Kuda Besi (Kuda Hitam dari Istana Biru) Jilid 02

Jilid 2

Saat itu Wi Kun Hiap merasa tenaganya hilang. Dia memang ingin memenuhi perintah suara lembut tadi tetapi ia tak tahu bagaimana harus bergerak.

Tiba2 pinggangnya terasa kesemutan lagi, Eh, tahu2 darah didalam tubuhnya terasa melancar longgar. Ia menghembuskan napas untuk melonggarkan kesesakan dada lalu menggeliat bangun.

Serentak matanya terkesiap. Disebelah muka tampak seorang dara berpakaian merah. tengah melenggang-lenggok berjalan pergi. Tanpa banyak pikir lagi, Kun Hiappun segera mengikutinya.

Tak berapa lama mereka masuk kedalam sebuah hutan yang lebat.

Setiba ditengah hutan, dara itu tertawa mengikik dan tiba2 berhenti lalu berputar tubuh. Kun Hiap terpaksa juga hentikan langkah. 

Saat itu barulah dia dapat memandang wajah dara itu, Dia terlongong-longoug seketika. Yang dihadapannya itu ternyata seorang dara remaja. Dara itu tengah memandangnya lekat2.

"Kalau yang lain aku memang tak kenal, te-tapi masakan paman Lo aku tak kenal ? Bagaimana engkau sampai menyalahinya ? Dia paling benci pada manusia yang jahat. Engkau tentu bukan orang baik, bukan ?" serunya.

Mendengar dara itu mengoceh tak karuan jun terungannya, Kun Hiap geram tetapi geli juga.

Kun Hiap tersipu- sipu. Mukanya terasa pa-nas, "Engkau engkau siapa ?"

tegurnya.

Dara itu cebirkan bibir, balas bertanya. "Dan engkau siapa?" "Namaku Wi Kun Hiap."

Dara itu menegadahkan kepala, memandang cakrawala dan berkata, "Karena tak dapat mene-mukan engkau, Thian-san-sin-kau tentu akan muring-muring."

Kun Hiap terkesiap. .

"Thian-san-sin-kau ?" ulangnya.

"Ya" sahut dara itu, "kalau aku terlambat sedikit saja untuk menarik engkau, engkau tentu sudah terjirat tali dari Thian-san-sin-kau."

"Aku memang bukan orang baik." katanya, "tetapi mengapa engkau tak membiarkan aku ditangkap Thian-san-sin-kau ," tiba2 Kun Hiap tak melanjutkan kata-katanya. Ia teringat kalau dara itu telah salah faham. Dia mengira orang berkerudung kain hitam itu adalah Thian- san-sin-kau. Padahal bukan. Sekarang mengapa dia sendiri juga menganggap bahwa orang berkerudung kain hitam itu Thian-san-sin-kau ? Ah, dia juga limbung namanya.

Dara itu tertawa lagi, serunya. "Engkau berdiri terlongong-longong, rasanya koq seperti itik tolol. Itulah sebabnya aku lalu ingin berolok-olok dengan engkau. Hm, tetapi kalau engkau memang seorang manusia jahat, tentu takkan kulepaskan !"

"Nona," buru2 Kun Hiap berkata, "engkau salah faham. Orang yang mukanya berselubung kain hitam itu bukan Thian-san-sin-kau Lo Pit Hi."

Dara itu tertawa melengking. 

Kun Hiap goyang2 tangannya, "Sudahlah, jangan berolok-olok saja. Kuberitahu, orang yang mukanya berkerudung kain hitam itu bukan Lo Pit Hi. Lo tayhiap sudah meninggal dunia."

"Fui," dengus dara itu, "waktu engkau mati, dia masih hidup segar bugar lho!”

Melihat dara itu tak mau menerima keterangannya. Kun Hiap juga pasrah2 penasaran. "Kalau tak percaya, terserah saja. Tetapi dia jelas meninggal disampingku ..."

Tiba2 Kun Hiap teringat bahwa semua peristiwa aneh yang dialaminya beberapa hari ini, boleh dibilang karena gara2 Thian-san-sin-kau Lo Pit Hi.

Waktu mau meninggal dunia, dia tak tahu apa yang hendak diucapkan Lo Pit Hi saat itu. Hanya ada sebuah pesan yang masih diingatnya yalah supaya dia mencari seseorang.. Tetapi apa orang itu, lelaki atau perempuan, Lo Pit Hi tak sempat mengatakan.

Semasa hidupnya, Lo Pit Hi tinggal seorang diri di gunung Thian-san. Tiada sanak, tiada sahabat. Tetapi tadi dara itu menyebutnya dengan kata 'paman Lo'. Ah, kemungkinan dara itu tahu tentang keadaan mendiang Lo Pit Hi.

Sejenak teringat akan hal itu, Kun Hiap buru2 bertanya, "Nona, tahukah engkau siapa yang hendak dicari Thian-san-sin-kau Lo tayhiap itu?"

Dara itu deliki mata, balas bertanya, "Cari siapa ?"

"Begini," Kun Hiap menerangkan, "bersama dengan susiok-ku aku ikut dalam rombongan pengantar barang ke Yang-ciu "

"Hi, hi, hi," tiba2 dara itu tertawa mengikik. "Orang semacam engkau, juga menjadi pengantar Po-piau (barang berharga)? Bisa mati tertawa lho aku ?"

Sudah tentu KunHiap marah diejek begitu rupa.

"Siapa bilang aku tak dapat menjadi pengantar poh-piau ?'' serunya.

Tiba2 dara itu mengisar langkah dan seperti air mengalir, dia berputar mengelilingi Kun Hiap. Seperti orangyang meneliti barang, dia mengamat-amati tubuh anakmuda itu dari kaki sampai keatas kepala.

Sudah tentu Kun Hiap risih. Masa seorang. cewek berani meneliti cowok ? Apa- apaan nih. aku kan bukan patung antik, pikirnya. 

"Uh, apa yang engkau, lihatin ?" tegurnya geram. Dara itu berhenti.

"Mau melihat apakah dirimu itu mempunyai wibawa sebagai seorang poh-piau. Sayang aku tak mendapatkan, walaupun hanya setitik saja," kata si dara.

Kun Hiap seorang anakmuda yang berdarah panas juga. Sebenarnya ia mempunyai kesan baik terhadap dara itu. Tetapi karena dia diolok-olok begitu rupa, mau tak mau naiklah darahnya.

"Mengapa aku tak dapat menjadi seorang poh-piau ( pengantar barang) ? Coba katakan apa kekuranganku ?"

"Eh, engkau masih tak malu menanyakan hal itu ?" seru si dara. ''Seperti tadi, sekali tersebat kakimu, engkau terus rubuh dan diseret kedalam semak. Kalau engkau sendiri begitu, apakah barang2 yang engkau antar itu takkan terbang melayang-layang ?"

Merah padam muka Kun Hiap ditelanjangi boroknya. Dia menggeram keras, ""'Huh, menyerang orang dengan cara menggelap, macam apa itu !"

Dara itu bercekak pinggang dan melantang, "O, kalau begitu, jika secara terang- terangan aku mau merebut barang2 antaranmu itu, engkau mampu menjaganya

?”

"Tentu !" seru Kun Hiap dengan Lantang.

Dara itu tertawa, "Bagus, sekarang aku hendak menerjangmu, apakah engkau mampu menahan?

Kun Hiap merabah tangkai pedangnya lalu menyahut, “Silakan turun tangan lebih dulu."

"Perlu apa aku harus pakai turun tangan lebih dulu," seru si dara. "aku hanya membentakmu suruh engkau enyah, engkau mau menyerahkan barang2mu atau tidak ?"

Perut Kun Hiap seperti kaku karena digelitik dengan kata2 dara itu. Omongan dara itu sukar dirabah. Setengahnya seperti serius, tetapi setengah nya seperti orang guyon.

Nada kata2 dara itu seperti kanak2 yang merebut barang antaran.-Namun 

karena dirinya dipandang rendah begitu rupa, ingin dia hendak unjuk gigi.

"Tidak, aku tak mau pergi!" serunya diluar kemengkalan, Tetapi pada lain kilas, diam2 dia merasa gelo. "Ah, mengapa aku harus melayani seorang dara yang ceriwis ?" pikirnya.

Dara itu masih bercekak pingang, tegak menantang dihadapannya. "Kalau engkau tak mau enyah, terpaksa harus kugebah?" serunya.

Tring, Kun Hiap cepat mencabut pedang. Ayahnya, Wi Ki Thian. adalah seorang jago pedang yang ternama. Kaum persilatan menyanjung-nya dengan gelar Kim- liong-kiam-khek atau pendekar pedang si Naga-emas.

Kun Hiap telah mewarisi ilmupedang ayahnya. Sudah tentu ilmu pedangnya lihay sekali. Waktu pedang ditarik keluar, pedang itu memancarkan sinar hitam kemilau. Sayap2 seperti merupakan seekor naga yang mempunyai lima buah cakar, sedang siap hendak melambung ke angkasa.

Setelah tangan Kun Hiap berhenti, barulah tampak jelas kalau batang pedangnya itu berwarna hitam mulus, lebih lebar sedikit dari ukuran pedang biasa. Gigirnya berbentuk seperti seekor naga yang mencengkeram.

JelaS pedang itu bukan pedang sembarangan.

Sejenak memandang pedang itu, melengkinglah mulut si dara, "Idih. pedang sih bagus, boleh dibuat tumbal penolak setan "

Dara itu tertawa mengikik, serunya pula, "Lebih baik engkau ganti pekerjaan saja. Jangan jadi pengawal antaran barang tetapi jadilah imam hidung kerbau tukang mengusir setan!"

Dada Kun Hiap benar2 hampir meledak, "Nona, hati-hatilah, pedang itu tak bermata!"

Kata2 itu merupakan istilah dalam persilatan yang memperingatkan lawan,  bahwa dalam pertempuran pedang, sering terjadi hal2 yang diluar kehendak orang. Orang tak mau melukai tetapi kadang2 karena cepatnya gerakan pedang, dapat juga kecelakaan itu terjadi. Jelasnya, lawan supaya ber-hati-hati menjaga diri.

Tetapi begitu mendengar kata2 Kun Hiap, dara itu malah melengking lagi, "Ih, apakah di dunia terdapat pedang yang mempunyai mata? Coba katakan, senjata apa saja yang bermata itu ?" 

Saking marahnya, Kun Hiap sampai terhentak tak dapat berkata apa2. Pedang dijulurkan lurus ke muka. Gerakannya pelahan sekali dengan gerak itu, dia tak mau bertindak secara ganas.

Tetapi diluar dugaan, dara itu malah makin tertawa terkial-kial.

"Ayo, menilik caramu menggerakkan pedang, jadi tukang usir setan, pun tak lulus. Paling cocok jadi tukang sulam saja. . ."

Mendengar ejekan dirinya dianggap lebih sesuai menjadi seorang anak perempuan yang pandai menyulam, Kun Hian tak dapat menahan kesaba-rannya lagi.

Setelah menghimpun tenaga, ia ajukan sebelah kaki ke depan sembari mengendapkan tubuh dan cret... dengan gerak yang teramat cepat sekali, dia terus menusuk pinggang dara centil itu.

Jurus itu disebut Liong-tin-hun-sik atau Naga-menerobos-kedalam-awan. Merupakan jurus pembukaan dari ilmupedang keluarga Wi. Jurus itu mengandung banyak sekali gerak2 perobahan yang sukar diduga. Melihat bagaimana reaksi lawan, barulah akan menyusuli dengan serangan lebih lanjut. Benar2 sebuah jurus yang indah bukan buatan.

Tetapi dara itu tetap santai2 saja menghada-pi serangan pedang. Sedikitpun ia tak membuat gerakan. Celaka! Saat itu ujang pedang sudah menyentuh pakaian si dara yang berwarna merah. Dan dara itu tetap tegak seperti patung saja.

Uh dengus Kun Hiap tersentak rasa kejut dan cepat menghentikan

pedangnya. Ia tahu bahwa jurus ilmupedang yang dimainkan itu, hebat sekali. Tak peduli lawan hendak menghindar kemana saja, ke kanan, ke kiri, ke bawah bahkan loncat ke atas, tetap akan dibayangi pe-dangnya.

Tetapi karena si dara diam saja, Kun Hiap pun kehilangan faham, hendak dikemanakan pedangnya itu. Sebenarnya dia memang tak sampai hati untuk melanjutkan tusukannya kepada tubuh si dara.

Sesaat Kun Hiap terlongong, dara itupun tertawa mengikik, "Ih, katanya mau menyerang, me-ngapa engkau menjublek seperti patung ?"

"Mengapa engkau tak menghindar?" tegur Kun Hiap.

'"Lucu," teriak si dara, "kalau orang bertempur, lawan mau bertindak bagaimana, itu kan bebas. mengapa harus diperintahkan untuk menghindar ? Apakah aku 

harus menurut perintahmu ?"

Kun Hiap benar2 tak dapat menjawab. Ucap-an dara itu memang liar sekali tetapi kalau ditimbang-timbang, memang benar juga.

Kun Hiap mendengus, serunya, "Hm, kalau tak mau menghindar, sekali kutusuk, engkau tentu mati!"

'Tusuk saja," seru sidara, '"kalau engkau mampu menusuk aku sampai mati, barulah kukatakan engkau memang cakap menjadi seorang pe-ngantar barang!"

Sebenarnya Kun Hiap tak tega untuk melukai dara itu. tetapi karena dia dipojokkan begitu rupa oleh ucapan sidara, diapun mengertak geraham. Sejenak menimang, ia memutuskan untuk melukai saja tetapi jangan sampai membahayakan jiwanya.

Setelah mengambil keputnsan, segera dia ajukan lagi pedangnya yang berhenti setengah jalan tadi.

Baru dia bergerak tiba2 dara itu melengking, "Ayo, apa engkau sungguh2 mau menusuk aku ?"

Tubuh dara itu gemetar dan wajahnya pucat.

Kun Hiap terkejut. Cepat ia menarik tangannya, "Engkau . . . engkau bagaimana

?"

Sambil mendekap pinggang kanannya, dara itu terhuyung-huyung ke belakang sampai tiga langkah. Bluk ia jatuh terduduk di tanah.

Saat itu wajahnya pucat seperti kertas dan sepasang matanyapun meram2 melek. Dengan napas terengah-engah ia berkata, "Aku tak mempunyai dendam permusuhan dengan engkau . . . mengapa engkau menusuk aku sungguh-

sungguh "

Kun Hiap bergegas lari menghampiri, terus berjongkok disampingnya. "Nona,"' katanya terbata-bata penuh sesal, "sebenarnya aku tak bermaksud

melukaimu, teta-pi engkau memojokkan aku begitu rupa. Terpaksa . . . aku . . .

hendak melukaimu sedikit lalu bagaimana keadaanmu sekarang?"

Tampak napas dara itu makin lama makin memburu keras dan akhimya berseru, "'Aya . . . aku .... aku tak kuat lagi aku mati ditanganmu. Siapakah namamu

? Jangan sampai mati, aku tak tahu nama orang yang membunuhku " 

"Aku bernama Wi Kun Hiap," cepat Kun Hiap berkata, "sudah kukatakan kepadamu ah, nona, rasanya tak mungkin engkau meninggal. Tusukan

pedangku tadi tak berapa keras, jangan takut, aku akan berusaha "

Belum selesai dia bicara, tiba2 tubuh dara itu menggigil keras sehingga kerongkongannya sampai bergemerutuk. Ia meregang, kedua matanya membalik dan pada lain saat terus tak berkutik.

Bukan kepalang sedih Kun Hiap. Dia benar2 tak menyangka bahwa tindakannya yang tak disengaja untuk membunuh dara itu ternyata benar2 telah meminta korban jiwa dari seorang dara yang tak dikenal dan tak mempunyai dendam permusuhan kepadanya.

Ah, benar2 dia merasa berdosa. Bahkan siapakah nama dara cantik yang menjadi korban pedangnya itu, ia belum sempat tahu sama sekali.

Keringat dingin sebesar kedele berketes-ketes' mencucur dari dahi Kun Hiap yang saat itu masih berjongkok disisi si dara.

Entah berapa lama dia berada disamping si dara, atau saat itu dia ingin berbangkit berdiri.

Empat penjuru keliling, sunyi senyap. Tiba2 timbul pikirannya untuk melarikan diri saja. Bukankah tak ada orang yang melihat peristiwa itu? Apabila dia sudah pergi, walaupun nanti ada orang yang menemukan jenasah dara itu, juga tak tahu siapa yang telah membunuhnya.

Tetapi pada lain kilas, tersentuhlah pikiran Kun Hiap. Dia memang dapat melarikan diri dan lepas dari dugaan orang. Tetapi orang persilatan itu lihay. Siapa tahu kalau orangtua, saudara entah keluarga dara itu akan menyelidiki peristiwa kematian itu dan akhirnya kelak akan mencarinya untuk menuntut balas.

Dan lepas dari persoalan melarikan diri atau takut akan dicari keluarga si dara, ada pula lain perasaan yang mencengkam hati Kun Hiap. Dia memang bersedih sekali. Ingin menangis rasanya saat itu untuk menebus dosanya.

Pelahan lahan dia mulai bangkit. Karena sudah lama berjongkok, kedua kakinya seperti kesemutan. Dengan bantuan ujung pedang ditekan-kan ke tanah, barulah dia dapat mengangkat tubuhnya berdiri.

Tepat pada saat itu matanya terbentur pada sebuah pemandangan. Ujung pedangnya masih hitam berkilau-kilauan. Tak ada noda darah sama sekali. 

Kun Hiap tercengang seketika. Buru2 dia memandang kearah sidara yang masih rebah di tanah lagi. Dan astaga, ternyata saat itu si dara sedang membuka sepasang matanya lebar2. Begitu melihat Kun Hiap memandangnya, cepat2 dara itu pejamkan mata lagi.

Lagi2 Kun Hiap harus terkesiap, Tetapi pada lain kilas, dia segera tahu apa yang terjadi se-benarnya. Dia sekarang tahu bahwa tusukan pedangnya tadi sama sekali tidak menembus kulit dara itu. Tak tahu dia dengan cara apa dara itu dapat menghindari tusukan pedangnya tadi.

Jelas, ya, sudah jelas sekarang. Dara itu tidak-kena tusukan pedang dan tidak menderita luka apa2. Tetapi mengapa dara itu sengaja pura2 mati.

Dara itu memang pintar sekali. Caranya dia pura2 mati begitu rupa sehingga seperti orang ma-ti sesungguhnya. Dan karena dikelabuhi, Kun Hiap sampai seperti mewek-mewek karena merasa menyesal dan sedih.

Sesaat merenungkan hal itu, seketika meluaplah kemarahan Kun Hiap. Dia merasa dipermain-kan dara itu.

"Apa-apaan engkau masih pura2 mati!" bentaknya dengan keras.

Ha, ha, hi, hi, hi...,” dara itu tertawa mengikik dan terus melenting berdiri lalu bertepuk tangan.

"Bagus, menggembirakan sekali," serunya, , "engkau menganggap engkau seharusnya menusuk aku sungguh2, bukan ?"

Kun Hiap tahu, kalau dia meladeni bicara, tentu akan menderita olok2 yang menyakitkan ha-ti, Tiba2 dia ayunkan pedang, menabas dari samping. Jurus itu amat bengis, tak kenal ampun.

"Aduh " mulut melengking, tubuh da-ra itupun melangkah ke belakang.

Melihat gerakannya melayang, benar2 selembut seperti daun gugur dari dahan.

Tadi jelas dara itu hanya berpura-pura mati. Dia dapat berpura-pura begitu rupa sehingga benar2 tak ubah seperti orang mati. Sekarang ia melihat gerakan tubuh dara itu sedemikian indah dan lihay.

Mau tak mau Kun Hiap harus mengakui bahwa kepandaiau dara itu memang lebih tinggi dari dirinya. Apabila dia tetap terlibat, tentulah dia nanti akan menderita lebih hebat karena di permainkan dara itu. 

Selekas dara itu melayang ke belakang, Kun Hiappun segera loncat ke belakang dan terus lari.

“Hai, mengapa engkau lari ?" teriak si dara, "kalau engkau lari, tentu engkau tak layak menjadi seorang poh-piau !"

Mendengar itu hati Kun Hiap seperti digelitik. Dia hentikan langkah. "Apa kehendakmu ?" bentaknya dengan marah.

Kembali wajah dara itu menampilkan rasa sedih dan rawan, katanya, "Engkau telah bertindak bengis, mencabut pedang lalu menusuk dan menabas. Sekarang malah bertanya, apa kemauanku. Engkau ini benar2 limbung sekali!"

Kun Hiap kehilangan faham. Apa boleh buat, terpaksa dia menyimpan pedangnya dan memberi hormat. "Nona memiliki ilmusilat tinggi dan mulut lincah. Aku mengaku kalah."

Dalam berkata itu dalam hati diam2 Kun Hiap mengeluh. Dia lebih suka bertemu dengan lawan lelaki yang ganas dan kejam daripada se-orang dara cantik yang begitu centil.

Si dara kembali tertawa. "Engkau mau mengaku kalah?" serunya.

"Ya, soal itu tak jadi apalah," sahut Kun Hiap, sejenak si dara kerutkan dahi lalu berseru.

"Belum selesai."

Hampir saja Kun Hiap melonjak kaget men-dengar kata2 si dara. "Belum selesai? Lalu engkau mau apa?" serunya.

"Ih, apa engkau lupa ?" seru si dara, "bukankah tadi engkau mengatakan   tentang perkenalanmu dengan paman Lo. Ceritamu tadi baru sampai pada keterangan bahwa engkau menjadi seorang pengawal barang antaran, lalu putus dan belum selesai."

"Ya, benar," sahut Kun Hiap dengan enggan. Memang tadi sebenarnya dia hendak menuturkan dengan jelas tentang perkenalannya dengan Thian-san-sin- kau Lo Pit Hi. Maksudnya, apabila dara itu memang kenal dengan Lo Pit Hi, mungkin dia akan mendapat keterangan yang lebih lengkap tentang tokoh Lo Pit Hi itu. 

Tetapi setelah dipermainkan begitu rupa oleh sidara, lenyaplah keinginan Kun Hiap untuk bicara lebih lama dengan dara itu. Makin lekas dia menghindari dara itu, makin baik.

Pengalaman beberapa saat yang lalu mengatakan kepadanya, Bahwa kalau berada dengan dara itu, lama-lama tentu akan digojlok dengan olok-olok yang memerahkan telinga. Bahkan bukan mustahil, dara itu akan mempermainkan sehingga dia akan mengeluarkan keringat dingin.

Setelah menimang-nimang. akhirnya Kun Hiap memutuskan untuk menceritakan hal itu secara ringkas saja.

"Dalam mengikuti rombongan susiokku, tak berapa lama setelah tiba di daerah  ini, aku lalu bertemu dengan Lo tayhiap. Dia menatap aku dan tak henti-hentinya berkata 'aneh, aneh '"

"Apanya yang aneh itu ?" tukas si dara. Kun Hiap deliki mata, "Bagaimana aku tahu? Itu dia yang berkata. "

'"Ih, siapa yang hendak mengajak engkau bertengkar ? Mengapa kasar sekali nada bicaramu?" tegur si dara.

Dengan menahan dada yang sesak, Kun Hiap terpaksa melanjutkan. "Setelah berkata begitu, dia lantas suruh aku ikut. Dia mengatakan kalau dia mempunyai suatu urusan penting yang akan dirundingkan dengan aku ”

"Dia mempunyai urusan penting yang akan dirundingkan dengan engkau tetapi mengapa tak mau berkata terus saja kepadamu dan hanya suruh engkau mengikutinya ?" kembali dara itu menukas.

"Aku " Kun Hiap memekik sekeras-kerasnya tetapi pada lain saat ia

menghela napas dan beralih kata dalam suara yang pelahan, "aku tak tahu." "Apakah engkau mengikutinya?" tanya si dara.

"Ya, aku mengikutinya," jawab Kun Hiap,"Waktu tiba di dekat sebuah istana  kuno, dia suruh aku supaya menunggu dalam sebuah hutan kecil. Lalu dia pergi. Tak sampai setengah jam kemudian, dia sudah kembali. Tetapi dengan  membawa luka parah. Waktu itu malam hari dan hujan deras. Tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk bi'cara, dia terus suruh aku membawanya kedalam istana kuno itu. Tiba di pintu istana, dia sendiri terus masuk tetapi baru beberapa langkah ketika sampai disebuah lorong, dia roboh dan meninggal. "

Aneh, dara itu setitikpun tidak terkejut mendengar cerita Kun Hiap. 

"Eh, tak mungkin dia bisa mati," katanya.

"Benar," sahut Kun Hiap, "dia memang tidak mati melainkan pura2 mati."

Dara itu tertawa mengikik. Dia teringat akan sandiwara yang diperankannya sebagai orang mati tadi.

Kun Hiap deliki mata," Didalam istana kuno itu terdapat beberapa orang lain. Mereka bertempur dalam kegelapan. Mungkin karena takut terlibat dalam pertempuran maka Lo tay-hiap lalu pura-pura mati."

"Bagaimana engkau tahu ?" tiba2 dara itu bertanya.

Kun Hiap menghela napas, katanya, "Nona, janganlah setiap kali engkau selalu hendak menentang aku saja, maukah?"

"Fui!" desis si dara. "engkau melihat setan ditengah hari barangkali. Siapa yang menentang engkau. Apakah engkau menghendaki supaya eng-kau boleh mengoceh sesukamu sendiri, lain orang tak berhak bertanya ?"'

Kembali Kun Hiap mati kutu tak dapat bĕrkutik. Setelah tertegun beberapa jenak, dia berkata lagi, "Dia suruh aku membawanya ke sebuah kamar di loteng atas. Setelah itu baru dia menceritakan apa sebab dia suruh aku mengikutinya. Tak lain dia minta kepadaku supaya mencari seseorang."

Sekonyong-konyong dara itu membungkukkan tubuh memberi hormat kepada Kun Hiap se-hingga pemuda itu terbeliak keheran-heranan.

"Apa-apaan ini?" serunya.

Si dara tertawa, "Hamba akan mohon bertanya, apakah Wi siauhiap sudi menjawab ?"

Diolok-olok dengan cara begitu, kembali Kun Hiap tak dapat omong apa2 lagi. '"Paman Lo suruh engkau mencari siapa ?" tanya dara itu.

Setelah menghembus napas sejenak, baru Kun Hiap berkata, "Dia belum sempat mengatakan kepadaku, Kali ini dia benar2 mati."

"Tak mungkin dia mati!" seru si dara. "Dia sudah mati !" 

"Dia tak mungkin mati !" bentak si dara.

"Dia matiiiii!" karena tak tahan lagi. Kun Hiap berteriak sekeras-kerasnya," sekali lagi kukatakan, dia sudah mati!"

"Hm," dengus si dara, "sekalipun engkau menjerit lebih keras lagi tetapi percuma saja. Aku akan tetap mengatakan bahwa dia tak mungkin bisa mati."

Kun Hiap marah benar2, serunya, "Mayatnya masih berada dalam istana kuno itu. Kalau mau lihat mari kuantarkan kesana."

"Baik," jawab si dara, tetapi bagaimana ka-lau keteranganmu itu hanya ocehan kosong ?"

"Ini urusan yang penting sekali, bagaimana aku masih dapat berbohong ?" kata Kun Hiap.

"Baik, mari kita kesana."

Selekas mendengar kata2 si dara, sesaat Kun Hiap menyesal. Ah, mengapa dia harus ngotot de-ngan dara itu ? Bukankah lebih baik kalau ia mengiakan saja bahwa Lo Pit Hi tidak mati ? Dengan begitu bukankah dia terus dapat menghindari dara itu.

"Celaka," pikirinya, "karena sekarang sudah mengikat janji, berarti aku tak dapat pergi dari sini."

Dalam menimang itu, diam2 Kun Hiap sempat melirik si dara. Wajahnya putih semu jambon, sepasang bola matanya berkilau-kilauan laksana air telaga.

Memang seorang dara yang cantik sekali.

Tiba2 timbul suatu pikiran dalam hatinya. Kalau dara itu bermulut lemah lembut, tentulah ia senang mempunyai kawan hidup seperti dia.

Dara itu juga memandang Kun Hiap dan tersenyum simpul. "Hayo, sekarang kita ke sana," kata Kun Hiap.

"Baik, sahut si dara," jalanlah dulu aku mengikutimu."

Sekali mengempos semangat, Kun Hiap terus ayunkan tubuh dan melayang sampai dua tiga tombak. Begitu tiba di tanah dia terus melayang lagi ke muka. Dengan cara begitu, ia memang sengaja hendak mengunjuk kepandaian kepada 

dara itu.

Ilmusilat dari keluarganya memang hebat dan Kun Hiap memang mempunyai dasar2 latihan yang kuat. Dia mau unjuk gigi, memamerkan ilmu gin-kangnya kepada dara itu.

Beberapa saat kemudian ia hentikan gerakannya dan berpaling. Ternyata dara tadi tak kelihatan dibelakangnya. Diam2 dia gembira. "Hm, kali ini tahu rasa kalau ketinggalan jauh dibelakang," pikirnya.

Dia sengaja hendak mengusap kĕringat pada dahinya tetapi tiba2 serangkum hawa wangi menghembus diri belakang dan sebuah tangan yang putih mulus menjulurkan sehelai saputangan wangi kepadanya, "Untuk penghapus keringatmu , . . ."

Bukan kepalang kejut Kun Hiap sehingga dia terlongong-longong kehilangan faham.

Buru2 dia berputar tubuh dan terus lari lagi. Tetapi suara dara itu masih tetap berkumandang dibelakangnya, "Kalau cape lari, lebih baik beristirahat dulu."

Kun Hiap hendak mendengus tetapi tak keluar suaranya karena  kerongkongannya seperti tersumbat kemarahan. Dia lanjutkan lari dan tak  berapa lama dia sudah melihat bayang-bayang istana kuno dibawah kaki gunung itu.

Selekas tiba di muka istana, dia terus menuding, "Disinilah tĕmpatnya !"

Ternyata dara itupun sudah berada dibelakangnya. Kalau Kun Hiap terengah- engah napasnya, dara itu tetap biasa saja, seperti orang yang berjalan dua tiga langkah belaka.

Si dara menyelinap maju dan leletkan lidah, "Ih, istana tua itu seram sekali, mungkin ada setannya !"

"O, engkau takut setan? Ah, seharusnya setan yang takut kepadamu," seru Kun Hiap.

Si dara tidak marah tetapi malah mengikik. "Tepat sekali kata-katamu itu. Misalnya seperti saat ini, ada seorang setan kecil yang ketakutan setengah mati kepadaku."

Ka.rena sejak tadi selalu diguling-gulingkan oleh mulut si dara yang tajam, sebenarnya kali ini Kun Hiap hendak balas mengoloknya; Tetapi siapa tahu, 

dengan cepat dan tangkas sekali si dara sudah dapat mengembalikan 'serangan' mulut Kun Hiap. Saking marahnya, mata Kun Hiap sampai melotot keluar.

"Cepat masuk !" teriaknya. Si dara mĕndorong pintu. Terdengar bunyi berderak- derak ketika pintu besi itu merentang.

Si dara dan Kun Hiap terus melangkah masuk. Baru berapa langkah, krak, krak .

. pintu itu sudah menutup sendiri lagi.

Kun Hiap dan si dara cepat berbalik diri. Ternyata pada pintu besi itu telah muncul seorang wanita baju putih yang rambutnya terurai lepas.

Di tempat yang begitu gelap dan tahu2 muncul seorang wanita yang menyerupai hantu. mau tak mau Kun Hiap berdebar keras. Untung saat itu segera ia mengenali siapa wanita itu, yalah Siluman-cantik dari Thaysan, Pek Ing Ing.

Tetapi Kun Hiap tak mau lekas2 menyapa. Dia hendak membalas si dara itu agar kali ini si dara menjadi ketakutan.

Ketika ia berpaling, diluar dugaan didapatinya wajah dara itu tenang sekali, tidak kaget melainkan mengunjuk keheranan.

"Ih. bibi Pek. mengapa engkau berada disini ?" seru dara itu.

Pek Ing Ing yang bersembunyi dalam istana tua itu, waktu tahu ada orang masuk, dia terus hendak melakukan siasatnya untuk meruntuhkan nyali orang.

Dia merentang kedua tangan hendak menebarkan pakaiannya dan terus menerjang. Tetapi baru ia hendak bergerak tiba2 si dara sudah menyapanya.

Pek Ing Ing terus melesat selangkah ke muka. Sejenak menatap dengan tajam, ia kembali menyurut mundur lagi. Wajahnya tampak berobah.

Hampir Kun Hiap tak dapat mempercayai matanya. Siluman-cantik dari Thay-  san, Pek Ing Ing, yang begitu sakti kepandaiannya. salah seorang tokoh hitam yang terkemuka, selama beberapa puluh tahun telah malang melintang seorang diri di dunia persilatan. Selama itu tak ada seorangpun yang berani menentangnya. Tetapi mengapa seka-rang, dia takut terhadap seorang dara saja

? Apa-kah pek Ing Ing juga takut akan mulut sidara yang tajam itu ? Terdengar Pek Ing Ing tertawa hambar.

'"Sam-kouu-nio, sudah lama kita tak berjumpa. Ah, engkau sudah begini besar. Hampir saja aku tak mengenalimu " 

"Bibi Pek," seru si dara tertawa, "kalau engkau benar2 tak mengenali aku, lalu apa saja yang akan engkau lakukan kepadaku ?”

Pertanyaan si dara itu membuat Pek Ing Ing tertawa meringis.

“Ah, harap sam kouniojangan menertawakan aku. Aku . . . aku . . . hendak pamit pergi."

"Maaf, tak dapat mengantarkan, bibi Pek," sahut si dara.

Baru mundur selangkah, Pek Ing Ing hentikan langkah dan mengerut dahi lalu berseru, “Sam-kounio, apakah engkau yang berolok-olok kepada kami itu ?"

<< halaman terobek separuh >>

"Berolok-olok apa?” tanya si dara dengan heran "Mengundang kami ke gedung istana ini.”

Sidara gelengkan kepala, “Darimanakan datangnya persoalan ini?”

"Ah, ya kalau begitu ya biar ku pergi saja,” Pek Ing Ing terus berjalan keluar. "Bibi Pek Ing Ing. ” si dara berseru

Anehnya... orang sebagai... segan dan ... itu masuk ... surat dari dalam...

"Sam-kounio ... ini engkau ,” katanya.

Rupanya ... dekati si dara ... undangan itu .... menyambuti, membacanya.

Tiba2 ...

"Wah, ”

"Ah, ... Sam-kounio,” sahut Pek Ing Ing ... menderita luka berat semua.”

“Sekonyong-konyong... hai, apa ...” serunya, seraya ...

... dar melesat ke-... terus ditutup ...

... ang-pau (long ...) ... pintu. Dia ... menariknya separoh dari pada jendela

pintu. diri. 

... maaf, tak dapat ...

... saat itu be...

...serunya se...

apan dalam ... Pek Ing Ing .. tangan si dara.

... coba engkau ...

... Kun Hiap tertawa ...

.. menghampiri. Wajah...

"Coba engkau bilang aku ini mirip siapa ?" seru dara itu.

Kun Hiap melongo tak dapat berkata apa2. Baru setengah hari yang lalu dia berkenalan dengan dara itu namun dia sudah berulang kali tertegun dan tak dapat bicara. Siapakah sesungguhnya dara itu ? Sudah berulang kali ia bertanya pada dirinya sendiri, tetapi tetap tak dapat memberi jawaban.

Satu-satunya jejak si dara yang diketahuinya yalah dara itu menempati urutan yang ketiga. Hal itu terbukti ketika Pek Ing Ing memanggilnya dengan sebutan 'sam-kounio' atau nona yang ketiga. Selain itu, dia tak menemukan lain2 ciri dari gadis itu.

Melihat Kun Hiap seperti patung, si dara tertawa mengikik, "Itik lonjong, dimana mayat paman Lo ?"

"Diatas loteng," sahut Kun Hiap.

"Bawa aku kesana lekas, mengapa berhenti, memangnya disini !"

Tanpa menjawab, Kun Hiap terus menuju ke loteng. Dia merasa, berada bersama dara itu, dia benar2 kalah suara.

Dengan berjalan beriring. keduanya tiba di muka ruang dimana Lo Pit Hi memberi pesan kepada Kun Hiap.. Pemuda itu mendorong pintu.

Diam2 dia kuatir kalau mayat Lo Pit Hi lenyap benar2. Kalau sampai terjadi begitu, bagaimana nanti ia menghadapi ejekan dara itu ?

Karena selama beberapa hari ini dia mengalami banyak sekali peristiwa2 yang ganjil maka ia telah membekali hatinya dengan suatu pegangan. Apabila nanti 

mayat Lo Pit Hi tak ada dalam ruang itu, dia harus tak boleh terkejut.

Untunglah, ternyata, mayat Lo Pit Hi masih didalam ruangan itu. Kun Hiap dengan lantang terus berseru, "Lihatlah, apakah itu bukan mayat Lo tayhiap? Apa engkau masih mau membantah lagi ?"

Setelah melangkah masuk dan memandang kearah yang ditunjuk Kun Hiap, tampaknya dara itu juga terlongong. Karena apa yang dilibatnya, mayat yang menggeletak di ruang itu memang be-nar Lo Pit Hi.

Letak mayat Lo Pit Hi itu masih dalam posisi seperti ketika Kun Hiap meninggalkan ruang itu. Lo Pit Hi menjulurkan jari telunjuk menuding pada sebuah sudut ruang.

"Hm." tiba2 dara itu kedengaran mendesuh, "wajah orang bisa saja mirip, begitu juga benda banyak yang sama satu dengan lain. Setan yang mati itu sepintas memang menyerupai paman Lo tetapi siapa yang dapat memastikan kalau  benar2 dia ?

Mendengar dara itu masih berkeras kepala menyangkal kenyataan itu, Kun Hiap kheki sekali. Dia tertawa dingin, geli juga.

"Kalau bukan Lo Pit Hi, lalu siapa?"' serunya.

Dengan sikap acuh tak acuh dara itu menyekapkan kedua tangannya ke dada dan sambil bergoyang tubuh, berseru, "Siapa yang tahu "

Baru dia berkata begitu tiba2 matanya terbentur pada lukisan yang tertempel pada tembok.

"Ih, apa itu?" serunya.

Sudah beberapa waktu ia mencari kesempatan untuk balas mengolok-olok si dara. Mendengar pertanyaan itu, Kun Hiap merasa bahwa saat itulah kesempatan yang baik untuknya balas mengolok-olok.

Tidak menjawab pertanyaan si dara yang terakhir, dia masih melanjutkan persoalan tentang diri Lo Pit Hi, serunya, "Tadi engkau mengatakan kalau Lo tayhiap tak mungkin bisa mati. Tetapi bukankah dia memang yang menggeletak tak bernyawa itu ?"

Tetapi dara itu tak menghiraukan. Dia terus menghampiri ke muka lukisan dan tertawa gelak2, "O, kiranya lukisan dirimu." 

"Bukan aku!" teriak Kun Hiap.

Si dara gelengkan kepala, "Kalau bukan engkau lalu siapa ? Aneh, aneh. Hai, ada tulisannya berbunyi, Poa Su Cay dari Oupak, mempersembahkan lukisan ini kepada In Tiong He ! Ho, Poa Su Cay itu ahli tulis yang nomor satu di dunia. Tak heran kalau lukisannya begitu bagus seperti hidup sungguh. Ih, salah. "

Tiba2 dara itu berpaling memandang Kun Hiap lekat2. Sebenarnya Kun Hiap sendiri juga heran pada lukisan yang menempel dinding tembok itu. Tetapi dikarenakan selama dua hari ini dia ba-gaikan layang-layang yang putus tali alias tak ta-hu apa yang akan terjadi, dia sampai tak sempat untuk meneliti sampai dimana kemiripan wajah pada lukisan itu dengan wajahnya sendiri.

Mendengar si dara menyebut nama Poa Su Cay barulah Kun Hiap tahu kalau lukisan itu di-buat oleh tokoh she Poa yang termasyhur.

Poa Su Cay sebenamya seorang pendekar besar dalam dunia persilatan. Tetapi diapun juga seorang pelukis yang ternama. Bun-bun-cwan-cay atau tokoh serba bisa baik dalam ilmu silat mau-pun sastera. Namanya terkenal sekali.

Diam2 Kun Hiap mengambil keputusan. Apabila ada kesempatan dia hendak mencari tokoh Poa Su Cay itu untuk meminta keterangan, siapakah gerangan orang yang wajahnya mirip dengan diri-nya itu.

Beberapa saat kemudian terdengar si dara berkata pula, 'Tokoh yang dilukis itu jelas bukan engkau. Poa Su Cay sudah mengundurkan diri pada 27 tahun yang lalu. Tak mungkin dia akan meminta engkau untuk dilukis."

"Kan sejak tadi aku sudah bilang kalau bukan aku,” sungut Kun Hiap.

Si dara mengikik, "Kalan engkau melihat lukisan itu, seperti halnya kalau engkau berhadapan dengan kaca, bukan ? Nah, dengan begitu mayat itu belum tentu kalau paman Lo Pit Hi."

Sebelumnya, Kun Hiap merasa kali ini akan menang angin tetapi siapa tahu dalam beberapa percakapan saja. kembali dia sudah kalah suara. Dia makin mangkel.

"Kalau engkau mengatakan yang mati itu bukan Lo tayhiap, ya sudahlah. Anggap saja begitu. Maaf aku hendak pergi. " ia memberi salam dan terus mundur.

Dara itu hanya tersenyum simpul memandangnya dan tak mencegahnya. Brukkkk, setelah keluar dari pintu, Kun Hiap terus mengabrukkan pintu lagi dan 

terus melesat keluar. Tiba2 dia mendengar si dara menangis dalam ruang tadi.

Kun Hiap tertegun. Sesaat kemudian timbullah keinginamiya untuk mengetahui apa yang terjadi pada dara itu. Dengan langkah berjungkat-jungkat supaya tidak menerbitkan suara. dia kembali ke muka pintu.

Sudah berpuluh-puluh tahun istana kuno itu tak pernah diperbaiki. Pintunya banyak lubang2 retak. Dari retak2 itu dia mengintip kedalam. Dilihatnya dara itu tengah berlutut disamping mayat Lo Pit. Hi. Mukanya basah dengan cucuran airmata. Ia tengah merabah-rabah baju Lo Pit Hi seperti sedang mencari sesuatu.

Benar juga. Tak berapa lama, dara itu telah menemukan sebuah benda dari baju Lo Pit Hi.

Melihat itu, heranlah Kun Hiap. Tetapi dia tak dapat melihat benda apa yang diperoleh si da Ta. Hanya samar2, ia melihat benda itu sebesar kepalan tangan, berwarna hitam mengkilap.

Setelah mendapat benda itu, sidarapun ber-henti menangis, Dia membolak- balikkan benda itu dan menelitinya. Saat itu barulah Kun Hiap dapat melihat jelas bahwa benda itu terayata sebuah benda berbentuk seekor kuda kecil, terbuat  dari besi. Indah sekali kuda itu.

Sejenak memain-mainkan benda itu, walaupun mukanya masih basah dengan airmata tetapi dara itu tampak berseri gembira. Dia memasukkan kuda hitam itu kedalam baju lalu pelahan-lahan berbangkit.

Melihat itu Kun Hiap terus hĕndak melesat pergi. Tetapi saat itu sidara hanya menghampiri kemuka lukisan. Sejenak menandang baru berpaling dan berseru dengan tertawa, "Ih, perlu apa engkau main mengintip di luar?"

Bukan main kejut Kun Hiap, ia tak menyangka kalau dirinya telah diketahui si dara. Wut, dia cepat enjot tubuhnya melayang mundur.

Dia terkejut dan tergopoh-gopoh loncat dengan sepenuh tenaga maka begitu kaki menginjak papan loteng yang kayunya sudah lapuk, pantai papan itu amblong, kaki terperosok dan tubuh pun ikut merosot ke bawah, brak.

Kun Hiap gelagapan. Cepat ia mengempos semangat, bluk.. begitu terbanting ke tanah dia dapat melenting bangun lagi.

Pada saat dia berdiri tegak, dara tadipun sudah meluncur turun dan berdiri di hadapannya. 

Kun Hiap benar2 kerupukan sekali. Ia tak tahu apa yang akan dilakukan si dara terhadap dirinya. Ia mencuri kesempatan untuk melirik kepada dara itu. Tampak dara itu tengah kerutkan sepasang alis, macam kucing yang telah menangkap seekor tikus dan tengah menimang-nimang bagaimana akan mempermainkannya.

Dan memang benar. Kun Hiap seperti seekor tikus yang menghadapi kucing. Hatinya kebat kebit tak keruan.

Tetapi dara itu tak sempat membuka mulut karena pada saat itu dari arah luar istana, terdengar suara yang kasar berteriak-teriak, “Sam-moay, sam-moay!"

Walaupun nadanya kasar tetapi jelas berasal dari suara seorang wanita. Aneh mengapa seorang wanita suaranya kok begitu kasar tak sedap didengar, pikir Kun Hiap.

Tetapi bagi Kun Hiap, lebih enak mendengar suara kasar begitu daripada lengking suara si dara yang walaupun merdu tetapi seperti duri tajam yang menusuk-nusuk daging.

"Aku disini !" teriak si dara.

"Lekas keluarlah," kembali suara parau di luar itu berseru.

Tampak si dara bersikap enggan menurut tetapi dia tak berani membangkang. Sejenak deliki mata kepada Kun Hiap, dia terus melesat keluar. Cepatnya bukan main, sekali bergerak sudah berada diluar istana.

Melihat dara itu sudah pergi, Kun Hiap merasa seperti terlepas dari himpitan batu karang yang berat. "Apalagi yang akan ditunggu kalau tidak saat itu aku tidak pergi." katanya seorang diri.

Sebenarnya dia hendak keluar melalui pintu besar. Tetapi ia kuatir akan kesompokan dengan dara centil tadi. Sejenak memandang kian kemari,   dilihatnya ada sebuah pintu samping di sebelah kanan. Cepat dia melesat masuk.

"Huh !" begitu dia melangkah masuk pintu samping itu. Serentak diapun sudah tertegun seperti patung.

Ternyata didalam pintu samping itu terdapat sesosok mayat manusia.

Setelah menenangkan diri, dia memeriksa mayat itu, Ah, ternyata dia kenal siapa orang itu. 

Pada waktu ayahnya merayakan ulang tahun yang ke 50. Orang itupun datang untuk menghaturkan selamat. Kun Hiap masih ingat, bahwa orang itu bernama Lui Toa Gui, kepala desa marga Lui dari wilayah Oupak. Sungguh tak pernah diduganya bahwa jago she Lui itu juga datang ke istana situ.

Setelah lepas dari kejut, tiba2 dia melihat di lantai itu terdapat sehelai kertas. Cepat dia me-ngambil dan membacanya.

Ternyata tempat dimana Kun Hiap berada saat itu adalah ruang dimana beberapa saat yang lalu ditempati oleh Pek Ing Ing, Nyo Hwat, Im Som dan lain2. Dan kertas itu tak lain adalah surat undangan yang diterima oleh Im Som dari orang yang tak dikenal dan pada waktu berada di ruangan itu telah diselentiknya ke udara dengan tenaga-dalam. Dan tepat pada nama Lui Toa Gui yang tertera pada surat itu, telah ditusuk dengan ujung kipas oleh sasterawan baju putih.

Sebenarnya Kun Hiap tak tahu menahu soal pertemuan jang diadakan oleh surat undangan tak bernama itu. Tetapi setelah membaca surat itu barulah dia tahu bahwa kedatangan beberapa kojiu ke istana tua itu, adalah karena disebabkan surat undangan tanpa nama tersebut.

Kun Hiap, sudah tak betah berada dalam istana tua yaug penuh misteri itu. Dia ingin lekas2 pergi. Maka tanpa banyak membuang waktu untuk mengadakan penyelidikan lebih jauh, dia te-rus menghampiri jendela dan dari situ dia hendak loncat keluar.

"Uhhhh...," karena tak hati2 kakinya membentur tubuh mayat Lui Toa Gui.  Cukup keras juga benturan kaki Kun Hiap itu sehingga tangan Lui Toa Gui yang semula tertindih dibawah tubuhnya telah menjungkat terangkat keatas, dukk ....

dari tangan Lui Toa Guipun meluncur jatuh sebuah benda.

Menurut arah suara benda yang jatuh itu, Kun Hiap melihat sebuah kuda dari  besi yang besarnya menyamai kepalan tangan. Benda itu berada pada jarak satu meter di mukanya.

Walaupun heran tetapi Kun Hiap memungut benda itu juga. Ah, ternyata amat berat sekali.

Dia tak tahu apa gunanya mainan kuda-kudaan besi itu. Dan mengapa bisa berada di tangan mayat Lui Toa Gui.

Tiba2 ia teringat waktu si dara centil menggeledah tubuh mayat Lo Tetapi, juga menemukan mainan kuda seperti itu. Ah, tentu ada apa-apa-nya, pikirnya. 

Dia menyimpan kuda besi itu kedalam baju setelah itu. lalu melangkah ke muka jendela dan terus loncat keluar. Dia melayang turun di bawah kaki pagar tembok. Disitu penuh ditumbuhi rumput dan ilalang yang setinggi manusia.

Kun Hiap jatuh kedalam gerumbul ilalang dan seketika tenggelam tertutup semak.

Pada saat dia hendak berusaha memberosot keluar, tiba2 dia mendengar dari arah muka suara seorang dara. "Ji-ci, tunggu dulu, aku segera datang. "

Dan suara wanita yang seperti kaleng pecah tadi, berseru pula. "Tidak! Kalau engkau pergi lagi, tentu akan menimbulkan perkara!"

Kun Hiap leletkan lidah. Diam2 dia bersyukur karena tidak tergesa-gesa keluar dari semak. Dara centil itu seorang saja sudah kewalahan, apa lagi kalau harus ditambah dengan jici atau taci seperguruan yang nomor dua. Tentu dia akan mati karena perut kaku.

Menurut arah suara mereka, Kun Hiap melihat dara centil tadi sedang berbantah dengan seorang nona baju hitam.. Keduanya berada dibawah pohon besar.

Karena berdiri membelakangi Kun Hiap, maka Kun Hiap tak dapat melihat bagaimana wajah si nona baju hitam itu.

"Ji-ci, aku akan masuk lagi sebentar saja terus keluar," kata si dara.

Tetapi nona baju hitam itu terus menarik tangan si dara, "Ayuh, kita pergi. "

Dalam mengucap kata2 mengajak pergi itu, kedua nona itu sudah melambung ke udara dan melayang ke muka. Gerak mereka secepat angin

Hampir Kun Hiap tak dapat mempercayai bahwa di dunia terdapat ilmu gin-kang yang sedĕmikian hebatnya. Dia mengusap-usap mata untuk memandang dengan lebih seksama. Tetapi pada saat selesai mengucal-ucal mata, ternyata kedua  nona itu sudah tak kelihatan bayangannya lagi.

"Hebat," kata Kun Hiap seorang diri. Dia akan menanyakan siapa kedua nona itu apabila nanti bertemu dengan pamannya, Wi Kiam Liong. Tak mungkin kedua gadis itu orang biasa. Tentu mempunyai asal usul yang hebat. Kalau tidak bagaimana. mungkin mereka memiliki ilmu kepandai-an yang begitu hebat, bahkan seorang siluman wanita seperti Pek Ing Ing juga jeri terhadap mereka.

Kun Hiap keluar dari gerumbul ilalang. Sekali ayun tubuh dia melayang sampai 

tujuh delapan tombak. Setelah itu baru berani berpaling meman-dang kearah istana kuno.

Tak putus-putus keheranan Kun Hiap. Jelas2 dia merasa tak pernah datang dan tak ada hubu-ngan dengan istana kuno yang berwarna biru itu. Dia hanya mengikuti Thian-san-sin-kau Lo Pit Hi datang ke tempat itu. Lo Pit Hi suruh dia men-cari seseorang. Tetapi sampai jago tua itu meng-hembuskan napas terakhir, tak sempat menyebut nama orang itu.

Tiba2 Kun Hiap merasa bahwa kemungkinan istana kuno itu memang mempunyai hubungan dengan dirinya.

Memang di dunia ini terdapat orang2 yang wajahnya mirip satu sama lain. Tetapi kalau tak ada hubungan apa2. tak mungkin persamaan wa-jah itu begitu persis, antara lukisan yang terdapat pada tembok ruangan tadi dengan dirinya. Tetapi  dia benar2 tak tahu apa sesungguhnya hubungan dirinya dengan istana tua itu.

Setelah beberapa saat terlongong-longong memandang istana tua itu, dia tertawa rawan, lalu lari melanjutkan perjalanan lagi.

Waktu dia dikuasai oleh orang yang muka-nya bertutup kain hitam tadi, dia tak dapat me-manggil nama pamannya.. Pada hal jelas bagaima-na tadi paman Wi Kiam Liong telah berteriak-teriak memanggilnya dengan penuh kecemasan.

Dia tak tahu kemanakah orang aneh yang mukanya bertutup kain hitam itu ? Ah, peduli apa dengan orang itu? Lebih baik dia segera mencari paman Wi Kiam  Liong saja.

Dia kuatir karena paman.Wi tak dapat menemukan dirinya, tentu segera akan memberi berita kepada ayahnya (ayah Kun Hiap). Ah, merepotkan paman Wi saja. Maka dia memutuskan untuk segera menemui paman Wi dan menyatakan kalau dirinya tak kurang suatu apa.

Kun Hiap segera mengembangkan ilmu gin-kang untuk berlari cepat. Dalam beberapa saat saja dia sudah mencapai sepuluhan li dan didepan sana sudah tampak jalan besar, yang menuju ke perkampungan marga Li.

Tetapi pada saat itu juga, diapun mendengar suara orang meniup terompet dan memukul genderang. Ternyata disebelah muka tampak se-rombongan orang tengah berjalan mendatangi ke-arahnya, Merekalah yang meniup dan memukul tetabuhan itu. Dari jalan besar mereka masuk ke jalan kecil.

Ah, umumnya rombongan begitu adalah rombongan mempelai lelaki yang  hendak menjemput mempelai perempuan. Pikimya. Dia tak berminat mengetahui 

siapa yang tengah mengadakan perala-tan kawin itu dan terus hendak melanjutkan perjalanan.

Tetapi baru berjalan dua langkah. tiba2 ada sesuatu perasaan yang meresahkan hatinya. Ia merasakan keadaan yang dihadapinya saat itu, tidak seperti yang diduganya. Jalan yang akan ditempuh-nya itu, sampai sepanjang berpuluh li di sebelah muka, tak terdapat perumahan orang, Dan jalan kecil itu akan menuju kearah istana tua lagi. Ka-lau memang hendak menjemput mempelai perem- puan, mengapa rombongan orang tadi harus me-lalui jalan kecil itu ?

Rombongan itu makin dekat. Dan ketika mereka lalu disamping Kun Hiap, pemuda itu makin heran. Setelah rombongan itu jauh, barulah ia agak tenang.

Dia memang curiga tetapi dia tak mau banyak urusan lagi. Setelah mengempos semangat, dia terus lari. Tetapi belum berapa jauh, dia mendengar suara derap kuda berlari riuh.

Kembali Kun Hiap menyaksikan sebuah pe-mandangan yang aneh. Memang saat itu dia belum jelas, apakah yang lari menghampiri kearahnya itu. Tetapi cepat sekali mahluk itu barlari dan pada lain saat sudah tiba di depannya. Kini dia  dapat melihat jelas dan lalu tertawa urung.

Ternyata mahluk yang lari begitu cepat itu tak lain adalah seekor keledai kecil yang berbulu putih mulus. Keledai itu dinaiki oleh seorang yang mengenakan pakaian serba hitam semua. Dia bertubuh tinggi kurus, mirip dangan batang pohon.

Ditempat yang sunyi, melihat seekor keledai putih berlari cepat membawa seorang penunggang baju hitam, memang menimbulkan rasa kejut dalam hati Kun Hiap.. Dan yang lebih membuatnya tersentak heran adalah cara orang itu menaiki keledai. Dia tidak naik seperti lazimnya orang naik kuda, melainkan dengan tubuh membalik atau menghadap ke belakang.

Kun Hiap membatasi diri. Walaupun heran tetapi dia tak mau usil. Dia menyingkir ke tepi untuk memberi jalan.

Keledai itu cepat sekali liwat disampingnya, Setelah terpaut dua tiga meter dari anak-muda itu, tiba2 penunggang yang tinggi kurus itu membungkuk badan dan julurkan kepalanya ke muka.

Sungguh aneh sekali. Bukan saja tubuhnya panjang, juga lehernya luar biasa panjangnya. Se-kali menjulurkan kepala, pucuk hidungnya hampir melekat pada pucuk hidung Kun Hiap. 

Bukan main kejut Kun Hiap. Buru2 dia menyurut langkah ke belakang. Memandang kemuka, dia merasa geli. Ternyata waktu kepala orang itu menjulur panjang kepadahya, indera mukanya ber-obah lucu sekali, mukanya hampir  datar !

Karena Kun Hiap menyurut mundur, orang itu duduk lurus lagi, serunya, "Apakah engkau baru datang dari istana tua itu?"

Mendengar pertanyaan itu timbullah kesan Kun Hiap. Ia teringat bahwa setiap tokoh persilatan yang sakti kebanyakan tentu mempunyai watak yang nyentrik. Dan dunia persilatan memang banyak sekali terdapat tokoh2 sakti yang nyentrik begitu. Diam2 dia memutuskan, lebih baik jangan terlibat dengan manusia2 semacam itu. Lebih banyak ruginya daripada untungnya.

"Istana tua apa?" ia berseru seraya geleng2 kenala, "aku tak tahu. Aku hanya kebetulan saja lewat ditempat ini."

Orang tinggi kurus itu mendengus, "Uh, buyung, jalanan ini hanya menuju kearah istana tua. Jangan engkau coba2 membohongi orang!"

Kun Hiap mengkal, serunya, "Kalau sudah tahu jalan ini akan menuju ke istana tua, perlu apa bertanya?”

Orang aneh itu mengekeh, serunya, "Apakah mereka sudah datang semua?" Kun Hiap terkesiap, serunya, "Siapa yang engkau maksudkan mereka itu?" “Uh, engkau datang dari istana tua. masakan tidak tahu?"

Tiba2 Kun Hiap teringat sesuatu. Dia terus bertanya, "O, ternyata yang menulis surat undangan tanpa nama itu engkau toh ? Ya, mereka sudah datang."

Tampak wajah orang aneh itu berseri, "Apa kah mereka sudah membawa semua?"

Setiap patah dari mulut orang aneh itu selalu mengejutkan dan merupakan teka teki bagi , Kun Hiap, Dengan nada geram2 jemu, Kun Hiap. menjawab, "Apa itu semua sudah membawa ? Aku tak mempunyai sangkut paut dengan urusan mereka, bagaimana aku harus mengetahui ?"

Begitu mendengar ucapan Kun Hiap, tiba2 orang itu menjulurkan lehernya lagi. Tadi Kun Hiap sudah mundur selangkah, tetapi begitu menjulurkan leher, pucuk hidung orang aneh itu kembali hampir menyentuh pucuk hidung Kun Hiap.

Tubuh dan leher orang itu seperti terbuat dari karet, dapat dijulur-surutkan 

menurut sekehendak hatinya.

Kun Hiap cepat2 mundur selangkah lagi..

"Sudahlah. buyung, memandang muka ayahmu, aku tak mau mengganggumu lebih lanjut," orang aneh itu tertawa.

Kejut Kun Hiap seperti disengat kalajengking, Apabila dia pernah bertemu dengan orang yang luar biasa anehnya seperti itu, tentulah dia takkan pernah lupa. Tetapi seingatnya, selama ini dia belum pernah bertemu. Mengapa orang aneh itu tahu akan nama ayahnya ?

Selagi Kun Hiap masih termenung-menung, tiba2 orang itu kepitkan kedua kakinya ke perut kuda dah tak. tak, tak. keledai itupun segera jalan lagi.

Setelah beberapa langkah, baru orang aneh itu berkata. "Buyung, ilmu kepandaian Kim-kong-cwan-hwat ayahmu, dalam beberapa tahun ini tentu maju. Sampaikah salamku kepadanya !"

Saat itu sebenarnya Kun Hiap juga sudah berputar tubuh hendak melanjutkan perjalanan. Begitu mendengar kata2 si orang aneh, dia berhenti.

Ayah Kun Hiap digelari orang sebagai Kim-liong-kiam-khek atau pendekar Pedang-naga-emas. Senjatanya sebatang pedang Naga-emas yang bentuknya panjang dan lebar. Ilmupedang Kim-liong-kiam-hwat merupakan ilmupedang yang termasyhur dalam dunia ilmupedang.. Jauh lebih unggul darl ilmupedang yang terdapat di dunia persilatan lain-nya. Semua orang persilatan tahu hal itu.

Tetapi mengapa orang aneh tadi menanyakan apa itu 'Kim-kong-cwan' atau tali Malaekat. Kapankah ayahnya pernah menggunakan senjata macam begitu ?

Buru2 Kun Hiap berputar diri hendak bertanya tetapi pada saat itu si orang aneh sudah jauh. Kun Hiap segan untuk mengejar. Dia terus melanjutkan perjalanan menuju ke perkampungan marga Li.

Selama dalam perjalanan itu tak henti-hentinya dia merenungkan tentang permintaan Lo Pit Hi pada saat hendak menghembuskan napas terakhir.

Lo Pit Hi minta supaya Kun Hiap mencari seseorang. Tetapi siapakah orang itu, Lo Pit Hi tak sempat menyebutkan. Kalau orang lain. tentu takkan menghiraukan lagi pesan Lo Pit Hi yang tak jelas itu. Tetapi ternyata Kun Hiap seorang pemuda yang bertanggung jawab sampai tuntas akan segala persoalan yang disanggupinya. Dia merasa aneh dan seperti mendapat firasat bahwa kesemuanya itu tentu ada kaitan dengan dirinya. Tetapi kaitan bagaimana. dia sendiri tak dapat mengatakan dan memang tak mengerti. Itu hanya perasaan 

hatinya saja.

Sambil berpikir, dia masih berlari.. Tak berapa lama dia melihat serombongan penunggang kuda lari mendatangi. Begitu tiba. rombongan penunggang kuda itu serempak berhamburan loncat turun dan lari ke muka Kun Hiap.

Mereka empat orang dan ternyata para piau-thau (pengawal) yang ikut dalam rombongan pengantar barang pimpinan Wi Kiam Liong.

Wajah mereka resah gelisah dan begitu melihat Kun Hiap, mereka terus berebut teriak, "Wi kongcu, harap lekas ke Li-ke cung, Wi cong-piauthau kelabakan setengah mati!"

Li-ke-cung artinya desa marga Li. Cong piauthau artinya. kepala pengawal dari sebuah piaukiok atau perusahaan mengantar barang.

"Mengapa ?" balas Kun Hiap.

"Memikirkan engkau !" seru mereka serempak, "sauya, regu gerak-cepat telah berjalan untuk sambung-menyambung (estafet) menyampaikan berita kepada loya!"

Kun Hiap kerutkan dahi, katanya. "Ah, mengapa harus mengganggu ketenangan beliau orang tua lagi."

"'Lekaslah. jangan membuang waktu," beberapa piauthau itu mendesak dan terus mengajak Kun Hiap naik kuda lalu dilarikan.

Tak berapa lama desa marga Li (Li-ke-cung) sudah tampak didepan.

"Wi kongcu datang! Wi kongcu datang!" teriak dua orang piauthau dalam rombongan Kun Hiap.

Kedua orang itu biasanya meniadi tongcu atau pelopor dalam rombongan piaukiok. Tugasnya berjalan paling muka dari rombongan piaukiok untuk berteriak-teriak sepanjang jalan tentang rombongannya. Dengan demikian apabila di daerah itu terdapat orang2 persilatan yang mempunyai maksud buruk atau penjahat yang hendak merampas barang2 antaran, karena mendengar nama piau kiok tersebut, akan mengurungkan maksud jahat-nya.

Karena tugasnya, kedua piauthau itu dipilih dari mereka yang memiliki suara  yang lantang dan berkumandang. Karena gembira dapat menemukan Kun Hiap, kedua piauthau itupun berteriak-teriak sepanjang jalan dengan suara yang keras dan nyaring. Hal itu menyebabkan Kun Hiap tak enak sendiri. 

Tak berapa lama keempat kuda itu sudah tiba di pintu desa. Mereka segera  turun, Li-ke-cung merupakan desa yang paling besar diseluas 100-an li sekeliling. Kepala desa bernama Li Siu Goan, bergelar Kim-tiau atau rajawali-emas. Juga seorang tokoh persilatan yang ternama.

Keempat penunggang kuda itu terkesiap dan tercengang heran karena mendapatkan bahwa desa itu sunyi senyap suasananya. Seolah tiada seorang penghuninya.. Mereka saling berpandangan satu sama lain.

"Ih, mengapa tiada orangnya ? Kemana saja mereka itu ?" Kun Hiap mendahului membuka suara.

Tepat pada saat itu dari arah belakang desa terdengar bunyi berderak-derak dari roda kereta yang berjalan. Kun Hiap mencongklangkan kudanya naik keatas sebuah tanah tanjakan yang tinggi. Dari situ dia melongok memandang ke belakang desa. Kembali dia harus terbeliak.

Dilihatnya saat itu berpuluh-puluh kereta besar sedang berjalan menuju kearah barat. Dibelakang rerotan kereta itu ikut berpuluh-puluh rakyat yang berjalan saling bimbing-membimbing dan setiap orang masing2 memanggul pauhok (buntalan) pada punggungnya. Ada juga yang menuntun binatang ternak seperti sapi, kambing dan kerbau. Jelas mereka itu adalah penduduk Li-ke-cung. Tetapi mengapa mereka seperti hendak pindah ke lain tempat ?

Kun Hiap gopoh turun kebawah dan lari masuk kedalam desa. Baru setengah jalan, dilihatnya paman Wi Kiam Liang sudah keluar menyambutnya.

Kepala piauthau itu masih belum sembuh dari lukanya yang berat. Wajahnya masih pucat. Begitu melihat Kun Hiap, Wi Kiam Liong terus langsung menariknya.

"Kun Hiap, engkau sudah kembali? Mudah-mudahan saja ayahmu lekas datang dan bereslah semua.”

Ah, aku toh sudah kembali. perlu harus merepotkan ayah, pikir Kun Hiap. Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, seorang lelaki tua sudah niuncul. Wajahnya yang terang menandakan dia seorang yang banyak rejeki. Namun pada saat itu kerut dahinya sudah menampilkan kerut kecemasan, namun sikapnya masih tenang.

Kun Hiap segera maju menyongsong memberi hormat. "Li congcu, maaf, karena banyak merepotkan cungcu." 

Wi Kiam Liong tertawa hambar, "Kun Hiap, kita telah mendatangkan bahaya kepada Li cungcu."

Li Siu Goan, kepala desa marga Li, tertawa gelak2, Sambil menepuk-nepuk bahu Wi Kiam Liong, dia berkata, "Wi laute, mengapa engkau berkata begitu ? Karena sudah sengaja mengabdi pada ilmusilat, kitapun hidup diantara bayang-bayang golok dan pedang. Apa yang engkau katakan bencana atau keberuntungan itu ?"

Kun Hiap ccpat menyadari bahwa di desa itu tentu telah terjadi suatu peristiwa besar.

"Li cungcu," katanya. "apakah yang telah terjadi ?”

"Silakan masuk kedalam ruang besar, hian-tit tentu tahu," kata Li cungcu.

Mendengar itu Kim Hiap bergegas masuk ke dalam gedung. Ruang besar disitu biasanya digunakan untuk pertemuan para tokoh persilatan yang tinggal   didaerah sekeliling 100-an li. Dibangan dengan megah dan kokoh. Keempat tiang besar besarnya sepemeluk tangan orang dengan pondasi yang menyerupai sebuah genderang batu.

Selekas tiba di ruang besar itu, segera Kun Hiap melihat sesuatu yang mengejutkan. Dua dari keempat tiang besar itu sudah lepas dari pondasinya. Pondasi itupun bengkah dan ujung tiang juga miring. Atap2 wuwungan berserakan ada beberapa genteng yang pecah. 

Kun Hiap terkejut. Maju beberapa langkah lagi, didapatinya cat merah pada sebuah tiang besar telah dikorek dengan senjata dan merupakan tulisan yang berbunyi demikian:

Angkat tangan menyerahkan piau akan terbuka sebuah jalan.

Melihat itu marahlah Kun Hiap. Jelas yang dimaksud dengan piau itu adalah barang2 antaran yang sedang dikawal rombongannya. Barang2 berharga itu telah dititipkan di Li-ke-cung. Dengan begitu jelas orang itu tak memandang mata kepada Li cungcu. Sungguh besar sekali nyalinya.

Bukti yang terbentang dihadapan Kun Hiap, bahwa dua buah tiang besar telah bergeser dari pondasinya, membuktikan betapa hebat kepandaian orang itu.

Adalah karena merasa memiliki kepandaian yang sakti maka orang itupun berslkap sombong sekali.

Pelahan-lahan Kun Hiap berpaling dan bertanya, "Siapakah orang itu?" 

Li Siu Goan tertawa rawan, "Sungguh memalukan sekali. Aku juga tak tahu."

Kun Hiap hampir tak percaya pendengarannya. Dengan menggeser tiang raksasa dari pondasinya sehingga wuwungan menjadi retak dan genteng2 berhamburan pecah, tentulah akan menimbulkan goncangan dan suara yang dahsyat. Tetapi anehnya mengapa orang2 dalam gedung itu tak tahu sama sekali ?

Kun Hiap terlongong-longong memandang Li Siu Goan sehingga kepala Li-ke- cung itu sam-pai tersipu-sipu.

"Waktu kami mendengar suara dahsyat, kamipun segera keluar. Tetapi orang itu sudah lenyap."

Dengan suara sarat, Kun Hiap berkata, "Li cungcu, sebaiknya kami akan segera membawa pergi barang2 antaran itu dari sini agar Li-ke-cung tidak terlibat bahaya.”

Li Siu Goan tertawa keras. Nadanya perkasa garang tetapi mengandung getar2 kerawanan hati, sebagaimana seorang ksatrya yang menghadapi pilihan teraknir.

"Wi laute, kalau kalian pergi, dimana kelak aku akan menaruhkan mukaku ini ? Wanita dan anak2 serta orang2 tua disini, sudah kuungsikan semua ke barat. Harta benda, pun sudah kusingkirkan. Aku seorang diri, sudah tak perlu ada yang dikuatirkan lagi. Akan kusediakan jiwa dan raga yang lapuk ini untuk membantu laute."

Suaranya makin gagah, jenggotnya yang putih bertebaran tertiup angin, Tiba2 dia berputar tubuh dan tring. sekali getarkan tangan melintaslah sekilas

cahaya pelangi hitam dan tahu-tahu tangannya sudah mencekal poan-koan-pit, senjata yang telah bertahun-tahun mengangkat namanya. Dan guratan huruf pada tiang besar tadi, terhapus semua.

Wi Kiam Liong melangkah maju dan memberi hormat, "Li congcu, aku yang rendah Wi Kiam Liong, mungkin dalam hidup sekarang ini tak dapat membalas budi, tetapi kelak dalam penitisanku yang akan datang, aku pasti takkan melupakan budi Li congcu."'

Kedua jago itu saling berjabatan tangan dan sama2 tertawa keras.

Diam2 Kun Hiap yang memperhatikan gerak gerik kedua jago tua itu, mendapat kesan bahwa sekalipun keduanya tertawa garang tetapi sebenar-nya mereka sudah merasa putus asa dan pasrah nasib, karena mereka menyadari kalau bukan tandingan dari orang misterius itu. 

Diam2 Kun Hiap gelisah juga. Pada saat dia hendak berkata, Wi Kiam Liong sudah hentikan tawanya dan berseru, "Kun Hiap, engkau tak perlu disini, pulanglah."

Kun Hiap memang sudah menduga kalau su-sioknya (paman guru) akan berkata begitu. Maka buru2 dia berkata juga, "Susiok, kalau aku pulang, bukankah seumur hidup aku akan terkungkung di-rumah tak pernah keluar di dunia  ramai?"

Wi Kiam Liong terbeliak dan tak bicara apa2. Tiba2 seorang penduduk berlari-lari menghadap Li Siu Goan, "Lapor kepada cung-cu, Siluman-cantik dari gunung Thay-san Pek Ing Ing mohon meng-hadap.'"

Wi Kiam Liong dan Li Siu Goan terkejut dan saling berpandangan. Mungkinkah dia demikian diam2 kedua jago tua itu menduga dalam hati masing2.

"Silakan," Li Siu Goan memberi isyarat dan orang itupun terus keluar. Tak berapa lama tampak Pek Ing Ing muncul.

Li Siu Goan cepat maju menyambut keluar, "Apakah sahabat Pek hendak datang merebut Piau itu ?”

Wajah Pek Ing Ing terkejut sekali, "Apa artinya kata2 congcu ?"'

Belum sempat Li Siu Goan menjawab, orang yang melapor tadi. kembali muncul.

"Lapor kepada congcu!"' katanya, "ketua Hoa san-pay Cek-kim-sin-to Nyo Hwat dan ketua Ceng-shia-pay Thiah Go lojin datang hendak minta bertemu congcu."

Mendengar nama kedua tetamu itu, berserilah airmuka Li Siu Goan. Kedua tetamu itu adalah tokoh2 terkemuka dari aliran Ceng pay atau Putih. Kini walaupun musuh sangat lihay tetapi tak perlu dikuatirkan lagi.

Belum Li Siu Goan memberi pernyataan, Wi Kiam Liong sedah mendahului suruh orang itu lekas mempersilakan kedua tetamu itu masuk. Orang itupun cepat mengundurkan diri.

Pek Ing Ing berobah wajahnya, "Hm, sungguh tak enak. Lagi2 ketemu dia," pikirnya. Tetapi saat itu dia tak dapat menghindari lagi. Apa boleh buat, terpaksa dia menindas perasaan dan menunggu." Tak berapa lama Nyo Hwat dan Thian Go lojinpun melangkah masuk. 

Kedua tokoh itu sama2 mempunyai perawakan tinggi besar.. Ketui Hoa-san-pay 

bermuka brewok, ketua Ceng-shia-pay bagai seorang dewa yang rambutnya putih seperti perak. Waktu berjalan bersama, menimbulkan suatu pandangan yang kontras sekali. Mirip seorang raksasa dengan seorang dewa..

Sebelum orangnya tiba, suara Nyo Hwat sudah berkumandang lantang, “Li lothay, apakah ada orang yang hendak mencabut bulumu, si Rajawali-emas ?"

Li Siu Goan tertawa getir, "Sekalipun ada orang yang hendak
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar