Kuda Besi (Kuda Hitam dari Istana Biru) Jilid 11

jilid 11

Hui Yan meletakkan posisi tubuh Kun Hiap di atas punggung keledai supaya enak. melihat keadaan si anakmuda yang lunglai tak sadarkan diri, diam2 Hui Yan mengeluh dalam hati.

Dia lantas naik dan duduk di belakang Kun Hiap. Walaupun membawa dua orang tetapi keledai itu tetap lincah sekali larinya . Koan Sam Yang lari di samping keledai.

Memang selama dalam perjalanan, mereka banyak berjumpa dengan orang- orang persi!atan. Orang2 persilatan itu tentu berhenti dan memberi hormat. Setelah Koan Sam Yang dan keledainya jauh, barulah mereka beramai bergerak lagi.

Tetapi ada juga yang tak begitu kenal, mereka pura tak tahu dan menyingkir. Sedang tokoh persilatan yang ternama terpaksa baru menyapa dengan tegur salam.

Setiap tokoh persilatan tahu sampai di mana kelihayan Koan Sam Yang itu, Sudah tentu mereka tak berani cari penyakit.

Selama menempuh perjalanan, bermula da-lam beberapa hari Koan Sam Yang masih cemas kalau orang tua berpenyakitan itu akan mengejar. Tetapi setelah melintasi sungai Hong-ho dan be-ngawan Tiangkang kemudian tiba di wilayah Kang-lam, waktunya malah hampir sebulan dan tetap tak melihat bayang orang tua itu, barulah hatinya longgar.

Pada hari itu menjelang sore mereka berja-lan di sepanjang tepi lembah sungai kecil sampai setengah li jauhnya, baru mereka melihat sebuah jembatan batu.

Setiap jembatan tentu dibawahnya terdapat anak sungai yang mengalirkan air. Hal itu memang umum di wilayah Kanglam. Koan Sam Yang menuju ke jempatan kecil itu, maksudnya hendak memberi minum keledainya.

Waktu tiba di tengah jembatan, kebetulan di bawah jembatan sedang melintas sebuah pera-hu. Tukang perahunya mendayung dengan ga-lah bambu. Tetapi entah bagaimana tiba2 galah bambu itu ditusukkan ke muka Hui Yan..

Selama sebulan ini, luka Hui Yanpun ma-kin sembuh. Tusukan galah bambu itu dengan mudah dapat dihindarinya. Tetapi dia terkejut ketika pada ujung galah itu terselip secarik kertas. Cepat sekali dia menyambar kertas itu dan galah itupun ditarik si tukang perahu ke bawah lagi.

Tukang perahu itu memakai topi nelayan yang berdaun lebar sehingga menutupi 

mukanya.. Dan perahu melaju cepat sekali sehingga dalam beberapa kejab sudah membiluk pada tikungan dan lenyap dari pandang mata.

Pertama Hui Yan mengangkat muka. Dilihatnya Koan Sam Yang berjalan di depan dan tak mengetahui peristiwa itu. Maka dara itu baru be-rani membuka gulungan kertas itu. Sebuah surat yang berisi huruf2 kurus, berbunyi;

Menunggu di pohon itu tepi sungai kita nanti berjumpa.

Surat itu tanpa tanda tangan. Tetapi meli-hat bentuk tulisan itu, diam2 Hui Yan tergerak hatinya. Dia melepas pandang ke muka tetapi tukang perahu itu sudah lenyap.

Hui Yan menyimpan surat itu. Setelah melintasi jembatan dan makan malam," barulah dia berkata, "Koan tecu, silakan berjalan dulu, nanti kususul."

"Kenapa?" tanya Koan Sam Yang berpaling.

Hui Yan banting2 kaki, "anak perempuan yang sudah dewasa, kalau bilang ada perlu, papa mama sendiri juga tak dapat bertanya melilit. Perlu apa engkau mau tahu?"

Koan Sam Yang meringis. Selama sebulan dalam perjalanan itu memang Hui Yan bersikap baik sekali. Oleh karena itu kecurigaannya terhadap dara itupun mulai berkurang.

"Baik," dia mengangguk, "kutunggu di sebelah muka. Jangan terlalu lama." "Tentu, masa aku tak dapat menyusul," kata Hui Yan.

Setelah Hui Yan turun dari keledai, baru Koan Sam Yang menceplak keledai dan membawa Kun Hiap melanjutkan perjalanan.

Setelah melihat Koan Sam Yang dengan keledainya sudah jauh, barulah Hui Yan bergegas menyusur tepi sungai dan tak berapa lama melihat sebatang pohon liu yang tumbuh di tepi sungai itu.

Dahan dari pobon liu yang rindang daunnya itu bergeliatan menaburkan bayang2 pada permukaan air.Di bawah pohon itu tampak seseorang sedang duduk  dengan santai, Cepat sekali Hui Yan mengenalnya sebagai orang tua yang berpenyakitan itu. Dia terbeliak kaget.

Orang tua itu menggapaikan tangannya, "Kemarilah!" 

Jarak Hui Yan dengan orang tua berpenya-kitan itu masih enam tujuh tombak. Tetapi ucapan orang tua itu seperti terngiang jelas sekali di telinga si dara.

Hui Yau cepat melesat, Dengan beberapa loncatan dia sudah tiba di samping orang tua itu tetapi tak berani bicara.

Sejenak orang tua itu memandang Hui Yan dan berkata, "Apakah lukamu sudah sembuh sa-ma sekali?"

Hui Yan menghela napas. "Ya, sudah."

"Tempo hari kubilang, engkau hanya boleh menjenguk Kun Hiap. Tetapi mengapa sampai sebulan lamanya? Dari pesisir utara sungai meman-dang ke pesisir selatan, apakah masih belum cukup?"

Hui Yan tundukkan kepala tak bicara. Orang tua itu pelahan-lahan berbangkit, "Jangan cari perkara lagi, ikutlah aku."

"Cianpwe," seru si dara, "menilik gelagat-nya, Koan Sam Yang memang hendak membawa Kun Hiap ke daerah Biau-cang."

"Ya, memang," sahut orang tua itu, "Koan Sam Yang re!a menerima hinaan dunia persilatan. Dia hendak masuk menjadi murid ToK Liong cuncia. setelah dapat memiliki ilmu Sip-sing-sin-kang, dia hendak menyedot tenaga-sakti dari tubuh Kun Hiap."

Dengan napas terengah engah tegang, Hui Yan berseru, "Cianpwe, tahu kalau dia akan melakukan rencana begitu jahat, mengapa engkau tidak mencegahnya?"

Orangtua berpenyakitan itu tersenyum, "Jangan kuatir, ilmu kepandaiannya memang hebat sehingga setiap orang persilatan takut kepadanya. Dan yang jelas, dia tentu tak akan membiarkan Kun Hiap sampai diketahui oleh anakbuah Tok Liong cuncia. Sebenarnya Kun Hiap aman kalau dibawanya itu. Mengapa engkau harus kuatir?"

"Tetapi bagaimana kalau dia sampai dapat-mempelajari ilmu Sip-seng-sin-kang?" tanya Hui Yan.

Orang tua itu menepuk pelahan bahu si da-ra, "Apa engkau kira ilmu Sip-seng- sinkang itu mudah dipelajari? Kemungkinan sampai nanti Koan Sam Yang akan menderita siksaan, belum tentu dia sudah bisa mempelajari ilmu itu. Taruh kata dia berhasil, juga paling tidak harus makan waktu selama dua atau tiga tahun lagi. Dalam waktu dua tiga tahun itu, kita kan sudah berhasil menemukan ke 

delapan biji kuda besi itu. Pada wak-tu itu kiranya masih belum terlambat kalau kita ke Biau-cang utuuk mencari Kun Hiap. Untuk saat ini biarlah Kun Hap berada padanya saja."

Walaupun apa yarg diucapkan orang tua itu memang beralasan sekali namun Hui Yan tetap cemas. Sejenak terdiam, ia berkata pula, "Ah, dia hanya seorang

diri "

"Sekalipun engkau menemaninya, dia toh takkan tahu. Bukankah hal itu malah akan menga-baikan urusanmu sendiri. Lekaslah cari ji-cimu dan minta kuda besi yang ada padanya. Menurut katamu, engkau sendiri sebenarnya juga punya satu biji tetapi waktu engkau terluka, barang itu telah hilang. Sudah tentu diambil  oleh jicimu i-tu,"

Rupanya Hui Yan masih enggan, katanya, "Di mana jiciku, bagaimana aku ....

tahu?"

"Uh, sudahlah. jangan banyak alasan lagi," kata orang tua, "kudengar berita orang bahwa ji-cimu saat ini sudah tiba di Kanglam, bersama dengan Tong Wan Giok. Rupanya hendak menuju ke gunung Ki-lok hong, minta bantuan pada ne- nek tua yang menetap di situ. Kalau engkau cepat-cepat pergi, tentulah engkau dapat berjumpa dengan mereka,"

Mendengar itu Hui Yan tak dapat berdalih lagi. Namun teringat keadaan Kun Hiap yang kesadaran pikirannya hilang dan ditawan oleh Koan Sam Yang yang membawanya ke Biau-ciang, ra-sanya beratlah kaki dara itu untuk melakukan perintah orang tua berpenyakitan. 

Tiba2 wajah orang tua itu berobah sarat dan membentaknya, "Lekas berangkat!"

Dia berdiri berhadapan Hui Yan. Tanpa menggerakkan tangan, tahu2 dari lengan bajunya menghamhur setiup tenaga dahsyat sehingga Hui Yan mencelat ke ud  ra.

Ih dara itu mendesis ketika melayang turun dan dapatkan dirinya sudah

berada di lain seberang tepi sungai kecil itu.

"Cianpwe, kalau sampai terjadi sesuatu pada diri Kun Hiap, engkau . . , , " belum Hui Yan sempat menyelesaikan kata-katanya, orang tua itu sudah berputar   tubuh dan melesat pergi.

Hui Yan terkesiap kesima. Menilik gerakan orang tua yang sekali berkelebat sudah lenyap dari pandang maka jelas orang tua itu tentu seorang sakti sekali. Tetapi anehnya, sampai sekarang, ia belum tahu siapakah sesungguhnya orang 

tua itu.

Karena orang tua itu sudah membuat ren-cana tertentu, apa boleh buat, tiada lain pilihan bagi Hui Yan kecuali harus melakukan perintahnya, Dia akan menuju ke telaga Thay-ou untuk mencari ji-cinya (Hui Giok). Sebenarnya dia enggan bertemu dengan taci yang berhati buruk itu.

Dia berjalan menyusur tepi sungai, Hatinya penuh dengan kesan dan pesan, pahit dan pedih. Kini sikapnya tidak lagi sebagai seorang yang lincah dan nakal, melainkan lebih bersifat pendiam.

Lebih kurang berjalan setengah li, dari arah muka terdengar suara burung berbunyi riuh rendah, macam ribuan ekor burung yang sedang pulang ke sarang.

Memandang ke muka, dilihainya di tepi su-ngai terdapat segunduk batu besar yang di atasnya diduduki oleh seorang imam, Anehnya, di sebelah imam itu tengah berkumpul lima atan enam jenis burung yang tengah terbang naik turun sem-bari tak henti-hentInya berbunyi riuh sekali. Ada yang hinggap di lengan baju imam itu, bahkan ada yang menclok di kepala imam itu.

Imam itu tak bergerak dan tak tampak akan berusaha untuk menghalau mereka. Malah mulutnya tak hentihentinya bercuit seperti menirukan bunyi burung2 itu.

Sudah tentu Hui Yan heran. Pelahan-lahan dia menghampiri. Setelah dekat baru dia melihat jelas bagaimana imam itu. Kulit imam itu hitam mengkilap, tubuh kurus kering, memberi kesan menyeramkan bagi pandang mata. Sepasang ma- tanya memancarkan sinar berapi-api. Waktu melihat Hui Yan, dia hanya dingin2 saja menatap sejenak dan tetap melanjutkan bermain-main dengan burung2 itu.

Justeru ilmu tenaga-dalam dari keluarga Tian itu adalah ilmu yang disebut Peh tia-tian-beng, cu-sim-toh-hun atau Ratusan-burung-serempak-berbunyi.

Melelapkan-perasaan mencabut nyawa.

Pelajaran pertama dari ilmu itu, adalah mempelajari berbagai jenis bunyi burung.

Melihat imam itu juga tengah mempelajari bunyi burung, diam2 tergeraklah hati Hui Yan. Serentak dia juga mengeluarkan bunyi burung kenari. Beberapa ekor burung kenari yang tengah beterbangan di depan imam itu, begitu mende-ngar bunyi dari Hui Yan, tiba2 terus terbang ke udara, Rupanya burung kenari itu lari ketakutan karena bunyi yang di keluarkan Hui Yan.

Imam itu deliki mata dan. membentaknya, "Pergi :."

Sebenarnya Hui Yan sendiri juga akan pergi. Tetapi karena dibentak Imam itu, 

dia malah tak mau pergi. Diapun balas deliki mata dan berseru, "Aku tak mau pergi, engkau mau apa?"

Mata imam itu terbeliak dan serentak berdi-ri. Hui Yan mengira kalau imam itu hendaki tu-run tangan, Tetapi di luar dugaan, setelah mengebutkan lengan jubahnya, imam itu terus melangkah pergi.

Beratus-ratus burung itu makin berbunyi riuh dan mengikuti terbang di sebelah si imam. Sudah tentu Hui Yan heran. Pikirnya, imam itu tentu bukan orang semharangan. Mengapa ia tak bertanya kepadanya.

Hui Yan cepatkan langkah menyusul kesam-ping imam itu dan bertanya. "Tolong tanya kalau ke telaga Thay-ou harus mengambil jalan yang mana?"

Dia sudah memperhitungkan. Kalau imam itu tak mengacuhkan, dia sudah siap dengan lain rencana,. Tetapi di luar dugaan imam itu menja-wab, "Telaga Thay- ou itu luasnya tiga puluh enam ribu meter. Tepi sebelah barat dengan sebelah timur berpisah ratusan li. Engkau hendak ke~telaga itu bagian yang mana?"

"Ke puncak Ki-lok-hong," sembarangan sa-ja Hui Yan memberi keterangan.

Tiba2 imam itu mendesuh dan serentak menebarkan kedua tengannya sehingga kawanan burung yang mengerumuninya sama terbang ke udara. Dan dari matanya yang cekung tampak memancar berkilat-kilat, menatap Hui Yan sampai beberapa saat.

Sudah tentu Hui Yan risih dipandang begitu lekat oleh imam itu, tegurnya, "Mengapa engkau tak bicara?”

"Di bawah puncak gunung Ki-lok-bong, saat ini sedang terjadi peristiwa besar. Perlu apa engkau ke sana?"

"Sudah tentu ada keperluan," sahut Hui Yan seenaknya," cukuplah kalau engkau beritahukan jalannya saja."

Imam itu tertawa aneh, serunya, "Kalau menunjukkan engkau jalan mati, apa sukarnya? Terus saja menuju ke timur, sebelum hari gelap engkau tentu sudah melihat kemilau air telaga. Asal engkau bilang pada orang kalau engkau hendak menuju ke Ki-lok hong, Anakbuah Pek lobo ten-tu akan mengirim perahu meayambutmu."

Hui Yan mendapat kesan banwa imim itu tahu tentang keadaan di telaga Thay- ou, bahkan tentang diri wanita tua yang ditebut Pek lobo, dia juga mengatakannya. Hanya apa yang di mak-sud dengan kata2 ‘jalan mati' tadi, ia 

tidak mengerti. Siapakah sesunggubnya imam itu. diapun belum tahu

Tetapi akhirnya Hui Yan memutuskan un-tuk menurut apa yang ditunjukkan lmam itu saja. Daa segera memberi hormat dan menghaturkan terima kasih kepada imam itu. "Totiang. sampai bertemu lagi."

Imam itu tertawa dingin, "Budak perempuan kecil, kelak jangan engkau belajar bunyi bu-rung lagi. Kalau mau belajar, baiklah engkau masuk dalam perguruanku.''

Sambil berkata sepasang mata aneh dari, imam itu masih tetap memandang lekat pada Hui Yan.

Sebenarnya Hui Yan tidak tahu siapakah i-mam itu. Tetapi dia teringat orang persilatan sering mengatakan bahwa di didunia penilatan terdapat seorang tokoh aneh yang berilmu tinggi dan pandai menirukan segala macam bunyi burung. Dia adalah keturuuan dari tokoh Kongyap Tiang, namanya Kongyap Hong bergelar Pek-lin-Cin-jin atau pertapa Raja-burung.

Konon kabarnya dia memang seorang tokoh yang aneh wataknya. Tetapi sekali dia mau bicara dengan orang, betapapun tak enak kata-katanya, itu berarti dia mempunyai kesan baik kepada orang itu.

Imam itu luas sekali pengetahuannya, pikir Hui Yan lebih lanjut. Kepergiannya ke puncak Ki-Ink-hong kali ini tentu akan  mengalami  rintang-an-rintangan, mengapa dia tak mau minta petun-juk kepada imam itu taja. Barang kali imam  itu mau membantunya?

Tiba2 terdengar suit burung seriti dan dua ekor burung seriti melesat terbang ke muka imam itu, terbang melayang berputar-putar sambil berbunyi tak henti- hentinya.

Imam itu lalu mengeluarkan bunyi burung se-riti juga-maka ramailah percakapan antara seorang manusia dengan dua ekor burung. Tampak wajah imam itu   makin lama makin serius. Bebe-rapa saat kemudian .terdengar dia menghe!a napas panjang dan kedua burung seriti itupun lantas terbang pergi lagi.

Sebenarnya Hui Yan merasa kalau dia juga tahu bahasa burung seriti, Tetapi ternyata apa yang dibicarakan kedua burung seriti dengan imam itu, sama sekali dia tak dapat mendengarnya. Terpaksa dia memandang Imam itu.

"Hm," si imam mendesuh, "kalau mau mengantar jiwa, pergilah, tunggu apa lagi?" 

Hui Yan tertawa, "Cianpwe ini apakah bu-kan pek lin cinjin Kongyap Hong?"

Imam itu deliki mata. "Kalau ya lalu ba-gaimana? aku kau tidak minta uang kepadamu, perlu apa engkau harus tahu namaku?"

Hui Yan tertawa, "Kongyap cianpwe, aku hendak ke puncak Ki-lok-hong tetapi totiang mengatakan kalau di sana itu merupakan jalan kematian. Entah apa maksud totiang?"

Kongyap Hong berbalik tubuh dan berkata, "Entahlah, jangan tanya kepadaku."

Dari belakang si imam, Hui Yan menyengir muka dan berkata, "Kongyap cianpwe, jangan mengelabuhi aku, Apa yang dilaporkan kedua bu-rung seriti tadi, akupun mendengar semua."

Hui Yan mangira dengan menjual bual itu tentulah si imam terpaksa akan memberi keterangan. Tetapi siapa tahu sekonyong-konyong imam itu berbalik badan dan terus menerkam bahu Hui Yan.

Terkaman itu tak terduga sama sekali. Te-tapi Hui Yan memang tangkas sekali. Begitu me-lihat bahaya mengancam dia terus miringkan tu-buh sehingga hanya bahu bajunya yang kena se-dikit.

Kongyap Hong terbeliak. Dia tidak menye-rang lagi, katanya, "Ha, 'aku salah lihat. Kalau engkau mempunyai kepandaian begitu, bolehlah engkau lanjutkan perjalanan mengantar nyawa."

"Kongyap cianpwe," kata Hui Yan, "apakah sebenarnya yang terjadi di Ki-lok- hong dan berbahaya tidak kalau aku ke sana?"

Tetapi Kongyap Hong hanya mengelus-elus burung2 yang hinggap di bahunya dan tidak menyahut. Sampai Hui Yan mengulang beberapa kali pertanyaan itu tetapi si imam tak menjawab.

Lama kelamaan Hui Yan mendongkol juga. Sudah bebarapa kali dia menyebut cianpwe na-mun tak digubris. Dia seorang dara yang centil. Biasanya dialah yang mengolok-olok orang, bukan yang diolok..

"Hm," akhirnya dia mendengus, “Biar ba-gaimana bahaya itu masa aku tak jadi ke sana,"

Dia tahu bagaimana kelihayan imam itu maka diapun tak mau bicara lebih panjang lagi Setelah menyengir dan menyeringai kearah imam itu, baru dia berputar tubuh dan melesat pergi. 

Waktu dia mencapai jarak lima tombak jauhnya, terdengar imam itu tertawa dingin bebera-pa kali Tetapi Hui Yan tak mau berpaling mela-inkan hanya mengejek, "Ih, kalau dirinya sendiri takut pergi lalu mengira kalau semua orang tentu takut juga. Rasanya di dunia ini tiada yang. lebih menggelikan dari anggapan begitu."

Dikira kalau mendengar, Kongyap Hong tentu marah. Maka sehabis mengejek dia terus melesat loncat lebih kencang. Tetapi ternyata Kong-yap Hong tidak mengejarnya dan hanya memperdengarkan dua kali tawa dingin yang tidak sedap didengar.

Dalam menempuh perjalanan itu pikiran Hui Yan tak lepas mengenangkan Kun Hiap yang oleh orang tua berpenyakitan telah dibiarkan ditawan Koan Sam Yang. Walaupun orang tua itu menja-min tentu takkan terjadi suatu apa pada diri anakmuda itu namun Hui Yan terpaksa masih cemas juga. Maka diapun cepat melakukan perjalanan, biar lekas seleaai dan lekas dapat kembali ke tempat Kun Hiap.

Menjelang hari mulai gelap, di sebelah mu-ka dia sudah melihat permukaan air telaga. kabut malam yang berwarna merah tertingkah sinar mentari tenggelam, menimbulkan warna yang beraneka indahnya. Puncak gunung demi puncak gunungpun menimbulkan bayang2 yang rebah berjajar-jajar di permukaan air. Alam pemandangan di telaga pada waktu menjelang senjakala, sungguh indah sekali. Diam2 Hui Yan memuji. Dia terus lari ke tepi dan berdiri tegak. Tiba2 terde-ngar bunyi gemercik seperti air tersiak kayuh dan dari balik gerumbul ilalang, muncul sebuah perahu kecil.

Yang mendayung perahu itu seorang wanita pertengahan tahun, mengenakan celana kuning biru dan baju pendek kembang. Dandanannya sederhana sekali.

"Toasoh," seru Hui Yan, "apakah toasoh dapat mengantarkan aku ke Ki-lok- hong?”

Wanita setengah tua itu mengangguk, "Baik, silakan nona naik kemari."

Sekali enjot kaki, Hui Yan sudah melayang ke dalam perahu kecl itu. Dan wanita itupun segera mendayung. Aneh, perahu itu meluncur cepat sekali sehingga Hui Yan hampir saja tak sempat berdiri tegak.

Pada saat dia sudah dapat berdiri tegak dan memandang ke tepi, bukan kepalang kejutnya.

Ternyata perahu itu sudah terpisah 18-an tombak dari tepi telaga. 

"Toasoh, engkau sungguh kuat benar!" seru Hui Yan memuji.

Wanita itu tertawa tawar, "Ah, hanya karena mencari makan di telaga, lama2 juga terlatih," kata wanita itu, "nona, puncak Ki-lok-hong itu menjadi tempat kediaman Cui-hoa Pek-lo-poh-poh, perlu apa engkau hendak ke sana?"

"Aku hendak mencari taciku," sahut Hui Yan.

Wanita itu miringkan kepala sembari memandang Hui Yan. Tampaknya dia seperti kurang percaya atas keterangan dara itu.

"Mengapa tacimu berada pada Pek lo-poh-poh?" tanyanya beberapa saat kemudian.

Sebenarnya Hui Yan tak senang kepada Hui Giok tetapi karena bagaimanapun juga Hui Giok itu adalah kakaknya, mendengar pertanyaan wanita itu mengandung hinaan terhadap Hui Giok, Hui Yan marah juga, "Siapa sih Pek lo- poh-poh itu? Mana mungkin taciku berada di tangannya.

Mendengar kata2 itu serentak si wanita hentikan kayuhnya dan perahupun berputar-putar di tengah telaga.

"Hai, mengapa engkau berhenti mendayung?" seru Hui Yan.

"Karena engkau menganggap dirimu hebat, silakan mendayung sendiri," sahut wanita itu.

Hui Yan tertawa dingin. Begitu berputar tubuh dia sudah meluncur ke muka wanita itu, menyambar lengan orang dan disentakkan, "Kalau begitu, minggirlah saja!"

Hui Yan tak mau menggunakan tenaga besar. Ia kira sekali sentak tentulah wanita itu su-dab terlempar. Tetapi siapa tahu, wanita itu membiarkan saja dirinya disiak ke samping tetapi dia tidak jatuh malah balas menendang pinggang Hui Yan.

Tendangan itu tak terduga sama sekali, plak, pinggang Hui Yau terkena dan dara itu mencelat ke udara.

Hui Yan bergeliatan di udara dan meluncur turun. Tetapi alangkah kejutnya ketika mengeta-hui bahwa dia bakal kecebur dalam air. Bukan main kejut dan cemasnya. Dan dilihatnya wanita setengah tua itu mendayung lagi sehingga perahu melesat setombak jauhnya, jelas wanita itu menghendaki agar Hui Yan 

tercebur ke dalam air.

"Hai, lekas dayung perahumu kemari!" seru Hui Yan yang saat itu sudah mulai meluncur turun.”

Wanita itu bukan menurut sebaliknya malah mendayung lagi. Gerak kayuhnya telah menimbulkan gelombang yang besar sehingga air mendampar ke atas. Tiba2 seekor ikan besar yang panjangnya selengan orang, ikut terdampar ke atas permukaan air. Melihat itu Hui Yan girang sekali. Dia cepat menahan napas agar tubuhnya meluncur turun dengan cepat.

Hui Yau memang cerdas di samping memiliki kepandaian yang tinggi. Begitu melihat ikan besar muncul, dia sudah mendapat akai. Maka luncur tubuhnya itu tepat sekali tiba di tubuh ikan. Secepat ujung kakinya menginjak tubuh ikan itu, dengan meminjam tenaga pijakan itu dia sudah melambuiig ke udara dan melesat ke bagian belakang perahu.

Melihat itu cepat si wanita mengayunkan kayuhnya untuk membabat kaki Hui Yan. Tetapi dara itu membungkukkan tubuh memegang buritan perahu dan menggelincir sepanjang tepi perahu dan terus berdiri di daIam perahu.

Brakkk karena luput menghantam Hui Yan, kayuh itu mendapat sasaran geladak perahu dan putus. Rupanya wanita itu mengayun dengan sekuat tenaga maka waktu kayuh putus dia sampai terhuyung-huyung mau jatuh sendiri dan hampir saja terpelanting jatuh ke dalam air.

Hui Yan mencelat maju dan berseru, "Lekas kayuh lagi, kalau sampai terlambat datang di Ki-lok-hong. terpaksa engkau harus menikmati tanganku.

Wajah wanita setengah tua itu tampak berobah gelap.Dia membungkuk seperti hendak memungut kayuh tetapi ternyata gerakannya itu hanya suatu sialat pura2 saja, Dia melingkar, sambil menekankan siku lengannya sebagai penyangga tubuh pada papan perahu, tangan kirinya menghantam Hui Y-an.

Sudah tentu Hui Yan bukan seorang gadis lemah yang dengan mudah dapai disengkelit dengan cara semacam itu, Sebelumnya dia memang sudah dapat menduga akan gerak gerik wanita itu tentu mengandung maksud buruk. Maka diapun sudah berjaga-jaga.

Dia sedikit miringkan tubuh, kelima jarinja segera balas mencengkeram pergelangan tangan orang lalu meremaskan sedikit keras.

Kepala wanita itu bercucuran keringat dingin dan tanpa dapat dipertahankan lagi, kedua lututnya lunglai, duk. dia berlutut di lantai. 

“Harap nona suka memberi ampun," katanya meratap kasihan.

"Hm, apakah sekarang engkau kenal kelihayanku? tanya Hui Yan, "apakah taciku berada di Ki-lok-hong?”.

"Siapakah kakak nona itu, aku taktahu." "Namanya Tian Hui Giok, "kata Hui Yan.

Kalau tadi muka wanita itu sudah tak sedap dipandang kini demi mendengar nama Tian Hui Giok, wajahnya makin pucat. Duk, duk. dia menundukkan

kepala sehingga membentur papan perahu sebagai tanda memberi hormat yang sedalam-dalamnya.

"Hamba tak tahu kalau nona ini sam-siu-cia, harap nona memberi ampun. Hamba tak berani berbuat yang kurang menghormat lagi, "katanya.

Sebenarnya Hui Yan itu seorang dara yang berhati pemurah. Mendengar wanita itu meratap beriba-iba, diapun mengendorkan cengkeramannya. Dan melihat bagaimana jidat wanita itu sampai benjol karena terbentur dengan papan, Hui Yan tertawa, "Baiklah. lekas dayung lagi !”

Wanita itu gopoh berbangkit lalu mulai mendayung menuju ke arah puncak gunung yang hijau lebat.

Saat itu hari sudah gelap, tetapi di puncak gunung terdapat sederetan penerangan, mulai dari kaki sampai ke atas gunung. Sepintas pandang menyerupai seekor naga api yang melingkar-lingkar ~di puncak gunung.

Tak berapa lama kemudian, perahu tibalah di tepi telaga. Beberapa orang lelaki berdiri berjajar di tepi telaga dengan membawa lentera. Rata2 lentera mereka berwarna biru gelap sehingga menimbulkan pemandangan yang seram.

"Yang datang adalah Tian sam-siocia, mengapa kalian tak lekas memberi hormat?"-

Keempat lelaki itu terkejut dan serta merta berlutut memberi hormat.

Hui Yan merasa seperti mendapat kehormatan besar. Dengan langkah bergoyang gontai dia naik ketepi, "Ah, tak usah banyak peradatan," serunya. Tetapi walaupun mulut mengatakan begitu. dia tak mau balas memberi anggukan kepada mereka. 

Wanita setengah tua tadi tetap mengikuti di belakang Hui Yan sembari menunjukkan jalan. Selama mendaki, banyak sekali Hui Yan berjumpa dengan orang2 yang membawa lentera biru. Sikap dan gerak gerik mereka memang aneh.

Setiap kali wanita setengah tua itu memerintahkan mereka, ada yang disuruh memberi hormat dan ada yang disuruh berdiri tegak seperti prajurit yang menyambut panglimanya. Rupanya wanita setengah tua itu mempunyai kekuasaan be-sar di Ki-lok-hong. Sebab perintahnya, tak ada orang yang berani membantah.

Berjalan lebih kurang setengah li, Hui Yan melihat di sebelah muka sebuah gedung besar. Menilik bangunannya, gedung itu sudah tua. Dimuka gedung dipasang empat buah Ientera besar yang terang benderang. Juga keempat lentera itu berwarna biru. Para penjaga yang berjajar di muka pintu wajahnya tampak biru legam tertimpah caha-ya Ientera itu.

Begitu tiba di muka pintu, dari dalam segera terdengar suara Tian Hui Giok menyambut "Kami tiga saudara, yang tua dan yang bungsu sudah mati semua, jelas tetamu yang datang dan mengaku sebagai adikku ini tentu penipu yang menggunakan nama adikku!”

Terdengar pula suara seorang nenek tua yang berkata dengan nada tak enak ditelinga, "Hm, sungguh berani sekali !"

Pembicaraan kedua orang itu, terdengar oleh Hui Yan dan wanita setengah tua yang berada di sampingnya.. Serentak wanita setengah tua itu berpaling dan memandang Hui Yan dengan marah.

Hui Yap mengempos semangat dan menghambur tawa dingin, "Ji-ci, semula kita ini taci-adik tetapi sekarang tiba2 menjadi palsu, lucu sekali bukan. ?"

Dia sengaja menggunakan tenaga-dalam untuk menghembuskan suaranya agar menyusup jauh ke dalam.

Pada lain saat terdengar suara Hui Giok berkumandang, "Aya, kiranya memang benar sam-moay."

Kalau mendengar nadanya jelas suatu curah kegembiraan sehingga Hui Yan tertegun. Memang walaupun tingkah lakunya centil dan nakal, tetapi sebenarnya Hui Yan itu berhati baik dan jujur.

Hui Yan sudah tahu semua perbuatan tacinya. Dia menduga Hui Giok tentu akan terkejut ketakutan atas kehadirannya. Siapa tahu sebaliknya Hui Giok malah 

menyambut dengan girang.

Kembali suara Hui Giok terdengar berturut-turut, “Sam-moay, engkau dimana? Sammoay. "

Cepat sekali sesosok tubuh melesat dan tahu-tahu Hui Giok muncul di ruang itu, diiring empat orang yang membawa Ientera biru. Begitu melihat Hui Yan, Hui Giok bercucuran airmata.

"Ai, sam-moay, tak kira kita masih dapat bertemu muka. " suaranya pilu sekali

sehingga Hui Yan sampai tersentuh hatinya.

Hui Giok maju selangkah dan menjabat tangan adiknya. Pada saat tangan keduanya bersentuhan tiba2 Hui Yan rasakan telapak tangannya kesemutan. Cepat dia meronta seraya menyurut mundur. Memeriksa telapak tangannya dia tak mendapatkan sesuatu perobahan apa2..

Hui Yan curiga memandang ke muka. Tampak Hui Giok terlongong seperti tak tahu apa2, Bahkan masih sesenggukan dan tertawa, "O, terima kasih Tuhan. Kukira kalau aku sudah sebatang kara, ternyata engkau masih hidup!"

"Ji-ci, mengapa engkau mengatakan kalau engkau sudah sebatang kara?" tegur Hui Yan.

Hui Giok banting2 kaki, "Sam-moay, apa engkau tak tahu ? Dua orang rahib busuk bersama Thian Go lojin dan Sam Cpat sianseng telah membunuh mama dan toa-ci. "

Teringat akan hal itu, meluaplah kemarahan Hui Yan, "Mengapa mereka bisa bersama-sama mencari mama ?"

Hui Yan hendak mendesak Hui Giok dengan pertanyaan yang menyudutkan karena ia tahu.

Tetapi diluar dugaan Hui Giok tenang2 saja. Dia menghela napas, "Siapa yang tahu mengapa mereka dapat datang bersama-sama ?"

Sambil menjawab, airmatanya masih bercu-curan. Pada saat itu terdengar derap langkah yang sarat, tengah mendatangi dengan cepat. Hui Yan mengangkat muka. Dilihatnya seorang wanita setengah tua bersama seorang nenek sudah muncul dibelakang Hui Giok.

Nenek itu mengenakan pakaian warna hijau, bertubuh tinggi kurus seperti nenek yang lemah. Tetapi sepasang matanya yang meram melek itu, begitu beradu 

pandang dengan. Hui Yan. tampak jmemancarkan sinar berkilat tajam yang menikam.

Berkata nenek itu dengan suara yang lemah.

"Nona Tian, selekas kami rundingkan, masa takut kalau dendam sakithati mamamu takkan terbalas ?"

Dengan masih bercucuran airmata, Hui Giok berkata, "Asal dendam darah mamaku itu terhimpas, aku tentu akan menghaturkan kedua pusaka, itu kepada lo-cianpwe."

Nenek itu tertawa mengekeh. Tampaknya dia girang sekali seperti merasa kalau kedua pusaka baju Kim-wi-kah dan cakar Hiat-hun-jia sudah berada ditangannya

Mendengar ita Hui Yan tak senang. Tetapi pada saat dia hendak membuka suara tiba2 nenek itu berseru. "Leng-moay (adikmu) jidatnya sepertl memancarkan hawa hitam. Mirip dengan terkena racun ganas !"

Hui Giok tergetar. Dia segera menggenggam tangan Hui Yan dan berkata, "Sam- moay, dalam perjalananmu apakah engkau bertemu dengan hai2 yang tak wajar

?"

Saat itu Hui Yan segera tahu behwa nenek itu bukan lain adalah Cui-ih pek lo- pohpoh atau nenek Pek berbaju hijau. Mendengar nenek itu berkata dengan nada serius, dia terkejut sekali.

"Tidak. selama dalam perjalanan.-..,," baru dia hendak memberi keterangan  tiba2 dia teringat bagaimana tadi waktu berjabat tangan dengan Hui Giok secara tiba2 telapak tangannya terasa kesemutan dan tubuhnya mendadak terasa dingin. dia tak jadi melanjutkan kata2nya.

"Pek lo-cianpwe," cepat Hui Giok menjawab, "adikku ini lincah dan cerdas. Apalagi kepandaiannya juga tinggi. Kemungkinan tak ada orang yang dapat melukainya. Engkau orang tua, mungkin salah lihat. Mari, sam-moay, kuperkenalkan. Yang ini adalah Can hujin, Soh-jiu-sian-cu Tong Wan Giok."

Hui Yan tahu kalau Tong Wan Giok itu adalah mamanya Kun Hiap. Seharusnya dia bersikap sungkan diri menghormati. Tetapi saat itu hatinya sedang kacau sehingga dia tak mengacuhkan omongan Hui Giok. Bahkan dia terus membalikkan tangan menerkam pergelangan tangan Hui Giok. Tetapi di luar dugaan Hui Giok mena-rik tangannya sehingga cengkeramannya HuiYan luput.

"Ji-ci, apa saja yang engkau lakukan pada telapak tanganku tadi?" seru Hui Yan. 

Hui GioK membelalak, "Melakukan apa?"

"Kutahu engkau tetap membenciku, "Hui Yan melengking tajam," membenci toa- ci dan juga membenci mama. Tentu engkau telah melumurkan racun pada telapak tanganku!"

Hui Giok mundur selangkah. Dengan lunglai dia memandang pek lo-pohpoh dan Tong Wan Giok lalu tertawa getir, "Cobalah kalian dengar, bagaimana dengan adikku itu?"

Memang dalam keadaan seperti itu setiap orang tentu menganggap kalau Hui Yan sedang ngaco belo.

Pek lo-pohpoh pun maju selangkah ulurkan ta-ngan dan mencekal pergelangan tangan Hui Yan. Tampak wajah nenek itu berobah lalu lepaskan cekalannya lagi dan diam.

"Bagaimana?" seru Hui Yan tegang.

"Bagaimana?" hampir berbareng dengan Hui Yan, Hui Giokpun bertanya.

Tetapi Pek lo-pohpoh tak mau bicara. melainkan bertanya, "Apakah nona Tian hendak nginap di Ki-lok-hong sini?"

Mendengar kata nenek itu, Hui Yan mengira kalau dirinya tak terkena sesuatu racun seperti yang ia kuatirkan. Tetapi dia tak dapat menerima tawaran nenek itu, "Ah, tidak, kedatanganku kemari hanyalah perlu hendak mengambil barang dari ji-ci. Setelah itu aku akan terus pulang.”

"Bagus, bagus, .., "kata Pek lo-pohpoh.

"Tak perlu engkau bilang, akupun sudah tahu, "Hui Giok cepat menimbrang, "bukankah sigkau hendak meminta kembali kuda besi itu?"

Sebelum Hui Yan sempat menjawab, tiba2 Tong Wan Giok sudah mendahului bertanya, "Bagaimana Kun Hiap? Dia dimana?" dia menghampiri Hui Yan dengan wajah cemas sekali.

Hui Yan menghela napas "Dia. sekarang tenaganya memang bertambah

hebat sekali. " ia berhenti sejenak lalu melanjutkan," tetapi entah bagaimana

kesadaran pikirannya seperti hiIang tak sadarkan diri. "

"Dia dimana!" teriak Tong Wan Giok kalap. 

"Dia ditawan Koan Sam Yang dan dibawa ke daerah Biau-ciang?” sahut Hui Yan.

"Celaka! Celaka! 'Tong Wan Giok banting2 kaki, "Koan Sam Yang itu bukan manusia baik. Kalau Kun Hiap bersama dia, tentulah akan menderita. Aku akan menyusul kesana!" '

Habis berkata Tong Wan Giok terus melesat keluar. Seolah-olah daerah Biau- Ciang itu hanya dekat saja.

Hui Giok cepat melesat mengejar dan menghadang, "Pehbo, kalau saat ini mana mungkin da-pat menyusulnya? Taruh kata bisa menyusul teta-pi apakah pehbo mampu menandingi Koan Sam Yang?"

Tong Wan Giok tertegun. Kerena kehilangan faham dia hanya bingung tak karuan.

"Pehbo," bisik Hui Giok," sam-moayku tentu bisa memberi keterangan, harap jangan kuatir.”

Saat itu Hui Yan juga memburu datang, katanya, "Penyakit Can kongcu bisa disembuhkan. Apabila dia sudah sembuh, ilmu kepandaiannya akan sakti sekali tiada orang yang mampu menawannya. Harap pehbo jangan kuatir."

Hui Giok kerutkan alis, "Siapa yang bilang?" tegurnya.

"Orang tua berpenyakitan itu yang mengatakan, "sahut Hui Yan, "ji-ci, beberapa biji kuda besi yang ada padamu itu, adalah benda yang diperlukan untuk pengobatan Can kongcu. Berikanlah kepadaku!"

Wajah Hui Giok membesi seketika. Sebenarnya dia hendak bertindak kepada adiknya tetapi tiba2 dia merasa kalau saat itu Tong Wan Giok sedang memandang kepadanya. Maka cepat-cepat dia tenang kembali..

"Ah, "serunya seperti orang kaget,"mengapa tidak tadi2 engkau bilang? Asal dapat menolongnya, jangankan hanya kuda besi itu, sekalipun benda yang lebih berharga dari itu, tentu akan kuserahkan."

Sudah tentu Hui Yan girang mendengar pernyataan tacinya itu. Dia tak mau memikirkan apa2 yang dibalik kata2 tacinya itu.

"Kalau begitu, lekas berikan kepadaku saja.” katanya gopoh.

Hui Giok mengeluarkan dua biji kuda besi dan diberikan kepada adiknya. Hui Yan 

tertegun melihat tacinya mempunyai dua biji kuda besi.

Memang Hui Yan tahu kalau tacinya punya dua biji, Yang satu biji pemberian Kun Hiap. Dan yang satu biji adalah miliknya yang dirampas ji-cinya ketika dia sedang pingsan. Yang membuat Hui Yan tertegun tak lain karena sedemikian cepat dan sukarela tacinya menyerahkan kedua biji kuda besi itu kepadanya.

"Menolong orang semisal memadamkam api kebakaran." kata Hui Giok "setelah mendapatkan benda itu, mengapa engkau tak lekas2 berangkat?”

"Baik,” kata Hui Yan. Baru dia hendak berputar tubuh, tiba2 dia kembali berbalik menghadap Hui Giok. Dipandangnya taci itu dengan tak mengucap sepatah katapun juga. Setelah. Menghela napas, Hui Yan terus melesat lari dan cepta  tiba di tepi telaga. Disitu sudah menunggu sebuah perahu dengan tukang  dayung yang segera mengantarkan keluar dari telaga.

*****

Malam itu rembulan bersinar terang. Tetapi Hui Yan tiada mempunyai gairah untuk menikmati alam pemandangan malam. Pikirnya, karena sekarang benda yang dibutuhkan itu sudah berada di tangannya, lebih baik dia cepat2 pulang.

Selain daripada kuda besi yang belum diketemukan, menilik kepandaian orang tua berpenyakitan yang begitu sakti, kiranya bukan suatu hal yang sukar untuk mendapatkannya. Asal delapan biji kuda besi .sudah terkumpul semua, Kun Hiap tentu dapat disembuhkan.

Teringat hal itu hati Hui Yan gembira tegang sekali. Dia terus kerahkan semangat lari dengan menggunakan ginkangnya, Dia ingin lekas kembali ke Biau-ciang dan bertemu dengan orang tua berpenyakitan.

Dalam sekejab saja dia sudah lari sampal enam tujuh li. Tiba2 dia mendengar suara orang mendesus. Tanpa hentikan larinya, dia berpaling. Ditingkah cahaya rembulan terang, dilihatnya ada seseorang berdiri ditepi jalan. Ternyata orang itu tak lain adalah Pek-lin tojin atau imam Kongyap Hong. Dasar dara centil. Dia bukannya berhenti tetapi malah menyeringaikan mukanya kearah imam itu.

"Berhenti!" tiba2 Kongyap Hong membentak.

Bentakannya itu luar biasa kerasnya sehingga Hui Yan terkejut dan berhenti. Saat itu si imam sudah melesat kemukanya dan menimangnya dari ujung kaki sampai ke ubun2 kepala.

"Hai, apa-apaan engkau ini ?" tegur Hui Yan. yang merasa risih dipandang begitu 

rupa.

Koogyap Hong menghela napas, "Sayang, sayang, ah ..., sayang, sayang !"

Sudah tentu Hui Yap tak mengerti maksud si imam. Tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, imam itu sudah berkata dulu, "Tetapi takkan menderita kesakitan. Begitu saatnya tiba, hanya seperti orang tidur saja."

"Hai, engkau mengingau apa?" tanya Hui Yan..

Tetapi Kongyap Hong tak menjawab. Sambil menggendong kedua tangannya dia terus ngeloyor.

"Seperti melihat setan saja, huh .. , ." dengus Hui Yan. Dia terus hendak melanjutkan perjalanan tetapi tiba2 terkilas dalam pikirannya. Imam itu seorang sakti. Kalau tiada sesuatu tak mungkin dia akan mengoceh begitu. Ya, tentu ada sesuatu. Apakah tidak seperti Pek lo-pohpoh yang mengatakan kalau dirinya Hui Yan terkena racun ganas ?

Ah, tetapi dia merasa tak ada suatu peroba-han dalam tubuhnya. dia lalu coba mengambil pernapasan beberapa kali. Ah, tidak apa-apa.

Saat itu si imam sudah jauh. kalau mau mendampratnya, toh percuma saja, malah akan menunda waktu. Tetapi dasar dia seorang dara centil, Daripada menyimpan dalam hati, lebih baik dia tumpahkan saja, Dia segera berteriak mendamprat sampai dua kali, setelah itu buru melanjutkan perjalanan lagi.

Selama dalam perjalanan karena ingin lekas tiba di Biau-ciang maka dia tak mau membuang buang waktu. Kecuali berhenti untuk bertanya jalan kepada orang atau bertanya tentang diri orang tua berpenyakitan itu, dia tak mau cari perkara.

Dalam waktu sebulan, berkat menempuh perjalanan dengan cepat dan non-stop, tibalah dia di jalan kecil yang akan mencapai perbatasan wilayah Hun-kwi. Jalan kecil itu merupakan jalan utama yang harus dilalui apabila hendak ke Biau-ciang.

Hui Yan sangat bernafsu sekali untuk lekas-lekas mencari orangtua berpenyakitan, Tetapi sepanjang jalan kearah baratdaya yang dilaluinya selama itu, tiapkali bertanya, tiada seorangpun yang pernah melihat orang tua yang dimaksudkan Hui Yan.

Hui Yan hampir putus asa Dia tak tahu dimanakah Koan Sam Yang menyembunyikan Kun Hiap. Bahkan dimana tempat kediaman Tok Liong cuncia yang hendak diangkat sebagai guru Koan Sam Yang itu, pun dia tidak tahu.

Akhirnya dia terus melintas masuk ke daerah pegunungan di pedalaman. 

Saat itu sudah senja, mentari mulai tenggelam disebelah barat. Sehari berjalan di daerah gunung itu, Hui Yan tak bertemu dengan seorang manusia. Sudah tentu hatinya pepat sekali. Kaku rasanya sehari suntuk tak bicara. Ingin dia menumpahkan kemendongkolannya dengan menghajar batu dan pohon. Ya, mengamuk itu memang obat mujarah untuk menumpahkan perasaan yang kheki.

Tiba2 di sebelah muka, disamping sebatang pohon yang tua, tampak seorang lelaki berdiri. Orang itu berdiri seperti patung, sama dengan pohon disebelahnya yang sudah Iayu dan lapuk.

Hui Yan cepat menghampiri, Waktu dekat, dari sisa sinar matahari senja, dilihatnya orang itu bertubuh tinggi besar, tulang2nya kokoh dan be-sar.  Seorang lelaki yang jantan perkasa, Tetapi saat itu seperti mummi. Mukanya kempot, penuh dengan brewok. Matanya tak bersinar. Sepintas tak ubah seperti sesosok mayat.

Sejenak mengawasi, rasanya Hui Yan sudah pernah mengenal orang itu tetapi   dia lupa siapa, Setelah memandang beberapa saat, ia mundur be-berapa langkah dan berseru, "Hai, siapa engkau ?"

Dia mengulang sampai beberapa. kali, tetap tak menyahut. Akhirnya dia menjerit sekuat-kuatnya dan barulah orang itu seperti tergetar lalu mengangkat  kepalanya.

"Hai, apakah engkau tuli ?" teriak Hui Yan. Orang itu gelengkan kepala.

"Engkau siapa ? Apakah engkau seorang diri saja disini?" ulang Hui Yan.

Tetapi orang itu diam seperti patung. Hui Yan maju mendekat lagi dan ulurkan tangan dan mentowel pucuk hidung orang itu, plek...

Orang itu tertawa kecut, serunya, "Nona kecil, silakan engkau melanjutkan perjalanan saja, jangan menganggu aku,"

Hui Yan tertawa gelak2. "Engkau seorang lelaki yang begitu besar. selainkan hanya meminta supaya aku tak mengganggu , apakah tak punya daya lain lagi ?"

Hui Yan memang sengaja hendak turun tangan dan menghambur makian. Pikirnya, biar orang itu marah dan balas memaki serta menyerang dengan begitu dia dapat menggerakkan urat untuk berkelahi. 

Tetapi diluar dugaan orang itu hanya menghela napas panjang penuh kepedihan sehingga Hui Yan turut terharu. Pikiran untuk mengganggu orang itu pun lenyap.

"Sahabat," beberapa saat kemudian Hui Yan berkata pula, "apa yang menjadi kesusahanmu, su-kalah engkau mengatakan."

Kembali orang itu menghela napas. Hui Yan buru2 mendekap telinganya dan berseru. "Jangan menghela napas, jangan menghela napas lagi, maukah ?"

Orang itu tertawa masam. Celaka, lebih baik tidak ketawa saja karena begitu tertawa, sikapnya makin menyayat hati orang, "Ah, nona kecil, engkau tak mengerti,"

"Sudahlah, jangan mengurusi aku mengerti atau tidak mengerti. Bilanglah!" seru Hui Yan.

Mata orang itu memandang jauh ke muka.

Saat itu cuaca senja makin petang. Entah apa yang dipikirkan tetapi yang jelas beberapa saat kemudian baru dia berkata dengan pelahan, "Ada seorang nona yang cantik sekali. Aku.,. aku suka kepadanya "

Hui Yan terkesiap. Dia tak kira manusia yang kaku seperti batang kayu itu ternyata memiliki hati yang bernyala asmara.

“Tetapi dia...” kata orang itu pula, "tak pernah mau menganggap diriku. Kemudian, dia .... dia "

Tiba2 orang itu berbalik tubuh dan berteriak, “Sudahlah, tak perlu diceritakan, tak usah diceritakan!"

"Katakanlah," pinta Hui Yan. Tetapi orang itu terus melesat pergi.

"Hai, mau kemana engkau ? Mengapa baru cerita separoh terus tak mau melanjutkan ?" teriak, Hui Yan, seraya terus mengejar.

Baru setombak jauhnya, tiba2 bahunya ditepuk orang dan sepasang tangan menekannya, sehingga dia tak dapat lari.

Hui Yan terkejut dan cepat menghantam tangan orang yang menekan bahunya itu. Dia bergerak cepat sekali tetapi orang itupun juga cepat2 sudah menarik tangannya Plak karena tak sempat menahan, pukulan Hui Yan mengenai

bahu-nya sendiri. 

Dara itu makin terkejut dan berkisar kesamping lalu berbalik tubuh. Aii, ternyata yang berdi-ri dihadapannya dengan tertawa mengikik itu bukan lain adalah orang tua berpenyakitan yang dicarinya itu.

Ah, Hui Yan mendesah dalam hati. Dia tahu kalau orang berpenyakitan itu seorang sakti yang tiada tandingannya. Tetapi mengapa masih mau bergurau dengan dirinya ?

Dia pura2 marah dan menegur, "Hah, kiranya engkau. Mengapa main kucing- kucingan begitu ?"

Melihat si dara marah, orang tua berpenyakitan itu malah makin gembira. Tetapi baru mukanya cerah, tiba2 mengerut beku lagi. Sikapnya aneh sekali.

Sudah tentu Hui Yan terkesiap karena tak tahu apa yang terjadi. Tiba2 orangtua itu memegang pergelangan tangan Hui Yan dan dibalikkan untuk melihat telapak tangannya, kemudian memijat pois (denyut nadi).

"Engkau, engkau bertemu dengan siapa?" serunya terkejut.

Walaupun Hui Yan seorang yang cerdas.tetapi saat itu dia bingung dan tak mengerti apa maksud orang tua itu.

"Ak tak bertemu dengan siapa2," sahutnya.

"Waktu engkau berpisah dengan aku, apa saja yang engkau lakukan ? Dan bertemu dengan siapa?" desak orang tua itu. Dia minta agar Hui Yan menceritakan dengan jelas.

“Setelah berpisah, aku langsung menuju ke puncak Ki-lok-hong di telaga Thay- ou. Ditengah jalan aku bertemu dengan Pek-lin cinjin Kong-yap Hong."

Orang tua itu gelengkan kepala, "Bukan dia."

Hui Yan makin tak mengerti,. katanya pula, "Setelah tiba di Ki-lok-hpng, aku berteniu dengan ji-ci dan Tong Wan Giok. Juga Ciu-ih Pek lo-pohpoh. Setelah kukatakan maksud kedatanganku kepada ji-ci, dia terus memberikan kuda besi itu. Tampaknya dia masih punya liangsim (hati baik) Setelah itu aku segera cepat2 , kembali ke Biau-ciang sini."

Orang tua berpenyakitan itu mengangguk, "Bagaimana sikap tacimu waktu berhadapan dengan engkau ?" 

"Rupanya setelah tahu kalau gagal mencelakai aku, dia menyesal, begitu melihat aku dia terus memegang tanganku dan menangis dengan sedih dan penuh kemenyesalan," kata Hui Yan.

Tiba2 orang tua berpenyakitan itu menengadahkan kepala dan menghela napas panjang "Ah. ya, tentu dia. "

"Lo-jin-ke, engkau mengatakan apa?"seru Hui Yan.

Orang tua berpenyakitan itu berputar kepaIa, sahutnya, "Tidak apa-apa "

Nadanya menggigil seram. Hui Yan malah tertarik. Pikirnya, mengapa orang tua itu berobah seperti anak kecil yang hendak menakut nakuti dirinya? Hm, kalau aku takut, berarti aku kena tipunya, kata Hui Yan dalam hati.

Tiba2 dia tertawa melengking dan mengam-bil kedua biji kuda besi, serunya, "Cianpwe, ma-sih ada berapa biji kuda besi lagi? Apakah engkau sudah mendapatkan semua?"

Orang tua itu manyambut kedua biji kuda besi itu dan menyahut stngkat, "Sudah."

Hui Yan kagum sekali, "Ah, cianpwe benar2 sakti sekali sehingga dengan mudah dapat memperoleh benda itu. Kalau suruh aku yang harus minta kepada Thian Go lojin, entah harus makan waktu berapa lama?"

Waktu mengamati kedua biji kuda besi itu tiba2 orang tua itu berteriak, "Budak perempuan keji!"

Hui Yan tertegun. Dia teringat selama dirawat orang tua itu, belum pernah orang tua itu memanggilnya dengan nada yang begitu mesra,

"Kenapa cianpwe?" buru Hui Yan mengham-piri.

Orang tua itu memandang terlongong pada Hui Yan. Sampai beberapa saat tak berkata apa-apa hanya alisnya yang mengernyit seperti memikirkan suatu persoalan yang gawat.

Wajah orang tua itu seperti orang yang habis sakit. Kini dengan wajahnya yang mengerut gelap itu, makin menimbulkan kesan yang menggetarkan hati.

Sebaliknya Hui Yan malah geli tetapi dia berusaha untuk menahan tawanya. Beberapa saat kemudian orang tua itu mengulurkan tangan dan memegang bahu Hui Yan, "Budak kecil, pada waktu itu apapila aku kebetulan tak lewat, 

engkau tentu sudah binasa dalam iubang pohon besar, ya atau tidak?"

Hui Yan mendesis tertawa, "Ya, benar, kalau aku mati, tentu tak ada orang lagi yang berani bergurau dengan cianpwe."

Orang tua itu tertawa hambar. Dia tahu kalau dara itu sedang mengoloknya tetapi dia tak menghirauKan dan melanjutkan berkata, "Kalau begitu, sejak saat itu sampai sekarang engkau dapat hadir hidup, katakan suatu kelonggaran besar, ya atau tidak?"

Hui Yan makin geli. Dia tak tahu apa maksud orang tua itu. Dengan serius, ia menjawab, "Ya, aku memang telah mendapat kemurahan hidup. Kali ini Raja Akhirat tentu rugi."

Orang tua menarik tangannya dan berkata. “Budak perempuan, ketahuilah, Memang dalam dunia persilatan banyak sekali tokoh sakti. Tetapi untuk mencari seorang yang benar2 menonjol dan mampu menundukkan tokoh2 persilatan dan mendapat, penghormatan mereka, haruslah dia benar2 memiliki kepandaian  yang tiada lawannya. Dan untuk mencari orang semacam itu tidak mudah!”

Hui Yan makin tak mengerti kata2 orang tua yang beralih ke lain jurusan itu, serunya, "Ya, sejak Tat Mo locausu dan Thio Sam Hong cousu, rasanya tiada lagi penggantinya. Cianpwe, engkau hampir mendekati."

Orang-tua itu paksakan tertawa, "Aku sama seperti mendiang ayahmu. Kalau membicarakan soal ilmu kepandaian, ayahmu memang paling terkemuka. Aku pernah menguji kepandaian dengan ayah-mu-sampai beberapa kali tetapi kesudahannya ha-nya. berimbang saja. Kami berdua sama2 dianggap Sebagai tokoh nomor satu dalam dunia persilatan. Kemudian, karena ingin mengalahkan ayahmu, aku lalu mengembara sampai keluar lautan. tetapi ternyata malah runyam. Aku telah melukai seorang ketua partai persilatan dan ilmu kepandaianku malah rusak tidak seperti semula lagi. "

Mendengar sampai disitu, tergeraklah hati Hui Yan, Dia ingat dulu mendiang ayahnya pernah menceritakan tentang seorang tokon dan tokoh itu tak lain adalah suheng dari ayahnya sendiri. Adakah adakah orang tua berpenyakitan

yang dihadapannya itu tak lain dari tokoh yang pernah dikatakan mendiang ayahnya, yakni supeknya (paman guru) sendiri ?

Tengah Hui Yan masih menduga-duga, kem-bali orang tua itu berkata pula, "Setelah aku kem-bali dari seberang lautan, ayahmupun telah meninggal. Kami berdua memang sempit dada, terlalu membanggakan keAkuan untuk mengalahkan yang lain. Ketahuilah bahwa kodrat dunia itu tak dapat direbut dengan paksa. Tepat sekali kata peribaha-sa 'Perhitungan manusia itu kalah 

dengan keten-tuan takdir'. itulah sebabnya maka tokoh yang benar' mengungguli semua tokoh persilatan, sampai beratus tahun belum muncul lagi. Kini... kini tokoh seperti itu telah muncul. "

Mendengar itu cepat2 Hui Yan menyambut dengan muka tersipu merah, "Apakah engkau maksudkan Kun Hiap itu?"

Orang tua berpenyakitan mengangguk, "Benar, aku memang mengatakan dia. Setelah tersedia obat mustika yang terdapat dalam delapan biji kuda besi itu. dia pasti dapat disembuhkan dari pikirannya yang hilang. Pada saat itu ilmu tenaga- dalamnya takkan ada yang menandingi lari. Setiap kali menghadapi niusuh, begitu melihat apa yang dimainkan musuh, dia tentu segera dapat menjalankan juga. Ditambah dengan pikiran terang dan dada lapang, tentu tak sampai 10 tahun lagi dia akan menjadi tokoh nomor satu dalam dunia persilatan."

"Kalau begitu mengapa cianpwe tak lekas2 mencari dia? Mau tunggu apa lagi?" seru Hui Yan.

"Saat ini aku belum dapat mengambil kepu-tusan apakah obat mustika dalam delapan biji kuda besi akan kuberikan kepadanya agar dia tersadar, "kata orang tua itu.

Sudah tentu Hui Yan terkejut sekali. Jelas orang tua itu bukan sedang bergurau. Dia cepat berserii, "Mengapa?. dia kenapa?"

Orang tua itu gelengkan kepala, "Tidak apa-apa. Koan Sam Yang tentu akan menyembunyikannya dengan baik, mengapa sampai terjadi sesuatu. Budak perempuan, aku bertanya kepadamu. "Kini jiwamu terancam bahaya dan harus diobati dengan obat mustika yang berada dalam delapan kuda besi ini, apakah engkau mau merelakan jiwamu? Ataukah engkau akan memberikan kepada Kun Hiap agar anak muda itu sembuh dari pikirannya yang hilang? Dengan begitu biarlah dunia persilatan akan kehilangan seorang calon tokoh yang paling sakti?"

Hui Yan tercengang menerima pertanyaan seperti itu. Dia balik bertanya, "Apa maksudmu bertanya begitu?"

Orang tua itu menghela napas panjang.

"Sebenarnya aku tak Ingin mengatakan kepadamu. Tetapi aku bingung. Engkau..

. . engkau telah terkena jenis racun yang amat ganas. racun itu telah menyusup dari tengah telapak tanganmu dan terus mengalir kelengan. Sekarang sudah menyusup ke dalam hati. Paling banyak engkau hanya dapat hidup tiga hari   lagi. " berkata sampai disini wajah orang tua itu menampilkan kerut kesedihan

yang mendalam. 

Mendengar itu jantung Hui Yan berdetak keras. Dia segera teringat kalau Pek-lin cinjin Kongyap Hong pernah mengatakan begitu juga. Waktu itu dia tak mengacuhkan. Dan setelah sebulan menempuh perjalanan ke Biau-ciang, dia- pun sudah melupakan hal itu. Kalau sekarang orang tua berpenyakitan itu jaga mengatakan begitu, adakah hal itu memang sungguh2?

Tetapi kalau umurnya hanya tinggal 3 hari saja, mengapa sampai sekarang dia tak merasa ada perobahan dalam tubuhnya? Huh, kemungkinan besar orang tua berpenyakitan itu tentu hendak menakut-nakutinya, apabila dia benar2 ketakutan, orang tua itu tentu tertawa senang. Pikirnya.

Memang sebagai dara centil, Hui Yan sering berbuat begitu untuk mempermainkan orang. karena mengukur tabiat orang tua berpenyakitan itu seperti dirinya sendiri, bukannya takut kebalikannya Hui Yan lalu tertawa mengikik.

"Kalau memangnya harus mati, biarlah saja. Toh aku sudah mengenyam kemurahan hidup sampai beberapa hari. Kalau sudah mendapat kemurahan masa aku harus temaha?" katanya dengan nada mengejek.

"Budak perempuan, aku tidak bergurau dengan engkau," kata orang tua itu dengan nada serius.

Hui Yan rasakan nada kata2 orang tua itu menggetar gelisah. Dia malah tertawa.

"Cobalah engkau menyalurkan hawa pernapasan. sampai ke Tay-po dan berhenti sebentar," perintah orang tua itu.

Hun Yan cepat melakukan perintah. Ketika tenaga-murninya sampai ke jalandarah Tay-po--hiat, memang agak sendat. Bermula dia masih tak merasa apa2 tetapi beberapa saat kemudian dia rasakan tubuhnya lemas sekali. pandang matanyapun berkunang-kunang gelap dan bluk . .. akhirnya dia jatuh ke tanah . .

Bukan main kejut Hui Yan. Buru2 dia lon-cat bingun dan menyalurkan hawa- murninya lagi. Tetapi saat itu dia tak merasakan suatu apa.

Dia mengicup-ngicupkan mata dan seketika timbuliah perasaan takut yang hebat sehingga dia tak dapat omong apa2.

Orang tua itu menghela napas, "Sekarang apa engkau sudah percaya ?" Karena bingungnya Hui Yan hampir menangis, "Cianpwe, tolonglah aku . ,.!" 

"Sudah tentu aku dapat menolongmu," kata orang tua itu.

Mendengar itu agak longgarlah kesesakan dada Hui Yan. Dia segera tertawa, pikirnya, "Ah, aku ini memang tolol. Masa di depan seorang berilmu tinggi, aku takut akan mati ?"

"Kalau begitu harap cianpwe lekas menolong saja," serunya seenak sendiri, "kalau tidak, wah, apabila aku bertempur dengan orang dan tiba2 pandang mataku gelap lalu rubuh, tentulah celaka,"

Masih diliputi keragu-raguan, orang tua, itu berkata, "Aku. aku masih bingung

untuk mengambil keputusan, menolong engkau atau tidak."

Hui Yan yang berotak cerdas segera dapat mengetahui keraguan orang tua itu. Dia terlongong-longong melongo. Beberapa saat kemudian baru berkata, "Apakah kalau hendak melenyapkan racun dalam tubuhku itu juga harus mengguuakan obat Mustika dalam kuda besi itu ?"

Orang tua itu mengangguk pelahan, "Racun yang masuk iedalam tubuhmu itu adalah Jit-seng-ki-tok (racun ganas tujuh bintang). Terbuat dari ramuan tujuh jenis racun yang hebat. Kalau baru saja terkena racun itu, memang dapat disembahkan dengan obat lainnya. Tetapi kini racun itu sudah menyusup dalam2 ke tubuhmu " dia geleng2 kepala dan tak melanjutkan kata-katanya lagi.

Hui Yan gemetar, dia lalu mencari pegangan pada segunduk batu besar tetapi tetap rasakan ke dua kakinya lemas sehingga dia ngelumpuk duduk di batu itu.

"Apakah tiada lain pengobatan lagi ?" mengangkat muka dia bertanya.

Orang tua itu gelengkan kepala, "Kalau hawa racun menyusup dari lain jalandarah, dengan terpaksa memotong uratnadi bagian itu, dapatlah mengeluarkan hawa racun, Tetapi sekarang racun itu sudah masuk kedalam urat hati, apabila urat itu dip.otong, engkau... hehi heh " dia tertawa rawan.

Sebab kalau urat sim-meh dipotong, bagaimana akibatnya sudah jelas.

"Tentu masih ada lain cara! Tentu masih ada daya lain !" teriak Hui Yan deangan suara yang makin lain makin lemah sampai akhirnya tak bersuara lagi.

Orang tua itu tak bicara apa2. Dia letakkan kedua kuda besi yang dipegangnya, di tanah lalu mengeluarkan lagi keenam biji besi dari dalam bajunya. Semuanya itu dijajar-jajar di tanah, Kemudian berputar tubuh dia terus ayunkan langkah dan berkata, "Soal ini, aku benar2 sukar memutuskan. Lebih baik engkau sendiri yang memutuskan." 

'Tidak, tidak, jangan pergi," teriak Hui Yan dengan suara sember. Tetapi orang tua itu sudah melesat lima tombak jauhnya. Hui Yan berbang-kit hendak mengejar tetap baru bergerak selangkah, dia sudah jatuh Lagi.

Sekarang baru dia percaya kalau orang tua itu tidak bergurau. Sambil menekan tanah, dia mengangkat kepala dan berseru, "Cianpwe, tahukah engkau siapa yang telah mencelakai diriku ini.

Orang tua itu sudah membeluk pada ujung gunung. Entah dia dapat mendengar suara si dara atau tidak. setelah berteriak dua kali, Hui Yan berhenti.

Dia teringat ketika baru tiba di Ki-lok-hong, dia memang berjabat tangan dengan Hui Giok. Tiba2 saat itu dia rasakan telapak tangannya kesemutan. Teringat hal itu, kedua tangannya lunglai dan kembali dia jatuh ke tanah.

Pelahan-Iahan ia membalikkan telapak tangan dan memeriksanya. Pada jalandarah lo-kiong-hiat Wi tengah telapak tangannya tampak sebuah titik berwarna merah mengkilap. Dipandangnya titik itu dengan termangu-mangu .

,...

Ah, kelihatannya titik merah itu makin mengembung besar dan makin besar, lalu berputar-putar dan tiba2 tampaklah bayangan wajah Hui Giok tersenyum

menyeriggai ....

Uh sekonyong-konyong Hui Yan mennyambar dan menerkamnya. Tetapi

yang diterkam itu tak lain hanyalah beberapa biji kuda besi yang berjajar dihadapannya, "Tidak, tidak, aku tidak akan mati. Jangan harap engkau dapat tertawa gi-rang. "

Tiba2 ia meinbuka tangan dan kuda besi yang dipegangnyapun jatuh ke tanah, Dia terkejut karena saat itu dia seperti melihat Kun Hiap muncul dan tengah tertawa seperti orang gila Tingkah laku pemuda itu tak ubah seperti seorang yang sakit ingatan....

"Ah, dia bakal menjadi tokoh unggul yang sudah ratusan tahun tak pernah terdapat dalam dunia persilatan. Asal dia dapet diobati dengan obat mustika dalam delapan biji kuda besi itu. Ah, tetapi dia sendiri, jika tidak mendapat obat mustika dalam kuda besi itu, juga pasti mati "

Hui Yan rasakan kepalanya seperti mulai berputar-putar, makin lama makin deras. Kedela-pan biji kuda besi yang diatas tanah itu seperti meringkik dan melonjak-lonjak. Hui Yan menjerit, lalu serentak berdiri. 

Dipandangnya kuda-besi kuda-besi itu lekat-lekat. Hatinya kacau balau tak menentu.

Orang tua berpenyakijan tak dapat mengam-bil keputusan untuk menggunakan obat mustika dalam kuda besi itu karena dia ingin menciptakan seorang tokoh nomor satu pada diri Kun Hiap.

Dan Hui Yan juga tak dapat mengambil keputusan karena rasa cintanya kepada Kun Hiap. Rasa cinta itu menimbulkan rasa egoistis (keakuan). Kalau dia sampai mati, bukankah Hui Giok akan tertawa girang karena dapat merebut Kun Hiap?

Andaikata tidak ada taci yang menjadi saingannya itu, Hui Yan tentu rela memberikan obat mustika itu kepada Kun Hiap.

Sampai beberapa saat belum juga Hui Yan dapat mengambil keputusan. Dia berusaha untuk menenangkan ketegangan hatinya dulu, Dan setelah tenang, dia dapat menemukan sesuatu pikiran terang. Ya, dia masih punya waktu tiga hari lamanya. Memang tiga hari itu waktu yang singkat sekali dan apa yang dapat ia lakukan selama itu ? Ah kembali pikirannya bingung tak keruan.

Beberapa waktu kemudian baru, timbul pi-kirannya, Dia ingin bertemu dengan KunHiap la-gi, Ia hendak melihat bagaimana keadaan anakmuda itu, Apakah pikirannya masih hilang atau sudah ada perobahan. Kepada pemuda itu ia hendak mengucapkan beberapa pesan hatinya.

Tiba2 dia terbeliak, pikirnya, "Dengan ren-cana itu, berarti aku sudah memutuskan untuk menyerahkan obat mustlka itu keaada Kun Hiap."

Ya, memang dalam hati kecil dara itu sudah mempunyai keputusan untuk memberikan obat mustika kepada pemuda yang dicintainya. itulah sebabnya maka timbul keinginan untuk bertemu muka yang terakhir kalinya dengan pemuda itu.

Kembali dia, terlongong-longong beberapa saat lalu memunguti delapan biji kuda besi dan di simpan kedalam bajunya. Dia mengambil pernapasan sebentar untuk menenangkan suara kemudian baru berseru, "Cianpwe, aku sudah mengam-bil keputusan. Lekaslah engkau kemari."

Setelah dua kali berteriak barulah dari jauh terdengar suara penyahutan orang tua itu, 'Engkan memutuskan bagaimana? Lekas kasih tahu aku!"

Hui Yan menghimpun napas dan berseru pula, "Aku memutuskan untuk memberikan obat mustika itu kepada Kun Hiap!" 

Jelas orang tua itu tentu mendengar jawaban Hui Yan yang sengaja diteriakkan lebih keras. Tetapi beberapa jenak belum juga kedengaran orang tua itu bersuara.

Berselang beberapa saat baru terdengar sebuah suara parau dari kejauhan, "Nona Tian Nona Tian kukira d dunia itu hanya aku seorang yang menjadi manusia sebatang kara dan rela mengorbankan diri. Tetapi ternyata  tidak.."

Suara itu makin terdengar dekat. Selain bernada parau juga napasnyapun terdengar terengah-engah. Jelas kalau orang itu sedang berlari  mendatangi.

Waktu Hui Yan masih tercengang, sesosok manusia sudah berkelebat muncul dihadapannya.

Aa, orang itu bukan lain adalah orang yang sudah pernah dilihatnya, lelaki bertubuh tinggi kurus yang tegak berdiri di samping pohon seperti patung.

Hui Yan menyurut mundur setengah langkah dan membentak, "Siapa!"

Orang itu tidak menjawab melalnkan ulurkan tangan hendak memegang tangan  si dara. Hui Yan cepat memiringkan tubuh dan hendak menghindar. Tetapi ketika matanya beradu pan-dang dengan orang itu, dia dapatkan pandang mata orang itu memancarkan rasa kagum dan terima kasih kepadanya.

Hui Yan tergerak hatinya. Dia merasa orang itu tak mengandung maksud jahat kepadanya. Tangannya yang hendak ditarik itu dijulurkan kembali dan orang itupun segera menjabat dengan kencang. Bibir gemetar beberapa saat kemudian baru terdengar dia bersuara, "Nona Tian, ”

Orang itu hanya mengatakan sepatah kata nama Hui Yan tetapi tak melanjutkan lagi. Jelas dia sedang mengalami kegoncangan batin yang hebat.

"Siapakah sebenarnya anda ini?" tegur Hui Yan.

"Ah, kiranya engkau tak kenal aku! Ah, aku ternyata banyak berobah sekali. Kadang bahkan aku sendiri juga hampir tak mengenali diriku sendiri,” kata orang itu.

Walaupun berkata cukup panjanig tetapi orang itu belum mengatakan siapa dirinya. Waktu Hui Yan hendak bertanya, orang itu melanjutkan berkata lagi, "Nona Tian. entah bagaimana aku harus menyatakan terima kasih kepadamu."

"Mengapa engkau berterima kasih kepadaku?" 

Dengan terputus-putus orang itu berkata."Walaupun dia...a bukan anak kandungku sendiri. Tetapi selama itu kuanggap dia itu sebagai anakku. Engkau mau menolongnya. ai, seharusnya, aku tak perlu berterima kasih kepadamu.

Tetapi entah, bagaimana aku harus mengatakan kepadamu. Andaikata hal itu terjadi pada dia, kemungkinan dia takkan mau memberi pengorbanan sedemikian besar seperti yang engkau lakukan sekarang ini."

Hui Yan kerutkan dahi dan tetap tak tahu siapakah gerangan orang yang mengoceh dihadapannya itu. Dia menghela napas, "Sahabat, engkau. "

sebenarnya Hui Yan hendak mencegah agar orang itu jangan mengoceh tak keruan begitu tetapi harus berkata dengan urut dan mengatakan dirinya itu siapa.

Tetapi sebelum Hui Yan sempat membuka mulut, terdengar suara orang berpenya-kitan berkata dengan pelahan-lahan, "Jangan memutuskan omongannya. Biarkan saja dia melan-jutkan kata-katanya. Dia terlalu gembira sekali. Sudah sebulan ini aku tak pernah mendengar dia mau bicara!"

Hui Yan cepat berpaling. Ah, ternyata orang tua berpenyakitan itu sudah berada di sebelahnya.

"Siapakah dia ?" tanya Hui Yan.

“Apakah engkau belum tahu ? Coba, lihat ikat pinggangnya," sahut orang tua itu.

Waktu memandang kearah pinggang orang kurus itu, Hui Yan melihat sebatang kerangka pedang yang kosong. Kerangka itu panjang dan le-bar bentuknya.

Pada bagian atas, berukir sepasang naga. Hui Yan tertegun.

"Kim-liong-kiam-khek Wi Ki Hu," serunya serentak, seraya menarik tangannya. Wajahnya berobah merah lalu tertawa dingin, "Ho, kiranya engkau ! Tak kira kalau seorang manasia yang tak punya malu!"

"Tutup mulutmu!" orang tua cepat membentaknya.

"Kalau dia kebetulan disini, itu bagus sekali," kata Hui Yan, "cianpwe, dimana   Kun Hiap ? Le-kas usahakan mencarinya. Setelah ingatannya sembuh, biarlah dia segera melampiaskan dendam terhadap musuh yang telah membunuh ayah dan mencemarkan mamanya.

Orang tua berpenyakitan diam tetapi Wi Ki Hu tertawa gelak2, "Membunuh ayah mencemarkan mamanya? Ha, ha, dendam ayah dibunuh, mama dicemarkan ! Ai, nona Tian, engkau telah rela berkorban nyawa untuk menolong Kun Hiap. Tetapi kalau engkau dianggap orang engkau telah membunuh ayah dan mencemarkan 

mamanya, ba-gaimana perasaan hatimu?"

Hui Yan mencibirkan bibir, "Omong kosong! Apakah aku yang membunuh ayahnya? Ayahnya Can Jit Cui itu mati ditangan siapa?"

Wi Ki Hu menyurut mundur dua langkah dan memegang batang pohon, serunya, "Memang benar. Cin Jit Cui itu mati ditanganku."

Hui Yan maju selangkah, mendesaknya "Bukankah Can Jit Cui itu saudara- angkatmu?"

Wajah Wi Ki hu yang kurus seperti mayat itu tiba2 memancarkan cahaya aneh. Namun dia tidak marah karena dituduh dan didesak begitu rupa oleh si dara, Dengan mantap dan tandas dia menyahut, "Benar!"

"Engkau dan Can Jit Cui mancintai Tong Wan Giok. tetapi Tong Wan Giok tidak suka kepadamu. Dia mencintai Can Jit Cui apa lagi sudah mengandung bibit anaknya. Lalu engkau bunuh saudara-angkatmu. Waktu Tong Wan Giok bingung dan putus asa, engkau lalu menggunakan kesempatan untuk memperisterinya, benar atau tidak ? " Hui Yan menyerocos menghujani pertanyaan seperti seorang jaksa yang sedang menuntut kesaIahan seorang tertuduh.

"Separoh bagian muka dari omonganmu itu, memang benar. Tetapi yang separoh lagi, tidak benar, "sahut Wi Ki Hu.

Hui Yan tertawa dingin, "Mengapa tidak be-nar? Katakanlah, aku bersedia mendengar pembelaan dirimu."

Tiba2 orang tua berpenyakitan melesat kemuka, "Siau Wi, aku tahu jelas akan peribadimu maka aku percaya kalau dalam peristiwa itu tentu ada sebabnya. Katakanlah, mengapa engkau sam-pai membunuh Can Jit Cui."

Tubuh Wi Ki Hu menggigil keras sehingga batang pohon yang dicengkeramnya itu berbunyi berkeretekan karena ditutupi kelima jarinya.

"Dunia persilatan saat ini sedang gencar membicarakan dirimu. Katakanlah mengapa engkau sampai membunuh Can Jit Cui. Kurasa tentu ada sebabnya."

Dalam berkata-kata itu sepasang mata si orang tua berki!at~kilat memandang   Wi Ki Hu dengan tajam. Tetapi Wi Ki Hu tidak menampakkan rasa kemenyesalan. Hanya daging pipinya berkerenyutan, menandakan kalau batinya, tegang

Beberapa saat kemndian baru dia menghela napas dan berkata tersendat- sendat. "Aku. membunuhnya karena cintaku yang besar kepada Wan Giok!” 

"Dan engkau lalu melakukan rencana buruk itu?"Hui Yan menyeletuk.

Sekonyong-konyong Wi Ki Hu meraung keras, teriaknya, "Ngaco! Bermula akupun hanya seperti engkau yalah hanya ingin menasehatinya. tctapi dia tak

mau mendengar, dia tak mau menurut.

Suaranya makin lama makin lemah, kepala menunduk lalu diam. Suasana di hutan pegunungan itupun kembali sunyi senyap.

Sekonyong-konyong dari jauh terdengar suatu bunyi yang aneh. Kadang terputus, kadang terdengar, Nadanya seram dan rawan, membuat bulu kuduk tegak meregang.

"Dia tak mau menurut bagaimana ? Mengapa tidak menerangkan selanjutnya?" kata suara itu.

Hati Hui Yan resah. Buru dia menghimpun hawa-murni untuk menjaga semangatnya agar tetap tenang.

Wajah orang tua berpenyakitanpun juga be-robah. Dia kebutkan lengan baju sehingga Hui Yan terdorong beberapa Iangkah jauhnya, kemudian membentak "Jangan bergerak, disitu saja !"

Sudah tentu Hui Yan tak mengerti. Dan memangnya dia juga tak punya tenaga untuk berjalan kemana-mana lagi.

Saat itu suara yang menyeramkan tadi terdengar pula. "Toh-loji, sudah bertahun-tahun tak berjumpa. Apakah engkau sudah mengganti nama? Kalau mendengar nada suaramu, seperti ada su-aranya tetapi tak berisi semangat, tampaknya kedelapan uratnadimu tak bekerja normal lagi. Mengapa engkau tak lekas2 menyediakan liang kubur tetapi masih nongol disini cari perkara ?"

Suara itu berkumandang nyaring dan cepat sekali sudah menghampiri dekat. Orang berpenyakitan berbalik tubuh untuk menghadapi arah datangnya suara itu. Dengan begitu Hui Yan dan Wi Ki Hu berada di belakangnya.

Hui Yan berusaha untuk menenangkan diri katanya, "Siapakah yang datang itu?"

Sebelum orang tua berpenyakitan itu menja-wab, sesosok bayangan dengan kecepatan yang tinggi sudah melesat datang dan tegak tiga meteran dihadapannya. Tetapi walaupun dalam jarak sede-kat itu, tetap orang itu belum dapat diketahui wajahnya yang jelas karena tubuhnya masih barge-rak dan bergoyang-goyang, sepertinya setiap saat dia akan melesat melayang ke udara. 

Pakaian warna kelabu yang dipakainya memancar sinar, Sepintas memang menyedapkan pandang tetapi kalau dipandang dengan cermat sangat menusuk mata, Bahkan wajah orang itupun seperti dilingkari oleh cahaya berkilau itu sehingga tak dapat kelihatan dengan jelas, Kalau orang menga-takan bahwa di dunia ini terdapat bangsa setan maka tak salah lagi kiranya pasti begitulah kea- daannya.

Setelah berdiri tegak, orang itu tertawa aneh, "Toh loji, kita hanya berpisah beberapa tahua sa-ja, mengapa engkau berobah menjadi begitu rupa? Engkau menderita putus urat sebuah atau dua buah ?"

"Sudah tentu hanya sebuah, Kalau tidak, begitu melihat engkau aku tentu akan menyingkir jauh2?"

"Baik, baik," sahut orang itu, "dulu kita ini bertiga, Lo-toa yang paling tinggi kepandaiannya. Aku dan engkau memang sering ingin hendak mengalahkannya. Akhirnya, yang satu mengembara ke luar lautan dan yang satu menyembunyikan diri di pedalaman Biau-ciang, Kini lotoa sudah meninggal. tinggal aku dan   engkau berdua. Sudah tentu kita akan menyelesaikan keinginan yang belum pernah terselesai, siapakah yang lebih unggul diantara kita berdua ini ?"

Mendengar kata2 orang itu, wajah orang tua berpenyakitan tampak mengerut serius tetapi tak mau bicara.

Mendebur keras jantung Hui Yan waktu mendengar percakapan kedua orang itu. Kini dia mu-lai tahu jelas bahwa yang dimaksud dengan lo-toa atau saudara  tertua itu, bukan lain adalah mendiang ayahnya sendiri. Orang tua berpenyakitan itu orang she Toh dengan. begitu jelas saudara angkat dari ayahnya, Namanya yang lengkap adalah Toh Lian Hong bergelar Bu-ing-hui-liong atau si Naga- terbang-tanpa-bayangan.

Hui Yan teringat bahwa, mamanya pernah berulang kali menerangkan bahwa Bu-ing-hui-liong itu bertubuh kekar tinggi, seorang lelaki yang gagah perkasa. Ilmu kepandaiannya dalam ginkang tiada lawannya. Dalam dunia persilatan, tokoh yang memiliki ilmu Sut-te-seng-cun, sebuah ilmu ginkang tinggi mungkin hanya dia seorang. Tetapi siapa tahu sekarang tokoh yang sehebat itu hanya tinggal seorang tua yang kurus kering dan wajahnya seperti orang yang berpenyakitan.

Bukan saja tahu riwayat orang tua berpenyakitan, pun Hui Yan juga tahu siapakah tokoh menyeramkan yang baru muncul itu. Dia tak lain adalah durjana besar dari daerah Biau-ciang yani Tok Liong cuncia, tokoh yangdisebut- sebutakan Sam Yang akan dijadikan guru itu. 

"Nona kecil," kau Tok Liong cuncia, "apa-kah.engkau takut?"

Bu-ing-hui-liong Toh Lian Hong atau si orangtua berpenyakitan berkata dengan nada dingin, "Dia adalah puteri bungsu dari lo-toa. Ma-sa dia takut kepadamu ?"

Mendengar itu gemetarlah Tok Liong cuncia. Dia meraung keras dan menyakitkan telinga sehingga menyebabkan mata Hui Yan berkunang-kunang hampir jatuh pingsan.

Serempak menghamburkan raung yang aneh itu, tubuh Tok Liong cuncia mencelat ke udara, lalu meluncur turun, melambung lagi dan lalu tu-run lagi.. Dalam gerak melayang dan turun itu, dia sudah melampui kepala Toh Lian Hong dan kini tiba di hadapan Hui Yan.

Hui Yan rasakan seperti d landa oleh gelombang angin deras sehingga dia menyurut mundur diri secara kebetulan membentur tubuh Wi Ki Hu.

Tetapi tepat pada saat itu juga, bayangan kelabu dari tubuh Tok Liong cunciapun sudah melesat tiba dan. terus ulurkan tangan mencekam dada si dara.

Hui Yan terkejut sekali. Dia cepat menghantam tetapi baru setengah jalan, siku lengannya terasa mengencang karena sudah dicengkeram Tok Liong cuncia.

Hui Yan menjerit ngeri
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar