Cincin Maut Jilid 16

Jilid 16

Itulah bait syair Kang Shia-cu ciptaan Cfait Sau nu, sebuah syair yang penuh keluh kesah dan kesedihan.

Dibawah kegelapan malam, pemuda itu segera menyaksikan sesosok bayangan tubuh perempuan berdiri ditempat kegelapan.

Terpengaruh oleh syair yang penuh kedukaan itu, tanpa terasa Liong Tian im menghela napas panjang, ia tak habis mengerti siapakah yang membawakan syair sedih semacam itu ditengah kegelapan malam yang mencekam..?
Akhirnya dengan perasaan ingin tahu ia maju ke depan. "Siau huan!" ingatan pertama yang melintas dalam
benaknya adalah Bu Siau huan. Hampir saja dia memanggil nama tersebut. untung dia belum memanggil karena perempuan itu telah membalikkan badannya karena mendengar ada orang berjalan mendekat, ternyata dia adalah seorang perempuan setengah umur yang basah oleh air mata.

Ia tertawa rawan terhadap Liong Tian im, kemudian ujarnya:

"Siangkong dapatkah kau membantu diriku?" "Aku. . ." Liong Tian Im tertegun.
Dengan sedih kembali nyonya setengah umur itu berkata:

"Aku hanya minta tolong kepadamu untuk panggilan Bu  Siau huan, dibukit Cing shia ini tak ada seorang pun yang  akan membantuku, sejak kalian datang kemari aku telah memperhatikan kalian maka menggunakan kesempatan disaat semua jago lihay dari bukit ini sedang berkumpul aku  berharap kau bisa membantu diriku agar kami ibu dan anak dapat berjam pa sebentar saja . ."

LloogTianim memperhatikan wajah perempuan itu dengan seksama, dia merasa wajah perempuan ini memang mirip sekali dengan Bu Siau huan, tapi dia pun merasa heran mengapa Siau huan bisa berpisah dengan ibunya? Bahkan kalau didengar dari perkataannya itu, dia tahu kalau mereka ibu dan anak tak pernah saling bersua muka.

"Kau adalah ibunya?" Liong Tian itn bertanya dengan perasaan tidak habis rnengerti.

"Betul" sahut perempuan setengah umur itu dengan air mata bercucuran "dia adalah putriku, tapi sancu tidak mengijinkan kami bertemu, malam ini aku datang kemari secara diam diam, aku berharap bisa berjumpa muka dengannya."

Makin lama Liong Tian im merasa semakin kebingungan serunya:

"Apakah kalian ibu dan anak tidak saling mengenali?"

Sambil menghela napas perempuan setengah umur itu menggelengkan kepala berulang kali.

"Sejak aku melahirkan Siau huan, Sancu telah mengusirku kelstana dingin di belakang bukit sana, sepanjang hari aku tak boleh datang ke mari barang selangkah pun, kalau tidak, aku bisa mati. . ."

Mendadak terdengar suara aneh bergema di depan sana, seluruh tubuh nyonya setengah umur itu gemetar keras, buru buru dia memandang ke tempat kejauhan sana, lalu sambil bergerak meninggalkan tempat ini, katanya:

"Aku akan rrenunggunya di depan sana, harap kau jangan sampai membiarkan orang lain tahu . . ."

Dalam sekali gerakan, bayangan tubuh perempuan itu sudah lenyap tak berbekas.

Sekalipun Liong Tian im merasa benaknya dipenuhi tanda tanya besar, namun diapun tak dapat menduga duduk persoalan yang sebenarnya di balik semua kejadian ini.

Sementara dia masih berpikir bagaimana caranya memberitahukan persoalan ini kepada Bu Siau huan, tahutahu Bu Siau huan telah melompat datang dihadapannya. Tampak Bu Siau huan menatap wajahnya dengan pandangan dingin, kemudian menegur.

"Kau sedang berbicara dengan siapa?"

"Dengan ibumu." jawab Liong Tian im tanpa berpikir panjang.

"Apa?" Bu Siau huan membelalakkan sepasang matanya lebar lebar "kau bilang apa?"

Tampaknya gadis remaja yang belum pernah bergaul dengan masyarakat ini sedikit kurang percaya dengan apa yang didengarnya, dia berdiri tertegun disitu sementara titik air matanya jatuh berceceran membasahi pipinya, pada saat itulah dari balik kegelapan terdengarlah suara bentakan nyaring: "Siapa disitu?"

Penjagaan diatas bukit Cing shia sangat ketat, dimanamana penuh dengan pos penjagaan perondaan dilangsungkan seringkali.

Begitu suara bentakan berkumandang, tampak bayangan manusia munculkan diri ternyata perempuan itu sudah muncul lagi disitu sementara tiga orang lelaki bersenjata pedang menyusul dibelakangnya.

Dengan suatu gerakan tubuh yang enteng perempuan itu membalikkan badannya, lalu berdiri dengan telapak tangan disilangkan didepan dada, sorot matanya yang tajam mengawasi tiga orang pengajarnya dengan pandangan dingin kemudian sambil mendongakkan kepalanya dia tertawa seram.

Begitu mengetahui siapakah perempuan di hadapan mereka, tiga orang lelaki itu segera berseru kaget: "Aah, nyonya muda!"

"Yaa, benar memang aku, Go Tiong. apakah kau hendak menghalangi jalan pergiku?" tegur perempuan itu dingin.

Go Tiong adalah komandan dari ke tiga orang itu, ia menjadi tertegun kemudian tanyanya:

"Nyonya muda, ada urusan apa kau datang kebukit sebelah depan?"

"Aku ingin berjumpa dengan Siau huan melihat putriku." jawab perempuan itu sedih.

Paras muka Go Tiong segera berubah hebat.

"Sancu ada perintah melarang siau nay nay memberitahukan persoalan itu kepada Siau huan, sekarang dia berada dalam keadaan baik baik, harap kau segera kembali kamipun tak akan menyinggung persoalan ini kepada Sancu"

Nyonya itu segera tertawa dingin.

"Hari ini aku akan mempertaruhkan selembar jiwaku, sekalipun harus mati, aku akan menengok anakku Co Tiong, bila kau masih mengingat hubungan kita sebagai majikan dan pembantu, harap kau jangan mencampuri urusan ku ini."

"Tidak bisa." Go Tiong menggeleng, "ucapan Sancu harus dilaksanakan, ucapannya tak bisa ditentang maupun dilawan, bila siau nay nay tetap berkeras kepala, seandainya tujuh Sin tong sampai kemari, mungkin akan sulit buat Sau nay nay untuk meninggalkan tempat ini."

"Hmm. Kau tak usah menakut-nakuti aku, bila ingin bertarung akan kulayani kalian."

Go Tiong amat gelisah, peluh dingin telah bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, dia tahu sau nay nay nya merupakan jago kelas satu diatas bukit Cing-shia ini, bila kepandaian silatnya dibandingkan dengan kepandaiannya maka ia masih ketinggalan jauh. apalagi pihak lawan adalah seorang yang berkedudukan tinggi, tapi kalau sampai turun tangan...

Untuk sesaat lamanya dia tidak dapat mengambil keputusan, sehingga untuk sementara waktu berdiri kaku ditempat.

Terdengar nyonya setengah umur itu berkata lagi dengan suara sedingin salju.

"Turuti perintahku ini, kalau tidak jiwamu akan terancam bahaya maut."

Mendadak Go Tiong menjatuhkan diri berlutut ke atas tanah, serunya dengan perasaan terharu:

Terima kasih sau nay nay!"

Perlu diketahui, peraturan Cing shia san amat ketat, bila mengetahui musuh tidak melapor maka dosa tersebut bisa diganjar dengan hukuman mati, sekarang perempuan itu munculkan diri secara terang terangan, untuk merahasiakan kehadirannya, jelas sudah tak mungkin terpaksa ia mesti melaksanakan perintah dengan melaporkan kehadiran perempuan itu, sebab dengan demikian mana hukuman mati bisa dihindarinya.

Dari dalam sakunya Go Tiong mengeluarkan sebuah seruling pendek kemudian dibuoyi kan tiga kali, setelah itu ujarnya penuh penderitaan:

"Nyonya muda, maafkanlah budakmu..."

Nyooya setengah umur itu mengulapkan tangannya dengan penuh penderitaan, dua titik airmata jaruh berlinang membasahi pipinya, pelan pelan dia berpaling, sorot matanya di alihkan ke arah Bu Siau-huan yang sementara iiu berdiri kaku disana, kemudian sambil mementangkan tangannya dia berteriak keras:

"Siau huan !"

Walaupun Bu Siau huan sudah tahu kalau ibunya masih hidup didunia, tapi ia tak berani mempercayai kejadian mana sebagai suatu kenyataan, sambil berdiri tertegun dia menangis terisak. untuk sesaat lamanya dia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun . . .

"Siau huan" kembali nyonya itu berseru pedih "aku adalah ibumu . . ."

Bagaikan baru mendusin dari impian, Bu Siau huan membelalakkan matanya lebar lebar, hampir saja dia tak percaya kalau kesemuanya itu merupakan suatu kenyataan, panggilan yang rendah tapi hangat itu membuat hatinya sedih, dia merasakan suatu kesedihan yang tak terlukiskan dengan kata kata mencekam perasaannya. "Ibu ! Benarkah kau adalah ibuku ?" dia bertanya dengan suara gemetar. Dibalik ucapan tersebut terkandung nada seperti tak percaya, namun dia toh maju pula ke depan, berjalan sangat pelan, setiap langkahnya seakan akan berjalan diujung pisau yang tajam, karena hatinya sedang berdarah, hatinya yang semula utuh, kini sudah hancur dan remuk berkeping keping . . .

Buru-buru nyonya itu menubruk ke depan seraya berteriak. "Anakku, Oooh anakku . . . "
Bu Siau huan menundukkan kepalanya rendah rendah, dia menjatuhkan diri ke dalam pelukan nyonya itu sambil menikmati hangatnya belaian kasih sayang . . .

Sayang kehangatan semacam itu hanya bisa dinikmati sebentar saja, sebab suatu bentakan gusar telah menggetarkan mereka berdua dan memisahkan mereka dari pelukan. . .

"Lepaskan dia!" suatu bentakan rendah dan berat bergema memecahkan keheningan malam.

Dengan perasaan tercekat Bu Siau-huan mendongakkan kepalanya, diantara buramnya pemandangan ia menyaksikan selembar wajah yang dingin tak berperasaan selembar wajah menggidikkan hati, karena wajah sama sekali tak berperasaan yang ada hanya hawa napsu pembunuh yang sangat tebal.

Selama hidup belum pernah ia menyaksikan yayanya menunjukkan sikap seperti ini, tanpa terasa dia menjerit dengan perasaan terkesiap. .

"Yaya!" serunya gemetar. Cing shia sancu sama sekali tidak memandang kearehnya, walau hanya sekejap matapun, dia hanya memperhatikan nyonya setengah usia itu sambil tertawa seram, suara tertawa yang lebih mirip dengan jeritan kuntilanak, dari pada suara tertawa manusia.
"Siapi yang suruh kau keluar?" bentak gusar. "Ayah!" nyonya setengah umur itu menjatuhkan diri
berlutut diatas tanah, sekujur badannya gemetar keras.

"Hmmm, aku bukan ayahmu, aku tak mempunyai menantu seperti kau," tukas Cing shia sancu dingin.

Benar-benar suatu pemandangan yang kejam, suatu kejadian yang tak berperasaan, suatu peristiwa memedihkan hati yang bisa berubah menjadi kobaran api kebencian bila diingat, peristiwa itu akan mendatang bayangan suram bagi hati orang.

Kejadian itu merupakan suatu aib bagi Cing shia san, sebuah aib yang tak ingin disinggung kembali untuk selamanya.

Rembulan ada diatas awang-awang menyiarkan sinarnya yang redup, bintang bertaburan diangkasa dan berkedip kekip, kegelapan malam te!ah mencekam seluruh jagad.

Segulung angin malam berhembus lewat mengibarkan rambut di kepala Cing shia sancu, menerpa wajahnya yang tanpa perasaan dengan sepasang mata yang dingin menggidikkan hati, sepasang mata setajam sembilu yang menusuk perasaan setiap orang. Bu Siau huan memandang Cing shia sancu dengan  termangu, wajahnya basah oleh butiran air mata, dia memandang wajah Cmg shia sancu, lalu memandang pula wajah perempuan setengah umur yang mengaku sebagai ibunya yang patut dikasihani itu, untuk sesaat dia tak tahu apa yang mesti diucapkan ?

Karena itu dia hanya berdiri kaku disitu, berdiri bodoh, hanya hembusan angin yang mendatangkan suatu perasaan bagiua, hanya angin yang memahami penderitaannya sekarang

Cing shia sancu tidak berbicara lagi, dia hanya memandang perempuan itu dengan pandangan keji, dia ingin perempuaa ini mati karena malu bercampur marah, dia menginginkan perempuan itu roboh di situ karena malu kepada diri sendiri, bahkan dia bara ar perempuan itu bisa menyaksikan putranya berdiri tepat dihadapinya namun tiada kesempatan untuk berkasih sayang dengannya.

Pukulan keji dan tak berperasaan seperti juga akan lebih mengerikan daripada membinasakan perempuan tersebut.

Karena Cing-shia sancu membencinya,  membenci kepadanya karena pengkhianatannya atas putra sendiri, lebih membencinya karena ia tak setia sebagai seorang istri hingga memalukan keluarga Bu dari Cing shia-san, membuat keluarga Bu tak punya muka lagi menancapkan kakinya didepan umat persilatan, tidak punya muka lagi bertemu dengan nenek moyangnya.

Bu Siau huan tak kuasa menahan suasana yang hening dan sepi itu, dia menyeka air matanya pelan pelan bergerak ke muka menghampiri pe rempuan tersebut. Paras muka Cing thia sancu berubah hebat, mendadak bentaknya dengan suara menggeledek. "Kembali !"

Dengan perasaan terkejut Bu siau huan menarik kembali langkahnya lalu memandang sekejap wajah si kakek yang tak berperasaan itu dengan pandangan murung dan sedih, air matanya jatuh bercucuran amat deras, dia tak sanggup memperdulikan luapan perasaan yang telah disimpan selama belasan tahun dalam hati kecilnya, setelah menjerit penuh kepediban, dia melompat maju ke depan.

Walaupun gerakan tubuhnya itu amat cepat dan sama sekali diluar dugaan, namun gerakkan tubuh dan Cing shia sancu jauh lebih cepat deripadanya, leagan kanannya digetarkan tahu tahu ia sudah mencengkeram tubuh Bu Siau huan yang menubruk kemuka dan membantingnya knras keras ke atas tanah . . .

"Mau apa kau?" bentaknya dengan wajah dingin.

Begitu tubuhnya kena dibanting keras-keras oleh Cing shia sancu, seluruh hawa amarah yang semula meliputi wajah Bu siau huan ikut terbanting keluar pula, betul yayanya amat cinta dan menyayanginya, merawatnya dengan seksama, namun rasa rindu kepada ibunya jauh lebih tebal daripada perasaan sayang yayanya itu.

"Aku menginginkan ibu," serunya sambil teriak. "Ibumu sudah mampus." seru Cing shia sancu gusar.
"Tidak!" seakan akan menyaksikan suatu peristiwa yang menakutkan mendadak perempuan itu berteriak keras rambutnya ditarik-tarik keras hingga kalut dan terurai tak karuan. "Oooh ayah...." pekiknya dengan sedih, "kau tak boleh berkata demikian, aku kawin dengan putramu bukan atas dasar kehendakku sendiri waktu itu aku hanya dipaksa."

"Cuuuh!" Cing shia sancu mdudah dengan sinis, "kau perempuan bedebah, perempuan tak tahu malu, putraku  benar benar sudah buta perempuan cabul macam kau pun  bisa dikawini. Hmmm! kalau bukan gara gara perbuatanmu  tak mungkin putraku akan pergi selama belasan tahun dan tak pernah kembali lagi .."

Sewaktu barbicara sampai disitu, tanpa terasa muncul perasaan sedih dalam hatinya, di bawah sinar matanya yang dingin, lamat-lamat mengembang juga bayangan air mata, mukanya hijau membesi, bibirnya gemetar berulang kali, namun tak sepatah katapun yang bisa diucapkan.

Perempuan itu menggelengkan kepala berulang kali, kemudian katanya: "Kau tak dapat menyalahkan aku, coba   kau bayangkan sendiri, bagaimasakah sikap keluarga Bu kalian terhadapku atas dasar apa kalian keluarga Bu marah-marah."

"Hmm. kau kawin dengan anakku karena kau ingin mempelajari ilmu pedang yang tanpa tandingannya dari keluarga Bu kami."

Agaknya perempuan setengah itu merasa gusar sekali, dia seperti tak dapat menahan ucapan yang bernada menghina itu, sambil menyeka air matanya, dia berseru dengan suara gemetar:

"Walaupun ilmu pedang tanpa tandingan dari keluarga Bu disebut ilmu pedang nomor satu dikolong langit. tapi aku Lim Siok-noa masih tidak tertarik, sejak masuk kedalam keluarga Bu aku belum pernah belajar ilmu silat Cing shia-san barang setengah jurus pun, lagipula walaupum keluarga Lim kami tidak sehebat Cing shia san, kamipun bukan keluarga yang tak punya nama, kecuali Cing shia-san, dikolong langit tiada orang yang dapat menandingi kami lagi."

Cing-shia sancu mendengus dingin:

"Hm, buat apa kau mesti sungkan sungkan, keluarga Lim bisa mengikat tali hubungan berbesanan dengan Bu toh atas karya ayahmu, siapa tahu kau tak tahan kehidupan sepi di atas bukit dan melakukan perbuatan tak tahu malu."
Lim Siok boa mendongakkan kepalanya dan tertawa keras. "Haaa, haaa, haaa. janganlah mengucapkan kata kata
tersebut dengan nada yang tak sedap, waktu itu putramu mendesak terus menerus, karena tak bisa berbuat banyak terpaksa ayahku mengabulkan permintaannya, tapi hasilnya karena keburu mengambil keputusan. hampir saja nyawa seorang perempuan mati karena tersiksa."

"Omong kosong!" bentak Cing shia sancu dengan gusar, "keluarga Bu bersikap baik kepadamu, putraku amat menyayangimu, coba bayangkan sendiri, kehidupanmu sudah terpenuhi semua, apalagi yang menyebabkan kau menderita?"

"Kalian tak akan memahami penderitaanku, dalam pikiran dan perasaan, kau hanya tahu ilmu pedang keluarga Bu tiada tandingannya dikolong langit, tapi melupakan kebutuhan hidup yang normal dari seorang perempuan, kecuali berlatih pedang, pernahkah putramu memberikan setitik kehangatan bagiku? Ayah, aku adalah manusia, yang kubutuhkan adalah kepuasan hidup sebagai manusia wajar, manusia tidak akan terlepas dari tujuh perasaan dan napsu. tapi keluarga Bu kalian hakekatnya tak berperasaan tak bernafsu, kalian hanya tahu berlatih pedang, menciptakan jurus-jurus serangan baru."

"Perasaan... napsu..." Cing shia sancu tertegun, "kalau begitu Siau huan bukan..."

Lim Siok hoa segera tertawa dingin.

"Heehh. . heeh. . .heeh . . soal itu tak usah kau curigakan" sahutnya "Siau huan benar-benar merupakan keturunan keluarga "Bu kalian, justru karena persoalan inilah Cing peng meninggalkan aku, dia menuduh aku telah merusak jejakanya sehingga tak dapat melatih ilmu pedang terbang, selama banyak tahu kami menikah hanya sekali itu saja kami berhubungan erat layaknya suami istri, justru karena hubungan itu pula lahir Siau huan, aku benar-benar tidak habis mengerti kalau toh Cing peng lebih mengutamakan ilmu silau buat apa dia mesti mengejar diriku terus menerus. Apa manfaatnya bagiku seorang suami abnormal semacam dia."

Bu Cing peng adalah putra tunggal Cing shia sancu, dia adalah suami Lim Siok hoa."

Dengan suara dingin Cing shia sancu berkata:

"Dia mengawinimu karena hendak menjadikan dirimu sebagai patner dari dewa dewi, tidak mempersoalkan cinta dan napsu birahi,dasar kau memang berwatak rendah, hingga merusak htsrl akibatnya tak heran kalau dia amat membenci dirimu. . ."

"Patner dewa dewi. ." jengek Lim Siok hoa sambil tertawa dingin, "heeh heeh, heeh, aku lebih mengagumi sepasang sejoli daripada dewa dewi, sepanjang hidup manusia tak mungkin bisa melewati kehidupannya secara hambar, sehingga bak menikmati kehidupan tidak mUki...

Bagaimana pun juga Cing shia sancu adalah seorang jago yang mempunyai iman tinggi ketika dilihatnya perkataan Lim Siok hoa makin lama semakin tidak genah, keningnya kontan berkerut, setelah mendengus dingin ujarnya dengan wajah masam:

"Kau telah melanggar perjanjian yang kita buat, aku tak dapat mengampuni dirimu lagi, bagaimana kuperingatkan kepadamu dulu, bagaimana pula kuhukum dirimu sekarang, lebih baik turun tangan sendiri untuk menghabisi nyawamu, bila kau tak bersedia melakukan apa yang kau janjikan, Hmm, penderitaan dan siksaan yang lebih hebat sudah menantikanmu."

Tampaknya kedatangan Lim Siok hoa malam ini sudah disertai dengan suatu tekad tertentu, mendengar perkataan tadi, rasa kaget dan takut yang semula menghiasi wajahnya kontan lenyap tak berbekas.

Dia segera melompat bangun dari atas tanah, kemudian teriaknya keras-keras:

"Bagaimanapun juga aku bakal mati, sebelum mati aku harap kau sudi memberi sedikit waktu kepadaku agar aku dapat berbicara dengan anakku, kemudian. . ."

"Kemudian mau apa apa kau?" paras muka Cing-shia sancu berubah hebat, "apakah kau masih ingin bertarung denganku." "Aku tak berani dan tak ingin berbuat demikian." Lim siok hoa menggelengkan kepalanya berulang kali "aku hanya berharap kau sudi mengabulkan sedikit permintaanku ini."

"Tidak bisa." tampik Cing shia sancu dengan tegas "antara kau dengan Siau huan sudah tiada setitik hubunganpun, aku tak akan mengijinkan kepadamu untuk berbicara dengannya, kecuali kau dapat mengalahkan aku."

Lim Siok-koan meloloskan pedangnya dari punggung kemudian berseru:

"Demi bocah ini, terpaksa aku harus bertarung dengan mempertaruhkan selembar jiwaku, meskipun kesempatan ini tipis sekali bahkan hampir boleh dibilang tak ada, namun kau tak akan memahami peraasaan seorang ibu. Ayah, aku tahu bertarung denganmu berarti tidak berbakti, tapi demi Siau huan, terpaksa akan kupikul dampratan orang kepadaku sebagai orang yang tak berbakti ..."

Waktu itu dia sudah mengesampingkan soal mati hidupnya, sebelum pertarungan dimulai, suatu naluri seorang ibu terhadap anaknya membuat ia berpaling dan memandang Bu Siao huan, dengan hangat diantara matanya yang basah oleh air mata, mendadak mencorong sinar aneh, semacam sinar kasih sayang tak terlukiskan dengan kata kata. . .

Waktu itu Bu Siau huan berdiri bodoh, dia hanya bisa memandang perempuan itu dengan wajah tertegun, tak sepatah katapun yang sanggup diucapkan olehnya.

Namun sepasang tangannya gemetar keras dan gugup, juga ngeri dan takut. Dengan pedih Lim Siok boa menghela napas panjang, katanya dengan nada sedih:

"Siau huan, ingatlah bagaimana ibumu mati, pandanglah aku dalam-dalam, selewataya malam ini kau tak akan pernah bisa berjumpa lagi denganku tapi sekalipun aku sudah berubah menjadi arwah, setiap saat aku pasti akan duatang kembali dan menengok dirimu, kecuali memberi budi karena melahirkan kau, aku tak pernah menanggung tugas mendidikmu, kau tak usah memikirkan aku sebab hal itu hanya akan melukai tubuhmu sendiri, nak aku.."

Dia benar-benar tak sanggup melanjutkan kembali kata katanya, mendadak kepalanya diangkat, pedangnya diluruskan sejajar dada wajahnya menunjukkan sikap yang perkasa, ujarnya tegas:

"Ayah silahkan kau orang tua turun tangan."

Mendadak Bu Siau huan melompat kemuka lalu teriaknya keras-keras:

"Ibu, kau jangan bertarung melawan yaya, kau bisa dibunuh olehnya."

Lim Siok hoa menggelengkan kepalanya berulang kali "Siau huan, ibu sudah tak berniat untuk hidup terus, aku mengerti perasaanmu, tapi hal itu percuma, sekalipun aku tidak terbunuh oleh yayamu. akupun..."

Cing shia sancu mengebaskan ujung bajunya, mendadak dia mendorong tubuh Bu Siau huan kebelakang setelah tertawa seram, sambil menuding kearah gadis itu bentaknya: "Kau tak boleh kemari lagi!"

Bu Siau huan hanya mengucurkan air mata saja, tak berani maju lagi kemuka.

Dengan pandangan dingin Cing shia sancu melotot sekejap kearah Lim Siok hoa, katanya:

"Kau tidak usah mempersoalkan perbedaan tingkatan diantara kita, silahkan turun tangan dengan sepenuh tenaga, inilah kesempatanmu yang terakhir, bila kesempatan ini kau lewatkan maka tiada kesempatan lain yang bisa kau manfaatkan lagi."

Tiba tiba Lim Siok hoa menjatuhkan diri berlutut diatas tanah dan menyembah tiga kali kenapa Cing shia sancu, kemudian setelah bangkit berdiri ia baru memutuskan pedangnya sambil berseru dengan suara gemetar.

"Ayah, harap kau sudi memaafkan ketidak berbaktian menantumu ."

"Aku memberi kesempatan sepuluh jurus kepadamu, jika kau sanggup melampaui sepuluh gebrakan maka kau boleh berjumpa selama satu jam dengan Siau huan, cuma aku tak nanti akan memberi kesempatan semacam ini kepadamu."

Lim Siok hoa tahu kalau kesempatan seperti ini terlampau kecil, diapun tidak banyak berbicara lagi, seluruh perhatiannya dipusatkan ke ujung pedang yang diluruskan ke depan itu kemudian digetarkan ditengah udara menciptakan enam kuntum bunga pedang. Bunga pedang tanpa bayangan tersebut bahkan kaca yang digantung ditengah udara, ternyata memancarkan selapis cahaya hijau yang dingin dan menggidikkan hati.

Tiba tiba ia menarik kembali serangannya dia berkata. "Ayah, harap kau mencabut pedangmu."
"Turun tangan saja sedapat mungkin, bila mana perlu pedangku akan lolos dari sarung setiap saat."

Lioi Siok hoa maju mendekat tanpa mengucapkan sepatah katapun, serangan ini nampaknya hambar dan biasa, namun kecepatannya tak mungkin bisa dibandingkan dengan kecepatan orang biasa, dimana cahaya tajam berkelebat lewat, pedang itu sudah muntah keluar.

Begitu cepatnya serangan itu membuat orang sama sekali tidak menduganya.

"Traang. .!" siapa tahu belum lagi pedangnya mencapai setengah jalan mendadak selapis cahaya keperak perakan sudah muncul ditangan Cing shia sancu.

Bersamaan dengan suara dentingan tersebut pedang Lim Siok hoa terpental balik kebelakang dan hampir saja melukai diri sendiri.

Ketika menengok kembali kearah Cing shia sancu, dia masih berdiri dengan tangan kosong, entah darimana datangnya cahaya putih tadi, dan tak diketahui pula bagaimana caranya dia menarik kembali serangan tersebut.

Ternyata Cing shia sancu sudah berhasil melatih ilmu pedangnya hingga mencapai tingkatan tak berwujud tanpa bayangan, gerakannya dari mencabut pedang, menyerang sampai masukkan kembali pedangnya dilakukan dalam sekejap mata, sehingga sepintas lalu orang mengira dia melayani musuhnya dengan tangan kosong belaka.

Padahal ilmu pedangnya sudah menyatu dengan badannya sehingga reaksi maupun serangan balasannya dilakukan hampir tak nampak.

Terhajar oleh tangkisan lawan, seluruh badan Lim Siok hoa bergetar keras, secara beruntun dia mundur beberapa langkah sambil menarik napas panjang panjang, kemudian nampak senjata itu bergetar keras, kemudian tampak sekilas cahaya tajam melesat ketengah udara.

Tergerak hati Cing shia sancu menyaksikan ancaman tersebut, serunya tanpa terasa:

"Ternyata kau telah berhasil melatih ilmu pedang tanpa bayangan."

Sekilas cahaya tajam melesat ditengah udara, seolah-olah ada orang yang tengah mengendalikan, serangan tersebut langsung menerjang atas kepala Cing shia sancu.

Menghadapi ancaman tersebut, Cing-shia sancu mengebaskan ujung bajunya dan menyongsong pedang lawan.

"Traaang" kembali terdengar suara benturan nyaring yang amat memekikkan telinga.

Mendadak Lim Siok-hoa merasakan tubuhnya bergetar keras, pedangnya ditarik kembali, namun mukanya telah berubah menjadi pucat pias, pergelangan tangannya segera digetarkan keras keras, beribu ribu cahaya pedang yang menyilaukan mata dengan cepat menyebar kemana mana.

Pedang pendek Cing shia sancu bergetar di tengah udara menangkis kembali semua ancaman yang tertuju ke arahnya.

Ia memang tak malu disebut seorang cikal-bakal dari suatu perguruan besar, serangannya sama sekali tidak meninggalkan jejak, seakan-akan dia hanya berdiri tenang dibawah hermbusan angin malam.

Setelah tertewa dingin terdengar ia berkata:

"Hanya dalam berapa tahun yang singkat kau telah berhasil melatih ilmumu hingga mencapai tingkatan seperti ini, kemampuan mu itu sungguh berada diluar dugaanku, tapi bila kau ingin mempertahankan dirimu agar tak kalah dalam pertarungan sepuluh jurus, kemampuan itu masih ketinggalan sangat jauh, karena aku belum melancarkan serangan balasan. . ."

Lim siok-hoa menggigit bibirnya, mendadak ia mengigit robek jari tangannya dan disodok ke tubuh Cing shia sancu.

Tampak bayangan darah memancar ke empat penjuru, bagaikan butiran air saja langsung menyergap ke depan.

Setelah itu dia membentak keras, pedangnya diputar beberapa kali ditengah udara yg memaksa titik titik darah yang berhamburan itu berubah menjadi garis garis darah dan meluncur ke muka mengikuti gerakan pedang tersebut. Paras muka Cing shia sancu berubah hebat serunya tertahan:

"Sebuah jurus bayangan darah butiran mutiara yang sangat hebat."

Tiba tiba ia tertawa nyaring, menyusul gelak tertawa tersebut seluruh pakaiannya mengembang besar.

Hujan darah yang memancar ke arahnya itu kontan  tertahan ditengan udara, kemudian lengan kanannya diangkat cahaya pedang meluncur kemuka, dalam waktu singkat serentetan cahaya pelangi berwarna perak telah melesat kedepan.

"Yaya !" Bu Siau huan menjerit kaget, "Traang !" Suatu bentrokan nyaring diiringi suara hancurnya besi bergema di angkasa. Mendadak cahaya pelangi tersebut menjadi...

Lim Siok hoa seperti baru mendapat penyakit parah saja duduk terkapar diatas tanah, sambil memandang wajah Cing shia sancu, ia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun jua.

Sebaliknya Cing shia sancu memejamkan matanya, entah apa yang sedang dipikirkan dihadapannya terdapat enam potong kutungan pedang yang berceceran ditanah, dalam tanah kelihatan pula noda darah yang berhamburan . . .

Sesaat kemudian Cing shia sancu membuka matanya kembali, lalu berkata dingin:

"Kau memang cerdik sekali, ingin menggunakan hawa pedang untuk membawa bayangan darah menyerang tubuhku, tapi kau lupa kami aku mempunyai hawa khikang pelindung badan, hawa khikang tersebut bisa dipancarkan keluar tanpa wujud, sayang sekali usahamu kali ini hanya sia sia belaka .. ."

Ternyata Lim Siok hoa tahu kalau dia tak sanggup menandingi kehebatan Cing shia sancu dalam gelisahnya dia ingin menggunakan cara hawa pedang menyebar mutiara untuk membawa hujan darah tadi ke dalam lapisan hawa serangan Cing shia sancu dan menerjang tubuhnya.

Asal ada satu atau dua tetes darah yang bisa menempel ditubun Cing shia sancu, niscaya ketua dari Cing shia san ini akan dianggap sebagai pihak yang kalah.

Siapa tahu tenaga dalam yang dimiliki Cing shia sancu sangat lihay, diapun memiliki kemampuan untuk melindungi badan dengan hawa khikangnya, akibat dari hal ini bukan saja upanya sia sia belaka termasuk pedang yang digunakan untuk menyerangpun ikut hancur berantakan.

Dengan sedih Lim Siok hoa menggelengkan kepalanya berulang kali, mendadak ia merasa ada segenggam rambutnya rontok ke tanah, dengan perasaan terperanjat ia mendongakkan kepalanya, paras mukanya berubah hebat, seluruh badannya gemetar keras.

Sambil tertawa dingin Cing shia segera berkata:

"Kau hanya tahu menyerangku, tapi lupa untuk melindungi diri sendiri . . ."

Dengan sempoyongan Lim Siok hoa merangkak bangun dari atas tanah, lalu berkata:

"Niatku sudah padam, silahkan kau menjatuhkan hukuman kepadaku." "Didalam perjanjian kita telah disebutkan, asal kau melanggar peraturan dan menuju ke bukit bagian depan, aku akan membakarmu sampai mati" kata Cing shia sancu dingin "ucapanku ini tak dapat dirubah karena kau adalah menantuku, nantikan saja . . ."

"Ayah..." seru Lim Siok hoa sambil menengadah, "Aku sedang merasa heran, berulang kali jelas mempunyai kesempatan untuk membunuhku, mengapa kau hanya memapas rambutku saja? Mengapa kau tidak sekalian membunuhku dengan pedang? Sekarang, kau malah menyuruh aku tersiksa dan menderita karena dibakar hiduphidup."

Cing shia sancu tak memperdulikan ucapannya, dia hanya tertawa dingin tiada hentinya.

Dengan suara dingin kembali Lim Siok hoa berkata:

"Aku tahu kau amat membenciku, kau menginginkan aku mati tersiksa secara lambat, ayah sekarang aku baru mengerti berapa kejamnya hatimu tak nyana kau bisa berbuat sekejam ini terhadap seorang perempuan yang telah menjadi menantumu."

"Mengapa aku membencimu ? Hancurnya hasil latihan Cing peng sama halnya dengan mencelakai jiwanya, membuat ia tak bisa memperdalam ilmu pedangnya, dalam sedihnya tentu saja dia pergi meninggalkan tempat ini, kalau di cari sumber dari semua bibit bencana ini, dosamu yang terbesar bila tiada kau, akupun tak akan kehilangan Cing peng, sekarang jejaknya bilang lenyap, apakah dia masih hidup atau sudah mati sama sekali tak kuketahui, bukan saja kau telah menghancurkannya, kaupun mencelakai aku. ." "Kalau begitu aku tidak ssharusaya kawin dengan orang   dari keluarga Bu . ." kata Lim Siok hoa dengan suara gemetar.

"Tentu saja" sahut Cing shia sancu dengan wajah menyeringai, kau adalah perempuan rendah, jiwamu adalah jiwa lonte . ."

Kali ini Lim Siok hoa tak sanggup menahan diri Iagi, dengan wajah berubah serunya:

"Kamn aku jadi lonte? Dimanakah tempat kerendahan diriku? Katakan, cepat katakan . ."

Kau ingin aku mengungkapkan semua kerendahanmu itu?" bentak Cing shia sancu dengan suara keras, "haah , haah. . haah. .seperti kau tidak kuatir kehilangan muka, kami masih takut kehilangan muka, seandainya bukan lantaran perbuatan bagusmu itu, ayahmu r'in tak akan malu untuk datang lagi ke bukit Cing shia. ."

"lbu sebenarnya perbuatan apakah yang telah kau lakukan sehingga membuat yaya menjadi begitu marah?" tiba tiba Bu Siau huan bertanya dengan suara gemetar.

Lim Siok hoa mengerling sekejap ke arah Bu Siau huan, kemudian jawabnya.
"Baik, demi kau, aku tak bisa tidak harus mengatakannya." "Hayo katakan" jengek Cing shia sancu sambil tertawa
dingin. "perbuatan rendah apakah yang telah kau lakukan dengan lelaki liar tersebut.. ."

Paras muka Lim Siok hoa pucat pias seperti mayat, dengan amat mendongkol dia berkata: "Kau jangan memakinya sebagai lelaki liar, aku harap kau dapat menghormati watak serta martabat suhengku !"

"Cuuh . . !" jelfaS Cing shia sancu sudah to.arah hingga mencapai xa ia puncaknya, dia meludahi wajah Lim Siok hoa dengan penuh kebencian, lalu tertawa seram.

"Suheng... Heeeh... heeh ...karena dia suhengmu maka ia boleh mengadakan hubungan gelap dengan sumoaynya yang telah bersuami? Hnm, tak kusangka kau masih punya muka untuk mengutarakannya keluar, bagaimana pula penjelasanmu dengan perbuatan yang kau lakukan dalam gua Hay san tong
?"

"Kesalah pahaman ini bisa berubah menjadi tragedi gara gara jalan pemikiranmu yang tidak senonoh, dihadapan Siauhuan terpaksa aku harus mengutarakan kejadian yang sebenarnya, mungkin kau anggap aku sedang berbohong, tapi perduli kau mau percaya atau tidak, kejadian yang sebenarnya adalah begitu."

"Hmm, pada dasarnya kau memang pandai bohong dan memungkiri apa yang telah kau lakukan, tentu saja tiada orang yang mempercayai dirimu lagi." ucap Cing shia sancu sinis.

Semertara itu Bu Siau huan telah berkata dengan wajah serius :

"lbu katakanlah, aku percaya."

Lim Siok-hoa terharu sekali sesudah mendengar perkataan itu, air matanya bercucuran amat deras saking terharunya dia sampai menangis tersedu, dia tak menyangka kalau putrinya bersedia mempercayai apa yang dia katakan, dia menganggap kehidupannya selama ini nalmg tidak tak tersia-siakan saja, karena akhirnya dia berhasil menemukan orang yang bersedia mempercayai kepercayaannya dan orang itu adaIah putrinya sendiri.

Bu Siau Huan mengerling sekejap ke arah Cing shia lalu berkata dengan suara pedih.

"Setelah Cing peng meninggalkan bukit, dalam cemas dan sedihku aku ingin mencarinya kembali, kebetulan suhengku datang menjenguk, sebetulnya ia bermaksud menemani aku berangkat ke kota Kwan liok, siapa tahu belum keluar dari bukit Cing shia, kami telah tertimpa hujan deras, ditengah hujan yang turun dengan derasnya itu terpaksa kami bersembunyi didalam gua Hay san tong Berhubung pakaian yang kukenakan basah kuyup, suheng menganjurkan kepadaku untuk melepaskan pakaian bagian luar dia digarang diatas api. Siapa tahu baru saja pakaian luarku dilepas, kebetulan Cing peng masuk kedalam gua, melihat aku dan suheng sedang melepaskan pakaian ia menjadi salah paham dan segera berlalu dari situ, pada hal begitulah kejadianku yang sebenarnya, ketika aku pulang dia malah menuduh ku berbuat serong."

"Salah paham ? Heeeh .-. . hseeh . ., heeeh." Cing shia sancu pun segera tertawa dingin tiada hentinya, "aku tidak mau mendengarkan penjelasanmu dan kau tak perlu mempersoalkan atau membela diri, Cing peng adalah seorang yang berhati jujur, kau anggap kami tidak tahu kalau kau beralasan hendak mencari Cing peng, secara diam diam telah berbuat serong dengan lelaki liar itu Hmm."

"Asal hatiku suci bersih dan aku merasa tak pernah berbuat serong, banyak bicarapun tak ada gunanya." "Bagus enak benar kalau bicara, kami tak usah mengulur waktu Iebih lama lagi." tukas Cing shia sancu sambil tertawa dingin.

Setelah memandang sekejap seluruh arena, mendadak serunya:

"Go Tiong, cepat siapkan api untuk melakukan pengorbanan dengan pembakaran." Go Tiong tertegun.

"Sancu, apakah hal ini..."

"Laksanakan perintah tersebut." tukas Cing shia sancu dengan wajah sedingin es, "ini termasuk peraturan Cing shia san kita."

Saking takutnya Go Tiong tak berani banyak berbicara lagi, buru-buru dia mengulapkan tangnnya memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Sementara itu Bu Siau huan gemetar keras setelah mendengar perkataan itu, dia segera menerjang ke hadapan Cing shia sancu, lalu sambil berlutut mohonnya:

"Yaya ampuniIah ibuku."

"Enyah dari sini, kau tak boleh memanggilnya sebagai ibu lagi." bentak Cing shia sancu sambil mendorong tubuhnya keluar.

Sewaktu tubuhnya didorong oleh kakeknya, Bu Siau huan merasakan hatinya hancur lebur secara beruntun dia mundur sejauh tujuh delapan langkah dari tempat semula, dia seperti tak percaya kalau yayanya bakal bersikap begitu dingin dan keji terhadapnya. "Yaya, kau sungguh amat keji." pekiknya dengan air mata bercucuran.

"Enyah kau dari sini" bentak Cing shia sancu lagi gusar, "kau tak boleh berada disini."

Bu Siau-huan menangis tersedu sedu, sambil menutupi mukanya dia lari ke belakang.

Karena tidak melihat keadaan sekitarnya, begitu lari dia lantas menubruk ke dalam pelukan Liong Tian-im.

Si anak muda itu amat terkejut, saking kagetnya dia buru buru mundur kebelakang.

Akan tetapi tenaga terjangan dari Bu Siau huan itu sangat kuat, seluruh tubuhnya segera jatuh ke dalam pelukan si anak muda itu.
"Nona Bu," bisik Liong Tian-im dengan wajah tertegun. Berada dalam pelukan pemuda itu, Bu Siau-huan berbisik:
"Tolong carikan akal untuk menyelamatkan jiwa ibuku."

Sementara itu Liong Tian im sudah dapat memahami apa gerangan peristiwa yang telah berlangsung disitu, melihat sikap kejam dan tanpa perasaan dari Cing shia sancu, rasa simpatiknya semula kontan tersapu lenyap, namun sebagai orang luar bagaimana mungkin ia dapat mencampuri urusan rumah tangga orang ?

Sambit menggelengkan kepalanya berulang kali katanya kemudian.

"Aku rasa tak punya kemampuan untuk berbuat begitu. ." "Kau bisa, kau pasti bisa, hanya bisa menolongnya. . ." pekik Bu Siau huan dengan suara gemetar.

"Tapi aku adalah orang luar. . ." ujar Liong Tian im dengan perasaan tidak habis mengerti.
Dengan nada merengek Bu Siau huan kembali berkata: "Justru karena kau diluar garis, maka hanya kau yang
dapat berbuat demikian, Cing shia sancu mempunyai suatu peraturan Bila dia sedang melaksanakan peraturan perguruan, asal ada orang luar yang berusaha menolong orang yang dijatuhi hukuman tersebut, maka orang itu dapat menghindarkan diri dari pelaksanaan hukuman yang akan dilakukannya ini. ."

Liong Tian im manggut-manggut, ditepuknya bahu gadis itu dengan lembut.

"Jangan kuatir, aku akan berusaha dengan sekuat tenaga, tapi kaupun harus mengerti, menolong ibumu dari kepungan begini banyak jago lihay bukanlah suatu pekerjaan gampang apalagi sancu berada disini. . ."

"Aku mengerti akan hal ini" sela Bu Siau huan lirih, "asal kau telah turun tangan, aku akan membanumu. . ."

Mendadak terjadi kegaduhan ditengah arena.

Ternyata Lim Siok-hoa seperti binatang terluka sedang menyerbu ke depan dan menerjang ke arah Bu Siau huan, tapi ia segera dihadang oleh dua orang leIaki. Ketika beberapa kali terjangnya sama sekali tidak mendatangkan hasil, perempuan setengah umur itu segera berkaok kaok karena marah. ..

Sambil menghela napas Liong Tian im segera berkata, "Agaknya ibumu ingin berjumpa dengan kau."

"Aku harus berada bersama ibuku, hanya dengan cara ini selembar jiwanya depan ditolong. . ." kata Bu Siau huan gemetar.

Belum habis dia berkata, secepat sambaran kilat tubuhnya sudah melompat kedepan dan langsung melepaskan pukulan dahsyat kepunggung dua orang lelaki itu.

Sebenarnya perubahan ini dilakukan amat cepat, tapi gerakan tubuh Cing shia sancu jauh lebih cepat lagi, tahu tahu ia telah menggenggam pergelangan tangan si nona yang digunakan untuk menyerang itu.

"Siau-huan" tegur Cing shia sancu dengan keras. "Apakah kaupun ingin dihukum menurut peratutan perguruan . . ."

"Yaya" pekik Bu Siau huan sambil menangis, "kumohon kepadamu, lepaskanlah ibuku . . ."

"PIaak.." mendadak Cing shia sancu mengayunkan tangannya menampar pipi nona itu keras keras.

Bu Siau huan menjerit kaget, sambil memegangi pipinya yang membengkak ia mundur berapa langkah, kemudian berdiri tertegun, di situ bagaikan sebuah patung.

Liong Tian-im gusar sekali menyaksikan kejadian itu, segera tegurnya: "Sancu tidak pantas kau bersikap sekasar itu terhadap Siau huan."

"Apa? Kau hendak menasehati aku ?" teriak Cing shia sancu sambil melotot besar.

"Boanpwe tidak berani, aku hanya berpendapat sejak kecil Siau-huan sudah tak beribu, dalam hati kecilnya tidak memiliki kelincahan dan kepolosan dari seorang gadis seperti lainnya, bila kau bersikap kasar kepadanya, hal ini bisa berakibat berubahnya cara berpandang nona itu terhadap kejadian di dunia ini, dia akan merasakan ketidak berperasaannya dunia, kekejaman manusia manusia"

Sebagaimana diketahui, sejak kecil Liong Tian im sudah kehilangan kasih sayang orang tuanya, dia cukup memahami bagaimanakah perasaan seorang anak piatu yang merindukan ibunya.

Riwayat Bu Siau huan telah membangkitkan perasaan simpatik Liong Tiam im, kejadian tersebut mengingatkan kembali akan musibah yang telah menimpa dirinya semasa masih kecil dulu, hingga akibatnya timbul perasaan iba dan kasihan dihati kecilnya.

"Lebib baik kau jangan mecampori urusan di sini, hati hati kalau kubunuh dirimu." ancam Cing shia sancu sambil tertawa dingin, "Siau-huan adalah keturunan keluarga Bu, perempuan rendah tersebut tidak berhak menyentuh tubuhnya."

"Tapi dia toh ibu kandung Siau huan." bantah Liong Tian im dingin

Cing shia sancu tertawa dingin, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia berjalan kedepan. Sementara itu sebuah tiang penggantungan telah didirikan diatas lapangan, disekeliling tiang penggantungan tersebut telah ditimbuni ranting dan rumput kering setinggi dada.

Kepada Lim Siok-hoa, Cing shia sancu segera berkata dingin:

"Sekarang kau boleh masuk." teriaknya.

Lim Siok-hoa menghentikan gerakan tangannya dengan tertegun, selang beberapa saat kemudian dia baru menyahut dengan suara gemetar:

"Baik..."

Dengan membawa perasaan yang sedih dan berat ia melangkah maju ke tiang penggantungan, menuju pintu gerbang akhirat.

ooooOoooo

KOBARAN api yang membara menjilat tumpukan ranting disekitar tiang penggantungan lidah api yang melompat lompat ditengah kegelapan mendatangkan perasaan seram bagi yang memandang.

Asap putih telah membumbung tinggi dan menyelimuti seluruh angkasa.

Lim Siok hoa digantung hidup hidup diatas tiang penggantungan dengan putus asa dia menghela napas panjang, sepasang matanya yang basah oleh air mata  menatap wajah Siau huan lekat lekat, seakan akan pandangan tersebut merupakan pandangan yang terakhir kali. Beberapa kali Bu Siau huan terjun kelautan api secara nekad, tapi dia selalu terhadang kembali oleh penghadang penghadang yang dilakukan kawanan jago lihay dari Cing shia san, pada hakekatnya ia tidak mempunyai kesempatan untik maju selangkah lebih kedepan.

Cing-shia sancu duduk seorang diri di atas kursi kebesarannya, ia menatap Lim Siok hoa yang berada ditengah kobaran api dengan pandangan dingin, seolah-olah sama sekali tak tergerak hatinya oleh penderitaan lawan.

Peristiwa ini benar-beiar merupakan tragedi manusia,
hanya berpisah beberapa langka antara ibu dan anak sebentar lagi akan dipisahkan oleh dunia yang berbeda.

Terutama sekali perasaan seorang putri yang menyaksikan ibunya sedang meronta dengan penuh penderitaan ditengah kobaran api, siksa dalam batin yang dialaminya pada hakekatnya sukar dilukiskan dengan kata kata.

Tapi sikap Lim Siok hoa pada saat ini justru sebaliknya berubah menjadi amat tenang, hanya keringat sebesar kacang kedelai membasahi jidatnya, sementara gelak tertawa seram menggema tiada hentinya, itulah pelampiasan rasa sakit yang meluap, luka yang mengguncang perasaan hati kecilnya.

Dia mendongakkan kepalanya memandang awan yang bergerak diangkasa, mendadak teriaknya keras:

"Cing peng, kau bakal tak bisa melihat diriku lagi."

Sampai menjelang ajalnya, dia masih belum dapat melupakan suaminya, memana begitulah perasaan wanita, cinta kasihnya selalu lebil dalam dari samudra, meskipun suaminya telah meninggalkannya, namun dia masih amat mencintainya bahkan menjelang saat ajalnya, dia masih berharap dapat berjumpa untuk terakhir kalinya.

Hembusan angin malam membawa jeritan yang memilukan hati itu hingga menggema ditempat kejauhan, menggaung dalam setiap telinga orang, terutama Bu Siau huan..

Dia merasa sedih bukan kepalang, saking tak kuasa menahan diri, akhirnya dia muntah darah segar, hampir saja jatuh tak sadarkan diri.

Kejadian ini tentu saja merepotkan Cing shia sancu, walaupun ia menamparnya tanpa perasaan, meski membentaknya dengan marah, namun rasa sayangnya terhadap Siau huan melebihi sayangnya terhadap jiwa sendiri.

Sejak kecil gadis itu sudah dianggap sebagai mestika hatinya, seandainya perbuatan memalukan dari Lim Siok hoa tidak membangkitkan amarah kakek itu, kalau bisa dia tak ingin menegur Bu Siao huan walau hanya sepatah.

"Siau huan, mengapa kau?" seru Cing shia sancu sambil melayang ke hadapannya.

"Aku ingin mati, aku ingin mati saja. . . yaya, mengapa kau tidak membakar pula dtiiku,." jerit Bu Siau huan dengan suara gemetar. matanya membengkak.

Bibirnya pucat pias, tubuhnya gemetar keras, rasa kaget dan ngeri yang terpancar dari balik matanya makin lama semakin membesar itu, seakan akan dia segera akan mati. Cing shia sancu merasakan hatinya kecut sekali, tanpa terasa dia menubruk kedepan dan memeluknya erat erat.

"Siau huan, kau harus baik baik menjaga kesehatan badanmu" pinta Cing shia Sancu dengan emosi. "lupakan saja kejadian ini, ibumu sudah tidak tertolong lagi, aku percaya kau tentu mengerti bukan akan peraturan dari Cing shia san."

"Yaya, mergapa kau begitu membenci ibuku ?" seru Bu Siau huan sambil menggeleng.

Dengan pandangan kosong Cing shia sancu memperhatikan langit malam yang gelap, ke mudian bergumam:

"Dia telah mencelakai ayahmu, merampas nyawa putraku, Siau huan kau masih belum memahami akan persoalan ini, kau tak akal memahami perasaan hati seorang kakek yang merindukan putranya . . ."

"Darimana kau bisa tahu kalau ayahku telah tiada ?" seru Bu Siau huan dengan hati kecut.

Cing shia sancu menghela napas panjang katanya:

"Hari kedua setelah ayahmu pergi meninggakkan tempat ini dalam lembah bukit Cing shia telah ditemukan sesosok mayat, seluruh tubuh sudah hancur lebur, pakaian yang dikenakan ternyata adalah pakaian yang dikenakan ayahmu, kemungkinan besar dalam sedihnya ayahmu jadi pendek pikiran sehingga melakukan bunuh diri, aaai .. . Cing peng si bocah itu. kenapa ia berbuat begitu bodoh, puluhan tahun latihan dengan tekun tapi akhirnya hanya sia-sia belaka "

"Ooooh " Dari balik kabut asap yang tebal mendadak berkumandang jerit kesakitan yang amat memilukan hati, suara tersebut menyambar di tengah angkasa membuat semua orang mendongakkan kepalanya memandang kearab Lim Siok hoa.

Tampak seluruh tubuhnya sudah mulai terapung oleh jilatan api yang membara, sedang perempuan itu tiada hentinya memperdengarkan jeritan lengking yang memilukan hati

Liong Tian im merasakan darah panas dalam dadanya bergolak keras, sepasang matanya merah membara dia tak menyangka Cing shia sancu bisa meeggunakan cara semacam ini untuk menghukum orang sendiri.

Diam diam ia mendendam terhadap perbuatan terkutuk  yang sama sekali tak berperi kemanusiaan itu, alis matanya yang tebal berkernyit, mendadak ia meloloskan senjata patung kim mo sin jin dari telacg punggung, segenap kilatan yang dimiliki telah dikerahkan penuh, Kim mo sin jin tersebut memancarkan serentetan cahaya tajam yang berwarna keemasan.

Tiba tiba Liong Tian im melejit ketengah udara setinggi berapa kaki, setelah meIampaui kepala semua orang, dia langsung meluncur ke tengah kobaran api yang membara.

Begitu cepat gerakan tubuhnya ibarat sesosok setan gentayangan saja, membuat jago jago lihay yang berada  diatas bukit Cing shia san itu bersama sama menjerit kaget. . .

"Kau sudah tak ingin nyawamu lagi!" bentak Go Tiong sambil membentak nyaring. Berada dibukit Cing shia, dia merupakan jagoan paling lihay yang bertugas menjadi bukit, tenaga dalamnya masih  setingkat lebih hebat daripada kawanan jago pada umumnya, di tengah bentakan nyaring, tubuhnya berubah menjadi segulung angin meluncur kemuka, di antara getaran pedangnya yang berubah menjadi rentetan cahaya tajam, ia melancarkan serangan ke tubuh Liong Tian im.

Liong Tiam-im segera menggetarkan senjata patung Kim mo sin jinnya sambil melancarkan serangan, teriaknya keras keras:

"Apakah kalian tidak malu membakar mati seorang perempuan.."

"Hmmm... urusan di bukit Cing shia lebih baik tak usah kau campuri . . . " kata Go Tiong dingin.

Kedua belah pikak sama sama merupakan jago lihay yang berilmu tinggi, kecepatan gerak mereka pun amat hebat, sementara pembicaraan berlangsung, kedua belah pihak sudah bertarung tujuh delapan jurus banyaknya.

Secara beruntun Liong Tian im melancarkan dua buah serangan dahsyat yang memaksa Go Tiong mundur berapa langkah, kemudian bentaknya keras keras.

"Go Tiong, jika kau berani menghalangi niatku lagi, jangan salahkan kalau aku tak akan sungkan sungkan lagi terhadap dirimu."

Walaupun diluarnya Go Tiong seperti beradu jiwa, menyerang dengan sepenuh tenaga namun yang sebetulnya dia cuma menggunakan tenaganya sebesar tujuh bagian saja, dia memang ada maksud membantu Liong Tian im, hanya maksudnya tak berani diutarakan secara terangan-terangan.

Maka selama pertarungan berlangsung, dia  selalu mengalah, bahkan beberapa kali ia mempunyai kesempatan untuk membunuh Liong Tian-im pun dilepaskan dengan begitu saja.

Akan tetapi bagi perasaan Liong Tian im, tenaga drlam yang dimiliki Go Tiong benar-benar lihaynya bukan kepalang, dia telah mengerahkan segenap kepandaian yang dimiliki namun hasilnya hanya seimbang, diam diam ia kagum sekali atas kelihayan ilmu pedang Cing shia pay.

Dalam pada itu, Cing shia sancu telah menurunkan Bu Siauhuan ke atas tanah, kemudian dengan suara lantang serunya:

"Go Tiong bekuk bocah keparat itu aku hendak membakarnya pula sampai mampus..."

Bu Siau huan cukup mengetahui watak dari kakeknya jika sedang marah marah dia tak akan memberi muka kepada siapa saja.

Liong Tian im turun tangan menolong orang sudah merupakan pelanggaran terhadap pantangan bukit Cing shia, bila ia sampai terjatuh ke tangan sancu maka tak mungkin ada kesempatan untuk meloloskan diri.

Dalam gelisahnya buru buru Bu Siau-buan mencengkeram lengan Cing sia sancu kemudian dengan paras sedih ia menatap wajah kakeknya tanpa berkedip. "Siau-huan, apa apaan kau?" tegur Cing sia sancu decgan wajah tertegun.

"Oooh, yaya, harap kau jangan turun tangan" pinta Bu Siau huan sambil terisak "sebagai seorang sancu masa kau hendak menghadapi seorang boanpwee ? Bila hal ini sampai tersiar luar orang pasti akan .. ."

"Hmm, jadi hal ini merupakan ideemu?" Cing sia sancu mendengus dingin.

Sepasang matanya memancarkan sinar tajam bagaikan sembilu, pelan pelan dia mengalihkan sorot mata tersebut ke wajah Bu Siau-huan, seperti hendak mengorek rahasia di dalam hatinya saja.

"Aku..." sekujur badan Bu Siau huan gemetar keras.

Cing-shia sancu tertawa dingin, ujarnya: "seandainya kau bukan cucu perempuanku, sekarang juga aku telah membacokmu sampai mati."

Dengan penuh kegusaran dia melompat ke depan lalu menerjang ketengah arena.

Tatkala Liong Tian im menyaksikan Cing shian sancu menerjang kearahnya, ia menjadi terperanjat setelah tertawa gusar, sepasang telapak tangannya segera diayunkan ke muka menghantam tubuh Go Tiong dengan juru Bong-hong bu khek (kosong melompong tanpa batasan)

Go Tiong sengaja menjerit kaget dan mundur sejauh tujuh delapan langkau, kemudiaj sambil memberi kode kerlingan mata pada Liong Tian im, sengaja bentaknya: "Bocah keparat lihay amat kepandaianmu."

Liong Tian im segera memahami maksud lawannya, begitu tubuhnya menerjang ketengah udara, sambil membentak ia langsung meluncur keballk kobaran api yang sedang membara.

Cing shia sancu merasa gusar sekali, bentaknya keras kerss:

"Go Tiong, kau benar benar manusia yang tak berguna !"

Baru saja dia hendak menerjang ke dalam bara api, tiba tiba Bu Siau hian menjerit.

"Yaya api yang membara dipanggung  penggantungan adalah api suci, kecuali orang yang menjalani hukuman, siapa saja dilarang memasukinya, larangan ini ditetapkan oleh cousu dan ditaati turun temurun, meski kau adalah sancu namun peraturan ini tak boleh dilanggar kalau tidak . . ."

Betul juga, Cing shia sancu benar benar tak berani melanjutkan perjalanannya menuju ke titik api.

Cousu Cing shia pay telah menurunkan sebuah peraturan yang melarang setiap orang memasuki kobaran api dari api yang membara disekitar panggung hukuman, api suci tersebut hanya boleh menjilat tubuh orang yang sedang menjalani hukuman saja.

Konon hanya jenasah yang dibakar dengan api lah yang dianggap sebagai kematian yang sempurna, hingga ada harapan untuk menitis kembali kedunia, tapi orang yang ternoda oleh api suci tersebut, maka dalam penitisan yang akan datang, dia akan dijebloskan sebagai manusia berjiwa kecil dan berwatak jahat.

Agak lega juga hati Liong Tian-im ketika menyaksikan Cingshia sancu tidak mengejar lebih jauh, begitu terjun ke tengah hutan api, patung Kim mo sin jin nya segera diputar menciptakan serentetan cahaya kuat berwarna emas"

D mana cahaya itu menyambar lewat, bara api segera menjadi padam dengan sendirinya.

Agak tertegun juga anak muda tersebut menghadapi kenyataan yang berada didepan mata, diam diam pikirnya:

"Sungguh tak kusangka, senjata yang diserahkan suhu kepadaku ini memiliki khasiat memadamkan api dan menghindari air, andaikata aku tak menemukan kasiatnya secara kebetulan ini, mungkin selama hidup aku takanme memahaminya.

Begitu kobaran api padam, asap hitam segera membumbung tinggi ke angkasa dan menyebar ke empat penjuru lamat lamat bayangan Lim Siok hoa pun nampak kembali.

Seluruh tubuh Lim Siok hoa telah basah kuyup oleh keringat, luka terbakar memenuhi badannya, dia menghembuskan napas panjang dan pelan-pelan membuka matanya kembali, dua titik air mata segera merembes keluar dan membasahi pipinya.

"Mengapa kau menolong aku?" tegurnya kemudian sambil tertawa sedih, Liong Tian im sejenak tertegun lalu sahutnya: "Aku tidak terbiasa menyaksikan perbuatan kejam yang sama sekali tak berperi kemanusiaan macam begitu."

Baru saja dia hendak menutuskan tali temali yang membelenggu tubuh Lim Siok boa mendadak dari belakang tubuhnya menyebar datang segulung tenaga pukulan yang tak berwujud, Lim Siok hoa segera menjerit kaget.

"Hati hati..."

Liong Tian im memutar badannya sambil bergeser lima depa ke samping lalu melayang pergi dengan suatu gerakan enteng.

Terdengar Cing shia sancu mendengus dingin, kembali dia memutar tangannya mencengkram bahu lawan.

Buru-buru Liong Tian im memutar patung Kim mo sii jinnya seraya berseru:

"Sancu. harap kau suka mendengarkan dulu beberapa patah kata boanpwe..."

Cing shia sancu sebagai seorang ketua dari suatu perguruan besar, tentu saja segan melakukan tindakan yang bisa merosotkan martabatnya, ia menarik kembali tangannya dan tertawa dingin.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar