Kunanti Di Gerbang Pakuan Jilid 01

Merah rona matahari di ufuk barat semakin lama semakin menebal warnanya. Namun sebelum bulatan raksasa jatuh terbenam di balik rimbunan pohon beringin, seorang penunggang kuda sudah tiba di lawang seketeng (gerbang) dayo (ibukota) Pakuan.

Mulut kuda mendengus-dengus dan nampak uap putih mengepul dari hidungnya manakala secara serentak yang sang penunggang menarik ketat tali kekangnnya.

“Bukakan gerbang!” teriaknya ketika dilihatnya pintu gerbang kota yang terbuat dari papan jati tebal itu segera ditutup para jagabaya.

“Tidak tahukah Ki Silah, kentongan telah ditabuh dan kulit tiram sudah ditiup?” teriak pula seorang jagabaya sedikit melongokkan kepalanya dari sela-sela kedua ujung daun pintu raksasa.

“Aku tahu, tanda kota segera tertutup untuk orang luar. Tapi tak tahukah kalian siapa yang datang?” dengan sedikit kesal sang penunggang kuda balik berteriak.

Sang jagabaya mencoba meneliti penunggang kuda itu. Sudah remang-remang memang, tapi cahaya temaram dari bayangan lembayung masih sanggup menerangi wajah pendatang itu. Dia yang duduk setengah membungkuk di atas pelana kuda hitam itu sepertinya seorang prajurit biasa bila menilik kepada pakaiannya. Dadanya yang bidang tak menggunakan baju, kecuali penutup dada dari beludru hitam jenis kasar. Sepasang pergelangan tangannya bergelang logam perak. Dia menggunakan celana sontog (celana sebatas lutut) juga terbuat dari kain beludru hitam jenis kasar. Rambutnya digelung ke atas dan diikat kain warna nila. Jagabaya menaksir, prajurit berkuda itu masih muda, paling berusia duapuluh tahun. Hanya karena ada cambang bauk saja maka pemuda itu seperti usia tigapuluh tahun.

“Melihat pakaianmu Ki Silah (saudara) tentu parjuirit Pajajaran. Tapi peraturan menentukan, lawang seketeng harus ditutup di saat matahari terbenam!” kata sang jagabaya setelah meneliti siapa yang datang.

Kuda melonjak-lonjak ketika tali kekang dihentak penunggangnya. Matahari sudah semakin kelam dan ada banyak binatang kalong terbang melayang ke utara menuju Gunung Salak.

Namun kepulan debu tanah nampak terlihat menebal ketika sepasang kaki depan kuda menghentak-hentak keras.

“Jangan tersinggung Ki Silah, apakah engkau lebih senang melihat prajurit Pakuan melanggar tata-tertib kerajaan?” kata sang jagabaya ketika tahu sang penunggang kuda tersinggung atas penolakannya.

“Aku tahu ikhwal peraturan itu dan seluruh penghuni Pajajaran tabu untuk melanggarnya. Tapi Ki Silah peraturan tak boleh dilaksanakan kaku. Harap bijaksanalah sedikit,” tutur penunggang kuda.

“Kebijaksanaan adalah penyelewengan dari sebuah peraturan,” bantah jagabaya. “Membuat penyelewengan untuk sesuatu kepentingan adalah tindakan tepat, apalagi menyangkut urusan negara!” jawab prajurit penunggang kuda lagi.

Hening sejenak.

“Bagaimana?” kata jagabaya pada teman-temannya yang lain. “Coba kau, tanyakan kepentingan apa yang dia katakan ada hubungannya dengan negara itu,” terdengar seorang jagabaya lain berbicara.

“Tentang apa?”

“Penting sekali. Tetapi hanya bisa disampaikan kepada Pangeran Yogascitra,” jawab penunggang kuda.

“Dia mengenal Pangeran…” bisik seorang jagabaya di balik gerbang. Kemudian terdengar rundingan-rundingan yang tak bisa didengar penunggang kuda. Namun rupanya rundingan itu menyangkut disetujui atau tidaknya sang penunggang kuda memasuki lawang seketeng. Tibatiba gerbang berderit. Pintu jati terbuka perlahan dan terkuak kecil tapi cukup dilewati satu penunggang kuda. Si penunggang kuda rupanya mafhum bahwa pada akhirnya dia diizinkan memasuki gerbang dayo (kota).

“Tapi engkau baru bisa menghadap Pangeran Yogascitra esok hari, Ki Silah…” kata seorang jagabaya berdada bidang.

“Di mana aku harus bermalam?” tanya si penunggang kuda sambil sepasang kakinya menjepit perut kuda karena binatang itu nampak selalu gelisah.

“Engkau hanya bisa tinggal di wilayah jawi khita (benteng kota luar),” kata jagabaya menerangkan.

“Engkau akan kami antar ke asrama jagabaya agar keperluan bermalammu bisa kami urus,” kata yang lain. Si penunggang kuda termenung sejenak, namun kemudian dia bergumam,”Biarlah aku bisa mencari penginapan sendiri,” ujarnya.

“Carilah warung-warung nasi di pasar, mereka suka menyediakan tempat menginap juga!” tutur jagabaya. Si penunggang kuda hanya mengangguk pelan, sesudah itu membedal kuda dan berlalu.

“Kuda hitam itu seperti kurang akrab dengan penunggangnya…” gumam seorang jagabaya. “Barangkali hanya kuda temuan di tengah jalan…” gumam temannya.

Sementara itu si penunggang kuda segera mencongklang kudanya dengan cukup pelan ketika jalanan berbala batu sudah memasuki tempat cukup ramai.

“Barangkali ini yang dinamakan pasar…” gumamnya sendirian.

Si penunggang kuda ini pernah mendengar khabar bahwa Pakuan adalah dayo (ibukota) Kerajaan Pajajaran paling ramai dan paling besar bila dibandingkan dengan dayo sebelumnya. Orang-orang Karatuan Talaga atau penduduk Karatuan Sumedanglarang kerapkali bercerita kepadanya, bahwa dayo kerajaan besar bernama Pajajaran kerapkali berpindah-pindah berdasarkan selera penguasa pada waktu itu. Contohnya, Prabu Guru Darmasiksa yang semula berkedudukan di Saunggalah pada tahun 1187 M memindahkan ibukota ke Pakuan, sebuah kota yang sudah ada sejak dulu dan pernah juga dijadikan dayo oleh raja-raja sebelumnya.

Dayo Pakuan didirikan oleh Maharaja Tarusbawa (670 M).

Sambil mencongklang kuda pelan-pelan pemuda bercambang ini meneliti kiri-kanan. Dayo Pakuan memang sebuah kota dengan segala macam kesibukan. Kendati sejak 34 tahun lalu (1527 M) kegiatan ekonomi dengan negri sebrang telah mulai beku karena Pelabuhan Kalapa (Sunda Kalapa) sudah dikuasai Demak dan Cirebon, tapi kegiatan perdagangan di dayo Pakuan masih kelihatan sibuk.

Pemuda itu mendapatkan di beberapa persimpangan jalan berbalay terlihat orang berkerumun. Mereka mengerumuni kaum pedagang.

Di kerumunan lain penduduk kota tengah memperhatikan pedagang pakaian. Jenis pakaian yang dijual sebenarnya sederhana saja kualitasnya. Hampir semuanya berupa jenis pakaian untuk orang kebanyakan, terbuat dari tenunan kasar seperti gaya anyaman seumat sahurun, anyam cayut, kalangkang ayakan, hujan riris atau pasi-pasi. Yang diperdagangkan adalah cangcut (celana) dan pangadwa (baju) untuk kaum pria, atau sinjang dan samping serta apok dan kutang-kutung untuk wanita. Di sudut jalan yang lain ada pedagang yang khusus menjajakan berbagai jenis ikat pinggang seperti angkin, beubeur, benten atau benting usususus. Dia sebrang jalan berbalay ada pedagang menjajakan alat pertanian atau berladang seperti parang, congkrang, etem atau arit. Ada yang menjual alat rumah tangga seperti kendi, lodong (tempat mengambil air terbuat dari bambu), bekong (cangkir dari batok kelapa), kowi (cangkir bambu) atau tampekan (tempat sirih). Dan di sudut lain, ada pedagang menggelar alat-alat senjata seperti golok, pedang, abet, pamuk, peso teundeut sampai keris. Yang mengerumuni pedagang senjata, hampir sebagian besar terdiri dari prajurit dan ponggawa.

Ada juga yang berpakaian orang kebanyakan, akan tetapi pemuda itu bisa menduga, mereka adalah ponggawa juga bila melihat tindak-tanduknya.

Sambil melambatnya jalannya kuda, pemuda itu memang banyak menemukan prajurit berkeliaran di jawi khita (benteng kota luar) ini. Menurut orang-orang Sumedanglarang, Pakuan merupakan kota terbesar kedua di Nusantara sesudah Demak. Penduduknya hampir

50.000 jiwa. Namun untuk menjaga keamanan penduduk sejumlah itu, Pakuan melengkapi diri dengan 100.000 prajurit, bahkan diperkuat oleh 1.000 perwira pengawal Raja.

Pakuan sejak zamannya Sri Baduga Maharaja perlu memiliki kekuatan militer setelah terjadi permusuhan dengan Cirebon dan Demak. Apalagi sesudah 7 pelabuhan milik Pajajaran direbut mereka. Dan Banten yang semula merupakan pelabuhan kedua terbesar sesudah Sunda Kalapa, sesudah direbut Demak, belakangan bahkan memisahkan diri dari Demak tapi juga sama memusuhi Pakuan. Malah selama bermusuhan dengan negara agama baru, Bantenlah yang paling beringas dalam melakukan serbuan ke Kerajaan Pajajaran hingga ke pusat pemerintahan. Terbukti pada masa pemerintahan Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543 M), serbuan prajurit Banten menusuk hingga ke wilayah jawi khita (kota luar). Di alun-alun benteng luar terjadi pertempuran besar yang menewaskan dua perwira kerajaan paling handal yaitu Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sangiang.

Peristiwa penyerbuan pasukan Banten di zaman Sang Prabu Ratu Dewata menjadi cermin bagi raja yang menggantikannya, yaitu Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551 M). Raja Pajajaran keempat yang selalu bertindak keras ini, beranggapan bahwa ayahandanya terlalu lemah dalam memimpin sehingga musuh tidak merasa takut melakukan penyerbuan sampai menusuk pusat pemerintahan. Oleh sebab itu kekuatan militer harus jadi tumpuan utama dalam hal menyusun dan mempertahankan keberadaan negara. Sayang, pembangunan militer yang butuh dana besar ini tidak didukung oleh situasi ekonomi. Karena kegiatan ekonomi antar negri sudah lumpuh, maka untuk memperkuat negri, Sang Prabu Ratu Sakti menarik seba (pajak) tinggi kepada rakyat. Kebijaksanaan ini amat meresahkan rakyat sehingga banyak negara kecil yang semula di bawah naungan Pakuan melakukan pemberontakan.

Celakanya, kebijaksanaan Raja dalam menarik pajak tinggi juga dimangfaatkan oleh beberapa pejabat yang berniat merebut kekuasaan. Pembangunan kekuatan militer yang di beberapa wilayah bahkan dimangfaatkan oleh para pejabat sendiri untuk melakukan perlawanan terhadap Raja. Sebagian tentara yang dibiayai oleh Raja pada akhirnya malah digunakan untuk memberontak terhadap Raja (Baca : “Senja Jatuh di Pajajaran”).

Tahun 1551 M pucuk pemerintahan di ganti oleh Sang Lumahing Majaya atau Nilakendra Tohaan di Majaya. Raja ini diwastu (dilantik) di atas palangka (singgasana khusus untuk melantik raja) dalam usia yang masih amat muda, yaitu sekitar 18 tahun. Bukan berarti dia sudah punya pengalaman utuh dalm memimpin negara, namun regenerasi yang terlalu cepat ini terjadi dalam keterpaksaan. Sang Lumahing Majaya adalah putra terkasih dari banyak putra Sang Prabu Ratu Sakti. Agar tak kesan pergantian kekuasaan dilakukan secara paksa dan berbau pemberontakan, maka pengganti Sang Prabu Ratu Sakti “dipilih”lah putranya sendiri. Padahal para pengamat politik masa itu telah menduga bahwa telah terjadi “pemberontakan halus” terhadap Sang Prabu. Kebijaksanaan Sang Prabu Ratu sakti dalam mengendalikan pemerintahan kurang disenangi banyak pejabat, terutama oleh para pejabat istana jujur dalam membela kepentingan Pakuan. Ketika itu Ratu Sakti mudah terbuai oleh mulut manis dan sebaliknya mudah tersinggung bila menerima panca-parisuda (lima obat penawar = kritik membangun).

Kelemahan raja yang penuh ambisi ini juga selalu bertindak keras kepada rakyat atau kalangan yang dianggap punya kesalahan dan punya kegemaran yang romantis, yaitu amat menyukai kecantikan wanita. Puncak kegelisahan para pejabat bahkan terjadi setelah Sang Prabu melakukan pelanggaran moral yaitu mengawini wanita larangan. Yang dimaksud wanita larangan adalah wanita yang sudah punya tunangan. Dan karena hasrat hatinya dalam memiliki tubuh molek, maka kekuasaannnya sebagai raja dia gunakan untuk meraih apa yang dia inginkan.

Kekacauan di dalam negri kian memuncak disertai beberapa pemberontakan yang dilakukan negara-negara kecil yang semula berada di bawah naungan Pakuan disertai tindakan-tindakan tak terpuji Sang Prabu, maka akhirnya telah terbentuk kesepakatan bersama sesama pejabat istana, mereka mengatakan langsung pada Raja bahwa Raja sudah terlalu lelah memimpin.

Dan di saat suasana genting seperti ini perlu tenaga segar dalam memimpin negara. Para pejabat langsung menyodorkan keinginan, bahwa Sang Lumahing Majaya putra terkasih Raja, kendati masih amat muda tapi dinilai mampu menangani dan membenahi negara sampai keberadaannya kembali mencuat ke puncak kebesaran seperti apa yang dicita-citakan Raja.

Inilah sebenarnya taktik menyingkirkan Ratu Sakti yang tidak terkesan berbau pemberontakan. Mengapa mesti disebut pemberontakan? Ini bukan menggeser atau mendepak Raja, tokh yang menggantikannya adalah putranya sendiri. Perpindahan dari Ratu Sakti kepada Sang Lumahing Majaya “tak kurang tak lebih” hanya berupa kejadian alamiah belaka, yaitu estafet tongkat kepemimpinan.

Sang Ratu Sakti setuju dengan gagasan ini. Tahun 1551M dia turun tahta dan digantikan oleh putranya. Namun benarkah dia tak merasakan maksud sebenarnya dari peralihan kekuasaan ini? Tak ada orang yang tahu dengan pasti. Yang jelas, hanya selang beberapa bulan dari pergantian kekuasaan, Sang Prabu Ratu Sakti wafat dalam tahun itu juga karena sakit yang parah. Hanya secara bisik-bisik saja kalangan istana dan para pengamat politik mendugaduga, bahwa kematian mantan raja ini karena menderita tekanan batin. Dia adalah seorang Raja yang memiliki ambisi besar, yaitu ingin mengembalikan kejayaan Pajajaran ke puncak kejayaan seperti yang dialami pada masa pemerintahan kakek-buyutnya, Sang Prabu Sri Baduga Maharaja (1482-1521M). namun apa daya, bukan kebesaran yang dia dapatkan, melainkan kekacauan dan perpecahan.

Kini sudah berselang sepuluh tahun dari peristiwa itu. Sang Lumahing Majaya, atau Tohaan di Majaya, atau juga dikenal sebagai Sang Prabu Nilakendra sudah berusia 28 tahun. Sepuluh tahun memimpin negara setidaknya dia sudah merasa punya “pengalaman” dan merasa tahu bagaimana caranya mengendalikan pemerintahan.

Sang Prabu Nilakendra selama menyimak kepemimpinan ayahnya hanya menemukan berbagai pertentangan di dalam negri sendiri semata. Penarikan seba (pajak) tinggi yang dilakukan ayahandanya hanya melahirkan kesengsaraan dan ketidakpuasan rakyat. Itulah sebabnya, ketika pimpinan kekuasaan jatuh padanya, Sang Prabu Nilakendra mencoba mengubah gaya kepemimpinan. Dana besar yang dihasilkan melalui pajak tinggi kebanyakan hanya digunakan untuk kepentingan militer dalam upaya menahan serangan musuh. Namun kenyataannya, dana yang tinggi bukan habis untuk menangkal serangan musuh. Selama pemerintahan sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551M) tak pernah ada penyerbuan baik dari Banten mau pun dari Cirebon. Hal ini terjadi karena baik Cirebon mau pun Banten sedang membantu Demak dalam melakukan penyerbuan ke Pasuruan. Kekuatan militer Pajajaran yang dihasilkan melalui dana besar sebetulnya hanya dihabiskan untuk berperang dengan sesama orang Pajajaran sendiri. Seperti yang diutarakan terdahulu, karena kebijaksanaan penarikan pajak tinggi, banyak negara kecil di bawah Pajajaran mulai memalingkan muka. Mereka mencoba melakukan pemberontakan dan memisahkan diri. Yang wilayahnya lebih dekat kepada Cirebon atau Banten, lebih memilih memihak mereka dan berganti agama.

Negara-negara kecil di wilayah timur Sungai Citarum seperti Sumedanglarang, Karatuan Talaga, Timbanganten atau Gilingwesi, semua telah berpindah agama dan mengabdi kepada Cirebon. Di wilayah barat sepanjang sisi-sisi Sungai Cihaliwung (Ciliwung), negara-negara kecil seperti Muaraberes atau Tanjungbarat sudah menjadi wilayah transisi. Rakyatnya sudah banyak beralih agama dan secara diam-diam sebagian pejabatnya sudah berfihak kepada Banten.

Bercermin kepada kegagalan ayahandanya, Sang Prabu Nilakendra tidak memilih kekerasan dalam mengendalikan pemerintahannya. Kendati pajak tetap ditarik tapi tak seketat seperti yang dilakukan ayahandanya. Sang Prabu mencoba melawan musuh dan penentangnya dengan kelembutan. Bila kakek buyutnya, Sang Prabu Surawisesa gemar berperang (selama 14 tahun memerintah negara, yaitu 1521-1535M terjadi 15 kali pertempuran), adalah Sang Prabu Nilakendra lebih memilih menjauhi perang. Menurutnya, sebenarnya musuh bisa dilawan dengan tidak melakukan perlawanan.

“Pada umumnya orang hanya akan menyakiti bila disakiti. Jadi kalau kita tak menyakiti, maka orang pun tak akan menyakiti,” ujar beliau.

Karena dasar pemikiran inilah, Sang Prabu Nilakendra tidak merasa takut terhadap musuh. Sebab pada hematnya, selama tak diganggu maka mereka pun tak akan mengganggu.

Namun ini adalah jalan pemikiran Raja dan dak mewakili seluruh pemikiran pejabat lainnya. Padahal para pejabat di bawahnya cenderung tak berpikir begitu. Politik tak mempunyai kewajiban mematuhi etika filosofis. Musuh tak bisa dicegah hanya karena kita memilih diam. Bahkan tindakan diam yang dilakukan hanya akan mengundang sangka bahwa Pakuan semakin lemah.

Nasib buruk Kerajaan Sunda yang sudah berdiri hampir 900 tahun lamanya (sejak tahun 669M) seperti akan terus berlanjut. Pertikaian demi pertikaian, baik antara Pakuan dengan kekuatan negara agama baru, mau pun dengan sesama orang Pajajaran sendiri seperti tak habis-habisnya. Kini, dalam usia 10 tahun masa kepemimpinan Sang Prabu Nilakendra, kembang-kembang pertikaian seperti akan kembali mencuat kendati belum kentara benar. Lihatlah, pemuda misterius berkuda hitam yang memasuki dayo Pakuan ini. Apa yang akan dia kerjakan di pusat Kerajaan Pajajaran ini?

***

Orang pintar mengaku pintar itu biasa

orang bodoh mengaku pintar itu petaka

tapi yang paling hebat

orang bodoh mengaku bodoh sebab itulah yang namanya pintar

Lantunan prepantun (juru pantun) demikian merdu kendati isi syairnya menyengat. Entahlah, apakah para penyimak yang tengah mengelilingi prepantun tua dan buta ini mengerti akan maknanya? Yang jelas orang-orang yang duduk-duduk di bale-bale kedai nasi paling besar di tepi jalan berbalay jawi khita ini menyimak dengan hati suka cita. Hampir semua penyimak kepalanya manggut-manggut karena mengikuti irama dawai kecapi yang dipetik prepantun buta itu.

“Seringkah pertunjukan pantun di sini, Aki?” tanya seorang pemuda berkulit putih halus bermuka sedikit bundar dan bermata binar yang ikut menyimak pertunjukan pantun ini. Si orangtua bercelana kampret hitam dengan baju jenis sampir yang ditanya menoleh heran kepada si pemuda.

“Apakah Ki Sanak baru datang ke dayo ini?” tanyanya heran.

Si pemuda agak ragu untuk menjawab. Namun sesudah itu dia mengangguk pelan.

“Ki Sanak datang dari mana?” Diam sejenak.

“Saya dari Muaraberes …”

“Muaraberes dekat saja dari dayo. Apakah engkau jarang ke dayo Pakuan ini?” tanya orang tua itu kembali menatap heran. Pemuda bermata binar yang menggunakan baju kampret warna nila dan bercelana sontog dengan warna yang sama itu mencoba menghindar dari tatapan orang tua itu.

“Oh … ya aku tahu. Kendati dari sini ke Muaraberes tidak begitu jauh, dan perjalanan tak begitu sulit, tapi orang tak sebebas dulu dalam melakukan perjalanan ke sini, anak muda…” tutur orang tua itu lagi mengeluh.”Tapi engkau beruntung anak muda. Kau masih bisa melakukan perjalanan ke sini. Bagaimana engkau bisa?” lanjutnya menatap penuh curiga. “Ah … hanya sekadar keberuntugan saja, Aki!” gumam pemuda berikat kepala kain batik jenis pupunjengan ini.

“Apa pula tujuanmu datang ke sini?” si orang tua seperti terus menguntitnya.

“Pakuan adalah dayo paling ramai. Bagi orang muda seperti saya, mencari kehidupan lebih baik adalah dambaan utama. Di sini banyak hal-hal menyenangkan. Seniman terbaik ada di sini. Cobalah Aki simak prepantun tua ini. Di Muaraberes tak ada prepantun sebaik ini…” tutur pemuda itu berbasa-basi.

“Hm … hanya prepantun tua yang membosankan. Kerjanya begitu-begitu saja. Kalau tak menyindir, ya memuji!” potong lelaki tua itu. Si pemuda kini menyungging senyum. “Kau juga mengetawakan prepantun di sini, anak muda?”

“Saya malah tersenyum karena cemoohanmu, Aki. Menyindir tidak boleh, memujipun kau cerca. Habis, musti bagaimana orang menyimak kehidupan ini?” tanya pemuda berwajah bulat itu.

“Sekarang Pajajaran tengah mengalami masa-masa suram. Di zaman Sang Prabu Ratu Sakti salah dan benar hampir tak ada daya pemisah. Asal mau mengobral puji, kebenaran akan muncul, sebaliknya kita akan menjadi orang bersalah bila berani mengirim sindir. Sekarang zamannya Sang Prabu Nilakendra, tak ada kekerasan. Sang Prabu sungguh pendiam. Tapi yang namanya terlalu, apa pun jenisnya itu tidak baik. Sang Susuhunan muda ini terlalu pendiam. Kerjanya bersunyi-sunyi di dalam kuil. Terlalu pendiam artinya tak ada ambisi. Dan orang tak punya ambisi pun jelek namanya. Lihatlah, karena Sang Prabu terlalu membiarkan sesuatu, giliran rakyat yang bermain dengan ambisi. Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan (petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Yang tak sadar akan keadaan, semakin tenggelam dalam keserakahan.

Namun sebaliknya yang merasa prihatin akan situasi, paling banter hanya akan kuat menyodorkan sindiran. Cobalah, sejauh mana sindiran bisa menukik ke dalam kalbu selama kita bermabuk-mabuk akan ambisi dan keserakahan?”

Si pemuda hanya tersenyum tipis namun tak bisa diduga apa maksudnya.

***

Sementara itu, prepantun semakin menyeruakkan lantunannya. Persis seperti apa kata orang tua tadi, kini orang kerjanya hanya menyindir dan memuji tanpa berusaha mengubah keadaan dengan tindakan nyata. Sang prepantun tua, kalau tadi menggebu dengan sengatan, kini berkidung dengan puja dan puji.

Ki Darma Tunggara bagaikan setetes air di kegersangan

walau bisa jadi penyegar tak mampu menepis haus Oh, hai Darma Tunggara engkau air setetes

yang hilang terserap bumi Kini ada ksatria Ginggi mencoba menguak hati hidup mati tak peduli

asalkan yang hakiki bisa dicari namun sayang tak pernah abadi Ginggi pergi sebelum  berseri ke mana Ginggi ke mana padahal negri tengah menanti

“Saya kerapkali mendengar nama Ksatria Ginggi banyak disebut kaum prepantun, tapi saya tak tahu apa maknanya, Aki…” gumam si pemuda sambil mengucak-ngucak ujung hidungnya yang sedikit mancung.

Orang itu menoleh sambil mengernyitkan dahinya. Barangkali dia merasa terganggu sebab sudah sejak tadi pemuda itu hanya bertanya dan bertanya saja kerjanya.

“Berapa usiamu kini, anak muda?”

“Mungkin delapan belas…” jawab si pemuda sesudah mengingat-ingat sejenak.  “Pantas saja engkau tidak tahu, sebab nama Ksatria Ginggi mencuat pada sepuluh tahun silam. Barangkali usiamu ketika itu baru delapan tahun, umur-umur di saat orang belum mengerti keadaan,” kata orang tua itu.

“Saya ingin sekali tahu. Kalau Aki tak keberatan, tolong gambarkan secara singkat keberadaan orang itu,” kata si pemuda seperti penuh harap.

Maka di sela-sela denting dawai kecapi, yang dipetik prepantun, orang tua itu terpaksa sedikit bercerita.

Menurut dia, seni bercerita disebut pantun sebetulnya bisa juga disebut berita. Baik itu berita perkembangan negara, mau pun berita mengenai perjalanan hidup atau pengelelanaan seorang ksatria.

Sudah puluhan tahun orang-orang Pajajaran mengenal kisah Guru Gantangan atau juga lebih dikenal sebagai Mundinglaya di Kusumah. Cerita Mundilaya di Kusumah yang demikian terkenal sebetulnya diambil dari kisah nyata perjalanan hidup dan kisah heroik dari Sang Prabu Surawisesa ketika beliau masih muda. Begitu halnya dengan ceritra-ceritra lain seperti kisah Darmajati, Jayasena, Adiparwa, Sedamana, Kisah Anggalarang dan Banyakcitra, atau Sanghyang Lutung Kasarung. Semua adalah berupa kisah kepahlawanan orang-orang Pajajaran.

“Ceritra-ceritra itu abadi di hati orang Pajajaran, kendati tokoh-tokoh pujaan itu sudah tak ada di dunia lagi,” kata orang tua itu.

“Maksudmu, Ksatria Ginggi pun kini telah mati, Aki?” tanya si pemuda.

Orang tua itu menatap tajam, seperti diingatkan bahwa ucapannya mungkin tak seluruhnya benar.

“Ksatria Ginggi itu seorang pemuda yang sakti mandarguna. Dialah murid terkasih Ki Darma Tunggara yang sikap perbuatannya hampir menyerupai gurunya. Ki Darma dulunya bekas anggota seribu perwira pengawal Raja. Dia tidak berambisi, membela negara dengan tanpa pamrih. Begitulah muridnya. Ksatria Ginggi pun berhal sama. Tujuan mereka mulia namun banyak dikotori oleh orang lain yang ingin memanfaatkan situasi. Ki Darma Tunggara pernah dituding pemberontak dan dikejar-kejar prajurit atas perintah Sang Prabu Ratu Sakti. Begitu pun ksatria Ginggi, pernah mengalami nasib buruk dianggap pengkhianat.” “Sekarang bagaimana?”

“Beruntung Raja yang sekarang sadar bahwa baik Ki Darma Tunggara mau pun Ksatria Ginggi selama ini bukan saja tak pernah berkhianat, bahkan selalu berkorban untuk kepentingan negara. Kedua orang itu akhirnya dibersihkan namanya.”

“Barangkali mereka kini sudah menjadi pejabat di istana yang terkemuka, Aki…” kata si pemuda memancing.

Orang tua itu kini seperti menghela napas berat seperti ada keluhan di dalam hatinya.

“Itulah yang disesalkan semua orang. Mengapa orang sebaik mereka malah tak pernah berpeluang dengan tepat dalam upaya pembelaan terhadap negri ini…”

“Ki Darma tak pernah kembali ke istana. Malah khabar selentingan yang sampai ke telinga rakyat, Ki Darma sebetulnya sudah tewas di puncak Gunung Cakrabuana, sebab Sang Prabu Ratu Sakti, pernah memerintahkan para perwira untuk menyerbu ke sana…”

“Dan Ksatria Ginggi…?”

“Seusai berhasil ikut menggagalkan pemberontakan yang dipimpin Ki Banaspati, Ksatria Ginggi pergi meninggalkan Pakuan secara diam-diam. Sampai kini sudah sepuluh tahun berselang. Ke mana ksatria muda itu pergi, tak ada khabar beritanya. Padahal, banyak orang merindukan anak muda itu. Di saat-saat seperti ini, mungkin negara memerlukan dia lagi…” “Mengapa?”

“Engkau masih terlalu muda jadi belum faham situasi negara. Harap waspada, sebetulnya negara dalam keadaan genting. Kekuatan di dalam negri semakin melemah, sedangkan musuh dari barat semakin kuat. Hanya ketika saat pemerintahan Sang Prabu Surawisesa yang gagah maka para prepantun sanggup mengabarkan Pakuan aman dari serbuan. Sedangkan di harihari ini, Pakuan sudah tak punya apa-apa lagi. Kau lihatlah anak muda, Sang Prabu kurang berambisi untuk melawan musuh dan para prajurit kerjanya santai dan mabuk-mabukan. Ini bertanda bahaya sebab musuh akan segera datang…” ujar orang tua itu, disambut anggukan pelan pemuda bermata binar itu.

Malam semakin larut dan juru pantun pun semakin menggebu dengan lantunan dan celoteh merdunya. Semua orang semakin tenggelam dalan simakkan, kendati di beberapa sudut, ada yang terkantuk-kantuk atau kerjanya hanya bermabuk-mabuk. Sampai pada suatu saat si pemuda meninggalkan kerumunan itu dan berlalu memburu suatu tempat kegelapan.

Rupanya pemuda itu menemui seseorang yang sengaja menunggunya di kegelapan kelamnya pohon soka.

“Paman Manggala! Saya cari sejak tadi senja, ke mana saja?” kata pemuda itu menegur tapi dengan nada penuh syukur karena bisa bertemu dengan lelaki setengah baya berjenggot tebal dengan ikat kepala gaya barangbang semplak. Lelaki yang dipanggil Paman Manggala itu nampak berpakaian hitam-hitam, baik baju kampret mau pun celana sontognya. Nampak sekali dia tak ingin diketahui umum.

“Pragola, seharusnya engkau tidak terlalu banyak berhubungan dengan orang-orang di sini,” terdengar Paman Manggala menegur.

“Ah…hanya berbincang-bincang dengan rakyat biasa saja, Paman!” jawab pemuda bernama Pragola ini.

“Tapi wajahmu itu…mengapa kau tanggalkan cambang baukmu?”

Pragola tersenyum kecil di keremangan malam sambil mengusap-ngusap dagunya yang halus kelimis.

“Saya tak melanggar perintah, sebab bukankah wajah bercambangku hanya ketika saya berpura-pura sebagai prajurit Pajajaran saja? Sekarang sudah saya tanggalkan pakaian prajurit dan berpakaian kebanyakan. Kalau tak ingin dikenal sebagai prajurit gadungan, ya akalnya harus mengembalikan wajah seperti semula, Paman…” kata Pragola melihat kiri-kanan, kalau-kalau ucapannya didengar orang lain.

Rupanya alasanmu ini masuk akal juga. Buktinya Paman Manggala menganggukkan kepala. “Ya…Tapi yakinkah engkau dalam mengubah wajah tak ada orang yang tahu?” tanya Paman Manggala masih dengan nada khawatir. Pragola menggelengkan kepalanya.

“Lantas, kuda yang engkau pakai, di mana kini?”

“Saya menyembunyikan di suatu tempat. Tapi kalau kita jual, bagaimana, Paman?” “Jangan…”

“Kita butuh uang untuk kebutuhan sehari-hari di sini!” kata Pragola.

“Jangan bodoh! Engkau akan tetap menjadi prajurit Sagaraherang yang utuh. Artinya, kuda dan seragam prajuritmu jangan sampai hilang!”

“Tapi sampai kapan saya akan keluyuran di sini?” “Bodoh kau! Mari!”

perpantun masih melantunkan tembang-tembang cantik ketika Paman Manggala dan Pragola meninggalkan tempat itu. Pemuda itu dibawanya ke kegelapan malam. Keluar dari jalan berbalay dan masuk gang sempit yang diapit dua kuta (benteng terbuat dari tanah).

Berjalan lagi beberapa lama, melewati rimbunan pohon dan sedikit alang-alang. Lalu tibalah di sebuah rumah tua. Rumah itu terbuat dari gedek bambu seluruhnya. Beratap ijuk dan berlantai tanah. Yang membuat pemuda itu penuh perhatian, karena di ruangan rumah yang diberi penerangan pelita terbuat dari minyak jarak itu sudah duduk tiga orang. Di keremangan malam, nampak wajah ketiga orang berusia setengah baya itu dingin dan kaku.

“Ini pemuda Pragola yang kita maksud, Pangeran…” kata Paman Manggala.

Mulanya Pragola belum begitu jelas, siapa dari ketiga lelaki setengah baya yang dipanggil pangeran ini. Namun pada akhirnya Pragola mengetahui juga.

Yang dipanggil pangeran adalah lelaki berjanggut tebal yang duduk bersila di tengah, di atas hamparan tikar pandan. Lelaki bermata tajam ini berpakaian biasa saja, yaitu baju salontreng hitam dengan ikat pinggang terbuat dari kulit tebal. Dia menggunakan ikat kepala dari kain kasar berwarna nila. Ketika melihat Pragola masuk, lelaki yang ujung dagunya seperti terbelah dua ini menatapnya dari mulai ujung rambut hingga ujung kaki.

“Cepat haturkan sembah kepada Pangeran Yudakara…” kata Paman Manggala setengah menekan pundak pemuda itu. Karena tenaga tekanan itu begitu keras, Pragola membungkukkan badannya setengah terpaksa.

“Kau haturkan sembah lagi kepada Perwira Jaya Sasana dan Perwira Goparana…” kata Paman Manggala.

Pragola tahu yang dimaksud Paman Manggala. Dan sekarang tanpa harus ditekan pundaknya, pemuda itu menyembah rengkuh (hormat sekali) kepada Perwira Jaya Sasana. Orang ini pun sebetulnya hanya menggunakan pakaian orang kebanyakan saja, yaitu baju kampret dan celana gombor, semua serba hitam. Lelaki setengah baya tanpa kumis atau cambang ini pun sama menggunakan ikat kepala warna nila seperti yang dikenakan Pangeran Yudakara.

Namun sama seperti apa yang ada pada diri Pangeran bersorot mata tajam itu. Kalau orang teliti memperhatikan mereka, akan nampak sekali bahwa semua bukan orang kebanyakan. Jenis pakaian sederhana yang mereka gunakan tak akan sanggup menutupi kewibaan mereka. Sorot mata mereka, gerak-gerik mereka, bagi pandangan orang yang teliti, akan nampak lain dari orang kebanyakan.

Selesai menyembah kepada Perwira Jaya Sasana, Pragola menghadap kepada Perwira Goparana dan kembali memberi hormat. Sebelum menunduk, pemuda itu sempat melirik untuk memperhatikan wajah perwira ini. Dia bermata seperti mata elang, hidungnya mancung sedikit melengkung. Kulitnya sedikit hitam dan pada sepasang tangannya yang kekar banyak bulu-bulu hitam tumbuh. Dagunya nampak kelimis dan nampak seperti habis mencukur jenggot. Pragola menduga, mulanya orang ini pasti bukan penduduk asli. Selama dia tinggal di kacutakan (setingkat kecamatan) Caringin wilayah kekuasaan Cirebon, telah beberapa kali bertemu dengan orang-orang berkulit hitam dan bertubuh jangkung seperti ini. Menurut pengetahuannya, orang-orang jenis ini mulanya datang dari negri Parasi (Iran kini), atau dari bagian tanah Arab lainnya yang pada akhir-akhir ini banyak berkunjung ke Nusantara.

Mereka selain datang ke Cirebon untuk berniaga, juga ada yang tinggal sebagai penduduk tetap, bahkan ada juga yang mengabdi ke Karatuan Cirebon. Kalau benar begitu, barangkali Perwira Goparana ini pun adalah bangsa asing yang mengabdi kepada Cirebon.

“Duduklah anak muda…” kata Pangeran Yudakara tanpa mimik yang berarti.

Pragola duduk bersebelahan dengan Paman Manggala dan berhadapan dengan ketiga orang itu.

“Aku tak tahu, sejauh mana engkau memiliki kepandaian. Tapi karena Manggala sudah memilihmu untuk ikut misi ini, maka aku pun akan percaya,” kata Pangeran Yudakara setengah bergumam.

“Semenjak Cutak (pejabat setingkat camat) Wirajaya meninggal karena sakit, anak ini sudah diurus oleh Ki Sudireja. Siapa pun sudah tahu Pangeran, Ki Sudireja adalah akhli kedigjayaan dari Karatuan Talaga. Orang tua sakti ini kendati tidak menjadi warga agama baru, akan tetapi selalu membantu Cirebon. Karatuan Talaga bisa jatuh ke Cirebon pun, yaitu pada tigapuluh satu tahun silam (1530 M), di antaranya karena bantuan Ki Sudireja,” lapor Paman Manggala dengan hormat.

“Sudireja membantu Cirebon. Tapi mengapa dia tidak masuk agama baru?” tanya Perwira Goparana ikut menyela pembicaraan.

Sebelum menjawab, Paman Manggala menatap dulu kepada Pangeran Yudakara seolah-olah minta pendapat.

“Jawablah…” jawab Pangeran Yudakara sebagai tanda memberi izin kepada Paman Manggala untuk menjawab.

Paman Manggala melirik kepada Perwira Goparana.

“Ki Sudireja membantu Cirebon meruntuhkan kekuasaan Karatuan Talaga dalam mempertahankan agama lama, bukan lantaran urusan agama itu sendiri,” ujar Paman Manggala.

“Karena apa dia mau membantu Cirebon?” tanya Perwira Gorana dengan mata tajam menyelidik.

“Karena rasa sakit hatinya terhadap Pakuan. Menurut Ki Sudireja, Pakuan Pajajaran adalah negara besar yang angkuh. Mereka lebih mementingkan gemerlapnya keraton ketimbang kesejahteraan ambarahayat. Sang Prabu Surawisesa yang menjadi pucuk pimpinan ketika itu, kegemarannya hanya berperang, sehingga rakyat lelah. Ki Sudireja adalah bekas perwira Karatuan Talaga yang telah berperang untuk Pakuan, tetapi tidak merasa mendapatkan imbalan sepadan dengan jasa-jasanya. Itulah sebabnya dia memendam sakit hati. Ki Sudireja juga termasuk orang yang membenci Sang Prabu Surewisesa karena kehadiran armada Portugis di Pelabuhan Sunda Kalapa adalah hasil undangan dan kerjasama Sang Penguasa Pajajaran itu,” kata Paman Manggala panjang-lebar.

“Sikap Ki Sudireja sebetulnya sejalan dengan kerajaan pemeluk agama baru. Tapi mengapa orang tua sakti itu tidak tertarik untuk memindahkan keyakinannya ke dalam pangkuan agama baru?” tanya lagi Perwira Goparana penasaran.

Tak ada yang mencoba menjawabnya.

“Lain kali aku ingin bersua dengan Ki Sudireja. Akan aku ajak dia memasuki agama baru di Cirebon…” gumam Perwira Goparana.

“Barangkali sudah tidak mungkin lagi, Juragan…” jawab Paman Manggala menunduk. “Mengapa?” Perwira Goparana mengerutkan dahi dan menatap tajam kepada Paman Manggala.

“Ki Sudireja sudah meninggal…” “Meninggal karena sakit?”

“Bukan dia tewas dalam pertempuran…”

“Pertempuran? Sudah tak ada pertempuran berarti sejak peristiwa pemberontakan Kandagalante Sunda Sembawa sepuluh tahun silam itu,” gumam Perwira Goparana merenung.

“Memang tak ada pertempuran besar. Tapi penguasa Pakuan yang baru, yaitu Sang Lumahing Majaya didesak oleh para pembantunya untuk mengejar sisa-sisa pemberontak, terutama yang dianggap membahayakan. Ki Sudireja adalah salah seorang yang terlibat dalam pemberontakan itu. Pasukan pemberontak dari Kandagalante Sagaraherang dalam upaya melakukan penyerbuan ke Pakuan, meminta bantuan dari wilayah timur yang memang menginginkan Pajajaran segera jatuh. Ki Sudireja merupakan salah satu anggota pasukan yang dikirim oleh Cirebon secara tidak resmi. Ki Sudireja ikut pertempuran di Bukit Badigul. Dan ketika pasukan Sunda Sembawa sudah kucar-kacir karena fihak Pakuan lebih kuat, walau dengan susah-payah akhirnya Ki Sudireja bisa meloloskan diri dari kepungan. Tapi begitulah, pasukan Pakuan mengejar terus. Hampir tiga tahun lamanya Pakuan melakukan pengejaran kepada tokoh-tokoh penting yang ikut penyerbuan ke Bukit Badigul. Dalam jangka waktu tersebut, hampir semua tokoh pemberontak bisa diburu, kecuali dua orang, yaitu Ki sudireja dan Ki Banaspati. Namun pada tiga tahun lalu, Ki Sudireja akhirnya bisa diketemukan oleh para perwira Pakuan di perbatasan Sumedanglarang…” kata Paman Manggala mengisahkan perjalanan hidup Ki Sudireja.

Manakala mendengar kisah paling akhir ini, tak terasa ada air mata menetes turun dari sepasang pipi Pragola. Ini adalah kisah sedih yang tak dapat dilupakan sampai kapan pun olehnya. Bayangkan, orang yang mengasuh dirinya sejak kecil, bahkan yang mendidiknya berbagai ilmu kedigjayaan manakala dia beranjak dewasa, kini sudah tiada. Ki Sudireja memang kendati sudah berusia lanjut, akan tetapi mati dalam ketidakwajaran, yaitu dibunuh ramai-ramai oleh sebuah pasukan asing. Pragola tidak menyaksikan persis pembunuhan ini. Tapi menurut orang-orang yang menyaksikan, Ki Sudireja memang dikepung oleh belasan orang asing yang entah datang dari mana. Kelompok penyerbu itu tidak menampakkana identitas yang khas. Mereka tidak seperti kaum prajurit sebab hanya menggunakan pakaian orang kebanyakan. Mereka juga tidak nampak seperti orang Cirebon atau pun Sumedanglarang. Namun yang jelas, kepandaian belasan pengepung itu amat tinggi. Sepandai apa pun ilmu berkelahi Ki sudireja, bila dikepung oleh orang-orang yang rata-rata berkepandaian tinggi, tak mungkin dirinya bisa menang. Jangankan mencapai kemenangan, hanya sekedar untuk meloloskan diri saja sudah tak bisa.

Inilah yang membuat penasaran Pragola. Sebagai murid yang sejak kecil dididik ilmu keperwiraan, mati dalam pertempuran adalah biasa. Tapi yang membuat hatinya tak dapat menerima, karena kekalahan gurunya diakibat oleh suatu kelicikan.

“Sebagai lelaki sejati engkau harus bersifat ksatria, kalau pada suatu saat engkau harus berkelahi, maka berkelahilah dengan adil dan jujur!” kata Ki Sudireja di saat-saat melatih kedigjayaan. Petuah ini tertanam erat di hati sanubarinya. Sampai manakala Pragola melebarkan sayap pengalamannya, petuah ini tak pernah terabaikan. Kalau pun pada suatu saat dia harus berhadapan dengan orang lain sebagai lawan, Pragola selalu memilih-milihnya. Dia berani menentang lawan yang tingkat kepandaiannya ada diatas dirinya dan akan lebih bersyukur bila kepandaian lawan seimbang dengan dirinya. Tapi sebaliknya, Pragola tidak pernah mau berhadapan dengan orang lawan yang tingkat kepandaiannya di bawah dirinya.

Dia tak mau mengambil keuntungan dari posisi seperti itu. Bagi dirinya, letak kehormatan seorang lelaki bukan dari hasil menundukkan orang yang kemampuannya ada di bawah dirinya. Bila ada orang melakukan kekeliruan, Prgola tak pernah menegurnya dengan kekerasan seandainya yang dihadapinya hanya orang-orang biasa. Dia tak pernah menjadikan kepandaian sebagai alat untuk menakut-nakuti.

Jadi, ketika mendengar gurunya tewas karena pengeroyokan, Pragola menilainya sebagai sesuatu hal yang tak adil. Pemuda ini merasa penasaran. Itulah sebabnya, mengapa Pragola hari ini, berada di Pakuan.

***

Sejenak semua orang termangu-mangu ketika Paman Manggala selesai menceritakan kisah ini. Pragola masih tetap menunduk dan Pangeran Yudakara serta Pewira Jaya Sasana memangku tangan di dada. Kecuali Perwira Goparana yang melirik tajam ke arah Pragola. “Hati-hati anak muda. Kalau pun engkau bersedia ikut dalam misi ini, tapi jangan kau jadikan gerakan kita ini sebagai ajang untuk pemuas balas dendam. Ini adalah perjuangan. Dan tak ada urusan pribadi di sini. Dalam agamaku tabu melakukan peperangan dengan dada bersimbah dendam!” kata Perwira Goparana mengingatkan dengan suara tegas.

Pragola masih menundukkan wajahnya.

“Sepuluh tahun silam, Cirebon mengutus ksatrianya untuk menyusup ke Pakuan. Dia sudah hampir berhasil mengemban misi dalam upaya melemahkan sendi-sendi kekuatan di pusat istana. Sayang sekali, ksatria yang masih muda itu terperosok ke dalam urusan pribadi. Dia mendendam Sang Prabu Ratu Sakti karena urusan cinta…” kata Perwira Goparana. “Mungkin yang dimaksud olehmu adalah Raden Purbajaya. Sepuluh tahun lalu memang ada peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Ratu Sakti. Peristiwa ini hampir-hampir melibatkan Bangsawan Yogascitra,” gumam Pangeran Yudakara.

“Peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Raja sebetulnya di luar perintah Cirebon. Tapi apa pun kenyataannya, menurutku tindakan Purbajaya waktu itu bisa membantu usaha-usaha kita. Paling tidak dengan adanya peristiwa itu, telah terjadi bentrokan dan saling curiga di antara pejabat dan bangsawan Pakuan,” tutur Pangeran Yudakara seperti bicara pada diri sendiri.

“Namun harus diingat Pangeran, tujuan Cirebon menyusupkan orang-orangnya ke pusat pemerintahan Pajajaran bukan sekadar ingin mengadu-domba dan membuat kekacauan di Pakuan. Tujuan Cirebon adalah menginginkan Pajajaran benar-benar menjadi negara besar dengan landasan kepercayaan dan keyakinan agama baru,” giliran Perwira Jaya Sasana yang berbicara, padahal sejak tadi lelaki setengah baya ini kerjanya hanya mengatupkan bibir saja. Perwira Goparana mula-mula termenung mendengar perkataan rekannya ini, namun pada akhirnya mengangguk juga sebagai tanda membenarkan akan pendapat Perwira Jaya Sasana ini.

Mereka bertiga berbincang-bincang dulu sebentar. Namun sesudahnya, kembali menatap Pragola.

“Sudah sejauh mana pengetahuanmu tentang Dayo Pakuan beserta tugasmu nanti, anak muda?” tanya Perwira Goparana. Pemuda itu tidak menjawab, melainkan menoleh kepada Paman Manggala.

“Sudah saya beri sedikit pengetahuan. Tapi alangkah baiknya bila Juragan sendiri yang memberi pengarahannya…” tutur Paman Manggala hormat sekali.

Suasana hening sejenak. Perwira Goparana malah tengah menyaksikan seekor nyamuk yang mendekati api pelita. Nyamuk itu terbang mengelilingi cahaya pelita. Dan dengan gagah berani menyambar-nyambar lidah api pelita. Namun keberaniannya kurang perhitungan.

Sebab pada suatu saat tubuhnya hangus menabrak lidah api pelita. Perwira Goparana tersenyum melecehkan manakala melihat tubuh nyamuk yang sedikit gosong dan jatuh tak berarti di atas tikar pandan. “Syarat utama memasuki Pakuan bukan keberanian, melainkan kehati-hatian,” gumam Perwira Goparana tanpa menatap ke arah siapa pun. “Dan engkau anak muda, engkau hanya bisa berhasil ikut dalam ikut misi ini bila sanggup bertindak hati-hati,” sambungnya sambil mulai menatap Pragola.

“Seusai pergantian pucuk pimpinan dari Sang Prabu Ratu Sakti kepada Sang Lumahing Majaya, ada beberapa perubahan situasi di Pakuan. Dulu, zamannya Ratu Sakti, suasana di dalam istana seperti api dalam sekam. Sesama pejabat saling bercuriga satu sama lain. Atau bahkan saling bermusuhan dan saling menjelek-jelekkan. Akibat dari situasi ini, mereka lengah terhadap gerakan penyusupan. Namun kini keadaan sudah tak seperti itu. Sang Lumahing Majaya bukan orang berperangai keras, namun kendati dia bukan pemarah dan pendendam, dia adalah seorang Raja yang amat hati-hati. Barangkali rasa hati-hati ini terbentuk karena peristiwa yang menyertai sebelumnya. Kekacauan bahkan pertempuran yang beberapa kali terjadi di wilayah Pakuan, berlangsung karena adanya tindak penyusupan dan pengkhianatan. Maka bercermin dari peristiwa ini, semua pejabat dan perwira di Pakuan amat berhati-hati dalam menerima kedatangan orang dari luar. Wilayah-wilayah kandagalante seperti Tanjungpura, Muaraberes, Tanjungbarat, kendati masih di bawah kekuasaan Pakuan tapi penguasa di sana sudah menaruh kecurigaan lain. Apalagi terhadap wilayah Sagaraherang. Bahwa sepuluh tahun yang lalu wilayah ini menjadi pusat pengendali penyerbuan ke Pakuan, masih menjadi mimpi buruk yang tak mau mereka lupakan. Itulah sebabnya,, dalam upaya penyusupan ini, engkau harus bertindak hati-hati…” kata Perwira Goparana panjang-lebar.

Pragola mengangguk-angguk kecil beberapa kali sebagai tanda maklum akan penjelasan ini. Namun sesudah merenung sejenak, pada akhirnya pemuda bermata bulat binar ini mengemukakan pendapatnya.

“Ampun beribu ampun Juragan bila apa yang ingin saya kemukakan ini tak berkenan di hati,” tuturnya menyembah dan menunduk.

“Sampaikanlah apa yang menjadi pikiranmu, anak muda. Sebab lebih banyak pendapat yang masuk, akan lebih bagus,” kata Perwira Jaya Sasana menatap pemuda itu.

“katakanlah anak muda!” kata Perwira Goparana pendek. Pragola mulai berani menyampaikan pendapatnya.

“Juragan, dalam upaya merebut Pakuan dari penguasa sekarang, apakah tidak lebih baik kita jalankan dengan perilaku yang jujur? Kita ingin mengubah Pajajaran ke arah sesuatu yang lebih baik. Jadi, upayakanlah maksud-maksud seperti itu dengan dengan tata-cara yang baik dan jujur pula. Gerakan menyusup hanya punya arti bahwa kita bekerja dengan main sembunyi, berpura-pura dan berlaku tak jujur. Padahal untuk menampilkan kebenaran yang kita miliki, segala tindakan yang berani dan penuh kejujuran haruslah kita ke depankan agar mereka yakin dan percaya akan maksud-maksud kita,” kata Pragola tegas. Mendengar ucapan ini wajah Paman Manggala nampak pucat-pasi. Serta-merta dengkulnya dia benturkan ke arah dengkul pemuda itu yang sama-sama duduk bersila. Rupanya Pragola pun tahu bahwa Paman Manggala menegurnya. Buktinya pemuda itu pun menoleh padanya dengan wajah agak memerea karena jengah.

Untung saja ketiga orang pejabat itu tidak merasa heran atau pun marah akan ucapan pemuda itu. Perwira Goparana malah hanya terkekeh kecil sesudah menyimak pendapat seperti itu.

“Engkau masih hijau anak muda. Dan kejujuran yang engkau patuhi hanyalah kejujuran kaku semata,” ujar Perwira Goparana. Pragola mengernyitkan dahinya, merasa bingung akan koreksi dari pejabat ini.

“Ketahuilah anak muda, yang namanya kejujuran, dalam suasana perang bisa diterjemahkan secara luas. Begitu pun apa yang kita kenal sebagai kelicikan. Sementara orang bahkan mengatakan bahwa kejujuran dan kelicikan sudah berbaur, sebab yang ada hanyalah sesuatu yng bernama siasat. Siasat adalah sesuatu gerakan yang harus disembunyikan terhadap musuh. Jadi bila kita sekarang melakukan gerakan penyusupan, itu bukan penyerbuan yang dikemas dengan ketidakjujuran, melainkan sebuah siasat untuk mencapai kemenangan,” tutur Perwira Goparana.

Pragola belum mengiyakan atau pun menolak pendapat ini. Yang dia lakukan hanya menundukkan wajahnya saja seperti menatap tikar pandan di bawahnya. Namun rupanya Perwira Goparana memakluminya bahwa pemuda itu belum puas atas kesimpulan ini. “Baik, kau dengarkanlah penjelasanku ini, anak muda,” ujar Perwira berkulit hitam ini,”Pajajaran kendati kerapkali digoncang pemberontakan, tapi negara yang tetap setia

terhadap agama lama ini masih memiliki ketangguhan militer. Dulu lebih dari tigapuluh tahun lalu ketika Pakuan diperintah Sang Prabu Ratu Dewata, Dayo (ibukota negri) diserbu oleh pasukan dari Banten yang dikirim secara tak resmi. Ini adalah pertama kalinya kekuatan pasukan agama baru menyerbu sampai ke wilayah pusat pemerintahan. Kalau gerakan ini dilakukan secara terbuka, tak mungkin berhasil karena pertahanan di Pakuan amat tangguh dan berlapis-lapis. Hanya karena siasat penyusupan dan pengkhianatan dari dalam saja Pakuan bisa ditembus. Itu pun hanya sampai ke alun-alun benteng luar. Sebab untuk mencapai benteng dalam dan apalagi ke kompleks istana Sri Bima Untarayana Madura Suradipati (tempat tinggal Raja dan keluarganya) tetap kami tak sanggup. Itulah tandanya Pajajaran masih tetap tangguh,” kata Perwira Goparana.”Kita tak sanggup berperang dengan kejujuran yang kaku, sebab kejujuran yang kaku artinya berperang tanpa siasat," sambungnya lagi.

Pragola mendengarkan perkataan dan pendapat pejabat ini sambil tetap menundukkan kepala. Tapi Perwira Goparana rupanya tidak mau lagi memperbincangkan perkara ini. Sekarang dia lebih menitikberatkan kepada pengarahan dan petunjuk untuk Pragola.

Perwira ini menerangkan situasi Pakuan pada akhir-akhir ini. Menurutnya, kendati tindakan penyusupan ke istana tidak semudah seperti dulu, tapi inilah saat terbaik bagi mereka untuk kembali memasuki pusat pemerintahan Pakuan. Hal ini memungkinkan sebab di kalangan pejabat istana tengah terjadi lagi beberapa pertikaian dan perbedaan pendapat.

“Seperti sudah diketahui oleh fihak kita, perangai Ratu Pakuan yang memerintah sekarang kurang suka melakukan kekerasan. Raja yang usianya masih cukup muda ini seperti menuruni perangai kakeknya, yaitu Sang Prabu Ratu Dewata. Sang Lumahing Majaya lebih senang tinggal di kuil untuk memperdalam agama lama. Dia lebih percaya bahwa agama yang dipeluknya benar-benar bisa menjamin ke arah keselamatan. Agamanya dipercaya bisa menolak bala, termasuk bahaya kedatangan musuh. Dia berkilah, musuh tak akan datang menyerang selama mereka tak menampakkan sikap permusuhan kepada fihak lain. Sikap Raja Pajajaran seperti ini sebetulnya akan amat menguntungkan kita apabila para pembantunya tidak bersikap lain. Para perwira bahkan penasihat Raja punya pendapat lain. Mereka pada umumnya punya kekhawatiran yang sangat akan pendapat rajanya ini. Menurut para perwira, Raja terlalu terlena dalam kehidupan keagamaan tanpa melihat kenyataan yang hidup dalam politik kenegaraan. Padahal menurut para perwiranya, Pajajaran sekarang akan kembali menghadapi bahaya musuh dari luar bila mereka terlena dan tak mau memperkokoh pertahanan militer. Secara diam-diam, Pangeran Yogascitra sebagai penasihat Raja beserta beberapa perwira akan bertekad memperkuat militer kendati Raja kurang setuju. Mereka akan mencoba menghimpun kekuatan dengan cara mencoba mengumpulkan kembali tokoh-tokoh penting yang dianggap punya kekuatan. Pangeran Yogascitra sekarang tengah berupaya mencari tokoh-tokoh yang dulu terkenal tapi kini menghilang dari percaturan. Dari sejumlah tokoh yang mereka harapkan, disebut-sebut nama Ki Darma Tunggara, Ki Rangga Guna dan murid mereka yang bernama Ginggi. Inilah salah satu tugas kita, yaitu menghadang usahausaha mereka dalam upaya menghimpun kekuatan. Kekuatan Pakuan harus diusahakan lemah mengiringi lemahnya pucuk pimpinan mereka. Bila di segala sektor mereka sudah lemah, maka rencana penyerbuan ke Pakuan akan kembali dilakukan Banten,” kata Perwira Goparana secara rinci.

Sejenak suasana menjadi hening seusai perwira ini memberikan penjelasan.

“Aku bersyukur, engkau sudah bisa memasuki wilayah Pakuan dengan selamat. Untuk selanjutnya, engkau akan bergabung dengan Pangeran Yudakara, anak muda…” kata Perwira Goparana melirik ke arah Pragola. Kemudian pemuad itu melirik ke arah Pangeran Yudakara seolah minta pembenaran atas apa yang dikatakan Perwira Goparana.

“Benar, engkau akan ikut aku, tapi selanjutnya engkau akan kususupkan ke puri Yogascitra, sebab dari sanalah segala macam rencana mereka dikendalikan,” ujar Pangeran Yudakara menatap kepada Pragola.

Mereka berbincang-bincang lagi beberapa lama, sampai akhirnya segala sesuatu selesai dirundingkan.

Pertemuan kecil yang sifatnya rahasia ini akhirnya bubar. Pragola dan Paman Manggala dipersilakan meninggalkan tempat itu lebih awal.

***

“Memang berat sekali tugas yang harus kau pikul ini, Gola,” kata Paman Manggala di tengah jalan.”Tapi engkau sudah terlanjur ikut misi ini. Jadi tak ada kata mundur kendati apa pun yang ada di hati kita,” katanya lagi.

Pragola tak mengomentari ucapan Paman Manggala. Dia hanya menguntit saja di belakang. Sementara itu malam telah larut benar. Burung-burung malam sudah bersuara. Sesekali terdengar di atas dahan pohon rimbun, namun sesekali juga terdengar lewat di angkasa yang gelap pekat.

Pragola berjalan sambil menunduk. Bukan lantaran matanya tengah memilih-milih jalan yang rata, melainkan ada berbagai pikiran berkecamuk di benaknya.

“Seharusnya aku tak perlu mengagumi ksatria bernama Ginggi itu…” gumamnya seorang diri.

Paman Manggala perlu menahan langkahnya manakala mendengar gumaman pemuda yang berjalan di belakangnya ini.

“Mengapa engkau tertarik pada Ksatria Ginggi?” gumam pula Paman Manggala tanpa menoleh ke belakang.

“Tidak tertarik benar…” dengus Pragola. ”Mulanya memang begitu. Namun belakangan saya berpikir, mustinya kita benci orang itu!” lanjutnya masih dengan suara setengah mendengus. “Memang benar, kita harus benci dia, sebab kalau lelaki itu masih hidup, suatu saat akan menjadi penghalang besar misi kita,” kata Paman Manggala.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar