Kuda Besi (Kuda Hitam dari Istana Biru) Jilid 10

Jilid 10.

Melihat puteranya hendak diterkam orang itu Tong Wan Giok nekad, Tinggalkan Wi Ki Hu dia terus menyerbu orang itu.

Soh-jiu-hud-hun atau Tangan-mengebut-awan, demikian jurus yang dilancarkan Tong Wan Giok Kedua tangannya dirangkapkan lalu menghantam.

Saat itu Hui Giok telah menerkam Kun Hiap. Waktu merasa dirinya dilanda gelombang angin pukulan dahsyat, sebenarnya kalau mau dia dapat. menangkisnya. Tetapi karena dia mencintai Kun Hiap sudah tentu dia tak mau mencelakai mama Kun Hiap. Maka dia hanya kebutkan lengan baju kirinya kirinya ke belakang dengan pelahan. Setiup tenaga yang lunak menyongsong angin pukulan Tong Wan Giok dan menghapuskannya.

/>

Sudah tentu Tong Wan Giok terkejut sekali

Saat itu dia baru menyadari bahwa kepandaian nona yang tak dikenalnya itu jauh, lebih tinggi dari dirinya.

"Nona, siapa engkau? Mengapa engkau menerkamnya ?" tegurnya. 

Maksud Hui Giok menerkam Kun Hiap hanyalah mencegah jangan sampai dia melanjutkan langkahnya. Baru dia hendak menjawab pertanyaan Tong Wan Giok, tiba2 dia rasakan bahu Kun Hiap memancar tenaga-tolak yang luar biasa hebatnya sehingga cengkeramannya terlepas dan bahkan dirinya ikut terpental mundur sampai satu langkah.

Hui Giok kaget sekali Kembali dia menerkam bahu Kun Hiap. Kali ini dia gunakan tenaga yang lebih besar.

Saat itu Kun Hiap baru bergerak setengah langkah, tahu2 sudah diterkam Hui Giok lagi.

"Nona, siapa engkau," dalam pada itu Tong Wan Giokpun melesat tiba.

"Harap peh~bo (bibi) jangan kuatir. Aku adalah kawan baik dari puteramu," sahut Hui Giok tertawa.

Tong Wan Giok tertegun. Dia belum pernah kenal dengan nona itu mengapa nona itu sudah kenal padanya ?

Tiba2 Hui Giok menjerit kaget. Cengkeramannya terlepas dan dia terpentai seelangkah ke belakang lagi.

Hui Giok makin kaget dan heran, Dia tahu sampai di mana kepandaian Kun Hiap, Tetapi mengapa dua kali pemuda itu mampu melepaskan diri dari cengkeramannya?

Dia ingat jelas bahwa hanya lebih kurang sejam lamanya Kun Hiap tertutup dalam ruang batu. Masa dalam waktu sesinakat itu kepandaiannya dapat mengungguli dirinya?

Hui Giok melesat ke samping Kun Hiap dan memandangnya lekat2. Dia terkejut lagi. Menilik sikapuya, Kun Hiap seperti tak tahu kalau dia (Hui Giok) berada di hadapannya. Nyatanya pemuda itu terus melanjutkan ayun langkah ke muka.

"Hai, engkau kena apa?" teriak Hui Giok sekeras-kerasnya, seraya menyurut mundur. Karena kalau tidak, tentulah akan ditubruk Kun Hiap.

Tetapi walaupun berturut-turut mundur sampai delapan langkah dan tidak henti- hentinya meneriaki supaya berhenti/tetap saja Kun Hiap tak menghiraukan dan maju terus.

Hui Giok kaget, akhirnya marah. Dia ulurkan tangan uniuk mencengkeram bahu Kun Hiap. 

Dia sudah merasakan dua kali tadi bagaimana cengkeramannya telah dipentalkan oleh tenaga-tolak dari bahu pemuda itu. Maka kali ini dia menggunakan tenaga berat untuk menerkam. Dan sedianya begitu dapat menerkam, terus hendak diangkatnya.

Tetapi begitu menerkam, pancaran tenaga-tolak dari bahu Kun Hiap jauh lebih dahsyat la

gi dari tadi. Ih., ... Hui Giok mendesis ketika tangannya terpental. Dadanya terbuka tak .terlindung. Dan pada saat itu juga, Kun Hiap melangkah maju.

Tadi karena selalu mundur maka Hui Giok tak rapat pada Kun Hiap. Tetapi sekarang karena maju menerkam, dia melangkah ke hadapan Kun Hiap. Sudah tentu dia tak sempat menghindari lagi dari benturan Kun Hiap, Dia gugup dan berusaha untuk dapat cepat2 miringkan tubuh ke samping. Tetapi sekalipun begitu tak urung bahunya yang terlanggar.

Uh kembali Hui Giok mandesuh kaget ketika dia kehilangan keseimbangan

tubuh. Terjangan Kun Hiap itu membuatnya terhuyung-huyung mundur sampai tujuh delapan langkah baru dia dapat berdiri tegak lagi.

Begitu memandang ke muka, Kun Hiap masih maju dan saat itu sudah berada di hadapannya. Sudah tentu dia gugup dan mundur. Diperhatikannya sepasang mata Kun Hiap memandang lurus ke muka tetapi tak berkedip.

Hui Giok gerakkan tangannya untuk membuat gerakan menampar di dekat mata Kun Hiap. Ah, benar mata anakmuda itu tak berkedip.

Hui Giok ketakutan dan menyurut mundur seraya berteriak-teriak memanggil Kun Hiap. Tetapi anakmuda itu tak menghiraukan. Hui Giok, gelisah sekali. Dia tahu bahwa pemuda yang dicintainya itu tertimpa suatu kejadian yang berbahaya tetapi dia tak tahu apa dan tak mengerti bagaimana harus menolongnya.

Kun Hiap masih berjalan lurus ke muka dan Hui Giok terpaksa mundur. Saat itu Kun Hiap tiba di depan sebatang pohon. tetapi masih tetap maju.

"Awas!" teriak Hui Giok.

Tetapi Kun Hiap tak mempedulikan dan tetap melangkah maju. Bum pohon

itu ditabraknya dan rubuh.

Pohon itu batangnya sebesar basi. Hui Giok mengira muka dan kepala Kun Hiap tentu remuk kalau membenturnya. Tetapi apa yang disaksikannya saat itu, 

benar2 tak pernah diduganya. Bukan Kun Hiap tetapi pohon itu yang rubuh sedang Kun Hiap masih tetap berjalan seperti tidak terjadi suatu apa.

Hui Gok kesima, Tadi waktu dibentur Kun Hiap dan terhuyung-huyung ke belakang, Hui Giok masih menganggap apabila hal itu terjadi secara kebetulan saja. Tetapi kini setelah melihat Kun Hiap dapat menabrak pohon sampai tumbang, barulah Hui Giok menyadari kalau hal itu bukan sesuatu yang kebetulan. Dia tahu kalau Kun Hiap sekarang memiliki tenaga-dalam yang luar biasa, lebih tinggi dari dirinya. Suatu hal yang mustahil tetapi toh kenyataannya begitu.

Hui Giok termangu-mangu. Dilihatnya Kun Hiap melanjutkan langkahnya dan sudah makin jauh. Hui Giok menimang. Kalau membiarkannya begitu saja, rasanya memang kurang enak. Maka dia lalu mengejarnya.

Baru dia bergerak, dari belakang terdengar orang berseru. "Giok-ji, berhentilah!"

Ternyata yang berseru itu adalah Tong Wan Giok yang terus melesat mengejar. Sikapnya tegang, rambut terurai.

Hui Giok terpaksa hentikan langkah.

"Aku tak bermaksud menyalahi engkau," tiba2 Wi Ki Hu loncat ke udara dan meluncur di samping Tong Wan Giok untuk ikut serta mengejar Kun Hiap.

Sebenarnya kepandaian Hui Giok tidak dibawah Tong Wan Giok maupun Wi Ki  Hu Adalah karena tadi belum mengambil keputusan maka Tong Wan Giok dan   Wi Ki Hu dapat mendahuluinya. Kini dia sudah mengambil keputusan. Sekali mengempos semangat, dalam beberapa loncatan saja dia sudah tiba di belakang Wi Ki Hu.

Tong Wan Giok berada di depan. Jaraknya dengan Kun Hiap hanya tinggal sepengulur tangan, tentu dapat menjamah bahu Kun Hiap. Dan memang Tong Wan Giokpun ulurkan tangan hendak memegang bahu puteranya.

Melihat itu Hui Giok terkejut. Dia sudah merasakan tenaga-tolak dari bahu Kun Hiap. Maka diapun hendak meneriaki agar Tong Wan Giok jangan melakukan hal itu. Tetapi belum sempat dia berteriak, tiba2 dari samping melesat seseorang yang menghadang di muka Tong Wan Giok.

Begitu orang itu bergerak barulah Wi Ki Hu dan Hui Giok tahu kalau bermula orang itu tegak bersandar pada pohon. Kalau saja orang itu tidak bergerak, Wi Ki Hu dan Hui Giokpun tentu tidak sempat mengetahui kalau di bawah pohon ada seseorang lain. 

Saat itu Tong Wan Giok sudah terlanjur ulurkan tangan. Bagaimana mungkin hendak menariknya kembali. Namun dia paksakan diri untuk berusaha menarik tangannya dan hiattt bahu bajunya tertarik robek.

Orang itu tertawa gelak2, serunya, "Toa-soh, apa-apaan ini, mengapa engkau merobek bahu bajuku?"

Nadanya lemah seperti orang yang baru sembuh dari penyakit berat.

Tong Wan Giok memandang dengan seksama dan meneguruya, "Siapa engkau?"

Orang itu tertawa, "Toa-soh, engkau tidak kenal padaku?” katanya sambil menuding ke belakang.

Tong Wan Giok berpaling ke belakang, dilihatnya Wi Ki Hu berdiri di belakangnya. Seketika wajah Tong Wan Giok berobah. Mengangkat tangannya terus dihantamkan ke belakang.

Wi Ki Hu miringkan kepala, plak telinga kena tertampar sehingga

wajahnya merah. Tong Wan Giok berputar diri dan melengking, "Siapa dia? Suamiku sudah lama meninggal. Mengapa engkau mengoceh tak keruan di sini?”

Orang itu menghela napas, "Toa-soh, jangan engkau anggap dia itu seorang buruk. Aku tahu betul peribadinya."

Saat itu perasaan Tong Wan Giok sedang diamuk dendam dan marah. Sudah tentu dia tak mau adu mulut dengan orang itu.

Di lain fihak, Wi Ki Hu diam heran. Orang itu mengatakan kenal padanya dan tahu akan peribadinya tetapi dia sendiri merasa belum pernah melihat orang itu.

"Siapakah anda ini?" serentak dia melangkah maju menghampiri dan menegur.

Dangan lemah orang itu terawa, "Sudahlah, sudahlah, kalian berdua suami isteri jangan bertengkar lagi, lekas kalian berjabatan tangan.''

Tiba2 dia sudah menyambar tangan Tong Wan Gok. Gerakannya lambat sekali.. Demikian pula dengan gaya cengkeramannya.

Mendengar ucapan orang itu tak sedap didengar, Tong Wan Giok marah. Dan melihat orang itu bergerak hendak menjamah lengannya dia makin kaget.

Sebelum dia sempat memikir bagaimana harus menghadapi atau tiba2 tangannya sudah terasa mengencang karena sudah dicengkeram orang itu. 

Tampaknya lambat2 saja dia bergerak tetapi entah bagaimana ternyata Tong Wan Giok sudah tak sempat bergerak.

Dan serempak pada saat itu juga, sebelah tangan orang itu sudah menerkam pergelangan tangan Wi Ki Hu. Tong Wan Giok dan Wi Ki Hu berontak berusaha hendak meronta tetapi jari orang itu bagaikan jepitan besi kuatnya. Bukannya terlepas kebalikannya Tong Wan Giok dan Wi Ki Hu malah lebih mendekat selangkah lagi.

"Ayolah, kalian saling bergenggam tangan.. Biar hawa kemarahan menjadi hawa kemeraan. Masa ada persoalan di antara suami isteri diselesaikan dengan senjata?"

Kata-kata itu ditutup dengan merangkapkan tangan Tong Wan Giok dan Wi Ki Hu menjadi satu lalu dia lepaskan cengkeramannya dan mundur ke belakang.

Betapa kemarahan Tong Wan Giok dapat dimaklumi. Selekas orang itu lepaskan cengkeramannya, ia terus menghantam dada Wi Ki Hu.

Kepandaian Wi Ki Hu jauh lebih tinggi dari Tong Wan Giok. Kalau dia mau mencelakai Tong Wan Giok, tentulah dia lebih berhasil. Tetapi dia tak   mempunyai maksud begitu. Dan karena itu diapun tak sempat untuk menghindar dari pukulan Tong Wan Giok.

Tong Wan Gok telah menggunakan segenap tenaganya untuk memukul. Dan pukulannya itu di arahkan pada jalandarah berbahaya pada tubuh Wi Ki Hu, hum

. . . . tubuh Wi Ki Hu rebah ke belakang dan terlempar ke udara Tetapi dia tak sampai rubuh. Dia berjumpalitan lalu berdiri. Tetapi tubuhnya berputar-putar seperti kitiran dan mulutpun muntah darah. Dan ketika tubuhnya berhenti berputar maka darah yang disembutkan dari mulut itupun berbentuk seperti sebuah lingkaran merah.

Sejenak menenangkan diri, Wi Ki Hu menengadah dan tertawa keras. Nadanya penuh kepiluan. Wajahnya pucat, sudut mulutnya masih mengalirkan darah dan mulailah tubuhnya terhuyung-huyung mau rubuh.

Orang tadi cepat melangkah maju lalu menutuk dada Wi Ki Hu beberapa kali, lalu mendelong. Wi Ki Hu pun rubuh terlentang di tanah. Kemudian orang itu berputar tubuh dan kerutkan alis, Toa-soh, tindakanmu itu keterlaluan."

"Dia membunuh suamiku dan membohongi aku selama 20 tahun, mengapa

aku engkau katakan keterlaluan?" teriak Tong Wan Giok.

Orang itu gelengkan kepala dan berkata dengan pelahan, "Dialah suamimu siapa 

lagi yang engkau katakan suamimu itu?"

Tong Wan Giok mendesuh, "Engkau tahu apa? Sebenarnya aku dapat membunuhnya tetapi biarlah nanti anakku yang melakukan itu sendiri untuk membalas sakithati ayahnya."

Tong Wan Giok marah sekali sehingga gerahamnya bergemerutukan. Tetapi orang yang tampak berpenyakitan itu tenang saja dan berkata dengan santai, "Toa-soh, engkau salah besar."

Sudah tentu Tong Wan Giok makin marah, "Engkau hanya tahu kentut busuk!” teriaknya. Sebenarnya Tong Wan Giok itu seorang pendekar wanita dari perguruan ternama. Baik dalam ilmu silat maupun ilmu sastra, dia menguasai semua. Dan selama ini tak pernah dia berkata dengan omongan kasar kepada orang. Tetapi karena saat itu dia sedang marah sekali, barulah dia mengeluarkan kata-2 sekasar itu. Suatu hal yang pertama kalinya ia lakukan kepada orang.

Maka sehabis memaki, mukanyapun merah.

"Mengapa aku tak tahu? Semuanya aku tahu jelas. Engkau menganggap bahwa suamimu itu Can Jit Cui, bukan?"

Mendengar orang itu menyebut nama Can Jit Cui, Tong Wan Giok terkesiap kaget. Dan pada lain saat airmatanya berderai-derai membasahi kedua pipinya.

"Orang mecam apakah Can Jit Cui itu? Mana dia layak menjadi suamimu? Dan lagi bukan Wi ki Huiah yang membunuhnya," kata orang itu pula.

Mendengar makin lama omongan orang itu makin tak keruan, bahkan perbuatan yang telah diakui Wi Ki Hu sendiri masih dianggap tidak benar, dia merasa muak sekali. Dia berpaling. dilihatnya Kun Hiap masih tetap ayunkan langkah maju ke muka saja. Serentak dia tak mau menggubris orang itu lagi dan lantas menuding Wi Ki Hu yang masih rebab di tanah, "Tunggulah, aku dan anakku takkan melepaskan engkau!" serunya.

Wi Ki Hu yang ditutuk jalahdarahnya oleh orang tadi, tak dapat menjawab melainkan memandang Tong Wan Giok dengan terlongong-longong saja.

Habis berkata Tong Wan Giok terus melesat ke arah Kun Hiap "Pehbo, tunggulah aku," tiba-tiba Hui Giok berseru.

Tong Wan Giok tertegun, "Engkau siapa?"

Hui Giok menunduk dan menyahut dengan pelahan, "Aku adalah . . . kawan baik 

Kun Hiap.”

Melihat sikap nona itu, tahulah Tong Wan Giok apa maksudnya, "Kalau begitu, mari kita mengejarnya!"

Girang Hui Giok bukan kepalang. Dengan ajakan Tong Wan Giok itu berarti terbukalah sebuah jalan baru untuk menyampaikan cita-citanya. Keduanya lalu mengejar.

Tampak Kun Hiap masih melanjutkan langkah. Jaraknya antara delapan tombak di sebelah depan. Dengan sekali bergerak, kedua wanita itu tentu dapat mengejarnya.

Pada saat keduanya tiba di belakang Kun Hiap, kebetulan saat itu Kun Hiap sedang melintas di samping sebatang pohon. Waktu kedua wanita hendak mengejarnya, tiba2 sesosok bayangan melesat ke luar dari balik pohon itu dan menghadang Tong Wan Giok berdua.

Sudah tentu Tong Wan Giok dan Hui Giok terkejut. Ternyata penghadang itu tak lain adalah orang yang berpenyakitan tadi. Tong Wan Giok dan Hui Giok makin kaget. Jelas ketika mereka berdua mulai mengejar Kun Hiap, orang tua berpenyakitan itu masih tertinggal di belakang. kapan dia lari dan tiba di bawah pohon itu, sama sekali mereka tak tahu. Bermula mereka masih menyangka kalau orang itu tentulah orang lain yang kebetulan wajah dan perawakannya menyerupai dengan orang tadi yang berpenyakitan.

Mereka berpaling ke belakang untuk membuktikan di manakah orang tua berpenyakitan itu. Huh, mereka serentak mendesuh dalam hati. Sudah tentu di belakang tak ada lagi orang tua berpenyakitan itu.

Bukan melainkan itu saja. Bahkan Wi Ki Hu yang tadi terluka dan rebah di tanah, juga tidak ada di tempatnya lagi.

"Toa-soh," sebelum Tong Wan Giok sempat membuka mulut, orang tua berpenyakitan itu sudah berkata lebih dulu, "jika engkau tak mau mendengarkan nasehatku, akupun tak berdaya apa-apa. Tetapi apa yang kukatakan semua tadi, tidak ada sepatahpun yang tidak sesuai dengan kenyataannya."

Saat itu baru Tong Wan Giok menyadari kaau dia sedang berhadapan dengan seorang sakti. Maka dengan masih tetap bernada dingin, dia berkata, "Benar, ya baik, palsu juga baik. Tetapi apa maksudmu menghadang jalanku ini?"

Tiba-tiba orang tua itu ulurkan tangan, huh, tangannya menjulur panjang sekali ke muka dan mencapai bahu Kun Hiap. Dan sekali menarik, Kun Hiappun 

berputar tubuh dan berdiri tegak. Matanya mendelik memandang ke muka.

Sambil menepuk pelahan bahu Kun Hiap, orang tua berpenyakitan itu berkata, "Kalian mengejarnya, masa tak tahu kalau ada kalian pada dirinya?"

Tong Wan Giok mengira karena mengetahui pertengkaran antara dirinya dengan Wi Ki Hu maka Kun Hiap menderita shock dan seperti limbung. Kini baru dia tahu kalau puteranya memang berobah seperti orang tolol.

"Dia dia bagaimana?" setelah terlongong berapa jenak barulah dia bertanya.

"Orang itu tak menyahut melainkan bertanya kepada Hui Giok, "Engkau berotak cerdas, Segala apa tahu dan segala apa berani melakukan. Tahukah engkau bagaimana dia?”

Mendengar kata2 orang tua itu bernada sinis, diam-diam Hui Giok terkejut dan marah. Tetapi dia tetap tenang saja dau hanya gelengkan kepala, menyatakan tak tahu.

Orang tua itu menghela napas, "Karena kalian tak tahu apa sebabnya, akupun tak mau bilang. Adakah dia bakal beruntung atau celaka, sekarang belum dapat diketahui. Berikan dia kepadaku saja."

"Siapa engkau!" seru Tong Wan Giok. "Aku adalah sahabat ayahnya."

"Apakah anda tahu siapa ayahnya?" tanya Hui Gok.

Orang tua itu memandang Hui Gok, kemu-dian balas benanya, "Apakah engkau tahu?"

"Tentu saja tahu," sahut Hui G..ok, "ayahnya tokoh tampan yang romantis dan mendapat gelar Giok-biu siau-long dan dunia persilatan, ya-itu Can Jit Cui."

Untuk mengambil muka Tong Wan Giok maka Hui Giok sengaja memuji Can Jit Cui dengan sanjungan yang begitu merdu. Dan memang Tong Wan Giok menghela napas waktu mendengarnya.

Tetapi di luar dugaan orang tua berpenyakitan itu dengan tenang gelengkan kepala, "itu salah besar! Orang macam apakah Can Jit Cui itu sehingga layak menjadi ayahnya?"

"Aku adalah mamanya," teriak Tong Wan Giok sengit, "siapa ayahnya, masakan 

aku tidak tahu dan harus engkau yang menunjukkan?"

"Memang," sahui orang tua itu, "ayah yang menurunkan dia adalah Can Jit Cui. Tetapi pernahkah anak itu melihat ayahnya? Pernahkah Can Jit Cui memelihara dan mendidiknya sampai besar? Pernahkah dia mengajari ilmusilat kepadanya?"

"Hm, engkau sudah tahu tetapi pura2 tidak tahu," seru Tong Wan Giok, "sebelum dia lahir, ayahnya sudah mati ditangan manusia khianat. Bagaimana mungkin ayahnya akan mendidiknya?"

"Siapakah manusia hianat itu?" tanya orang tua berpenyakitan.

"Wi... Ki . . . Hu!" dengan menggertak gigi Tong Wan Giok berkata gemas.

“Kalau Wi Ki Hu seorana hianat, di dunia ini tak ada lain manusia yang pantas disebut kuncu (ksatrya) Dalam hal itu tentu terdapat liku-likunya. Wi hujin, jangan engkau ringan tangan dan bertindak sembarangan."

Tong Wan Giok tak dapat bersabar lagi.

Serentak dia mengangkat tangan dan menghantam dada orang tua itu. Tetapi pukulannya itu agak dimiringkan, maksudnya hanya supaya orang itu itu terdorong saja.

Plak pukulan Tong Wan Giok seperti mengenai kayu lapuk dan orang tua itu

tetap tak bergerak dari tempatnya. Dia balikkan tangan menerkam siku lengan Tong Wan Giok dan entah dengan gerakan bagaimana, sekali tangan dilepaskan tubuh Tong Wan Giok terpelanting jatuh ke belakang.

"Cobalah engkau renungkan sedalam-dalamnya," kata orang tua dengan nada sarat, "dalam hal apa Wi Ki Hu telah menyalahi engkau?"

Melihat Tong Wan Giok jatuh, buru2 Hui Giok melesat maju untuk memapahnya bangun. Tetapi Tong Wan Giok berteriak gugup, "Sudah, jangan mengurus aku, lekas kejar Kun Hiap."

Ketika Hui Giok mengangkat muka, dilihatnya orang tua berpenyakitan itu sudah menggandeng tangan Kun Hiap dan berjalan pelahan-lahan.

Hui Giok juga gugup sekali. Dia tak tahu siapakah orang tua itu dan kemanakah Kun Hiap hendak dibawanya. Sekali enjot tubuh, Hui Giok melesat dua tombak dan tiba di belakang orang tua berpenyakitan.

Sebenarnya sekali sambar, dia tentu sudah. dapat merebut Kun Hiap. Tetapi dia 

tahu bahwa orang tua tak dikenal itu berilmu sakti, kalau tidak dikuasai dulu tentu akan merebut Kun Hiap lagi.

Hui Giok julurkan jari tengah lalu menutuk jalandarah berbahaya di punggung orang. Menutuk jalandarah vital atau berbahaya, memang jarang dilakukan orang persilatan apanila tidak berhadapan dengan musuh besar. Bahwa sekali turun tangan, Hui Giok menutuk jalanmaut orang tua berpenyakitan itu, menunjukkan betapa ganas hatinya.

Waktu dia turun tangan, jaraknya hanya setengah meter dari orang tua itu. Sudah tentu tutukannya itu tak mungkin akan meleset, tetapi alangkah kejutnya ketika tiba2 ia merasa jarak orang tua itu dengan dirinya menjadi jauh sedikit.

Walaupun hanya beberapa senti tetapi tak terjangkau oleh tutukan jarinya.

Orang tua itu mendengus tetapi tidak mau berpaling. Justeru itu yang membuat Hui Giok makin mengkal. Melihat orang tua itu tidak mau membalas, ia mengira kalau kegagalannya hanyalah secara kebetutan saja orang tua itu mengisar ke muka. Serentak menghimpun tenaga lebih besar dia segera menghantam pula.

Tetapi pada saat tangan melayang, tubuh orang tua itu sudah berkisar setengah meter ke muka lagi. Dengan begitu pukulan Hui Giokpun menemui angin kosong.

Namun Hui Giok telah terlanjur dirangsang hawa pembunuhan. Cepat sekali dia melesat maju. Memang tampaknya pelahan-lahan saja orang tua itu memimpin Kun Hiap diajak berjalan tetapi bukan saja makin dekat kebalikannya, jarak. Hui Giok dengan orang tua dan Kun Hiap itu makin jauh.

Meski Hui Giok belum sadar. Dia mengira hal itu suatu kejadian yang kebelulan saja. Ayunkan lengan baju, tiga batang senjata rahasja serentak melayang ke muka dalam formasi segitiga.

Hui Giok menabur dengan kecepatan yang tinggi dan jarak dengan orang itu hanya dua tiga meter jauhnya. Seharusnya tentu akan mengenai sasarannya.

Tetapi suatu peristiwa aneh terjadi lagi. Pada saat senjata-rahasia melayang sampai satu tombak jauhnya, tiba-tiba lajunya mulai mengendor dan berhamburan jatuh ke tanah. Terpisah dari punggung si orang tua masih ada setengah meter jauhnya.

Bukan kepalang kejut Hui Giok. Bagaimana pun dia itu puteri seorang tokoh silat yang ternama. Sudah tentu dia segera tahu apa yang dihadapinya saat itu.

Orang tua berpenyakitan itu jelas menggunakan ilmu lwekang tingkat tinggi yarag disebut Sut-te-seng-cun atau ilmu menyurutkan tanah. 

Dengan ilmu itulah maka tampaknya dekat tetapi dia ternyata berada dalain  jarak yang jauh. Gerakannya lamban tetapi sesungguhnya bukan main cepatnya, itulah sebabnya Hui Giok tidak mampu mengejarnya.

Apabila orang tua itu menguasai ilmu yang begitu sakti dan jarang dimiliki oleh setiap tokoh persilatan maka dapat dibayangkan tentulah dalam ilmu lain- lainnya, dia pasti hebat sekali. Mungkinkan dia mampu merebut Kun Hiap dari tangan orang tua berpenyakitan itu? Bagaimana dia nanti akan memberi partanggungan jawab kepada Tong Wan Giok?

Saat itu diihatnya orang tua itu sangat dekat di sebelah muka. Ya, hanya tinggal dua langkah lagi dia tentu dapat mengejarnya. Dengan bernafsu sekali Hui Giol lari memburu. Tetapi sampai dua tiga li jauhnya, toh tetap dia terpisah beberapa meter dari orang tua itu.

"Cianpwe," akhirnya dia tak dapat menahan diri lagi dan berseru, "Hendak engkau bawa kemanakah dia?"

Tetapi orang tua berpenyakitan itu tak menjawab. Hui Giok mengulang teriakannya sampai beberapa kali dan tetap tak dijawab. Yang jelas jarak orang tua itu makin lama makin jauh dan akhirnya lenyap ditikungan gunung-

Hui Giok gugup. Dia lari balik hendak menemui Tong Wan Giok. Belum berapa lama berlari, dilihatnya Tong Wan Giok berlari-lari mendatangi dengan rambut terurai.

"Mana dia?" teriak wanita itu demi melihat Hui Giok.

"Aku tak dapat mengejarnya. Dia menggunakan ilmu lwekang tinggi Sut-te-seng- cun,'' sahut Hui Giok.

Tong Wan Giok tertegun. Mata terlongong dan airmatanya berderai-derai. Beberapa saat kemudian baru berkata, "Kalau aku sampai kehilangan

puteraku lagi, lalu , punya apa lagi?"

"Peh-bo, jangan kuatir, Akupun juga gelisah karena tak tahu kemana perginya Kun Hiap, tetapi aku tentu akan berusaha untuk mendapatkannya kembali."

"Bagaimana upayamu? Kini aku seorang diri siapa yang akan kumintai bantuan?"

Berkata Hui Giok, "Waktu mendiang ayahku masih hidup, beliau mempunyai beberapa sahabat yang semuanya jagoan kelas satu. Aku dapat meminta bantuan dari mereka." 

"Di mana mereka?" tanya Tong Wan Giok serentak.

"Yang paling dekat dari sini," kata Hui Giok, adalah Cui Hwat cuncia dari gunung Liok-poan-san. Kalau kita mencarinya, dia tentu ......

Belum sempat Hui Giok menyelesaikan kata-katanya, Tong Wan Giok sudah menyurut mundur dua langkah dan berseru kagct, "Cui Hwat cuncia! Siapakah ayahmu?"

Ternyata Cui Hwat cuncia itu adalah benggolan nomor satu dari kalangan Shia- pay atau aliran Hitam. Itulah sebabnya Tong Wan Giok sampai terkejut dan bertanya.

Tetapi rupanya Hui Giok sudah siap, sahutnya, "Mendiang ayahku adalah Tian Put Biat."

Seperti orang mengingau, berkatalah Tong Wan Giok, "Tian Put Biat? Engkau ini puteri dari iblis nomor satu di dunia?"

Hui Giok menghela napas, "Ya. Mendiang ayah dan Cui Hwat cuncia walaupun namanya kurang baik dalam dunia persilatan, tetapi sesungguhnya mereka adalah orang2 baik yang menjunjung kebaikan. Dibandingkan dengan mereka yang hanya menyandang nama harum tetapi tidak sesuai dengan kenyataannya, masih lebih baik."

Hui Giok memang cerdas dan pandai dalam merangkai kata untuk menyindir. Dan benar juga, kata2 itu memang menusuk perasaan hati Tong Wan Giok apabila teringat akan Wi Ki Hu.

"Benar," sahut Tong Wan Giok yang sudah kenyang menderita kegoncangan batin, "misalaya seperti Kim-liong-kiam-khek Wi Ki Hu. Setiap orang persilatan siapa yang tidak menyanjungnya sebagal seorang 'tayhiap'. tetapi nyatanya tak lebih hina dari babi dan anjing!"

Melihat Tong Wan Giok sudah masuk perangkap, Hui Giok melanjutkan pula, "Pehbo, dendam berdarah itu tak boleh tidak harus Kun Hiap sendiri yang menghimpaskan. Tetapi dikuatirkan akan terjadi hal2 yang tak diinginkan. Maka kurasa lebih baik kita kerahkan secara besar-beseran, mengundang beberapa sahabat dari mendiang ayahku untuk bersama-sama tampil ke luar. Selain Cui Hwat cuncia, masih ada beberapa cianpwe yang jarang muncul di dunia perailatan, ditambah pula dengan Thau-san Sin-ki, ketua "Thian-sim-kau dan lain2 yang pernah menerima budi dari mendiang ayahku. Jika kita undang mereka, tentulah kekuatan kita besar sekali dan dendam itu tak mungkin tak dapat dihimpaskan." 

Memandang kepada nona itu, bertanyalah Tong Wan Giok dengan nada heran, "Engkau. mengapa begitu memikirhan kepentingan kami?”

Hui Giok menunduk, pipinya bersemu merah dan menyahut pelahan, "Pehbo, pertanyaanmu itu, bagaimana aku harus menjawabnya?"

Sebagai wanita yang pernah muda, tahulah Tong Wan Giok akan hati gadis itu. Segera digenggamnya tangan Hui Giok, katanya, "Ah, Kun Hiap memang besar rejekinya."

"Ah, pehbo, harap jangan memuji saja,” kata Hui Giok tersipu tawa.

Sejak mengetahui kalau Can jit Cui mati di tangan Wi Ki Hu, baru saat itu Tong Wan Giok merasakan suatu kegembiraan hati, "Aku tidak mengada-ada, tetapi engkau memang benar-benar seorang gadis yang baik. sekarang mari kita segera mengundang tokoh yang engkau sebut tadi.

Memang terhadap lain orang, bahkan mama dan saudaranya sendiri, Hui Giok bersikap ganas, Tetapi terhadap Kun Hiap, dia memang cinta setengah mati. Setelah mengetahui Tong Wan Giok mempunyai kesan baik terhadap dirinya, diam2 ia berbesar hati dan percaya Kun Hiap pasti takkan membencinya. pemuda itu tentu tidaklah berani membantah kehendak mamanya-

"Baik, biar ku ambil kedua pusaka warisan ayah dulu, baru nanti kita berangkat," kata Hui Giok.

"Ah, apakah bukan baju Kim-Wi-kah dan cakar Hiat-hun jiau?" tanya Tong Wan Giok.

Hui Giok mengiakan.

Keduanya lalu lari dan setelah tiba di tempat Hui Giok menyembunyikan kedua pusaka dan mengambilnya mereka lalu menuju ke gunung Liok-poan san.

Sekarang kita tinggaikan dulu kedua wanita itu dan mari kita ikuti perjalanan orang tua berpenyakitan yang membawa Kun Hiap. Mereka berjalan terus, bahkan sampai menjelang malam masih melanjutkan perjalanan saja. Orang tua berpenyakitan itu seolah-olah tak menghirauken tempat yang dilaluinya, entah  itu pegunungan, hutan atau lembah.

Saat itu hari mulai gelap. Dari arah muka terdengar derap bunyi kuda berjalan. Tak berapa lama dari tikung gunung muncul seorang yang naik seekor keledai. Orang itu bukan lain adalah Koan Sam Yang si Ing-put-hoan-jiu atau Selamanya- 

tak-pernah-balas-menyerang.

Orang tua berpenyakitan mengangkat muka dan berseru menegur, "Koan tocu, sudah beberapa hari tak bertemu."

Saat itu Koan Sam Yang sedang membiluk di sebuah keluk gunung dan cuacapun gelap. Sebelum dia sempat melihat apa2, tiba2 saja dia sudah ditegur orang. Mau tak mau dia terkejut juga-

"Siapa itu?" serunya.. Sebagai seorang tokoh yang berilmu tinggi, dia sudah tahu bahwa orang yang menegurnya itu tentu bukan tokoh sembarangan. Maka setelah balas bertanya diam2 diapun lalu menghimpun tenaga untuk bersiap- siap.

Serempak pada saat itu "pandang matanya melebar dan tiba2 dari tempat kegelapan muncul dua sosok tubuh, “Koan tocu, apa engkau tak kenal kepadaku?"

Koan Sam Yang memandang dengan cermat. Setelah melihat orang tua berpenyakitan itu, seketika wajahnya berobah dan buru2 turun dari keledainya dan memberi hormat, "Ah, engkau orang tua juga terlalu sungkan. Masa memanggil tocu kepadaku? Kalau tak ketemu engkau, sudah tentu aku tak tahu siapa yang memanggil aku tadi.”

Baik sikap dan ucapan Koan Sam Yang, tampak hormat kepada orang tua berpenyakitan itu. Dan oiang tua itu hanya tertawa hambar saja.

"Engkau juga sudah berusia banyak, Kalau tidak menyebutmu Koan Sam Yang, apakah harus memanggilmu Siao Sam-cu?" katanya.

Rupanya Siao Sam-cu adalah nama kecil dari Koan Sam Yang. Maka waktu mendengar nama itu Koan Sam Yangpun tertawa menyengir dan berkata, "Ah, tak apalah."

Sejenak merenung, orang tua berpenyakitan itu berkata, "Aku memang hendak mencarimu. Kalau berjumpa di sini, itu sungguh kebetulan sekali."

Koan Sam Yang merasa tak enak dalam hati. Sialan, mengapa tidak cari jalanan lain saja supaya tidak ketemu dengan dia, gumamnya dalam hati..

Kalau tak berjumpa, tentulah orang tua berpenyakitan itu akan tetap menuju ke pulau tempat tinggalnya yaitu pulau Moh-hun-to di Lamhay dan tentu akan menemukan angin kosong. Dengan begitu paling tidak dia (Koan Sam Yang) dapat menunda pertemuan itu sampai beberapa bulan lagi. 

Tetapi pada lain saat, dia berpikir lagi. Ah. kalau orang tua itu memang   bertujuan hendak mencarinya, cepat atau lambat pasti akan bertemu juga, tak mungkin dia mampu menyembunyikan diri. Daripada besok lebih baik sekarang saja dia bertemu. Apapun yang akan terjadi, biarlah dia hadapi saat itu. Akhirnya Koan Sam Yang membulatkan tekad.

"Ada soal apa hendak mencari aku?" sesaat kemudian dia bertanya.

"Termenung-menung sampai beberapa saat, apa saja yang engkau pikirkan? Apakah tadi engkau sedang memaki-maki aku?" seru orang tua itu.

Saking takutnya, leher Koan Sam Yang sampai menjulur ke atas beberapa inci dan dia pun gopoh berseru, “Ah, tidak, tidak!"

Kata orang tua itu, "Syukur kalau tidak begitu. Beberapa tahun yang lalu, aku pernah mertamu di pulau Moh-hun-to. Waktu itu ayahmu pernah mengatakan bahwa di pulau Moh-hun-to terdapat sebuah kuda kecil dari besi ”

Mendengar kata-kata2 si orang tua, seketika leher Koan Sam Yang panjang tampak bergerak naik turun seperti ular mendengar bunyi seruling. Jelas dia sedang tegang perasaannya tetapi dia berusaha untuk bersikap tenang.

Orang tua itu melanjutkan lagi, "Ayahmu bilang, kuda besi itu berjumlah 18 buah buah tetapi tersebar di mana-mana. Sedang dalam perut kuda besi yang paling besar, terdapat seonggok jenis daun yang paling beracun di dunia, namanya Bi- hun-sian cao. Benarkah begitu?"

"Ya, ya," Koan Sam Yang gopoh menyahut, "aku juga pernah mendengar ayah mengatakan begitu. Tetapi mengapa disebut rumput yang paling beracun di dunia, aku sendiri juga tak jelas."

"Apakah engkau benar2 tidak tahu?"

"Ya, memang tak tahu. Cobalah pikirkan. Kalau memangnya rumput beracun perlu apa disebut leng-cau-sian-yok (rumput-sakti-obat-dewa) ? Sebutan bi-hun- sian-cau (rumput-dewa-pelelap-sukma) itu juga berlawanan dengan keadaan yang sebenarnya. Kurasa itu hanya berita burung saja. Yang percaya, boleh.

Tidak percayapun boleh."

Koan Sam Yang mengantar keterangannya sambil menggoyang-goyang tangan dalam sikap untuk meyakinkan orang supaya jangan percaya pada cerita tentang rumput itu. 

Tetapi tampaknya orang tua berpenyakitan itu tak terpengaruh. Pelahan-lahan dia menepuk-nepuk bahu Kun Hiap dan berkata, "Koan tocu, anak muda ini, apakah engkau pernah bertemu?"

Koan Sam Yang julurkan leher dan memandang Kun Hiap dengan seksama, "Ya, aku pernah bertemu."

"Waktu bertemu, bagaimana pendapatmu mengenai ilmu silatnya?" Koan Sam Yang cebirkan bibir, "Biasa sajalah."

"Tetapi cobalah sekarang engkau boleh memukulnya," kata orang tua itu.

"Memukulnya? Apakah dia mampu menerima pukulanku?" teriak Koan Sam Yang.

"Ilmu tenaga-dalam sam-yang-cin-gimu itu," kata onang itu dengan tenang, "selain hanya dapat melukai seorang nona, kurasa tak pernah terdengar dapat menundukkan seorang tokoh yang lihay. Mengapa engkau takut untuk memukul anak muda ini?"

Terhadap orang tua berpenyakitan itu, dalam hati kecilnya Koan Sam Yang memang mengindahkan dan takut. Kini setelah mendengar kata-kata orang tua itu, tahulah kalau yang dimaksud nona yang menjadi korban hantamannya itu, bukan lain adalah Tian Hui Yan. Seketika merahlah mukanya dan menyeringai.

Memang lucu sekali. Seorang tokoh persilatan yang termasyhur seperti Koan Sam Yang saat itu tak beda seperti anak kecil saja.

Beberapa saat kemudian barulah dia dapat berkata pula, "Aku aku tak

sengaja melakukan hal itu."

"Apakah tadi aku memang kalau engkau sengaja?" balas orang tua, “lekaslah engkau menjajal anakmuda itu baru nanti kita bicara lagi."

Koan Sam Yang tak mau banyak bicara. Serentak dia melangkah maju ulurkan tangan menutuk bahu Kun Hiap. Sebelum menyentuh bahu orang, jarinya sudah berbunyi mendesis-desis. Jelas kalau sedang memancarkan tenaga sam-yang- cin-gi.

Tetapi alangkah kejutnya ketika jari menyentuh bahu Kun Hiap, tiba? bahu anak muda itu memantulkan tenaca-tolak yang hebat sehingga jarinya terpental.

Celakanya tenaga sam-yang-cin-gi itu membalik deras dan membentur pergelangan tangannya. Seketika lengannyapun lunglai. 

"Nah, tahu tidak," seru orang tua itu, "sekarang kepandaiannya lebih tinggi dari engkau!"

Karena lengannya lunglai akibat dibentur oleh sam-yang-cin-ginya yang mengalir balik, untuk beberapa saat Koan Sam Yang terlongong-longong kesima dan tak dapat berkata apa2.

Orang tua berpenyakitan itu menghela napas, "Engkau mau tahu apa yang menyebahkan dia menjadi begitu sakti? Tak lain karena akibat dari rumput leng- cau yang paling beracun itu. Tetapi kesadaran pikirannya juga kabur sehingga dia seperti orang limbung. Itu akibat daya-guna racun yang mulai bekerja.

Sebuah benda dapat memancarkan dua jenis daya guna yang berbeda. Rasanya dalam dunia ini tiada keduanya lagi kecuali rumput Bi-hun-sian-cau itu."

Muka Koan Sam Yang seperti orang yang makan makanan kecut tetapi ditahan supaya jangan kelihatan orang.

"Yas ya, engkau orangtua memang benar " dia hanya dapat mengatakan begitu.

"Sudah tentu racun itu bukan tak mungkin diobati, benarkah itu ?" tanya orang tua pula.

Wajah Koan Sam Yang makin tak sedap dipandang, katanya, "Kalau engkau mengatakan dapat diobati, tentu saja bisa diobati."

Wajah orang tua itu mulai mengerut serius, "Koan tocu, baiklah, tak usah kita bicara seperti orang bermain teka-teki. Begitu racun dari Bi-hun-sian-cau itu bekerja, delapan uratnadi besar segera macet tetapi delapan kuda besi yang lain, setiap kuda besi, didalamnya,, berisi obat mujarab yang dapat membuat setiap uratnadi utama itu melancar lagi. Maka kalau bisa memperoleh delapan kuda   besi itu, racun tentu dapat dilenyapkan, tenaga kepandaian orang itu tiada yang melawan. lagi. Koan tocu, kedelapan kuda besi itu jelas berada di pulau Mo-hun- to, Kalau tidak masa ayah mu mengatakan hal itu ? Terus terang anakmuda ini berjodoh dengan aku. Kalau engkau mau memberikan kedelapan kuda besi itu kepadaku, sudah tentu aku takkan melupakan budi kebaikanmu. Begitu uratnadinya sudah pulih kembali, kelak akan kusuruh dia menerima engkau sebagai mu-ridnya!'

Mendengar ucapan tu bukan main kejut dan marah Koan Sam Yang. Dia meringis. Betapa tidak. Koan Sam Yang, kepala dari pulau Mo-hun-to yang bergelar Ing-put-hoan-jiu atau Selamanya-tak pernah-balas-menyerang, sudah termasyhur di seluruh jagad, mengapa dianjurkan menjadi murid Kun Hiap, seorang anakmuda yang belum hiIang bau pupuknya ? Dan lagi, disuruh 

menyerahkan kedelapan kuda besi itu sebagai tanda bakti seorang murid kepada calon gurunya ? Wah. wah

"Jangankan kedelapan kuda besi itu memang tak ada di pulau Mo-hun-to," teriak Koan Sam Yang dengan kalap, "taruh kata ada, pun aku juga .,.."

"Engkau akan bagaimana ?" cepat orangtua itu serentak menukas.

Koan Sam Yang terkesiap tak tahu bagai-mana hendak menjawab. Sebenarnya dia sendiri juga tidak begitu jelas siapakah orang tua itu. Tetapi dia masih ingat, dulu ketika masih kecil, orang tua becpenyakitan itu memang pernah berkunjung ke pulau Mo-hun-to. Waktu itu ayahnya masih hidup. Ayahnya bersikap menghormat sekali terhadap orang tua berpenyakitan itu dan pernah memberitahu kepadanya bahwa orang tua yang tam-paknya seperti orang sakit itu sesungguhnya seorang sakti yang memili kepandaian luar biasa. Pesan ayahnya itu hingga sekarang dia masih ingat be-tul.

Sejak itu dia tak pernah hertemu lagi dengan orang tua itu. Dan pertemuan kah ini sudah berselang 40 tahun lebih dari pertemuan yang pertama kali dahulu.

Anehnya, orang tua itu masih tetap seperti dahulu, tidak berobah lebih tua Masih tetap kurus kering dan bicaranyapun masih lemah seperti orang yang habis sakit. itulah sebabnya begitu melihat, Koan Sam Yang lantas mengenalinya.

Diam2 Koan Sam Yang menimang. aigin meniup roboh pohon yang. lapuk. Demikian siasat gerakan. Kalau gertakannya berhasil, orang tentu akan mengkeret mundur. Ah, benarkah orang tua yang lemah itu mempunyai kepandaian yang luar biasa saktinya ? Hm, jangan2 hanya main  gertak saja. .

Terlintas pula dalam benak Koan Sam Yang bahwa pemuda Kun Hiap itu  memang telah berobah hebat sekali kepandaiannya. Tetapi kesadaran pikirannya hilang. Hm, kalau dapat mengalahkan orang tua lemah itu, dia akan membawa Kun Hiap. Dia akan berusaha cara bagaimana dapat memindahkan tenaga-sakti Kun Hiap kepada dirinya.

Nanti kalau rencana itu berhasil, pikirnya le-bih lanjut, biarlah dia tebalkan muka berguru pada Tok Liong cuncia, seorang durjana besar di daerah Biau-ciang. Dia akan minta pada Tok Liong untuk mengajarkan ilmu Sip-seng-sin kang atau ilmu Menghisap-bintang. Ilmu itu dapat dia-gunakan untuk menyedot tenaga-dalam orang. Setelah menguasai ilmu itu baru dia nanti akan menyedot tenaga-sakti Kun Hiap untuk dipindah kedalam tubuhnya.

Lintasan rencana itu telah membangkitkan angan-angan jahat dalam benak Koan Sam Yang. 

Dan cahaya mukanyapun pelahan-Iahan mulai be-robah bengis.

“Taruh kata barang itu berada padaku, aku-pun takkan memberikan," katanya sesaat kemu-dian.

Orang tua itu tidak terkejut mendengar pernyataan Koan Sam Yang. Tenang2 saja dia bertanya, "Koan tocu, masih ingatkah engkau bagai-mana dulu ayahmu sampai meninggal itu?"

Koan Sam Yang seperti dipagut ular kejut-nya sehingga punggungnya sampai basah dengan keringat dingin, Tetapi dia tetap pada rencananya tadi dan berkata, "Beliau meninggal tanpa menderita suatu penyakit apapun juga."

Tiba2 orang tua itu tertawa gelak2, "Koan tocu, harap jangan membengkakkan pipimu su-paya dianggap orang gemuk. Tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi dari keluargamu itu, jauh lebih unggul dari ilmu tenaga-dalam partai2 persilatan baik dari aliran Ceng-pay maupun Shia-pay, Jelas tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi itu memang hebat bukan kepalang. Tetapi orang yang berlatih ilmu iti, tubuhnya juga menderita akibat. Sampai akhirnya apabila latihannya sudah mencapai tingkat tinggi, akibat yang dideritanya itupun makin he-bat. Dia akan menderita kesakitan yang mengerikan dan akhirnya mati. Kurasa para leluhurmu dulu, semua juga mengalami kematian seperti itu, Maka engkaupun harus menyadan bahwa umurmu juga takkan panjang juga."

Mendengar itu wajah Koan Sam Yang pucat seketika. Serentak dia berseru tidak lampias, "Aku .... aku masih ”

Tetapi tiba2 dia hentikan kata-katanya. Dia memang sudah tahu bahwa hidupnya hanya ting-gal tiga tahun lagi. Kecuali dia mendapat saluran tenaga-dalam yang hebat agar tenaga Sam-yang-cin gi dalam tubuhnya dapat ditindas, maka da-lam tiga tahun lagi dia bakal mengalami penderi-taan yang hebat dan mati, Tetapi saat itu dia tak mau mengatakannya karena dia sudah mempunyai rencana tadi. Yalah hendak menyedot tena-ga-sakti dari tubuh Kun Hiap agar Sam-yang-cin-gi itu dapat di halau.

Dengan tatapan mata yang dingin, berkataIah orang tua itu pula, "Kalau engkau bersedia meluluskan dan mau menjadi muridnya, tiap hari dia akan menyalurkan tenaga-murni kepadamu untuk melenyapkan sam-yang-cin-gi dalam tubuhmu.

Dengan begitu engkau akan dapat hidup lebih panjang.”

Dalam mendengar kata si orang tua, Koan Sam Yang miringkan kepala, memutar otak ba-gaimana cara menyerang orang tua lemah itu.

“Benarkah budak ini mempunyai tenaga-dalam yang begitu hebat? Aku tak 

percaya dan hendak mengujinya sekali lagi."

"Silakan saja. Apakah aku bilang melarang-mu?" kata orang tua itu.

Koan Sam Yang maju selangkah, selekas ja-ri tangan kirinya merentang, dia terus menerkam bahu Kun Hiap.

Kepandaian Koan Sam Yang jelas lebih ting-gi dari Hui Giok. Tetapi terkamannya itu, juga mengalami nasib seperti Hui Giok. Tiba2 dia mera-sa dari bahu Kun  Hiap telah memancar ge-lombang tenaga dahsyat yang menghalau balik kelima jarinya. Kalau saja dia tak Iekas2 menank pulang tangannya, jelas tentu akan menderita.

Selekas tangan kiri ditarik, tangan kanan Koan Sam Yang cepat sudah menerkam jalanda-rah jwan-hiat di pinggang Kun Hiap. Jalandarah itu dapat melumpuhkan tenaga orang.

Tetapi waktu telunjuk dan jari tengahnya menyentuh jalandarah itu, seketika Koan Sam Yang rasakan pancaran tenaga-hebat telah melandanya. Untung sebelumnya dia sudah bersiap-siap. Telunjuk jarinya di lingkarkan ke atas, crer .

. . sam-yang-cin-gipun dipancarkan dari telunjuk jari itu, tepat membentur tenaga-dahnyat yang-me-mancar dari jalandarah Kun Hiap.

Akibatnya, Koan Sam Yang terpental mundur selangkah. Tetapi Kun Hiap lebih parah. karena pemuda iitu kesadaran pikirannya kabur maka dia tak tahu bagaimana harus mengerahkan tenaga-dalam. terbentur sam-yang-cin-gi dari Koan Sam, Yang, dia mencelat ke udara ....

Waktu memancarkan sam-yang-cin-gi, Koan Sam Yang. sudah memperhitungkan arah jatuhnya Kun Hiap. Dan benar juga. Kun Hiap ter~ pental dan melayang ke udara lalu persis jatuh di atas punggung keledai. Koan Sam Yangpun serentak bersuit, keledai itu meringkik aneh lalu lari dengan kencang sekali.

Setelah bersuit nyaring, Koan Sam Yang menjorok ke muka dan wut, wut, wut, kedua ta-ngannya susul menyusul melepaskan hantaman dahsyat ke arah orang tua itu. Dalam pukulan itu juga disaluri dengan tenaga sam-yang-cin-gi. He- batnya bukan alang kepalang, seperti beribu-ribu senjata pisau yang mencurah lebat.

Jarak orang tua lemah dengan Koan Sam Yang hanya setombak. Koan Sam Yang memperhitungkan, keempat hantamannya kalau tidak da-pat merobohkan orang tua itu paling tidak tentu dapat mendorongkan mundur bebetapa langkah. Dan  itu sudah cukup untuk memberi kesempatan kepadanya melankan diri. 

Tetapi setelah keempat pukulannya dilan-carkan, hatinya sangat mengeluh melihat apa yang disaksikan pada saat itu sehingga pukulan yang kelima tak jadi dilontarkan. Apa yang terjadi ?

Ternyata orang tua yang tampaknya akan rubuh apabila tertiup angin, masih tetap tegak di tempatnya. Empat buah pukulan dahsyat dari Koan Sam Yang itu, hanya seperti kesiur angin lembut pada bulan kelima. Hanya pakaian orang tua itu saja yang tampak berkibaran dan rambutnya sedikit bergerak-gerak.

Sebagai seorang tokoh yang berkepandaian tinggi sudah tentu Koan Sam Yang segera menyadari bahwa yang dihadapinya itu bukan tokoh sembarangan.

Karena jetas bahwa orang tua itu telan mencapai tataran yang tinggi dalam latihan ilmu tenaga-dalam sehingga mampu memancarkan tenaga-dalamnya keluar untuk melindungi diri dari pukulam Sam-yang-cin-gi.

Dalam soal memancarkan tenaga-dalam, bia-sanya memang bisa saja dilakukan oleh tokoh.2 sakti, tetapi harus dengan gerakan tangan atau kakinya, Bahwa orang tua itu tetap tegak berdiam diri tetapi dapat memancarkan tenaga-dalam untuk melindungi diri, benar2 jarang bahkan hampir tak pernah dimiliki oleh tokoh persilatan yang manapun dalam dunia persilatan.

Koan Sam Yang menimang, kalau melanjutkan pertempuran jelas dialah yang akan menderita sendiri. Maka dia memutuskan, lebih lekas tinggal kan tempat itu,.lebih baik dan lebih aman baginya.

Sekali menghimpun semangat, dia terus enjoti tubuh melambung ke udara, berjumpalitan dan terus melayang sampai empat lima tombak jauhnya lalu meluncur turun ke tanah. Karena berjumpalitan maka waktu menukik ke tanah, kepalanya yang berada di bawah. Begitu hampir tiba di tanah dia gunakan kedua tangan untuk menekan tanah dan , melambung ke udara lagi lalu melayang turun.

Dua kali melambung keudara dan melayang turun itu telah mencapai delapan tombak jauhnya. Gerakannya cepat bukan kepalang. Dan dengan beberapa kali mengadakan gerakan semacam itu dalam sekejab saja Koan Sam Yang sudah jauh sampai setengah li. Setelah tiba di bagian tengah yang sepi dan dalam lembah, barulah dia berhenti.

Ah, dia menghela napas longgar karena mengira sudah terlepas dari orang tua berpenya kitan itu„ Tetapi betapa kageinya ketika baru saja dia berhenti atau tiba2 terdengar suara orang tua itu berseru dengan nada yang lemah, "Apakah keledai hitam lari ke arah sini? Kukuatir engkau saIah hitung!”

Koan Sam Yang melengking, tanpa berpaling ke belakang lagi, dia terus lari 

sekencang-kencangnya.

Kali ini setelah mencapai lima enam li jauhnya barulah dia berani berhenti dan terus saja berseru tergagap-gagap, "Apakah eng . .. engkau masih mengikuti ?"

Seperti mendengar petir meletus, Koan Sam Yang kaget setengah mati ketika. suara orang tua yang lemah itu terdengar dari belakang, "Cobalah engkau berpaling ke belakang, apakah aku ada atau tidak ?"

Koan Sam Yang cepat berpaling. Tampak orang tua berpenyakitan itu berada antara lima tombak di sebelah belakang dan sedang berjalan menghampirinya.

Semula Koan Sam Yang mengira kalau orang tua itu tentu berada dekat di belakangnya. Kini setelah tahu bahwa orang tua itu masih terpisah lima tombak jauhnya, timbullah semangat Koan Sam Yang. Dia percaya masih ada harapan untuk lolos.

Dia lari lagi dan berputar-putar di tengah. gunung. Tetapi setiap kali dia mengira kalau sudah terlepas dari bayangan orang tua itu, setiap 'kali itu juga terdengar suara orang tua tersebut mengiangkan nada suaranya yang lemah.

Tak terasa Koan Sam Yang telah lari pon-tang panting selama delapan jam. Walaupun ilmu kepandaian tinggi tetapi mau tak mau napasnya makin lama makin berkembang kempis, keringat sederas hujan mencurah.

Mau tak mau dia terpaksa berhenti juga. Eh, ternyata orang tua itu sambil mendukung kedua tangannya dengan langkah tertatih-tatih tengah berjalan menghampirinya.

"Eh, mengapa berhenti?" serunya dengan nada lemah.

Koan Sam Yang julurkan Iehernya sampai panjang dan deliki mata. Sampai beberapa detik baru berkata, "Kedelapan kuda besi itu tersebar di seluruh

penjuru tanah air. tidak berada padaku."

Orang tua mengangguk, "Bagus, tetapi dimana saja? Apakah satupun tidak berada pada mu?"

Dalam hati Koan Sam Yang terlintas sesuatu atau tetapi rupanya orang tua berpenyakitan itu seperti dapat mengetahui isi hatinya sehingga dia mati kutu dan kehilangan akal.

"Aku hanya.... hanya ada. ada satu," akhirnya dia mengaku terus terang. 

“Hanya satu ?" orang tua itu menegas.

Koan Sam Yang terbelalak kaget dan gopoh menyusuh keterangan, "tidak ... ada dua, ya

dua !"

"Betul ?" kembali orang tua menegas.

Dibawah cengkam tatapan mata orang tua yang tajam seperti seorang hakim yang menekan pesakitan, hati Koan Sam Yang kebat kebit tak karuan.

"Engkau engkau jangan menekan aku terlalu kelewatan," akhirnya tertawa

meringis.

"Berapa biji? Berapa biji yang ada padamu?" kata orang tua itu.

"Tiga, sungguh, hanya tiga biji, tidak lebih dan tidak kurang," seru Koan Sam Yang.

Apakah benar keterangan Koan Sam Yang itu? Mari kita kembali sejenak pada peristiwa. dalam Istana Tua dulu itu. Sebenarnya Koan Sam Yang sendiri memang memiliki satu biji. Kemudian ketika di Istana Tua, dia berjumpa dengan Im Som ketua Thian--sim-kau yang waktu itu sedang menderita luka parah.

Tanpa banyak cing-cong, Koan Sam Yang merampas kuda besi yang berada di tangan Im Som.

Kun Hiap memperoleh satu biji tetapi dibe-rikan kepada Hui Giok. Kemudian Kun Hiap ditangkap Koan Sam Yang dan agar Koan Sam Yang mau melepaskan pemuda itu maka Hui Giok terpaksa menyerahkan kuda besinya kepada Koan Sam Yang. Dengan begitu dia memang mempunyai tiga biji kuda besi.

"Baik, berikan ketiga kuda besi. itu kepada-ku semua," kata orang tua tersebut. Rupanya Koan Sam Yang masih bersangsi.

"itu akan bermanfaat besar sekali kepadamu. Mengapa engkau masih berat hati untuk memberikan?" seru orang tua pula.

Koan Sam Yang mundur selangkah dan berdiri melekatkan punggungnya pada segunduk baru besar. Sekali menghimpun tenaga, tiba2 tubuhnya meluncur ke atas batu itu dan pada lain kejab su-dah turun ke belakang batu, Tetapi baru  saja dia menginjak bumi, orang tua berpenyakitan itu sudah berdiri menunggu di muka. 

Koan Sam Yang benar2 mati kutu. Dia mengbela napas panjang lalu mengeluarkan ketiga biji kuda besi dari kantong bajunya dan lengan bergemetaran, berkata, "Berpuluh puluh tahun lamanya kuhabiskan umurku  untuk mencari jejak kedelapan biji kuda besi itu. Dan lagi kecuali aku, tak ada  lain orang lagi yang tahu akan rahasia hubungannya antara kuda besi itu dengan rumput Bi-hun-sian-cau. Pernah aku mengun-dang mereka di Istana Tua.

"Mengapa harus di Istana Tua? Apakah tidak ada lain tempat lagi? Bukankah setiap tempat itu juga baik untuk mengadakan pertemuan?" seru orang tua.

Koan Sam Yang terkesiap, serunya, "Mengapa tak bisa di istana itu? pemilik istana tua itu kan sudah mati, takut apa?

Kedengaran orang tua itu, menghela napas panjang dan tak bicara apa2.

Tampak Koan Sam Yang juga termangu-mangu beberapa saat, baru berkata, "Tetapi entah bagaimana, sebelum aku tiba di tempat itu mereka yang kuundang sudah sama datang ke si-tu. Dan di dalam peristiwa itu telah terjadi beberapa peristiwa aneh. Lui Toa Gui kepala keluarga Lui di Hopak, Thian-san-sim-kau Lo Pit Hi telah ma-ti dengan cara yang mengherankan. Juga Im Som, ketua Thian- sim-pay dari gunung Bu h juga menderita luka parah . .. '? Karenanya aku tak sem-pat lagi untuk bertanya kepada mereka."

Orang tua itu menengadabkan kepala memandang ke langit dan berkata, "Ah, rupanya engkau juga tak tahu kekuatanmu sendiri. Kuda besi yang paling beasr berada pada Tian Put Bi-at. Taruh kata engkau berhasil memperoleh ke delapan biji kuda besi itu, tetapi apa gunanya?”

Sebenarnya Koan Sem Yang sedang meran-cang rencana tetapi setelah orang tua berpenyakitan berbata begitu, diapun tidak dapat bicara apa2.

"Puteri sulung dari Tian Put Biat, punya satu biji tetapi sudah diberikan kepadaku, Nyo Hwat ketua partai Hoa-san-pay juga punya satu biji demikian pula Thay-san Sin-ki Pek Ing Ing dan Thian Go lojin ketua partai Ceng-Shia-pay, mereka masing2 punya satu biji."

"Lalu mana ada dua biji lagi. ke mana?" seru orang tua berpenyakitan.

"Bermula tentu berada pada Lui Toa Gui dan Lo Pit Hi.. Tetapi anehnya, waktu keduanya mati, kuda besi yang mereka milikipun lenyap entah kemana" kata Koan Sam Yang.

Orang itu diam. Tiha2 dia membenturkan ke tiga kuda besi yang dipegangnya, 

tring, tring.

Dengan muka sedih Koan Sam Yang berkata, "Dengan menumpahkan segenap waktu dan tenaga, baru aku berhasil mengumpulkan tiga biji kuda besi itu.

Te.tapi sekarang harus kuberikan kepadatnu, aku "

"Aku kan sudah bilang," tukas si orang tua. "Nanti setelah ke delapan uratnadi utama Kun Hiap terbuka lancar lagi, engkau. boleh menjadi muridnya."

Jelas Koan Sam Yang tentu tak sudi menjadi mmid Kun Hiap maka buru2 diapun berseru, "Soal soal menjadi murid itu, sebaiknya ja-ngan dibicarakanlah."

"Kalau begitu apakah engkau rela menderita siksa urat2 nadimu akan  dihancurkan oleh tenaga Sam-yang-.cin-gi dan kemudian mati?" tanya orang tua.

Koan Sam Yang meringis, "Dalam hal ini aku telah memberinya tiga biji kuda

besi dan akan kuberitahu di mana kelinia kuda besi yang lainnya. Karena hal itu merupakan pertolongan baginya bagaimana kalau dia saja yang menjadi muridku?"

Orang tua tertawa gelak2. Biasanya dia bi-cara dengan lemah seperti orang yang habis menderita sakit berat. Tetapi ternyata sekali dia tertawa, Koan Sam Yang terkejut bukan kepalang.

Nada tawa orang tua itu bagaikan halilintar yang memekik, sehingga bumi bergetar-getar, Karena kejutnya Koan Sam Yang sampai tersurut mun-dur tujuh delapan langkah. Keringat dingin seperti dicurahkan.

Untunglah orang tua itu segera hentikan ta~ wanya. Kalau tidak tentulah Koan Sam Yang akan terjungkal rubuh.

"Oho, kiranya engkau ini seorang mayat yang masih mengutamakan soal muka? Baik, kelak pada saatnya engkau pasti akan menyesal karena engkau tak mau menurut perintahku saat ini.

Dengan bukti tawa yang dahsyat tadi, makin yakinlah Koan Sam Yang bahwa orang tua itu memang seorang yang luar biasa saktinya. Ya, hanya dengan tertawa saja, orang tua itu sudah da-pat menghancur berantakkan nyali Koan Sam Yang menjadi berkeping-keping.

Dalam pada itua diam2 Koan Sam Yang bergembira dalam hati karena orang tua itu tidak menanyakan di mana kelima biji kuda besi yang lainnya.

Sambil mundur ke belakang dia berseru, "IImu kepandaian pulau Moh-hun-to turun temurun sampai beberapa turunan. Selamanya tak pernah menerima 

pelajaran dari orang luar. Maka kuharap anda suka memaakan "

Waktu habis berkata ternyata dia sudah berada tiga tombak jauhnya.. Melihat orang.tua itu tidak mengejar dan hanya tersenyum meman-dangnya, diam2 Koan Sam Yang malah berdebar sendiri.

Bukankah orang tua itu melihat bagaimana tadi Kun Hiap telah dibawa lari oleh keledai hitam? Mengapa orang tua itu tidak menanyakan hal itu kepadanya ?

Apakah dia sudah tak menghiraukan keselamatan Kun Hiap lagi ? Ah, aneh, aneh.

Merenungkan hal itu tanpa disadari Koan Sam Yan berhenti dan berseru, "Selamat ting-ga!. aku mohon pamit."

Orang tua itu tertawa, "Aku toh tidak bergerak dari tempatku ? Uruslah dirimu sendiri saja."

Koan Sam Yang makin heran sehingga tak pergi.

"Kalau begitu, aku sungguh2 akan mohon diri," katanya sekali  lagi.

Dia memang benar2 merasa aneh dan diam2 pun curiga, jangan2 orang tua itu memang sudah mengadakan persiapan kalau tidak, mengapa orang tua itu tidak menanyakan tentang diri Kun Hiap? Koan Sam Yang bersangsi sendiri dan hendak menyelidiki apa sebenarnya yang dikandung orang tua itu.

Diluar dugaan orang tua itu masih tetap tersenyum simpul dan berkata, "Pergilah. Mengapa harus bilang sampai beberapa kali ? "Dan mengapa tidak lekas angkat kaki ?"

Masih Koan Sam Yang meragu tetapi diam2 dia memperhitungkan bahwa keledai hitam itu tentu sudah lari sampai tujuh delapan li jauhnya, Asal dia dapat   memilih jalan yang sepi, tentulah orang tua itu sukar untuk mengikuti jejaknya.

Hm, kalau sekarang tidak lekas2 kahur, mau tunggu kapan lagi, pikirnya. Dalam menimang-nimang itu, Koan Sam Yang mundur sambi! terus memandang lekat2 pada si orang tua Dia kuatir kalau2 orang tua itu akan bergerak untuk mengejarnya.

Tetapi diluar dugaan, ternyata orang tua itu tetap tak bergerak. Saat itu Koan Sam Yang sudah mundur sampai setengah li dan mengitari tikung gunung. Tiba2 dia menyelinap dan dengan bcberapa gerak loncat, dia segera menyusup masuk kedalam sebuah gua. Mulut gua itu penuh ditumbuhi semak rotan dan dia bersembunyi didaIamnya. Disitu dia menahan pernapasannya agar tidak 

menimbulkan suatu gerak dan bunyi.

Lebih kurang setengah jam lamanya, ternyata orang tua itu tak kelihatan muncul Walaupun belum tahu pasti dimana dan bagaimana keadaan orang tua itu, tetapi paling tidak dia sudah dapat benapas longgar.

Kemudian setelah melongok ke luar, melihat ke sana ke mari dsn ternyata sudah tak ada jejak-jejak muuculnya seseorang, barulah dia berani ke luar lagi dan terus lari sampai sepuluh li jauhnya.

Saat itu hari sudah mulai gelap. Koan Sam Yang muncul dalam dunia dengan gelar yang mengagumkan yakni ing-put-hoan-jiau atau Selamanya, tak-pernah- balas-menyerang. Dari gelagatnya jelas menandakan betapa saktilah kepandaiannya, Orang bolah menyerangnya sampai puas tetapi dia takkan balas menyerang.

Tetapi keadaannya saat itu benar2 menyedihkan sekali. Tokoh yang sehebat dia, terpaksa harus lari pontang panting dan ketakutan setengah mati karena kuatir dikejar oleh seorang tua yang lemah dan berpenyakitan. Selama hidup baru pertama kali itu dia mengalaminya.

Sekalipun saat itu sudah merasa aman namun dia tetap tak berani bersuit untuk memanggil keledai peliharaannya itu. Dia tahu selama tak mendengar tanda suitannya, keledai hitam itu ten-tu tetap akan melanjutkan lari. Keledai itu akan lari non stop siang dan malam. Diperhitungkan pada hari kedua keesokan harinya, tentulah bina-tang itu sudah dapat mencapai 200an li jauhnya. Pada waktu itu barulah dia akan bersuit untuk menghentikannya.

Setelah menunggu beberapa waktu sampai fajar, barulah dia mulai melancarkan suitan yang nyaring. Suitan itu berkumandang jauh sampai ke empat penjuru.

Setelah itu dia berhenti dan menunggu begaimana reaksinya.

Hatinya tegang sekali. Kemungkinan orang tua itu memang bisa saja tidak mengejarnya tetapi siapa tahu kalau orang tua itu mengalihkan perhatian untuk mengejar keledai dan lal.u merebut Kun Hiap.

Setelah menunggu beberapa saat, dari jauh terdengar derap lari binatang yang kencang. Su-dah tentu dia gembira sekali dan cepat memanjat keatas sebetang pohon. Dari situ dia memandahg ke empat penjuru.

Tak berapa lama suara derap lari kuda itu makin dekat dan memang tak lain adalah keledai hitam. Diatas punggungnya masih terdapat tubuh seseorang, Posisi orang itu agak aneh, seperti tidak naik, seperti rebah tetapi juga tidak rebah. 

Tetapi Koan Sam Yang melihat jelas bahwa orang itu tak lain memang pemuda Kun Hiap. Dia bersuit girang dan terus melayang turun lalu lari menyambut.

Melihat tuannya, keledai itu memperdengar-kan ringkik aneh. Koan Sam Yang memperhatikan Kun Hiap. Wajah pemuda itu masih hampa menandakan kalau dia masih belum sadar pikirannya.

Koan Sam Yang pelahan-Iahan menyongsong keledai hitam. Tiba2 dia mendengar keledai itu mendesus-desus dan serempak terdengar suara seorang nona melengking, Hai, keledai maling, mengapa engkau lari begitu cepat ?

Sudah tahu kalau tenagaku masih lemah, kan aku tak dapat mengejarmu !"

Walaupun suara itu terengah-engah tetapi Koan Yang cukup mengenalinya.. Cepat dia memandang kearah suara itu. Tampak seorang dara cantik berpakaian warna kuning tengah bergegas mendatangi. Siapa lagi dara itu kalau bukan...

Tian Hui Yan.

Koan Sam Yang terkejut Cepat dia melesat ke muka dara itu. Tetapi rupanya Hui Yan sudah menduga, Wajahnya yang pucat itu tak mengunjukkan rasa kejut.

Dara itu hanya memandangnya dingin2..

"Ih, kiranya engkau yang memanggilnya. Makanya dia lari kemati-matian." seru dara itu.

Koan Sam Yang tak mau menjawab melainkan kibaskan lengan bajunya. Setiup tenaga-sakti Sam-yang cin-gi menderu kearah Hui Yan, Dara itu buru2 miringkan tubuh tetapi tetap kesrempet hamburan tenaga Sam-yang-cin-gi dan jatuh.

Wajahnya makin pucat

"Tahu kalau aku belum sembuh dari lukaku, mengapa engkau bertindak begitu sadis ?" seru Hui Yan.

tenaga-dalam dahsyat dari punggung Kun Hiap itu melandanya lagi sehingga dia terpaksa melambung ke udara. Dia mengira setelah menghindar ke uda-ra, tentulah gelombang tenaga-sakti itu dapat terhapus. Tetapi sungguh tak terduga sama sekali, dia rasakan tubuhnya terdampar lagi sehingga hilang-lah keseimbangannya. Bagaikan layang2 putus ta-li, tubuhnya seperti dibanting ke tanah.

Waktu masih berada di udara tadi, dia su-dah berusaha sekuat mungkin untuk menjaga ke seimbangan tubuh dengan menghimpun semangat dan tenaga murni, namun sia2 saja. 

Brakkkkk ..,. tubuhnya terlempar melayang sampai 7-8 tombak dan membentur sebatang pohon. Pohon roboh, dengan begitu layang tubuhnyapun terhenti dan dia jatuh ke tanah, Tetapi begitu tiba di tanah dia masih terhuyung-huyung dua tiga langkah baru dapat berdiri tegak.

Saat itu dia mendapatkan dirinya terpisah 10an tombak dari keledai hitam. Wajahnya merah padam dan jantung berdetak keras, napas terengah-engah.

Peristiwa itu dirasakannya seperti dalam im-pian yang seram, Jika dia tak menyadari kalau saat itu terpisah sepuluhan tombak jauhnya dari .keledai yang membawa Kun Hiap, tentulah dia, takkan percaya bahwa peristiwa yang dialaminya itu benar2 terjadi sungguh2..

Setelah menghela napas berulang-ulang ba-rulah perasaannya tenang Kembali. Saat itu dia baru menyadari benar bahwa tubuh Kun Hiap itu memang mengandung tenaga-dalam yang luar biasa hebatnya.

Pikirannya mulai bergolak lagi. Ya, kalau dia mampu menyedot tenaga-dalam anak muda i-tu ke dalam tubuhnya, bukan saja tenaga-dalam sam-yang-cin-gi akan dapat dilenyapkanpun dia tentu akan menjadi seorang tokoh nomor satu yang tiada lawannya.

Kesimpulan itu membawanya teringat akan Tok Liong cuncia atau si Naga Berbisa dari dae-rah Bau-ciang. Dahulu dia pernah mempertim-bangkan untuk berguru pada tokoh itu. Tetapi dia takut kalau diejek dan ditertawakan tokoh dunia persilatan.

Tetapi sekarang tetelah menyadari bahwa so-al itu menyangkut mati hidupnya, diapun mulai mempertimbangkan lagi. Walaupun kalau menjadi murid Tok Liong cuncia itu dia harus memberikan pengorbanan yang besar, tetapi apablla sudah dapat memiliki ilmu Sip-seng-sin-kang (il-mu-sakri-menyedot-bintang), kemudian dapat menyedot tenaga-sakti dari tubuh Kun Hiap, rasanya segala pengorbanan itu cukup memadai.

Sambil berpikir, dia ayunkan 1angkah

***** edit: salah tempat *****

Dengan hati2 Koan Sam Yang menutuk jalan darah leng-tayhiat pada punggung anakmuda itu. Dan begitu tangan sudah melekat dia lalu salurkan hawa murni. Seketika telapak tangannya memancarkan daya keras. Maksudnya, dia ingin menguji apakah dia mampu untuk menghisap tenaga-dalam sakti dari tubuh Kun Hiap kedalam tubuhnya. 

Dan ternyata dia berhasil. Dia merasa suatu gelombang tenaga-dansyat melancar kearah telapak tangannya, Bukan main girangnya. Buru2 dia menghimpun tenaga-murni untuk menyedot gelombang tenaga-dalam itu.

Tetapi astaga! Gelombang tenaga-dalam dari punggung Kun Hiap itu sedemikian dahsyatnya sehingga bukan saja Koan Sam Yang tak mampu menyedot bahkan dia telah dilemparkan sampai tersurut tiga langkah ke belakang. Setelah berdiri tegak lagi, dia lalu kendorkan tenaga-murninya.

Tetapi siapa tahu, kalau semula gelombang tenaga dalam punggung Kun Hiap itu sudah agak reda tiba2 saat itu kembali melancar keras sekali dan mendorongnya sampat terjungkal ke belakang dan rubuh ke tanah.

Koan Sam Yang berusaha untuk menekan-kan tangannya ke tanah dan meminjam tenaga ke kanan itu dia terus melenting bangun. Tetapi baru dia menginjakkan kaki ke tanah, kembali

***** akhir dari salah tempat *****

Koan Sam Yang mendengus, "Sam-ahthau, mengapa engkau mengejar keledaiku?"

Hui Yan menghela napas pelahan, lalu memandang ke arah tubuh yang merebah di punggung keledai. Koau Sam Yang cepat mengisar tubuh untuk menutup pandang mata dara itu dan membentak, "Apa yang engkau lihat!"

"Ih, aneh," desuh Hui Yan, "apa saja yang kulihat, apa pedulimu?"

"Sam-ah-thau," teriak Koan Sam Yang, "ingatlah. Kalau engkau sampai bilang kepada orang bahwa aku bersama Kun Hiap, terpaksa aku akan mencabut nyawamu."

Hui Yan kicupkan matanya dan balas bertanya, "Mengapa aku tak boleh bilang?" "Tak perlu engkau ketahui!" bentak Koan Sam Yang.

"Kalau engkau melarang aku mengatakan hal itu," jawab Hui Yan, "mudah saja. bawa saja aku bersamamu, kan beres,"

Mata Koan Sam Yang berkilat-kilat memandang si dara. Dia tahu kalau dara itu berwatak aneh dan banyak akal muslihatnya. Dan saat itu dia (Koan Sam Yang) bermaksud hendak berguru pada Tok Liong cuncia. Tujuannya itu jangan sampai diketahui orang dan bahwa Kun Hiap dibawanya itupun sekali-kali tak boleh tersiar.. 

Kedua hal itu amat penting sekali. Karena kalau Tok Liong cuncia sampai tahu hal itu, kemungkinan durjana itu timbuI nafsunya untuk menyedot tenaga-sakti dari tubuh Kun Hiap.

Sejenak menatap tajam pada Hui Yan, dia membentakaya lagi, "Engkau mau memasang tipu muslihat apa lagi kepadaku?"

Hui Yan tertawa hambar, engkau telah melukai aku dengana tenaga Sam yang- cin gi. ke-mungkinan dalam waktu dua bulan ini belum ten-tu dapat sembuh.

Mengapa engkau takut kalau aku menggunakan tipu muslihat?"

Koan Sam Yang mendengus. Pikirnya, kalau dia melepaskan dara itu, mengingat dara itu bermulut tajam tentulah akan membocorkan rahasianya sewaktu bertemu orang, Dan kalau sampai terjadi begitu, jelas akan membahayakan rencananya.

Tctapi kalau menuruti permintaan Hui Yan untuk membawanya bersama dalam perantauan, dia kuatir pada suatu saat akan menderita tipu muslihatnya. Jalan satu-satuiiya yang paling aman, tak lain hanyalah melenyapkan saja budak perempuan itu agar jangan sampai menimbulkan bahaya di kemudian hari.

Dengan membayangkan keputusan itu, sinar matanya memancarkan hawa pembunuhan. Teta-pi agar jangan sampai diketahui si dara, dia ce-pat mencerahkan wajah dan tertawa berseri.

"Kalau engkau tidak mengacau, tak' apa kalau kuajak engkau bersama-sama. Tetapi tahukah engkau aku hendak menuju ke mana? Apakah .engkau tidak keberatan berpisah dengan mamamu?" tanyanya.

Mendengar orang mengatakan tentang mamanya, sepasang mata Hui Yan menjadi merah seketika.

"Hai, mengapa engkau ini ?" seru Koan Sam Yang.

Dengan airmata bercucuran, Hui Yan menjawab, "Ma... ma.. , mamaku sudah meninggal.”

Koan Sam Yang terbeliak. Dia memang be-Ium mendengar berita tentang kematian Biau-koh. Tadi mengapa dia tak serentak membunuh Hui Yan karena masih takut kepada Biau-koh. Kini setelah mendengar keterangan dara itu bahwa mamanya sudah mati, diam2 Koan Sam Yang terkejut gembira

"Mengapa dia sampai mati?" tanyanya. 

Dengan airmata masih mengalir deras, Hui Yan hanya terisak-isak tak dapat menjawab. Koan Sam Yangpun tak mau mendesak. Biau-koh adalah janda dari tokoh durjana besar Tian Put Biat. Ka!au wanita itu sampai mati, dunia persilatan pasti gempar membicarakan dan mencari tahu bagaimana, sebab kematiannya  itu Dengan begitu lambat laun, dia toh akan mengetahui hal itu juga.

Kini setelah mendengar keterangan dari mu-Iut Hui Yan sendiri tentang kematian Biau-koh, apa lagi yang harus dia takuti ? Dengan gerak yang hati2 sehingga tak diketahui Hui Yan, diam-diam dia sudah berkisar ke belakang dara itu.

Saat itu Hui Yan sedang menangis sedih. Sama sekali dia tak tahu akan gerak gerik Koan Sam Yang yang saat itu sudah mulai mengangkat tangan kanan, henghimpun tenaga-dalam dan setelah. mengarah ubun-ubun kepala si dara, diapun segera mengayunkan tinjunya.

Saat itu di sekeliling penjuru tiada barang sesosok mahluk yang hadir. Tindakan Koan Sam Yang itu tak ada setan yang tahu. Dan saat itu Hiu Yan sedang menumpahkan tangis kesedihannya. Koan Sam Yang yakin, sekali hantam tentu hancurlah kepala dara itu.

Tetapi pada saat tinju Koan Sam Yang melayang turun, secara kebetulan atau tidak, Hui Yan sedikit miringkan tubuhnya ke samping sembari menyurutkan lengan kanannya untuk membenturkan siku lengannya kepada Koan Sam Yang.

Gerakan dara itu begitu mendadak dan tak terduga sama sekali. Jarak keduanya mera-pat dekat, bagaimanapun Koan Sam Yang tak mungkin dapat menghindar lagi, Duk, dagunya, kena kesikut dengan telak-

Andaikata Hui Yan tidak terluka, pun dia takkan dapat melukai Koan Sam Yang, apalagi saat itu dia masih menderita luka. Jelas tidak mempunyai pengaruh apa2 bagi Koan Sam Yang. Sekalipun begitu, paling tldak Koan Sam Yang telah menderita kejut yang hebat. Karena sebelumnya tak menduga si dara bakal melakukan gerakan begitu, Koan Sam Yang tak sempat memancarkan tenaga- sakti Sam-yang-cin-ginya.

Karena kaget, Koan Sam Yang hentikan tinjunya di tengah jalan atau di atas kepaIa Hui Yan.

Tepat pada saat itu, Hui Yan berpaling, dia terkejut karena tangan Koan Sam Yang sedang mengancam di atas kepalanya, "Koan tocu, maaf, karena tak tahu aku tak sengaja telah menyikut-mu."

Koan Sam Yang meringis. Dia tahu gerakan si dara Itu bukan suatu tindakan 

yang tidak di,sengaja. Tetapi mengapa dara itu tahu kalau dia hendak membunuhnya? Ah, tak mungkin begitu apabila dara itu tak mengetahui rencananya (Koan Sam Yang) kepada Kun Hiap.

Walaupun bersangsi tetapi karena dia seorang tokoh yang mati-matian menjaga gengsi sebagai Ing-put-hoan-jiu (selamanya-tak-pernah-balas-menyerang) maka diapun lalu menarik pulang ta-ngannya dan tertawa lebar.

"Sam-ah-thau, engkau anggap pamanmu Koan ini orang yang limbung pikirannya?" serunya.

Sambil menghapus airmatanya, Hui Yan berkata, "Koan tocu, mamaku sudah meninggal. Aku sudah sebatang kara, tidak punya tempat tinggal tidak punya sanak keluarga lagi. Aku akan ikut engkau ke mana saja engkau pergi."

Apabila Koan Sam Yang tadi berhasil membunuh si dara, dia tentu segera membawa pergi Kun Hiap. Tetapi kini dia harus memikirkan ren-cana lebih jauh untuk menyembunyikan Kun Hi-ap, setelah itu baru dia akan berangkat ke daerah Biau-ciang untuk berguru pada Tok Liong cuncia. Serentak dia mendapat pikiran. Dara itu baik sekali hubungannya dengan Kun Hiap. Ya, dia dapat memanfaatkan tenaga dara itu.

Cepat dia merobah sikapnya. Sambil menunjuk ke arah Kun Hiap, dia berkata, "Engkau tentu kenal dengan orang itu. Dia terkena racun aneh sehingga kesadaran pikirannya hilang. Aku hendak berusaha menolongnya dan  memerlukan orang untuk merawatnya. Kalau engkau mau ikut aku, boleh saja. Tetapi engkau harus merawat dan menjaganya baik2, jangan sampai dia hilang,"

.

Hui Yan mengangguk, "Ah, itu mudah sekali."

Sekali lagi Koan Sam Yang memandang wajah dara itu dengan tajam2. Dia mendapat kesan wajah dara itu hanya pucat tetapi tidak mengandung maksud buruk. Pikirnya, sekalipun dara itu sudah sembuh, toh tetap takkan mampu melawannya. Mengapa ia harus takut ? Lebih baik dia mengajak dara itu ke Biau- ciang. Nanti dia akan mencari sebuah tempat di pegunungan yang sepi dan   suruh dara itu menjaga Kun Hiap disitu, kemudian dia sendiri baru akan   menemui Tok Liong cuncia.

"Baik," akhirnya dia berseru dengan gembira," kalau begitu engkau boleh naik keledai itu bersamanya dan kita segera berangkat sekarang."

Hui Yan tak mau banyak bicara lagi dan terus melakukan perintah. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar