Kemelut Di Cakrabuana Jilid 03

"Nyimas, mata pemuda itu tampaknya kemasukan debu," terdengar suara gadis pengiringnya. Setelah itu ada suara cekikikan dari beberapa gadis lainnya. Purbajaya baru sadar, Nyimas Waningyun diantar tiga orang gadis pengiring yang cantik-cantik dan berpakaian bagus.

"Bersihkan matamu di kolam, anak muda," kata gadis lainnya. "Saya tak kelilipan," jawab Purbajaya gagap.
"Habis dari tadi kedap-kedip saja? Atau kau tak senang dengan kehadiran Nyi Mas ke sini?" kata yang lain.

"Sengajakah Nyimas datang ke sini?" tanya Purbajaya menatap gadis itu. Namun kemudian, Purbajaya memalingkan muka sebab tak kuat saling bertatap mata.

"Mengapa mesti sengaja? Tempat ini tak menimbulkan kenangan buat Nyimas," kata suara lain. Purbajaya menatap ke arah Nyimas Waningyun. Sejak tadi gadis itu hanya menatap.

"Aku memang sengaja datang ke sini karena melihatmu," gumam gadis itu pada akhirnya. Purbajaya sudah barang tentu terbelalak matanya. Gadis itu datang karena dia?

"Sudah tiga kali aku melihatmu bertandang ke sini. Ada apakah, padahal kolam ini sepi," gumam gadis itu.

Gadis itu sudah tiga kali memergokinya? Purbajaya celingukan. Kira-kira dari arah mana gadis itu mengintipnya?

"Saya menyukai yang sepi-sepi, Nyimas ..." tutur Purbajaya sekenanya.

"Wah, kalau begitu kita harus segera pergi dari tempat ini, Nyimas sebab dengan kehadiran kita, tempat ini jadi tak sepi dan anak muda itu pasti jadi tak menyukainya," ajak seorang gadis pengiring. "Hey, jangan!' teriak Purbajaya khawatir benar-benar ditinggalkan. "Beraninya engkau memerintah Nyimas!" cetus gadis pengiring ketus. "Bukan begitu. Maksud saya ... maksud saya,"
"Maksudnya apa?" potong gadis pengiring dengan bawel.

"Sudahlah jangan terus diganggu," gumam Nyimas Waningyun halus tapi sedikit tersipu melihat ulah Purbajaya. "aku memang datang mengunjungimu " tutur Nyimas Waningyun.

"Mengunjungi saya? Untuk Apa?" Purbajaya gagap. "Untuk minta maaf padamu "
"Minta maaf ?"

"Ya."

"Pada saya?" "Ya."
"Heran "

"Mengapa orang minta maaf mesti dibuat heran" tanya Nyimas Waningyun mengerutkan dahinya yang putih mulus.

"Nyimas tak punya dosa. Malah saya yang sebetulnya berdosapadamu," tutur Purbajaya. "Tidak. Akulah yang berdosa padamu," balas gadis itu setengah menunduk.
"Dosa apakah itu?"

"Bulan lalu aku memarahimu, padahal tak sepantasnya aku marah-marah padamu," gumam gadis itu masih menunduk.

"Engkau pantas memarahi saya. Bukankah saya ini orang culas?" kata Purbajaya. Dari belakang Nyimas Waningyun terdengar suara tawa kecil.

"Mengapa ditertawakan?" Nyimas Waningyun menoleh ke belakang. "Dia ngaku sendiri orang culas," tutur suara orang di belakang. "Engkau tidak culas, Purba, asal saja "
"Asal saja apa, Nyimas?" tanya Purbajaya tak sabar. "Asal saja engkau berlaku jujur," "Saya akan mencoba berlaku jujur, Nyimas ..." "Dan jangan bengal,"
"Saya akan mencoba tak bengal, Nyimas" "Jangan sekali-kali mencederai orang lain,"
"Saya tidak akan mencederai orang lain, Nyimas," "Nah itu baru anak baik," tutur suara dari belakang.
"Hus," Nyimas Waningyun menegur pembantunya. Tapi yang ditegur masih terkekeh-kekeh sambil memandang Purbajaya, sehingga yang dipandang semakin tersipu.

Namun kendati merasa malu dan berdebar, yang jelas hati pemuda itu sepertinya mendapatkan durian runtuh. Ow, jangan samakan Nyimas dengan durian yang berduri runcing itu. Ya, Purbajaya sepertinya mendapatkan siraman air mawar, atau mendapatkan taburan bunga sedap malam, harum, hangat, dan mesra. Hanya saja, kebahagiaan pemuda itu tak berlangsung lama sebab dari arah lain datang serombongan pemuda.

Celaka, ada Ranggasena, keluh Purbajaya dengan hati terkejut.

Ranggasena datang dengan langkah tegap dan gagah. Atau lebih pantas lagi disebut menakutkan sebab sepasang matanya melotot, mulutnya mengatup dan giginya terdengar gemelutuk sebagai tanda marah.

Ranggasena jalan di muka, diiringkan oleh empat orang pemuda lainnya. Mereka datang menghampiri dan semua mendekati Purbajaya dengan sikap mengancam.

"Kurang ajar! Lagi-lagi engkau ganggu Nyimas. Dasar pemuda cabul, tak tahu malu! Hajar tikus kecil itu!" teriak Ranggsena kepada teman-temannya.

Keempat pemuda itu serentak meloncat dan menyerang Purbajaya dengan membabi-buta. Gerakan-gerakan mereka memang memperlihatkan sebagai orang yang memiliki ilmu berkelahi. Namun dalam pandangan Purbajaya, ilmu mereka rendah saja. Kalau dia mau, dalam satu gerakan, selain bisa meloloskan diri juga sekaligus bisa balas menyerang. Namun Purbajaya ingat akan janjinya kepada Nyimas untuk tidak mencederai orang lain. Pemuda itu takut sekali kalau dibenci atau dimarahi gadis itu. Dan karena itu, akhirnya dia memilih diam. Maka dalam waktu singkat saja terdengar suara bakbikbuk-bakbikbuk karena tubuh Purbajaya dihujani pukulan dari sana-sini.

"Bagus! Nah begitu! Pukul dia! Pukul dia!" teriak Ranggasena sambil sesekali terdengar kekeh gembira karena semua pukulan teman-temannya tak ada yang lolos.

"Hey, apa-apaan ini! Hentikan! Hentikan!" teriak Nyimas Waningyun yang amat terkejut dengan peristiwa mendadak ini. "Jangan berhenti! Teruskan, pukul si cabul ini!" teriak lagi Ranggasena. Berkata begitu, dia pun menghambur ke depan dan melayangkan beberapa kali pukulan ke arah wajah Purbajaya.

Purbajaya masih berdiri kokoh namun sudah terlihat lelehan darah dari mulut dan hidungnya. Nyimas Waningyun dan para pengiringnya menjerit-jerit ngeri. Mereka ingin mencegah tapi tak bisa bagaimana harus mencegahnya.

Jeritan-jeritan para gadis itu membuat perhatian orang-orang yang akan berangkat sembahyang ke Masjid Sang Ciptarasa. Beberapa orang prajurit bahkan perwira puri tergopoh-gopoh datang menghampiri dan serta-merta menghentikan peristiwa ini.

"Hentikan perkelahian. Apakah kalian tak malu orang lain hendak sembahyang magrib, kalian malah berkelahi?" teriak perwira tua yang datang menengahi.

Yang disebut "perkelahian" ini bisa dihentikan. Kelima pemuda yang mengepung Purbajaya mundur teratur dan nampaknya mereka cukup menyegani perwira tua itu.

"Kami hanya mencoba menghalangi perbuatan pemuda bejat itu. Dengan tak tahu malu, dia menggoda Nyimas. Ini adalah perbuatan yang kedua kalinya, Paman!" tutur Ranggasena mendelik ke arah Purbajaya.

"Betulkah Nyimas, engkau diganggu pemuda itu?" tanya perwira tua itu. Namun sungguh mencengangkan, sebagai jawabannya tidak dengan kata-kata, melainkan gadis itu menghambur ke arah Purbajaya. Serta-merta Nyimas Waningyun membuka kain satin yang mengikat rambutnya. Kain halus warna kuning itu digunakannya untuk menyeka darah di bibir dan hidung Purbajaya sehingga warna kuning kain kini bercampur noda darah.

"Dasar pemuda bodoh, mengapa tak kau lawan mereka?" teriak gadis itu ketus, namun sambil mengelus luka di wajah Purbajaya.

Kejadian dan adegan ini tentu membuat semua orang tercengang, terutama bagi perwira tua dan pemuda pengeroyok itu. Ranggasena giginya berkerot dan sepasang matanya terbelalak. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah padam melihat adegan mesra ini. Dan tanpa bicara sepatah pun, pemuda itu meloncat pergi meninggalkan tempat itu. Keempat orang temannya pun akhirnya melakukan hal yang sama.

"Cepat kembalilah ke puri, hari hampir menjelang magrib," kata perwira tua bernada perintah. "Mengapa kau tadi diam saja, Purba?" tanya Nyimas Waningyun sekali lagi.
"Lho, saya taat keinginanmu. Bukankah saya jangan mencederai orang lain?" jawab Purbajaya lirih.

"Dasar bodoh dan dungu. Dilarang mencederai bukan berarti malah dicederai! Ah, kadangkadang aku kesal melihat kedunguanmu ini!" kata Nyimas Waningyun cemberut.

Nyimas Waningyun pulang diiringi yang lain. Sementara Purbajaya masih termangu sambil menyusuti darah di hidung dengan kain satin milik gadis itu. ***

INILAH kenyataan aneh. Yang namanya sakit itu sebenarnya bukan di badan tapi di hati. Dengan perkataan lain, sesuatu yang bernama perasaan itu sebenarnya ada di hati bukan di tempat lain. Tubuh Purbajaya sebenarnya lebam-lebam karena hujan pukulan. Namun karena hatinya tengah berbunga-bunga, tak ada rasa sakit sebab yang muncul adalah kebahagiaan. Sampai jauh malam kerjanya hanya mengelus-elus kain satin yang warna kuningnya terpoles darah kering bekas luka di tubuhnya. Dengan kain halus itu, serasa Nyimas Waningyun selalu dekat dengannya.

Hati pemuda itu terus bernyanyi melantunkan lagu cinta. Sudah tak diragukan lagi, gadis itu pasti mencintainya. Kalau tak begitu, mengapa dia begitu baik padanya, begitu penuh perhatian padanya. Memang gadis itu beberapa kali berteriak marah padanya. Tapi Purbajaya tahu, itu adalah kemarahan karena rasa kasih sayang.

"Oh dewiku, bagaimana caranya agar aku pun bisa menyampaikan perasaanku yang sebenarnya?" kata hatinya.

Purbajaya akhirnya tertidur dengan sesungging senyum di sudut bibirnya kendati dalam selintas ada juga perasan khawatir dan tak enak. Kejadian tadi sore di samping amat membahagiakan hatinya, juga telah membuat rasa sakit orang lain. Tak syak lagi, kejadian tadi sore akan semakin menyulut permusuhan di hati pemuda bernama Ranggasena itu.

***

PURBAJAYA hanya punya waktu sore hari. Pagi hari dia berlatih perang-perangan bersama para prajurit dan perwira, sedangkan siang hari menerima pendidikan teori kemiliteran dan taktik peperangan.

Itulah sebabnya, pada sore itu, dia kembali ke luar Puri Arya Damar. Dia akan melakukan perjalanan menuju Puri Suwarga. Tempatnya agak sedikit jauh tapi masih ada di lingkungan benteng Keraton Pakungwati.

Pemuda itu tetap penasaran untuk berkunjung dan bertemu dengan Pangeran Suwarga. Dia tetap merasa tertarik akan pendapat dan gagasan pangeran itu tentang filsafat dan arti peperangan. Pemuda itu perlu mengenal lebih jauh sebab baginya peperangan tak bisa diartikan sebagai membunuh atau dibunuh. Bukankah kata Pangeran Suwarga sendiri bahwa kemenangan yang paling bagus adalah menundukkan musuh dan bukan menghancurkannya? Ini yang ingin Purbajaya pelajari dan pahami. Dia punya misi penting ke Pajajaran. Dan rasanya misi ini bukanlah sebuah perjuangan untuk menghancurkan, melainkan untuk menundukkan dan pada akhirnya menjadikannya sebagai kawan, tak ubahnya seperti perjuangan Carbon dalam menundukkan Karatuan Talaga, Karatuan Raja Galuh, dan sebagainya. Dulu mereka menjadi musuh dan berada di pihak Pajajaran, namun kini semuanya sudah berada di lingkungan kerajaan Islam bernama Carbon.

Purbajaya berkeinginan, misi Nagri Carbon tak pernah berubah. Dan menurut pengamatannya, jalan pikiran Pangeran Suwarga masih sesuai dengan prinsip-prinsip yang dipunyai nagri ini. Atau ...Purbajaya merandek. Tidakkah apa yang jadi buah pikiran Pangeran Suwarga sebenarnya merupakan sesuatu yang didambakan hatinya? Dan bagaimana pula yang sebenarnya tengah diingini nagri ini dalam upaya mempertahankan keberadaannya? Apakah jalan pikiran yang dimiliki Pangeran Arya Damar pun mewakili keinginan Nagri Carbon?

Pemuda itu puyeng sendiri memikirkannya. Di Carbon ada banyak pejabat. Semua mengaku berjuang ingin mempertahankan kebesaran negri ini tapi dengan banyak pendapat dan jalan pikiran berbeda. Pantas saja Paman Jayaratu pernah berkata musti hati-hati masuk istana. Mungkin salah satu bahaya tinggal di istana adalah bila terumbang-ambing banyak pengaruh dan pendapat.

Purbajaya hanya merasa tertarik akan jalan pikiran Pangeran Suwarga. Tapi apakah pendapat pejabat ini yang terbaik, entahlah.

Itulah sebabnya, untuk lebih meyakinkan perasaannya, Purbajaya ingin berkunjung ke Puri Suwarga. Dia ingin bertemu, bertanya, dan kalau mungkin berdiskusi.

Namun untuk masuk ke puri tak semudah berjalan-jalan di kolam Petratean. Mungkin Purbajaya dikenal baik di Puri Arya Damar, tapi tidak di Puri Suwarga. Buktinya, begitu dia tiba di gerbang puri sudah dihadang dua orang penjaga.

"Mau ke mana?"

"Mau menghadap Gusti Pangeran," "Engkau dipanggil?"
"Tidak."

"Jadi, mau apa datang ke sini?"

"Ah, sekadar ingin bertemu saja," jawab Purbajaya.

"Tidak semudah itu bertemu Gusti Pangeran, apalagi bagi orang sembarangan. Engkau siapa dan datang dari mana?"

"Nama saya Purbajaya, datang dari Puri Arya Damar," jawab pemuda itu.

Tapi demi mendengar Arya Damar, kedua orang penjaga itu mengerutkan dahi. "Ada apa?" tanya Purbajaya bingung.
"Tidak apa-apa. Tapi tadi sudah kami katakan, tak sembarangan orang bisa menemui Gusti Pangeran," tutur penjaga lagi.

Purbajaya kecewa dengan sikap penjaga ini. Tapi barangkali sudah begitu peraturannya, bahwa orang sembarangan yang tak dikenal asal-usulnya tak begitu saja bisa bertemu dengan kaum bangsawan.

Pemuda itu hendak undur diri ketika secara tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Tangkap bedebah itu!" teriak seseorang. Purbajaya menoleh ke belakang. Ternyata yang berteriak adalah pemuda Ranggasena. Dia mengerutkan dahi, mengapa pemuda itu tiba-tiba ada di sini?

"Tangkap orang itu, dia pengacau!" teriak Ranggasena gemas. Kedua orang penjaga nampak begitu takut dan mentaati keinginan pemuda itu. Keduanya menghambur ke depan dan bertindak mengepung Purbajaya.

"Bunuh dia! Bunuh dia!" teriak Ranggasena. Tapi kedua orang penjaga hanya bersikap mengepung saja. Barangkali mereka berpikir tak perlu sampai membunuh Purbajaya untuk hal yang belum jelas persoalannya. Tapi Ranggasena tetap memerintahkan. Dan karena kedua orang penjaga itu masih berdiam diri, pemuda bengal itu membentak-bentak seraya mendorong-dorong tubuh penjaga. Hal ini membuat Purbajaya gemas. Di hadapan Nyimas Waningyun pemuda ini berdiam diri karena takut tindakannya tak disukai gadis itu. Tapi di sini tak ada yang patut disegani. Purbajaya ingat kemarin dulu wajahnya lebam karena mandah saja dikerjai teman-teman Ranggasena. Sekarang pemuda bengal itu harus menebus kekeliruan berlaku bengal. Maka dengan gerakan cepat, Purbajaya menghambur ke arah Ranggasena, melewati dua penjaga yang ternganga heran. Hanya dalam satu gerakan saja telapak tangan Purbajaya sudah berhasil mengemplang ubun-ubun Ranggasena. Tidak terlalu keras tapi membuat tubuh pemuda itu berputar-putar beberapa kali. Ranggasena jatuh berdebuk, duduk tercenung seperti merasa-rasakan kemplangan di ubun-bunnya.

Namun melihat Purbajaya menyerang Ranggasena, kedua orang penjaga mulai melakukan penyerangan. Yang seorang mengayunkan gobang (pedang), seorang lainnya memutar tombak. Namun serangan mereka terlalu mentah untuk disebut berbahaya. Purbajaya hanya mengelak ke kiri dan kanan, serangan itu sudah bisa dihindari.

"Tolong! Tangkap pembunuh! Tangkap pembunuh!" suara ini keluar dari mulut Ranggasena. Dan tak lama kemudian muncul belasan prajurit serta-merta mengepung Purbajaya dengan ketatnya.

Purbajaya menjadi bingung. Dia datang ke tempat ini tidak untuk membuat keributan. Akhirnya menjadi panik sendiri. Kepungan itu begitu ketat. Beberapa prajurit bahkan melakukan serangan kendati tujuannya tidak untuk membunuh. Namun, Purbajaya harus mati-matian berkelit kesana-kemari kalau tak mau terluka oleh serangan senjata. Kini kepungan semakin rapat, apalagi datang beberapa perwira memiliki kepandaian tinggi.

Purbajaya terus berkelit ke sana-kemari tanpa berani balik menyerang. Dia tak mau menyerang di samping tak punya niat bertempur, juga tak ingin membuat para pengepung semakin beringas. Menghadapi lawan tanpa balik menyerang adalah sebuah pertahanan yang buruk. Kalau tak tepat melakukan gerakan hindar, bisa-bisa rugi sendiri. Tapi karena di hatinya tak punya niat membuat keributan, pemuda itu tetap memilih jalan diam, artinya tak berupaya melakukan serangan balik.

"Aku menyerah!" teriak Purbajaya tiba-tiba. Dia mengacungkan tangan ketika ujung-ujung senjata diarahkan pada tubuhnya.

"Bunuh dia! Bunuh dia!" teriak Ranggasena parau karena masih merasa sakit. Tapi tak seorang prajurit pun melakukan titah itu. Ranggsena serta-merta merebut sebatang padang dari seorang prajurit. Pedang mengkilap itu diayunkannya mengarah ubun-ubun Purbajaya. Pemuda itu segera bersiap untuk menghindar. Namun sebelum batang pedang mengenai ubun-ubunnya, sebatang tombak melayang lewat di bawahnya. Pedang terlontar lepas ke udara sedangkan batang tombak terus meluncur lurus dan menancap dalam di batang pohon. Purbajaya terkagum-kagum kepada si pelontar tombak. Pelempar itu pertanda orang pandai dan bertenaga besar.

"Tak perlu dibunuh. Orang itu sudah menyerah, Raden," tutur seseorang yang barusan melempar tombak. Purbajaya menatapnya. Ternyata dia adalah seorang perwira tua.

"Tapi dia penjahat! Dia pembunuh," teriak Ranggasena.

"Siapa yang dibunuh, Raden?" tanya perwira itu sabar. Ranggasena tak bisa menjawabnya segera.

"Tidakkah Paman lihat, bedebah itu hendak membunuhku? Coba tanyakan kepada dua orang prajurit itu. Si bedebah itu mau bunuh aku? Benar, kan? Benar, kan?" tanya  Ranggasena memaksa. Kedua orang prajurit itu tak bisa apa-apa kecuali mengangguk karena dipelototi pemuda bengal itu.

"Tuh, kan! Ayo bunuh dia!" teriak Ranggasena.

"Orang bersalah bisa diadili. Dan untuk itu ada bagiannya," kata perwira tua itu. Ranggasena menatap tajam, kurang puas atas pendapat itu.
"Baik. Bawalah kepada ayahku," desisnya tajam.

Purbajaya ditangkap. Tapi berhubung hari sudah malam, dia tak sempat dibawa menghadap pada pejabat yang dianggap berwewenang mengurus perkara ini. Kata Ranggasena, sebaiknya dititipkan dulu di rumah tahanan.

Dan di rumah tahanan berjeruji besi inilah balas dendam pemuda itu terbalaskan. Ranggasena memanggil     semua     teman-temannya.     Di     antaranya     yang     kemarin      dulu      ikut mengeroyok Purbajaya.

Untuk kedua kalinya, mereka mengerjai Purbajaya. Tubuh pemuda itu menjadi bulan-bulanan dihajar beberapa orang pemuda.

"Kalian ingat, bukan? Nah, si jelek inilah yang dulu di pesta muludan sok aksi menjadi pahlawan, menyebabkan Nyimas Waningyun jauh dariku," kata Ranggasena gemas sambil menampar kepala Purbajaya. Beberapa gebukan singgah pula ke punggung pemuda itu.

Tubuh Purbajaya matang-biru tapi dia tak berniat menghindar. Menghindar berarti melawan. Dan hal ini hanya akan semakin mengobarkan kebencian mereka saja. 
***

TIGA hari Purbajaya disekap di kamar tahanan. Selama itu, dia disiksa habis-habisan oleh Ranggasena dan teman-temannya.

Baru dilepas setelah ada utusan Pangeran Danuwangsa yang memerintahkan agar tahanan dibawa menghadap.

Utusan itu menegur, mengapa ada tahanan lama disekap dan disiksa sampai babak-belur.

"Maafkan saya, Raden Ranggasena yang memasukkan orang ini ke tahanan," kata penjaga itu.

"Lantas kalian menyiksa tahanan ini?" "Saya tak menyiksanya."
"Orang ini babak-belur."

"Raden Ranggasena dan teman-temannya yang melakukan penyiksaan. Katanya atas perintah ayahandanya, Pangeran Danuwangsa.”

"Itu bohong. Bahkan Pangeran Danuwangsa yang kaget ketika ada yang memberitahu peristiwa itu. Tahanan ini tak terdaftar dan Pangeran pada mulanya tak mengetahui ada tahanan. Sudah, bersihkan tubuh orang ini. Jangan sampai Gusti Pangeran tahu ada tahanan disiksa," tutur sang utusan.

Purbajaya keluar dari ruang tahanan tapi langsung dibawa ke hadapan Pangeran Danuwangsa.

Dengan tubuh sedikit limbung, Purbajaya berlutut dan menyembah. Dia menundukkan muka sehingga belum bisa mengenal pangeran ini lebih saksama. Namun jauh sebelumnya, pemuda ini sudah tahu Pangeran Danuwangsa. Bangsawan ini adalah ayahanda Raden Ranggasena dan menjabat sebagai kepala keamanan istana. Yang dia tak tahu, Pangeran Danuwangsa ternyata adik misan Pangeran Suwarga.

Jadi kalau begitu, Raden Ranggasena pun masih punya pertalian kerabat dengan Pangeran Suwarga. Ini mengherankan Purbajaya, mengapa Raden Ranggasena berperangai bengal, sedangkan Pangeran Suwarga begitu berwibawa dalam kelemah-lembutan? Purbajaya menjadi penasaran, tabiat Ranggasena itu tiruan siapa?

"Anak muda, siapa namamu?" tanya Pangeran Danuwangsa. "Saya bernama Purbajaya, Gusti ..."
"Dari mana engkau datang?" "Dari Puri Arya Damar," "Dari Puri Arya Damar?"
Purbajaya mengangkat muka dan memandang wajah pangeran itu.

Pemuda ini tak sadar melakukannya karena dia merasa heran akan suara pangeran itu yang menyuarakan rasa terkejut yang amat sangat.

Dua orang itu saling memandang. Dan Purbajaya kini berkesempatan menatap wajah pejabat ini.  Kalau  pangeran  ini  tak  berkumis  tebal,   tentu   wajahnya   mirip   Raden   Ranggasena. Yang menandakan bahwa mereka memang anak-beranak juga ketika melihat sorot mata Pangeran Danuwangsa yang bagaikan mata elang. Satu sorot mata yang sama persis dengan Raden Ranggasena.

Purbajaya pernah mendapat pesan dari Paman Jayaratu, hati-hati menghadapi orang yang bermata cekung dengan sorot dalam bagaikan mata elang. Terlebih-lebih yang memiliki hidung melengkung seperti paruh burung ekek. Orang-orang seperti itu selalu punya pikiran yang ganjil dan sulit ditebak. Ingat ini, Purbajaya bingung memikirkannya. Pangeran Danuwangsa memang memiliki sorot mata bagaikan mata elang tapi hidung bengkok malah dimiliki Pangeran Arya Damar. Jadi, kalau memiliki ciri separo-separo seperti ini, bagaimana menilainya?

"Siapa yang menjebloskanmu ke tahanan? Aku lihat, wajahmu juga memar-memar. Aku tak suka tahanan disiksa seperti ini.

Santarupa, siapa yang menyiksa anak muda ini?" tanya Pangeran Danuwangsa kepada utusan yang menjemput Purbajaya.

"Saya tak berani mengatakannya,"

"Sepertinya ada yang engkau takuti lagi selain aku, Santa," gumam Pangeran Danuwangsa. "Ampun beribu ampun, bukan itu maksud saya," Santarupa menyembah takzim.
"Kalau begitu, katakan saja."

"Raden Ranggsenalah yang berbuat, Gusti ..."

"Anakku? Beraninya anak itu ... Panggil dia!" ujar Pangeran Danuwangsa. "Saya rasa tak usah diperpanjang, Gusti..." Purbajaya menyembah.
"Tapi aku perlu tahu permasalahannya," tukas Pangeran Danuwangsa pendek.

Dan Raden Ranggasena akhirnya dipanggil. Pemuda itu ditanyai oleh ayahandanya yang ingin tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Selintas tindakan itu benar, Pangeran Danuwangsa ingin tahu "duduk persoalan sebenarnya". Namun bila diamati lebih seksama ternyata penelusuran tidak adil. Pangeran itu menanyai anaknya tanpa sepatah pun bertanya kebenarannya kepada Purbajaya. Dengan kata lain, Pangeran Danuwangsa hanya membuat kesimpulan dari penjelasan sepihak saja.

Beruntung, Raden Ranggasena berkata jujur. Mungkin merasa takut kepada ayahandanya, atau bisa juga merasa tak ada untungnya berbuat kebohongan. Tapi, kejujuran yang disodorkan Ranggasena ini, ternyata merugikan Purbajaya.

"Saya benci kepada pemuda itu. Dia tak sopan," ujar Raden Ranggasena. "Tak sopan bagaimana?" tanya Pangeran Danuwangsa.
"Betapa tak sopannya si dungu ini. Dia berani-beraninya menggoda Nyimas Waningyun. Dengan segala cara dan akal bulusnya si dungu ini telah menempatkan dirinya menjadi orang yang mendapat simpati dan rasa kasihan Nyimas Waningyun dan sebaliknya memfitnah saya sehingga saya dibenci Nyimas. Bukankah ini tindakan yang jahat, Ayahanda?" Mendapat penjelasan serupa ini, Pangeran Danuwangsa mengerutkan dahinya seperti tengah mengingatingat sesuatu.

"Bukankah engkau pernah punya masalah dengan pemuda ini pada pesta muludan beberapa tahun lalu?"tanya pangeran itu. Ranggasena mengiyakan. Dan kembali Pangeran Danuwangsa mengerutkan dahi.

"Engkau hanya membuat kesulitan saja, anak tolol," tegur Pangeran Danuwangsa. Ucapan ini ditujukan kepada anaknya sendiri dan amat mencengangkan Purbajaya.

"Sudah aku katakan, aku tak kerasan berurusan dengan Ki Jayaratu," tutur Pangeran Danuwangsa.

"Pemuda itu sudah tak punya kaitan lagi dengan Ki Jayaratu.

Sekarang dia sudah jadi orangnya Pangeran Arya Damar, Ayahanda," kata Ranggasena.

"Itu merupakan ketololanmu yang kedua, anak dungu. Dengan menangkap pemuda ini, berarti kau harus berurusan dengan pihak Arya Damar. Dasar anak dungu!" teriak Pangeran Danuwangsa gusar.

Raden Ranggasena nampak takut melihat kemarahan ayahandanya. "Apakah kita bebaskan saja pemuda hina ini sekarang juga, Ayahanda?" tanya Raden Ranggasena kemudian.

"Jangan," gumam Pangeran Danuwangsa setelah merenung sejenak. "Masukkan lagi anak muda ini ke dalam kamar tahanan, Santa!" sambungnya.

Purbajaya disuruh berdiri dan sepasang tangannya ditelikung ke belakang oleh Santarupa.

"Awas, kau jangan ikut campur perihal tawanan ini!" kata Pangeran Danuwangsa kepada anaknya. Purbajaya mandah saja dibawa ke kamar tahanan. Selama menuju tempat itu, benaknya berputar-putar mencoba menebak keganjilan tindakan penghuni Puri Danuwangsa ini.

Belakangan baru Purbajaya tahu, bahwa dirinya ditahan dan dijadikan sandera untuk sebuah tuntutan. Isi tuntutan ini amat memukul perasaan pemuda itu. Betapa tidak, sebab pihak Pangeran Danuwangsa menuntut, Purbajaya bisa dibebaskan kalau pihak Pangeran Arya Damar mau berbesan dengan pihak Pangeran Danuwangsa.

Ini jelas memukul ulu hati Purbajaya sebab siapa lagi yang dijodohkan kalau bukan Raden Ranggasena dengan Nyimas Waningyun. Menyedihkan tapi juga menimbulkan hal yang aneh. Paling tidak ini yang dipikirkan Purbajaya. Aneh sekali, mengapa hal ini bisa terjadi. Artinya, mengapa keluarga Danuwangsa mengajak berbesan dengan cara seperti ini? Sepengetahuan Purbajaya, hubungan kedua keluarga bangsawan itu  sungguh  baik.  Dalam  setiap  pertemuan baik pertemuan resmi di Pakungwati maupun pertemuan-pertemuan secara pribadi, mereka nampak bersahabat.

Sekarang Pangeran Danuwangsa nampak seperti menekan. Purbajaya bisa bebas dari tuduhan asalkan ada pertalian jodoh.

Tuduhan kepada Purbajaya cukup berat, yaitu melakukan penyerbuan secara gelap. Mengapa melakukan penyerangan? Maka diciptakanlah berbagai perkiraan. Dan berbagai perkiraan yang dilontarkan ini hanya memberikan pengetahuan baru bagi Purbajaya. Ternyata di kalangan kaum bangsawan Negri Carbon ini terdapat semacam persaingan dalam menempatkan diri sebagai orang atau kelompok yang paling dipercaya oleh Kangjeng Sunan.

Pangeran Arya Damar adalah termasuk bangsawan yang punya kekerabatan erat dengan keluarga Sultan. Dengan demikian, diperkirakan punya pengaruh kuat di Pakungwati. Mudah ditebak, Pangeran Danuwangsa ingin mendekatkan diri kepada orang yang punya pengaruh. Tapi   sungguh   aneh,   mengapa   cara pendekatannya   dengan   melakukan   tekanan?   Yang paling aneh lagi adalah sikap Pangeran Arya Damar.

Mendapatkan tekanan ini, dia bukan melawan melainkan malah mengabulkan pihak Danuwangsa.

Menghadapi kenyataan seperti ini, Purbajaya menjadi bingung dan sedih. Dia tak mau dihukum karena tuduhan melakukan penyerbuan gelap. Tapi dia pun tak mau bebas sambil mengorbankan Nyimas Waningyun.

Berpikir sampai di sini, Purbajaya merasa aneh. Nyimas Waningyun! Mengapa Pangeran Arya Damar mau mengorbankan putrinya sendiri untuk menolong bawahannya, pemuda bernama Purbajaya yang katanya orang keturunan Pajajaran? Berhargakah dirinya? Purbajaya bingung dengan kejadian ini.

"Aku ingin tahu, ada keperluan apa kau keluyuran ke puri itu," tanya Pangeran Arya Damar ketika Purbajaya sudah kembali ke purinya.

Apa yang harus dia jawab? Semuanya tak enak buat dilaporkan. Puri Suwarga dan Puri Danuwangsa berada dalam satu kompleks. Tak dinyana, maksud hati ingin bertemu Pangeran Suwarga, malah bertemu Raden Ranggasena. Purbajaya dituduh melakukan serangan gelap ke puri Danuwanagsa. Untuk menepiskan tudingan ini tentu harus berterus-terang tentang tujuan sebenarnya. Dan ini jelas tak mungkin sebab Pangeran Arya Damar tak akan suka mendengarnya.

"Saya tak sengaja memasuki puri itu dan di sana terjadi kesalahpahaman dengan Raden Ranggasena," tutur Purbajaya berbohong. Pangeran Arya Damar tidak mendesak. Purbajaya tak tahu, apakah Pangeran Arya Damar merasakan atau tidak bahwa dia berbohong? Hanya yang jelas, pangeran itu mengatakan kalau dirinya tak senang kalau orang-orangnya keluyuran ke puri orang lain.

"Tanpa sepengetahuanku, kau tak boleh meninggalkan puri ini," kata Pangeran Arya Damar bernada perintah.

"Saya patut dihukum. Hanya karena kesemberonoan saya maka Nyimas Waningyun menjadi korban ..." Purbajaya berkata penuh sesal. Dia menunduk lesu. Namun ternyata Pangeran Arya Damar hanya tersenyum tipis. Senyum ini penuh misteri. Ada apa di balik senyum ini?

***

Ini merupakan kejadian besar buat Purbajaya. Besar dan membuat nestapa. Tapi aneh sekali, peristiwa ini tak diketahui umum. Peristiwa "penyerbuan gelap" yang pernah dilakukan Purbajaya tak jadi perbincangan. Malah yang ramai dibicarakan adalah pertalian jodoh antara Raden Ranggasena dan Nyimas Waningyun.

Berbagai komentar dan pendapat bermunculan. Tapi pendapat paling umum mengatakan bahwa akan ada pengaruh kekuatan baru di Istana Pakungwati. Para pengamat beranggapan, gabungan Pangeran Arya Damar dan Pangeran Danuwangsa adalah sebuah kekuatan baru. Bila begitu, tentu sebelumnya ada sebuah kekuatan lama. Siapakah dia?

Ternyata yang dimaksud kekuatan lama adalah Pangeran Suwarga. Semakin lama Purbajaya mengamati keadaan di lingkungan puri, semakin terasa bahwa memang ada semacam perebutan pengaruh. Pada dasarnya terdapat beberapa pangeran yang menginginkan mendapatkan kepercayaan dari penguasa Pakungwati.

Tahun-tahun belakangan ini sebetulnya Nagri Carbon ada dalam keadaan lemah. Demak sebagai negri pendukung utama Cirebon sebetulnya sudah lama kehilangan kharismanya. Kekuatannya menurun sebab kerapkali diganggu oleh pertikaian di dalam negri yaitu perebutan kekuasaan di antara sesama keluarga istana. Di lain pihak, Kesultanan Banten semakin hari semakin nampak nyata kekuatannya. Wilayah Banten semakin menjadi wilayah perdagangan muslim yang ramai, melebihi Negri Cirebon hyang dulu membebaskan diri dari Pajajaran. Banyak yang khawatir, suatu saat kelak, Banten menjadi kekuatan tersendiri dan memisahkan pula dari Cirebon.

Beberapa bangsawan Carbon ada yang tak puas dengan keadaan seperti ini. Maka dengan berbagai cara, mereka ingin menjadikan dirinya sebagai kepercayaan pihak penguasa dan dengan inisiatifnya sendiri ingin berusaha mengembalikan kejayaan kehidupan militer Cirebon sebagai sediakala. Mereka punya pendapat bahwa kekuatan sebuah negara terletak pada kekuatan militernya. Bila militer kuat, maka negara pun kuat. Itulah sebabnya, beberapa bangsawan Carbon atau Cirebon berusaha ingin mendapatkan kepercayaan dalam memegang kendali militer. Ada pemeo mengatakan, barangsiapa menguasai militer, dialah menguasai negara. Jadi tak heran, banyak bangsawan ingin berkecimpung dalam kehidupan kewiraan (militer).

Sekarang, kekuatan prajurit Carbon boleh dikatakan dikuasai oleh tiga orang: Pangeran Suwarga, Pangeran Danuwangsa dan Pangeran Arya Damar. Namun yang dipercaya sebagai pengendali utama dengan jabatan hulu jurit panglima adalah Pangeran Suwarga. Dua orang lainnya bertindak sebagai pembantu. Pangeran Danuwangsa sebagai pengendali keamanan dalam negri dan Pangeran Arya Damar bertindak sebagai pengendali keamanan di luar. Pangeran Arya Damar merupakan perwira tangguh yang sudah banyak makan asam-garam pertempuran.

Puluhan tahun dia berhasil melumpuhkan dan merebut beberapa wilayah utara yang tadinya dikuasai Pajajaran. Bahkan ketika beberapa pelabuhan penting milik Pajajaran direbut Carbon, Pangeran Arya Damar merupakan perwira handal yang banyak jasanya. Dia memiliki peranan penting dalam menyukseskan berbagai penyerbuan. Karena berbagai kesuksesan itu, maka banyak orang menduga bahwa pada akhirnya dialah yang akan menjadi orang yang paling dekat dengan Kangjeng Susuhunan Pakungwati, Sang Susuhunan Jati. Namun belakangan,    ramalan    itu    tak    begitu    tepat.    Buktinya,    pengendali     utama kekuatan militer setelah Kangjeng Susuhunan mendekati uzur, adalah Pangeran Suwarga, seorang bangsawan yang sebelumnya tidak pernah disebut-sebut. Mengapa hal itu bisa terjadi, orang tak pernah mempertanyakannya, tidak juga Pangeran Arya Damar sendiri.

Semua orang maklum dan percaya bahwa Kangjeng Susuhunan selalu memikirkan yang terbaik buat negri beserta keselamatannya.

Pangeran Arya Damar memang tetap mengabdi kepada jabatan yang dipercayakan kepadanya, kendati akhir-akhir ini terlihat tengah membuat sesuatu gerakan.

Gerakan yang paling kentara adalah usaha penggabungan kekuatan dengan Pangeran Danuwangsa. Dengan adanya rencana hubungan besan, kedua pengamat memperkirakan, kedua pangeran ini berusaha ingin menjalin kerja-sama. Kerja-sama dalam hal apa, tak pernah ada yang tahu. Hanya saja yang patut diperhatikan, baik Pangeran Arya Damar mau pun Pangeran Danuwangsa, punya hubungan yang kurang begitu mesra dengan Pangeran Suwarga. Menurut khabar, kendati mereka tak pernah bertentangan, tapi sebetulnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pangeran Suwarga kurang mendapatkan sambutan penuh dari dua pembantunya.

"Suwarga itu kurang terampil dalam mengendalikan prajurit sehingga kekuatan yang kita miliki kurang berperan dalam mempertahankan keberadaan negri," kata Pangeran Arya Damar dalam sebuah perbincangan dipaseban (bangsal tempat pertemuan penting).

*****

Hari itu Pangeran Arya Damar duduk berhadapan dengan para pembantu dekatnya, yaitu Ki Aspahar, Ki Aliman, Ki Marsonah dan Ki Albani. Sementara Purbajaya duduk di belakang keempat perwira itu. "Suwarga terlalu lemah dalam menghadapi musuh. Akibatnya, musuh punya peluang untuk memperkuat kembali posisinya," kata Pangeran Arya Damar.

Sudah berkali-kali Purbajaya mendengar keluhan ini. Menurut Pangeran Arya Damar, musuh kini semakin punya peluang untuk memperkuat dirinya hanya karena Carbon kurang menekan. Yang dimaksud musuh di sini adalah Pajajaran. Kata Pangeran Arya Damar, Pajajaran sebetulnya cenderung lemah. Tapi karena oleh Carbon tetap dibiarkan, maka Pajajaran tetap berdiri.

"Tapi pada akhirnya, kita tidak perlu mencari siapa salah siapa benar. Yang penting, Carbon memiliki keberadaannya seperti semula. Kalau ada rekan kita yanag lemah, harus kita tutup dengan kekuatan yang kita miliki. Itulah sebabnya, sudah sejak dulu aku rencanakan untuk menyerang Pajajaran," kata Arya Damar. Ketika mengatakan kalimat terakhir mengenai Pajajaran, dia ucapkan dengan nada berapi-api.

"Saya sebenarnya sudah tak sabar untuk memulainya," tutur Ki Aliman."Sudah bertahuntahun kami hanya berlatih dan berlatih. Ibarat mata pisau, kami ini hanya diasah melulu tanpa dipergunakan. Kalau terlalu banyak diasah, suatu saat logam akan menipis," ungkapnya membuat perbandingan.

"Atau bisa juga suatu saat akan kembali berkarat bila kita bosan mengasahnya," sambung Ki Aspahar. Pangeran Arya Damar mengangguk-angguk mengiyakan.

Purbajaya hanya tersenyum tipis. Dia ingat hari-hari lalu, betapa Ki Aliman sebenarnya hanya besar mulut saja. Begitulah kata Paman Jayaratu, tong kosong nyaring bunyinya. Ki Aliman mungkin lupa bahwa dirinya yang berpangkat perwira pernah jatuh-bangun olehnya yang berstatus calon perwira dan bahkan sekarang di sini hanya ditempatkan sebagai prajurit saja. Barangkali bukan karena Ki Aliman terlalu bodoh. Dia kecolongan karena kesombongannya saja.

"Justru pertemuan ini untuk memulai rencana yang telah lama kita simpan," kata Pangeran Arya Damar menjelaskan.

Dan kembali pangeran itu mengutarakan gagasannya untuk melakukan serangan ke wilayah Pajajaran.

"Maksudku, kita akan berusaha melumpuhkan kekuatan-kekuatan yang selama ini menghambat perjalanan kita," tuturnya.

Beberapa waktu lalu Pangeran Arya Damar memang pernah berkata akan mengirimkan pasukan secara diam-diam ke puncak Gunung Cakrabuana. Di puncak itu dikhabarkan tersembunyi tombak pusaka bernama Cuntangbarang, mengambil nama seorang perwira sakti asal Karatuan Talaga. Tombak itu memang dulunya benda pusaka milik Karatuan Talaga. Banyak orang berupaya menguasai tombak itu. Salah satunya adalah seorang bekas perwira Pajajaran bernama Ki Darma.

"Kita harus berhasil membunuh orang itu!" kata Pangeran Arya Damar mengepal tinjunya. "Haruskah kita bunuh dia, Pangeran?" tanya Purbajaya tiba-tiba. "Sudah aku katakan, dia adalah kerikil tajam yang bisa menghalangi kelancaran perjalanan kita ke pusat kekuatan Pajajaran. Lain daripada itu, kita pun musti berupaya menyelamatkan pusaka Cuntangbarang yang sudah jelas-jelas milik Carbon karena Talaga telah berpihak pada kita. Sekali mengayuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Itulah sebabnya, perjalanan ke Cakrabuana harus dilakukan," kata Pangeran Arya Damar, matanya berkelilingf menatap ke semua orang.

Dan semua orang mengangguk-angguk, kecuali Purbajaya.

Pemuda itu merasakan, semakin hari semakin nyata, betapa ganjilnya jalan pikiran Arya Damar. Purbajaya memang mengerti, pangeran ini dulunya perwira handal yang banyak makan asam-garamnya pertempuran. Purbajaya pun mengerti bahwa Pangeran Arya Damar adalah juga perwira militer yang menguasai banyak prajurit. Namun Panageran Arya Damar sebetulnya masih punya atasan. Artinya wewenang dirinya sebetulnya tetap terbatas. Mana mungkin sekarang punya inisiatif sendiri untuk melakukan operasi militer tanpa persetujuan bahkan sepengetahuan Pangeran Suwarga?

"Purbajaya, camkan, ini adalah tugas berat pertama bagimu sebelum menjalankan misi sesungguhnya," kata Pangeran Arya Damar membuyarkan pikiran pemuda itu.

Purbajaya hanya menunduk dan mengangguk kecil. Tugas pertama sebelum menjalankan misi sesungguhnya? Yang dia ingat, misi sesungguhnya bagi dirinya adalah melakukan penyusupan ke wilayah Pajajaran dan mempengaruhi sendi-sendi kekuatan didayo (ibukota) Pakuan untuk berkiblat ke Carbon. Tak ada penekanan tugas-tugas kewiraan, misalnya menyerang Pakuan. Paling tidak, itu yang pertama kali disebutkan Paman Jayaratu. Namun pada kenyataannya, tugas pertama baginya adalah bergabung dengan sebuah pasukan rahasia untuk melakukan pertempuran.

Benarkah ini tugas negara dan benarkah Pangeran Arya Damar punya wewenang untuk melakukan hal itu?

"Pangeran, apakah yang Pangeran pikirkan sudah benar-benar matang?"tanya Purbajaya tibatiba.

Semua orang memandang kaget kepada pemuda itu, tidak pula Pangeran Arya Damar.

"Aku tak mengerti pertanyaanmu, anak muda!" jawab Pangeran Arya Damar dan nampak tersinggung atas pertanyaan Purbajaya ini.

"Tidakkah sebaiknya rencana ini Pangeran rundingkan dulu dengan Pangeran Suwarga sebagaihulu-jurit (panglima) di Nagri Carbon?" tanya lagi Purbajaya semakin berani dan semakin mengagetkan semua orang.

"Hati-hati bicaramu, anak muda," dengus Ki Aliman dengan wajah merah-padam saking tersinggungnya dengan ucapan Purbajaya.

"Bicaramu sungguh kurang ajar, Purba!" Ki Aspahar malah sudah mendelik dan membentak. "Dasar orang Pajajaran. Kalau aku tahu kau masih berkiblat ke sana, seharusnya sejak dulu aku bunuh engkau!" teriak pula Ki Albani geram. Malah orang tua ini sudah beranjak dari duduknya dan berniat menyerang Purbajaya. Pangeran Arya Damar cepat mencegah dan menyuruh Ki Albani duduk dengan tenang.

"Lihatlah Purbajaya, betapa berbahayanya ucapanmu barusan," tutur Pangeran Arya Damar bernada tenang namun alisnya berkerut tanda tak senang.

"Saya hanya bicara apa adanya, Pangeran," Purbajaya menyembah hormat.

"Banyak orang berbicara bahwa hidupnya berjuang untuk Nagri Carbon. Namun pada kenyataannya mereka bertindak keliru sehingga hanya kehancuran yang didapat. Engkau harus paham anak muda, sejak dulu Carbon selalu berada di bawah bayang-bayang kekuatan negri lain. Kekuatan Carbon selalu bergantung kepada Demak. Dan hingga poada suatu saat Demak mengalami kemunduran, maka Carbon pun ikut mundur. Salah siapakah ini? Ini karena kesalahan orang yang berada di Carbon sendiri. Aku yang selama ini selalu berjuang untuk kepentingan dan kebesaran Carbon, tak mau disalahkan oleh generasi sesudah aku. Carbon harus bangkit. Dan untuk itu harus berani mengubah pola pikir dan mengoreksi kekeliruan selama ini," tutur Pangeran Arya Damar panjang-lebar dengan suara menggebu."Dengan jalan membuka peperangankah upaya mengubah pola pikir itu, Pangeran?" tanya Purbajaya penasaran.

"Gusti Pangeran, izinkan saya mengajari anak dungu ini!" Ki Aliman tak kerasan dan lkangsung berdiri untuk kemudian menerjang ke arah Purbajaya yang masih duduk bersila.

Ki Aliman menyodok lurus ke depan, sedikit menyuruk ke bawah pusar Purbajaya. Maksudnya tentu ingin menyerang bagian paling lemah dari tubuh pemuda itu.

Purbajaya sudah barang tentu tak mau dicederai begitu saja. Dia segera melempar tubuhnya ke belakang, itu pun sambil memutar kaki kanannya sebagai perlindungan.

"Berhenti!" teriak Pangeran Arya Damar.

"Tapi dia jelas pengkhianat. Hatinya masih berada di Pajajaran.Kalau tidak begitu, mengapa dia tak setuju kita menggempur Pajajaran?" Ki Aliman bicara sambil dadanya kembangkempis pertanda menahan kemarahan.

"Purbajaya, betulkah hatimu kembali ke Pajajaran?" Pangeran Arya Damar matanaya menyorot tajam ke arah pemuda itu.

Ditekan dengan pertanyaan seperti itu, hati Purbajaya luluh-lantak. Ini adalah serangan yang melumpuhkan hatinya. Selama ini dia selalu rendah diri hanya karena dia ditempatkan sebagai anak musuh Carbon yang dipungut dari arena peperangan. Sedikit saja dia berpikiran anehaneh, maka orang selalu mengkaitkan dirinya dengan pengkhianatan. Itulah sebabnya, Purbajaya terkejut dengan tudingan barusan. Di antara sedih dan kecewa tersembul rasa khawatir yang sangat.

"Saya adalah orang Carbon, Gusti ... " gumam Purbajaya sedih. "Kalau begitu, berpikirlah seperti aku," ujar Pangeran Arya Damar pendek."Duduklah engkau
... " kata pangeran itu lagi. Purbajaya kembali duduk, demikian pun Ki Aliman.

Perundingan kembali dilanjutkan, sepertinya tak pernah terjadi peristiwa panas yang mengawalinya.

Putusan Pangeran Arya Damar sudah mantap. Bulan depan akan mengirimkan pasukan rahasia, dipimpin oleh keempat orang perwira Puri Arya Damar. Mereka akan memimpin belasan prajurit tangguh menuju puncak Gunung Cakrabuana.

***

RENCANA ini demikian rahasia. Hanya sekali pun begitu, bukan berarti tak diketahui. Paling tidak, perjalanan ke wikayah puncak Cakrabuana ini diketahui dan direstui Pangeran Suwarga.

Pangeran Arya Damar memang cerdik. Perjalanan ini dilaporkannya sebagai pemeriksaan rutin ke wilayah bawahan Carbon. Cakrabuana adalah gunung tinggi yang puncaknya selalu diselimuti kabut. Gunung itu oleh sementara orang suka dikeramatkan, berada di wilayah Karatuan Talaga.

Seperti sudah diketahui, wilayah Karatuan Talaga yang dulunya masuk wilayah Pajajaran, sejak tahun 1530 Masehi telah bergabung kepada Carbon. Untuk memantapkan pembinaan agar keamanan tetap terjamin, kontrol dari pusat setiap waktu tertentu selalu dilakukan. Jadi tak ada hal yang aneh bila kini Pangeran Arya Damar mengirimkan pasukan kecil ke wilayah itu. Dan Pangeran Suwarga pun sebagai pucuk pimpinan militer tertinggi, tidak ada alasan untuk menolaknya.

Tapi malam hari sebelum berangkat, Purbajaya tak bisa tidur. Akhir-akhir ini memang banyak pikiran bergayut di benaknya.

Purbajaya merasa bingung akan hidupnya, mengapa jadi begini? Selama tinggal bersama Paman Jayaratu, Purbajaya tak pernah punya persoalan hidup. Namun kini sesudah bergabung dengan Pangeran Arya Damar, masalah jadi bermunculan. Pertama memasuki puri, Purbajaya sudah dikejutkan oleh kenyataan bahwa dirinya bukan orang Carbon. Dia dipungut dari sebuah kemelut pertempuran di wilayah Pajajaran, sesudah itu diurus sebagai anak pungut oleh Carbon. Karena kedudukan seperti inilah maka usaha pengabdian pengabdian pemuda itu terhadap negara lebih menyerupai sebagai utang-budi. Orang lain tak menganggap pengabdian pemuda itu sebagai rasa cinta, melainkan sebagai budi yang harus dibalas. Ini yang membuat dirinya merasa tak enak dan merasa kedudukannya berbeda dengan yang lain.

Yang lebih sedih dari itu, orang mudah curiga ke padanya. Seperti kejadian kemarin dulu ketika dia tak setuju ada semacam penyerbuan kepada orang-orang Pajajaran, maka semua orang mudah menudingnya sebagai pengkhianat berkepala dua.

Penyakit rendah diri melanda hatinya karena kedudukannya ini.

Dalam hal bercinta, perasaan ini pun terasa amat mengganggunya. Dia begitu rendah diri bila berhadapan dengan Nyimas Waningyun. Benar, sesekali bisa bercanda. Tapi bila ingat akan kedudukannya, kembali hatinya tersiksa. Nyimas Waningyun adalah keluarga bangsawan sedangkan dirinya hanya prajurit dari keluarga yang tak diketahui asal-usulnya. Kalau pun pernah disebutkan sebagai keluarga bangsawan, hanyalah bangsawan Pajajaran yang sulit dilacak kebenarannya.

Bersaing dengan kalangan bangsawan Carbon mustahil bisa menang. Itulah sebabnya, walau pun Raden Ranggasena merupakan pemuda bengal, angkuh dan sombong tapi Purbajaya tak akan sanggup berebut simpati.Di saat terjadi pertalian jodoh sesama keluarga bangsawan, Purbajaya tak bisa apa. Padahal Purbajaya amat mendambakan hidup bersama Nyimas Waningyun. Ini mungkin mimpi.

"Harapan semakin jauh ... " keluhnya.

Purbajaya segera duduk dari tidur telentangnya. Dia bahkan keluar dari kamarnya dan pergi berjalan-jalan menyusuri kompleksksatriaan (asrama prajurit). Pemuda itu melangkagh pelan di atas jalan berbalay yang nampak lengang dan sepi. Ada rembulan melayang di atas awan. Sesekali cahayanya redup lantaran sang awan terlalu tebal, namun sesekali cahayanya  bersinar terang membuat alam sekeliling menjadi benderang. Namun, baik ketika dalam keadaan terang, mau pun redup, semuanya tidak mengubah hati Purbajaya yang sedang gulana.

Purbajaya terus berjalan dan tak terasa langkahnya menuju luar kompleks.

Sebetulnya di pintu depan ada dua orang penjaga. Namun entah mengapa, Purbajaya lolos dari perhatian mereka. Barangkali langkah Purbajaya terlalu halaus, atau bisa juga lantaran dua penjaga itu terkantuk-kantuk dalam tugas jaganya.

Ini sudah larut malam dan udara poun terasa dingin. Sepi dan dingin akan membuat orang mudah terbuai kantuk, tidak juga yang tengah bertugas.

Sekarang Purbajaya lewat ke benteng kaputrwen. Hatinya langsung ingat Nyimas Waningyun. Sedang apa Nyimas di tengha sepinya malam ini? Purbajaya merunduk. Mungkin hanya sementara saja gadis itu tinggal dalam sepi. Tokh tak berapa lama lagi dia akan swegera punya pengayom, punya pelindung dan tak akan merasakan arti sepi.

"Duh, Nyimas ... Mengapa bukan aku yang jadi pelindungmu?" keluhnya seorang diri.

Esok subuhnya, Purbajaya sudah akan berangkat bersama pasukan. Entah kapan akan kembali.Kalau nasib buruk, barangkali juga akan mati dan tak kembali. Kalau begitu, maka putuslah harapannya bertemu Nyimas Waningyun. Padahal ingin sekali, di saat-saat akhir gadis itu berumah-tangga, dia ingin menatapnya dengan lama.

"Duh, Nyimas ... betapa pilu hatiku. Engkau menggodaku dan engkau membuatku nestapa ... " keluhnya berkali-kali.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar