa-suhu suka menanyakan maksud tujuannya! Asalkan mereka tidak melukai orang maka barang-barang tersebut boleh mereka ambil pergi”.

“Termasuk lukisan pengembala kambing itu?”

“Tadi aku sudah mengatakan bila lukisan itu adalah milik orang lain” kata Liauw Thayjien dengan serius,” Lebih baik kita jangan berikan benda itu kepada mereka, tetapi semisalnya mereka ngotot juga menginginkan lukisan pengembala kambing itu, berikan saja kepada mereka! Bagaimana nyawa manusia jauh lebih penting daripada lukisan. Perkataanku sampai di sini dulu, bagaimana seharusnya bertindak aku serahkan saja pada Phoa-suhu untuk memutusi sendiri!”

Selesai berkata dengan langkah lebar ia lantas kembali ke dalam keretanya sendiri.

 Dengan kejadian ini kontan saja membuat Phoa Ceng Yan sebagai seorang jago kawakan dunia kangouw yang banyak pengalaman dan sering melakukan perjalanan di dalam Bu-lim jadi kebingungan seperti di tengah awangawang.

“Perkataan yang diucapkan oleh Liauw Thayjien barusan ini bukan saja sesuai dengan keadaan bahkan sangat cengli, sikapnya-pun bersungguh-sungguh, sama sekali tidak kelihatan pura-pura.”

Tetapi apa sebabnya Lam Thian Sam Sah setelah berhasil memperoleh lukisan itu secara mendadak dari sikap bermusuhan berubah jadi berkawan?? Bahkan mengembalikan barang yang telah berhasil dirampas?”

Mendadak satu ingatan bagus berkelebat di dalam benaknya.

“Apa mungkin kelihayan dari nona Liauw tidak sampai diketahui oleh kedua orang tuanya?” setelah kejadian ini sengaja dia orang memperlihatkan sikapnya semacam orang terkejut sehingga jatuh sakit untuk menutupi semua perbuatannya??” pikir Phoa Ceng Yan di dalam hati.

Kesimpulan ini meskipun rada kuat, tetapi kecuali alasan itu Phoa Ceng Yan benar-benar tidak berhasil memperoleh alasan-alasan yang lain untuk membuktikan mengapakah Lam Thian Sam Sah yang terkenal keganasannya itu sesudah berhasil mendapatkan barang yang dicari secara mendadak mengembalikan lagi barang itu bahkan minta maaf berulang kali.

Sesudah berpikir sampai di sini, Phoa Ceng Yan dapat memastikan bila nona Liauw tentu memiliki ilmu silat yang luar biasa lihaynya dan tidak suka menonjolkan diri disebabkan suatu alasan yang tertentu.

 Ketika itulan Nyoo Su Jan dengan langkah yang cepat sudah berjalan mendatangi.

Phoa Ceng Yan setelah memeras otak dan menemukan keadaan sesungguhnya yang telah terjadi, hatinya rada merasa lega.

Dengan ada Nona Liauw tidak bakal menemui bencana atau semisalnya benar-benar ada orang yang hendak membegal maka ia akan turun tangan mengadu jiwa.

Kini melihat Nyoo Su Jan berjalan mendekat dengan langkah yang cepat, ia segera saja menyongsong kedatangannya.

“Su Jan, adakah perubahan??”

Nyoo Su Jan gelengkan kepalanya berulang kali. “Jie-ya, urusan rada tidak beres……”

“Apa yang sudah terjadi??” tanya Phoa Ceng Yan dengan alis yang dikerutkan rapat-rapat.

“Mata-mata itu mendadak melepaskan mangsanya dengan meninggalkan tulisan menanyakan keselamatan di atas pohon di pinggir jalan, menurut peraturan Bu-lim hal ini berarti bila mereka sudah melepaskan niatnya untuk membegal barang kawalan kita!”

“Lalu apakah di bagian bawah dari tulisan tersebut ditinggalkan nama atau tanda gambar?…..” tanya Phoa Ceng Yan setelah termenung sejenak.

“Peristiwa ini justru keanehannya terletak di sini, di atas tulisan itu tak ada nama di bawahnya-pun tidak ada nama, orang lain sudah memberi muka kepada kita, sebaliknya kita malah tidak tahu siapakah orang itu”

Phoa Ceng Yan mengangguk.

 “Kemungkinan sekali orang lain memang bukan memberi muka kepada kita dari pihak perusahaan Liong Wie Piauw-kiok!” sahutnya perlahan.

“Jie-ya! Kau jangan membuat aku jadi kebingungan setengah mati” seru Nyoo Su Jan sambil tertawa kebingunngan. “Bilamana mereka bukannya memandang merek dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kita serta melihat nama besar dari Jie-ya, lalu apakah disebabkan memandang muka keluarga Liauw itu???”

“Kemungkinan sekali……”

Ia merandek sejenak, kemudian sambil tertawa tawar sambungnya kembali dengan bicara lirih, “Su Jan, kau merasa orang-orang dari keluarga Liauw sangat mengherankan tidak?”

Nyoo Su Jan adalah seorang jago kawakan di dalam dunia kangouw, walaupun tidak mengerti keadaan yang sesungguhnya, tetapi ia dapat menduga di  antara ucapan Phoa Ceng Yan tersebut tentu ada sebabsebabnya.

“Lalu apakah Jie-ya sudah menemukan sesuatu??” balik katanya.

Phoa Ceng Yan segera mempercepat langkahnya menjauhi kereta yang ditumpangi nona Liauw.

“Sebelum turun tangan membegal barang kawalan kita, Lam Thian Sam Sah tentu sudah mengadakan perencanaan yang teliti, mereka tidak mungkin berubah niat di tengah jalan disebabkan nama besar perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kita sehingga barang yang sudah didapatkan dikembalikan lagi bahkan berlalu sambil mengucapkan minta maaf berulang kali” katanya.

 “Hamba cuma merasa sangat heran saja terhadap peristiwa ini tetapi tidak mengerti keadaan sesungguhnya yang telah terjadi. Jika didengar darimana ucapan Jie-ya agaknya Lam Thian Sam Sah menaruh rasa jeri terhadap Liauw Thayjien sehingga di tengah jalan membatalkan niatnya.

“Bukan……..bukan Liauw Thayjien!” sahut Phoa Ceng Yan sambil menggeleng. “Nona Liauw yang usianya masih sangat muda itu?” teriak Nyoo Su Jan tak tertahan lagi ia benar-benar merasa sangat terperanjat.

“Sssst…….! Perlahan sedikit.”

Cepat-cepat Nyoo Su Jan menutup mulutnya rapatrapat, lalu dengan ragu-ragu ia melirik sekejap ke arah kereta yang ditumpangi ole nona Liauw.

“Sedikitpun tidak salah, memang benar nona Liauw itu” sambung Phoa Ceng Yan lebih lanjut.”Sewaktu Lam Thian Sam Sah membuka hordennya dan melihat ke dalam sekejap mendadak niatnya sudah dibatalkan bahkan mengembalikan barang rampasannya dan mengaku salah.”

“Apakah Nona Liauw tidak turun tangan”

“Ketika itu walaupun jalan darahku tertotok, tetapi aku dapat melihat seluruh kejadian dengan sangat jelas. Nona Liauw tidak turun tangan, Lam Thian Sam Sah-pun tidak turun tangan, sewaktu mereka membuka horden kereta agaknya sudah menemukan sesuatu! Begitu keluar dari kereta langsung niatnya dibatalkan.”

Nyoo Su Jan termenung, lama sekali ia berpikir keras.

Akhirnya setelah lewat sejenak ujarnya lagi.

“Tak terpikir oleh hamba benda apakah yang sudah ditemui  oleh  Lam  Thian  Sam  Sah  sehingga membuat

 mereka ketakutan setengah mati dan buru-buru mengembalikan barang rampasannya?”

“Soal ini akupun sudah berpikir sangat lama sekali, tetapi sampai kini tak terpegang olehku barang suatu titik terangpun ….” kata Phoa Ceng Yan sambil tertawa jengah.

Ia menghembuskan napas panjang-panjang, sambungnya kembali.

“Tetapi, bagaimananpun kita sudah berhasil mengetahui bila nona Liauw sebenarnya adalah seorang manusia aneh yang memiliki kepandaian silat sangat tinggi!”

“Perkataan semacam ini dapat diucapkan oleh Jie-ya, hal ini benar-benar membuat orang lain yang mendengar merasa rada tidak percaya!”

“Untuk sementara waktu kita belum berhasil menemukan sesuatu titik terang, karena itu janganlah menyiarkan berita ini terlebih dulu, juga tidak usah dikasih tahu pada diri Toa Hauw serta Giok Liong sekalian.”

“Soal ini Jie-ya boleh berlega hati!” Phoa Ceng Yan lantas mengangguk.

“Selama ini kau paling cermat di dalam melakukan pekerjaan dan boleh dikata paling jujur dan rajin. Coba secara diam-diam awasilah keadaan di dalam kereta nona Liauw tersebut, tetapi jangan ceritakan tugas ini kepada siapapun.”

“Hamba mengerti ….”

 Ia merandek sejenak, lalu tambahnya, “Aku dengar nona Liauw itu jadi sakit saking kagetnya dengan peristiwa tadi?”

“Inilah yang dinamakan saking pintarnya sampai keblinger, melukis ular ditambah kaki,” kata Phoa Ceng Yan sambil tertawa perlahan. “Peduli nona Liauw sebagaimana cerdiknya, tidak lebih dia cuma seorang bocah!”

“Perkataan dari Jie-ya sedikitpun tidak salah,” sahut Nyoo Su Jan sambil tertawa pula. “Garam uang kita makan jauh lebih banyak dari gandum yang ia makan, nanti malam sewaktu menginap di rumah penginapan kemungkinan sekali dari sepuluh bagian, ada sembilan bagian kita berhasil menemukan sesuatu.”

“Jangan terlalu menempuh bahaya sehingga menggusarkan nona Liauw!”

“Jie-ya boleh berlega hati, hamba di dalam melaksanakan tugas.”

Walaupun di atas pohon di pinggir jalan hanya meninggalkan kata kata salam saja, tetapi Phoa Ceng Yan tidak berani berbuat gegabah, selama ini selalu bersiap sedia.

Jika dibicarakan dari pihak perusahaan Liong Wie Piauw-kiok, pekerjaan pengawalan barang kali ini boleh dikata tidak memadahi dengan biayanya, karena kali ini mereka harus mengirim Hu Cong Piauw-tauw serta empat orang Piauw su utama, kesemuanya ini tidak lain disebabkan permintaan dari langganan.

Orang lain sudah mengeluarkan uang banyak agar Cong Piauw-tauw sendiri suka turun tangan, tetapi dagangan dari Liong Wie piauw-kiok terlalu bagus,  Cong

 Piauw-tauw tak dapat meninggalkan kantornya, sebab setiap hari masih mengalir datang kesempatan yang sangat banyak.

Walaupun Piauw-tauw di dalam perusahaan Liong Wie Piauw-kiok banyak jumlahnya dan setiap orang pada pandai serta berbakat, tetapi dagangan mereka terlalu besar, kaum perampok yang menemui ajalnya di tangan merekapun terlalu banyak, sekalipun bukan datang mencari balas, sering-seringpun masih terjadi peristiwa pencegatan serta pembegalan.

Karena itu di setiap cabang-cabang di daerah yang tersebar sudah terpeliharalah burung-burung merpati yang sangat terlatih, setiap kali menemui peristiwa pembegalan, mereka segera melepaskan burung-burung merpati untuk memberi laporan ke kantor pusat.

Cong Piauw-tauw yang menerima laporan dengan cepat akan mengadakan persiapan-persiapan menyusun rencana mencari anak buah untuk menghadapi perubahan selanjutnya setelah itu dengan dipimpin sendiri oleh COng Piauw-tauw pergi menuntut kembali barang yang kena dibegal.

Sebaliknya barang kawalan dari keluarga Liauw kali ini boleh dikata tidak begitu berharga, tetapi orang berani membayar tinggi untuk perjalanan ini. Perusahaan Liong Wie Piauw-kiok sebagai suatu usaha dagang sudah tentu tidak dapat menolak permintaan ini. 

Setelah berunding setengah harian lamanya, terakhir keluarga Liauw baru menyetujui pengawalan kali ini dilakukan oleh Phoa Hu Cong Piauw-tauw.

Pada mulanya Cong Piauw-tauw memandang enteng barang kawalannya ini, tetapi sesudah pihak langganan

 menginginkan ia sendiri yang turun tangan, maka semakin dipikir ia merasa kejadian ini semakin tidak beres, kemungkinan sekali keluarga Liauw telah membawa suatu benda yang sangat berharga dan tak ingin diperlihatkan orang lain secara sembarangan.

Oleh sebab itu ia mengirim pula Nyoo Su Jan yang terkenal akan kecerdikan serta banyak akal beserta jagoan bertenaga paling besar Thia Toa Hauw, muridnya paling tua Lie Giok Liong, murid nomor dua Ih Coen untuk bersama-sama berangkat mengawal barang kawalan ini menuju ke arah selatan, kota Kay Hong Hu.

Di dalam perhitungan Cong Piauw-tauw, sekalipun terjadi sesuatu peristiwa setelah ada empat orang Piauw su kenamaan beserta Hu Cong Piauw-tauw sendiri rasanya masih cukup untuk menghadapinya.

Di dalam hati Phoa Ceng Yan sendiripun pada mulanya merasa sangat mantap, ia mengira dengan gelarnya si telapak besi bergelang emas untuk melindungi barang-barang kawalannya kali ini maka semua urusan bisa dibereskan dengan sangat mudah.

Siapa sangka perhitungannya ini ternyata sama sekali meleset, ia tidak mengira bila Lam Thuan Sam Sah yang biasanya munculkan diri disekitar lima keresidenan di sebelah utara ternyata kali ini sudah munculkan diri di jalan raya Han Tan bahkan bukan saja keempat orang Piauw-sunya kena tertangkap bahkan sendiripun kena dilukai oleh jarum beracun.

Oleh karena itu sewaktu menemukan kembali matamata pihak lawan, sikapnya tadi amat tegang dan cepatcepat turunkan perintah untuk melakukan penjagaan ketat.

 Walaupun ia dapat melihat kata-kata yang menyampaikan salam di atas pohon, dalam hati orang sama sekali tidak berani berlaku gegabah apalagi ayalayalan.

Tetapi selama di tengah perjalana kali ini ternyata mereka tidak menemui sesuatu peristiwapun, sewaktu hari hampir malam sampailah mereka di kota Si Jan Sian.

Selama di tengah perjalanan ini walaupun Phoa Ceng Yan selalu waspada tetapi iapun tak dapat melupakan rahasia yang menyelimuti sekitar kereta yang ditunggangi nona Liauw.

Oleh karena itu kecuali selama diperjalanan selain bersikap waspada, iapun mengawasi terus semua gerakgerik dari kereta yang ditumpangi nona Liauw.

Mungkin disebabkan Liauw Hujien mendengar bakal terjadi kesulitan lagi, saking takutnya ia bersembunyi terus di dalam kereta dan tidak kedengaran suaranya lagi.

Hal ini semakin mempertebal perasaan curiga di dalam hati Phoa Ceng Yan, diam-diam pikirnya.

“Bilamana semisalnya nona Liauw benar-benar sakit keras, mungkin secara mendadak ia berhasil mengurangi penderitaan tersebut. Hmmm………! Jelas sekali kalau mereka sengaja berpura-pura berbuat demikian untuk mengelabuhi diriku.”

Rombongan kereta setelah masuk ke dalam kota Si Jan Sian mereka langsung menuju ke rumah penginapan Sam Thay di jalan besar sebelah barat.

 Inilah rumah penginapan yang terbesar di dalam kota Si Jan Sian dan merupakan tempat yang sering digunakan oleh orang perusahaan Liong Wie Piauw-kiok.

Baru saja rombongan kereta tiba di depan pintu rumah penginapan tersebut, tampaklah empat orang pejalan sudah menyambut kedatangan mereka, mereka yang bertugas mengawal kuda lantas mengerjakan tugasnya yang menarik kereta mulai melaksanakan pekerjaannya, suasana diliputi kesibukan.

Seorang kakek tua berjubah panjang yang mencekal sebuah Huncwee dan agaknya merupakan Ciang kwee dari rumah penginapan itu munculkan dirinya menyambut kedatangan mereka.

“Cepat bereskan kereta dan buru-buru sediakan air panas untuk cuci muka beberapa orang yaya!” perintahnya.

Sang pelayan dengan penuh rasa hormat mempersilahkan para tetamunya masuk ke dalam rumah penginapan, tetapi beberapa orang kusir kereta itu malah berkumpul di depan kereta pertama tanpa bergerak.

Agaknya sang Ciang kwee yang memakai jubah panjang dan membawa huncwee itupun dapat melihat keadaan kurang beres, ia buru-buru berjalan keluar menyongsong diri Nyoo Su Jan.

“Nyoo-ya, agaknya keadaannya kurang beres!” tanyanya setengah berbisik.

Jelas sang Ciang kwee itu merupakan kawan lama dari Nyoo Su Jan.

“Ehmmmmm…….! Sewaktu ada ditengah jalan sudah menemui sedikit kesulitan sehingga melukai beberapa orang kita, cepat kau suruh pelayanmu membawa kuda-

 kuda itu ke dalam kandang kemudian siapkan sebuah ruangan bersih dan sunyi untuk kita!”

Si orang tua berjubah panjang itu mengangguk. “Asalkan permintaan dari Nyoo-ya, sekalipun tidak

adapun aku harus carikan akal buat kalian, coba tunggulah sebentar, aku pergi mengatur dulu,” ujarnya.

“Eeeeei Ciang kwee! Kau lebih apal keaada di sekitar tempat ini daripada diriku, siauw-te masih menginginkan bantuanmu akan dua hal!” ujar Nyoo Su Jan lagi setengah berbisik.

“Nyoo-ya, silahkan kau orang memberi perintah. Asalkan aku bisa melakukannya tentu akan kulaksanakan sebagaimana mestinya.”

“Harap ciang-kwee suka memerintahkan seorang pelayan yang pandai untuk carikan tabib kenamaan buat kami sekalian membeli beberapa ekor kuda jempolan, harus membayar lebih banyakpun tidak mengapa.”

“Baik! Apa yang Nyoo-ya perintahkan akan aku lakukan semua, aku mau pergi periksa dulu ke halaman belakan apakah mungkin bisa dipakai atau tidak.”

Selesai berkata ia lantas berlalu.

Beberapa saat kemudia ia telah muncul kembali. “Nyoo-ya,” katanya sambil tersenyum. “Beruntung

sekali beberapa orang tamu yang semula mendiami di ruangan belakang suka mengalah dan pindah keluar! Silahkan kalian semua masuk ke dalam!”

“Aaaaakh…..! Kalau begitu persahabatan di antara kita semakin lama semakin bertambah erat!” seru Nyoo Su Jan tertawa.

 “Nyoo-ya! Kalau terlalu memuji, bagaiman mungkin aku orang berani menerimanya!”

Nyoo Su Jan segera memerintahkan para anak buahnya untuk menggotong masuk para anak buahnya yang terluka parah dan tak dapat berjalan sendiri.

Di atas tubuh mereka-mereka itu ia perintahkan untuk menutupi dengan kain putih,dengan begitu maka terhindarlah mereka dari pandangan para tetamu sehingga tidak diketahui kalau mereka adalah orangorang yang sedang terluka parah.

Anak buah dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok ternyata merupakan orang-orang yang cekatan, ditambah Nyoo Su Jan pandai mengatur pekerjaan, sesudah beberapa orang yang terluka parah digotong masuk maka menyusullah barang barang mulai diangkuti.

Selama ini Phoa Ceng Yan hanya berdiri di bawah anak tangga penginapan tersebut sambil mengawasi semua pekerjaan terutama sekali perhatiannya ditujukan pada nona Liauw yang dibimbing turun dari dalam kereta oleh Cun Lam sang dayang serta Liauw Hujin.

Di depan rumah penginapan tergantung dua buah lentera besar, meminjam cahaya yang menyoroti sekeliling tempat itu Phoa Ceng Yan memandang nona Liauw tajam-tajam.

Tampaklajh sepasang matanya terkatup rapat-rapat, wajahnya pucat pasi sehingga kelihatan bila ia sedang menderita sakit keras, hal ini membuat si orang tua itu diam-diam mulai berpikir.

“Budak ini sungguh luar biasa sekali, menyaru sebagai naga  mirip  naga,  menyaru  sebagai  burung  hong mirip

 burung hong, sampai berpura-pura sakitpun ditirukan sangat persis sekali.”

“Phoa-suhu!” tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara sapaan dari Liauw Thayjien yang tahu-tahu sudah berada di sisinya.”Penyakit yang diderita Siauw-li agaknya tidak enteng. Kelihatannya kita harus berdiam selama dua hari di tempat ini! Sejak kecil memang badannya sangat lemah apalagi saat ini ia sedang menderita sakit, aku rasa sulit baginya untuk menahan penderitaan di dalam melakukan perjalanan jauh?”

Mendengar perkataan tersebut, diam-diam Phoa Ceng Yan merasa geli, tetapi di luaran ia menyahuti pula.

“Thayjien boleh berlega hati, aku sudah menyuruh orang untuk mengundang datang tabib guna memeriksakan penyakit dari nona Liauw, bilamana semisalnya penyakit nona Liauw pada esok pagi belum sembuh juga, tiada halangannya kita berdiam dua hari lebih lama di sini untuk beristirahat!”

Selesai berkata ia lantas mengirim kerdipan mata ke arah Nyoo Su Jan, kemudian dengan membawa Liauw Thayjien bersama-sama masuk ke dalam rumah penginapan.

Seorang pelayan dengan membawa lampu lentera memimpin didepan membawa jalan dan menghantar mereka ke dalam sebuah rumah penginapan Sam Thay.

Di tengah halaman tumbuh berpuluh-puluh pepohonan bunga Bwee yang sangat lebat, salju nan putih memenuhi permukaan tanah menambahkan semaraknya suasana di sekitar sana bahkan samar-samar menyiarkan bau harum yang menusuk hidung.

 Liauw Thayjien dengan membawa kacung buku serta dua orang tua bersama-sama menempati kamar di depan, Liauw Hujien, nona Liauw serta Cun Lan menempati ruangan sebelah selatan, sedang ruangan sebelah utara serta sebelah belakang diberikan untuk para anak buah perusahaan Liong Wie Piauw-kiok beserta beberapa orang Piauw-tauwnya.

Menanti semua kereta dan kuda sudah diatur rapi, Nyoo Su Jan-pun akhirnya ikut masuk ke dalam ruangan.

“Su Jan, Kau berhasil menemukan sesuatu?” tanya Phoa Ceng Yan setelah berbisik sambil maju menyongsong kedatangannya.

Perlahan-lahan Nyoo Su Jan menggeleng dan tertawa pahit.

“Perkataan dari Jie-ya sedikitpun tidak salah, nona Liauw ini bukan saja pandai menyembunyikan diri bahkan pikirannya sangat pinter dan teliti sehalus sutera, baru saja aku pergi memeriksa keadaan di dalam kereta yang ditumpanginya, tetapi sedikit jejakpun tak berhasil aku temukan!”

“Aaaakh…..! Kalau begitu nona Liauw sudah menaruh perasaan waspada dan berhati-hati terhadap diri kita sehingga ia sudah membersihkan keadaan di sekelilingnya tanpa meninggalkan sedikit bekaspun,” ujar Phoa Ceng Yan setelah berseru tertahan. Keadaan sudah menjadi begini, kita tidak boleh melakukan pengusutan lebih lanuut sehingga memancing rasa benci serta gusar dari gadis tersebut, hal ini semisalnya sampai terjadi buat kita benar-benar bukan suatu kejadian yang menyenangkan. Tentang peristiwa ini lebih baik mulai sekarang kau simpan di hati saja, sekalipun berada di

 hadapan keluarga Liauw-pun jangan sekali-kali kau orang memperlihatkan gerak-gerikmu itu”.

“Soal ini Jie-ya boleh berlega hati, aku bisa berjaga diri baik-baik!” sahut Su Jan mengangguk.

Sang pelayan lantas menghidangkan arak dan sayur, tidak lama kemudian beberapa orang itu selesai bersantap, Jie Ciang kwee dengan membawa sang tabib kenamaan dari kota Si Jan Sian pun sudah datang ke dalam kamar.

Dengan dihantar Liauw Thayjien sendiri tabib itu segera berangkat menuju ruang kamar di sebelah selatan untuk memeriksakan denyutan nadi nona Liauw, kemudian membuka selembar resep obat.

Liauw Thayjien jadi orang ternyata murah upah, sebagai imbalan jasa buat tabib tersebut ia sudah menghadiahkan lima tahil perak.

Sebelum tabib itu mohon diri, Phoa Ceng Yan turun tangan sendiri menghantar dia orang keluar pintu besar, menanti dirasakan di sekeliling tempat itu tiada orang lain mendadak bisiknya, “Toa-hu (tabib), bagaimana dengan penyakit nona Liauw??”

“Peredaran darahnya sangat lemah, denyut jantung tidak menentu, agaknya ia baru saja menemui sesuatu kejadian yang mengejutkan hatinya” sahut tabib tersebut setelah termenung sejenak.

Mendengar jawaban itu Phoa Ceng Yan jadi melengak.

“Tidak kusangka di tempat semacam inipun terdapat seorang tabib yang demikian luar biasa……”pikirnya dalam hati.

 Tetapi sebentar kemudian pikirannya sudah berubah kembali, sambungnya, “Aaaaaakh …..! Kemungkinan sekali Liauw Thayjien yang memberitahukan soal ini kepadanya, aku harus bertanya sampai jelas.”

Karena itu ia berkata kembali, “Tentunya Liauw Hujien yang beritahu kepada Toa-hu bila nona Liauw baru saja mengalami sesuatu kejadian yang mengejutkan dirinta bukan?”

“Tidak! Liauw Hujie tidak pernah memberitahukan soal ini kepadaku” bantah tabib itu sambil menggeleng berulang kali. “Akupun tidak bertanya pada diri nona Liauw, sebab-sebab penyakit ini adalah berhasil aku temukan dari denyutan nadinya. Aku menemukan denyutan nadi nona Liauw tidak tetap bahkan sangat kacau, agaknya baru saja dia orang menemui suatu kejadian yang sangat mengejutkan hatinya, aku sudah buatkan resep, asalkan nona suka minum obat sesuai dengan resepku itu, paling banyak tiga kali atau paling sedikit penyakit sudah dapat sembuh kembali seperti sedia kala.”

Dalam hati Phoa Ceng Yan mengerti, sekalipun ia bertanya lebih banyakpun tiada gunanya karena itu ia berhenti bertanya. Setelah menghantar tabib itu keluar dari halaman seorang diri ia duduk termenung di bawah sorotan lampu lentera.

Jika ditinjau dari sikap serta paras muka sang tabib sewaktu berbicara tadi, sedikitpun tidak kelihatan bila ia lagi berbohong, jika dibicarakan dari keadaannya itu seharusnya nona Liauw tidak mengerti soal ilmu silat.

Tetapi mengapa Lam Thian Sam Sah suka lepas tangan dan mengundurkan diri setelah barang yang dicari berhasil didapatkan?? di dalam persoalan ini tentu

 terletak suatu kejadian yang sulit untuk diduga oleh siapapun.”

Mendadak terdengar suara langkah manusia memecahkan kesunyian, dari pintu luar berkumandang datang suara dari Lie Giok Liong.

“Paman Jie-siok, Giok Liong ada persoalan ingin bertemu muka” serunya.

“Ehm….! Pintu tidak kututup, kau masuklah sendiri”. Pintu kayu perlahan-lahan terbuka dan muncullah Lie

Giok Liong dengan pakaian ringkas serta menggembol golok pada pinggangnya.

“Mengapa kau bawa senjata?” melihat itu Phoa Ceng Yan segera mengajukan pertanyaannya dengan alis yang dikerutkan kencang-kencang.

Dari dalam sakunya Lie Giok Liong mengambil keluar sepucuk sampul surat berwarna putih kemudian dengan sangat hormat-nya diserahkan ke tangan Phoa Ceng Yan.

“Paman Jie-siok, coba kau orang tua lihatlah tulisan ini!” katanya.

Phoa Ceng Yan segera menerima surat tersebut dan dibaca isinya dengan teliti,

“Dipersembahkan kepada Phoa Hu Cong Piauw tau dari perusahaan Liong Wie Piauw-tauw, Phoa Ceng Yan:

Menurut berita yang siauw-tee terima, aku dengar banyak sekali kawan-kawan Liok-lim yang bermaksud turun tangan membegal barang kawalan dari Phoa-heng kali ini.

Nama besar perusahaan Liong Wie piauw-kiok sudah amat cemerlang laksana sang surya di tengah awang-

 awang, apalagi si pukulan besi serta gelang emas Phoaheng amat dashyat sekali. Tetapi haruslah kau ketahui orang yang bermaksud hendak turun tangan membegal barang kawalan perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kali ini kebanyakan merupakan pentolan-pentolan kaum Liok-lim yang berkuasa dan mempunyai pengaruh sangat luas di dalam Bu-lim. Bahkan beberapa orang iblis sakti yang telah mengundurkan diri dari dunia kangouw-pun sudah pada bermunculan kembali di dalam Bu-lim karena persoalan ini.

Karena pada sepuluh tahun yang lalu siauw-tee pernah mendapatkan budi tidak terbalas dari Phoa-heng, selama ini aku ingat-ingat terus budi tersebut. Sebenarnya di dalam surat ini akan kututurkan sekalian keadaan yang sejelas-jelasnya, tetapi berhubung siauwtee harus melakukan penyelidikan kembali, maaf kali ini siaw-tee tak dapat memberi keterangan yang lebih jelas.

Menulis sampai di sini mendadak kata-kata itu  terputus di tengah, kata selanjutnya ternyata tidak disambung.

Hal ini jelas menunjukkan bila orang tak ada waktu lagi untuk menyelesaikan surat tersebut.

Selesai membaca surat itu, saking khekinya seluruh tubuh Phoa Ceng Yan gemetar sangat keras.

“Mengapa??” bentaknya sambil menghajar keras meja kayu di hadapannya.

Ia mempunyai julukan sebagai si telapak besi, hantamannya yang sangat dashyat di atas meja barusan seketika itu juga menggetarkan lampu lilin di atas meja sehingga mencelat sanat tinggi ke angkasa, sedang di atas permukaan meja itupun tertera sebuah bekas telapak yang sangat dalam.

 Lie Giok Liong yang ada di pinggirnya cuma berdiri melongo-longo saja.

“Soal ini siauw-tit sendiripun tidak paham!” katanya.

Dengan cepat Phoa Ceng Yan berhasil menyadari sikapnya yang kelewat batas, ia menarik napas panjangpanjang.

“Aku sudah melindungi berpuluh-puluh laksa tahil perak dan belum pernah menemui kesulitan, tidak disangka di dalam perjalanan kali ini ternyata sudah memancing datang berpuluh-puluh macam kesulitan…..!” serunya.

Perlahan-lahan ia mendongak ke atas memandang sekejap ke arah Lie Giok Liong, kemudian sambungnya kembali.

“Kau dapatkan surat ini dari mana?”

“Tadi sewaktu siauw-tit melakukan pemeriksaan di sekeliling rumah penginapan ini, mendadak ada datang seorang pengemis cilik yang angsurkan surat ini kepadaku!”

“Kau tidak bertanya siapakah orangnya yang suruh dia datang menghantar surat tersebut?” tanya Phoa Ceng Yan kembali setelah termenung sejenak.

“Pengemis cilik itu setelah menyerahkan surat tersebut kepada siauw-tit segera putar badan dan berlalu,” sahut Lie Giok Liong sambil gelengkan kepalanya berulang kali. “Sewaktu siauw-tit ingin bertanya kepadanya kembali, ia sudah pergi tak berbekas!”

“Ehmmm…….! Lalu masih ingatkah dirimu bagaimanakah bentuk wajah si pengemis cilik itu?”

 Sebelum memberi jawaban Lie GIok Liong termenung beberapa saat lamanya, kemudian baru ujarnya.

“Ia memakai baju hitam yang sudah banyak tambalan, sepasang sepatunya terbuat dari kain yang sudah kumal, rambut kacau awut-awutan, wajahnya penuh berminyak dan penuh tanah. Ketika itu siauw-tit memandang sekejap ke arahnya dengan tergesa-gesa, sehingga bagaimanakah raut muka yang sebenarnya aku sudah tidak ingat lagi.”

“Giok Liong! Kau sudah membaca surat ini?” tanya Phoa Ceng Yan kembali dengan wajah serius.

“Siauw-tit sudah membacanya, karena merasa peristiwa ini sangat luar biasa sekali maka sengaja aku datang melaporkan hal ini kepada paman Jie-siok!”

“Ehmmm…..! Surat ini tak ada tanda tangannya ……” “Bahkan isi suratnyapun belum selesai ditulis”

sambung Lie GIok Liong tidak menanti Phoa Ceng Yan menjelaskan kata-katanya. “Kemungkinan sekali sewaktu ia menulis surat tersebut mendadak sudah terjadi suatu perubahan yang sangat besar maka sewaktu tulisan itu baru diselesaikan sampai di tengah jalan ia sudah tak sempat menyelesaikan kata-katanya lagi.

Sambil memandang kearah surat tersebut Phoa Ceng Yan mengangguk berulang kali, agaknya ia sedang memusatkan seluruh perhatiannya untuk berpikir dan berharap dari gaya tulisannya berhasil menemukan siapakah orang yang telah menulis surat tersebut.

Lie Giok Liong tidak berani mengganggu dengan amat tenang ia berdiri di samping.

“Giok Liong, coba kau panggil Nyoo piauw-tauw suruh datang kemari.” ujarnya.

 Lie Giok Liong mengiakan, perlahan-lahan ia mengundurkan diri dari dalam kamar.

Sejenak kemudian, ia sudah balik kembali dengan disertai Nyoo Su Jan sambil bungkukkan badannya menjura.

“Ehmmm!” Phoa Ceng Yan mengangguk. “Coba kau orang bacalah dulu isi surat ini.”

Selesai membaca isi surat tersebut, Nyoo Su Jan segera mengerutkan keningnya.

“Jie-ya! Bilamana ditinjau dari keadaan tersebut, agaknya peristiwa ini rada tidak benar??” katanya.

“Benar, akaupun mempunyai perasaan demikian, dalam hatiku merasa tidak percaya kalau orang-orang itu sengaja datang untuk membegal barang-barang kawalan kita.”

“Mungkinkah di dalam persoalan ini masih terselip dendam sakit hati dari dunia kangouw? Kedatangan mereka justru hendak membinasakan diri nona Liauw?”

“Bagaimana semisalnya nona Liauw benar-benar adalah seorang pendekar yang memiliki kepandaian sangat lihay, rasanya pendapatmu itu tidak salah” sahut Phoa Ceng Yan mengangguk.

“Tetapi semisalnya dikatakan ia sama sekali tak mengeri ilmu silat, bagaimana mungkin bisa mengejutkan Lam Thian Sam Sah sehingga melarikan diri terbiritbirit?”

“Kecuali peristiwa larinya Lam Thian Sam Sah dalam keadaan ketakutan sehingga sulit untuk diterangkan, persoalan-persoalan lain yang telah terjadi membuktikan bila nona Liauw agaknya adalah seorang gadis yang tidak mengerti akan ilmu silat”.

 Lama sekali Nyoo Su Jan termenung berpikir keras, akhitnya ia tertawa pahit.

“Hamba sudah ada puluhan tahun lamanya berkelana di dalam dunia kangouw, boleh dikata kali aku kena terkurung di dalam cupu-cupu orang lain…”

Ia merandek sejenak, kemudian sambungnya kembali, “Jie-ya! Apakah kau sudah teringat dengan orang yang menulis surat ini?”

“Pada sepuluh tahun yang lalu ketika aku melakukan perjalanan mengawal barang memang pernah menolong seseorang……,” ujar Phoa Ceng Yan perlahan.

“Kalau begitu sangat bagus sekali, coba kau katakanlah siapakah orang itu?” potong Nyoo Su Jan dengan cepat.

“Orang itu agaknya bernama Shen Cie San dengan gelar Miauw So Gong-Gong atau pencopet sakti!”

“Tidak salah, di dalam dunia kangouw memang ada seseorang yang mempunyai julukan demikian, ia bukan lain adalah seorang pencuri sakti yang setiap hari baik siang maupun malam kerjanya hanya mencuri belaka, tetapi iapun mempunyai tiga buah pantangan bagi pekerjaan mencurinya ini”.

“ooouw…… si pencuripun mempunyai pantangan??” “Benar! Shen Cie Sin sama sekali berbeda dengan

keadaan pencuri yang lain, ia berjiwa pendekar dan besemangat jantan, ketiga buah pantangan dalam pekerjaannya antara lain, pertama, tidak mencuri pembesar jujur, putra yang berbakti, kedua, tidak mencuri anak yatim piatu serta wanita janda, ketiga, tidak mencuri rumah kaum dermawan yang berbaik hati.”

 “Tidak salah, memang dia orang adanya” seru Phoa Ceng Yan dengan cepat. “Pada sepuluh tahun yang lalu justru dikarenakan ketiga buah pantangan di dalam pekerjaan mencurinya inilah aku baru turun tangan menolong dia dan mengobati luka-luka yang diderita olehnya.”

“Bilamana kita berhasil menemukan She Cia Sin, ada kemungkinan berhasil pula mendapatkan sedikit keterangan yang berharga bagi kita di dalam peristiwa ini.” usul Nyoo Su Jan secara tiba-tiba.

“Untuk menyampaikan surat itu saja, ia suruh orang kirim kemari, kita harus pergi ke mana menemukan jejaknya??”

“Perkataan Jie-ya memang benar,kalau begitu satusatu jalan pada saat ini adalah teliti dengan Liauw Thayjien, kita orang yang mencari makan dengan bekerja sebagai pengawal barang, walaupun tidak takut mati, tetapi kitapun mengharapkan bisa mati dengan sejelasjelasnya sedang mengenai rasa curiga kita terhadap nona Liauw, Jie-ya secara langsung boleh tanyakan kepada Liauw Thayjien, disamping kita memperkuat pertahanan di tempat ini, kitapun harus berusaha melaporkan peristiwa ini kepada Cong Piauw-tauw.” 

“Jika ditinjau dari situasi pada saat ini agaknya beban ini tak sanggup aku pikul kembali, kalianpun sudah terlalu kepayahan. Beritahu pada anak-anak semua, disamping melakukan penjagaan yang ketat, kita harus mencari akal untuk melaporkan peristiwa ke kantor pusat. Besok kita sehari di sini untuk lihat-lihat keadaan, bagaimana nona Liauw harus beristirahat dulu…..” kata Phoa Ceng Yan kembali.

Nyoo Su Jan lantas bungkukkan badannya menjura.

 “Baiklah hamba akan lakukan semua perintah Jie-ya!

Aku mohon diri dulu.” ujarnya.

“Jie-siok! Siauw-tit-pun ingin melakukan perondaan di sekeliling ruangan, sekalian mencari tempat-tempat yang menguntungkan sebagai pos penjagaan” ujar Lie Giok Liong pula sambil ikut bangun berdiri.

“Baiklah …….” sahut Phoa Ceng Yan sambil mengangguk. “Kalian harus berusaha keras untuk hal ini!”

Setelah Nyoo Su Jan serta Lie Giok Liong pergi. Phoa Ceng Yan lantas tutup pintu, memadamkan lampu dan naik ke atas pembaringan untuk beristirahat.

Ia ingin berpikir seorang diri secara teliti, si telapak besi bergelang emas sudah ada dua puluh tahun lamanya melakukan pekerjaan mengawal barang dan selama ini belum pernah menemui peristiwa semacam ini.

Sampai saat ini belum dipahami olehnya benda berharga apakah yang telah dibawa langganan-nya ini sehingga memancing datangnya niat oran-orang Liok-lim untuk melakukan pencurian serta perampokan.

Di samping itu diapun tidak paham siapa-siapa saja yang berniat untuk melakukan pembegalan tersebut??

Tetapi dengan pengalamannya selama puluhan tahun di dalam dunia kangouw, ia dapat merasa bila Liauw Thayjien tidak mirip dengan seorang manusia licik yang berhati kejam, sikap maupun paras mukanya sewaktu berbicara menunjukkan bila dia adalah seorang terpelajar yang mengerti akan sopan santun.

 Liauw Hujien pun menunjukkan gerak-gerik seorang wanita dari kalangan tinggi, ia tidak mirip dengan perempuan-perempuan biasa yang sering dijumpai.

Sedang beberapa orang pelajar yang mengikuti Liauw Thayjien, kecuali dua orang pelayan tua, satu-satunya orang yang masih muda adalah si kacung buku itu.

Beberapa orang ini Phoa Ceng Yan pernah menemui semua, mereka tidak mirip dengan seorang penjahat yang berkedok orang alim.

Di antara rombongan keluarga Liauw satu-satunya orang yang paling patut dicurigai hanya nona Liauw pernah terkait di dalam soal membalas yang sering terjadi di dalam Bu-lim, maka tentu ia sudah membawa sebuah benda pusaka Bu-lim yang sangat berharga tanpa sepengetahuan orang tuanya, sehingga hal ini memancing datangnya jago-jago lihay Bu-lim untuk mencari gara-gara serta kerepotan.

Perusahaan Liong Wie Piauw-kiok sudah mengawal ratusan laksa tahil perak dan menjelajahi lima keresidenan, selama ini jarang sekali mereka menemui rintangan-rintangan.

Siapa sangka pekerjaan kali ini ternyata sudah memancing datangnya begitu banyak kerepotan, semisalnya Liauw Thayjien sewaktu menjabat sebagai pembesar pernah menyalahi seseorang dan kini orangorang Liok-lim datang mencari balas dengan dirinya, tidak sepatutnya pihak lawan harus terburu-buru di dalam beberapa hari ini dan suka menempuh bahaya untuk bentrok muka dengan pihak perusahaan Liong Wie Piauw-kiok.

Karena di dalam perjanjian semua perusahaan Liong Wie Piauw-kiok hanya mengawal orang-orang itu sampai

 di kota Kay Hong Hu saja, setelah tiba tanggung jawab Liong Wie Piauw-kiok sudah selesai. Bilamana orangorang itu hendak membalas dendam maka pihak Piauwkiok tiada berhak untuk ikut campur lagi.

Di antara alasan-alasan dan pikiran-pikiran yang memenuhi benaknya selama ini, ia merasa alasan yang paling kuat adalah secara diam-diam nona Liauw telah membawa semacam barang yang sangat berharga tanpa sepengetahuan orang-tuanya.

Phoa Ceng Yan tidak mengerti apa yang telah dibawa olehnya?? tetapi ia menyadari bila barang berharga tersebut tentu bernilai jauh di atas seratus laksa tahil perak, masih ada lagi lukisan itu, agaknya lukisan tersebut-pun bukan sebuah lukisan biasa, cuma sayang ia tak mengerti akan barang-barang lukisan semacam itu sehingga tidak mengerti pula di manakah letak keberhargaan dari barang itu.

Setelah berpikir keras beberapa saat lamanya dan terakhir berhasil menemui sedikit gambaran, Phoa Hu Cong Piauw-tauw dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok inipun mulai merasakan hatinya tenang.

Setelah hatinya tenang rasa mengantuk serta lelahpun mulai menyerang badan, tanpa terasa lagi ia sudah tertidur nyenyak.

Ketika ia membuka mata untuk kedua kalinya, hari sudah terang tanah, buru-buru ia bangun lalu memeriksa keadaan di luar kamar.

Sewaktu ditemuinya suasana di sekeliling sana amat tenang dan mengerti bila semalam tidak terjadi sesuatu peristiwa, hatinya baru merasa lega.

 Saat itu Liauw Thayjien pun sudah bangun dari tidurnya dan berdiri di depan pintu.

“Thayjien, selamat pagi!” sapa Phoa Ceng Yan sambil menjura.

“Ooooooow…. Phoa Hu Cong Piauw-tauw!” kata Liauw Tahyjien sambil tersenyum. “Kapan kita mau berangkat?”

Perlahan-lahan Phoa Ceng Yan berjalan mendekat. “Cayhe ingin beristirahan satu-dua hari terlebih dulu di

sini, menanti sakit puteri kesayangannya Thayjien sudah betul-betul sembuh, kita baru melanjutkan perjalanan lagi,” sahutnya.

“Siauw-li sudah minum obat dan sakitnyapun sudah rada sembuh seperti sedia kala.” ujar Liauw Thayjien setelah termenung sebentar. “Urusan di dalam perusahaan kalian tentunya sangat sibuk, aku rasa tak perlu buang waktu lagi di sini, bilamana ini hari bisa berangkat, kita berangkat sekarang juga.”

Mendengar perkataan tersebut, Phoa Ceng Yan jadi melengak, ia merasa peristiwa ini ada di luar dugaannya, kontan saja ia mulai berpikir.

“Terima kasih buat perhatiaan Thayjien terhadap kesibukan perusahaan kami, tetapi cayhe rasa kudakuda kita terlalu lelah, lagi kesehatan puterimu-pun kurang leluasa, aku rasa kita tidak perlu terlalu bercemas hati, lihat dulu bagaimana keadaan sakit dari puterimu pada ini hari! Bilamana sakitnya sudah sembuh benarbenar besok pagi kita segera melanjutkan perjalanan.”

Liauw Thayjien segera mengangguk dan tersenyum. “Selama ini Siauw-li terus-terusan sakit, aku sebagai ayah tertalu biasa dengan kejadian itu,” katanya.

 Waktu itulah mendadak tampak Ih Coen dengan langkah tergesa-gesa berjalan mendekat, sewaktu dilihatnya Phoa Ceng Yan sedang bercakap-cakap dengan Liauw Thayjien, ia lantas berdiri di samping dengan sepasang tangan diluruskan ke bawah.

“Coen jie, ada urusan apa?” tanya Phoa Ceng Yan dengan alis yang dikerutkan.

“Paman Jie-siok mendapat sebuah undangan.” “Undangan? undangan dari siapa?” tanya Phoa Ceng

Yan melengak.

Dari dalam sakunya Ih Coen mengambil keluar sebuah undangan besar berwarna merah kemudian dengan sangat hormat diangsurkan ke depan.

“Ada orang mengundang paman Jie-siok untuk bersantap!” jawabnya.

Phoa Ceng Yan segera merasakan hatinya tergetar sangat keras, tetapi berhubung Liauw Thayjien ada dihadapannya, mau tak mau terpaksa ia harus mempertahankan ketenangannya.

“Bagus sekali!” serunya sambil tertawa setelah menerima surat undangan tersebut.

“Tidak kusangka di tempat inipun ada teman-teman yang aku kenal!”

Setelah menerima surat undangan tersebut, ia lantas membuka dan membaca isinya.

“Menanti kunjungan saudara untuk menghadiri perjamuan yang telah kami sediakan.”

Di bawahnya hanya tercantum beberapa kata: Salam dari lima orang kawan karibmu!.

 Phoa Ceng Yan membuka undangan tesebut maksud hatinya justeru hendak melihat nama-nama orang yang mengundang, tetapi setelah melihat kata-kata yang dibicarakan di sana hanya tulisan lima orang kawan karibmu saja ia merasa hatinya rada kecewa karena ini menunjukkan kalau pihak lawan tidak ingin memberitahukan siapakah mereka-mereka itu.

Ketika ia melanjutkan membaca, maka di belakangnya hanya tercantum tempat perjamuan yaitu di sebuah rumah makan di jalan sebelah timur pada tanggal lima bulan dua jam duabelas siang hari ini juga.

“Phoa-suhu, kenalkah kau orang dengan nama-nama itu? tanya Liauw Thayjien mendadak setelah mendehem perlahan.

Phoa Ceng Yan segera menyimpan surat undangan itu ke dalam saku kemudian tertawa terbahak-bahak.

“Haaaaa……haaaaa……haaaaa…… kawan lama, kawan karib ” serunya keras.

“Aaakh ….! Bilamana Phoa-suhu ada janji dengan kawan karib, hal ini malah kebetulan sekali, Siauw-li bisa meminjam kesempatan ini untuk beristirahat sehari, tetapi hari ini sudah hampir tutupan tahun, Cayhe ingin cepat-cepat bisa tiba di kota Kay Hong” ujar Liauw Thayjien cepat.

Mendengar perkataan tersebut, senyuman yang semula menghiasi wajah Phoa Ceng Yan dengan terpaksa itu kontan lenyap tak berbekas dan berubah hebat, ia mengerti bila Liauw Thayjien sudah menjatuhkan alasan tidak berangkatnya ini hari ke atas kepala Phoa Ceng Yan, dirinya.

 Sebetulnya ia ingin memberi penjelasan lebih lanjut, tetapi saai itu Liauw Thayjien sudah putar badan dan masuk ke dalam kamarnya dengan langkah lebar.

Terpaksa Phoa Ceng Yan menoleh dan memandang sekejap ke arah Ih Coen lalu tertawa pahit.

“Kau pergilah mencari suko-mu serta Nyoo Piauwtauw untuk datang sebentar ke dalam kamarku” katanya.

Ih Coen mengia lantas putar badan berlalu.

“Kaupun ikut datang” sambung Phoa Ceng Yan lebih lanjut.”Suruh Nyoo Piauw-tauw membawa serta du orang anak buah, mulai saat ini suruh mereka baik-baik berjaga di sekeliling ruangan ini, untuk sementara waktu melarang orang-orang asing untuk berjalan masuk kemari!”

“Jika pelayan dari rumah penginapan ini?”

“Suruh saja mereka serahkan barang yang dibawa kepada anak buah kita agar mereka yang membawa masuk” ujar Phoa Ceng Yan setelah termenung sebentar.

“Siauw-tit akan mengingatnya!”

Menanti Ih Coen sudah berlalu, dengan tergesa-gesa Phoa Ceng Yan-pun kembali ke dalam kamarnya, dari dalam sakunya kembali ia mengambil keluar surat undangan tersebut kemudian dipandangnya dengan termangu-mangu.

Ia sudah berpikir seantero jago-jago Liok-lim yang terkenal dan mempunyai nama besar di dalam dunia kangouw, tetapi tak teringat olehnya siapakah kelima orang yang mengundang dia untuk bersantap itu, ada pepatah mengatakan: Ada pertemuan bukanlah pertemuan   bermaksud   baik,   ada   jamuan   bukanlah

 jamuan berniat baik, kemungkinan sekali perjamuan ini sukar untuk ditelan.

Selagi ia berpikir keras itulah Nyoo Su Jan dengan membawa Lie Giok Liong serta Ih Coen bersama-sama masuk ke dalam kamar.

“Jie-ya, kau sudah mendapatkan sedikit gambaran siapakah mereka-mereka itu?” tanya Nyoo Su Jan sambil menjura.

“Kau lihatlah sendiri!” sahut Phoa Ceng Yan sambil menyerahkan surat undangan yang ada di atas meja ke tangan Nyoo Su Jan. Di dalam kalangan Bu-lim di daerah utara adakah orang yang menamakan dirinya lima bersaudara?”

Isi surat undangan tersebut sangat sederhana, sekali pandang sudah bisa dimengerti maksudnya, justru persoalannya pada surat itu terletak pada kata-kata lima orang kawan lama itu.

Setelah melihat beberapa saat lamanya Nyoo Su Jan lantas mengembalikan surat undangan tersebut ke tangan Phoa Ceng Yan.

“Jie-ya! Sebenarnya nama-nama yang tercantum dalam surat undangan ini tidak begitu penting. benarkah mereka menyebut dirinya sebagai lima bersaudara atau bukan, hal ini terlalu menyangkut persoalan yang kita hadapi, yang harus kita pikirkan sekarang ini adalah santapan ini adalah suatu santapan yang lezat atau santapan yang keras seatos batu!” ujarnya.

“Tidak salah!” Phoa Ceng Yan mengangguk. “Su Jan! Kita memang sudah membuang banyak tenaga dengan sia-sia untuk mengetahui asal usul mereka.”

 “Ada pepatah mengatakan siapa yang tahu keadaan lawan seratus kali bertempur, seratus kali akan menang, bilamana Jie Siok dapat mengetahui siapakah pihak mereka, sudah tentu dengan mudah sekali kita dapat mencari akal yang sesuai untuk menghadapi mereka,” sela Lie Giok Liong.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar