Kuda Besi (Kuda Hitam dari Istana Biru) Jilid 09

jilid 9

Memang luar biasa cepatnya Biau-koh bergerak tetapi sepasang rahib dari Po-to- san dan Tian toa-siocia juga bergerak cepat sekali.

Saat itu kesepuluh jari Tian toa-siocia sudah menerkam dan sepasang rahib itupun agak merebahkan tubuh ka belakang. Lengan jubah mereka tiba2 dikibaskan keatas, plak, plak terdengar bunyi tamparan keras ketika kedua

lengan jubah sepasang rahib itu saling berbentur.

Menyusul dengan itu terdengar" bunyi krek krek macam tulang patah, Dan Tian toa-siocia menjerit ngeri. 

Ternyata kedua rahib itu memancarkan tenaga murni Hok-mo-cin-gi mereka kearah lengan jubah. Dan ketika membentur jari Tian toa-siocia, tak ampun lagi kesepuluh jari tangan si toa-siocia remuk semua .....

Waktu melihat Tian toa-siocia tadi menerjang maju, Biau-koh sudah menyadari kalau puterinya bakal celaka. Dia tahu kalau puteri sulungnya itu berwatak keras. Tindakannya menerjang musuh itn tentu hendak mengadu jiwa maka Biau- kohpun buru2 mnndur hendak melepaskan puterinya dari kepungan. Tetapi pada saat dia berada di belakang kedua rahib, ternyata sudah terlambat. Sepuluh jari puterinya sudah rompal hancur.

Sudah tentu Biau-koh gugup dan sedih. Cepat dia dorongkan kedua tangannya kearah punggung kedua rahib.

Kedua rahib itu cepat menghantam ke belakang. Tetapi ternyata serangan Biau- koh itu hanya gertakan kosong, walaupun tampaknya dilancarkan dengan dahsyat.

Biau-koh sudah memperhitungkan bahwa kedua rahib itu tentu akan  membalikkan tangan menghantam ke belakang. Maka dia menunggu saja. Begitu tangan kedua rahib itu mengayun ke belakang, Biau-koh menarik pulang tangannya dan memancarkan tenaga dalam dengan jempol jari.

Tepat sekali perhitungan Biau-koh itu. Telapak tangan kedua rahib itu tepat membentur jempol jari Biau-koh. Gemas karena puterinya menderita luka parah, Biau-koh salurkan tenaga-dalam dengan penuh, uh, uh kedua rahib itu mendesuh tertahan dan sebelah lengannya terkulai melentuk.

Berhasil dengan tutukan itu, dengan cepat Biau-koh melanjutkan pula, menyusuri lengan kedua rahib itu dan menutuk tiga buah jalandarah lengan mereka. Dan berbareng itu, kedua kakinya susul-menyusul melepaskan tendangan.

Sungguh tiada tara kecepatan Biau-koh melepaskan tendangan berantai itu sehingga tokoh sakti seperti kedua rahib dari Po-to-san itu tak sempat berbalik tubuh lagi.

Bluk, bluk tendangan Biau-koh tepat mengenai pinggang lawan dan kedua

rahib itu pun terlempar ke udara. Jika lain orang tentulah sudah remuk tulangnya menerima tendangan Biau-koh seperti itu. Tetapi berkat tenaga-dalam Hok-mo- cin-gi yang digunakan untuk melindungi diri, waktu melayang di udara kedua rahib itu berjumpalitan dua kali untuk menghapus tenaga tendangan Biau-koh, setelah itu baru melayang turun ke tanah. 

Seumur hidup rasanya baru pertama kali itu dia menderita hinaan yang sedemikian hebat.

Setelah berdiri tegak, wajah mereka berubah membesi, sebelah lengannya masih melentuk tak dapat digerakkan. Walaupun tak sampai cacat tetapi karena kena ditutuk beberapa kali oleh Biau-koh maka lengan itupun tak dapat berfungsi.

Dalam pada itu setelah menendang kedua lawan, Biau-koh cepat menghampiri puterinya. kesepuluh jari Tian toa-siocia remuk, wajah pucat lesi, menandakan kalau dia menderita kesakitan hebat.

Biau-koh menarik puterinya supaya berada dibelakangnya dan dia sendirilah yang akan menghadapi keempat lawan yang tangguh itu.

"Ma," kata Tian toa-siocia dengan napas terengah2, "apakah engkau mampu menghadapi mereka berempat?"

Biau-koh tertawa nyaring, "Tolol! Apakah mamamu pernah gentar menghadapi siapa saja? Apakah engkau tak menyaksikan bagaimana tadi mama telah menghajar kedua rahib busuk itu dengan tendangan? Biar mereka sedikit tahu rasa. Nanti setelah kukeluarkan Hiat-hun-jiau, mereka pasti akan kelabakan setengah mati karena tak punya empat kaki untuk melarikan diri!"

Mendengar ucapan itn, marahlah kedua rahib tetapi diam2 merekapun memuji kelihayan Biau-koh.

"Jangankan hanya Hiat-hun-jiau, sekalipun engkau memiliki pusaka lain, tetapi jangan harap engkau mampu menghadapi kami berempat," tiba2 nyonya Ko berseru mengejek.

Mendengar itu wajah Biau koh dan puterinya berobah pucat. Kembali nyonya Ko tertawa

mengejek, "Kedua pusaka itu tiada taranya di dunia psrsilatan, mengapa tak lekas engkau, keluarkan agar kami dapat melihatnya ?"

Biau-koh berusaha untuk menangkan diri, sahutnya, "Menghadapi kawanan tikus berempat seperti kalian, mengapa perlu menggunakan pusaka ?"

Nyonya Ko tertawa gelak2 lalu maju menghampiri, "Jangan coba bermain gertak sambal! Kalau tak tahu jelas bagaimana keadaanmu, mana kami berani datang kemari ?”

Sambil berkata dia hantamkan kedua tangannya ke muka. Kedua rahib juga 

serempak bergerak. Yang satu dari kiri dan yang lain dari kanan, menerjang maju.

Ucapan nyonya Ko itu bukan hanya membuat Biau-koh dan Tian toa-siocia melongo, pun Kun Hiap juga mengeluh.

Nyonya Ko dan kedua rahib itu menerjang dengan cepat tetapi Biau-koh lebih cepat lagi. Sambil menarik puterinya, dia melesat mundur ke belakang.

Biau-koh membawa puterinya masuk kedalam gua. Ketika nyonya Ko dan kedua rahib itu melesat mengejar, pintu guapun sudah ditutup rapat oteh Biau-koh.

Pintu itu terbuat dari batu yang tebal dari berat, tak mungkin mereka dapat menerobos masuk.

"Thian Go lojin, tolong lojin periksa keatas lembah, apakah selain pintu ini masih terdapat lain pintu lagi. Untuk, membasmi kutu berbahaya, dalam dunia persilatan, hanyalah hari ini kesempatannya," teriak nyonya Ko dengan nyaring.

Thian Go lojin mendesuh. Dia melayang turun ke muka pintu gua, menekuk tubuh, menekan tangan ke tanah dan pelahan-lahan tubuhnya melambung sampai setombak tingginya. Dia menekan karang dan tuhuhnya melambung keatas lagi sampai dua tombak, kemudian berdiri tegak diatas dataran karang yang menjadi payon dari gua rahasia itu. Dia berjaga disitu untuk mengawasi jangan sampai Biau-koh dapat melarikan diri dengan jalan menerobos keatas gua..

Bum, bum, bum tiga kali nyonya Ko menghantam pintu gua seraya berteriak,

"Biau-koh, hari ini kematianmu sudah tiba, perlu apa engkau harus menyembunyikan diri. Tidakkah hal itu akan mencemarkan kemasyhuran namamu?"

Dia tahu kalau Biau-koh berani tampil menghadapi mereka, dengan tak punya kedua pusaka itu lagi, Biau-koh tentu takkan mampu menandingi kekuatan mereka berempat.

Oleh karena Biau-koh bersembunyi dalam gua dan dia tak berhasil menghancurkan pintu gua yang begitu kokoh, maka nyonya Ko berusaha iintuk membangkitkan amarah Biau-koh dengan kata2 yang mengejek.

Namun sampai berulang kali nyonya itu berteriak2, tiada penyahutan sama sekali yang terdengar dari dalam gua. Keadaan dalam gua itu sunyi senyap saja.

"Harap Ko hujin mundur, biarlah kami berdua akan menggempur pintu ini," kata kedua rahib. 

Nyonya Ko mengiakan. Dia tahu kalau kedua rahib itu hendak menjajal kesaktian tenaga-dalam Hok-mo-kang untuk menjebolkan daun pintu gua. Dia pernah mendengar berita bahwa ilmu Hok mokang itu mengandung tenaga-dalam hebat yang bersifat lunak dan keras. Malah orang persilatan menyiarkan kabar bahwa apabila kedua rahib itu bersama-sama melancarkan tenaga Hok-mo-kang itu, apapun tentu dapat dihancurkannya.

Setelah nyonya itu mundur maka kedua rahib pun melangkah maju. Aneh sekali gaya kedua nya. Sebelah tangan dilekatkan pada bahu kawannya dan berjalan dengan langkah serempak, sementara lengan mereka yang sebelah masih terkulai melentuk.

Waktu berjalan tiga langkah, tampak langkah mereka semakin berat. Dan pada saat kaki mereka berayun tiga langkah, mereka sudah tiba dimuka pintu. Entah bagaimana, pohon2 kecil yang tumbuh di luar gua sama bergoyang-goyang seperti dilanda angin.

Tiba2 lengan mereka yang terkulai itu diangkat keatas dan bang terdengar

bunyi ledakan dahsyat, menimbulkan kumandang yang sedahsyat langit roboh.

Kun Hiap yang saat itu masih berdiri termangu di samping gua, sampai melonjak kaget. Setelah dapat menenangkan diri dan memandang ke arah gua, tanrpak pada pintunya terdapat dua buah bekas telapak tangan yang penuh dilingkari gurat2 retakan.

Tiba2 kedua rahib itu tertawa gelak2 dan serempak mengayunkan lengan jubah sembari mundur tiga langkah. Terdengar angin menderu-deru dan puing2  karang yang tersebar memenuhi pintu gua bertebaran menyisih ke samping dan mengunduk seperti ditimbun dengan teratur.

Pintu gua itu ternyata tebal dan kokoh sekali tetapi dapat dirontokkan oleh  tenaga pukulan yang sakti dari kedua rabib itu. Bukan mereka bermaksud  hendak memamerkan kepandaian tetapi mereka memang hendak membersihkan puing runtuhan karang di depan pintu gua.

Selekas pintu hancur, nyonya Ko bersuit. Ia melesat mendahului kedua rahib, menyerbu kedalam gua. Tetepi tepat pada saat itu, Kun Hiap berteriak mencegah, "Ko hujin, tunggu dulu !"

Bertahun-tahun isteri dari Ko Thian Hoan itu mendendam sakit hati. Dan saat itu dia mendapat kesempatan yang bagus untuk melampiaskan dendam   kesumatnya. Maka dalam pertempuran adu tenaga-dalam tadi, dia curahkan segenap semangatnya untuk menggempur Biau-koh sehingga dia tak menyangka 

sama sekali bahwa Kun Hiap juga berada dalam lembah situ. Maka diapun terkesiap kaget ketika mendengar seruan anakmuda itu. Dia cepat melesat keluar dari gua lagi.

Ketika nyonya itu melesat keluar, dia masih membelakangi Kun Hiap. Gerakan melesat keluar itu telah menimbulkan angin kuat yang mendorong Kun Hiap terhuyung mundur beberapa langkah. Sebelum dia sempat berdiri tegak, nyonya Ko sudah berputar tubuh dan menerkam kedua tangan Kun Hiap.

"Ko ," belum sempat Kun Hiap menyelesaikan kata-katanya, nyonya Ko sudah

membentaknya dengan bengis, "Apakah masih berada padamu ?”

Kun Hiap tertegun. Pada lain saat dia segera menyadari bahwa nyonya itu menanyakan tentang cakar Hiat-hun-jiau dan baju Kim-wi-kah. Jelas nyonya Ko mencemaskan kalau kedua pusaka itu masih berada pada Kun Hiap, tentu kemungkinan Biau-koh akan dapat memperolehnya kembali. Dan sekali Biau-koh memiliki kedua pusaka itu lagi, tentulah keempat lawannya itu kalah dan melarikan diri.

Itulah sebabnya maka nyonya itu terkejut ketika melihat Kun Hiap muncul dan diapun cepat-cepat menerkam kedua tangan pemuda itu agar jangan sampai Kun Hiap sempat memberikan kedua pusaka itu kepada Biau-koh lagi.

Saat-itu pilulah hati Kun Hiap. Dia mempunyai kesan yang baik sekali terhadap Hui Giok. Dia merasa dalam setiap hal Hui Giok selalu memikirkan kepmtingannya. Nona itu berbudi lemah lembut dan cantik. Sungguh seorang gadis yang tiada tercela. Kun Hiap merasa menemukan calon pasangan yang ideal sekali.

Sedemikian besar pengaruh Hui Giok kepada Kun Hiap sehingga walaupun Biau- koh mengatakan bahwa puterinya itu berhati buruk, Kun Hiap-tetap tak mau percaya.

Tetapi saat itu, setelah menyaksikan dan merenungkan beberapa hal yang dilakukan Hui Giok, bercekatlah hati Kun Hiap. Jelas nona itu telah melakukan perbuatan yang sangat tercela. Jelas tahu kalau mamanya sudah tak punya pusaka yang diandalkan, dengan sengaja nona itu malah memberitahu hal itu kepada musuh2 mamanya. Dan mengapa Biau-koh sampai rela menyerahkan pusaka itu kepadanya (Kun Hiap), juga Hui Giok yang menganjurkan Kun Hiap untuk meminta kepada Biau-koh.

Kini Kun Hiap tahu apa yang terjadi. Dan setelah melihat pintu gua bobol, dia dapat membayangkan Biau-koh dan Tian toa-siocia tentu terancam bahaya. Ah, dimanakah Jiangsim atau hati nuraninya ? 

Jika Kun Hiap itu seorang pemuda yang tegas, dia tak perlu bersedih karena saat itu dia sudah dapat mengetahui jelas bahwa Hui Giok itu seorang gadis yang  lebih buas dari serigala. Tetapi ternyays dia seorang pemuda yang penuh perasaan sehingga kurang tegas mengambil keputusan. Bahkan setelah dalam rumahtangganya sendiri terjadi hal2 perubahan dan setiap orang mengatakan siapa ayah kandungnya yang sebenarnya, diapun tetap tak dapat mengambil keputusan dan tetap hanya gelisah dan berduka. Baru setelah mendapat keterangan yang positif dari suami isteri Ko Thian  Hoan, barulah dia percaya kalau Wi Ki Hu itu musuh besarnya yang harus ditumpas.

Pun saat itu, timbul pertentangan dalam batinnya. Disatu fihak dia ngeri membayangkan perbuatan Hui Giok yang begitu terkutuk, tetapi di lain fihak dia masih terbayang akan kemesraan sikap Hui Giok kepadanya. Dia termangu dan bingung sehingga tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan nyonya Ko.

Tiba2 dari dalam gua terdengar Biau-koh berseru, "Ko hujin, kedua pusaka itu jelas sudah tak berada padanya. Perlu apa engkau mendesaknya? Kalau mau menuntut balas, silakan masuk kemari untuk membuat perhitungan dengan kami berdua!"

Nyonya Ko hanya mendengus. Sebelum dia sempat menjawab, Biau-koh sudah tertawa dingin dan berseru pula, "Ko hujin, Po-to-song-ni, Thian Go lojin, kalian berempat adalah jago2 kelas satu dalam dunia perstlatan, tentulah segan untuk melakukan serangan pada orang yang lemah. Ko hu jin, coba engkau pikir, dari siapakah engkau tahu kalau kedua pusaka itu tak berada padaku lagi ? Heh, heh, jangan terburu nafsu dulu. Kalau engkau sudah merenungkan dengan tenang, tentulah engkau takkan merasa tenang selama-lamanya."

Nyonya Ko memekik keras dan lemparkan Kun Hiap keluar gua, kemudian membentak kearah gua, "Percuma saja engkau bersilat lidah karena bagaimanapun juga tak mungkin engkau terhindar dari kematian !"

Sambil berkata, dia terus menyerbu kedalam gua. Bum, bum terdengar dua

kali letupan keras dan nyonya itu kembali mundur keluar.

"Bagaimana ?" seru kedua rahib. Sambil menunjuk kearah gua, nyonya Ko berkata, "Didalam gua ternyata masih ada pintu besi lagi yang menghalangi.

Mendengar itu kedua rahib tertegun. Tadi mereka sudah mengerahkan segenap tenaga untuk menjebol pintu batu, apabila sekerang masih ada lagi pintu besi, tentulah lebih kokoh dari pintu batu. Sudah tentu mereka gentar untuk menggempurnya Ilmu tenaga Hok-mo-sin~kang bersifat keras. Apabila tak dapat menghancurkan benda yang dihantam, kekuatan tenaga itu akan mental balik 

menghancurkan pemiliknya.

Melihat keraguan kedua rahib itu, tahulah nyonya Ko apa sebabnya, "Mari kita bersama-sama menggempurnya dengan batu besar. Kalau memang gagal kita bakar saja, masa besi takkan lebur kalau dibakar!"

Sebenarnya nyonya itu berwajah cantik tetapi wajahnya telah dirusak oleh Tian Put Biat. bertahun-tahun nyonya itu mendendam kemarahan maka diapun sanggup untuk membuang waktu selama beberapa tahun asal dapat melampiaskan dendam kesumatnya, Dia akan menunggu sampai pintu besi meleleh. Tak peduli harus sampai berapa tahun lagi.

"Ya, benar," kedua rahib itu mengangguk.

Sementara itu Kun Hiap yang dilempar keluar oleh nyonya Ko tadi, pada saat melayang turun, dia berusaha hendak berdiri tegak. Tetapi sekonyong-konyong pantatnya ditampar orang sehingga dia tersiak beberapa langkah.

"Ha, ha, maaf, sahabat," tiba2 terdengar seseorang tertawa. Siapa lagi orang itu kalau bukan Sam Coat sianseng, Rupanya dia baru saja muncul dari tanah dan kebetulan Kun Hiap melayang ketempat dia hendak muncul. Maka dia lalu menghantam pantat anak muda itu.

Sesaat Kun Hiap berdiri tegak dilihatnya tubuh manusia pendek itu melesat ketempatnya dan tertawa terkial-kial, "Aku terlambat datang, ah. aku

terlambat nih. Apakah perempuan busuk itu sudah mampus? Celaka, kalau dia sudah mampus, seumur hidup akan tak dapat melampiaskan dendamku !"

Melihat Sam Coat muncul, girang nyonya Ko bukan kepalang, serunya, "Belum mati, dia masih ngumpat dalam gua !"

"Lho, mengapa tidak diseret keluar?" seru Sam Coat.

Kedua rahib dari gunung Po-to-san belum pernah bertemu dengan Sam Coat. Kedua rahib itu berwatak serius, tak suka guyon. Melihat orang kate itu begitu datang terus ngoceh seenaknya sendiri saja, kedua rahib kerutkan alis dan berseru dengan dingin, "Dan mengapa engkau sendiri tak lekas menyeretnya keluar ?"

Sam Coat memandang ke arah kedua rahib. Dia deliki mata. Ketika melihat kedua rahib itu seperti sepasang manusia kembar, cepat Sam Coat mengetahui siapa keduanya itu. Sebenarnya dia hendak ngoceh lagi yang lebih tak keruan untuk membangkitkan kemarahan orang. Tetapi serta tahu kedua rahib itu Po- to-song-ni yang sakti, terpaksa dia menelan kembali kata2 yang sudah siap di 

kerongkongannya.

Menelan kata2 memang menyesakkan dada memualkan perut maka untuk menumpahkan keluar, dia lalu menguak-uak dengan mulut tertutup rapat hingga menyerupai orang yang sakit gigi.

Kedua rahib deliki mata tetapi tak mau mendamprat. Setelah isi perutnya longgar, barulah Sam Coat berputar tubuh dan berseru, "Ada pintu besi? Coba kulihatnya."

"Benar," seru nyonya Ko, "engkau mempunyai banyak sekali alat2 rahasia. Kalau tak mampu membuka pintu besi itu, percuma saja engkau menyandang gelar  Sim Coat sianseng."

Sam Coat terus melangkah masuk ke dalam gua. Nyonya Ko dan kedua rahib mengikuti. Melihat itu Kun Hiap juga menyusul sembari berteriak memanggil orang kate itu, "Sam Coat sian-seng! Sam Coat sianseng!"

Tetapi waktu tiba di muka gua, tiba2 dari sana dia didorong oleh segulung tenaga kuat.

"Sam Coat sianseng, di mana nona Tian yang bertempur dengan engkau tadi?" teriaknya.

Pikir Kun Hiap, tentulah beberapa tokoh yang berada di situ dalam waktu yang singkat tak dapat memecahkan pintu besi. Apabila dia segera dapat mencari Tian Hui Giok, dia akan meminta kembali kedua pusaka itu untuk diserahkan kepada Biau-koh. Kemungkinan akan dapat menolong Biau-koh.

Dengan keputusan itu maka walaupun terpental ke belakang, Kun Hiap tetap menerobos maju lagi tetapi tetap didorong oleh tenaga kuat itu.

Dia makin gugup ketika mendengar suara bergemerincingan dari dalam gua dan gua yang semula gelap, pun memancarkan penerangan. Keempat tokoh tadipun segera tampak. Tetapi Kun Hiap tak mampu melihat apa yang sedang dilakukan Sam Coat sianseng pada saat itu. 

Kun Hiap seperti semut yang berada di atas kuali panas. Dia kelabakan setengah mati. Tiba-tiba dia teringat bahwa Sam Coat tak mau melepaskan Hui Giok dan Hui Giokpun tak mau melepaskan Sam Coat. Kalau Sam Coat sekarang berada di gua, tentulah Hui Giok juga akan menyusul, bahkan mungkin sudah berada di dekat situ.

Ah, kalau begitu aku harus lekas2 mencari gadis itu, pikirnya. dan diapun terus 

melesat keluar dari lembah. Baru beberapa tombak meninggalkan lembah, tiba2 dari belakang terdengar sebuah suara bernada dingin menegurnya, "Mau kemana sicu ini?"

Kun Hiap tertegun dan setiup angin berkelebat di sampingnya. Ternyata salah seorang dari Po-to-song-ni yang bernama Bu Siang taysu sudah tegak menghadang di hadapannya, dengan wajah yang dingin memandangnya.

"Aku aku hendak keluar," sahut Kun Hiap.

"Perlu apa engkau hendak keluar?" tanya rabib Bu Siang taysu pula.

Kun Hiap memang tak biasa bohong, Karena mencemaskan keadaan Biau-Koh dan puterinya maka dengan lantang dia berseru polos, "Aku hendak mencari orang untuk meminta kembali Kim-wi-kah dan Hiat-hun-jiau dan akan kuberikan kepada Biau-koh.

Wajah Bu Siang taysu berobah makin dingin, "Hm, apakah engkau hendak memusuhi kami? "

"Kalian berlima adalah tokoh2 ternama tetapi mengapa kalian hendak mencelakai orang yang sedang lemah? Dan lagi berita tentang Biau-koh kehilangan pusakanya itu juga kalian peroleh dari puterinya. Taruh kata kalian berhasil membunuh Biau-koh, pun juga suatu perbuatan yang memalukan!"

Rupanya rasa ingin membela kebenaran dan keadilan menyebabkan Kun Hiap menjadi kalap dan tak menghiraukan lagi dengan siapa dia berhadapan saat itu. Selesai bicara, dilihatnya sepasang mata rahib itu berkilat-kilat memancarkan api yang seolah hendak membakar dia.

Kun Hiap gugup. Dia menyadari kalau kepandaiannya jauh di bawah Bu Siang taysu. Apabila rahib itu turun tangan, dia tentu binasa, Dia tegak membusungkan dada, tak gentar.

Sejenak menatapnya, Bu Siang taysu tertawa dingin, "Engkau merasa penasaran dan hendak membelanya? Silakan pergi!"

Tetapi baru rahib Bu Siang berkata begitu dari dalam gua lerdengar Sam Coat berteriak, "Taysu, jangan biarkan dia pergi!"

Tetapi seperti tak mendengarkan, Bu Siang taysu berkisar menyisih ke samping. Dan takut kalau rahib itu akan menarik kembali ucapannya, Kun Hiappun segera melesat ke luar. Sambil berlarian dia berpaling ke belakang, diihatnya Bu Si-ang taysu masih tetap tegak di tempatnya. 

Kua Hiap merasa lega karena mengira rahib itu menetapi janji tak mengejarnya. Tadi Sam Coat berteriak meminta Bu Siang taysu jangan melepaskan Kun Hiap. Dengan demikian jelaslah kalau Sam Coat tahu bahwa Hui Giok berada di sekeliling gua situ.

Dengan tujuan harus cepat2 mendapatkan Hui Giok maka sambil berlari Kun Hiap berteriak sekeras-kerasnya, "Hui Giok! Hui Giok Engkau dimana ? Lekas datanglah kemari!"

Sampai diulang beberapa kali tetap dia tak mendapat jawaban. Dia gugup sekali. Akhirnya Sam Coat tentu dapat membakar pintu besi itu. Waktu amat berharga sekali.

Dalam keadaan hampir putus asa, tiba2 didengarnya suara Hui Giok memanggilnya, "Kun Hiap !"

Kun Hiap tertekun, Suara Hui Giok bernada tangis. Cepat dia berpaling dan dilihatnya Hui Giok muncul dengan air mata bercucuran sehingga kedua matanya sampai membengkak. Dengan iba hati, Kun Hiap lari menghampiri.

Sebelum Kun Hiap sempat membuka mulut, nona itu sudah mendahului berkata dengan menangis, "Kun Hiap, aku aku kira bakal tak ketemu dengan engkau

lagi. Sekarang setelah dapat bertemu dengan engkau, sekalipun mati aku sudah merasa puas "

Kun Hiap terbeliak, "Mati ? engkau "

“Kutahu," cepat Hui Giok menukas, "dalam dunia ini, manusia yang dapat mengerti dan tahu isi hatiku, hanya engkau seorang, Bukankah aku harus merasa bahagia dan mati dengan meram setelah bertemu dengan engkau ?"

Kun Hiap tertawa tawar, "Hui Giok, harap jangan mempersoalkan hal itu dulu. Saat ini Ko hujin dan empat tokoh lihay sedang mengepung mamamu. Keadaan Biau-koh sangat berbahaya, Lekas antarkan baju Kim-wi-kah dan Hiat-hun-jiau kepada beliau agar beliau dapat tertolong."

Tiba2 Hui Giok melengking keras dan tubuhnya menggigil, wajah pucat lesi sehingga membuat Kun Hiap keget setengah mati, “Engkau. kenapa?”

"Aku, aku bersalah, aku bersalah. " seru Hui Giok.

Saat itu Kun Hiap sudah tak mempercayai Hui Giok lagi. Dan diapun percaya kalau Hui Giok yang memberitahukan berita tentang keadaan Biau-koh kepada 

musuh2. Itulah sebabnya maka musuh2 itu segera berdatangan untuk membunuh Biau-koh.

Kini setelah mendengar berulang kali Hui Giok mengaku bersatah, Kun Hiap menganggap nona itu tentu sudah sadar, "Kalau salah, biarlah...tak apa.

Sekarang masih dapat dibetulkan. Saat ini Sam Coat sianseng sedang berusaha untuk membobol pintu best. Lekaslah engkau menyerahkan kembali kedua pusaka itu kepada mamamu, kalau tidak..."

"Pusaka? "Hui Giok mengangkat muka," kedua pusaka itu sudah direbut orang!

Mendengar itu, Kun Hiap seperti disambar petir. Dia tegak mematung dan mengucurkan keringat dingin. Mulutnya serasa terkancing rapat.

Sambil banting kaki ketanah seperti orang yang menyesal, Hui Giok berseru, "Ah, seharusnya aku tak menganjurkan engkau untuk meminta kedua pusaka itu dari mama. Dan seharusnya aka tak perlu memikirkan kepentinganmu dengan memberitahukan tentang kedua pusaka itu kepada beberapa tokoh, agar mereka jangan sampai merebut dari tanganmu. Ah, memang sudah banyak orang yang memburukkan diriku. Dan sekarang sekalipun aku bunuh diri mencebur ke dalam bengawan Hong-ho, rasanya tetap tak dapat mencuci bersih kedosaanku. Kun Hiap, tadi kukatakan bahwa diseluruh muka bumi ini hanya engkau seorang yang tahu tentang diriku. Maka kuharap engkau mau mempercayai omonganku ini."

Kun Hiap terlongong-longong mendengarkan. Kini baru dia mengerti bahwa apa yang dimaksudkan kesalahan oleh Hui Giok tadi, bukan seperti yang diduganya. Hui Giok mempunyai tafsiran sendiri.

Dari kata-katanya, Hui Giok hendak mengatakan bahwa kedatangan beberapa tokoh tangguh untuk mencari balas kepada Biau-koh itu,memang merupakan kesalahannya tetapi yang tak disengala dan diduga-duga. Dia tak bermaksud hendak mencelakai mamanya tetapi bermaksud hendak melindungi Kun Hiap dari gangguan tokoh-tokoh persilatan.

Pikiran Kun Hiap menjadi kacau. Tetapi kalau dia berpikiran terang, tentulah dia segera dapat menarik kesimpulan yang tegas. Dengan melihat dan mendengar pembicaraan serta perbuatan tokoh2 yang datang itu, dia seharusnya dapat menilai apakah omongan Hui Giok itu benar atau hanya sandiwara saja.. Tetapi ternyata Kun Hiap memang lebih banyak dibius oleh rasa asmaranya dalam menilai Hui Giok.

"Kedua pusaka itu direbut siapa.?" tanya beberapa saat kemudian.

"Seorang manusia aneh yang mukanya memakai kedok dari kulit manusia. Aku 

tak kenal siapa dia," kata Hui Giok.

Sebenarnya Kun Hiap tak mudah mempercayai keterangan itu tetapi dia tak dapat membantahnya juga.

Hui Giok melangkah maju ke muka Kun Hiap, dia sandarkan pipinya ke dada si pemuda dan pelahan-lahan mengangkat muka. Dengan air mata berlinang-linang dia berkata, 'Kun Hiap, aku . . . tahu bagaimana orang telah menjelek-jelekkan diriku. Mungkin engkau juga percaya pada mereka. Aku bersedia mati untuk membuktikan isi hatiku. Aku hanya membutuhkan sepatah kata dari mulutmu.."

Tanpa sadar, Kun Hiap pelahan-lahan memeluknya, "Mengapa engkau ingin mati?"

"Katakanlan, engkau mengerti aku atau tidak," kata Hui Giok, "mengerti bahwa aku telah difitnah orang atau tidak?"

Menerima pertanyaan itu sesaat Kun Hiap tak dapat menjawab. Melihat itu Hui Giok menghela napas panjang, "Apakah engkau tak mau mengatakan?

Sebenarnya, engkau mau mengatakan atau tidak, juga tak ada pengaruhnya. Toh aku akan mati untuk membersihkan dri. Bedanya aku akan mati dengan meram atau melek saja."

Kata2 itu diucapkan dengan nada penuh haru dan iba sehingga hidung Kun Hiap ikut berkembang kempis. Teringat betapa banyak nona itu telah berbuat kebaikan untuk dirinya, timbul keraguan dalam hati Kun Hiap, mungkin saja benar kalau Hui Giok telah difitnah orang. Tanpa terasa dia mendekap nona itu makin kencang. Dan Hui Giokpun bagaikan anak burung yang menyu,supkan kepala dalam dada induknya.

Setelah diam beberapa jenak, Kun Hiap berkata pula, "Hui Giok, sudah tentu aku mengerti engkau."

Hui Giok mengangkat kepala dan tertawa rawan, "Baiklah, Kun Hiap, yang  penting kita telah saling mengenal maka walaupun sekarang akan berpisah umuk selama-lamanya, janganlah engkau bersedih."

Kalau dia tak mengucap begitu, mungkin Kun Hiap takkan bersedih. Tetapi karena Hui Giok berkata begitu maka Kun Hiap seperti disayat-sayat hatinya, "Hui Giok, walaupun tidak semua orang mengerti akan dirimu, tetapi perlu apa engkau harus mati?"

"Kini aku telah kehilangan dua buah pusaka, Walaupun orang tidak mengatakan apa2 terhadap diriku, engkau tent tetap akan menyalahkan aku," kata Hui Giok. 

Tadi sebelum bertemu Hui Giok, Kun Hiap sudah membulatkan tekad. Kalau Hui Giok sampai tak mau menyerahkah kedua pusaka itu, dia akan mengadu jiwa untuk merebutnya kembali. Dan kini setelah berhadapan dengan nona yang pandai bermain saadiwara itu, rencana Kun Hiap seperti awan tertiup angin. Dia kehilangan pikiran yang terang.

"Hui Giok, aku takkan menyalahan engkau. Tetapi ,, ah, keadaan Biau-koh

berbahaya sekali. Bagaimana kita harus membantunya?" katanya

"Mari kita kesana, walaupun tak banyak menolong, tetapi paling tidak kita dapat berbuat sesuatu untuk mama," kata Hui Giok.

Kun Hiap tahu kalau dirinya tak berguna. Kepandaian Hui Giok walaupun jauh lebih tetapi kalau menghadapi keempat tokoh seperti sepasang rahib Po-to-san, kedua suami istri Ko Thian Hoan, Thian Go tojin dan Sam Coat sianseng, juga tak mungkin menang. Tetapi karena kedua pusaka itu sudah hilang, kecuali menuruti ajakan Hai Giok, rasanya tiada lain cara yang lebih baik lagi.

Kun Hiap menghela napas tetapi sebelum dia sempat msmbuka suara, Hui Giok sudah menarik tangannya diajak berlari.

Cepat sekali keduanya tiba di tengah lembah. Tetapi mereka segera disambut dengan letusan yang dahsyat yang berasal dari tengah gua

"Celaka ,” seru Kun Hiap dengan kaget dan terus hendak menerjang maju.

Tetapi cepat dicegah Hui Giok..

Saat itu terdengar lengking teriakan aneh dari Sam Coat. Bermula nyaring tetapi lama kelamaan makin sirap, menandakan kalau orangnya sudah masuk jauh ke dalam gua.

"Mereka mereka sudah menjebolkan pintu besi dan masuk ke dalam gua,"

teriak Kun Hiap.

"Ya, lihatlah, Thian Go lojin juga menyusul masuk," sahut Hui Giok.

Melihat Thian Go lojin meluncur turun dan terus masuk ke dalam gua, Kun Hiap hendak menerobos, tetapi ditahan Hui Giok lagi.

"Percuma engkau masuk, biarlah aku saja yang masuk,” kata Hui Giok.

Sudah tentu Kun Hiap menolak tetapi dia tak dapat melepaskan diri dari cekalan si nona. Hui Giok menggeram, crek dia menusuk jalandarah bahu pemuda itu seraya mengbela napas, "Kun Hiap, maafkan, engkau harus tahu, kalau engkau pergi berarti engkau hanya akan mengantarkan jiwa dengan sia-sia saja.” 

Karena jalandarahnya tertutuk, Kun Hiap tak dapat berkutik dan bersuara. Tetapi dalam hati pemuda itu berteriak, "Dan engkaupun juga percuma saja kalau ke sana , . , . "

Namun karena tak dapat berkutik dan bersuara, dia menelan rasa mendongkol yang hebat sehingga dia sampai mengucurkan airmata.

Hui Giok pelahan-lahan meletakkan tubuh pemuda itu ke tanah. Pada saat ia menunduk iapun mengucurkan airmata yang menetes ke pipi Kun Hiap. Dia tampak bersedih sekali. Beberapa saat kemudian sekonyong-konyong dia memberingas loncat bangun dan berseru dengap nada haru, "Kun Hiap, selamat tinggal " selekas melesat, diapun sudah lenyap di balik tikungan.

Walaupun orangnya sudah pergi tetapi bayangannya masih melekat di benak  Kun Hiap. Bagaimana suara rintihannya yang menyayat, bagaimana wajahnya yang bersedih dan airmatanya yang mengucur mencurah ke pipinya, masih melekat segar dalam mata Kun Hiap. Dia makin pilu dan airmatanyapun makin mengucur deras Walaupun tahu kalau sia2 menghadapi tokoh2 yang sakti, tetapi Hui Giok tetap nekad hendak menolong mamanya. Dan Hui Giokpun tak mau melibatkan dia (Kun Hiap) maka ditutuknya pemuda. Dengan begitu jelas bahwa apa yang dikatakan orang2 tentang keburukan Hui Giok itu hanyalah fitnah belaka, Pikir Kun Hiap.

Dan dengan pemikiran itu hati Kun Hiap makin hancur. Dia ingin menangis sekeras-kerasnya tetapi karena jalandarahnya tertutuk, dia tak dapat mengeluarkan suara tangisan.

Lebih kurang dua peminum teh lamanya, dia mendengar langkah kaki orang yang berjalan dengan berat. Suara langkah kaki orang yang berja-lan dengan berat. Suara langkah berat itu dari jauh makin lama makin dekat. Dia segera tahu bahwa langkah2 kaki itu milik empat lima orahg. Dengan pelahan mereka menuju keluar.

Kun Hiap terkesiap. Adakah Biau-koh dan kedua puterinya sudah begitu cepat dapat dilenyapkan? Kalau tidak mengapa rombongan rahib Po-to-san keluar dan gua? Karena saat itu dia direbahkan dibalik segunduk batu besar oleh Hui Giok. maka dia tak dapat melihat jelas siapa2 saja yang keluar dari gua itu. Tetapi dia menduga keras tentulah rahib Po-to-san beserta beberapa tokoh.

Tetapi beberapi saat kemudian dia heran mendengar langkah kaki itu luar biasa pelahannya

Ada dua taisiran untuk langkah kaki yang sedemikian itu. Kalau orangnya tidak 

menderita luka pnrah tentulah hatinya yang sedang terluka kesedihan besar.

Kalau memang Biau-koh dan kedua puterinya sudah binasa, perlu apa tokoh2 itu harus bersedih sedemikian rupa? Apakah mungkin Biau-koh yang menang dan musuh-musuhnya mundur dengan membawa luka? Tetapi kalau menilik iring langkah kaki yang begitu sarat sehingga tanah yang dipijaknya tentu membekas telapak kaki, bukankah pertanda dari orang yang terluka berat melainkan orang yang sedang melampiaskan kemengkalan hati dengan mengunjukkan tenaga- dalam sakti.

Ingin sekali Kun Hiap mengetahui tetapi dia mengkal sekali karena tak dapat berkutik dan bersuara. Apa boleh buat terpaksa dia menekan kesabarannya.

Tak berapa lama langkah kaki berat itu makin dekat dan beruntung Kun Hiap dapat melihatnya.

Yang pertama adalah Thian Go lojin. Wajahnya sarat dan menundukkan kepala dengan masygul. Berulang kali menghela napas sambil berjalan.

Dibelakangnya adalah nyonya Ko. Karena nyonya itu masih mengenakan tutup muka, maka tak dapat melihat bagaimana. mimik wajahnya.

Tetapi dari tingkah lakunya yang berjalan pelahan-lahan sambil menunduk, rasanya dia pun juga menderita sesuatu dalam hatinya.

Dibelakang nyonya itu adalah kedua rahib dari gunung Po-to-san. Wajah keduanya membeku seperti patung batu. Dibelakang sendiri adalah Sam Coat sianseng. Wajahnya menyengir seperti monyet kepedasan.

"Ini bagaimana," serunya mengeluh, "mengapa kalian tak mau bicara ? Heh, heh, anggap saja kali ini kita tidak bekerja percuma . . .”

Kedua rahib serempak berpaling dan serentak membentaknya, "Tulup mulutmu ! Kalau pada saat seperti ini engkau masih cekikikan tak keruan, . apakah tidak memalukan ?"

Sam Coat deliki mata dan berjingkrak-jingkrak; "Sahabat lama, engkau memaki dengan jitu sekali. Memang memalukan. Tetapi siapakah yang datang lebih dulu kesini ? Hm, hm, kalau memaki orang berkepala gundul, harus lebih dulu memeriksa apakah kepalanya juga masih ada rambutnya ?"

Rupanya tersinggunglah kedua rahib itu atas ucapan Sam Coat yang begitu kasar Serentak keduanya mengebutkan lengan jubahnya. 

Sam Coat itu memang tokoh yang aneh yang suka mengolok orang. Coba dia tak menyadari kalau kedua rahib itu berilmu sakti, dia tentu sudah mengajak mereka berkelahi. Kini walaupun tahu kalau bukan tandingan kedua rahib itu namun karena diserang lebih dulu, Sam Coatpun bertindak juga. Dia juga ingin menjajal sampai dimanakah ilmu tenaga-dalam Hok-mo-sinkang dari kedua rahib yang dikabarkan hebat sekali itu.

Waktu pukulannya beradu, ternyata dia memang tak kuat menghadapi kedahsyatan Hok-mo-sinkang itu. Dia terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang dan terus berjumpalitan, berjungkir kepala, bum ... ambles kedalam tanah.

Menyaksikan seorang manusia dapai ambles-bumi seperti yang dilakukan Sam Coat, kejut kedua rahib sampai terlongong-longong. Pada lain saat mereka mendengus lalu ayunkan langkah lagi.

Waktu tenaga kebutan lengan jubah mereka beradu dengan tenaga pukulan Sam Coat. terjadilah benturan hebat yang menyebabkan tenaga hantaman kedua  belah fihak itu bertebaran keempat penjuru, Kebetulan ada setiup tebaran   tenaga mereka yang membentur pinggang Kun Hiap. Seketika jalandarah Kun Hiap dapat berjalan lancar lagi.

Sebenarnya setelah jalandarahnya terbuka, Kun Hiap dapat bergerak lagi. Tetapi karena tadi mendengar Sam Coat berkata 'perjalanan kita kali ini juga tidak sia- sia', lunglailah sarasa sendi tulang Kun Hiap. Dia tetap tak bergerak. Baru setelah Thian Go lojin dan keempat tokoh itu lenyap dari pandang mata, dia baru menggigil.

"Apakah artinya itu?" serunya tertahan. Tetapi karena dia hanya seorang diri maka pertanyaan itu tak ada yang menjawah.

Dia berbangkit dan ayunkan langkah. Setelah mengitari batu besar, dia berteriak keras, "Hui Giok, Hui Giok !"

Tiba2 dia berhenti karena perasaannya ngeri. Kata2 Sam Coat tadi jelas menandakan bahwa Biau-koh dengan kedua puterinya tentu sudah binasa.

Teringat akan hal itu seketika tubuh Kun Hap terasa lemas. Kalau tidak sedang bersender pada batu, tentulah dia sudah rubuh. Dengan bertekan pada batu  besar itu, dia kuatkan diri untuk berdiri tegak. Setelah itu baru dia berjalan dengan terhuyung-huyung. Tiba di mulut gua, dilihatnya separoh dari pintu besi sudah roboh. Keadaan dalam gua gelap dan sunyi sekali, memberi kesan kalau di sini habis terjadi peristiwa yang mengerikan. 

Setelah tenangkan diri, dia masuk ke dalam gua. Dia pernah masuk ke situ dan tahu kalau gua itu mempunyai banyak sekali ruangannya. Ruang demi ruang dia mendatangi, pada waktu tiba di ruang batu yang ketiga, baru dia melihat Biau- koh dan Tian toa-siocia berada di stu.

Kedua orang itu berbaring di atas ranjang batu. Tubuhnya membujur lurus dan wajah menunjukkan kemarahan. Di samping mereka terda-pat dua baris kata yang berbunyi:

Anak perempuan mendurhakai memberi kabar supaya menggunakan kesempatan selagi orang dalam keadaan lemah. Coba tuan2 tanya kepada batin kalian sendiri, bagaimana nanti kalau bertemu orang.

Tulisan itu digurat dalam sekali. Bukan dengan benda tajam melainkan dengan jari2 Biau-koh yang diiambari dengan tenaga-dalam.

Melihat tulisan itu kini Kun Hiap menyadari apa sebab Thian Go dan rombongannya seperti orang yang kehilangan semangat. Memang mereka datang ke situ karena tahu kalau Biau-koh sudah tak memiliki kedua pusaka itu lagi. Selama Biau-koh masih punya kedua pusaka, tak seorang musuh yang betapa saktinya berani datang mencari balas kepadanya.

Thian Go dan rombongannya, merupakan tokoh-tokoh golongan Ceng-pay. Sudah tentu mereka merasa malu atas tindakannya itu. Bahkan tokoh yang setengah Ceng-pay setengah Sia-pay (setengah Putih setengah Hitam) seperti Sam Coat, juga tak luput dari rasa kerupukan.

Kun Hiap memandang ke arah Biau-koh dan Tian toa-siocia. Menilik keadaannya, pada saat pintu besi hampir jebol, keduanya lalu bunuh diri.

Kun Hiap terlongong-longong seperti orang yang kehilangan semangat. Sejak dalam rumah tangganya terjadi perobahan besar maka dia lalu mengembara dalam dunia persilatan. Biau-koh memperlakukan seperti puteranya sendiri. Bahkan waktu dia minta kedua pusaka itu dari Biau-koh, Biau-kohpun mau memberikannya. Pada hal kedua pusaka itu merupakan pelindung utama bagi jiwa Biau-koh. Jika dia tak meminta kedua benda itu tak mungkin Biau-koh akan mati begitu mengenaskan. Teringat akan semua itu, airmatanya turun seperti hujan . . . .

Beberapa saat kemudian tiba2 dia mendengar suara langkah kaki yang ringan Dia terkejut. Adakah Thian Go dan rombongannya kembali hgi? Kalau benar mereka, dia akan memaki mereka habis-habisan.

Untuk menjaga segala kemungkinan. dia melesat dan bersembunyi di belakang 

aling2 angin.

Beberapa saat kemudian, sesosok tubuh berkelebat masuk. Ketika melihat siapa yang datang itu, Kun Hiap terkejut gembira. Kiranya yang datang itu adalah Hai Giok sendiri.

Menilik keadaannya, Hui Giok tidak menderita luka apa2. Tentulah karena dia belum bertemu dengan Thian Go lojin dan rombongannya.

Waktu Kun Hiap hendak memanggil, Hui Giok sudah lebih dulu membuka suara, "Hm, jangan kira aku tak dapat menemukan, sekalipun harus mengobrak-abrik beberapa ruangan di sini, akupun tetap akan mencari sampai ketemu."

Waktu mengucap begitu, dia menghadap ke arah Biau-koh dan Tian toa-siocia, jelas dia berkata kepada mereka. Biau-koh adalah ibu kandungnya. Melihat mamanya terkapar tak bernyawa di atas ranjang batu, bukan menangis sedih, sebaliknya Hui Giok malah mengoceh tak keruan. Tubuh Kun Hiap menggigil seram.

Tiba2 Hui Giok melihat beberapa huruf di samping Biau-koh. Seketika wajahnya berobah dan tertawa sinis, "Sampai ajalmu tiba, engkau masih menganggap aku ini anak perempu-anmu. Tetapi cobalah engkau bayangkan. Selama belasan tahun ini bagaimana engkau memperlakukan aku? Selain membentak, memaki dan memperbudak, apakah engkau pernah menunjukkan aikap sepetti seorang ibu terhadap anak-nya? Taci dan adik mendapat segala apa, tetapi aku tidak.

Sedang kalau aku punya barang, mereka tentu akan memintanya. Jelas engkau tidak menganggap aku sebagai anak perempuanmu, bagaimana engkau mengatakan kalau aku ini anak perempuanmu yang mendurhaka ? Kentut, kentut!"

Brak, brak, brak, tiga kali dia menghantam tepi ranjang batu itu hingga bertebaran. Guratan huruf2 itupun hilang lenyap.

Memang dahulu, Biau-koh lebih menyayangi puteri sulung dan puteri bungsunya. Tetapi sama sekali dia tak menyangka bahwa puteri keduaaya akan mendendam kebencian begitu rupa kepadanya sehingga sampai hati untuk memberitahu kepada musuh2 agar menyerang Biau koh karena Biau-koh sudah tak punya pusaka lagi.

Kun Hiap belum banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Selama itu dia terus tinggal di rumah saja. Begitu rumahtangganya dilanda perobahan besar, dia hampir saja kalap karena tak tahu bahwa tiang andalan yang dianggap sebagai ayah kandungnya itu ternyata malah musuh besar yang telah membunuh ayahnya. 

Kini setelah mendengar dan menyaksikan sendiri, barulah dia sadar bahwa Hui Giok itu ternyata seorang anak perempuan yang ganas dan kejam terhadap mamanya sendiri. Untuk yang kedua kalinya, Kun Hiap menderita shock besar.. Dunia ini serasa gelap dan seketika kepalanya berbinar-binar, tubuh mau jatuh.

"Dulu engkau tak mau memberi kepadaku. Tetapi sekarang, heh, heh, segala   apa menjadi milikku," kembaii terdengar Hui Giok tertawa mengekeh, kitab pusaka peninggalan ayah, walau-pun hendak engkau sembunyikan dimana saja, aku tetap pasti dapat mencarinya sampai ketemu. Engkau menunggu aku selama 20 tahun, sekarang siapakah yang masih hidup ? Ha, ha, ha-ha ..."

Hui Giok tertawa dengan sepuas-puasnya. Karena tak tahan lagi, Kun Hiap roboh ke muka. Cepat dia bergeliatan untuk mencari pegangan dan kebetulan memegang pintu-angin. Pintu-angin itupun terdorong jatuh kemuka.

Hui Giok serentak berpaling diri seraya dorongkan kedua tangannya. Tetapi pada saat itu juga dia menyadari bahwa yang berada dimukanya itu adalah Kun Hiap. Buru2 dia berusaha untuk menarik pulang tenaga-pukulannya.

Sebenarnya Kun Hiap mau pingsan tetapi karena dorongan tenaga Hui Giok tadi, dia terdorong mundur bebelapa langkah dan bersandar pada dinding karang, Dia malah tersadar. Keduanya kini saling berpandangan. Kun Hiap memandang Hui Giok dan Hui Giokpun menatap Kun Hiap. Keduanya sama2 tegak termangu.

Setelah beberapa saat berdiam diri, akhirnya Hui Giok yang buka suara lebih dulu dengan tertawa tersipu-sipu, "Mengapa engkau kemari ?"

Kun Hiap tak mau menjawab.

"Sudah berapa lama engkau datang kemari?"' kembali Hui Giok berkata lagi.

Namun Kun Hiap tetap tak menyahut.

Hui Giok melangkah maju beberapa tindak dan tertawa sinis, "Apa yang kukatakan tadi tentunya engkau sudah mendengar semua, bukan ?'

Mata Kun Hiap merentang tetapi tetap tak menyahut.

Hui Giok menarik napas, "Mengapa engkau diam saja ? Apakah engkau tak mendengar apa yang kuucapkan tadi ?"

Pada saat itu barulah Kun Hiap membuka suara. Dia sendiri merasa heran mengapa dapat bicara sedemikian tenangnya, "Engkau ,,.. menyisih sedikit." 

Hui Giok tertegun dan menyisih ke samping Tiba2 Kun Hiap menekan dinding karang dan terus melesat keluar. Hui Giok cepat menerkamnya tetapi luput, "Hai, hendak lari kemana engkau," teriaknya.

“Jangan pedulikan aku lagi !” teriak Kun Hiap. Begitu keluar dia lalu membiluk ke lain lorong.

"Jangan lari," kembali Hui Giok melengking.

Walaupun tahu kalau kepandaian Hui Giok lebih tinggi dan tentu tak mungkin dapat lolos, tetapi Kun Hiap tetap nekad untuk melarikan diri. Dia tak tahu akan lari kemana. Pokoknya, jangan sampai dia bertemu dengan Hui Giok lagi.

Tiba disebuah tempat dia lantas mendorong sebuah pintu batu. Dalam ruangan itu ternyata terang sekali dan ditengahnya terdapat sebuah patung manusia, Ah, patung Tian Put Biat. Ketika mendapatkan ruang itu tiada berpintu lain, Kun Hiap cepat2 hendak keluar lagi. Tetapi pada saat itu juga, Hui Giok sudah melesat tiba di muka pintu.

Kun Hiap cepat mundur dan masuk kedalam ruang lagi. Wajah Hui Giok tampak memberingas. Selangkah demi selangkah, maka ia maju menghampirinya.

"Berhenti!" teriak Kun Hiap dengan keras. Kemudian menunjuk pada patung Tian Put Biat, dia berseru, "engkau engkau masih punya muka masuk ke ruang ini

?”

Menurut arah yang ditunjuk Kun Hiap, Hui Giok berada pandang dengan patung mendiang ayahnya. Teringat akan perbuatannya selama ini, dia terkejut sekalidan tanpa disadari, mundur selangkah.

“Engkau. engkau telah melakukan perbuatin senista itu. Kalau engkau memang

anak anjing, bunuhlah aku supaya tidak ada saksi lagi!" kembali Kun Hiap berseru.

Memandang Kun Hiap, sampai beberapa saat baru dia tertawa hambar, "Kun Hiap," serunya,"kukira engkau dapat mengerti hatiku. Ternyata engkau juga tidak mengerti. "

"Baru sekarang ini aku tahu jelas bagaimana peribadimu," seru Kun Hiap dengan tajam.

"Bagaimana peribadiku?" 

"Sekarang aku percaya sepenuhnya bahwa engkau memang seperti ular berbisa!" seru Kun Hiap pula.

Mendengar itu Hui Giok gemetar dan berubah wajahnya. Beberapa saat kemudian baru kelihatan tenang lagi, tanyanya, "Coba jawablah pertanyaanku kali ini. Bagaimana sikapku terhadapmu?"

Mendengar pertanyaan itu Kun Hiap tertegun tak bisa ngomong. Memang nona itu bersikap baik sekali kepadanya. Tetapi merenungkan lebih jauh, dia memang telah diperalat oleh nona itu untuk melakukan satu hal yang menguntungkan kepentingannya {Hui Giok). Apakah yang begitu itu dapat diartikan kalau Hui Giok memikirkan kepentingannya?

"Engkau mengatakan kalau aku yang mencelakai sam-siocia," katanya dengan nada sarat "kemudian engkau suruh aku meminta kedua pusaka dari Biau-koh cianpwe sehingga menyebahkan Biau-koh cianpwe sampai kehilangan jiwa. Hal itu akan menyiksa hidupku selama-lamanya. Apakah begitu itu yang engkau katakan telah banyak berbuat kebaikan kepadaku?"

Wajah Hui Giok dari putih berobah legam dan akhirnya seperti wajah. besi yang menakutkan, "Dengan kata-katamu itu, engkau tak mau lagi bersama-sama aku?" katanya dengan tandas..

Kun Hiap tahu kalau kata2 nona itu suatu pernyataan dari keputus-asaan. Jika dia menjawab secara langsung, tentulah nona itu akan bertindak nekad.

Setelah merenung sejenak, dia menjawab, "Aku masih mempunyai beban berat untuk membalas sakit hati ayahku. Sehari sakithati itu belum terbalas, sehari aku merasa tak enak. Oleh karena itu kita terpaksa berpisah umuk melakukan

tujuan masing2."

Sekonyong-konyong Hui Giok tertawa aneh, serunya, "Bagus, jawaban yang bagus! Tetapi ketahuilah. Bahwa setiap benda yang kukehendaki, jika sampai gagal, bagaimanakah akibatnya?"

Kun Hiap menggigil. Dilihatnya mata nona itu memancarkan sinar berapi-api. Dia tak berani beradu pandang dan gelengkan kepala, "Entahlah, aku tak tahu.

Tetapi tak peduli engkau akan bagaimana, apa yang telan kuputuskan, tak mungkin berobah lagi."

Hui Giok tertegun sejenak, wajahnya yang membesi mulai kendor kembali, Dia menghela napas pelahan lalu menghampiri ke tempat Kun Hiap. Dia berhenti di hadapan pemuda itu. 

Menyerap bau harum yang ditebarkan dari tubuh Hui Giok dan menatap dekat wajahnya yang cantik, mau tak mau goyahlah hati Kun Hiap.

"Mungkinkah nona secantik Hui Giok ini akan melakukau perbuatan yang begitu durhaka? Ataukah di dunia ini ada seorang nona lain yang jahat tetapi kebetulan she, nama dan wajahnya mirip dengan Hui Giok?" hatinya menimang-nimang di antara percaya dan tidak. 

Bibir Hui Giok yang merah basah mulai bergetaran kata2, "Kun Hiap, apakah engkau benar-benar sampai hati tidak mempedulikan aku lagi?"

Benak Kun Hiap serasa berdenyut-denyut dau mata berkunang-kunang sehingga sesaat dia tidak dapat menjawab.

Tadi waktu bersembunyi di balik pintu-angin dan menyaksikan segala tingkah laku serta ucapan Hui Giok, Kun Hiap sudah menetapkan keputusan dalam hatinya. Tidak sudi lagi dia hidup bersama dengan seorang gadis cantik yang berhati ular berbisa.

Tetapi kini setelah berhadapan muka dengan gadis cantik itu yang dengan suara lemah lembut merayunya, goyahlah pendirian Kun Hiap. Dia tertegun tak dapat menjawab.

Memang Kun Hiap itu seorang pemuda yang tidak berpendirian teguh dan gampang berobah. Andaikata Hui Giok mau bersabar untuk melanjutkan rayuannya, kemungkinan besar Kun Hiap akan terpengaruh. Tetapi karena melihat Kun Hiap diam saja, Hui Giok mengira, diam Kun Hiap itu karena tetap pada keputusannya. Hui Giok geram dan gugup. Seketika wajahnya gelap lagi.

"Kun Hiap,” dia mendengus, "renungkanlah sejernih-jernihnya dulu, dalam hal apa aku telah melakukan kesalahan kepadamu. Apabila engkau sudah selesai merenungkannya deburlah pintu dan panggillah aku. Kalau engkau tak dapat mengha-yati dengan jelas, jangan harap engkau dapat keluar dari pintu ruang batu ini!"

Selesai berkata dia terus berputar tubuh, mengebutkan lengan bajunya ke belakang sehingga Kun Hiap terdorong mundur dua langkah. Sekali melesat keluar, pintu kamar yang juga terbuat dari batu tebal, menutup lagi.

Perobahan yang terjadi pada Hui Giok yang berusaha membujuk Kun Hiap, dari halus sampai kasar, berlangsung dengan cepat sekali. Sebelum Kun Hiap sempat menemukan kembali kesadaran pikirannya, tahu-tahu dia telah dilanda angin  kuat yang mendorongnya ke belakang. 

Kebutan lengan baju Hui Giok itu selain mendorong Kun Hiap ke belakang, pun telah meniup padam beberapa lentera Ting-beng-teng yang menerangi ruangan itu. Oleh karena itu ruanganpun menjadi gelap gulita.

Kun Hiap terkejut dan tegak termangu ditempat yang gelap itu. Tadi Hui Giok mengancam, kalau dia tak mau merobah keputusannya, jangan harap dia dapat keluar dari ruang yang gelap itu untuk selama-lamanya. Teringat hal itu, betapa mendelu hati Kun Hiap.

Dia lalu mengisar langkah dan pelahan-lahan menghampiri pintu. Dia hendak menghantam pintu dan berteriak memanggil Hui Giok. Tetapi baru setengah jalan tangan diangkat, entah bagaimana, dia hentikan dan pelahan-lahan diturunkan lagi.

Dia menghela napas lalu mendekap kepalanya dan diguncang-guncangkan seperti hendak memaksa diri untuk mencari penyelesaian.

Entah sudah berapa lama dia berada dalam keadaan yang gelap itu, dia tetap tak dapat mengambil keputusan apa2. Akhirnya dia berputar teguh, duduk bersandar pada pintu, Tanpa sengaja dia mengangkat muka dan astaga... dia sampai loncat berjingkrak.

Tak jauh di sebelah muka, tampak sepasang mata yang bersinar hijau gelap tengah memandangnya. Dan lebih lanjut, diapun tahu mata siapakah itu.

Setelah menelan airliurnya, dia serentak berseru menegur, "Hai siapakah itu?"

Tetapi tegurannya itu tiada terbalas. Ah, goblok benar aku ini, pikirnya. Jelas  yang berada dalam ruang gelap itu tiada lain orang kecuali dirinya sendiri. Tetapi mengapa sekarang bertambah dengan sepasang mata manusia yang begitu menyeramkan?

Pada lain saat tiba2 saja dia teringat akan sesuatu dan hatinyapun berdetak keras. Yang jelas, dalam ruang itu terdapat patung dari Tian Put Biat, suami Biau-koh dan ayah dari ketiga taci-beradik Tian. Patung itu dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai orang hidup. Dan karena mirip dengan orang hidup maka waktu Koan Sam Yang masuk kedalam ruang itu, dia sampai terkejut dan melankan diri.

"Apakah... apakah patung itu dapat hidup kembali?” tanyanya dalam hati. Walaupun tahu kalau hal itu mustahil akan terjadi namun tak mau menggigillah hati Kun Hiap karena merasa seram sekali.

Beberapa saat kemudian karena sepasang mata itu masih tetap terpancang 

ditempatnya, nyali Kun Hiap mulai timbul. Dia lalu menghampiri kedekat patung. Dia ulurkan kedua tangan untuk merabah patung. Dan saat itu dua titik benda bersinar kebiru-biruan itu memang sepasang mata. Tetapi bukan mata orang melainkan mata dari patung itu.

Kun Hiap menghela napas longgar. Sudah bertahun-tahun Tian Put Biat meninggal, tetapi dia tetap meninggalkan bayangan yang menyeramkan orang. Dapat dibayangkan betapa kewibawaannya dahulu ketika dia masih hidup. Dan dia memiiiki kepandaian yang luar biasa saktinya. Wa-tak Hui Giok yang ganas dan kejam, kemungkinan memang warisan dari ayahnya. Hanya bedanya kalau Tian Put Biat itu menyeramkan tetapi kalau Hui Giok itu cantik menyenangkan hati.

Tanpa terasa tangan Kun Hiap meraba kepala patung itu dan dia masih terlongong-longong. Pikirannya kacau karena tak tahu bagaimana dia harus bertindak. Tiba2 karena khe-ki, dia ayunkan tangannya menampar kepala patung itu, plak.

Dia terkejut sendiri dan mundur beberapa langkah. Hai sepasang mata

patung itupun copot dan jatuh ke lantai.

Kun Hiap makin kaget dan buru2 maju menghampiri untuk memasang kembali sepasang gundu mata itu Alangkah kejutnya ketaka dia melihat patung itu telah berkisar setengah meter ke samping. Tempat bekas patung itu terbuka sebuah lubang dan sepasang gundu mata tadi pun jatuh ke dalam lubang itu.

Ketika Kun Hiap menunduk hendak mengambil gundu mata itu, di dalam lubang itu samar-samar seperti memancarkan sinar cahaya. Sementara gundu mata itu setelah bergelundungan sedalam dua meter lalu berhenti. Dengan begitu menandakan kalau dasar lubang itu dalamnya lebih kurang dua meter.

Kun Hiap tertarik. Ingin dia mengetahui apa yang terdapat di bawah lubang. Dia lalu meluncur turun ke dasar lubang. Saat itu dia baru tahu kalau sinar tadi memancar dari arah muka. Menurutkan sinar itu barulah Kun Hiap tahu kalau sinar itu berasal dari sebuah pintu. Di dalam pintu itu terdapat penerangan yang terang dan sinar tadi menyusup keluar melalui cela-cela daun pintu.

Kun Hiap maju menghampiri, mendorong pintu. Pintu itu terbuat dari batu tetapi sekali do-rong terus terbuka. Apa yang dilihatnya dalam ruang itu, membuatnya menahan napas.

Sebuah ruang batu seluas satu tombak persegi, pada keempat sudut ruang dipasangi dengan lentera Tiang-beng-ting. Sebenarnya sinar lentera itu tak berapa gemilang, tetapi yang menyebahkan sinar lentera itu menjadi gilang 

gemilang tak lain karena ruang itu berisi penuh dengan permata berlian yang berkilau-kilauan menyilaukan mata.

Kun Hiap melangkah masuk. Dia menjemput ke dalam baskom emas dan sejemput permata berada dalam genggamnya. Setelah tangan terbuka, butir2 permata itu berhamburan ke dalam baskom kencana lagi dengan bunyi yang meng-gemerincing nyaring. Dia hampir tak percaya apa yang disaksikan dalam ruang itu. Beraneka ragam emas permata, ratna mutu manikam dan bermacam macam zamrud yang tidak ternilai harganya. Seumur hidup belum pernah dia menyaksikan harta permata yang sedemikian banyaknya.

Bagi orang yang berhati serakah, tentulah akan silau melihat harta karun sedemikian besarnya itu. Dan tentu akan gopoh membenahinya. Tetapi Kun Hiap tidak demikian. Setelah melihat sejenak dia lalu beralih pandang memeriksa keadaan ruang itu lebih lanjut. 

Pandang matanya segera terpancang pada sebuah benda kecil yang terletak di atas meja kayu jati. Benda itu berwarna hitam mengkilap dan berbentuk seekor kuda, terbuat dari besi.

Serentak dia teringat akan beberapa kuda besi semacam itu yang pernah diperoleh dari Istana Tua tempo hari. Kemudian benda itu, demi menolong keselamatan jiwanya dari ancaman Koan Sam Yang, oleh Tian toa-siocia telah diberikan kepada orang she Koan itu.

Kuda besi yang berada di atas meja itu juga serupa bentuknya dengan kuda besi yang pernah diperolehnya tempo hari. Hanya bedanya, yang sekarang ini jauh lebih besar, panjangnya lebih kurang 30 senti.

Setelah melampaui beberapa gunduk timbunan permata, Kun Hiap menghampiri meja itu dan ulurkan tangan hendak mengambil. Uh, ternyata kuda besi iyu  berat sekali sehingga tak kuat diangkat dengan satu tangan. Dia lalu gunakan kedua tangan. Tetapi baru, hendak mengangkat, tiba-tiba ia melihat permukaan meja itu terdapat ukiran huruf yang berbunyi : Jangan sembarangan mengangkat.

Kun Hiap terkejut dan menarik pulang ta-ngannya tetapi kuda besi itu sudah terlanjur bergerak-gerak, busss perut kuda itu menyembur alap kuning yang

harum baunya. Muka dan kepala Kun Hiap terlingkup asap kuning itu.

Seketika kepalanya terasa pening, mata berbinar-binar dan kaki lemas. Asap itu makin tebal, bluk Kun Hiap rubuh di atas baskom besar berisi permata merah

dan tak berkutik lagi.

Asap kuning itu seperti telah tersedot semua oleh Kun Hiap karena tak ada 

sisanya lagi. Dengan meram2 ayam, Kun Hiap kehilangan kesadaran pikirannya.

Tadi waktu Kun Hiap masih bingung dalam ruangan gelap, dia meraba pintu dan berdiri di situ. Kebetulan saat itu Hui Giok juga berdiri di luar pintu.

Karena sama2 tak bicara maka keduanya tak tahu kalau mereka hampir berdiri merapat dan hanya teraling pintu batu.

Setelah menunggu beberapa saat tak kedengaran Kun Hiap mendebur pintu memanggilnya maka Hui Giok marah. Dengan susah payah dia menjerat Kun Hiap tetapi akhiruya tetap gagal. Sudah tentu marahnya bukan kepalang.

Dia segera lari ke luar. Biarlah Kun Hiap tertutup dalam ruang batu itu untuk selama-lamanya. Tetapi baru tiba di mulut gua, dari luar lembah terdengar derap kuda lari mendatangi. Dia terkejut, Siapa mereka? Apakah masih ada lain tokoh yang datang hendak membuat perhitungan dengan mamanya karena mendengar kalau mamanya telah tak punya kedua pusaka itu?

Belum sempat ia menemukan dugaannya, terdengar pula dua ekor kuda lari kencang mendatangi. Dan pada lain saat, terdengar suara seorang wanita melengking nyaring. “Mengapa engkau mengejar aku? Engkau engkau sudah

mencelakai aku sampai belasan tahun, apakah masih belum puas?"

"Dengarkanlah kata-kataku dulu, engkau harus mau mendengarkan omonganku dulu", terdengar seorang lelaki dengan suara parau berseru.

Tertariklah hati Hui Giok. Cepat dia melesat ke luar lembah. Dilihatnya di luar lembah terdapat dua ekor kuda tegar rubuh di tanah dan tak jauh dari tempat kuda itu, tampak seorang wanita berdiri bersandar pada segunduk batu besar, menuding ke arah seorang lelaki setengah tua dan berteriak, "Jangan mendekatiku!"

Lelaki yang maju selangkah terpaksa mundur lagi setelah mendengar bentakan itu, "Baik, dengarkanlah pembicaranku. Apakah engkau mengizinkan aku untuk menceritakan sejelas-jelasnya?"

Wajah wanita itu pucat seperti mayat tetapi kedua matanya memancarkan sinar dendam kebencian yang menyala-nyala. Dengan suara tajam ia brseru,”Tak perlu banyak bicara lagi. Engkau telah membunuh dia, engkau gunakan cara yang keji untuk membunuhnya lalu engkau mengelabuhi aku sampai bertahun- tahun. ”

Makin lama sepasang mata wanita itu makin berapi-api. Dan sekali tangannya berayun sebuah benda mengkilap melayang. Karena cepatnya dia bergerak 

sampai Hui Giok tak dapat melihat benda apa yang diayunkan itu.

Lelaki itu miringkan tubuh dan cepat sekali dia sudah mencabut pedangnya. Pedang yang memancar sinar emas itu diangkat ke atas seraya berseru, "Engkau harus dengarkan omonganku!"

Ternyata benda yang dilontarkan wanita itu adalah sehelai sutera putih. Sutera putih itu telah tertabas kutung oleh pedang si lelaki dan pedang itupun sudah berhenti.

Pedang itu memang sepintas seperti pedang biasa tetapi tiada bergigir dan pada batangnya berbentuk seekor naga dengan lima cakar, menimbulkan perbawa yang dahsyat sekali-

Sebenarnya Hui Giok belum kenal siapa lelaki dan wanita setengah baya itu. Dan tak tahu apa yang telah terjadi dengan mereka. Tetapi setelah melihat bentuk naga emas pada batang pedang dia segera mengenali kalau lelaki itu tentulah Kim-liong-kiam-khek Wi Ki Hu. Dan wanita itu isterinya yang bernama Soh-jiu- sian-cu Tong Wan Giok.

Hui Giok dengan hati2 menyelinap bersembunyi dibalik segunduk batu besar untuk mengikuti apa yang akan terjadi dengan mereka. Ia menahan napas agar jangan sampai diketahui mereka.

Tong Wan Giok tertawa rawan, "Ilmupedang yang hebat sekali. Kepandaianmu lebih tinggi dari dia dan dari aku. Kalau duapuluh tahun yang lalu engkau dapat membunuhnya, mengapa sekarang engkau tak mampu membunuh aku? Perlu apa engkau masih bersangsi ? Hayo, kalau engkau berani, aku takkan membalas!"

Dahi Wi Ki Hu berombak, menandakan kalau hatinya berduka sekali. Ujung pedang ditukikkan ke tanah dan berkatalah dia dengan nada sarat, "Wan Giok, apa engkau kira aku tega membunuhmu ?"

Tong Wan Giok memperdengarkan ketawa sinis dan berseru nyaring, "Tak perlu engkau berpura-pura. Waktu engkau membunuh dia sama dengan engkau membunuh aku. Duapuluh tahun lamanya aku berkumpul dengan engkau apa engkau kira aku bahagia ? Aku hanya seonggok mayat hidup yang sudah tak berjiwa lagi. Ha, ha, sekarang setelah tahu keadaannya, setelah tahu kalau dia mati ditanganmu, akupun sudah tak ingin hidup lagi, hayo, lekas engkau turun tangan!"

Wajah Wi Ki Hu makin tak sedap dipandang. Tiap patah kata yang diucapkan Tong Wan Giok itu bagaikan ujung belati yang menusuk ulu hatinya. Dia kira 

selama duapuluh tahun itu Tong Wan Giok hidup dengan bahagia. Kini baru dia menyadari bahwa dalam mata wanita yang dicintainya, dia sama sekali tak mempunyai arti sedikitpun juga.

Wi Ki Hu tegak seperti sebnah patung Saat itu merupakan saat yang paling menyedihkan dalam hidupnya. Dalam dunia persilatan dia telah berhasil  mendapat nama yang harum, Tetapi dia gagal untuk mendapatkan tempat dalam hati wanita yang dicintainya.

Beberapa saat kemudian, barulah dia mengangkat kepala dan berkata dengan terputus-putus, "Jika begitu, aku... aku telah menyiksa engkau selama....

duapuluh tahun. Bunuhlah aku untuk membalaskan sakithatinya !"

Wi Ki Hu terus melemparkan pedangnya ke hadapan TongWan Giok. Dia menggunakan tenaga-dalam yang hebat sehingga pedang itu amblas ke tanah dan hanya kelihatan tangkainya saja.

Tong Wan Giok mencabut pedang itu lalu menudingkan ujungnya kearah Wi Ki Hu, "Waktu engkau membunuhnya, apakah menggunakan pedang ini ?"

Dengan sedih Wi Ki Hu mengangguk, "Ya, memang dengan pedang itu kubunuhnya. Dialah yang mendesak aku untuk menggunakan senjata"

Berteriaklah Tong Wan Giok makin nyaring, "Engkau gunakan pedang ini untuk membunuhnya?"

"Katakanlah begitu," kata Wi Ki Hu. "Waktu kutinggalkan dia, walaupun dia belum mati tetapi waktu Wi sute kusuruh menengoknya ternyata dia sudah binasa. Ya, akulah yang menusuknya hingga binasa."

Tong Wan Giok maju dua langkah seraya majukan ujung pedang ke dada Wi Ki Hu. Wi Ki Hu pucat wajahnya tetapi tak mau bergerak menghindar.

"Engkau mengangkat saudara dengan dia, Dia pernah menolong engkau dari kepungan musuh. Pada waktu mengatakan tentang dirimu dihadapanku, dia selalu memuji dan mengagumi engkau. Sungguh tak kira engkau ... engkau "

Airmata Tong Wan Giok berderai-derai seperti banjir. Dia benci sekali kepada Wi Ki Hu Sebenarnya tak ingin dia menangis dihadapan musuh itu. Tetapi

teringat akan hari2 bahagia bersama Can Jit Cui dahulu dan kemudian kebahagiaan itu akhirnya lenyap untuk selama-lamanya tak kuasa lagi dia menahan airmatanya. Kemudian dia menghela napas.

"Engkau manusia yang berhati binatang, mengapa sampai hati untuk 

menurunkan tangan sekeji itu ?" serunya pula.

Wi Ki Hu tetap tak menjawab dan hanya termangu2 memandangnya. Sinar matanya tidak membayangkan ketakutan dan rasa sesal. Bahkan sepertinya dia merasa tak berbuat sesuatu yang memyalahi batinnya.

Tong Wan Giokpun mengangkat pedang dan hendak diayunkan ke leher Wi Ki Hu. Sekali tabas, tentulah Wi Ki Hu akan menjadi setan tanpa kepala. Tetapi entah bagaimana ketika mata mereka saling beradu pandang, Tong Wan Giok terkesiap karena melihat sinar mata Wi Ki Hu yang begitu tenang dan bangga, seperti orang yang tak bersalah.

Peding dihentikan dan berserulah Tong Wan Giok dengan dingin, "Dalam menjelang maut, apakah engkau tak merasa menyesal?"

Wi Ki Hu tertawa rawan, “Wan Giok, selama ini aku tak merasa telah melakukan hal yang menyalahi batinku."

"Hm," dengus Tong Wan Giok, "kata orang, pada saat menjelang kematian, orang tentu akan bicara dengan baik budi. Tetapi engkau tidak. Hal itu menandakan bahwa engkau memang berdarah binatang."

Wi Ki Hu tidak membantah melalnkan tertawa hambar, "Sebenarnya aku hendak menceritakan peristiwa itu kepadamu. Terserah saja engkau mau percaya atau tidak. Tetapi sekarang ah . .. . .

Daging pipinya berombak-ombak, menandakan kalau batinya berduka sekali. Nada suaranya pun makin lama makin pelahan, tetapi sekarang kutahu

selama duapuluh tahun ini walaupun resminya kita ini menjadi suami isteri ....

tetapi nyatanya engkau tetap menganggap aku sebagai orang luar. Ha, ha, peristiwa itu , tak perlu kuterangkan lagi."

"Waktu itu ketika jejaknya lenyap, engkau telah mengambii aku sebagat isteri agar aku terhindar dari malu. Untuk itu aku memang berterima kasih. Selama duapuluh tahun ini aku pun selalu bersikap sebagai orang yang berterima kasih kepadamu. Bahwa selama duapuluh tahun ini engkau tidak pernah menjamah tubuhku, sungguh makin menambah rasa kagumku kepadamu. Tetapi karena sekarang telah kuketahui di mana dia berada dan telah jelas pula bahwa engkau yang membunuhnya, perlu apa engkau masih berbelat belit hendak memutar- balikkan kenyataan?"

Wi Ki Hu mengangkat kepala pelahan, "Benar, memang tak berguna sedikitpun juga, Lekaslah engkau turun tangan, aku takkan membalas!" 

Mata Tong Wan Giok yang memancar sinar dendam kebencian itu makin  membara Dan ketika teringat akan hari2 yang bahagia dengan Cia Jit Gui dahulu, kebenciannya kepada Wi Ki Hu makin meluap, Pedangnyapun mulai bergerak maju.

Sebagai tokoh persilatan ternama, Wi Ki Hu sudah pernah mangalami berpuluh pertempuran yang dahsyat. Dan tadi dia sendirilah yang menyerahkan pedang Kim-liong-kiamnya kepada Tong Wan Giok. Tetapi ketika ujung pedang itu makin mendekati tenggorokannya, mau tak mau wajahnyapun berubah.

Apa yang terjadi di antara kedua suami isteri itu tdah diketahui dan didengar jelas oleh Hui Giok yang bersembunyi di balik gunduk batu besar. Ia tahu bahwa walaupun Tong Wan Giok menggerakkan pedangnya dengan pelahan tetapi apabila bersarang pada tenggorokan korbannya, tentulah Wi Ki Hu akan melayang jiwanya.

Timbul pergolakan dalam hati Hui G!ok akan dibiarkan saja Wi Ki Hu mati ataukah aakan dicegahnya. Kalau ia ke luar untuk melerai, apakah keuntungannya? Apakah dia dapat memanfaatkan peristiwa itu untuk mempertemukannya dengan Kun Hiap?

Asuhan dan didikan dalam lingkungan rumah tanggauya telah menyebabkan Hui Giok tumbuh merijadi seorang gadis yang egois. Setiap menghadapi persoalan, bukan dengan dasar menilai baik atau buruknya melainkan atas dasar perhitungan menguntungkan atau merugikan kepada dirinya.

Pada saat dia masih sangsi tiba2 dari belakang terdengar bunyi memberosot. Dia terkejut.

Dan ketika berpaling dia makin terkejut lagi Entah kapan dan bagaimana caranya, ternyata Kun Hiap sudah muncul di belakangnya. Tetapi ada suatu hal yang aneh pada diri anakmuda itu. Dia tidak memandang kepada dirinya (Hui Giok) tetapi matanya memandang lurus ke depan.

Hui Giok terkesiap ketika Kun Hiap melangkah dengan cepat sekali. Sekali bergerak sudah lima langkah menuju ke tempat Tong Wan Giok dan Wi Ki Hu.

Saat itu ujung pedang Tong Wan Giok hanya tinggal dua inci dari tenggorokan Wi Ki Hu.

Ketika mendengar langkah orang, dia berpaling.

Betapa kejutnya ketika yang muncul itu Kun Hiap. Serentak dia berseru, "Engkau juga datang! Apakah engkau hendak membalas dengan tanganmu sendiri?" 

Memang wajah Kun Hiap mirip sekali dengan ayahnya. Maka ketika pertama kali dia mengembara ke luar, banyak orang telah keliru menyangkanya sebagai Can Jit Cui. Dan karena itu maka pelahan-lahan Kun Hiap baru tahu tentang asal usul dirinya.

Karena saat itia perasaannya sedang tegang sekali, begitu melihat Kun Hiap, Tong Wan Giok telah menganggap Kun Hiap itu sebagai Can jit Cui.

Wi Ki Hu juga melihat kehadiran Kun Hiap. Dia menghela napas, "Wan Giok, itu Kun Hiap puteramu sendiri. Apakah engkau lupa?"

Sehabis berkata tadi, Tong Wan Giok menarik pedangnya lalu melangkah menghampiri Kun Hiap dan menyerahkan pedang itu. Pada saat Wi Ki Hu memperingatkan tentang kekhilafannya, barulah Tong Wan Giok sadar dan berteriak,"Hiap-ji, engkau! Maiiyingkirlah dan lihatlah, akan kubunuh musuh ayahmu itu dengan tanganku sendiri!"

Kuatir Kun Hiap yang tak tahu persoalannya akan mencegah maka Tong Wan Giok menyuruhnya menyingkir.

Tetapi tampaknya Kun Hiap seperti tak tahu kalau dihadapannya itu adalah mamahnya. Dia tetap berjalan lurus kemuka dan cepat sekali sudah tiba di tengah kedua orang itu. Rupanya dia tak mau berhenti dan tetap ayunkan langkah kemuka.

"Berhenti!" teriak Wi Ki Hu yang terkejut dan curiga, sambil menerkam bahu anakmuda itu.

"Jangan menyentuhnya," teriak Tong Wan Giok terus menusuk lambung Wi Ki Hu miringkan tubuh sedikit sehingga ujung pedang lewat di sisinya, sedang terkamannya masih mengarah bahu Kun Hiap.

Crek, Kun Hiap tertegun ketika bahunya diterkam. Tiba2 dia memekik keras dan aneh sepetrti kerbau menguak dan lalu meronta!'

Entah bagaimana, Wi Ki Hu rasakan dari bahu Kun Hiap memancarkan tenaga- sakti yang teramat kuat, menolak tangan Wi Ki Hu sehingga cengkeramannya terlepas dan dirinyapun tertolak mundur selangkah.

Pada saat itu Tong Wan Giok menusuk lagi seraya berseru, "Hiap-ji, lekas pergi! Bangsat iin masih belum puas mencelakai ayahmu dan masih hendak mencelakai engkau juga!" 

Setelah berhasil mendorong Wi Ki Hu, Kun Hiap tertegun sejenak lalu berjalan lagi. Seruan mamanya tadi seolah tak dihiraukannya.

Baru saja dapat berdiri tegak sudah disambut tusukan Wan Giok, Wi Ki Hu terkejut tetapi tak gugup. Dia rebahkan tubuh ke samping lalu menekan tanah dan melenting ke udara seraya berteriak, “Berhenti! Rupanya Hiap-ji telah tertimpah sesuatu yang aneh !'

Saat itu Tong Wan Giok mengejar dan memakinya. "Bah, engkau manusia berhati binatang. Tadi engkau jelas hendak membunuhnya, sekarang pura2 memikirkan keadaannya?"

"Wan Giok, engkau ...," belum sempat Wi Ki Hu menyelesaikan kata-katanya, dia sudah diserang bertubi-tubi oleh pedang Tong Wan Giok. Terpaksa dia menghindar sambil mundur dan tak sempat untuk melanjutkan kata-katanya.

Dalam beberapa kejab saja Tong Wan Giok. sudah melancarkan tujuh kali serangan. Tetapi ilmupedang yang dimainkan itu adalah ilmupedang Kim-liong- kiam-hwat yang diajarkan Wi Ki Hu, sudah tentu Wi Ki Hu faham sekali dan mengerti bagaimana harus menghadapi. Walaupun serangan Wan Giok itu gencar dan dahsyat, tetap Wi Ki hu dapat menghindarinya.

Setelah lewat tujuh serangannya tak memberikan hasil, Tong Wan Giok kesal hati dan tiba-tiba hentikan serangannya, "Tadi engkau mengatakan kalau rela mati dibawah pedangku. Mengapa sekarang engkau berusaha menghindar ?

Setelah berdiri tegak, Wi Ki Hu menjawab, "Wan Giok, apapun yang terjadi tetapi kuanggap Hiap-ji itu sebagai anakku sendiri. Apakah engkau tak memperhatikan bahwa tingkah lakunya tadi tidak sewajarnya ?"

Tong Wan Giok tertawa dingin, "Kata-katamu itu sedap sekali didengarnya. Dia tertimpa malapetaka apa saja, aku sendiri dapat merawatnya, tak perlu engkau ribut2!"

Tetapi walaupun begitu Tong Wan Giok juga tetap menguatirkan keselamatan puteranya, Maka sambil berkata, dia berpaling kearah Kun Hiap.

Saat itu Kun Hiap sudah melesat dua tiga tombak jauhnya. Pada waktu Tong Wan Giok berpaling memandangnya, dia melihat sesosok bayangan meluncur cepat kearah Kun Hiap. Tong Wan-Giok terkejut dan cepat membentaknya, "Hai sia-pa itu !"

Tetapi bayangan itu tak berhenti oleh karena itu Tong Wan Giokpun tak mau banyak pikir lagi terus memutar pedang Kim-liong-kiam dan dilontarkan kearah 

bayangan orang itu.

Orang itu tertegun lalu kebutkan lengan baju dan melibat tangkai Kim-liong- Kiam, Saat itu Tong Wan Giokpun sudah sempat melihat bahwa bayangan itu ternyata seorang dara yang cantik. Dan dengan masih membawa Kim-liong-kiam gadis itu masih terus melaju kearah Kun Hiap. Sekali lengannya berayun maka pedang itupun melayang menancap kesebatang pohon besar. Dan selekas tiba di hadapan Kun Hiap, nona itu terus menerkam bahu Kun Hiap.

Ternyata nona itu bukan lain adalah Tian Hui Giok yang bersembunyi dibalik gunduk batu besar tadi. Begitu Kun Hiap .muncul, bukan melainkan Wi Ki Hu  saja yang merasa ada sesuatu yang tak wajar pada diri anakmuda itu, pun Hui Giok juga punya anggapan begitu. Bermula dia mengira kalau Kun Hiap memang pura2 bertingkah begitu karena tercengkam oleh rasa ketegangan berhadapan dengan Wi Ki Hu, pembunuh dari ayahnya. Tetapi pada lain saat dia merasa tingkah laku Kun Hiap itu memang aneh dan tak wajar. Maka diapun terus melesat keluar dan mengejar Kun Hiap.

Karena belum kenal pada Hui Giok maka Tong Wan Giok cemas. Lebih cemas lagi ketika melihat Hui Giok hendak menerkam bahu Kun Hiap. Maka tanpa menghiraukan Wi Ki Hu lagi, dia terus bertindak
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar