"Hahaha! Hidup ini persaingan. Bersaing sesama lawan hanya berpikir tentang bagaimana caranya agar hanya kita yang memetik kemenangan. Jangan katakan tipu-muslihat sebagai kejahatan sebab itu hanyalah sebuah perangkat dalam mencapai kemenangan," kata Raden Yudakara sambil tersenyum renyah menatap matahari pagi yang menyongsong di kanannya.
Purbajaya tak bersemangat untuk menyimak pendapat serakah ini. Yang paling tak bersemangat, perjalanan kali ini akan kembali menuju ke utara. Mungkin akan kembali merambah wilayah Sumedanglarang. Sebab seperti yang telah dikatakan Raden Yudakara, mereka akan melakukan perjalanan ke barat, ke wilayah Pajajaran, untuk menjalankan "misi negara" seperti versi yang dikemukakannya.
Bagaimana Purbajaya tidak akan merasa lesu. Perjalanan kali ini serasa penuh tekanan. Ada pemaksaan kehendak dari Raden Yudakara. Pemuda itu menekan Purbajaya dengan berbagai kesulitan. Dan memang tekanan itu sungguh tepat. Purbajaya tak bisa tidak musti ikut keinginan pemuda aneh itu. Kalau dia tak mau maka tak akan ada jalan kembali. Pulang ke Carbon akan dimintai pertanggungjawaban mengenai peristiwa di Cakrabuana. Begitu pun kalau dia kembali ke Sumedanglarang, sama-sama akan dihadang oleh pertanyaan mengenai peristiwa terbunuhnya tiga orang calon ksatria murid Ki Dita.
Satu-satunya lubang yang bisa menyelamatkan dirinya adalah melanjutkan misi penyusupan ke wilayah Pajajaran. Bila dia mentaati kehendak Raden Yudakara maka dia dijanjikan menerima perlindungan dari pemuda itu. Maka walau pun dengan terpaksa, tentu saja pada akhirnya Purbajaya memilih ikut kehendak Raden Yudakara. Memang serasa terpaksa sebab gerakan-gerakan pemuda itu dalam melaksanakan misi Carbon telah mendomplengkan cita-citanya sendiri. Purbajaya malah menilai, keamanan sudah menjadi rawan karena kepentingan-kepentingan pribadi ini.
Kemunculan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih misalnya, jelas-jelas direkayasa guna mendukung kepentingan tertentu dengan memanfaatkan dan mengipasi tuntutan sebagian kecil orang-orang Sindangkasih. Ini yang amat membahayakan sebab dengan demikian terjadi adu-domba di antara kelompok-kelompok yang sebenarnya tidak perlu bertikai.
Ini sungguh menyebalkan. Kalau saja Purbajaya tak tertarik dengan sebuah urusan, mungkin dia lebih memilih mati ketimbang melibatkan diri ke dalam kancah politik jahat ini.
Ya, di hati Purbajaya ada juga sedikit rasa penasaran. Dia ingin menguak kabut misteri yang menyelimuti dirinya. Orang mengatakan kalau dirinya adalah anak seorang kandagalante (pejabat setingkat wedana masa kini) di wilayah Tanjungpura (daerah Karawang). Benarkah kedua orangtuanya terbunuh dalam pertempuran antara pasukan Carbon dan Pajajaran? Benar atau tidak, yang jelas hati kecilnya memendam rasa penasaran yang sangat. Dengan adanya misi ke wilayah Pajajaran, maka sedikit banyaknya Purbajaya akan bisa menyilidiki perihal keberadaan dirinya.Itulah sebabnya, biar pun sebal dia ikut juga.
Namun yang hatinya tak enak, perjalanan menuju utara ini akan mengingatkan dirinya kepada peristiwa terbunuhnya tiga orang calon ksatria Sumedanglarang. Bagaimana dia mempertanggungjawabkan kejadian ini kepada Ki Dita sebagai guru mereka? Bagaimana pula musti bertanggungjawab kepada orangtua mereka dan kepada penguasa Sumedanglarang, tokh bagaimana pun ketiga orang calon ksatria itu tengah melaksanakan tugas negara.
Perasaan tak enak lainnya menderanya pula bila dia ingat Ki Bagus Sura. Jelas, dia telah gagal melaksanakan keinginan orang tua itu. Purbajaya tak bisa menyelamatkan surat daun lontar dan Purbajaya pun tak bisa melaksanakan keinginan orang tua itu agar dia menikahi Nyimas Yuning Purnama. Jangankan bisa memepertanggungjawabkan amanat orang tua itu, sekadar ingin merawat luka Ki Bagus Sura saja dia tak bisa. Memalukan sekali!
Bila akan menuju wilayah Pajajaran musti lewat Sumedanglarang, hati Purbajaya memang berat sekali.
Namun, berani pulakah Raden Yudakara lewat Ciguling (wilayah ibu kota Sumedanglarang)? Purbajaya pun sangsi kalau pemuda itu berani menampakkan diri di pusat keramaian sebab Raden Yudakara diduga punya masalah juga. Malah bisa saja masalah yang dia hadapi di Sumedanglarang lebih berat ketimbang masalah yang dialami Purbajaya.
Bagaimana pun Raden Yudakara jelas sudah dicurigai pihak penguasa Sumedanglarang. Walau pun tidak sampai ditangkap, mungkin pemuda itu akan ditolak masuk bila diketahui keluyuran di Ciguling. Bila demikian halnya, maka Purbajaya menduga kalau pemuda itu tak akan membawanya ke pusat ibu kota Sumedanglarang. Dan itu artinya harus menyisir jalan yanag lebih berat untuk menghindari jalan pedati yang banyak dilalui umum.
Purbajaya mengeluh. Tidak melalui jalanan umum berarti cari penyakit lagi. Dia sudah bosan musti bertemu lagi dengan kelompok orang jahat dan bertempur dengan mereka. Purbajaya merasa kalau kelak akan kembali dihadang penjahat di daerah sunyi dan terpencil. Benar perkiraan Purbajaya, Raden Yudakara tak membawanya ke jalan besar, melainkan memotong ke arah jalan setapak yang sunyi dan lebat oleh pepohonan.
Raden Yudakara sungguh berani, padahal cuaca sudah mulai mendung oleh kabut tebal karena senja telah mulai jatuh.
Keberanian ini cukup mengundang pujian di hati Purbajaya. Hanya orang yang memiliki keyakinan kuatlah yang tidak pernah ragu-ragu dalam setiap tindak-tanduknya.
Kalau mengingat akan hal ini, sebetulnya Purbajaya boleh merasa malu kepada Raden Yudakara. Perilaku antara dia dan pemuda bangsawan itu sungguh jauh berbeda. Raden Yudakara serba optimis dan penuh keyakinan dalam menghadapi persoalan apa pun, sementara dirinya selalu banyak pertimbangan. Apakah memang benar orang yang terlalu berkutat dengan pertimbangan sulit maju sementara yang punya keberanian akan mudah menggapai cita-cita, Purbajaya tak bisa memastikannya.
Hanya yang jelas, dirinya telah banyak gagal hanya karena terlalu banyak perasaan dan pertimbangan, sementara Raden Yudakara banyak menerima kesuksesan hanya karena mengandalkan keberanian dan rasa optimisnya.
Namun demikian, Purbajaya tak percaya kalau kesuksesan yang diraih oleh Raden Yudakara mewakili kebenaran. Ambillah contoh keberhasilan pemuda bangsawan itu dalam mempersunting Nyimas Waningyun. Dia memang berhasil. Namun keberhasilan ini tidak dilalui oleh perbuatan yang mengatasnamakan kebenaran. Dia bisa merebut sukses tapi tidak terhormat.
Baginya yang penting adalah menang, bagaimana pun caranya. Rupanya begitu pula yang dilakukan kepada diri Nyimas Yuning Purnama. Gadis yang jujur dan baik hati ini tidak merasa perlu berhati-hati kepada keteguhan seorang lelaki bernama Raden Yudakara. Disangkanya, pemuda bangsawan berwajah tampan ini memiliki hati yang tampan pula.
Mengapa seseorang yang berhati jujur musti mencurigai orang lain, begitu kebiasaan berpikir orang Pajajaran. Mungkin cara berpikir seperti ini pula yang dipunyai oleh Nyimas Yuning yang lugu dan jujur itu. Dan mungkin itu pula kiat kesuksesan Raden Yudakara, dia memanfaatkan kejujuran dan kepercayaan yang diberikan orang lain untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri. Pemuda itu menenggak kesuksesan dari pengorbanan dan kejujuran orang lain.
Berjalan di tengah hutan lebat di saat senja menjelang memang perlu keberanian. Bukan saja binatang buas yang akan menghadang namun juga orang jahat.
Tapi sesudah agak lama merambah hutan dan malam pun tiba, mereka berdua tidak mendapatkan gangguan yang berarti kecuali kegelapan dan tebalnya kabut dingin. Berjalan di kabut yang pekat, kedua orang itu harus bertindak amat hati-hati sebab jalan setapak di hutan pegunungan ini meniti tepian jurang.
Sungguh Purbajaya tak mengerti akan sikap pemuda bangsawan ini. Menurut hemat Purbajaya, sebaiknya perjalanan dihentikan guna beristirahat dan dilanjutkan esok harinya. Namun kelihatannya Raden Yudakara sengaja melakukan perjalanan malam guna mengejar waktu. Apa yang dia kejar, sungguh Purbajaya tak tahu.
Purbajaya menghentikan lamunannya ketika secara tiba-tiba Raden Yudakara memberi abaaba agar Purbajaya menghentikan langkahnya.
"Di sini dia rupanya ... " gumam Raden Yudakara. "Ada apa?" tanya Purbajaya heran.
"Lihat cahaya di mulut gua itu ... " Raden Yudakara menunjuk sambil bicara pelan. "Memang itu cahaya api," jawab Purbajaya ikut bicara pelan.
"Kau pergilah sana, cari tahu!" perintah pemuda itu.
Purbajaya tercenung sebentar. Raden Yudakara memang cerdik. Untuk hal-hal yang membahayakan, dia tak mau semberono menantang maut dan diserahkannya kepada orang lain.
Dan dengan hati dongkol, Purbajaya terpaksa mentaati perintah ini. Dia berjingkat akan segera pergi ketika tangannya ditarik kembali oleh Raden Yudakara.
"Kau hati-hatilah. Tugasmu hanya mengintip siapa di dalam. Sudah itu kau kembali lagi ke sini," perintahnya lagi.
Dan Purbajaya berindap-indap kembali mendekati mulut gua.
Itu adalah gua batu, namun banyak ditumbuhi semak pohon paku dan terlihat rimbun sekali. Hanya karena cahaya api saja Purbajaya bisa melihat di mana arah mulut gua.
Purbajaya terus bergerak dengan amat hati-hati. Dia khawatir kalau yang ada di dalam gua adalah orang jahat berkepandaian tinggi.
Dan sebentar kemudian dia sudah ada di mulut gua. Purbajaya berhenti sebentar untuk mengatur pernapasan dan sekalian menunggu, apakah penghuni gua mengetahui kedatangannya atau tidak?
Setelah yakin bahwa tak ada gerakan mencurigakan dari dalam gua, Purbajaya segera melanjutkan pengintaiannya.
Sungguh hati Purbajaya terkejut ketika dia tahu siapa yang ada di dalam gua. "Ki Dita ... " bisiknya pelan sekali.
Purbajaya jadi heran, mengapa Ki Dita berada di sini. Seorang diri lagi. Lantas ke mana Ki Bagus Sura dan Paman Ranu?
Namun tentu saja, untuk langsung memasuki gua dan menemui Ki Dita dia tak berani. Di samping Raden Yudakara tak memerintahkan demikian, juga karena terselip perasaan curiga. Jangan-jangan Raden Yudakara berjalan di gelap malam secara terburu-buru adalah untuk bertemu dengan Ki Dita.
Karena pertimbangan inilah maka Purbajaya secepatnya kembali menemui Raden Yudakara.
Dan sungguh mencengangkan, ketika Purbajaya melapor siapa yang ada di dalam gua, Raden Yudakara gembira.
"Sudah aku duga, dia menunggu kita di sini ..." gumamnya. Kemudian serta-merta dia meloncat dari tempat sembunyi dan menuju arah gua.
Purbajaya pun mengikutinya dari belakang dengan perasaan ingin tahu.
Ki Dita yang tengah duduk di dalam terlihat bersila mengatur pernapasan. Dia terkejut sekali ketika secara tiba-tiba ada yang datang. Namun setelah tahu yang datang adalah Raden Yudakara, wajah orang tua itu terlihat tegang.
"Raden ... " "Betul, ini aku."
Untuk kedua kalinya Purbajaya terkejut. Nyatanya antara Raden Yudakara dan Ki Dita sudah saling kenal.
"Kau telah melaksanakan tugas dengan baik, Dita," kata Raden Yudakara gembira. Namun yang dipuji nampak murung.
"Tapi engkau keterlaluan, Raden. Mengapa ketiga orang murid saya engkau bunuh?" keluh Ki Dita menunduk.
"Aku hanya bunuh satu. Satunya dibunuh Si Purba ini," Raden Yudakara menunjuk hidung Purbajaya. Nada bicaranya enteng saja sepertinya ini hanya urusan bunuh membunuh hewan piaraan.
Demi mendengar ucapan Raden Yudakara, Ki Dita celingukan seperti tengah mencari seseorang. Rupanya Ki Dita tak melihat kalau yang datang adalah dua orang sebab Purbajaya berdiri di belakang tubuh Raden Yudakara.
Dan wajah Ki Dita beringas ketika pandangan matanya beradu dengan mata Purbajaya. Dia cepat berdiri dan menghambur ke arah di mana Purbajaya berdiri.
"Dia anak buah Ki Bagus Sura, tak sangka membunuh muridku!" teriak Ki Dita menyerang Purbajaya.
Sudah barang tentu Purbajaya gelagapan diserang mendadak seperti ini. Namun ketika Ki Dita melayangkan pukulan, tangan kanan orang tua itu segera tertahan oleh cekalan ketat tangan Raden Yudakara. Cekalan itu disertai tenaga dalam. Buktinya, Ki Dita nampak menyeringai karena kesakitan. Purbajaya mengeluh di dalam hatinya. Ternyata kepandaian Raden Yudakara berada di atas tingkat kepandaian Ki Dita. Padahal kalau dirinya bertanding melawan Ki Dita, belum tentu dia memenangkannya.
"Jangan serang dia. Si Purba bukan anak buah Ki Bagus Sura!" teriak Raden Yudakara. "Tapi dia telah bunuh murid saya!" teriak pula Ki Dita penasaran.
"Maksudmu, engkau pun kelak akan membunuhku? Ingat, aku pun telah bunuh muridmu!" kata Raden Yudakara.
Dikatakan begini, Ki Dita menjatuhkan tubuhnya dan meloso tak bertenaga. Dia menutupi wajahnya, sedih dan kesal.
"Ada memar biru di leher Wista. Saya hapal, Radenlah itu yang berbuat. Anak itu tak berdosa, mengapa musti dibunuh?" keluh Ki Dita.
"Gara-garanya Si Purba ini. Kalau tidak terjadi kejadian seperti itu, Si Purba ini tak nanti mau bergabung lagi denganku. Dia hampir jadi pengkhianat. Makanya aku ciptakan masalah agar Si Purba punya keterkaitan dan ditekan oleh masalah itu."
Ki Dita melongo, apalagi Purbajaya.
"Sudahlah. Ketiga muridmu adalah orang tiada guna. Kerjanya hanya membesar-besarkan masalah kecil. Tak pantas untuk jadi abdi negara. Kalau ikut kita, mungkin hanya mengganggu gerakan kita saja," kata Raden Yudakara.
Namun Ki Dita masih terlihat tak puas.
"Aku malah punya masalah dengan Si Aditia. Anak ini kerjanya menjelek-jelekkan aku. Hampir saja aku tak bisa menikahi Nyimas Yuning karena gangguan pemuda brengsek itu. Coba, apakah kau merasa terhormat memiliki murid manja dan tak hormat kepada orang yang semestinya dihormat dan disegani?" tanya Raden Yudakara. Lantas pemuda ini ikut duduk dan segera mengambil daging burung walik yang terpanggang di atas api unggun. Daging burung itu dimakannya sendiri dengan lahapnya tanpa menawari yang lainnya.
Perut Purbajaya keruyukan ketika melihat Raden Yudakara makan dengan lahapnya. Sejak kemarin siang mereka berdua memang belum makan apa-apa.
"Ketiga orang murid saya memang bodoh-bodoh. Dan mereka sungguh tak tahu apa-apa perihal kegiatan kita ini ..." gumam Ki Dita masih murung.
"Justru karena tak tahu apa-apa maka kemungkinan mengganggu kita semakin mudah. Sementara kalau mereka kita libatkan ... Ah, orang-orang itu memang dungu, kekanakkanakan dan selalu membesar-besarkan masalah sepele saja. Aku benci anak-anak. Mereka rewel dan manja. Aku malah heran, engkau yang setangguh ini hanya memiliki murid-murid sampah seperti itu ..." omel Raden Yudakara. "Saya sebetulnya hanya pekerja biasa, Raden. Ketiga orang itu anak-anak bangsawan semata dan pengaruh orangtua mereka lumayan. Saya hanya diberi kemudahan, makanan, pakaian dan perumahan yang layak, sesudah itu saya tak bisa apa-apa untuk menolak keinginan para pejabat itu," kata Ki Dita dengan pandangan mata sayu tak bersemangat.
Hanya dikomentari oleh Raden Yudakara dengan dengus ejekan.
"Selanjutnya saya musti bagaimana?, Raden?" tanya Ki Dita setelah lama berdiam diri.
"Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih sedang kembali ke wilayahnya. Kuanggap untuk sementara, tugas mereka selesai. Yang aku inginkan, engkau tetap berada di Sumedanglarang," Raden Yudakara memerintah sambil masih mencemili sisa-sisa daging di sela-sela tulang burung walik panggang.
"Tapi saya susah untuk memberikan alasan perihal korban yang begitu banyak yang diderita oleh anggota pasukan kami. Bayangkanlah Raden, dari seluruh pasukan, hanya saya sendiri yang selamat. Ki Bagus Sura dan Ki Ranu tewas karena luka-lukanya terlambat menerima pengobatan."
Purbajaya terkejut setengah mati ketika Ki Dita melaporkan hal ini.
"Mengapa engkau begitu takut menghadapi masalah ini padahal jauh sebelumnya engkau telah tahu kalau misi kalian ini akan gagal?" tanya Raden Yudakara menegur tak suka akan ucapan Ki Dita.
"Saya memang tahu kalau misi kami pasti gagal. Tapi yang saya tidak duga, mengapa semua orang musti tewas? Akhirnya saya sendiri pasti musti mempertanggungjawabkan perkara ini
... " keluh Ki Dita.
"Sudahlah. Wajar kalau setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. Dan karena pasti akan ada yang korban, kita musti memilih jangan sampai kita sendiri yang jadi korban. Sejauh ini kau kan selamat, bukan?" tanya Raden Yudakara enteng saja."Lagi pula, jangan salahkan pasukan siluman bila Ki Bagus Sura dan Ki Ranu tewas. Kesalahan terletak pada mereka sendiri, mengapa punya kepandaian tak seberapa? Kau yang berkepandaian hebat, bukankah tidak mengalami suatu apa dalam pertempuran melawan pasukan siluman itu, bukan?" lanjutnya.
Serasa menggigil tubuh Purbajaya karena menahan amarahnya. Bagaimana tak begitu, Raden Yudakara semakin nyata selalu menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya.
Purbajaya sedih dan marah. Ki Bagus Sura, Paman Ranu, bahkan siapa pun, tewas sia-sia karena permainan orang lain. Dan semua musibah ini terpusat kepada perilaku Raden Yudakara.
Yang tak kurang menyebalkannya, orang tua bernama Ki Dita ini. Purbajaya menyangka kalau Ki Dita hanya sekadar anak buah Ki Sanjadirja yang selalu berseteru dengan Ki Bagus Sura. Kenyataan membuktikan kalau Ki Dita malah di Sumedanglarang itu tak ikut ke manamana selain kepada Raden Yudakara. Purbajaya berpikir kalau gerakan Raden Yudakara ini terasa semakin berbahaya karena jaringannya meluas dan ada di mana-mana. Siapakah pengendali utama dalam gerakan ini? Benarkah hanya Raden Yudakara seorang diri?
Dan ingat ini, Purbajaya jadi semakin penasaran untuk lebih mengetahui gerakan sesungguhnya. Untuk melampiaskan rasa penasarannya, tidak ada jalan lain selain Purbajaya terus ikut ke mana Raden Yudakara pergi.
"Tidak. Apa pun yang terjadi, engkau harus tetap kembali ke Sumedang." Suara Raden Yudakara memerintah dengan pasti dan tak boleh dibantah.
Ki Dita menatap, sepertinya mencoba mengajukan penawaran.
"Kau diperlukan di sana guna memata-matai gerakan Kangjeng Pangeran. Dia curiga padaku tapi belum bisa mencari bukti. Namundemikian, aku tak mau perasaan curiga ini semakin menyebar ke sana ke mari. Makanya engkau aku tempatkan di sana. Kau pun bertugas mengikis habis faham-faham yang sekiranya merugikan perjalananku," kata Raden Yudakara.
Dan akhirnya Ki Dita tak bisa membantah lagi kendati di wajahnya nampak ada keraguan.
Malam itu mereka tidur di gua. Tapi Purbajaya hanya tiduran saja. Hatinya penuh rasa gelisah. Dia gelisah memikirkan tindakan Raden Yudakara yang kesemuanya selalu di luar perkiraannya.
Sampai malam menjelang pagi, Purbajaya tidak tidur barang sekejap.
Raden Yudakara yang semalaman tidur mendengkur, malah bangun duluan. Serta-merta dia membangunkan Purbajaya yang kepalanya terasa berat dan matanya merah karena kurang tidur.
"Ada apa?" tanya Purbajaya heran. Dia sangka, pasti ada hal-hal yang mengejutkannya lagi.
"Cepat ajak Ki Dita menangkap burung hutan yang seperti tadi malam, atau binatang tangkapan apa saja yang sekiranya bisa kita gunakan sebagai sarapan pagi," kata Raden Yudakara menarik tangan Purbajaya agar cepat bangun.
Purbajaya mengangguk, demikian pun Ki Dita yang juga telah ikut bangun karena diganggu celoteh pemuda bangsawan itu yang ribut.
Dari sini tersirat keyakinan Raden Yudakara. Menyuruh Purbajaya pergi tanpa kawalannya hanya menandakan bahwa dia yakin kalau Purbajaya tak akan pergi memisahkan diri.
Tapi Purbajaya memang tidak berniat lari. Selain akan percuma saja, juga karena dia memang ingin terus mengikuti pemuda aneh itu.
Hanya yang dia khawatirkan adalah Ki Dita. Purbajaya disuruh berburu binatang bersama orang itu dan Ki Dita terlihat begitu bersemangat untuk melaksanakan perintah ini. Purbajaya khawatir kalau Ki Dita bergegas menerima perintah itu sebenarnya untuk berurusan dan melakukan perhitungan atas kematian ketiga orang muridnya. "Cepat berangkat Purba! Ki Dita sudah berangkat duluan!" kata Raden Yudakara kembali memerintah.
Dengan sedikit waswas, Purbajaya akhirnya pergi juga menuju luar gua. Di luar memang sudah dinantikan oleh Ki Dita.
"Mari berangkat. Kau pergi di depan!" Ki Dita berkata dingin semakin hati Purbajaya menjadi waswas.
Purbajaya memang berjalan duluan di muka. Mula-mula berjalan biasa. Namun karena langkah kaki yang menyusulnya dari belakang terdengar cepat, Purbajaya pun jadi mempercepat langkahnya. Begitu Purbajaya mempercepat langkah, Ki Dita pun semakin mempercepat langkah pula. Dan karena ini, maka Purbajaya segera berlari cepat. Ki Dita pun sama berlari cepat. Maka dalam sebentar saja, dua orang itu seperti saling susul. Yang berlari di depan berusaha tak ingin tersusul, sebaliknya yang di belakang seperti berusaha menyusul.
Purbajaya berlari kencang menggunakan ilmu larinapaksancang (berlari cepat meringankan tubuh) yang pernah diajarkan Paman Jayaratu, gurunya. Larinya seperti tak menapak tanah saking cepatnya. Bahkan ketika menginjak rumput, ujung rumput hampir tak bergoyang.
Namun celakanya, Ki Dita pun memiliki ilmu yang sama. Ketika Purbajaya menengok ke belakang, nyatanya Ki Dita tak terpaut begitu jauh jaraknya. Hanya menandakan bahwa ilmu mereka seimbang.
Sekarang Purbajaya mencoba menambah tenaganya. Namun Ki Dita pun sama menambah tenaganya. Purbajaya mencoba menaiki lereng bukit, berloncatan dari satu tonjolan batu ke tonjolan batu lainnya, namun Ki Dita pun melakukan hal yang sama.
Sampai pada suatu ketika, Purbajaya terpaksa musti menghentikan langkahnya sebab di depannya jurang menganga lebar.
Purbajaya tak tahu seberapa dalam dasar jurang itu. Melihat ke bawah, keadaan gelap oleh tebalnya kabut. Dan karena tak berani meloncat, akhirnya Purbajaya hanya pasrah apa yang akan dilakukan Ki Dita terhadapnya.
"Engkau lihat binatang buruan di bawah sana?" tanya Ki Dita.
Purbajaya undur setindak. Ki Dita nampak tengah bersiap dengan kuda-kuda menyerang.
"Mana saya tahu, dasar jurang tertutup kabut," ujar Purbajaya sambil sama-sama memasang kuda-kuda untuk bertempur.
"Coba loncatlah kau ke sana!" Ki Dita menyuruh tapi dengan sikap mengancam. Purbajaya diam mematung tapi dengan urat-urat nadi menegang keras.
"Ayo loncat!" teriak Ki Dita. Dia membuat gerakan seperti akan melakukan pukulan jarak jauh dan Purbajaya pun mencoba membuat gerakan seolah-olah akan menahan serangan jarak jauh itu. "Ha, kau takut mati, ya ... "
"Siapa pun takut mati selama belum bosan hidup," jawab Purbajaya.
"Kau pandai bicara dan sepertinya hanya engkau sendiri yang masih betah di dunia. Dengarkan anak pengecut, ketiga orang muridku penuh dengan cita-cita tapi dengan entengnya kau pupuskan harapan hidup mereka. Sekarang cobalah kau rasakan, betapa sakitnya orang yang ingin bertahan hidup tapi selalu di bawah ancaman kematian," kata-kata Ki Dita ini disusul sebuah serangan jarak jauh.
Purbajaya tak berani menahan pukulan ini, melainkan jongkok menghindar. Dahan pohon di belakangnya berkerotokan karena patah. Daunnya rontok beterbangan dan akhirnya melayang ke bawah jurang.
"Saya memang bersalah membunuh muridmu ... " gumam Purbajaya sedih.
"Kalau begitu, terimalah hukumannya!" lagi-lagi Ki Dita melakukan serangan. Kali ini Purbajaya meloncat ke atas dan tangannya bergayut pada batang pohon lain.
"Berilah saya kesempatan untuk menjelaskannya!" teriak Purbajaya. "Apa yang musti dijelaskan?"
"Saya tak sengaja melukai Aditia karena pemuda ini akan membunuh Yaksa. Dengan amat kejamnya Aditia membabat kutung tangan Yaksa. Hati siapa tak teriris melihat kejadian mengerikan ini. Jadi saya marah dan tak bisa tahan emosi," tutur Purbajaya sebenar-benarnya. Kemudian Purbajaya menerangkan kembali urutan peristiwa itu.
"Aditia marah karena Yaksa tak mau membunuh saya yang diduganya telah bunuh Wista. Padahal engkau sendiri telah menduga kalau Wista dibunuh Raden Yudakara," kata Purbajaya.
Mendengar penjelasan ini, Ki Dita mengendurkan urat-uratnya. "Ah ... lagi-lagi pemuda itu!" keluh Ki Dita akhirnya.
"Mengapa Ki Dita bergabung dengan Raden Yudakara? Saya tadinya berpikir, engkau adalah pengabdi setia di Sumedanglarang," Purbajaya berkata dengan nada menyesalkan sikap orang tua ini yang ditudingnya sebagai mendua.
"Dan engkau sendiri bagaimana, anak muda?" Ki Dita balik menyindir sehingga membuat sepasang pipi Purbajaya terasa panas.
"Hhhh ... Saya terperangkap akal liciknya," jawab Purbajaya mengeluh. Mendengar keluhan Purbajaya, Ki Dita pun sama mengeluh.
"Mungkin kita bernasib sama, anak muda. Raden Yudakara itu licin dan cerdik. Aku pun memang masuk perangkapnya ..." kata Ki Dita akhirnya.Ketegangan berakhir setelah kedua orang ini saling mengeluhkan nasibnya yang persis sama. Lalu keduanya duduk di tanah berumput dan saling memaparkan riwayat sampai tergelincir menjadi "anak-buah" Raden Yudakara.
Ki Dita ini sebenarnya seorang pengabdi. Namun kelemahannya, pengabdiannya selalu dipertautkan dengan imbalan.
"Aku ini pengajar kewiraan. Ya, sebenarnya hanya sebagai pengajar belaka dan bukan pengabdi seperti sangkamu. Aku mengajar karena telah mendapatkan berbagai kemudahan di istana. Aku diberi pakaian, aku diberi pangan, aku pun diberinya perumahan," kata Ki Dita.
Namun, kata Ki Dita, kadang-kadang fungsi dia sebagai pengajar tak bisa berjalan sesuai dengan yang sebenarnya. Menurut aturan, tugas Ki Dita adalah menggembleng para pemuda Sumedanglarang agar menjadi ksatria tangguh. Namun dalam kenyataannya, banyak pemuda pejabat ketangguhannya diragukan tapi lolos menjadi ksatria.
"Mengapa Ki Dita mau membodohi diri sendiri?" tanya Purbajaya.
"Karena dipaksa oleh keinginan orang-orang yang memberiku berbagai kemudahan," jawab Ki Dita.
"Seperti yang terjadi pada pemuda Wista, misalnya?"
"Ya, begitulah kira-kira. Banyak pejabat keliru dalam menafsirkan kasih sayang kepada keluarga. Karena anak mereka keberadaannya bisa dilihat orang bila menjadi ksatria negri, maka banyak pejabat kasak-kusuk agar putranya lolos dalam pelatihan, bagaimana pun caranya."
"Bagaimana caranya?"
Ditanya seperti ini, Ki Dita menghela napas.
"Ini memang salahku juga. Aku terlalu silau oleh kekayaan." Nada bicara Ki Dita seperti mengandung penyesalan.
"Para pejabat memberimu kekayaan?" Ki Dita mengangguk.
"Aku butuh kekayaan yang banyak. Keinginan seperti itu terlahir karena di sekelilingku banyak orang yang hidupnya papa menderita. Semakin banyak orang yang papa, semakin tergerak hatiku mengejar harta."
"Untuk menolong orang-orang papa itu?"
"Bukan. Aku ingin kaya karena aku tak ingin seperti mereka, hidup tak punya masa depan dan tak bisa mengurus keluarga dengan baik. Itulah sebabnya aku ingin kaya. Dan karena peluang menjadi orang berkecukupan hanya bisa dicari lewat melatih kewiraan, maka itu pula yang aku kerjakan." "Kendati tidak menghasilkan perwira-perwira tangguh?" potong Purbajaya mengetawakan. "Ya, aku banyak gagal melahirkan perwira tangguh ..." keluh Ki Dita.
"Lantas apa hubungannya dengan keberadaan Raden Yudakara?" tanya Purbajaya lagi. "Dia kan lama tinggal di seputar benteng karaton."
"Ya, bahkan sampai berhasil mempersunting Nyimas Yuning Purnama ..." sambung Purbajaya. Dan bicara perihal ini hati Purbajaya menjadi sakit.
"Betul. Raden Yudakara pandai mempengaruhi orang. Ki Bagus Sura pun mudah dibujuk sehingga dengan amat mudahnya menyerahkan anak gadisnya. Ini hanya karena iming-iming yang dijanjikan anak bangsawan Carbon itu," kata Ki Dita."Aku pun tergoda iming-iming. Raden Yudakara menjanjikan jabatan dan harta melimpah asalkan ... "
"Asalkan apa?"
"Menyelidiki situasi di lingkungan karaton." "Apa yang musti diselidiki di sana?"
"Ah, sebenarnya sungguh membahayakan. Dia ingin mendata orang-orang yang tak menyukai Kangjeng Pangeran ..."
"Mengapa melakukan ini?"
"Entahlah. Namun Raden Yudakara berkata kalau dirinya sanggup membantu menyelesaikan masalah."
"Masalah bagi siapa?"
"Tentu, masalah bagi kelompok yang tak menyukai Kangjeng Pangeran," jawab Ki Dita. "Membahayakan ..."
"Tentu membahayakan. Itulah sebabnya, kini rasa sesal menghantuiku ..." jawab Ki Dita dan wajahnya penuh rasa khawatir.
"Tapi engkau telanjur mau karena iming-iming itu, Ki Dita?" Ki Dita mengangguk lesu.
"Namun sebetulnya, yang menekanku bukan semata karena iming-iming itu." "Ada hal lain lagi yang menekanmu?"
"Raden Yudakara tahu kalau aku gila kekayaan dan gemar menerima suap dari pejabat. Maka itu pula yang digunakan Raden Yudakara dalam menekankan keinginannya. Katanya, apa yang jadi kebiasaanku akan ditutup rapat selama aku ikut dirinya. Yang penting, turuti apa yang jadi perintahnya maka kedudukanku aman. Begitu katanya. Kelemahanku sudah dipegang oleh Raden Yudakara. Aku jadi benar takut didepak dari istana. Makanya aku laksanakan keinginannya ..."
"Saya tak percaya kalau ada pejabat di bawahnya yang tidak menyukai Kangjeng Pangeran ... " gumam Purbajaya.
"Banyak orang menilai baik buruknya seseorang karena didasarkan pada kepentingannya sendiri. Kita akan menganggap orang lain baik karena telah menguntungkan kita, sebaliknya akan menilai buruk karena orang itu merugikan kita," kata Ki Dita sambil menatap berkeliling. Hutan lebat ini ternyata sudah tak diselimuti kabut lagi. Burung walik pun mulai terdengar kicaunya di atas dahan pohon carik angin.
"Apakah Ki Sanjadirja masuk kelompok ini?" tanya Purbajaya penuh minat. "Kau pandai menebak orang," jawab Ki Dita.
"Bukan karena kecerdikan saya, melainkan karena sudah diketahui betapa Ki Sanjadirja kalah bersaing dengan Ki Bagus Sura dalam mendapatkan perhatian Kangjeng Pangeran," jawab Purbajaya menepiskan pujian orang.
Dan Ki Dita mengangguk mengiyakan.
"Kau mengabdi pada Ki Sanja pasti atas saran Raden Yudakara." Purbajaya coba menebak dan ternyata tebakannya ini benar.
"Aku disuruh Raden Yudakara untuk memanas-manasi Ki Sanjadirja agar semakin membenci Kangjeng Pangeran ..." jawab Ki Dita polos.
Purbajaya menghela napas panjang. Dan kelakuan Purbajaya ini ternyata diikuti oleh elahan napas Ki Dita juga.
"Saya bingung ... " Purbajaya bergumam.
"Aku pun bingung ..." tiru Ki Dita seperti burung beo saja. Purbajaya menoleh.
"Bayangkanlah Purba, tiga orang pemuda di bawah bimbinganku mati semua. Aku pasti dipecat mereka, padahal aku sudah akan diusulkan sebagai anggota pelatih kewiraan di lingkungan lebih tinggi lagi. Putuslah reputasiku ..."
"Yang saya bingungkan soal perilaku Raden Yudakara," bantah Purbajaya sebab merasa tak punya kesamaan dalam memiliki kebingungan ini."Saya bingung, apa pula maksud sebenarnya mengacau dan mengadu-domba pejabat di Sumedanglarang?" tanya Purbajaya seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Aku tak pernah ingin tahu apa keinginan pemuda aneh itu. Yang aku pikirkan sekarang, bagaimana nasibku selanjutnya? Kembali ke Ciguling (ibukota Sumedanglarang) aku tak berani. Namun ikut Raden Yudakara pun aku tak kerasan. Jalan pikirannya aneh-aneh, mungkin terlalu tinggi dan aku tak bisa mengerti maknanya. Padahal keinginanku tak muluk, hanya ingin hidup aman sejahtera hingga akhir hayat. Itu saja," kata Ki Dita sambil mengeluh dan memukul jidatnya sendiri beberapa kali.
Dalam pandangan Purbajaya, Ki Dita sudah tak tampak sebagai seorang guru kewiraan yang bisa melahirkan generasi bangsa yang tangguh, melainkan tampak hanya berupa seorang pencari upah yang gagal dalam usahanya. Bersyukur ada Raden Yudakara, sebab orang seperti ini bisa terusir dari Sumedanglarang.
Namun dua orang itu tak bisa lama-lama mengobrol sebab tugas berburu binatang harus segera dilakukan. Kalau berlarut-larut tak kembali, khawatir Raden Yudakara lama menunggu dan dia akan curiga.
Itulah sebabnya, baik Purbajaya mau pun Ki Dita, berusaha mengejar binatang buruan. Di daerah itu hanya burung-burung walik yang banyak berkeliaran. Mereka beterbangan atau berloncatan dari dahan ke dahan. Itulah sebabnya, baik Purbajaya mau pun Ki Dita hanya mencoba mengintai mangsa seperti itu saja. Masing-masing siap dengan beberapa kerikil. Dan setiap ada burung menclok, mereka lempar dengan kerikil disertai pengerahan tenaga dalam yang amat kuat. Mereka bersaing mengejar buruannya sebanyak-banyaknya.
"Aku dapat tiga ekor!" teriak Ki Dita gembira.
"Wah ... saya hanya dapat dua ekor ... " kata Purbajaya "tak puas" sambil membuang dua ekor burung walik lainnya yang sudah dia dapatkan. Purbajaya tak mau orang tua itu kalah bersaing. Itulah sebabnya lebih baik dia saja yang mengalah.
"Coba lihat tangkapanmu. Wah, hanya dua ekor, kecil-kecil lagi. Tapi biarlah, untuk sarapan pagi cukup segini saja," kata Ki Dita gembira. Dia pulang duluan menenteng buruannya. Purbajaya mengikuti dari belakangnya.
Di dalam gua, Raden Yudakara sudah siap menunggu. Pemuda itu ketawa renyah ketika melihat Purbajaya dan Ki Dita sama-sama menenteng hasil buruan.
"Cepat buatkan api. Purba, kau giliran mengumpulkan dahan-dahankaso yang sudah kering."
Raden Yudakara kerjanya memang hanya memerintah. Tapi ketika makanan sudah terhidang, dia dapat giliran paling awal dalam melahap makanan itu.
"Musti dengan nasi yang ditanak di Rajagaluh ..." kata Raden Yudakara yang mulutnya penuh dijejali serpihan daging walik sampai-sampai minyak berlelehan di sudut bibirnya.
Purbajaya pun dapat bagian daging walik ini. Dan ketika makan, teringat Paman Jayaratu.
Membakar daging burung walik memang kegemaran Paman Jayaratu. Tapi bersama Paman Jayaratu, memasaknya tidak sederhana seperti ini. Sebaiknya, sesudah daging dikuliti, tubuh burung dilabur bumbu tumbuk campuran bawang putih, bawang merah, merica atau jahe. Kalau ada minyak samin buatan Nagri Parasi bisa lebih bagus. Sambil digarang di atas bara api, daging burung dilabur minyak samin. Maka harumnya daging yang dibakar berpadu dengan harum khas bumbu-bumbu itu, bakal semakin menggoda perut yang lagi lapar. Pagi ini daging burung hanya dibakar tanpa bumbu atau pun juga tanpa garam barang sejumput. Namun bagi orang yang perutnya lama tak diisi, ini adalah makanan yang amat istimewa. Hanya dalam waktu tidak terlalu lama, semua daging sudah habis dilahap tiga orang. Yang tinggal hanya tulang-belulangnya saja.
"Mari!" ajak Raden Yudakara berjingkat setelah membersihkan mulut dan tangannya. "Ke mana?" tanya Ki Dita menatap heran.
"Ke mana? Apa kau sangka kita ini sedang pesiar?" Raden Yudakara balik bertanya dengan nada ketus.
Tapi Ki Dita masih tak mau beranjak.
"Kau harus kembali ke Ciguling!" kata Raden Yudakara. Tapi Ki Dita masih diam.
"Kalau begitu, kau ikut aku langsung ke wilayah barat! Kau takut bertemu orang-orang Sumedanglarang, kan?" tanya Raden Yudakara.
"Benar, Raden."
"Kau pengecut. Tapi tak mengapa. Ayo ikut saja ke wilayah barat."
"Saya juga tak mau ikut. Saya ingin di sini saja ..." jawab Ki Dita pelan dan menunduk. "Maksudmu, di dalam gua ini?"
Lagi-lagi Ki Dita tidak menjawab.
"Kalau tak ikut aku, kau tak bisa ke mana-mana," tutur Raden Yudakara dingin. Kemudian dia tepuk-tepuk bagian belakang pakaiannya yang kotor oleh debu.
"Benar kau tak akan ke mana-mana?" "Tidak Raden ..."
"Mau tinggal di sini saja?" "Mungkin begitu, Raden ..."
"Benar?" nada suara Raden Yudakara semakin dingin.
"Saya ini orang kecil, Raden. Ikut dengan orang besar dan pintar sepertimu, saya tak akan mengerti. Jalan pikiranmu terlalu tinggi dan susah dimengerti. Daripada saya pusing sendiri, lebih baik saya tak ikut saja," kata Ki Dita akhirnya.
"Kau akan mati di sini ..." desis Raden Yudakara. "Tidak. Justru saya akan mati bila terus-terusan ikut Raden ..." kata Ki Dita."Jauh-jauh hari sebelum kenal engkau, hidup saya tentram. Namun setelah kau hadir, hidup saya kacau. Saya dipaksa untuk menilai orang, untuk bercuriga ke sana ke mari, padahal jauh sebelumnya, mereka baik-baik belaka kepada saya. Jadi, jalan pikiran Radenlah yang meracuni saya ..." kata Ki Dita mulai berani sebab Raden Yudakara seperti tetap memaksanya.
Wajah Raden Yudakara merah-padam.Purbajaya tahu kalau pemuda ini paling murka pendapatnya tak diikuti. Dia khawatir, Ki Dita dihadapkan kepada mara-bahaya karena hal ini.
"Jadi, kau tak akan ikut aku, ya?" "Betul, Raden ..."
"Sudah kau putuskan, ya?" "Sudah saya putuskan, Raden ..."
"Baik kalau bagitu. Tinggallah kau di sini!" teriak Raden Yudakara. Dan dengan kecepatan sulit diduga, pemuda itu melakukan pukulan jarak jauh dengan amat dahsyatnya. Saking dahsyatnya, suara angin berciutan dan batu-batu di dalam gua berguguran.
Purbajaya hanya sanggup berdiri mematung dengan mulut melongo. Dia sudah punya firasat kalau Raden Yudakara akan mencelakai Ki Dita, namun gerakan dahsyat yang dilakukan pemuda itu sama sekali tak bisa diduganya. Dengan amat pedihnya, Purbajaya hanya bisa menyaksikan, betapa tubuh Ki Dita yang tak pernah mempersiapkan diri terlontar keras dan berdebuk di dinding gua. Tubuh itu meloso ke bawah, kemudian tertimpa reruntuhan batuan gua. Tak ada gerakan sesuatu dari tubuh Ki Dita selain sebelah tangannya tersembul tak berdaya dari sela-sela gundukan bebatuan.
Purbajaya berhenti dari keterpanaannya dan segera menghambur ke arah reruntuhan batu kemudian mencoba menolong tubuh Ki Dita yang tertimbun di bawahnya.
"Sudahlah, dia sudah tewas ... " kata Raden Yudakara dengan nada biasa seolah-olah itu bukan peristiwa penting dan mencekam.
Purbajaya coba memeriksa nadi di tangan Ki Dita yang menyembul ke atas. Benar saja, sudah tak ada denyut nadi.
"Kau membunuhnya, Raden ... " desis Purbajaya.
"Dia yang minta ... " jawab Raden Yudakara enteng saja.
"Kau kejam. Kau tanpa perasaan sehingga nyawa begitu tak berarti bagimu!" Purbajaya mengecamnya.
Dikecam seperti ini wajah Raden Yudakara merah-padam kembali. Tapi Purbajaya tak takut. Paling-paling dia dibunuhnya. Mengapa takut dibunuh, tokh selama ini mati-hidupnya telah ada di tangan pemuda kejam ini. Tapi Raden Yudakara tak memukulnya, melainkan hanya menjambak bajunya di bagian dada dan mengangkat tubuh Purbajaya tinggi-tinggi.
"Dengarkan kau manusia dungu. Justru aku melakukan hal ini karena aku menghargai nyawa. Tapi nyawa siapakah? Apa kau pikir kita musti menghargai nyawa orang lain ketimbang nyawa kita sendiri? Aku bunuh orang itu karena kalau dibiarkan maka nyawa kita yang terancam. Dia sudah tahu perjalanan dan rencana kita. Kalau dia memisahkan diri dari kita tentu hanya untuk menghalangi jalan kita saja."
"Aku tak paham jalan pikiranmu!"
"Memang tidak akan paham sebab orang kecil sepertimu tak akan mengerti jalan pikiran orang besar sepertiku. Kau orang kecil dan bodoh hanya mampu berpikir akan masalahmasalah kecil saja dan tidak akan memahami masalah-masalah besar yang tengah aku pikirkan."
"Tapi perkara nyawa bukanlah urusan kecil!" bantah Purbajaya dengan dada sakit karena keberadaan dirinya dihina seperti ini.
"Itulah sebabnya aku bunuh orang dungu itu sebab kalau kubiarkan lepas, akan banyak nyawa melayang. Keselematanku, keselamatan kau dan keselamatan banyak nyawa lainnya," kata Raden Yudakara.
"Siapa yang lainnya?"
"Siapa? Tentu adalah mereka yang sepaham dengan kita," tukas Raden Yudakara lagi dengan tegas."Sudahlah. Kau memang dungu. Dengarkan, selama dunia berkembang, maka selkama itu pula akan selalu terdapat perbedaan pendapat di antara manusia. Bila semua orang telah sama-sama memiliki keinginan untuk berkembang, maka akan bersaing dengan yang lainnya dan terjadilah pertikaian. Kau harus pahami itu. Hanya orang bodoh dan tanpa keinginan yang sanggup melahirkan kedamaian tapi kedamaian sepi tak berarti. Dan aku tak mau itu. Aku tak mau jadi orang mati hanya karena mendambakan kedamaian. Tapi aku harus jadi orang nomor satu kendati dunia dalam keadaan apa pun. Dan untuk menjadi orang nomor satu, aku harus berhjuang, apa pun perjuanganku!" Raden Yudakara berkata lantang dan mengejutkan.
Kalau saat itu ada guruh mengguntur, maka hanya suara pemuda ambisius itu saja yang paling keras suaranya. Barangkali burung dan binatang hutan pun hanya akan takut mendengar suara Raden Yudakara ketimbang suara halilintar di siang hari bolong.
"Cita-citamu akan mengancam keselamatan orang lain," gumam Purbajaya parau karena bulu-kuduk berdiri mendengar isi hati pemuda aneh ini.
"Aku bukan orang sadis sebab aku pun butuh teman. Namun terus-terang, aku tak bisa menyelamatkan banyak nyawa di tengah-tengah persaingan dalam saling menekan dan saling mengalahkan. Kalau pun akan menyelamatkan nyawa, maka itu adalah nyawa kita sendiri, atau nyawa orang-orang yang membantu kita dan bukan nyawa orang-orang yang memusuhi atau menyaingi kita," kata lagi pemuda itu.
Purbajaya hanya termangu-mangu. "Nah, ini perkataanku yang terakhir. Kalau kau banyak bertanya dan apalagi banayak mendebat lagi, maka kuanggap kau bukan orang sehaluan denganku," desis Raden Yukadara dengan suara dingin. Sesudah itu, pemuda ini keluar dari gua lebih dahulu dan meninggalkan Purbajaya yang masih termangu.
Dengan perasaan tak berketentuan, Purbajaya pun bangun dari duduknya dan ikut keluar gua. Jasad Ki Dita dibiarkan terkubur bebatuan gua karena Raden Yudakara tak memberi waktu untuk merawat jasad itu.
Purbajaya memang harus ikut ke mana pemuda itu pergi. Bukan dia takut mati oleh ancaman Raden Yudakara, tapi semakin lama meneliti perilaku pemuda itu, maka semakin besar juga rasa penasaran di hati Purbajaya. Kalau benar Raden Yudakara orang jahat, biarlah Purbajaya tahu secara keseluruhan, sampai di mana kejahatan pemuda itu. Purbajaya merasa kalau Raden Yudakara ini bukan hanya bekerja sebagai mata-mata saja. Menjadi mata-mata hanayalah sebuah perangkat untuk menutupi kegiatan sesungguhnya. Kepada siapa dia menutupi identitas sebenarnya?
***
Raden Yudakara terus membawanya ke utara. Purbajaya di sepanjang jalan tidak bertanya lagi sebab Purbajaya tahu kalau pemuda bangsawan ini akan menuju wilayah Pajajaran.
"Kita akan singgah di wilayahkandagalante (pejabat setingkat wedana kini) Sagaraherang," kata Raden Yudakara menebasi tetumbuhan yang menghalangi jalan dengan ranting kayu.
Selama melakukan perjalanan, Raden Yudakara memang tak mau lewat jalan pedati yang banyak dilalui umum, melainkan memotong-motong belukar atau bahkan ngarai. Kentara sekali bahwa di wilayah yang berdekatan dengan Ciguling (ibukota Sumedanglarang), dia tak berani menampakkan diri. Pusat kota Sumedanglarang tidak mereka lewati.
Sagaraherang adalah daerah yang terletak di dataran rendah sebelah utara Sumedanglarang. Bila di wilayah Sumedanglarang mereka harus berjalan turun-naik bukit dan meniti jurang terjal, maka ketika memasuki wilayah Sagaraherang, jalanan mulai rata. Di daerah ini, kalau mau sembunyi dari pandangan umum sebetulnya agak sulit sebab dataran rendah ini banyak terdiri dari padang alang-alang terbuka dan juga rawa. Satu dua memang terlihat bukit dengan pepohonan dataran rendah namun jumlahnya tidak banyak.
Sagaraherang adalah wilayah yang masih dikuasai Pajajaran. Namun demikian, pengaruh dari pusat kekuasaan sudah terasa lemah. Wilayah ini malah sudah begitu dekat dengan pesisir utara, padahal pesisir utara hampir semuanya dikuasai Nagri Carbon. Sebagai daerah perbatasan, kontak penduduk dari dua wilayah mudah dilakukan.
Seperti apa kata Raden Yudakara, orang kecil memang tak bisa berpikir besar. Namun karena ini pula, jalan pikiran orang kecil ternyata bisa bebas dari kemelut besar hanya karena secara lugu telah mengartikan nilai kehidupan secara sederhana saja. Buktinya, dua penduduk dari dua wilayah berlainan paham ini. Secara politis antara Carbon dan Pajajaran ini bermusuhan. Tapi, apalah arti perbedaan politik bagi orang yang tak mengerti politik. Sebab yang sebenarnya dipahami oleh mereka hanyalah bagaimana agar bisa bertahan hidup sesuai kemampuan. Penduduk dari dua negri berlainan paham ini satu sama lain sebetulnya tetap saling memerlukan. Penduduk pedalaman (Pajajaran), amat memerlukan garam, ikan asin atau barang-barang hasil produksi orang pesisir bahkan kain halus buatan negri sebrang seperti kain satin buatan Campa atau kain sutra buatan Cina. Sebaliknya penduduk pesisir memerlukan hasil bumi dari wilayah pedalaman, seperti kapas, asam, berbagai rempahrempah atau bahkan anggur agar kelak oleh orang pesisir bisa dijual lagi ke negri sebrang. Oleh sebab itu politik bagi orang awam dan kaum pedagang tak diperhatikan benar sebab mereka tetap saling membutuhkan.
Di pinggiran wilayah Sagaraherang bahkan amat sulit membedakan, mana orang Carbon dan mana orang Pajajaran. Logat bahasa mereka malah seperti campur-aduk. Tak mengapa orang Pajajaran logatnya jadi "kecarbon-carbonan" karena kental dan baur oleh perdagangan. Jenis pakaian yanag digunakan pun sudah bercampur-baur. Ada orang Sagaraherang tapi sudah terbiasa menggunakan bendo citak atau baju takwa padahal itu biasa digunakan oleh orang Demak atau pun Carbon. Orang Pajajaran di wilayah ini adat-istiadatnya memang terpengaruh oleh orang Carbon.
Namun kesederhanaan perilaku penduduk ini suka dimanfaatkan oleh "orang pintar" yang mengaku tahu politik. Hubungan perdagangan dari kedua penduduk ini dimanfaatkan untuk kepentingan penyamaran dan penyelundupan dengan kepentingan politik pula. Kerap terjadi orang Pajajarana memasuki Carbon melalui perbatasan ini atau pun sebaliknya orang Carbon memasuki wilayah Pajajaran dengan maksud untuk kepentingan politik.
Sesudah tiba di wilayah Sagaraherang, Raden Yudakara tak mengajak Purbajaya untuk main sembunyi lagi. Mereka berdua malah kembali menyusuri jalan pedati yang ramai digunakan lalu-lintas perdagangan.
Apalagi sesudah memasukilawang -kori(gerbang) kota, di mana orang yang hilir-mudik semakin banyak pula. Kata Raden Yudakara, keberadaan Purbajaya sudah tak diketahui sebagai orang Carbon lagi.
"Kau hanya perlu menyelaraskan bahasa yang dipakai saja. Ini adalah wilayah Sunda dan tak banyak orang menggunakan bahasa Demak," kata Raden Yudakara sambil menyebutkan bahwa di wilayah Pajajaran Purbajaya harus belajar bahasa setempat.
"Sedikit-sedikit saya sudah dilatih bahasa Pajajaran oleh Paman Jayaratu ... " jawab Purbajaya.
"Itu malah lebih bagus!" Raden Yudakara mengacungkan jempol memuji. Kini Purbajaya dibawa menghadap kepada penguasa wilayah itu.
"Jangan sungkan. Kandagalante Sunda Sembawa adalah kerabat dekatku," kata Raden Yudakara.
"Oh ... " Purbajaya hanya bergumam.
"Betul. Sementara, Ki Sunda Sembawa pun punya kekerabaan yang erat dengan penguasa Pajajaran sekarang. Dengan demikian, kalau ditelusuri, sebetulnya aku pun masih kerabat Pajajaran juga. Tapi jangan cemas, Ki Sunda Sembawa adalah tetap teman sendiri," kata Raden Yudakara.
Purbajaya termangu. "Teman sendiri" punya arti khusus. Secara politis, apakah Ki Sunda Sembawa pun sudah memihak Carbon?
Purbajaya tersenyum kecut, sekaligus dia pun tak mengerti, mengapa ini terjadi?
Purbajaya pernah menerima penjelasan dari Paman Jayaratu, antara Pajajaran dan Carbon sebenarnya punya kaitan kekerabatan yang amat erat. Kangjeng Pangeran Cakrabuana pendiri Nagri Carbon (asal kata daricaruban , artinya negri bermacam-macam bangsa), adalah salah seorang putra Prabu Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran. Pangeran Cakrabuana dulunya bernama Walangsungsang.
Sementara itu, penguasa Nagri Carbon kini yaitu Sang Susuhunan Jati adalah cucu dari Sri Baduga Maharaja, dan punya kekerabatan uwak kepada Kangjeng Pangeran Cakrabuana. Sang Susuhunan Jati ditunjuk sebagai penguasa Carbon pun oleh Kangjeng Pangeran Cakrabuana. Namun kekerabatan yang kental ini tidak lantas membangun sebuah persaudaraan dan persahabatan antarnegri. Oleh keyakinan berbeda, kedua negri malah menjadi seteru.