Tapak-tapak Jejak Gajahmada Jilid 21 (Tamat)

Ucapan dan perkataan Prabu Guru Darmasiksa dianggap sebuah perintah oleh ketiga orang itu yang sudah pernah mendengar kesaktian orang tua renta itu dapat meruntuhkan sebuah gunung batu hanya dengan suaranya.

Terlihat kedua orang murid itu telah memapah kawannya yang masih pingsan itu. Bersama gurunya mereka bertiga dengan tergopoh-gopoh penuh rasa sungkan dan hormat meninggalkan pinggir hutan Maja itu.

Setelah ketiga orang itu menghilang jauh di kerapatan Hutan Maja, terlihat orang yang menamakan dirinya bernama Embah Galunggung itu yang sebenarnya adalah Prabu Guru Darmasiksa menoleh menatap ketiga anak kecil dihadapannya itu.

“Siapa diantara kalian putra Sanggrama Wijaya?”, berkata Prabu Guru Darmasiksa penuh senyum ramah kepada ketiga anak itu.

“Aku Jayanagara, putra Wijaya”, berkata Jayanagara tanpa rasa takut kepada orang tua renta dihadapannya itu, merasa yakin bahwa orang itu adalah orang baik yang telah membuat ketiga orang asing yang datang mengganggu mereka seperti sungkan pergi ketakutan.

“Aku sudah menduga, mata dan alismu sama dengan yang dimiliki oleh putra dan menantuku, Sanggrama Wijaya dan Pangeran Lembu Tal”, berkata Embah Galunggung sambil memegang kedua pundak Jayanagara yang membiarkan kedua pundaknya diguncang-guncangkan oleh orang tua itu dengan wajah seperti begitu gembira seperti menemukan kembali sebuah barang berharga yang lama menghilang didepannya.

“Ayahku pernah bercerita bahwa kakek buyutku berasal dari tanah Pasundan”, berkata Jayanagara kepada orang tua itu.

“Aku dari Tanah Pasundan, akulah kakek dari ayahmu. Panggil aku sebagai Eyang Buyutmu”, berkata Prabu Guru Darmasiksa masih dengan kedua tangannya memegang kedua bahu Jayanagara. “Senang bertemu Eyang Buyut, ayah banyak bercerita tentang Eyang Buyut kepadaku”, berkata Jayanagara penuh kegembiraan dapat melihat seorang yang selama ini banyak diceritakan oleh ayahnya sendiri.

Namun percakapan diantara kedua cicit dan buyutnya itu terhenti ketika muncul seseorang didekat mereka.

“Terima kasih telah menolong tiga anak momonganku ini”, berkata orang itu sambil merangkapkan kedua tangannya di dada sebagai sebuah ungkapan hormat  dan terima kasih.

“Ternyata semut merah di gundukan semak-semak telah mengusik keberadaan tuan pendeta”, berkata Prabu Guru Darmasiksa tersenyum kepada orang yang baru datang itu.

Ternyata orang yang dipanggil tuan pendeta itu adalah Pendeta Gunakara yang sudah lama bersembunyi, tapi Prabu Guru Darmasiksa sudah lama juga mengetahui keberadaannya,

“Ajian ilmu Pameling dan ajian ilmu pengancingan sudah sangat langka, dan ternyata hari ini aku dapat melihat langsung dengan mata kepalaku sendiri”, berkata Pendeta Gunakara kepada Prabu Guru Gunakara.

“Hanya sebuah permainan untuk anak-anak”, berkata Prabu Guru Darmasiksa tersenyum kepada Pendeta Gunakara yang dianggapnya pasti bukan orang sembarangan karena tahu kedua ilmu ajian itu.

“Tuan Prabu Guru Darmasiksa ternyata adalah orang yang selalu merendahkan dirinya”, berkata Pendeta Gunakara setelah mereka saling memperkenalkan dirinya.

“Siapakah kamu wahai anak hebat”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Gajahmada.

Gajahmada seperti mengenal kalimat sapaan itu, dan diam-diam berpikir pasti orang ini yang membisikkannya sehingga dirinya dapat menjatuhkan orang asing itu.

“Namaku Mahesa Muksa”, berkata Gajahmada memperkenalkan dirinya.

“Dan siapa namamu?”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Adityawarman.

“Namaku Adtyawarman”, berkata Adityawarman kepada Prabu Guru Darmasiksa.

“Kalian bertiga kelak akan menjadi orang-orang hebat, kulihat kalian sudah matang mengenali jurus-jurus kalian. Hanya perlu banyak pengalaman bertanding, terutama mengenal ragam tata cara muslihat dari yang kasar sampai yang halus”, berkata Prabu Guru Darmasiksa sambil mengedipkan sebelah matanya ketika beradu pandang dengan tatapan mata Gajahmada.

“….hanya orang bodoh yang dapat tertipu sampai dua kali…”, terngiang kembali bisikan itu di dalam hati Gajahmada.

“Ternyata jurus-jurus itu dan kembangannya dapat kita atur sesuai keinginan kita, tidak harus runut. Dan aku dapat membuat kecohan dalam dua, tiga bahkan sepuluh langkah kedepan mengelabui langkahku yang sebenarnya”, berkata Gajahmada dalam hati mendapatkan pelajaran yang mahal untuk mengerti lebih jauh lagi kedalaman ilmu kanuragan.

Dan Gajahmada merasa ada kesempatan untuk mengetrapkan pengalaman barunya itu manakala Prabu Gunakara meminta mereka berlatih tanding.

“Hari masih belum terik, aku ingin melihat kalian berlatih tanding”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada ketiga anak itu.

Tanpa diminta Gajahmada sudah maju menunggu siapa yang akan maju berlatih tanding dengannya.

Terlihat Jayanagara yang maju berhadapan dengan Gajahmada.

Maka kedua anak itu pun telah mulai berlatih tanding, masing-masing telah menunjukkan kebolehannya.

Tapi di mata Pendeta Gunakara dan Prabu Guru Gunakara, ternyata Gajahmada terlihat sudah dapat menguasai perkelahian itu. Langkah-langkahnya sukar sekali ditebak kemana arah tujuannya.

Ternyata Gajahmada yang baru mendapatkan pencerahan itu sudah dapat menyerang dan mengelabui langkah Jayanagara, sudah tiga kali Jayanagara terjatuh terkena beberapa pukulannya.

“Aku tidak akan mudah tertipu lagi”, berkata Jayanagara yang juga mendapat pencerahan baru dari gaya Gajahmada yang telah menjatuhkan dirinya hingga sampai tiga kali. Maka akhirnya latihan bertanding itu menjadi kian seru, masing-masing telah dapat mengembangkan sendiri jurus-jurus mereka penuh ragam tipuan.

Sementara itu Adityawarman yang memperhatikan mereka berlatih ikut mendapatkan pencerahan juga, mulai mengerti bagaimana mengembangkan sebuah jurus-jurus baku yang dapat digunakan sesuai dengan keadaan yang ada.

Terlihat tangan dan kaki Adityawarman seperti tidak sabaran untuk turun berlatih, segera menerapkan apa yang ada di pikirannya saat itu, sebuah pencerahan baru. “Kalian berhenti dulu, kasihan kawanmu yang satu itu ingin juga menunjukkan kebolehannya”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Gajahmada dan Jayanagara yang semakin asyik berlatih.

Mendengar suara Prabu Guru Darmasiksa, terlihat Jayanagara dan Gajahmada berhenti bertanding.

“Hati-hatilah menghadapi Jayanagara, jangan sampai dirimu tertipu”, berkata Gajahmada berbisik kepada Adityawarman yang turun menggantikannya menghadapi lawan latih tanding Jayanagara.

Maka Adityawarman dan Jayanagara sudah terlihat berlatih tanding, ternyata mereka adalah anak-anak yang cerdas yang sudah dapat mengembangkan jurus-jurus mereka menerapkannya dalam gerak langkah yang tak terduga meski masih dalam ageman yang tidak merubah tata gerak dan pola perguruan mereka.

“Mereka adalah anak-anak yang cerdas”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Pendeta Gunakara.

“Kejadian pagi tadi telah membuka pencerahan dan pengenalan mereka terhadap tata gerak seharusnya”, berkata Pendeta Gunakara yang sudah lama mengawasi perkembangan lahir bathin ketiga anak itu.

“Tuan Prabu Guru Darmasiksa adalah tamu kami, hari sudah sangat terik. Mari kuantar ke Bumi Majapahit agar raden Wijaya menjadi gembira dan bahagia telah kedatangan seorang datuknya dari Kerajaan Pasundan”, berkata Pendeta Gunakara kepada Prabu Guru Darmasiksa.

“Baiklah, aku membayangkan semangkuk rujak kelapa muda dihadapanku”, berkata Prabu Guru Darmasiksa sambil tersenyum. Demikianlah, matahari memang sudah terlihat tergelincir dari pucuk ujung lengkung langit dan hari sudah begitu terik dan pengap sebagai tanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

Terlihat iring-iringan tiga anak kecil bersama dua orang tua di belakang mereka telah meninggalkan pinggir Hutan Maja menuju ke arah sebuah pemukiman Bumi Majapahit.

Dan seperti dua sumber mata air jernih yang bertemu bersatu dalam sebuah aliran sungai di sebuah pegunungan yang sejuk hijau dipenuhi hiasan tanaman bunga warna-warni menjelang hari senja yang tenang dan bening, terlihat Jayakatwang yang baru terbuka kesucian mata bathinnya seperti menemukan seorang sahabat baru, seorang kawan bicara memuaskan dahaga pengembaraan sucinya menjangkau dan masuk lebih dalam lagi ke samudera rahasia keindahan alam rohani yang ternyata lebih luas dari alam fana itu sendiri, begitu luas sehingga terasa tidak pernah cukup untuk terus menerus meneguk dahaganya.

Sahabat baru Jayakatwang itu adalah Prabu Guru Darmasiksa.

Meski mereka baru pertama kali berjumpa di Pasanggrahan Raden Wijaya, tapi mereka seperti seorang sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu. Sepanjang malam mereka begitu asyik berbincang seperti merasa malam tidak akan membuat kantuk mereka.

Begitulah bila dua hati suci bertemu, mereka adalah para pengembara yang dijumpakan dan dipertemukan oleh satu bahasa yang sama, sebuah bahasa lisan yang hanya dapat dimengerti oleh mereka yang telah mengenal pencerahan hati. Mereka berdua Jayakatwang dan Prabu Guru Darmasiksa.

“Mari kita mengabadikan perjumpaan kita ini dengan menciptakan sebuah tembang kesunyian hati di malam ini, aku akan mengiringi kecapi Paman Prabu dengan suara serulingku”, berkata Jayakatwang kepada Prabu Guru Darmasiksa.

Maka di malam yang sunyi itu terdengar suara kecapi dan seruling yang begitu merdu kadang mengalun halus seperti suasana hati seorang pengembara sendiri di belantara malam, kadang suara kecapi dan seruling itu mengalun naik turun seperti seorang pengembara yang merindu jauh dari sang kekasih, namun terkadang juga suara kecapi dan seruling mereka terdengar seperti suara para laskar yang sedang bertarung di medan laga, dan akhirnya suara kecapi dan seruling mereka pelan terputus putus seperti seorang pengembara tua yang berada di persimpangan jalan, seorang pengembara yang ragu jalan simpang mana yang dipilih.

“Aku akan selalu memainkannya dengan serulingku ini setiap malam manakala ingat kepada perjumpaan kita”, berkata Jayakatwang dengan wajah penuh kegembiraan telah menyelesaikan sebuah irama bersama Prabu Guru Darmasiksa, sebuah irama tembang yang tercipta tanpa mereka sadari.

“Tembang baru ini harus diberi nama, apa menurutmu nama dari tembang baru ini?”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Jayakatwang.

“Tembang kenangan Hina Kelana”, berkata Jayakatwang dengan wajah penuh kegembiraan hati.

“Nama tembang yang indah”, berkata Prabu Guru Darmasiksa menyetujuinya. Tapi mereka tidak menyadari bahwa mereka telah menciptakan sebuah tembang yang akan menghebohkan dunia, sebuah tembang baru yang kelak akan membuat sebuah peperangan besar dimana begitu banyak darah bersimbah di tanah kering bersama suara denting senjata saling beradu, juga suara derita perih pilu menatap saat banyak kematian didepan mata, sahabat, saudara dan kekasih tercinta.

Pagi itu tanggal lima belas bulan Kartika tahun 1215 Saka di bumi Majapahit terlihat sajen aneka bunga dan bancakan telah diletakkan di hampir tiap sudut perempatan jalan, sebagai pertanda bahwa di bumi Majapahit akan ada sebuah hajatan besar.

Matahari pagi bersinar begitu cerah menerangi alun-alun Bumi Majapahit yang terlihat begitu cantik meriah dipenuhi umbul-umbul, hiasan bunga dan janur.

Terlihat enam ribu prajurit Majapahit telah memenuhi alun-alun dengan warna warni panji kesatuan mereka masing-masing. Namun hampir semua prajurit telah mengikat kepalanya dengan kain dwi warna merah putih. Sebuah warna kebanggaan mereka yang merupakan sebuah lambang kesatuan mereka, sebuah lambang warna yang mengikat hati mereka kepada sebuah kemenangan besar mengusir orang asing bangsa Mongol. Prajurit Gula kelapa, begitulah panggilan kebanggaan mereka saat itu.

Sementara itu tajuk-tajuk yang dibantu di alun-alun terlihat sudah dipenuhi para undangan dari berbagai kalangan, para ningrat dari berbagai pelosok nagari, para kaum brahmana, para ketua Padepokan yang mendukung kedaulatan Majapahit pengganti Kerajaan Kediri yang telah runtuh. Terlihat Mahesa Amping berdiri di jajaran terdepan di salah sebuah tajuk, matanya terlihat berkaca-kaca memandang Watu Gegilang yang sudah berada di tengah alun-alun, sebuah batu datar tempat duduk seorang calon raja yang akan dinobatkan, yang akan melaksanakan upacara Abhiseka.

Kebahagiaan dan keharuan mengisi seluruh rongga hati Mahesa Amping.

“Perjuangan dan cita-cita Raden Wijaya akhirnya telah sampai juga”, berkata Mahesa Amping dalam hati sambil memandang watu gegilang itu yang seperti penuh rindu sunyi menunggu seseorang untuk segera duduk diatasnya.

Pikiran Mahesa Amping seperti hanyut dibawah arus air yang kuat, melemparkannya ke sebuah Padepokan tempat awal pertama bertemu dengan Raden Wijaya, sebuah Padepokan Bajra Seta. Sebuah Padepokan yang begitu tenang, begitu banyak membawa kenangan di hatinya. Di padepokan itulah mereka berdua tumbuh dan berkembang hingga dewasa, menjadi dua orang yang tangguh, tanggon dan disegani oleh lawan dan kawan.

Pikiran Mahesa Amping seperti terbang, melayang ke sebuah Kerajaan Tanah Melayu, dimana Dirinya dan Raden Wijaya bersama Ranggalawe berpetualang melaksanakan sebagai seorang petugas telik sandi Kerajaan Singasari yang masih dibawah kendali dan kekuasaan Raja Kertanegara. Di Tanah Melayu itulah mereka berdua sama-sama jatuh cinta dengan dua orang putri Raja Tanah Melayu.

“Garis hidup memang tidak bisa ditawar-tawar”, berkata Mahesa Amping dalam hati menyadari bahwa dirinya telah berdiri di bawah sebuah tajuk kehormatan, sebuah tajuk kehormatan hanya untuk para tamu undangan orang-orang terhormat, para ningrat, bangsawan dan para pemuka agama.

Dan pikiran Mahesa Amping seperti kembali mengarungi masa-masa kecil penuh kesengsaraan, tanpa orang tua hidup terkatung-katung. Berkat kebaikan budi Mahesa Murti dan Mahesa Pukat dirinya diasuh dengan cinta kasih seluruh cantrik Padepokan Bajra Seta.

“Pada suatu masa mungkin aku akan melepas semua ini”, berkata Mahesa Amping dalam hati.

Mata dan pikiran Mahesa Amping sudah jauh ke sebuah tempat, ke sebuah petak-petak hamparan sawah ladang yang hijau.

“Berlumpuran baju dengan lumpur di sawah, menjaga padi hingga tumbuh bersama anak dan isteri”, berkata kembali Mahesa Amping dalam hati membayangkan dirinya sebagai seorang petani merasa lelah dengan segala peperangan yang pernah dihadapi selama itu.

“Bau darah dan suara jeritan dalam sebuah peperangan, entah, mungkinkah akan berakhir atau akan terus berlanjut diatas sebuah kekuasaan seorang Raja yang harus mempertahankannya?” berkata kembali Mahesa Amping.

Dan lamunan Mahesa Amping seketika terbang putus manakala terdengar suara bende Ki Prabu Segara berdengung tiga kali. Sebuah tanda bahwa upacara suci akan segala dimulai.

Mata Mahesa Amping yang tajam melihat sebuah iringiringan memasuki alun-alun. Mahesa Amping melihat Raden Wijaya dikawal oleh dua orang prajurit dimana salah satu dari prajurit itu membawa sebuah payung pusaka, payung Kiai Pananggungan, Sebuah payung yang konon dapat menahan hujan.

“Raden Wijaya tengah menuju ke altar penobatannya, menuju altar cita-cita dan perjuangannya”, berkata Mahesa Amping dalam hati mengikuti pandangannya ke arah Raden Wijaya yang tengah berjalan menuju Watu Gegilang.

Dan Raden Wijaya terlihat sudah duduk diatas watu Gegilang, seorang pendeta juga terlihat datang membawa sebuah kendi tanah berisi air suci.

Terlihat pendeta suci itu menghadap para tamu undangan, dengan diiringi doa dan mantra pendeta suci itu telah memulai melaksanakan upacara suci itu, upacara Abhiseka Raden Wijaya.

“Semoga dewa langit dan dewi bumi merestui upacara ini”, berkata Pendeta suci itu mengawali pembukaan upacara Abhiseka itu. Pada hari ini telah terlahir Prabu Nararya Dyah Sanggramawijaya dengan nama Abhiseka sebagai Kertarajasa Jayawardana”, berkata kembali pendeta suci itu.

Semua yang hadir tampak begitu hening, seperti tersirep suasana dan wajah welas asih sang pendeta suci itu.

“Nama yang terlahir ini dari empat kata kĕrta, rājasa, jayā, dan wardhanā. Unsur kĕrta berarti Baginda Prabu memperbaiki Jawadwipa dari kekacauan, yang ditimbulkan oleh para penjahat dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Majapahit. Oleh karena  itu bagi rakyat Wilwatikta Baginda laksana Surya yang menerangi bumi. Unsur rājasa mengandung arti bahwa Baginda berjaya mengubah suasana kegelapan menjadi terang-benderang akibat kemenangan beliau terhadap lawan-lawannya. Dengan kata lain Baginda adalah penggempur musuh. Unsur jayā mengandung arti bahwa Sri Prabu memiliki lambang kemenangan berupa tombak berujung tiga Trisulamuka sebagai senjata Dewa Syiwa, karena senjata inilah maka seluruh musuh-musuhnya hancur. Unsur wardhanā, mengandung arti bahwa Baginda Prabu mengayomi segala agama, memberikan kebebasan kepada seluruh rakyat Majapahit untuk menjalankan ajaran agamanya dengan leluasa; di  sisi lain Baginda Prabu menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat Majapahit”, berkata pendeta suci menjelaskan makna nama Abhiseka bagi Raden Wijaya.

Hening suasana di alun-alun itu, semua mata dan pendengaran tertuju kepada sang pendeta suci.

“Semoga sang terlahir akan dapat melindungi para kawula, menjaga perjalanan para saudagar, memadamkan setiap peperangan dan kerusuhan bersama para kesatria, semoga sejuk dan kedamaian selalu bersamanya”, berkata kembali pendeta suci itu.

Dan semua mata tertuju kepada sang pendeta suci manakala terlihat pendeta suci itu berjalan mendekati watu Gegilang dimana Raden Wijaya tengah duduk diatasnya.

“Semoga air suci ini memberkatinya”, berkata Pendeta suci itu sambil mengguyurkan air suci dan kendi di tangannya.

Terdengar suara sorak sorai bergemuruh seluruh orang diatas alun-alun itu. Pemandian air suci itu adalah perlambang bahwa telah syah sempurna Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit, sebagai seorang yang berkuasa dan berdaulat memegang kendali kerajaannya, sebuah kerajaan yang pernah ada sebelumnya, Kerajaan Singasari jaya.

Terlihat semua orang maju ke depan memberikan ucapan selamat kepada putra baru yang terlahir kembali dengan nama Abhiseka Kertarajasa Jayawardana.

Demikianlah, upacara Abhiseka itu diakhiri dengan sebuah perjamuan besar, semua orang yang hadir diatas alun-alun itu terlihat penuh kegembiraan dan kebahagiaan.

“Terima kasih untuk semua kesetiaanmu”, berkata Raden Wijaya sambil memeluk erat sahabatnya Mahesa Amping.

“Terima kasih untuk keberadaanmu bersamaku selama ini”, berkata Raden Wijaya kepada Ranggalawe yang datang memberi ucapan selamat kepadanya.

“Ananda perlu banyak nasehat pamanda, terima kasih untuk doa dan restunya”, berkata pula Raden Wijaya kepada Jayakatwang yang datang mengucapkan  selamat dan restu kepadanya.

Sementara itu matahari diatas alun-alun bumi Majapahit terlihat mulai mendekati puncaknya. Terlihat sang surya seperti iri melihat sebuah keramaian diatas alun-alun tidak juga berakhir dibawah teriknya yang menyengat. Suasana kebahagiaan diatas alu-alun seperti tidak menghiraukan terik sengat matahari, semua merasa bahwa telah terlahir sebuah matahari baru, sang Surya yang menerangi hari-hari depan mereka, di pagi, siang dan malam mereka, dialah Raden Wijaya sang surya Majapahit.

“Janganlah hendaknya kamu menggangu, menyerang dan merebut Bumi Sunda karena telah diwariskan kepada Saudaramu bila kelak aku telah tiada. Sekalipun negaramu telah menjadi besar dan jaya serta sentosa, aku maklum akan keutamaan, keluar biasaan dan keperkasaan mu kelak sebagai raja besar. Ini adalah anugrah dari Yang Maha Agung dan menjadi suratanNya. Sudah selayaknya Kerajaan Jawa dengan Kerajaan Sunda saling membantu, bekerjasama dan saling mengasihi antara anggota keluarga. Karena itu janganlah beselisih dalam memerintah kerajaan masing-masing. Bila demikian akan menjadi keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna. Bila kerajaan Sunda mendapat kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya sungguh-sungguh memberikan bantuan ; demikian pula halnya Kerajaan Sunda kepada Majapahit”, berkata Prabu Guru Darmasiksa di tengah perjamuan upacara Abhiseka memberi nasehat kepada Raden Wijaya.

“Nasehat Eyang Prabu akan cucunda pusakai”, berkata Raden Wijaya dengan hati terharu.

Dan malam telah menyelimuti wajah bumi diatas Pasanggrahan Raden Wijaya. Terlihat beberapa ksatria Majapahit telah dipanggil oleh Raja baru mereka yang bergelar Abhiseka sebagai Raja Kertarajasa Jayawardana.

“Terima kasih untuk semua yang telah kalian berikan bagi berdirinya kerajaan Majapahit ini, sebuah perjuangan panjang telah kita lewati merebut dan mengembalikan pilar-pilar singgasana Singosari diatas bumi Majapahit ini”, berkata Raden Wijaya yang telah berganti nama sebagai Raja Kertarajasa Jayawardana kepada semua yang hadir diatas pendapanya.

“Aku masih memerlukan tenaga dan pikiran kalian guna mengendalikan jalannya roda pemerintahan yang luas ini”, berkata Raden Wijaya sambil menatap satu persatu sahabat seperjuangannya itu yang sudah dianggapnya sebagai saudaranya sendiri.

Hening suasana diatas pendapa Pasanggrahan Raden Wijaya, semua orang diatas pendapa itu seperti menunggu kata-demi kata dari Raden Wijaya, menunggu tugas yang diamanatkan kepada mereka, sebuah tugas baru yang mungkin lebih berat dibandingkan mengangkat senjata di peperangan.

“Aku hanya melanjutkan pendahuluku Sri Baginda Maharaja Kertanegara membangun singgasana diatas air yang telah terbangun lewat pembuatan armada besar jung Borobudur yang telah berlayar di barat dan timur  laut Tanah Jawa. Aku ingin bumi Majapahit sebagai sebuah surya baru yang menerangi daratan dan lautannya, menjaga dan melindungi daratan dan lautannya. Sebuah surya yang besar, sang surya Majapahit Raya”, berkata Raden Wijaya didengar penuh perhatian semua yang hadir diatas pendapa itu.

Kembali suasana diatas pendapa itu menjadi hening, semua mata seperti menunggu kata-kata dari Raden Wijaya, sebuah penantian yang menegangkan yang ingin mereka dengar langsung dari seorang penguasa baru di Tanah Jawa yang luas itu yang juga telah mengikat tali perdagangan jauh di timur dan barat laut luas. Dari Tanah Melayu sampai ke timur Tanah Gurun.

“Aku perlu seorang Mahapatih di Kerajaan Majapahit ini, yang akan membangun bumi Majapahit ini lebih besar dari Kotaraja Singosari, membangun istana Majapahit lebih megah dan lebih indah dari istana Singosari. Menjadi tangan dan kakiku, juga menjadi kepalaku menemani membangun sebuah Nagari besar di atas Kerajaan Majapahit Raya. Aku meminta Ki Sandikala bersedia mengabdi kepadaku sebagai seorang Mahapatih di Kerajaan Majapahit ini”, berkata Raden Wijaya sambil memandang kearah Ki Sandikala berharap penuh agar orang tua itu bersedia membantunya, menjadi Mahapatih nya.

“Sabda Paduka Sri Baginda Raja Kertarajasa Jayawardana adalah sebuah titah, semoga hamba tidak mengecewakan Paduka”, berkata Ki Sandikala sambil merangkapkan kedua tangannya diatas dada sebagai tanda kesediaannya.

“Aku perlu dua orang pejabat perdagangan di barat dan timur pelayaran perdagangan Majapahit, kupercayakan kepada Argalanang dan paman Kebo Arema ”

“Semoga hamba dapat menjalani titah Paduka”, berkata Argalanang dan Kebo Arema bersamaan.

Kembali suasana di pendapa itu menjadi hening. Beberapa orang terlihat menahan nafasnya, tegang.

“Aku perlu seorang duta perdagangan di Balidwipa dan sekitarnya sampai ke Sumbawa, kutunjuk Ranggalawe untuk melaksanakan tugas itu”, berkata Raden Wijaya kepada Ranggalawe.

“Semoga hamba dapat melaksanakan titah paduka”, berkata Ranggalawe penuh penghormatan.

“Kutunjuk Paman Putut Prastawa untuk mengatur urusan dalam rumah tangga istana”, berkata raden Wijaya kepada Putut Prastawa.

“Hamba hanya seorang putut yang biasa mengurus sebuah padepokan kecil, semoga hamba dapat melaksakan titah paduka”, berkata Putut Prastawa sambil merangkapkan kedua tangannya di dada sebagai tanda menerima tugas dan tanggung jawab itu.

“Aku perlu seorang panglima angkatan darat dan laut yang kuat, kupercayakan pucuk pimpinannya kepada senapati Mahesa Pukat untuk menjadi seorang Tumenggung yang mengendalikan kekuatan di darat dan lautan Majapahit”, berkata Raden Wijaya kepada Senapati Mahesa Pukat, seorang yang sangat setia pada masa kekuasaan Raja Kertanegara yang diharapkan  juga dapat setia dibawah kerajaan Majapahit Raya.

“Keberhasilan perjuangan kita tidak lepas dari para petugas telik sandi selama ini. Untuk itu kupercayakan pucuk pimpinan para petugas sandi itu kepada Gajah Pagon yang selama ini telah dapat menguasai jaringan para telik sandi itu dengan baik”, berkata raden Wijaya memandang kearah Gajah Pagon.

Terlihat semua mata di atas pendapa itu telah beralih kearah Gajah Pagon yang tidak berkata-kata apapun, mereka semua melihat dengan penuh ketegangan, melihat Gajah Pagon menarik nafas dalam-dalam seperti tengah menahan sebuah beban yang begitu berat. Semua mata masih nampak penuh ketegangan ketika Gajah Pagon mengangkat kepalanya sambil melepaskan nafasnya dalam-dalam.

“Ampun tuanku Paduka, bukan maksud hamba menolak budi jasa anugerah jabatan yang tuanku Paduka percayakan kepada hamba. Sudah banyak peperangan yang hamba jalani sebagai prajurit Singosari dan sebagai prajurit di bawah tuanku Paduka. Ijinkanlah hamba untuk kembali ke Tanah Pandakan, hamba hanya ingin mengabdi disana menggantikan kedudukan ayahanda kami yang sudah tua sebagai seorang ketua Padepokan Pandakan, sekaligus menjadi seorang petani disana”, berkata Gajah Pagon sambil merangkapkan kedua tangannya.

“Aku tidak akan memaksa kehendakku, juga kebulatan tekadmu untuk kembali ke tanah Pandakan wahai saudaraku. Demi kesetiaanmu kepada perjuangan dimasa-masa penuh kepahitan, aku akan memberikanmu Tanah Pandakan sebagai sebuah Tanah Perdikan”, berkata Raden Wijaya tidak merasa tersinggung atas tolakan Gajah Pagon, bahkan dengan penuh ketulusan hati memberikannya sebuah tanah perdikan.

“Budi Paduka tidak akan dapat kulupakan”, berkata  Gajah Pagon penuh rasa terima kasih.

Diam-diam Mahesa Amping mengakui jiwa besar kepemimpinan Raden Wijaya yang begitu cepat dan tanggap memberikan sebuah keputusan. Pemberian Tanah Perdikan kepada Gajah Pagon adalah perluasan kekuasaan dan kedaulatan Majapahit khususnya di Tanah Perdikan Pandakan. “Raden Wijaya telah menjadi seorang pemimpin yang sebenarnya”, berkata Mahesa Amping dalam hati.

Sementara itu Mahesa Amping merasa iri melihat kebulatan tekad Gajah Pagon, terbayang sebuah keinginan yang selama ini selalu menjadi mimpimimpinya, hanya sebuah mimpi menjadi seorang petani, jauh dari segala hiruk pikuk peperangan dan kekuasaan.“Apakah aku dapat berkata sesuai dengan keinginanku sebagaimana Gajah Pagon ?”, berkata Mahesa Amping dalam hati.

Suasana di pendapa itu seketika menjadi hening, semua orang diatas pendapa itu sepertinya menunggu titah dari Raden Wijaya.

“Aku yakin bahwa meskipun Pamandaku Jayakatwang telah merestui keberadaan Kerajaan Majapahit, masih banyak orang di Kotaraja Kediri yang masih bermimpi membangun kembali kekuasaan Kediri. Untuk itulah aku memerlukan seseorang yang dapat dipercaya mendinginkan suasana disana, merekatkan kembali hati mereka yang telah retak untuk bersatu membangun puing-puing kehancuran di Kotaraja Kediri. Untuk tugas seperti itu kupercayakan sepenuhnya kepada saudaraku Senapati Mahesa Amping, aku akan mengangkatnya sebagai patih di Kerajaan Kediri”, berkata Raden Wijaya sambil memandang kearah Senapati Mahesa Amping.

Terlihat Senapati Mahesa Amping tidak langsung menjawab, begitu berat hatinya untuk berkata apa yang ada dalam pikirannya selama ini.

Dan Senapati Mahesa Amping memang tidak sekuat Gajah Pagon, sudah terganjal didalam hatinya oleh sebuah janji untuk mengabdi sepanjang  hidupnya kepada Raden Wijaya sebagaimana telah diucapkan ikrar itu ketika dirinya mendapatkan kembang Wijaya Kusuma yang dipersembahkan kepada Raden Wijaya, sahabatnya yang telah mengikat diri sebagai seorang saudara.

Dan semua mata diatas pendapa itu masih tertuju  kepada senapati muda itu, seorang senapati muda yang telah mempunyai kesaktian begitu tinggi, seorang pemuda kepercayaan Raden Wijaya yang selama ini diakui kesetiannya.

“Begitu besar kepercayaan paduka kepada hamba, sehingga hamba tidak kuasa menolaknya. Semoga hamba dapat melaksanakan amanat kepercayaan itu dengan sebaik-baiknya”, hanya itu yang keluar dari mulut Senapati Mahesa Amping, tidak perkataan lain yang juga sudah ada didalam pikirannya, sebuah kehendak lain yang selama ini menjadi mimpi-mimpinya, mimpi untuk menjadi seorang petani biasa, jauh dari lingkaran kekuasaan di sebuah tempat yang tenang, di sebuah tempat yang damai menghabisi masa tuanya. “Terima kasih atas kesediaan kalian, terima kasih atas segala kesetiaan kalian berjuang di sampingku merasakan segala pahit dan kegetiran hidup dalam segala peperangan kita. Pekan depan aku akan siapkan kekancingan atas pengukuhan kalian “, berkata Raden Wijaya penuh rasa terima kasih bahwa semua yang ada diatas pendapa itu menerima semua titahnya.

Demikianlah, sebagaimana yang dikatakan oleh Raden Wijaya, masih di bulan Kartika di tahun itu telah dilaksanakan sebuah upacara besar diatas alun-alun, sebuah pengukuhan para pejabat istana dan juga pemberian hadiah kepada para sahabatnya atas kesetiaan mereka membantu perjuangannya mendirikan Kerajaan Majapahit.

Sekaligus dalam upacara kebesaran itu dilangsungkan juga sebuah perayaan yang cukup meriah karena Raden Wijaya telah menyunting Putri Gayatri sebagai seorang permaisuri Raja.

Sebagaimana di hari upacara Abhiseka Raja Majapahit, kemeriahan di atas alun-alun dalam  upacara pengukuhan pejabat istana serta upacara perayaan pernikahan Raden Wijaya itu juga sama meriahnya karena dihadiri juga oleh para undangan dari berbagai kalangan, para utusan kerajaan yang mengakui kedaulatan Majapahit, para bangsawan, para brahmana, pemuka agama dan para ketua padepokan dari berbagai daerah.

Dan semua yang ada di bumi Majapahit seperti kembali merayakan kemenangan mereka, menyambut kemeriahan di alun-alun dengan suasana penuh suka cita kebahagiaan.

Namun ketika semua orang merayakan upacara di alunalun dengan penuh suka cita. Ada seorang wanita yang merasa kecewa, terutama dengan pengangkatan Putri Gayatri sebagai seorang permaisuri Raja.

“Ayu Dara Petak adalah istri pertama dari Paduka Raja Kertarajasa, seharusnya Ayu Dara Petak tidak menerima keputusan itu”, berkata Dara Jingga kepada kakak kandungnya Dara Petak.

“Bila ditanya siapakah manusia yang paling sakit menerima keputusan itu ?, itulah aku. Ketika ditanya adakah wanita yang rela cintanya dibagi ?, pasti aku wanita pertama itu yang menolaknya. Tapi semua itu perasaan itu kukubur rapat-rapat, semua perasaan sakit itu telah kulupakan”, berkata Dara Petak dengan derai air mata penuh kesedihan.

“lalu apa yang membuat Ayu Dara Petak bertahan ?”, bertanya Dara Jingga kepada Dara Jingga

“Semua demi Jayanagara, putraku”, berkata Dara Petak perlahan.

“Paduka Raja Kertarajasa telah berjanji untuk mengangkat Jayanagara sebagai putra Mahkota”, berkata kembali Dara Petak.

Mendengar perkataan Dara Petak, terlihat Dara Jingga tidak bertanya lagi. Nampaknya dapat menerima pandangan kakaknya Dara Petak yang dengan ikhlas menerima dirinya hanya sebagai seorang istri biasa, bukan sebagai seorang permaisuri raja.

“Tapi bagaimana dengan sikap Putri Gayatri sendiri, apakah dirinya akan menerima seorang putra mahkota yang bukan dari rahimnya sendiri ?”, bertanya Dara Jingga

“janji Raja Kertarajasa adalah sebuah janji yang kupercaya. Dan aku yakin Baginda adalah seorang pemegang janji”, berkata Dara Petak menjawab pertanyaan dan keraguan Dara Jingga.

“Semoga Baginda Raja Kertarajasa dapat memenuhi janjinya”, berkata Dara Jingga kepada Dara Petak.

“Kapan adik Dara Jingga berangkat ke Kotaraja Kediri ?, bertanya Dara Petak sepertinya ingin mengalihkan pembicaraan yang lain, seperti ingin melepas perasaan hatinya sendiri sebagaimana seorang wanita pada umumnya yang tidak rela dibagi cintanya.

“Dalam waktu dekat ini kami akan berangkat”, berkata Dara Jingga menatap dara Jingga seperti mengetahui apa yang ada dalam hati dan perasaan kakaknya itu.

“Aku akan merindukan kalian”, berkata Dara Petak dengan sebuah senyum yang dipaksakan.

“Aku juga akan merindukan Ayu Dara Petak ”, berkata Dara Jingga sambil memeluk kakaknya merasa seakanakan mereka akan berpisah jauh hari itu juga.

Dan bumi pun terus berputar meniti jembatan waktu, hari dan bulan. Dan tidak terasa bahwa lima tahun sudah berlalu. Sudah lima kali dilaksanakan hari Raya Galungan di Kotaraja Majapahit.

Dan suasana diatas bumi Majapahit sudah tidak seperti lima tahun yang lalu, semua telah berubah seiring waktu berjalan. Bumi Majapahit bukan lagi sebuah tempat tertutup persembunyian sebuah kekuatan para ksatria di hutan Maja, bumi Majapahit sekarang telah terbuka menjadi sebuah Kotaraja yang sangat ramai dikunjungi para saudagar dari segala penjuru dunia. Mahapatih Sandikala telah merubah istana Majapahit menjadi lebih indah dan lebih megah dari istana yang pernah ada di jamannya.

Sepanjang jalan utama Kotaraja Majapahit setiap hari begitu ramai dipenuhi pedati para saudagar membawa barang dagangannya, juga kereta kencana milik para bangsawan dan para pembesar Majapahit hilir mudik melewati deretan gedung-gedung rumah berpilar tinggi dari kayu unggulan berukir begitu elok menambah kecantikan dan keasrian wajah Kotaraja Majapahit  seperti wajah gadis-gadis belasan yang tersenyum manja. Begitu elok suasana kehidupan dan keramaian Kotaraja Majapahit pada saat itu.

Dan pagi itu adalah hari manis Galungan, satu hari setelah hari Raya Galungan dimana para warga Kotaraja tengah melaksanakan darma santi dengan melaksanakan anjangsana saling mengunjungi sesama keluarga, saudara dan kerabat terdekat.

Dan malam itu diatas Tanah Ujung Galuh, terdengar suara seruling yang merdu terdengar sayup mendayu dayu.

Ternyata suara seruling itu berasal dari sebuah puri yang indah diatas sebuah tanah gumuk di Tanah ujung Galuh, puri tempat kediaman Jayakatwang dan istrinya Turuk Bali.

Apakah Jayakatwang yang meniup suara seruling itu ?, ternyata bukan Jayakatwang, tapi seorang pemuda yang sangat rupawan diatas pendapa disaksikan oleh dua orang lelaki dan seorang wanita Puri Jayakatwang.

Wajah pemuda itu memang tidak seperti wajah para pemuda pribumi kebanyakan, terlihat dari bola matanya yang lebih lebar menyempit di ujungnya. Juga kulit pemuda itu lebih bersih dan lebih kuning dari seorang putri bangsawan pribumi sekalipun. Ternyata pemuda itu adalah Gajahmada.

Setelah penobatan senapati Mahesa Amping menjadi patih di Kediri, maka patih Mahesa Amping telah memboyong keluarganya, Dara Jingga dan Adityawarman ke Kotaraja Kediri.

Sepeninggal Patih Mahesa Amping ditempat tugas barunya di Kotaraja Kediri, suasana di Pasanggrahan Mahesa Amping menjadi lebih sepi lagi karena Nyi Nariratih harus banyak diluar rumah karena tugas kemanusiaannya membangun dan membina sebuah pasukan khusus para wanita di bumi Majapahit, sebuah pasukan srikandi Majapahit yang sangat kuat dan sangat disegani karena kekuatan mereka dapat diandalkan sebagaimana para prajurit lelaki di kesatuannya.

Sementara itu Putu Risang telah diangkat sebagai guru pribadi Pangeran Jayanagara dan tinggal di Istana Majapahit bersama istrinya Endang Trinil, seorang gadis cantik jelita putri kemenakan Mahapatih Sandikala.

Dan selama lima tahun itu Pangeran Jayanagara dan Gajahmada telah terjalin menjadi dua orang sahabat yang sangat sukar dipisahkan. Mereka berlatih bersama dibawah pengawasan dan pembinaan Putu Risang yang telah diangkat secara resmi menjadi Guru di Istana. Berkat gemblengan Putu Risang, kedua pemuda itu telah memiliki kemampuan kanuragan yang sangat hebat dibandingkan dengan pemuda seusianya.

Dan kedekatan Pendeta Gunakara dengan Jayakatwang telah membawa Gajahmada untuk bersama-sama tinggal di Puri Tanah Ujung Galuh itu.

Hari-hari dijalani Gajahmada hidup bersama di kediaman Puri Jayakatwang. Dan sepasang suami istri mantan penguasa Tanah Jawa itu merasa gembira dengan kehadiran Pendeta Gunakara dan Gajahmada di puri mereka di tanah Ujung Galuh.

“kamu sudah dapat membawakan suara seruling tembang hina kelana dengan baik, sebuah tembang gubahan aku dan Prabu Guru Darmasiksa”, berkata Jayakatwang kepada Gajahmada yang sudah mengakhiri suara serulingnya.

“Terima kasih, kepandaian pamanda jauh melebihi suara seruling ananda”, berkata Gajahmada dengan penuh penghormatan.

“Sayang tidak ada seorang pun disini yang dapat memainkan sebuah kecapi dengan penuh perasaan hati selain Prabu Guru Darmasiksa”, berkata Jayakatwang mengingat kembali perjumpaan mereka dengan Prabu Guru Darmasiksa beberapa tahun yang telah lewat yang telah mengikat mereka menjadi dua orang sahabat dan bersama mencipta sebuah tembang yang mereka beri nama sebagai tembang kenangan hina kelana sebagaimana telah disuarakan lewat sebuah seruling oleh Gajahmada.

“Bukankah tuan Jayakatwang telah berjanji untuk datang mengunjungi Prabu Guru Darmasiksa di Tanah Pasundan ?”, berkata Pendeta Gunakara kepada Jayakatwang.

“Benar, kami telah berjanji untuk saling mengunjungi”, berkata Jayakatwang kepada Pendeta Gunakara.

“Pangeran Jayanagara pernah juga mengatakan kepadaku untuk suatu waktu datang ke Tanah leluhurnya, Tanah Pasundan”, berkata Gajahmada kepada Jayakatwang mengenai keinginan yang sama sahabatnya, Pangeran Jayanagara. “Kita dapat mengajak Pangeran Jayanagara datang ke Tanah Pasundan”, berkata Turuk Bali ikut berbicara diatas pendapa Puri Jayakatwang.

“Besok aku akan menghadap kepada Baginda Raja Kertarajasa meminta ijin darinya untuk  datang berkunjung ke Tanah Pasundan”, berkata Jayakatwang penuh rasa kegembiraan.

“Semoga Paduka Raja berkenan juga melepas Pangeran Jayanagara ikut bersama kita”, berkata Gajahmada menyambung perkataan Jayakatwang.

“Semoga Nyi Nariratih dapat juga mengijinkan dirimu pergi jauh ke Tanah Pasundan”, berkata Pendeta Gunakara mengingatkan Gajahmada untuk meminta ijin kepada ibundanya, Nyi Nariratih.

Pagi itu matahari telah bersinar begitu cerah, terlihat empat orang telah memasuki gerbang timur Kotaraja Majapahit.

Mereka adalah Jayakatwang, Turuk Bali, Gajahmada dan Pendeta Gunakara yang akan berkunjung ke Istana Majapahit, disamping sebuah kebiasaan sebagai sebuah keluarga setelah hari raya Galungan untuk saling datang berkunjung, mereka juga berniat untuk minta ijin kepada Raja Kertarajasa untuk berangkat ke Tanah Pasundan.

“Mahapatih Sandikala telah merancang Kotaraja Majapahit dengan baik”, berkata Jayakatwang ketika mereka telah memasuki jalan utama Kotaraja Majapahit melihat beberapa bangunan rumah yang berjajar begitu rapih mengikuti garis sepadan jalan.

“Lihatlah, hampir setiap rumah meletakkan gentong air di depan regol pintu mereka”, berkata Pendeta Gunakara.

“Aku seperti iri melihat jiwa kerukunan orang-orang di Kotaraja Majapahit ini. Gentong air itu sebagai pertanda keterbukaan mereka kepada siapapun yang datang dan lewat didepan rumah mereka.

Sebuah pemandangan baru yang tidak ada di Kotaraja Kediri ketika aku masih berkuasa”, berkata Jayakatwang memuji suasana kerukunan hidup di Kotaraja Majapahit.

Semakin mereka masuk ke pusat Kotaraja Majapahit, keadaan semakin ramai oleh hiruk pikuk beberapa pedati para pedagang dan para pejalan kaki, mungkin hendak ke pasar atau berkunjung seperti mereka kepada kerabat atau saudaranya di hari manis Galungan itu. 

“Aku akan mengantar Mahesa Muksa bertemu dengan ibundanya Nyi Nariratih, apakah tuan Jayakatwang ingin singgah juga?”, berkata Pendeta Gunakara ketika mereka telah berada di muka sebuah barak prajurit.

“Kami berdua akan singgah di barak ini, tapi setelah kunjungan kami ke istana”, berkata Jayakatwang kepada Pendeta Gunakara meminta untuk menunggu mereka berdua di barak prajurit itu.

Demikianlah, mereka berempat berpisah di muka barak prajurit itu, Jayakatwang dan istrinya akan ke istana menemui Raja Kertarajasa. Dan Pendeta Gunakara bersama Gajahmada telah memasuki gerbang regol barak prajurit. Sebuah barak prajurit khusus pasukan Srikandi, sebuah nama pasukan prajurit wanita yang hanya ada di Kerajaan Majapahit pada jaman itu.

“Aku akan memanggil Nyi Rangga Nariratih”, berkata seorang prajurit wanita yang sudah mengenal Gajahmada putra dari pimpinan mereka Nyi Rangga Nariratih.

“Terima kasih”, berkata Pendeta Gunakara kepada prajurit wanita itu di sebuah ruangan yang khusus untuk menerima para tamu di barak prajurit Srikandi itu.

Prajurit wanita itu pun sudah menghilang di balik pintu ruang khusus tamu itu.

Maka tidak lama berselang, terlihat Nyi Rangga Nariratih telah datang menemui mereka berdua.

“Baru saja aku akan ke Tanah Ujung Galuh untuk mengunjungi kalian”, berkata Nyi Rangga Nariratih kepada Gajahmada dan Pendeta Gunakara.

“Waktu kami lebih senggang daripada Nyi Rangga Nariratih”, berkata Pendeta Gunakara kepada Nyi Rangga Nariratih yang sejak tinggal di Puri Tanah Ujung Galuh jarang sekali bertemu muka. Sementara Gajahmada hampir setiap hari menyempatkan waktunya mengunjungi ibundanya di barak itu setelah berlatih di sanggar istana bersama Pangeran Jayanagara.

Akhirnya setelah menanyakan keadaan dan keselamatan masing-masing, pendeta Gunakara menyampaikan rencana mereka berkunjung ke Tanah Pasundan.

“Perjalanan ke Tanah Pasundan sangat jauh, aku akan merindukan kalian”, berkata Nyi Rangga Nariratih.

“Sebuah perjalanan baru dari Mahesa Muksa mengenal dunia yang lebih luas”, berkata Pendeta Gunakara.

“Kutitipkan putraku ini yang nakal”, berkata Nyi Nariratih sambil tersenyum kepada Pendeta Gunakara yang diketahui begitu sayangnya pendeta itu kepada Gajahmada sebagaimana dirinya. Itulah sebabnya tidak ada kekhawatiran apapun melepas Gajahmada pergi ke Tanah Pasundan agar dapat menambah wawasan dan pengalaman diri bagi masa depannya sendiri.

Diam-diam Nyi Nariratih merasa bersyukur bahwa putranya berada dilingkungan orang-orang hebat. Mendapat bimbingan olah kanuragan dari seorang guru yang hebat, Putu Risang bersama  Pangeran Jayanagara. Mendapat bimbingan olah kejiwaan dari seorang pendeta Gunakara. Juga selama tinggal di Tanah Ujung Galuh telah banyak mengenal pengetahuan tentang ketata negaraan lewat seorang Jayakatwang, seorang Maharaja Besar yang pernah berkuasa di Tanah Jawa itu.

“Bawalah bersamamu senjata cakra ini, semoga hati ibundamu selalu ada dalam ingatanmu”, berkata Nyi Rangga Nariratih kepada Gajahmada sambil menyerahkan sebuah cakra kepada Gajahmada.

Terlihat Gajahmada menerima senjata cakra dari tangan ibundanya, sebuah senjata lingkaran bergerigi dengan sebuah tangkai untuk memegangnya. Bukan main gembiranya hati Gajahmada, ketika berlatih di sanggar istana telah banyak mengenal berbagai jenis senjata. Dan senjata cakra inilah yang dianggapnya sangat sempurna, seperti penggabungan dari berbagai jenis senjata. Namun senjata cakra milik Nyi Rangga Nariratih tidak terlalu besar, jadi dapat disembunyikan di balik pakaiannya.

“Terima kasih ibunda”, berkata Gajahmada penuh rasa terimakasih.

Sebagaimana seorang ibu kepada anaknya yang akan pergi jauh, banyak pesan dan nasehat diberikan Nyi Rangga Nariratih kepada putranya Gajahmada.

Dan suasana ruang tamu di barak pasukan Srikandi terasa menjadi lebih ramai lagi manakala Jayakatwang dan istrinya Turuk Bali telah datang.

“Baginda Raja Kertarajasa telah berkenan mengijinkan keberangkatan kita ke Tanah Pasundan, bahkan telah mengusulkan putranya Pangeran Jayanagara dan Putu Risang untuk ikut bersama”, berkata Jayakatwang memberi kabar tentang pertemuan mereka di istana dengan Raja Kertarajasa.

Dan pagi itu awan putih telah memenuhi cakrawala langit biru seperti kapas di hamparan permadani biru yang luas berarak ditiup angin timur. Terlihat tiga ekor elang laut melintas terbang menuju laut lepas di atas tiang-tiang layar perahu dagang yang tengah merapat di Dermaga Bandar Tanah Ujung Galuh.

Tidak begitu jauh dari Bandar Tanah Ujung terlihat sebuah puri yang berdiri begitu indah seperti sebuah menara api bila dilihat dari arah laut lepas. Itulah puri Jayakatwang yang menjadi tempat kediamannya bersama istri tercintanya Turuk Bali. Di puri indah itu pula Jayakatwang mengisi hari tuanya sebagai seorang begawan yang melahirkan banyak tembang jiwa, menulis banyak karya sastra jiwa yang indah bersama istri tercintanya yang setia menemani dan mendampinginya.

Dan pagi itu terlihat dua orang lelaki telah memasuki halaman muka puri itu, ternyata adalah Pangeran Jayanagara bersama gurunya, Putu Risang.

“Keindahan pagi ini menjadi sempurna dengan kedatangan kalian berdua”, berkata Jayakatwang menyambut kedatangan Pangeran Jayanagara dan Putu Risang ketika mereka tengah naik diatas tangga  pendapa puri itu.

“Semoga darma kita langgeng sampai datang Hari Galungan tahun depan”, berkata Putu Risang mewakili Pangeran Jayanagara ketika telah berada diatas pendapa puri Jayakatwang. Gajahmada dan Pendeta Gunakara yang berada diatas pendapa itu juga menyambut kedatangan Pangeran Jayanagara dan Putu Risang.

“Baginda Raja Kertarajasa telah meminta Rakyan Argalanang mendampingi pelayaran kita sampai ke bandar Muara Jati”, berkata Putu Risang mengawali pembicaraan mereka yang akan berangkat besok menuju Tanah Pasundan.

“Begitu besar perhatian Baginda Raja, sampai mengutus seorang pejabat istana”, berkata Jayakatwang penuh kegembiraan mendengar perhatian Raja Kertarajasa begitu besar menyiapkan keberangkatan mereka ke Tanah Pasundan.

“Keberangkatan kita adalah kunjungan kekeluargaan antara keluarga Majapahit dan keluarga Pasundan. Itulah sebabnya Baginda Raja Kertarajasa telah menyiapkan segalanya, memastikan kita akan sampai di tujuan dengan selamat”, berkata Putu Risang

“Benar, keluarga Majapahit dan Keluarga Pasundan adalah dua suadara penguasa di Tanah Jawa ini. Tali persaudaraan itu harus terus terjalin, saling menjaga, saling asah, asih dan asuh, itulah pesan Eyang buyut Prabu Guru Darmasiksa kepada kita”, berkata Pangeran Jayanagara.

“Gusti Yang Maha Agung telah mengaruniakan keturunan Prabu Guru Darmasiksa seperti sang surya yang bersinar dari timur dan barat. Mengikat seperti tali sutra yang halus lewat pernikahan putra putrinya, berbesan dengan Raja tanah Melayu dan Raja Singasari”, berkata Jayakatwang

“Mengikat tali perdamaian, itulah cita-cita luhur Prabu Guru Darmasiksa untuk semua keturunannya”, berkata pendeta Gunakara setelah lama berdiam diri.“Sebuah cita-cita yang begitu mulia yang harus kita jaga dan lestarikan bersama”, berkata kembali pendeta Gunakara.

“Damai di hati, damai di bumi”, berkata Jayakatwang perlahan.

(TAMAT)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar