Lambang Naga Panji Naga Sakti Jilid 02

 “Heey…… kau orang benar-benar tidak malu disebut sebagai seorang jago kawakan yang banyak pengalaman, perkataan-mu benar-benar sangat tajam sekali!” seru si dara berbaju merah itu keras. “Bilamana kedatangan kami justeru bertujuan pada keluarga Liuw itu, lalu kau mau apa?”

“Membuka perusahaan ekspedisi, yang dipentingkan adalah  perdagangan,  pemilik  barang  serta   langganan

 membayar uang, kita lantas melindungi keselamatan mereka sekeluarga, hal ini boleh dikata sama dengan menjual nyawa buat mereka, “Sekalipun tidak melihat di atas wajah emas pandanglah wajah sang Budha. “Kita sama-sama adalah orang Bu-lim, bilamana saudara bertiga suka melepaskan diri kami hari ini, bukan saja cayhe merasa sangat berterima kasih atas kebaikan budi kalian tiga bersaudara, yang lain lolap tidak berani bicara sombong. Cong Piauw-tauw kami paling gemar berkawan dengan jago-jago kangouw, enam karesidenan di daerah utara tak seorangpun yang tidak tahu bilamana perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kami belum pernah mengalami pembegalan, yang penting dari kesemuanya ini sebetulnya tidak lain dikarenakan kawan-kawan kangouw suka memberi muka kepada kami.” 

“Ehmm…! Soal ini sejak semula kami sudah berhasil memperoleh kabar yang sangatt jelas sekali, jangan dikata Cong Piauw-tauw kalian, cukup kau si telapak besi gelang emas Pho Hu Cong Piauw-tauw-pun sudah dipandang tinggi oleh orang-orang yang ada di dalam enam karesidenan di daerah utara, yang jatuh kecundang di bawah tanganpun paling sedikit ada tiga empat puluh orang banyaknya, kalau memangnya kita berani turun tangan untuk membegal barang kawalan kalian pada kali ini, terus terang saja sejak semula kami sudah memperhitungkan pula atas kelihayan-nya, berhasil atau gagal pokoknya tidak akan merugikan perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kalian….”

“Baiklah!” seru Phoa Ceng Yan kemudian sambil mengulapkan tangannya. “Bilamana kalian bertiga benarbenar ada maksud untuk turun tangan menahan barang kawalan kami, aku orang she Phoa pun tidak ingin menebalkan muka untuk memohon lagi pada kalian Lam Thian Sam Sah pun merupakan orang yang mempunyai

 muka di dalam dunia kangouw, aku harap kau suka bergebrak sesuai dengan peraturan Bu-lim.”

“Ooouw…. membegal barang kawalanpun masih ada peraturannya juga? waah…waah… soal ini terpaksa siauw-moay harus minta petunjuk dari dirimu” goda si dara berbaju merah itu sambil tertawa cekikikan.

Selama ini si lelaku kasar bersenjata aneh serta si sastrawan berjubah biru itu tetap berdiri di tempat semula tanpa bergerak maupun ikut berbicara barang sepatah katapun, agaknya segala urusan sudah diserahkan kepada si dara berbaju merah yang paling kecil ini untuk mengambil keputusan.

Diam-diam Phoa Ceng Yan mulai menghitung waktu, ketika dirasanya waktu sudah cukup bagi Nyoo Su Jan untuk mengatur siasat penjagaan ia baru tertawa tawar.

“Harap kalian jangan melukai langganan kami, yang mengawal benda tersebut adalah perusahaan Liong Wie Piauw-kiok, maka dari itu kalian boleh langsung mencari aku orang she Phoa untuk bikin beres urusan ini, hutang ada pemiliknya, dendam ada penyebabnya, kalian janganlah sekali-kali mencelakai langganan kami.”

“Hiii…..hiii… jika demikian adanya, kau Pho Hu Cong Piauw-tauw agak sudah tidak mempunyai kepercayaan lagi untuk mempertahankan barang kawalanmu kali ini bukan?” goda si dara berbaju merah itu kembali sambil tertawa cekikikan.

“Untuk sementara lebih baik nona jangan menyombongkan diri terlebih dulu, siapakah yang bakal menang dan siapa yang bakal angsor siapapun diantara kita tak bisa menentukan mulai sekarang!”

 “Heee….heee…. kalau begitu kau boleh mulai turun tangan!”

Walaupun di dalam kalangan dunia kangouw nama Lam Thian Sam Sah sudah terkenal akan telengasnya, tetapi bilamana membicarakan soal pengalaman di dalam dunia persilatan sulit untuk menangkan diri si telapak besi gelang emas.

Phoa Ceng Yan sama sekali tidak dibuat gusar oleh perbuatan dari si dara berbaju merah itu, sembari diamdiam melakukan persiapan ujarnya dingin, “Perkataan dari aku orang she Phoa belum selesai…..” Tubuh si dara berbaju merah pada saat itu sudah berada sangat dekat dengan diri Phoa Ceng Yan, agaknya ia ada maksud untuk segera turun tangan.

Tetapi sewaktu dilihatnya Phoa Ceng Yan belum ada maksud untuk turun tangan bahkan berbicara kembali, terpaksa ia menahan sabar.

“Kalau begitu cepatlah kau katakan!” teriaknya keras. “Menurut     peraturan     dunia     kangouw,     dengan

kecemerlangan nama Lam Thian Sam Sah kalian hendak membegal barang kawalan orang lain maka perbuatan kalian tidak lebih seperti pencuri itik, pembegal anjing yang paling rendah derajatnya, sekalipun ini hari aku orang she Phoa harus jatuh kecundang di tangan kalian tiga bersaudara dan rubuh bermandikan darah, hal ini anggap saja kepandaian ilmu silat aku orang she Phoa tidak becus dan memang sepatutnya mati, melakukan perjalanan, di rumahpun ada peraturan rumah, sekalipun perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kita tidak akan melaporkan peristiwa ini kepada pengadilan, harap kalian bertiga suka mempertahankan barang-barang kawalan kami   selama   tiga   bulan,   kemudian   menyurati Cong

 Piauw-tauw kami untuk meminta kembali barang-barang tersebut dalam waktu yang telah ditentukan.”

“Bila tiga bulan sudah penuh?”

“Bilamana demikian adanya maka terserah kalian hendak berbuat apa terhadap barang-barang itu, karena dengan demikian kematian dari aku orang she Phoa sama sekali tidak sampai merusak merek perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kamu, bilamana nona berani menyanggupi usul ini, maka sekalipun aku orang she Phoa harus matipun dengan puas, sedang nama dari kalian tiga bersaudara pun tidak sampai tercemar di mata kawan-kawan Bu-lim lainnya.

“Tetapi apakah kebaikannya dari syarat tersebut terhadap kami tiga bersaudara?”

“Membegal ada peraturannya, bilamana kalian Lam Thian Sam Sah tidak suka mengikuti peraturan ini, maka kawan-kawan dari golongan Hek-to maupun Pek-to tidak akan memandang kalian lagi…”

Mendadak ia mendongakkan kepalanya tertawa terbahak bahak……… lalu sambungnya kembali, “Bilamana semisalnya kalian bertiga benar-benar sekali lagi mengalahkan Cong Piauw-tauw kami dan mempertahankan barang-barang tersebut tidak sampai diminta kembali, maka enam kerisidenan di daerah Kiang Pak serta dua belas perusahaan piauw-kiok beserta lainnya akan secara rela mendekati kalian, sampai waktu itu bukan saja nama Lam Thian Sam Sah akan cemerlang, hidup kalian-pun boleh dikata terjamin penuh!”

“Baiklah! Kita tentukan demikian saja,” sahut si dara berbaju merah itu kemudian setelah termenung sebentar. “Biarlah nonamu mempertanggung jawabkan soal ini”

 “Apakah nona sungguh-sungguh bisa mengambil keputusan di dalam persoalan ini?”

“Hmm! Walaupun aku Ang Nio Cu adalah kaum perempuan, tetapi perkataan yang sudah diucapkan keluar selamanya tidak pernah ditarik kembali.”

“Baik! Berdasarkan perkataan dari nona itu, loolap memuji dirimu sebagai seorang pendekar perempuan yang gagah perkasa.”

“Heeee……heeee…… sudah habis perkataanmu?” tanya Ang Nio Cu kemudian dengan nada yang amat dingin.

“Perkataan dari loolap sudah selesai!”

“Hiii…. hiii…. kalau begitu terimalah seranganku ini!” tiba-tiba teriak Ang Nio Cu sambil tertawa cekikikan.

Tubuhnya dengan cepat meloncat ke depan, telapak tangannya dengan menimbulkan segulung hawa pukulan yang maha dashyat menghajar ke atas tubuh pihak lawannya.

“Serangan yang bagus” puji Phoa Ceng Yan keras, kaki kirinya segera melesat setengah langkah ke samping, huncwee di tangan kanannya dengan menggunakan jurus “Hua Liong Thian Cing” atau melukis Naga menutul mata melancarkan totokan ke arah telapak tangan Ang Nio CU yang sedang melancarkan serangan.

“Nona! Ayoh gerakkan senjatamu” teriaknya.

Di luar ia berkata demikian, padahal dalam hati diamdiam pikirnya, “Bagus sekali! Ternyata budak amat licik, karenaya sewaktu hendak melancarkan serangan tadi sengaja ia memperlihatkan satu senyuman sehingga pihak lawan merasa datangnya serangan tersebut berada di luar dugaan.”

 Ang Nio Cu sewaktu melihat ayunan huncwee dari Phoa Ceng Yan dengan amat tepat sekali berhasil menemukan jalan darah pada pergelangan tangan kanannya dalam hati diam-diam merasa amat terperanjat.

“Si tua bangka ini benar-benar merupakan seorang jagoan lihay” pikirnya dalam hati. “Di dalam sekali serangan, arah yang dituju serta sangat tepat sekali, aku tidak boleh bersikap gegabah terhadap dirinya….”.

Tergopoh-gopoh tubuhnya berputar mengikuti gerakkan tangan dan melayang sejauh delapan depa ke samping.

Jagoan lihay bergebrak cukup dengan serangan pertama sudah tau pihak musuhnya berisi atau tidak, sewaktu Ang Nio Cu memutar badan berkelebat menyingkir ke samping tadi dalam hati Phoa Ceng Yan sudah mempunyai perhitungan yang sangat masak.

Ia mengetahui senjata angkin merah dari Ang Nio Cu yang disembunyikan di balik ujung baju merupakan suatu serangan yang aneh dan dashyat, apalagi ilmu meringankan tubuhnya jauh lebih tinggi satu tingkat dari dirinya. Gerakan tubuhnya yang berkelebat ke samping ini pasti akan disusul dengan suatu serangan balasan yang amat lihay.

Phoa Ceng Yan, si jago kawakan yang banyak pengalaman, menghadapi musuh yang sangat tangguh ini ia bersikap sangat berhati-hati, melihat musuhnya mundur dia orang sama sekali tidak mengadakan pengejaran.

Ternyata dugaannya sedikitpun tidak salah, begitu ujung  kaki  Ang  Nipo  Cu  menginjak  permukaan  tanah

 tanpa menoleh lagi ia melancarkan satu serangan balasan yang sangat hebat.

Serentetan cahaya merah laksana pelangi yang terbentang di tengah angkasa langsung menyapu datang dengan gerakan mendatar.

Phoa Ceng Yang dengan tenang berdiri tegak di tempat semula, menanti serangan angkin merah itu hampir mengenai tubuhnya ia baru mencelat ke tengah udara, huncwee di tangannya dengan menggunakan jurus “Koay Coa Jut Hiat” atau Ular aneh keluar dari sarang menoton ke arah tubuh musuhnya.

Di dalam hal ilmu silat, yang penting adalah kecermatan pandangan serta kecepatan gerak, siapa cepat dia yang berhasil merebut posisi menguntungkan.

Tubuh Phoa Ceng Yan yang mencelat ke tengah udara ini dengan tepat berhasil mengisi kekosongan ruangan di antara kelebatan angkin merah dari Ang Nio Cu tersebut.

Tidak malu Ang Nio Cu disebut jagoan lihay, melihat posisinya tidak menguntungkan dan serangan musuh melanda sangat dashyat, angkin merahnya yang sedang melancarkan serangan tadi dengan mengikuti gerakan tubuh berputar satu lingkaran besar, sedang tubuhnya mengambil kesempatan tersebut mencelat dan bersalto beberapa kali di tengah udara sejauh satu kaki sehingga berhasil menghindarkan diri datangnya serangan tersebut.

“Hmmm! Ilmu meringankan tubuh nona sungguh hebat sekali!” dengus Phoa Ceng Yan dingin.

Ang Nio Cu yang beberapa kali kehilangan posisi yang menguntungkan,   dari   perasaan   malu   ia   jadi  gusar.

 Angkin merahnya kembali disentakkan lalu menggulung ke depan dengan gerakan mendatar.

Di dalam hati Phoa Ceng Yan sudah punya perhitungan, bilamana di dalam tiga lima gebrakan lagi dirinya berdasarkan pengalaman yang banyak di dalam menghadapi beratus-ratus kali pertempuran berhasil menangkap Ang Nio Cu untuk dijadikan sandaran bukan saja keselamatan Giok Liong akan terjamin, bahkan dengan mengandalkan keselamatan perempuan ini ada kemungkinan sekali barang kawalannya berhasil melewati rintangan ini dengan selamat.

Tetapi di dalam hati iapun merasa sangat paham, si orang berbaju hitam serta sang pemuda berjubah biru itu tidak akan membiarkan Ang Nio Cu kena dia tawan tanpa turun tangan memberi pertolongan, oleh karena itu satusatunya harapan yang bisa ia pegang untuk memperoleh kemenangan ini adalah mengandalkan gerakan yang “Cepat”.

Cepat sehingga kedua orang itu tidak sempat turun tangan memberi bantuan, bilamana semisalnya kekuatan musuh terlalu kuat dan sulit untuk mencapai sesuatu keadaan sesuai keinginannya maka terpaksa ia harus mengundurkan diri ke tempat perhentian kereta-kereta kawalannya kemudia dengan menggunakan tenaga gabungan dari Nyoo Su Jan serta Thio Toa Hauw bersama-sama mengandalkan perlawanan sekuat tenaga.

Setelah si orang tua ini merencanakan siasat maju mundurnya dalam hati, hawa murninya dengan cepat disalurkan dari pusar mengelilingi seluruh tubuh.

Kuda-kudanya diperkuat, huncwee ditangannya diangkat menyambut datangnya serangan tersebut.

 Melihat gerakan dari pihak lawannya, diam-diam Ang Nio Cu memaki.

“Si tua bangka ini benar-benar amat sombong!”

Angkinnya diputar, dengan kecepatan laksana kilat mengurung huncwee tersebut.

Gerakannya ini dilakukan sangat cepat sekali, tahutahu angkin sudah mengikat sang huncwee erat-erat dan ditarik, dengan sekuat tenaga ke arah belakang.

Segulung tenaga yang amat besar segera membetot tubuh si orang tua itu maju ke depan.

Walaupun sejak semula Phoa Ceng Yan sudah mengadakan persiapan, tidak urung badannya kena ditarik juga sehingga meninggalkan permukaan tanah oleh betotan angkin dari Ang Nio Cu itu.

Diam-diam hatinya merasa amat terperanjat pikirnya. “Aaakh …..! Sungguh tidak kusangka budak ini mempunyai tenaga dalam yang demikian dashyatnya.”

Dengan cepat kaki kirinya maju selangkah ke depan, sedang tangan kirinya diayun sambil membentak. “Nona! Lihat serangan.”

Tiga titik cahaya emas yang menyilaukan mata dengan cepat laksana kilat menyambar tubuh Ang Nio Cu.

Phoa Ceng Yan terkenal sebagai si telapak besi gelang emas, kecuali memiliki ilmu pukulan Thiat Sah Ciang yang amat lihay, senjata rahasia gelang emasnya boleh dikata merupakan suatu ilmu tunggal yang tiaada tandingannya.

Jarang sekali ada jagoan Bu-lim yang berhasil meloloskan diri dari serangan senjata rahasia gelang

 emasnya ini dan jarang pula ada yang berani melihat di manakah gelang-gelang emas itu disembunyikan.

Tampaklah di antara ayunan tangannya gelang-gelang emas beterbangan laksana kilat bahkan gelang-gelang itu disambit sesuai dengan jurus serangan yang digunakan sehingga boleh dikata kedashyatannya sulit untuk dicarikan tandingannya.

Dengan mengandalkan angkin merahnya yang lemas Ang Nio CU dapat menahan serangan golok serta pedang tajam, kesemuanya ini dikarenakan ia sudah mengandalkan jurus serangan yang aneh serta pengerahan tenaga dalam yang tepat pada waktunya.

Tetapi Phoa Ceng Yan sudah mengadakan persiapan sejak semula, ia mengerahkan ilmu bobot seribu katinya untuk memantek sepasang kaki di atas tanah, kedua buah kakinya ini seperti tiang kayu yang tertanam di tanah saja sedikitpun tak dapat tergeser.

Sewaktu Ang Nio Cu melihat datangnya serangan Huncwee tadi, ia sudah merasa dirinya bertemu musuh tangguh sehingga angkinnya buru-buru ditarik kembali, siapa sangka ketika itulah gelang emas dari Phoa Ceng Yan dengan menimbulkjan suara desiran tajam sudah mengancam datang.

Jarak antara mereka berdua sangat dekat sekali, datangnya serangan gelang emas itupun cepatnya luar biasa memaksa Ang Nio Cu dalam keadaan kepepet harus mengeluarkan ilmu “Thian Pan Kiauw” atau jembatan gantung yang merupakan ilmu pantangan bagi kaum wanita.

Tubuhnya menjatuhkan diri ke arah belakang dengan punggung menempel di atas permukaan salju.

 Kendati perubahan geraknya dilakukan sangat cepat, tidak urung pundaknya kena tersambar juga oleh sebatang gelang emas sehingga pakaian merahnya robek dan melukai tubuhnya.

Bilamana misalnya pada waktu itu Phoa Ceng Yan menambahi lagi beberapa batang gelang emas maka Ang Nio Cu tak dapat terhindar lagi pasti akan menderita luka yang amat parah.

Tetapi hatinya welas kasih dan tidak ingin turun  tangan jahat terhadap gadis itu, ia hanya mengharapkan bisa menawan Ang Nio Cu hidup-hidup untuk digunakan sebagai sandera.

Tubuhnya dengan cepat menubruk maju ke depan, Huncwee di tangannya menekan ke arah bawah menotok tubuh Ang Nio Cu.

Di dalam keadaan yang amat kritis ini, gadis berbaju merah itu sama sekali tidak jadi gugup. Ilmu meringankan tubuhnya yang sangat sempurna dengan cepat disalurkan keluar.

Tampak tubuhnya berputar menghindar diri dari totokan huncwee di tangan Phoa Ceng Yan kemudian mencelat bangun dari atas tanah.

Bayangan merah berkelabat secepat angin berlalu, tahu-tahu tubuhnya sudah berada satu kaki di tengah udara, di mana tangannya berkelabat angkin merahnya laksana seekor ular melibat tangan kiri dari si orang tua itu.

Diam-diam Phoa Ceng Yan berteriak sayang, tangan kirinya dibalik lima jarinya dipentangkan mencengkeram angkin tersebut dengan sebatnya.

 Tetapi gerakan dari Ang Nio Cu jauh lebih cepat dari dirinyam mengambil kesempatan itu tangannya menyerok ke depan dengan sepenuh tenaga.

Phoa Ceng Yan kontan merasakan tubuhnya tak dapat berdiri tegak lagi dan terlempar empat lima depa ke depan kemudian jatuh terlentang di atas tanah.

Melihat musuhnya jatuh, Ang Nio Cu tidak kasih banyak kesempatan lagi buat lawannya untuk banyak berkutik, angkinnya kembali digetarkan mengancam sepasang kaki si orang tua itu.

Phoa Ceng Yan sejak terjunkan dirinya ke dalam dunia kangouw pada dua puluh tahun yang lalu, belum pernah dia orang jatuh kecundang seperti ini hari, dalam hati sedihnya bukan alang kepalang.

Tetapi pertempuran ini bukanlah suatu pertandingan pi-bu yang dianggap selesai setelah kena ditutul, walaupun dalam hati ia merasa amat sedih iapun harus bangkitkan semangat kembali untuk melawan musuh.

Melihat Angkin merah dari Ang Nio CU kembali menyambar datang, hatinya merasa berdesir. Ia tahu bilamana kali ini sepasang kakinya kena tergulung kembali maka geguyon ini tidak akan kecil.

Tubuhnya bukan saja terlempar sejauh satu kaki saja, kemungkinana sekali ia akan terpental dan jatuh terjengkang seperti monyet menubruk katak.

Karena itu buru-buru tangannya diayun ke depan, empat batang gelang emas dengan menimbulkan suara desiran tajam menyambar ke arah depan.

Tidak lama berselang Ang Nio Cu sudah merasakan pahit getir di bawah serangan gelang emas itu karenanya

 ia tahu lihay dan tak berani melanjutkan serangannya kembali.

Tubuhnya buru-buru berkelit ke samping menghindarkan diri dari datangnya serangan senjata rahasia, kemudian mencelat ke tengah udara sejauh enam tujuh depa dari tempat semula.

Sewaktu Ang Nio Cu berkelebat untuk menghindarkan diri itulah, ditengah permukaan salju kembali terlihat berkelebatnya sesosok bayangan manusia dengan amat cepatnya.

Dengan kebutan kipas yang membuka menutup, tahutahu keempat batang gelang emas dari Phoa Ceng Yan sudah kena tersapu lenyap tak berbekas.

Waktu itu Phoa Ceng Yang sudah berhasil bangun berdiri, ketika ia mengalihkan pandangannya maka tampaklah di posisi tubuh Ang Nio Cu pada saat itu telah berdirilah si siaucay berwajah putih berjubah biru itu dengan amat tenang.

Si siucay berbaju biru itu mendadak membentangkan kipasnya lebar-lebar sehingga keempat gelang emas yang kena tersapu tadi jatuh ke atas permukaan salju, kemudian tertawa terbahak-bahak dengan keras.

“Haaa….haaa……. walaupun sam moay berhasil kau babat pundaknya sehingga terluka tetapi kau sudah seri dengan menjatuhkan dirinya sehingga tertelentang. Walaupun tidak bisa dikata memperoleh kemenangan besar, tetapi kaupun tidak dikalahkan, coba kau berdirilah di samping untuk menjagakan Jie komu, aku ingin mencoba=coba dia orang sudah membawa seberapa banyak gelang emas,”katanya.

 Phoa Ceng Yan yang melihat dia orang dapat menyapu keempat batang gelang emasnya di dalam sekali sambaran tanpa menimbulkan suara sedikitpun, dalam hati merasa amat terperanjat, pikirnya.

“Orang ini dapat menyapu keempat batang gelang emasku tanpa menimbulkan sedikit suarapun, hanya mengandalkan kepandaian ini saja aku sudah merasa  tak berhasil memadahinya.”

Dia orang mana tahu bila kipas yang ada ditangan Loojie dari Lam Thian Sam Sah ini terbuat dari serat emas, serat perak, serta serat rambut dan merupakan sebuah senjata yang sangat aneh khusus untuk menghadapi berbagai senjata rahasia.

Permukaan kipas yang keras tapi halus itu mempunyai daya pental yang amat besar, sekalipun senjata rahasia tajamnya bagaimanapun sulit untuk merusak permukaan kipas tersebut apalagi mengeluarkan suara.

Walaupun dalam hati Phoa Ceng Yan merasa sangat kaget, tetapi urusan sudah ada di depan mata sudah tentu ia tak dapat berbuat apa-apa lagi kecuali secara diam-diam menyalurkan hawa murninya mengelilingi seluruh tubuh.

“Haa……haa…..kawan!” serunya sambil tertawa terbahak-bahak. “Kepandaianmu di dalam menyikat senjata rahasia sangat lihay sekali, aku orang she Phoa sudah hidup setengah abad lamanya tetapi baru kali ini dapat melihat kepandaian tersebut untuk pertama kalinya.”

“Haaa…..haaa….. bilamana kami Lam Thian Sam Sah tidak memiliki sedikit andalan, bagaimana mungkin berani mengganggu barang kawalan dari piauw-kiok nomor satu pada saat ini??” seru si siucay berbaju biru

 itu pula sambil tertawa terbahak-bahak. “Kau si telapak besi gelang emas saat ini sudah membawa berapa banyak gelang emas haaaaaa?? Ayo keluarkan semua! Jika kau belum pernah melihat kepandaian semacam ini, maka ini hari aku akan pamerkan kepandaian tersebut di hadapanmu”.

“Hmm!” dengus Phoa Ceng Yan dingin. “CUkup berdasarkan perkataan yang baru saja kawan ucapkan ini seharusnya aku orang she Phoa minta beberapa petunjuk darimu, cuma …. kali ini aku orang she Phoa sedang mempertanggung jawabkan nyawa puluhan orang, biarlah kemangkelan kali ini cayhe tahan sampai lain waktu, bilamana di kemudian hari kita bertemu muka lagi maka ganjelan kita kali ini sekalian kita selesaikan”.

“Heee……heee…… bagus sekali ,” ujar si siucay berbaju biru itu sambil tertawa dingin. “Bilamana kita lewatkan kesempatan yang amat bagus ini kali, kemungkinan sekali di kemudian hari sudah tak ada waktu lagi untuk bertemu ……”

Mendadak air mukanya berubah hebat, dengan nada yang amat dingin sambungnya,”Kau sudah melanggar pantangan dari Loo toa kami, hal ini berarti pula kau mencari penyakit dan kemusnahan buat diri sendiri….”.

Dengan paksakan diri menahan rasa gusar di dalam hatinya, Phoa Ceng Yan segera merangkap tangannya menjura.”Tadi aku sudah membicarakan persoalan ini dengan Sam ku Nio, harap kalian suka menggunakan peraturan Bu-lim untuk melakukan pekerjaan ini. Lam Thian Sam Sah bukanlah manusia tak bernama di dalam dunia kangouw dan kemudian hari masih ingin tancapkan kaki terus di dalam Bu-lim, maka dari itu bilamana kalian hendak membegal barang kawalanku maka Loolap berharap   jangan   membunuh   orang-orang   yang   tak

 bertenaga untuk memotong seekor ayampun, sedang mengenai nyawa dari piauw-su piauw-su piauw-kiok, bilamana kalian mau bunuh bunuhlah, paling-paling kami harus kehilangan selembar nyawa!”

Tidak menanti jawaban dari si siucay berbaju biru itu lagi, tubuhnya segera meloncat keluar dari kalangan dan mengundurkan diri ke arah pemberhentian kereta-kerata tersebut.

Tindakan dari Hu Cong Piauw-tauw perusahaan Liong Wie Piauw-kiok ini benar-benar di luar dugaan si siucay berbaju biru serta Ang Nio CU, tak terasa lagi mereka jadi terkesima dibuatnya.

Beberapa saat kemudian dengan langkah yang lambat Ang Nio Cu berjalan ke sisi si siucay berjubah biru itu sambil bisiknya, “Jie-ko! Phoa Ceng Yan bukan saja memiliki kepandaian ilmu silat yang sangat lihay bahkan mempunyai kecerdikan yang melebihi orang lain, pengetahuannya di dalam menghadapi musuh-pun sangat luas, kita tidak boleh terlalu pandang enteng dirinya. Kini dia orang telah mengundurkan diri ke tempat pemberhentian kereta-kereta kawalannya, hal ini jelas memperlihatkan bila ia sedang mengumpulkan seluruh tenaganya untuk melakukan suatu pertempuran matimatian melawan diri kita ……!”

“Ilmu menyambit senjata rahasia gelang emas yang diandalkan oleh Phoa Ceng Yan memang lain daripada yang lain dan ilmu tersebut benar-benar merupakan sebuah ilmu yang maha sakti,” kata si siucay berbaju biru itu sambil tertawa. “Tetapi, setelah bertemu dengan aku orang dikata hari sial baginya sudah tiba. Kipas tulang bajaku ini memang khusus digunakan untuk menghadapi serangan-serangan senjata rahasia, di dalam ilmu kepandaian ini saja Jie-komu sudah ada empat lima

 belas tahun latihan, aku rasa senjata rahasia yang ada di dalam kolong langit pada saat ini dapat siau heng hadapi semua, ayoh jalan! Kita kejar mereka dan lihat keadaan situasi yang ada, jauh lebih baik bilamana jangan membiarkan Toa-ko turun tangan sendiri.

Mereka berdua sembari berbicara sembari melanjutkan perjalanannya dengan langkah lebar menuju ke tempat pemberhentian kereta-kereta kawalan itu.

Lam Thian Sam Sah walaupun belum mempunyai pengalaman yang sangat banyak di dalam menghadapi pertempuran, tetapi setelah melihat bentuk posisi dari kereta-kereta kawalan itu diam-diam dalam hati merasa terperanjat juga sehingga kedua orang itu sudah menghentikan langkahnya pada jarak kurang lebih empat lima kaki dari kereta-kereta itu.

Kiranya, kelima buah kereta tersebut dengan mengikuti kedudukan Ngo Heng kini sudah diatur sangat rapi sekali, kuda-kuda jempolan penghela kereta-pun telah dilepaskan semua.

Salju turun dengan derasnya, barisan kereta yang ada di depan mata serasa semakin menyeramkan bahkan secara samar-samar tersembunyi hawa membunuh yang sangat tebal.

Terdengar si siucay berbaju biru itu mendehem perlahan.

“Sam-moay, barisan kereta-kereta itu agaknya mempunyai perubahan yang sangat banyak sekali” katanya.

“Ehmm…” begini saja, biarlah siauw-moay pergi mencoba  terlebih  dulu  sedang  Ji-ko  mengawasi  dari

 samping, bilamana sudah menemukan titik kelemahan kau baru turun tangan” sahut Ang Nio Cu kemudian.

Ia merasa ilmu meringankan tubuhnya sangat sempurna, maka dari itu dalam hati ada maksud hendak memancing bergeraknya barisan-barisan itu sehingga memberi kesempatan buat si siucay berbaju biru itu untuk memeriksa titik-titik kelemahannya.

“Tidak bisa jadi” seru sastrawan berbaju biru itu menggeleng tiada hentinya. “Lebih baik aku saja yang pergi memeriksa kekuatan dari pihak musuh. Menurut pikiranku bila kita berjalan mendekat ke arah sana maka orang-orang di balik barisan kereta-kereta ini tentu akan mengandal ilmu menyambit senjata rahasia untuk mengacaukan pikiran musuh, aku percaya kipasku ini masih merupakan tandingan dari senjata-senjata rahasia mereka. Sam-moay! Kau awasi saja dari samping kalangan.”

Dengan cepat ia bentangkan kipasnya kemudian dengan lambat-lambat berjalan ke arah barisan kereta itu.

Ang Nio Cu yang mendengar perkataan Jie-konya sangat cengli, iapun segera mengangguk.

“Jie-k, kau harus berhati-hati” pesannya.

“Tidak bakal konyol!” sahut si sastrawan berbaju biru itu sambil tertawa.

Walaupun begitu, dalam ati ia tidak berani pula terlalu memandang enteng pihak musuh, diam-diam hawa murninya disalurkan mengelilingi seluruh tubuh.

Kurang lebih setelah ia tiba dua kaki dari barisan kereta, anak panah mulai berdesiran dan menyambar datang cepat laksana sambaran kilat.

 Si sastrawan berbaju biru itu segera menggerakkan kipasnya untuk menangkis, kedua batang anak panah tersebut kontan saja kena tertahan.

Walaupun sastrawan tersebut berhasil memukul jatuh senjata rahasia yang datang menyambar tidak urung iapun merasa bila kekuatan dari sambaran anak panah tersebut benar-benar luar biasa hebatnya, bahkan lain keadaannya dengan penyambitan senjata rahasia biasa. Tak terasa ia sudah menghentikan langkahnya.

“Eeeeei……… kenapa kau berhenti?” seru Ang Nio Cu sambil mengejar datang.

“Di balik kereta-kereta itu sudah menyembunyikan jaga-jago memanah yang sangat lihay disamping si telapak besi serta kedua orang piauwsunya, bilamana kita menerjang lebih dekat ke arah kereta-kereta itu, di bawah serangan anak panah serta senjata rahasia yang gencar, tidak urung pikiran kita akan bercabang pula, bila demikian adanya maka keadaan kita pada waktu itu sangat berbahaya, kita tidak bakal sanggup untuk menahan serangan gabungan dari si telapak besi gelang emas beserta kedua orang Piauw-tauw-nya. 

“Perkataan Jie ko sedikitpun tidak salah,” kata Ang Nio Cu sambil mengerutkan alisnya. “Bilamana kita tidak berhasil menghadapi mereka dengan saling berhadaphadapan, maka terpaksa Toako harus ikut campur.”

“Nanti dulu ….. jangan gugup!”

“Kenapa?” tanya sang dara berbaju merah itu sambil tertawa. “di dalam cuaca yang sedemikian dinginnya ini, Siauw moay tidak ingin merasa kedinginan terlalu lama di atas permukaan salju.

 “Aku sedang memikirkan suatu cara untuk mendekati kereta-kereta tersebut, atau paling sedikit harus memberi sedikit pukulan kepada mereka…”

Sewaktu mereka berdua lagi berbicara itulah, mendadak terasa sambaran angin tajam memenuhi angkasa, empat batang anak panah dengan menimbulkan suara desiran yang santer bersama sama menerjang datang.

Ang Nio CU kerahkan hawa murninya, mendadak sang tubuh mencelat setinggi beberapa kaki, kedua batang anak panah itu dengan membawa cahaya keemas-emasan yang bergemerlapan kontan menyambar lewat dari bawah kakinya.

Sedang si sastrawan berbaju biru itu dengan menggunakan cara yang lama menyampok jatuh kedua batang anak panah yang datang dengan dengan menggunakan sang kipas di tangannya.

Ang Nio Cu setelah berhasil menghindarkan diri dari datangnya serangan anak panah itu, ia sama sekali tidak mengundurkan dirinya ke belakang.

Tubuhnya dengan cepat bersalto beberapa kali di tengah udara kemudian langsung menubruk ke arah kereta berkuda itu.

Melihat kejadian itu si sastrawan berbaju biru jadi sangat kaget.

“Celaka!” teriaknya keras.

Dengan menggunakan senjata kipasnya melindungi dada, tubuhnya segera bergerak pula menerjang ke arah barisan kereta tersebut.

Pada saat itulah terdengar suara desiran tajam memekikkan telinga, berpuluh-puluh batang anak  panah

 dengan cepatnya menyambar datang mengancam seluruh tubuhnya.

Si sastrawan berbaju biru itu dengan cepat menggerakkan kipasnya membentuk selapis bayangan rapat melindungi seluruh tubuh, sedang badannya melanjutkan terjangan mendekati kereta-kereta itu.

Terdengar suara bentakan yang keras serasa halilintar yang membelah bumi, sebuah senjata rantai berkepala martil dengan dahsyatnya menggulung ke depan.

Sang sastrawan berbaju biru yang merasa datangnya serangan martil tersebut sangat dahsyat dan aneh, ia tidak berani terlalu memandang enteng musuhnya.

Sambil menarik napas panjang-panjang, tubuhnya mencelat ke atas dan melayang turun ke atas kereta yang lain.

Thio Toa Hauw yang melihat serangannya tidak mencapai pada sasaran, tubuhnya segera munculkan diri dari balik kereta, tangan kanannya disentak menarik kembali martilnya.

Senjata rantai berkepala martil ini sebenarnya merupakan suatu senjata aneh yang luar biasa dahsyatnya, apalagi bila dibentangkan di sebuah lapangan yang luas, tetapi di dalam situasi yang begitu rapat dan sempit, senjata tersebut malah terasa sangat merepotkan sekali.

Si sastrawan berbaju biru itu setelah berhasil menghindarkan diri dari datangnya serangan martil, kipasnya mendadak dibentangkan lebar-lebar. Dua rentetan cahaya yang gemerlapan segera melesat keluar menembusi angkasa.

 Kiranya senjata kipasnya ini bukan saja khusus digunakan untuk menggagalkan serangan senjata rahasia, bahkan dibalik tabung besi tersembunyi pula alat rahasia yang dapat melancarkan serangan senjata rahasia.

Perawakan tubuh Thio Toa Hauw tinggi besar, sehingga membuat serangannya sudah tidak begitu gesit, apalagi serangan senjata rahasia dari si sastrawan berbaju biru itu amat kecil dan sama sekali tak bersuara.

Ia Cuma merasakan sepasang lengannya jadi kaku, masing-masing bagiannya sudah kena terhajar sebatang jarum halus.

Walaupun dia adalah seorang yang rada bebal, tetapi pengalamannya selama berpuluh tahun membuat pengetahuannya-pun sangat luas, setelah terkena hajaran senjata rahasia jarum halus itu, ia lantas merasa bila jarum itu sudah dipolesi dengan racun, tak terasa lagi segera teriaknya keras, “Eeeei…… hati-hati! Jarum Bwe Hoa Tin dari bangsat cilik ini sudah dipolesi dengan racun.”

Sembari berteriak ia tidak berpeluk tangan begitu saja rantai berkepala martil-nya kembali disapu ke atas tubuh sastrawan berbaju biru itu dengan gerakan sangat dashyat.

Thio Toa Hauw memang dilahirkan mempunyai tenaga dalam yang sangat mengejutkan, tetapi penggunaan tenaga dalamnya sangat terbatas sekali dan tidak mengerti cara menutup jalan darah, ditambah pula racun dari sastrawan berbaju biru itu sangat dashyat, daya bekerjanya amat cepat sekali.

Belum sempat senjata rantai berkepala martilnya mencapai  pada  sasaran,  tubuhnya  sudah  tidak  ada

 tenaga lagi. Dengan menimbulkan suara yang amat keras ia rubuh ke atas tanah.

Tindakan dari si sastrawan berbaju biru itu ternyata cukup telengas, berkali-kali ia memencet alat rahasianya melancarkan serangan jarum beracun secara berantai.

Para jagoan yang sedang bersembunyi di balik kereta dengan cepatnya berhasil ia lukai sebanyak lima-enam orang.

Seluruh kejadian ini berlangsung hanya dalam sekejap mata, Nyoo Su Jan waktu itu sudah berhasil meloncat naik ke atas wuwungan kereta, dengan mengandalkan senjata sepasang Poan-Koan-pit-nya ia menyerang si sastrawan berbaju biru itu dengan kejarannya sehingga terdesak turun dari kereta dan melangsungkan suatu pertempuran yang amat sengit di atas permukaan salju.

Sebaliknya Ang Nio Cu yang mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang amat sempurna berjumpalitan beberapa kali di tengah udara menghindari datangnya serangan anak panah, tangan kanannya segera diajukan ke depan mengeluarkan sang angkin merahnya mengikat kencang di atas kereta, kemudian dengan meminjam kekuatan tersebut tubuhnya melayang ke depan pintu kereta membuka horden dan mencengkeram keluar seorang wanita yang berusia empat puluh tiga-empat tahunan.

Hujien itu memakai baju berwarna biru dengan celana biri, sepatunya berwarna merah menyolok dengan tusuk konde pualam menghiasi rambutnya, tubuhnya yang kena dicengkeram Ang Nio CU kelihatan gemetar sangat keras, air mukanya berubah pucat pasi bagaikan mayat.

Pada saat Ang Nio Cu berhasil mencengkeram keluar wanita perlente itulah, dua batang gelang emas dengan

 santar dan dashyat-nya sudah menyambar datang mengancam pelipis kanan dari perempuan tersebut.

Buru-buru Ang Nio CU miringkan kepalanya ke samping, gelang-gelang emas tadi dengan dashyatnya menyambar lewat.

Walaupun tidak berhasil menghajar pelipisnya, tidak utung kain pengikat kepalanya kena terhajar putus sehingga rambutnya yang panjang terurai ke bawah.

Phoa Ceng Yan dengan cepat meloncat datang, di atas punggungnya terikat sebuah buntalan putih yang sangat besar.

“Ang Nio Cu!” terdengar ia membentak keras,”Liauw Hujien tidak paham ilmu silat, bukankah kalian sudah menyanggupi untuk tidak melukai langganan kami heem! Ayo cepat lepas tangan!”

Ang Nio Cu sudah pernah merasakan kelihayan dari gelang-gelang emas tersebut, karenanya ia merasa rada jeri juga terhadap si orang tua itu. Dengan cepat tangan kirinya menyambar melintangkan tubuh Liauw Hujien ke depan tubuhnya sendiri.

“He….he …. sedikitpun tidak salah, Liauw Hujien memang tidak bisa ilmu silat” serunya dingin. “Jikalau kau berani melancarkan sebatang gelang emas lagi maka benda tersebut akan berubah menjadi benda pencabut nyawa bagi Liauw Hujien!”

Pada jarak yang sedemikian dekatnya ini bilamana semisalnya Phoa Ceng Yan benar-benar melancarkan serangan gelang emas dengan menggunakan gerakan yang aneh, sekalipun ilmu meringankan tubuh dari Ang Nio Cu lebih lihaypun jangan harap bisa meloloskan dengan selamat.

 Tetapi setelah melihat tindakan dara berbaju merah itu, karena takut sampai melukai Liauw Hujien maka si orang tua itu jadi ragu-ragu untuk turun tangan.

Pada saat itulah dari balik kereta sebelah timur berkumandang keluar suara seseorang yang sangat berat dan keren, “Phoa Piauw-tauw! Kau tidak usah mengurusi keselamatan dari istriku lagi, cepat bawa barang itu untuk berusaha lolos dari sini!”

“Bila Thayjien sudah putuskan demikian cayhe terpaksa akan mengikuti perintah saja.” jawab Phoa Ceng Yan kemudian sambil mendepakkan kakinya ke atas tanah.

Tubuhnya dengan ringan segera mencelat ke tengah udara dan melarikan diri ke arah sebelah timur.

Sewaktu tubuhnya sedang melayang ke arah depan itulah, mendadak kembali tampak sesosok bayangan manusia menyambut kedatangannya dengan cepat.

Dalam hati si orang tua itu merasa sangat kaget, dengan cepat ia menggerakkan tangannya melancarkan satu pukulan ke depan.

Orang itupun tidak mau memperhatikan kelemahannya, melihat datangnya serangan tersebut dengan cepat iapun balas mengirim satu pukulan menerima datangnya serangan musuh dengan keras lawan keras.

“Braaaaaak…..!” dengan menimbulkan suara bentrokan yang amat keras, tubuh mereka sama-sama tergetar mundur ke belakang sejauh beberapa langkah.

Bentrokan kali ini ternyata menghasilkan seri, sedang kedua sosok bayangan manusia itupun bersama-sama melayang turun ke atas permukaan tanah.

 Ketika Phoa Ceng Yan mendongakkan kepalanya, maka tampaklah si orang berbaju hitam yang tangan kanannya menggembol senjata aneh seperti lengan bocah itu sudah berdiri di hadapannya dengan angker, dia bukan lain adalah Loo-toa dari Lam Thian Sam Sah.

Diam-diam hatinya merasa berdesir juga setelah menghadapi situasi seperti ini, pikirnya, “Senjata aneh tersebut masih tergembol di tangan kanan, hal ini mengartikan juga bila pukulanku tadi sudah diterima dengan tangan kirinya, walaupun bentrokan barusan belum dapat menentukan siapa yang menang siapa yang kalah, tetapi orang lain menggunakan tangan kanan, jelas tenaga dalamnya jauh melebihi Ang Nio CU serta si sastrawan berbaju biru dan jauh lebih tinggi setingkat dari tenaga dalamku……”

Belum habis ia berpikir si orang berbaju hitam itu sudah menegur kembali dengan suaranya yang sangat dingin.

“Heee…….he…… Phoa Ceng Yan, kau tidak bakal lolos dari tanganku, kau tidak mau mendengarkan peringatan cayhe dan sengaja berbuat sesuka hatimu, hal ini menandakan bila kalian memang sengaja mencari penyakit sendiri. Hmm! Terus terang saja aku beritahukan, yang aku mau sebenarnya cuma barang itu saja, tetapi sekarang! Akupun hendan menahan kalian orang-orang dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok.”

Diam-diam Phoa Ceng Yan menarik napas panjangpanjang, ketika sinar matanya berputar menyapu sekejap ke sekeliling tempat itu, maka tampaklah Ang Nio Cu sembari mencengkeram tubuh Liauw Hujien, angkin merah di tangan kirinya berkelebat tiada hentinya ke sana kemari.

 Setiap orang yang mendekati dirinya tentu terhajar pental sehingga jungkir balik halnya di dalam sekejap mata sudah ada dua tiga orang yang jatuh tidak sadarkan diri, hal ini membuat si orang tua itu diam-diam menghela napas panjang.

“Heee….. kali ini aku sudah pasti akan jatuh kecundang ditangan orang lain” pikirnya diam-diam. “Beberapa orang anak buahku walaupun lihay, tetapi setelah bertemu dengan beberapa jagoan lihay ini tidak lain hanya menghantar nyawa sendiri saja, lebih baik aku suruh mereka berhenti.”

Karena itu dengan cepat ia membentak keras, “Heeeei…. kalian bukan tandingan dari Ang Nio Cu, tidak usah majukan diri untuk menghantar nyawa lagi.”

Beberapa orang jagoan dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok yang sedang mengurung Ang Nio Cu pun di dalam hatinya mengerti sangat jelas, jangan dikata bergebrak dengan orang lain, sekalipun untuk mendekatipun sudah susah.

Tetapi peraturan perusahaan yang keras membuat mereka tidak berani mundur, sekalipun jelas mengerti bila mereka ngotot maju juga maka yang didapat tak ada, tetapi sebelum menerima perintah dari Piauw-tauw-nya mereka terpaksa harus mengadu jiwa bergebrak juga.

Kini sesudah Phoa Ceng Yan membentak keras, beberapa orang itupun segera menghentikan serangannya.

Kini di tengah kalangan tinggal Nyoo Su Jan seorang saja yang masih bergebrak dengan sengitnya melawan si sastrawan berbaju biru itu.

 “Heee…heee… Phoa Hu Cong Piauw-tauw ternyata benar-banar merupakan seorang jago kawakan, dengan cepatnya bisa mengetahui keadaan sendiri” ejek si orang berbaju hitam itu sambil tertawa dingin tiada hentinya.

Mendengar ejekan tersebut, air muka Phoa Ceng Yan segera berubah hebat.

“Hmmm! Cayhe masih hendak melangsungkan satu pertempuran sengit dengan dirimu!” serunya.

“Soal ini sudah tentu akan Cayhe layani… cuma aku hendak memberitahukan sesuatu kepadamu, orang yang kau perintahkan untuk melaporkan peristiwa ini kepada perusahaan cabang sudah berhasil Cayhe tawan kembali.”

Kiranya setelah Phoa Ceng Yan mengundurkan diri ke tempat pemberhentian kereta kawalannya tadi, ia segera mengirim Ih Coen untuk segera berangkat minta bala bantuan dari perusahaan-perusahaan cabang yang ada disekeliling tempat itu sekalian memberi laporan kepada Cong Piauw-tauw.

Walaupun perusahaan Liong Wie Piauw-kiok bukan sebuah partai atau perkumpulan di dalam dunia kangouw, tetapi dikarenakan kedudukan Cong Piauwtauw mereka yang sangat tinggi, cabang yang sangat banyak dan kekuatan yang amat besar, maka di sekitar daerah utara mempunyai pengaruh yang sangat luas.

Dalam hati Phoa Ceng Yan mengerti, asalkan berita ini bisa disampaikan ke tangan perusahaan cabang  maka pihak cabang segera akan mengirim laporan ini ke tangan Cong Piauw-tauw mereka dengan menggunakan burung merpati.

 Sedang dirinya dengan Thio Toa Hauw dan Nyoo Su Jan ditambah dengan delapan orang pemanah-pemanah jagoan bilamana bertahan dengan sekuat tenaga sekalipun tidak berhasil menangkan musuh, sedikitdikitnya masih bisa bertahan beberapa saat lamanya.

Siapa sangka Liauw Thayjien ternyata sudah mengundang ia masuk ke dalam kereta sambil berkata, “Phoa Hu Cong Piauw-tauw! Aku dengar selama puluhan tahun ini perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kalian belum pernah menemui suatu peristiwa-pun di dalam pengiriman barang, karena itu aku menolak pengawalan tentara kerajaan sebaliknya minta perusahaan kalian…..”

“Peristiwa ini terjadi di luar dugaan” sambung Phoa Ceng Yan buru-buru. “Orang ini selamanya belum pernah bergerak di sekeliling daerah utara terutama di dalam keenam keresiden di sekitar sini, tetapi Liauw Thayjien jangan kuatir, kami akan mengerahkan seluruh tenaga yang ada untuk melindungi keselamatan Thayjien sekeluarga.”

Liauw Thayjien tertawa tawar.

“Urusan sudah berdiri di depan mata, aku-pun tidak ingin menyalahkan kalian, walaupun aku sudah menjabat sebagai pembesar selama setengah abad lamanya, tetapi percaya belum pernah melakukan suatu pekerjaan yang memalukan…..”

“Jika didengar dari nada pembicaraan mereka, agaknya kedatangan mereka sama sekali bukan dikarenakan hendak mencari balas” sambung Phoa Ceng Yan kembali.

“Aku tahu apa tujuan mereka datang kemari….”

 Dari bawah selimut ia mengambil keluar sebuah buntalan berwarna putih, lalu sambungnya kembali.

“Kemungkinan sekali kedatangan mereka dikarenakan benda ini, semisalnya kekuatan perusahaan kalian tidak sanggup untuk menahan serbuan mereka nanti, aku pikir harap Phoa Hu Cong Piauw-tauw suka meloloskan diri dengan membawa barang ini dan serahkan benda tersebut kepada pembesar Hoo-Lam di bangunan istana “Tok Ci Hu”.

Phoa Ceng Yan segera bangun berdiri menerima buntalan tersebut, ia merasa benda itu sama sekali tidak berat dan tidak mirip dengan barang-barang berupa emas, intan maupun permata, tak terasa lagi ia mengerutkan alisnya rapat-rapat.

“Thayjien! Maaf loohu hendak banyak bertanya, sebenarnya benda apakah yang terdapat di dalam buntalan ini? Agaknya sejak semula Thayjien sudah menduga maksud kedatangan mereka??” serunya.

“Barang yang berada di dalam buntalan ini paling sedikit bukanlah barang terlarang yang melanggar peraturan negara.” jawab Liauw Thayjien dengan air muka keren. “Kalau tidak akupun tidak akn berani menyuruh kau menghantarkan barang ini ke istana Tok Ci Hu”.

Selagi Phoa Ceng Yan hendak bertanya kembali, di luar kereta sudah terjadi perubahan disusul suara jeritan ngeri berkumandang saling susul menyusul.

Terpaksa ia mengikat kencang buntalan tersebut ke punggungnya dan meloncat keluar dari kereta, mulamula ia melancarkan serangan gelang emasnya memukul mundur Ang Nio CU kemudian membentak anak buahnya supaya jangan menghantar nyawa dengan

 sia-sia belaka, menanti ia hendak meloloskan diri ternyata perjalanannya berhasil dihadang oleh Lo-toa dari Lam Thian Sam Sah.

Kini setelah dia orang menndengar bila Ih Cun kena tertawan, dalam hati merasa semakin paham bila ini hari pihaknya bakal menderita kekalahan yang benar-benar sangat memalukan.

Setelah melakukan perjalanan selama puluhan tahun lamanya, kini untuk pertama kalinya harus menemui kesulitan tak terasa lagi hatinya terasa sangat sedih, dari dasar hatinya pun segera timbul maksuda untuk mengadu jiwa.

Dengan cepat ia mengayunkan Huncwee di depan dada, serunya dengan serius.

“Di antara saudara-saudara kalian Ang Nio Cu sudah menyanggupi dua persoalan yang cayhe ajukan. Pertama, tidak melukai langgananku, Kedua, mempertahankan barang tersebut dalam tiga bulan. Cayhe harap kalian Lam Thian Sam Sah bisa dipercaya perkataan yang sudah diucapkan.”

“Asalkan salah satu dari Lam Thian Sam Sah sudah menyanggupi syarat-syaraymu, sudah tentu kami akan pegang teguh perkataan tersebut,” kata si orang berbaju hitam itu dengan dingin. “Tetapi cayhe-pun ada dua buah syarat yang mengharapkan kau Phoa Hu Cong Piauwtauw suka mengabulkan.”

“Aku orang she Phoa akan pentang telinga lebar-lebar mendengarkan perkataanmu.”

“Serahkan buntalan putih di badanmu kepadaku dan kita buka bersama-sama pada saat ini juga, kami akan menahan   barang   tersebut   selama   tiga   bulan  untuk

 menunggu kedatangan Cong Piauw-tauw kalian dengan membawa orang untuk minta kembali barang tersebut.”

Ia merandek sejenak lalu menengadah ke atas dan tertawa terbahak-bahak, sambungnya.

“Asalkan kau Phoa Hu Cong Piauw-tauw suka mengaku kalah, melepaskan senjata, membuang senjata rahasia, maka kami bersaudara akan melepaskan kalian juga tanpa membikin susah padamu.”

“Hmm! Kawan, sungguh enak sekali perkataanmu…..” dengus Phoa Ceng Yan dingin.

“heee……..he……. bilamana Phoa Hu Cong Piauwtauw benar-benar tidak akan puas sebelum melihat sungai Huang Hoo dan pasti akan memaksa cayhe untuk turun tangan sendiri maka akupun merasa keberatan untuk menahan barang tersebut selama tiga bulan dan mempertahankan keselamatan dari langgananmu,” seru si orang berbaju hitam itu pula dengan dingin.

Mendengar perkataan tersebut, diam-diam Phoa Ceng Yan lantas berpikir.

“Kawanan perampok dari kalangan Liok-lim memang paling sulit dipercayai perkataannya. Bilamana aku berhasil menerjang keluar dari kepungan mereka sambil membawa barang ini, ada kemungkinan sekali hal ini bisa memaksa hati mereka bergidik sehingga membatalkan niatnya untuk membunuh setiap orang yang ada.”

Berpikir akan hal itu, Huncwee di tangan-nya segera dibentangkan ke depan.

“Perkataan seorang lelaki sejati berat selaksa gunung, aku orang she Phoa belum pernah menyanggupi untuk meninggalkan   barang   ini   secara   sukarela,  bilamana

 kawan menginginkan barang ini maka terpaksa kalian harus meninggalkan dulu selembar nyawa dari aku orang she Phoa,” serunya.

Sembari berkata tubuhnya meloncat ke depan.

Si orang berbaju hitam itu tertawa dingin tiada hentinya, senjata “Thiat Kui Su” yang ada di tangan kanannya dengan menggunakan jurus “Yauw Cie Lam” atau jauh menuding langit selatan, tubuh bersama-sama senjatanya serentak mencelat ke depan melakukan pengejaran.

Phoa Ceng Yan segera membalikkan badannya, huncwee ditangannya dengan menggunakan jurus “Heng Sauw Cian Kiem” atau menyapu ludas ribuan tentara mengadakan pertahanan rapat.

“Braaaaaak………….” di tengah suara bentrokan keras serta percikan bunga api, tubuh mereka berdua bersama-sama tergetar mundur ke belakang.

Walaupun kedua orang itu memiliki tenaga dalam  yang amat sempurna tetapi berhubung tubuhnya bersama-sama ada ditengah udara maka sulit bagi mereka untuk mengunakan seluruh tenaganya.

Begitu terjadi bentrokan tubuhnya mereka bersamasama tergetar dan jatuh kembali ke atas tanah.

“Lihat serangan,” bentak Phoa Ceng Yan kemudian sambil mengayunkan tangan kanannya ke depan.

Tiga batang gelang emas dengan menggunakan gerakan “Sam Yen Lian Tie” secara berbareng melesat ke tengah udara.

Sewaktu Phoa Ceng Yan melancarkan serangan gelang emas itulah, pada saat bersamaan si orang berbaju  hitam  itupun  mengayunkan  senjata  ‘Thiat  Kui

 So”nya ke depan menyambitkan dua batang jarum yang memancarkan cahaya keperak-perakan ke arah depan.

Kiranya di balik senjata “Thiat Kui So”nya itu tersembunyi pula jarum-jarum beracun yang amat lembut dan kecil sewaktu alat rahasia yang terdapat pada gagang senjata itu dipencet ketika bergebrak melawan orang maka jarum-jarum beracun itu segera akan melesat keluar dengan gencarnya.

Mereka berdua pada saat yang bersamaan samasama ada maksud hendak menggunakan senjata rahasia mengalahkan pihak musuhnya, sehingga hampir-hampir boleh dikata di dalam waktu yang berbareng mereka sama-sama menyambitkan senjatanya ke depan.

Jarak antara mereka berdua terasa sulit untuk menghindarkan diri dari datangnya gelang emas serta jarum beracun tersebut.

Baru saja si orang berbaju hitam itu sudah merasa senjata rahasia gelang emas itu berada di depan dadanya.

Dalam keadaan gugup serta cemas, tubuhnya buruburu menyingkir ke samping untuk berkelit.

Kedua batang gelang emas itu segera menyambar lewat dari depan dadanya dan merobek pakaiannya sepanjang beberapa cun, sedang sebatang gelang emas lainnya dengan cepat berhasil menghajar di atas pundak kirinya sehingga melesat masuk setengah cun dalamnya ke dalam kulit tubuh.

Sebaliknya pada saat yang bersamaan pula lengan kiri Phoa Ceng Yan berhasil kena terhajar oleh kedua batang jarum beracun yang dilancarkan si orang berbaju hitam itu.

 Si telapak besi gelang emas sewaktu merasakan mulut lukanya menjadi kaku, ia lantas sadar bila senjata rahasia tersebut sudah dipolesi racun, hatinya jadi amat gusar sekali.

“Hem! Tidak kusangka Lam Thian Sam Sah yang mempunyai nama besar ternyata suka bekerja sama dengan manusia-manusia rendah dari kalangan Liok-lim yang rendah martabatnya. bukan saja sudah menggunakan senjata rahasia Bwee Hoa Tin bahkan dipolesi juga dengan racun ganas sungguh tidak tahu malu!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar