Tapak-tapak Jejak Gajahmada Jilid 20

 “Ini adalah tanda persahabatan kita, kami akan membawa hadiah lebih banyak lagi setelah tuan membawa beberapa perahu kayu kepada kami”, berkata Magucin kepada orang yang dituakan itu.

“Sepekan ini aku akan memberi kabar kepada kalian”, berkata orang yang dituakan itu kepada Magucin penuh kegembiraan.

Demikianlah, pada keesokan harinya orang yang dituakan di daratan kecil itu telah memerintahkan beberapa orangnya menyeberang ke daratan besar Nusa Madhura mencari beberapa perahu kayu. Perahu kayu yang dipesan Magucin adalah sebuah perahu dagang yang cukup besar

“Aku akan berangkat pertama, bersama beberapa perahu kayu yang paling awal datang”, berkata Panglima Ike Mese setelah menerima laporan dari Magucin.

Dan hari itu di sebuah perkampungan pinggiran pantai di daratan timur Madhura matahari sudah bergeser ke barat, hari sudah mulai mendekati senja. Para penduduk di perkampungan itu sebagian besar adalah para pembuat perahu kayu yang biasa menerima banyak pesanan dari berbagai nagari di jaman itu.

“Kita harus menyamar sebagai seorang saudagar besar yang datang ingin membeli perahu kayu”, berkata Putu Risang kepada Mabujang yang tengah berjalan ke perkampungan para pembuat perahu kayu di sore itu. Mereka berdua telah berpisah dengan kelompok mereka yang sudah terpencar ke beberapa tempat mencari berita tentang pasukan asing.

“Aku dapat memerankan sebagai seorang saudagar”, berkata Mabujang sambil membusungkan dadanya bergaya sebagai seorang saudagar sungguhan.

“Kulihat kamu memang pantas sebagai seorang saudagar sungguhan”, berkata Putu Risang sambil tersenyum melihat gaya Mabujang yang bergaya sebagai seorang saudagar sungguhan.

Demikianlah, di sore itu Putu Risang dan Mabujang telah memasuki perkampungan itu, mendekati sebuah tempat pembuatan perahu kayu.

“Maaf, junjungan kami telah menjual perahu ini”, berkata seorang lelaki pekerja kepada Mabujang dan Putu Risang yang menyamar sebagai seorang saudagar yang hendak membeli sebuah perahu.

“Siapa yang sudah memesan perahu ini”, bertanya Putu Risang kepada lelaki pekerja itu.

“Orang kaya dari Nusa Sapudi, bahkan kudengar mereka juga sudah memesan beberapa perahu kayu di semua galangan di sepanjang pesisir ini”, berkata lelaki pekerja itu kepada Putu Risang tanpa bercuriga sama sekali.

Demikianlah, Mabujang dan Putu Risang telah kembali ke sebuah tempat tersembunyi bersama kelompoknya sekitar hutan tidak jauh dari pantai Songinep berjumlah sekitar dua puluh orang. Sebagaimana Putu Risang dan Mabujang, kawan-kawan mereka juga telah mendapatkan berita yang sama dengan berbagai cara masing-masing.

“Malam ini aku akan menyusup ke Nusa Sapudi”, berkata Putu Risang kepada kawan-kawannya itu.

“Aku akan mengantarmu, aku pernah datang ke daratan kecil itu”, berkata salah seorang kawannya, seorang lelaki asli Madhura.

“Terima kasih”, berkata Putu Risang kepada kawannya itu.

“Mungkin aku dapat dibutuhkan disana”, berkata Mabujang menawarkan dirinya ikut bersama.

“Baiklah, kita hanya memastikan bahwa pasukan asing itulah yang saat ini berada di Nusa Sapudi tengah membutuhkan beberapa perahu kayu untuk mengelabui mata kita”, berkata Putu Risang.

Demikianlah, ketika malam bergelayut menutupi langit purba terlihat sebuah perahu bercadik tengah terapung diatas laut sunyi menuju sebuah daratan kecil di seberang pantai Songinep.

Jarak daratan kecil Nusa Sapudi memang tidak begitu jauh dari pantai Sunginep, terhalang gelap malam yang tersamar, perahu bercadik Putu Risang telah merapat di sebuah pantai Nusa Sapudi.

“Kalian pasti bukan penghuni daratan ini, kalian kami tangkap”, berkata seorang dari sekitar lima puluh orang asing yang ternyata sudah berada disekitar mereka bertiga.

“Kami memang bukan penghuni daratan ini, setahuku tidak ada larangan siapapun boleh merapat di pantai ini”, berkata kawan Putu Risang, seorang asli Madhura.

“Sejak saat ini tidak boleh seorang pun keluar masuk daerah ini tanpa seijin kami”, berkata salah satu dari mereka.

Terlihat Putu Risang menyentuh lengan kawannya itu, memberi tanda untuk mengikuti keinginan para prajurit asing itu.

Maka tanpa perlawanan apapun, Putu Risang dan kedua kawannya digelandang ke barak-barak darurat mereka yang sudah dibangun di sekitar pantai Nusa Sapudi.

“Jangan coba-coba melarikan diri”, berkata seorang prajurit asing itu yang memasukkan Putu Risang bersama kedua kawannya itu ke sebuah barak tahanan dengan tangan dan kaki terikat.

Keadaan didalam barak itu memang begitu gelap, tidak ada pelita apapun. Untungnya cahaya bulan diatas langit nusa Sapudi sedikit memberi cahaya.

Setelah membiasakan mata didalam barak itu, akhirnya Putu Risang dapat meraba dengan pandangannya melihat keadaan dan suasana didalam barak tahanan itu.

“Anak muda, apakah malam ini kamu datang kembali membawa pesan dari Raden Wijaya?”, terdengar suara seorang wanita dimana Putu Risang sangat mengenal pemilik suara itu.

“Tuanku Ratu Turuk Bali?”, berkata Putu Risang melihat wajah seorang wanita tersenyum ke arahnya.

Ternyata mata Putu Risang sudah dapat melihat jelas di dalam barak tahanan itu, bukan main gembiranya hati Putu Risang bahwa didalam barak tahanan itu dapat bertemu kembali dengan Ratu Turuk Bali. Bukan hanya wanita itu saja, juga seorang lelaki setengah baya berada di sisi ratu Turuk Bali.

“Apakah hamba berhadapan dengan Tuanku Raja Jayakatwang?”, bertanya Putu Risang kepada seorang lelaki di sisi Ratu Turuk Bali.

“Benar, ki sanak telah berhadapan dengannya. Hanya seorang lelaki biasa yang tidak punya kekuasaan apapun”, berkata lelaki itu dengan wajah terlihat penuh kepasrahan diri yang ternyata benar adalah Raja Jayakatwang.

“Panggil kami dengan sebutan paman dan bibi wahai anak muda”, berkata Ratu Turuk Bali penuh senyum kepada Putu Risang.

Putu Risang terdiam, memandang kedua suami istri dihadapannya, dua orang bangsawan yang punya kekuasaan begitu tinggi di Jawadwipa kini berada didalam barak tahanan bersamanya. Di dalam sebuah barak kotor yang tidak beralas apapun selain pasir putih pantai yang lembab. Kedua suami istri itu nampak begitu mesra, seperti tidak menghiraukan keadaan mereka. Mereka seperti pasrah diri kemanapun dibawa oleh para prajurit asing. Mereka seperti tidak memikirkan apapun.

Putu Risang masih terdiam, matanya terlihat berkeliling seperti tengah meraba kain tebal barak itu yang mengurung keberadaan mereka di Nusa Sapudi.

“Kita harus keluar dari sini, tapi aku belum menemukan sebuah cara”, berkata Putu Risang kepada kedua kawannya.

“Apakah kamu akan melepaskan ikatanmu dan keluar barak ini bertempur habis-habisan?”, bertanya Mabujang kepada Putu Risang yang sudah tahu kesaktian ilmu anak muda itu.

“Aku memang dapat bertempur menghadapi mereka, tapi semua itu tidak cukup untuk menyelamatkan diri kita keluar dari sini”, berkata Putu Risang merasa kurang yakin dapat menyelamatkan diri mereka, apalagi harus membawa pergi Raja dan Ratu Kediri itu. Dengan kepandaiannya mungkin Putu Risang dapat menyelamatkan diri, tapi bagaimana mungkin kedua tangannya dapat membawa mereka sambil bertempur?, berpikir Putu Risang dalam hati.

“Seandainya saja aku dapat membuat sebuah aji sirep yang kuat, aku akan melakukannya membuat tidur  semua prajurit asing itu dan kita dapat keluar pergi kembali ke Jawadwipa dengan selamat tanpa susah payah” berkata Mabujang sambil tersenyum pasrah, pikirannya memang telah buntu saat itu tidak tahu lagi dengan cara apa dapat meloloskan diri.

“Teruslah berandai-andai”, berkata Putu Risang sambil tersenyum melihat mata Mabujang yang terus berputarputar seperti tengah mencari-cari dengan pikirannya di atap langit-langit barak tenda itu.

“Seandainya aku punya sebuah kesaktian yang tinggi dapat menurunkan kabut tebal menutup pandangan para prajurit asing itu”, berkata kembali Mabujang sambil matanya masih berputar-putar.

Itulah kata-kata terakhir yang terdengar didalam barak tahanan itu, setelah itu keadaan menjadi begitu hening. Semua kepala di dalam barak tahanan itu mungkin tengah ada dalam alam bayangan dan pikiran mereka masing-masing.

Cukup lama keheningan itu berlangsung hingga akhirnya terpecahkan oleh sebuah kata-kata yang keluar  dari lelaki kawan mereka yang ikut mengantar mereka ke Nusa Sapudi, orang asli Madhura.

“Aku memang tidak punya kesaktian untuk membuat kabut, tapi aku pernah membuat sebuah gendam yang kuat menidurkan orang sekampungku”, berkata lelaki itu perlahan dan datar.

“Kamu punya ajian sirep perasuk sukma?”, berkata Mabujang tidak percaya kepada kawannya itu dengan bola mata seperti keluar memandang kawannya itu.

“Aku mewarisi ilmu itu secara turun temurun”, berkata lelaki itu kepada Mabujang sambil mengangguk perlahan.

“Tapi kamu dapat menjadi korban ditinggal sendiri di barak tahanan ini”, berkata Mabujang tidak sampai hati meninggalkan kawannya itu.

“Aku rela jadi bebanten demi dapat membawa Raja dan Ratu Kediri kembali ke Jawadwipa”, berkata lelaki itu dengan wajah pasrah dan kesungguhan hati.

“Ki sanak semua, aku merasa terharu bahwa ternyata kalian punya kepedulian yang begitu tinggi atas diri kami disaat selembar diri kami sudah tidak punya arti apapun”, berkata Raja Jayakatwang merasa terharu melihat sikap Putu Risang dan kedua kawannya itu.

Kembali suasana di dalam barak tahanan menjadi begitu sunyi, masing-masing telah berada di alam pikirannya sendiri-sendiri.

Tiba-tiba saja keheningan seperti terpecahkan ketika sebuah kata keluar dari mulut Putu Risang, perlahan, datar tapi begitu meyakinkan.

“Tidak ada yang menjadi banten disini, mudah-mudahan aku dapat membuat sebuah kabut menutupi semua penglihatan para prajurit asing disini”, berkata Putu Risang sambil merinci bagaimana mereka dapat pergi meloloskan diri.

“Tidak kusangka, khayalanku menjadi kesampaian meski dua kesaktian itu bukan berasal dariku”, berkata Mabujang penuh kegembiraan setelah mendengar tutur Putu Risang merinci bagaimana mereka dapat lolos keluar dari barak tahanan itu.

“Tubuh kita semua dalam keadaan terikat, aku tidak dapat melepas gendamku dalam keadaan seperti ini”, berkata lelaki dari Madhura itu.

“Aku dapat melepas ikatan ini”, berkata Putu Risang sambil menghentakkan tenaga saktinya.

Bukan main terkejutnya Mabujang melihat kekuatan tenaga sakti Putu Risang. Mabujang dengan mata kepala sendiri menyaksikan tali ikatan ditangan Putu Risang terputus.

Mata Mabujang masih terbelalak ketika dengan cepat pula Putu Risang membuka ikatan kakinya dan langsung membuka ikatan tali yang mengikat di kedua tangan dan kaki Mabujang.

“Bantu aku melepas ikatannya, aku akan membuka ikatan tali Raja dan Ratu.”, berkata Putu Risang kepada Mabujang setelah membuka ikatan kaki dan tangannya.

Maka dalam waktu cepat mereka semua sudah terlepas dari ikatan di dalam barak tahanan itu.

Sementara itu langit malam diatas Nusa Sapudi terlihat mendung, wajah rembulan robek terpotong awan hitam. Beberapa prajurit asing terlihat masih berjaga-jaga di hampir setiap pintu barak mereka. Ada beberapa orang terlihat kadang berkeliling meronda dan memastikan keadaan disekitar barak-barak mereka.

Namun perlahan suasana malam yang dingin di sekitar barak-barak prajurit asing itu menjadi terasa semakin dingin dan senyap. Angin yang berhembus perlahan bersama suara ombak di pantai seperti irama alam yang begitu damai membisiki hati dan sukma untuk diam sejenak memejamkan mata dan pikiran, mengosongkan segala perasaan demi mendengar suara hati yang lirih berbisik untuk segera tidur.

Ternyata suasana yang begitu senyap itu bukan sebuah kebetulan. Lelaki orang Madhura kawan Putu Risang dan Mabujang itu telah melepas ajian sirep perasuk sukmanya.

Dampak gendam ilmu ajian sirep pelepas sukma itu ternyata begitu kuat.

Terlihat dua orang prajurit di depan barak tahanan sudah mulai duduk tidak kuat menahan rasa kantuk mereka. Dan tidak lama kemudian tidak disadari sama sekali, mereka sudah tertidur dalam keadaan terduduk bersandar lutut mereka sembari menelungkup.

Sementara itu, di beberapa tempat para peronda juga terlihat tertidur di sekitar perapian mereka. Ternyata hawa kantuk yang kuat telah menyerang mereka. Juga menyerang semua orang di dalam barak-barak prajurit asing itu yang memang sudah sejak awal malam sudah beristirahat, dan hawa gendam sudah membuat mereka lebih pulas lagi, tertidur nyenyak dibuai hawa senyap sepi dan dingin sejuk angin yang berhembus lebih terasa menyejukkan karena diiringi ajian ilmu pelepas sukma yang kuat, sebuah gendam yang memang sangat kuat yang telah dilepas oleh orang Madhura kawan Putu Risang dan Mabujang dari barak tahanan..

Langit malam diatas Nusa Sapudi begitu kelam memayungi pantai pasir. Angin dan suara debur ombak seperti suara irama malam di pantai Nusa Sapudi mengiringi kesenyapan suasana malam yang begitu menyekap. Dan terlihat tiga bayangan berendap-endap perlahan meninggalkan barak-barak prajurit asing itu menuju ke sebuah tempat yang tidak begitu jauh dari mereka di sekitar pantai Nusa Sapudi.

Ternyata ketiga bayangan itu adalah Mabujang bersama Ratu dan Raja Kediri yang sudah keluar dari barak tahanan menuju ke perahu bercadik yang masih ada ditempatnya sebagaimana ditinggalkan oleh mereka

“Kabut mulai turun menutupi pandangan”, berkata Mabujang dalam hati dengan mata terbelalak melihat kabut putih halus menutupi Nusa Sapudi yang semakin lama menjadi semakin tebal menutupi jarak pandang.”Anak muda itu telah melepas kesaktian ilmunya”, berkata kembali dalam hati merasa bangga bahwa Putu Risang memang dapat diandalkan, punya kekuatan ilmu sakti yang dapat membuat kabut putih menutupi pandangan mata.

“Mereka pasti tengah keluar dari barak tahanan”, berkata Mabujang kepada Raja dan Ratu Kediri agar mereka bersiap diri naik keatas perahu pergi jauh meninggalkan pantai nusa Sapudi secepatnya.

Sebagaimana yang ada dalam pikiran Mabujang, terlihat keluar dari kabut putih yang tebal dua bayangan menghampiri mereka. Ternyata mereka adalah Putu Risang dan kawannya.

“Mari kita cepat berangkat sebelum kabut menghilang”, berkata Putu Risang sambil mendorong perahu bercadik bersama Mabujang dimana Raja dan Ratu Kediri sudah ada bersama kawan mereka diatas perahu bercadik itu.

Maka dalam waktu yang begitu singkat perahu bercadik itu sudah berada di dasar pantai lebih dalam, dan telah melaju semakin menjauhi bibir pantai yang masih berkabut tipis di malam yang sepi itu.

Angin darat terlihat begitu perkasa berhembus menggelembungkan kain layar perahu bercadik yang meluncur laju diatas permukaan laut sunyi di malam itu.

“Bintang paku itu adalah arah kemudi layar kita”, berkata kawan Madhura itu sambil tangannya menunjuk ke arah sebuah jajaran bintang yang berkedip diatas langit diatas lautan yang luas gelap sepanjang mata memandang.

“Pantai Sunginep”, berkata Mabujang penuh kegembiraan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Mabujang, sebuah gundukan hitam membujur rebah seperti seorang  raksasa hitam tengah berbaring terlihat muncul dihadapan mereka, itulah daratan besar Nusa Madhura.

Perlahan tapi pasti perahu bercadik mereka terlihat sudah mendekati bibir pantai Sunginep.

“Kalian pergi begitu lama”, berkata seorang kawan mereka di pinggir pantai menyongsong kedatangan mereka.

Namun kawan mereka itu bibirnya seperti terkancing ketika melihat diatas perahu bercadik dua orang lelaki dan wanita yang tidak dikenalnya.

Barulah orang itu menyadari bahwa seorang lelaki dan wanita itu ternyata Raja dan Ratu Kediri yang tengah mereka cari selama itu setelah mendengar ucapan Putu Risang.

“Raja dan Ratu ada bersama kita, mari kita segera pergi ke persembunyian kita”, berkata Putu Risang.

Bibir orang itu memang seperti terkunci, selama ini hanya sering mendengar nama Raja dan ratu Kediri, baru malam itu mata kepalanya sendiri melihat sosok wajah dua orang yang sangat dihormati di Bumi Jawadwipa. Dan malam itu telah bersamanya pula membuat sebuah kebanggaan dirinya seperti melambung tinggi, kakinya terasa berjalan mengambang terapung diatas tanah pasir pantai.

Demikianlah, dibawah malam mereka telah berjalan kearah sebuah hutan kecil di dekat pantai Sunginep itu ke sebuah gubuk persembunyian mereka.

Bukan main gembiranya semua kawan-kawan Putu Risang yang berada di sebuah gubuk di hutan itu melihat kehadiran Putu Risang yang datang bersama Raja dan Ratu Kediri.

Dan malam itu di sekitar gubuk itu beberapa orang prajurit kelompok pemburu terlihat berjaga bergiliran di ujung malam yang memang sebentar lagi akan berakhir.

Ternyata malam memang sudah akan segera berakhir, terlihat di ujung timur langit menggelantung bintang Kejora sang perindu yang bersinar begitu terang benderang seperti cahaya pemandu sang surya melepaskan warna kemerahan si langit purba. Membangunkan suara kokok ayam jantan membuyarkan mimpi-mimpi malam.

Dan sang surya akhirnya telah terbangun mengintip bumi di ujung timur lengkung langit dalam lingkaran tabur sinar kuning keemasan.

“Pagi ini aku seperti baru mendengar suara kokok ayam begitu merdu mendayu membangunkan hati dan jiwaku dalam sebuah kehidupan baru. Ternyata jiwa ketika tidak memiliki apapun begitu kaya raya. Semua yang kita lihat, semua yang kita dengar seperti begitu indah. Dan kita seperti pengembara di Taman Nirwana penuh bunga”, berkata Raja Jayakatwang penuh kebahagiaan menatap wajah dan senyum Ratu Turuk Bali yang menatapnya penuh warna keceriaan hati. Sebuah warna kebahagiaan di mata wanita itu yang sudah lama tidak pernah dilihatnya.

“Kakanda telah memiliki mahkota singgasana sejati, mahkota singgasana Dewa Siwa yang bertahta diatas permadani jiwa yang tenang, jiwa tanpa keakuan duniawi”, berkata Ratu Turuk Bali.

“Aku akan menulis suara keindahan jiwa ini diatas lembaran rontal, mengabadikannya untuk semua jiwajiwa yang haus dahaga agar selalu berada di dalam kucuran jeram kesejukan hati, memadamkan segala amarah, membeningkan kekeruhan hawa sang angkara”, berkata Raja Jayakatwang penuh kebahagiaan.

“Aku akan terus membaca tanpa jemu semua untaian suara hati kakanda diatas lembaran rontal jiwa Kakanda”, berkata kembali Ratu Turuk Bali juga dengan wajah penuh kegembiraan dan kebahagiaan hati.

“Aku akan menembangkan dengung keindahan suara hati ini untuk jiwa-jiwa yang sepi agar terbebas dari ayunan kegelisahan dan kegersangan hati. Membawa jiwa-jiwa yang kering terpanggang keangkuhan diri. Aku akan mengabdikan seluruh tembang suci suara hatiku sepanjang hidupku dalam gending irama jiwa di kesunyian malam dan siangku”, berkata kembali Raja Jayakatwang seperti kepada dirinya sendiri.

“Aku akan terus mendengarkan gending suara irama suci tembang cipta karya kakanda sepanjang malam dan siangku tanpa kejemuan”, berkata kembali Ratu Turk Bali dengan wajah penuh kebahagiaan bahwa kekasih hati tercinta telah kembali menemukan jati dirinya. Demikianlah, Gusti Yang Maha Agung begitu kasih memanggil jiwa yang ingin mendekat dengan jalan kepahitan, dengan jalan kegetiran, dengan jalan yang begitu berliku penuh derita dan kesengsaraan. Dan Raja Jayakatwang terpanggil jiwanya manakala tidak memiliki apapun, harta, tahta singgasananya telah runtuh musnah hilang punah, dan Gusti Yang Penuh Kasih telah memberi penggantinya, istana kebesaran jiwa.

Dan diluar gubuk sederhana itu matahari pagi sudah menerangi tanah lewat celah daun dan  dahan pepohonan di hutan kecil itu. Beberapa orang prajurit terlihat telah menyiapkan makanan pagi untuk mereka, untuk Raja dan Ratu Kediri yang berada dalam tanggung jawab mereka hingga sampai tiba waktunya dapat kembali ke Bumi Majapahit.

“Mudah-mudahan tidak ada orang yang memborong puluhan kuda, sebagaimana orang kaya nusa Sapudi memborong perahu kayu”, berkata Mabujang kepada Putu Risang ketika tengah keluar dari hutan kecil dekat pantai Sunginep bermaksud mendatangi beberapa pasar hewan untuk membeli beberapa ekor kuda untuk mereka yang memang tidak dapat mengarungi laut lepas karena musim angin timur laut masih lama berlalu.

Beruntunglah mereka, seorang telah membawa mereka ke Tanah Perdikan Sunginep dimana ada seorang peternak kuda yang dapat menyediakan beberapa kuda untuk mereka.

“Harga peternak itu lebih murah dari harga di pasar hewan”, begitu orang itu memberikan kepastian mengenai harga seekor kuda.

Dan sebagaimana yang dikatakan orang itu, mereka mendapatkan harga kuda yang lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar hewan.

Demikianlah, sembilan penunggang kuda terlihat sudah keluar dari hutan kecil didekat pantai Sunginep langsung menuju arah pesisir pantai selatan daratan besar Madhura. Abu kering pasir pantai terlihat mengepul dibelakang kuda-kuda mereka yang rancak berlari dan berpacu waktu.

Hari itu tanggal empat belas bulan Kartika tahun 1215 Saka, sehari sebelum pelaksanaan upacara Abhiseka Raden Wijaya menjadi Raja pertama Majapahit.

Terlihat di pendapa Pasanggrahan Raden Wijaya tengah ditemani Turuk Bali dan suaminya, Jayakatwang.

“Pamanda dan Bibi, besok adalah hari upacara pemercikan air suci sebagai pemberkatanku sebagai Raja yang berkedudukan di Majapahit, ananda mohon doa restu dan persaksian Pamanda dan bibi berdua”, berkata Raden Wijaya kepada Paman dan bibinya mantan penguasa Kerajaan Kediri.

“Kami berdua akan menjadi saksi dan merestui penobatan ananda, merestui jalan lurus yang akan ananda lewati membawa tahta singgasana Majapahit mengarungi samudra kejayaannya”, berkata Jayakatwang kepada Raden Wijaya dengan wajah tulus penuh kebijaksanaan. 

“Terima kasih atas restu dari Pamanda dan Bibi berdua, semoga ananda dapat membawa darma ini sebagai warisan pusaka leluhur yang dapat ananda jaga sepanjang hayat ananda”, berkata Raden Wijaya penuh rasa terima kasih kepada paman dan bibinya, dua orang yang sangat dihormatinya itu yang dianggapnya sebagai sesepuh yang dapat membimbingnya sebagai seorang Raja Majapahit. “Semoga kamu dapat mengambil banyak hikmah atas segala pahit dan getir, kebaikan dan keburukan di masa lalu kekuasaanku”, berkata Jayakatwang kepada Raden Wijaya. “Aku bersama bibimu saat ini sudah merasa terlepas dari himpitan dan keserakahan duniawi. Ijinkanlah aku untuk dapat membangun sebuah pura di Tanah Ujung Galuh, dimana aku dapat dengan mataku melihat luasnya lautan, namun hatiku selalu tertambat di tanah para petani”, berkata kembali Jayakatwang kepada Raden Wijaya.

“Permintaan Pamanda dan bibi akan segera ananda perkenankan”, berkata Raden Wijaya kepada Jayakatwang. “Ada sebuah tanah yang bergumuk di sekitar Tanah Ujung Galuh, dari situ kita dapat melihat lautan luas, bila pamanda dan bibi berkenan ananda akan perintahkan orang untuk dibangunkan sebuah pura disana”, berkata kembali Raden Wijaya.

Mendengar perkataan kemenakannya itu, terlihat Jayakatwang dan Turuk Bali merasa sangat gembira. Mereka seperti mendapat sebuah tempat untuk hari-hari tua mereka, Di sebuah tempat dimana mata dapat memandang lautan luas, namun masih melihat hijaunya tanah ladang dan kesibukan para kaum tani. Dan tempat yang elok itu berada di Tanah Ujung Galuh.

Angin semilir berhembus menerbangkan rumput kering di halaman muka pasanggrahan Raden Wijaya di awal pagi yang cerah dibawah pandangan tiga pasang mata diatas pendapa itu. Tiga pasang mata yang teduh dinaungi kedamaian hati sebuah persaudaraan yang sudah sekian lama terpecah. Kini mereka seperti tiga jiwa yang telah dipersatukan kembali dengan tali kasih sedarah, sehati dan sejiwa.

Sementara itu di tanah alun-alun bumi Majapahit saat itu terlihat sebuah kesibukan besar, beberapa orang terlihat sudah hampir selesai mendirikan beberapa tajuk, sementara beberapa orang lagi tengah merangkai janur kelapa sebagai penghias dan pertanda akan dilaksanakan sebuah upacara besar, upacara Abhiseka Raden Wijaya menjadi seorang Raja Agung dimana bumi Majapahit telah menjadi pusat prajanya, tempat tahta singgasananya.

Semua kesibukan itu adalah untuk menghadapi hari esok dimana di alun-alun itu akan digelar sebuah upacara agung, sebuah upacara Abhiseka, upacara pemercikan air suci kepada Raden Wijaya yang akan dinobatkan sebagai seorang Raja Majapahit.

Dan saat itu pula hampir di setiap banjar-banjar di bumi Majapahit sudah berhias dengan aneka  umbul-umbul dan panji-panji dan janur kelapa. Terlihat bendera Dwiwarna gula kelapa berdiri ditengah-tengah setiap umbul-umbul dan panji-panji.

Kesibukan di bumi Majapahit menjelang hari penobatan Raden Wijaya memang menjadi sebuah pemandangan umum hari itu hampir di setiap tempat sebagai pertanda semua orang yang berada di bumi Majapahit ikut merayakannya, ikut merasakan kegembiraan dan kebahagiaan itu.

Masih ditengah kesibukan menghadapi upacara agung itu, Mahesa Amping dan Ki Sandikala di Pasanggrahannya masing-masing terlihat telah menerima kedatangan para utusan dari berbagai kalangan dan dari berbagai daerah yang jauh yang memang sengaja diundang untuk menyaksikan upacara penobatan Raden Wijaya. Mereka yang datang sebagai tamu undangan itu adalah para raja-raja bawahan kerabat dan keluarga besar Wangsa Rajasa Singosari yang mendukung sepenuhnya berada dalam satu pusat pemerintahan dibawah panji praja Majapahit Raya. Mereka para tamu undangan itu juga para utusan dari berbagai Padepokan di Jawadwipa. Juga para pendeta dan para brahmana dari berbagai pelosok daerah di Jawadwipa yang berharap pemerintahan baru praja Majapahit dapat mengayomi dan melanggengkan agama dan ajaran mereka tetap tumbuh dibawah naungan kekuasaan raja baru, Raden Wijaya.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa penghuni bumi Majapahit sebagian besar adalah mereka yang dikirim oleh Adipati Aria Wiraraja dari Madhura dan para cantrik Padepokan Teratai Putih dari berbagai tempat di Jawadwipa dan Balidwipa dibawa oleh guru besar mereka Ki Sandikala. Dan hampir dapat dikatakan bahwa para penghuni bumi Majapahit itu adalah para lelaki yang hanya tahu memegang berbagai senjata dan bercocok tanam.

Ternyata Gusti Agung Maha Pengasih dan Pemurah, dalam sebuah serangan mendadak atas para prajurit asing di sungai Kalimas beberapa hari yang  lewat dimana kemenangan gilang gemilang berada di pihak Raden Wijaya, mereka juga telah berhasil menyelamatkan para tawanan perang yang dibawa dari Kotaraja Kediri. Dan sebagian besar diantara mereka itu adalah kaum Wanita.

Hanya beberapa orang saja dari para tawanan wanita itu yang berniat kembali ke kampung halaman mereka, kembali ke keluarganya disana. Namun sebagian besar lagi telah berniat untuk tidak kembali selama-lamanya. Mereka telah menjatuhkan sebuah niat suci, mengabdi di Bumi Majapahit.

Bukan sebuah kebetulan, tapi sudah menjadi guratan tangan dari Gusti yang Maha Agung bahwa di bumi Majapahit ada dua srikandi, yaitu Nyi Nariratih dan Endang Trinil. Merekalah dua srikandi bumi Majapahit yang telah ditugaskan untuk menghimpun para wanita  itu, membina dan melatihnya menjadi sebuah kekuatan lain melengkapi kekuatan yang sudah ada di Bumi Majapahit.

Dan hari itu menjelang upacara agung penobatan Raden Wijaya menjadi Raja Agung, para wanita itu telah kembali ke kodratnya berada di kesibukan yang lain, berada dalam kesibukan di dapur umum di sebuah tempat memenuhi dan menyiapkan kebutuhan makan dan minum pagi, siang dan malam para tamu undangan yang telah berdatangan memenuhi bumi Majapahit.

Sementara itu ditengah kesibukan Bumi Majapahit menghadapi hari upacara besar itu, terlihat tiga anak lelaki di pinggir hutan Maja tengah berlatih mematangkan jurus-jurus mereka. Pasti kita sudah dapat menebaknya siapa lagi ketiga anak lelaki di bumi Majapahit kalau bukan Gajahmada bersama Jayanagara dan Adtyawarman.

Meski guru penuntun mereka Putu Risang sudah beberapa hari itu tidak mengawasi dan membimbing mereka karena tugas-tugas khususnya, ketiga anak itu masih terus berlatih setiap hari di sanggar terbuka mereka di pinggir hutan Maja.

Tapi hari itu mereka tidak tahu bahwa beberapa pasang mata tengah mengawasi mereka. Beberapa pasang mata nampaknya tengah bermaksud buruk kepada mereka. Mereka bertiga memang tidak menyadari ada beberapa pasang mata telah bermaksud untuk menculik mereka.

“Kita belum tahu siapa diantara ketiga anak itu putra Raden Wijaya”, berkata salah seorang dari mereka yang mengintip di sebuah semak belukar.

“Kita bawa saja mereka bertiga”, berkata orang disebelahnya.

“Kamu benar, kita bawa mereka semua untuk kita serahkan kepada guru kita”, berkata lagi orang ketiga dari kedua orang sebelumnya.

Ternyata yang tengah mengintai di pinggir hutan itu adalah tiga orang lelaki bertelanjang dada. Sementara bagian pusar sampai pertengahan paha hanya ditutupi oleh selembar kain yang dipakai dengan cara dilibatkan, sebuah ciri bahwa mereka adalah dari sebuah sekte agama tertentu di jaman itu.

Ketiga orang lelaki itu setelah mengamati cukup lama berkeyakinan bahwa tidak ada orang dewasa bersama ketiga anak itu.

“Nampaknya mereka tidak dijaga oleh siapapun”, berkata seseorang yang paling tua diantara kedua temannya seperti sebuah ajakan untuk keluar dan membawa pergi ketiga anak itu.

Demikianlah, ketiga orang lelaki itu sudah keluar dari persembunyian mereka.

“Hebat, teruslah berlatih, kami bertiga akan terus menunggu sampai selesai”, berkata salah seorang dari mereka bertiga sambil mendekati tempat berlatih Gajahmada bersama kedua kawannya itu.

Mendengar dan melihat ada tiga orang yang mendekati mereka, serentak Gajahmada, Jayanagara dan Adityawarman menghentikan latihannya.

“Mengapa kalian berhenti?”, berkata salah seorang diantara mereka yang paling tua, “Kami tidak ingin ada orang asing melihat latihan kami”, berkata Gajahmada dengan dada membusung.

“Kalau begitu berlatihlah dengan pamanmu ini”, berkata orang tertua itu seperti seorang yang mengejek membuat sebuah kuda-kuda sambil menggerakkan kedua tangannya membuat berbagai jurus.

“Jangan salahkan aku bila tanganku melukai paman”, berkata Gajahmada sambil maju selangkah.

“Tua sekali pikiranmu”, berkata orang itu mendelik mendengar ucapan Gajahmada yang biasa diucapkan oleh orang dewasa yang sudah mapan ilmunya.

“Aku sudah siap menerima serangan paman”, berkata lagi Gajahmada penuh percaya diri dengan sedikit merenggangkan kedua kakinya dan dada masih dibusungkan.

Melihat sikap Gajahmada itu, terlihat ketiga orang lelaki itu tertawa terbahak-bahak melihat sikap Gajahmada yang berani itu, terutama dengan ucapannya yang seperti seorang dewasa jago kanuragan.

“Pamanmu akan melatih mulutmu agar tidak sembarang mengucap”, berkata orang itu sambil tertawa dan melepaskan pukulan perlahan, masih bermain-main.

Bukan main terkejutnya orang itu, dengan sigap terlihat Gajahmada sudah mengelak kesamping dan langsung melangkah kedepan dengan sebuah kepalan tangan masuk membentur perutnya.

Beggg !!!

Terdengar suara kepalan tangan Gajahmada  cukup keras membentur perut orang itu.

“Gila!!!”, berkata orang itu sambil mundur selangkah memegangi perutnya terhantam keras pukulan Gajahmada.

“Yang gila paman, kenapa memberi peluang kepadaku”, berkata Gajahmada berdiri tidak mengejar orang itu yang masih meringis merasakan sakit diperutnya.

Terlihat orang itu menarik nafasnya dalam-dalam, merasa malu ketika sekilas melihat kedua kawannya tertawa terpingkal-pingkal menertawakan dirinya yang dalam satu gebrakan sudah dapat dipukul oleh seorang anak kecil.

Terlihat mata orang itu mendelik tajam kearah Gajahmada seperti ingin memperlihatkan kepada kedua kawannya itu bahwa dirinya tidak sebodoh yang dipikirkan oleh kedua kawannya itu.

“Anak kecil tua, kubungkam mulutmu”, berkata orang itu berjalan cepat maju melayangkan tangannya menyambar kepala Gajahmada benar-benar tidak mau main-main lagi seperti pada serangan pertamanya.

Terkejut orang itu melihat dengan tangkasnya Gajahmada mengelak dan mengangkat sebuah kakinya kearah pangkal paha orang itu.

“Jurus kedua Rajawali meluncur”, berkata Gajahmada sambil terbang dengan sebuah kaki mengincar paha orang itu.

Tapi lawan Gajahmada itu adalah seorang lelaki yang sudah mapan mengenal kanuragan dan tidak menganggap Gajahmada anak kecil lagi.

Terdengar orang itu mendengus meremehkan serangan Gajahmada telah melompat kesamping dan balas menyerang dengan kakinya. Tetapi Gajahmada dengan lincah telah melompat kesamping dan menyusul balas menyerang.

Demikianlah, serang dan balas menyerang pun telah silih berganti meski pemandangan sangat aneh dimana seorang anak kecil bersama orang dewasa bertempur sangat seru saling serang dan balas menyerang.

“Rajawali menerkam”, berkata Gajahmada melompat balas menyerang sambil mengucapkan nama jurus yang sedang dilakukan.

Sementara itu kedua orang kawannya sudah tidak tertawa lagi, dalam hati memuji anak kecil dihadapannya itu dapat melayani serangan kawannya dengan sangat baik.

Sebagaimana kedua kawan orang itu, Jayanagara dan Adityawarman terlihat berdebar-debar takut Gajahmada lengah terkena serangan lawannya. Maka setiap kali orang itu menyerang Gajahmada, terlihat kedua anak itu menahan nafasnya, baru ketika Gajahmada dapat menghindar dan balas menyerang terlihat kedua anak itu melepaskan nafasnya lega.

Gajahmada adalah anak yang cerdas, sudah dapat menghapal semua jurus yang diajarkan Putu Risang kepadanya, termasuk kembangannya. Meski kali ini harus menguras otaknya yang encer karena lawan tandingnya bukan Jayanagara atau Adityawarman, tapi orang asing dengan jurus asing yang baru dilihatnya itu.

Tapi Gajahmada dengan kecerdasannya masih mampu melayani orang itu dengan beberapa serangan balik  yang cukup keras menjadikan lawannya tidak main-main lagi ditambah rasa malu kepada kedua temannya telah berusaha menunjukkan bahwa dirinya akan segera merobohkan anak kecil itu. Tapi Gajahmada ternyata tidak semudah perkiraan orang dewasa lawannya itu, Gajahmada selalu dapat mengelak bahkan dapat balas menyerang.

Namun lawan Gajahmada bukan orang yang baru mengenal satu dua jurus kanuragan, orang itu sudah matang mengenal jurus-jurus perguruannya juga sudah mengenal beberapa jurus tipuan menghadapi seorang lawan.

Ternyata tataran ilmu Gajahmada memang belum matang dan disiapkan untuk menghadapi segala tipu muslihat dari berbagai jurus perguruan lain diluar apa yang sudah diajarkan kepadanya.

Hingga pada sebuah gerakan tipu daya lawannya, dimana terlihat orang itu tengah berancang-ancang mengunakan kakinya, Mata Gajahmada dapat tertipu tidak dapat membaca muslihat tipu daya itu dan kaget bukan kepalang dimana tiba-tiba saja orang itu telah berputar tidak jadi menendang menggantikannya dengan sebuah kepalan tangan meluncur tiba-tiba menghantam atas bahu kanan meleset terus masuk mengenai bagian samping kepalanya.

Benggg !!!!

Gajahmada merasakan kepalanya pening seketika dan terhuyung jatuh.

Tetapi, memang dasar Gajahmada adalah anak yang keras kepala, telah membungkam mulutnya agar tidak terdengar suara kesakitannya.

Terlihat lawan Gajahmada bertolak pinggang dihadapannya sambil tertawa bergelak-gelak.

Dan anak kecil berbadan tambur itu tidak mengenal jera, apalagi mendengar tertawa lawannya yang bergelakgelak telah membuat dadanya bergemuruh melupakan rasa sakitnya. Maka dengan sekuat tenaga terlihat Gajahmada sudah bangkit berdiri siap menghadapi kembali lawannya yang masih tertawa dan bertolak pinggang.

“Tendangan Rajawali”, berteriak Gajahmada sambil meluncur menerjang lawan dengan sebuah tendangan

“Tendangan Rajawali Pitik”, berkata lawan Gajahmada sambil bergeser sedikit tubuhnya dan balas menyerang dengan sebuah pukulan kearah ke pinggang.

Bukan main marahnya Gajahmada mendengar olok-olok itu, baginya menghina jurusnya berarti telah menghina perguruannya. Itulah sebabnya Gajahmada terlihat lebih tanggas lagi dalam setiap serangannya.

Namun kembali tatarannya yang masih sangat dangkal tidak dapat menduga sebuah jurus tipuan telah memperdayakannya.

Ngekkk…!!!

Sebuah tendangan telah bersarang di perut Gajahmada.

Terlihat Gajahmada terdorong dan terlempar jatuh terguling di tanah kotor. Pakaian dan wajah anak tambur itu sudah tercampur debu tanah, memang sebuah tontonan yang menggelikan.

Tapi anak itu memang benar-benar keras kepala telah membungkam mulutnya rapat-rapat agar tidak terdengar suara kesakitannya.

Dan lawan Gajahmada terlihat kembali bertolak pinggang sambil tertawa bergelak-gelak seakan telah memberi hiburan kepada kedua kawannya itu yang juga ikut tertawa. Mendengar suara tertawa dari lawan dan kedua kawannya itu telah membakar kemarahan Gajahmada. Terdengar anak kecil itu menggeram seperti harimau marah berusaha untuk bangkit kembali.

Namun ketika Gajahmada bermaksud hendak bangkit, ditelinganya seperti mendengar suara bisikan yang lirih, tapi sangat jelas terdengar.

“….anak hebat, dua kali tertipu adalah sebuah kebodohan. Aku akan membantumu, pejamkan matamu dan dengarkanlah suara pikiranmu. Lakukan apa yang ada dalam pikiranmu….”, demikian Gajahmada mendengar suara bisikan itu terdengar jelas tapi tidak ada suara apapun seperti langsung terdengar dari pikirannya sendiri.

Tanpa berpikir apapun lagi, Gajahmada terlihat bangkit berdiri dengan kedua mata terpejam.

Sebenarnya ketika Gajahmada terjatuh untuk  yang kedua kalinya, Jayanagara dan Adityawarman ingin segera meloncat menggantikan dirinya maju menghadapi lawan Gajahmada.

Tapi langkah kedua sahabatnya itu tertahan sekaligus terheran-heran melihat Gajahmada telah berdiri dengan kedua mata terpejam.

Sebagaimana Jayanagara dan Adityawarman, lawan Gajahmada sudah berhenti tertawa berganti  dengan mata terheran-heran melihat Gajahmada berdiri dengan kedua mata terpejam.

Kedua kawan lawan Gajahmada juga melihat keanehan itu, seketika mereka tidak tertawa lagi hanya menunggu apa yang selanjutnya terjadi dengan mata dan wajah penuh keheranan. “…….bagus anak hebat, pejamkan matamu dan lakukan apa yang ada dalam pikiranmu”, berkata kembali sebuah bisikan yang ada dalam pikiran Gajahmada.

Terkejut bukan kepalang lawan Gajahmada ketika dengan cepat sebuah tendangan meluncur ke arahnya, untung saja lawan Gajahmada sudah dapat menguasai diri meski masih terkejut melihat serangan Gajahmada yang masih memejamkan kedua matanya.

Ternyata serangan Gajahmada lewat sebuah tendangan kaki yang meluncur adalah sebuah jurus tipuan. Karena Tiba-tiba saja seperti seorang yang sudah dapat membaca gerakan yang dilakukan lawannya itu, terlihat Gajahmada merunduk sedikit sambil melayangkan tangannya ke samping tentunya dengan tenaga yang kuat.

Bukk…!!!!

Lawan Gajahmada tidak sempat lagi mengelak sebuah pukulan keras mengenai pangkal pahanya.

Tapi serangan Gajahmada tidak hanya sampai disitu, tiba-tiba saja menjatuhkan diri menjadikan sebuah tangannya menjadi sebuah poros sumbu untuk mengayunkan badan dan kakinya seperti gasing.

Blengggg…!!!

Sisi belakang betis lawan Gajahmada telah terpukul dan terdorong oleh tendangan gasing Gajahmada.

Maka terlihat orang dewasa itu terjengkal ke belakang dengan kepala belakang lebih dulu merasakan kerasnya tanah.

Jayanagara dan Adityawarman seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, lawan orang dewasa itu jatuh dalam sebuah gebrakan pertama Gajahmada yang masih memejamkan kedua matanya.

“…..bagus anak hebat, tetaplah memejamkan matamu, ikutilah apa kata pikiranmu….”, berkata kembali bisikan lewat pikiran Gajahmada.

Terlihat lawan Gajahmada telah berdiri perlahan masih merasakan rasa sakit di belakang kepalanya yang terbentur dengan tanah keras.

Terlihat juga pakaiannya sudah bercampur debu tanah kotor.

“Anak setan, pasti ada dedemit yang merasuki anak itu”, berkata orang itu yang sudah berdiri sambil memandang kearah Gajahmada yang masih juga memejamkan kedua matanya.

“Jurus aneh, kakang Putu Risang tidak pernah mengajarkan jurus itu”, berkata Jayanagara sambil menyentuh lengan Adityawarman merasa aneh melihat Gajahmada menjatuhkan lawannya dengan sebuah jurus aneh yang baru saja diperlihatkan oleh Gajahmada.

“Jangan-jangan Mahesa Muksa telah disambat dedemit hutan ini”, berkata Adityawarman yang terus memperhatikan Gajahmada yang masih memejamkan matanya siap menghadapi lawannya yang sudah berdiri.

“Aku tidak takut dengan dedemit apapun!!”, berteriak orang itu sambil langsung menyerang ke arah Gajahmada dimana dalam pandangannya telah kesambat dedemit hutan itu.

Tetapi, masih sambil memejamkan matanya, terlihat Gajahmada seperti dapat melihat serangan itu yang sudah bergeser sedikit langsung membuat serangan balasan.

“Gila!!”, berkata lawan Gajahmada yang harus melompat ke samping menghindari serangan Gajahmada.

Dan perkelahian antara Gajahmada dengan orang dewasa itu pun kembali menjadi begitu seru bahkan bertambah seru karena Gajahmada hampir selalu lolos dalam setiap serangan dari lawannya yang sudah seringkali mencoba mengerahkan segenap kemampuannya menyerang dengan berbagai jenis  tipuan yang sangat halus. Tapi Gajahmada  dengan masih memejamkan matanya telah dapat keluar dari sergapan penuh tipuan bahkan balas menyerang dengan tidak kalah berbahayanya.

Hingga dalam sebuah kesempatan, kembali Gajahmada sudah dapat menjatuhkan lawannya, sebuah pukulannya hinggap diantara pangkal pertemuan dua paha orang itu.

Terlihat orang itu mendelik merasakan sakit yang sangat dan nafasnya seperti terputus seketika.

Seketika juga orang itu seperti baju lusuh rebah terjatuh di tanah tidak bergerak lagi, pingsan.

Kedua kawan orang itu melotot dengan wajah merah takut bercampur rasa heran yang sangat melihat Gajahmada masih memejamkan matanya menghadap kearah kawannya yang berbaring tidak bergerak.

“Dedemit hutan ini mungkin marah kepada kita”, berkata dari salah satu orang itu yang dengan wajah pucat melihat Gajahmada yang masih berdiri dengan kedua mata tertutup rapat-rapat.

Kedua orang itu seperti bimbang apa yang harus diperbuat, antara rasa takut dan percaya tidak percaya bahwa anak kecil yang sudah dapat mengalahkan kawannya itu sudah dibantu oleh makhluk halus penunggu hutan Maja itu. Namun ditengah kebimbangannya, muncullah seseorang entah dari mana sudah datang sambil mengumpatumpat.

“Anak murid bodoh, kenapa harus takut dengan segala macam dedemit”, berkata orang itu kepada kedua orang yang terkejut melihat kedatangan orang baru itu.

“Ampun guru, dedemit hutan ini telah merasuk anak itu”, berkata salah seorang diantara kedua orang itu menyebut guru kepada orang yang baru datang.

“Dedemit setan belang apapun aku tidak akan pernah takut!!”, berteriak orang yang dipanggil guru itu langsung menghadapkan dirinya ke arah Gajahmada yang tengah tersenyum dengan mata yang sudah tidak dipejamkan lagi.

“Apakah orang tua akan turun tangan melayani anak  kecil seperti aku ini?”, berkata Gajahmada sudah bersiap diri dengan merenggangkan kedua kakinya siap menghadapi orang tua di depannya itu dengan wajah penuh percaya diri.

“Aku tidak akan melakukan apapun, hanya ingin membungkam mulutmu yang tua sebelum waktunya”, berkata orang tua itu sambil melangkah mendekati Gajahmada.

Dan sebuah tangan orang tua itu sudah terangkat tinggitinggi mungkin hendak menghajar Gajahmada dengan tangannya itu.

Tapi tangan itu masih tetap ditempatnya, seperti tidak mampu digerakkan.

Terlihat mata orang itu seperti keluar melotot penuh rasa takut merasakan dirinya tiba-tiba saja tidak mampu menggerakkan tangannya, juga semua anggota badannya terasa terkunci.

Namun rasa terkunci itu perlahan luluh bersamaan dengan kemunculan seorang tua renta yang berdiri didekatnya dengan wajah penuh senyum, wajah dan senyum penuh keramahan. Begitu bening wajah dan senyum itu seperti sebuah telaga di pagi hari telah menggetarkan hati dan perasaan orang yang dipanggil guru itu.

“Memalukan, orang tua memukul seorang anak kecil di saksikan oleh banyak orang”, berkata orang tua renta itu kepada orang yang dipanggil guru itu masih dengan senyum sarehnya.

“Maaf, dengan siapakah aku berhadapan?” berkata orang yang dipanggil guru itu dengan hati sedikit sungkan menduga orang tua renta itu pasti bukan orang sembarangan.

“Aku hanya pengembara biasa, orang di dekatku biasa memanggilku dengan sebutan Embah Galunggung”, berkata orang tua itu masih dengan senyum sarehnya.

“Ampunkan hamba yang tidak dapat berlaku hormat berhadapan dengan tuanku Prabu Guru Darmasiksa”, berkata orang yang dipanggil guru itu sambil bersimpuh di tanah bersujud dihadapan orang tua renta itu.

Melihat gurunya bersujud di depan orang tua renta itu, kedua orang itu ikut sebagaimana dilakukan oleh gurunya.

“Bangkitlah, hendaklah kamu bersujud hanya kepada Gusti Nu Luhur, aku jenggah melihatnya”, berkata orang tua renta itu meminta ketiga orang yang bersujud kepadanya berdiri.

Maka ketiga orang itu dengan wajah penuh rasa takut yang sangat telah berdiri, namun tidak berani menatap langsung kepada orang tua renta itu.

“Dari mana kamu tahu nama asliku, sudah lama orang di sekelilingku tidak memanggilku dengan sebutan itu, aku pun telah melupakan nama itu”, berkata orang tua renta itu yang memperkenalkan diri bernama Embah Galunggung.

“Kecapi dari kayu kenanga dan tali petik dari emas yang tuan bawa”, berkata orang yang dipanggil guru itu masih dengan menundukkan kepalanya.

Terlihat orang tua renta itu tersenyum memandang sebuah kecapi ditangan kirinya.

“Sekarang pergilah menjauh, buang segala niat burukmu untuk mencelakai salah satu dari ketiga anak ini, karena salah satu dari mereka adalah cucu buyutku”, berkata orang tua renta yang mengakui dirinya adalah Prabu Guru Darmasiksa seorang maharaja dari kerajaan Pasundan yang sudah melengserkan dirinya berdiam di Gunung Galunggung mengajar tuntunan keselamatan kepada siapapun yang berkeinginan belajar kepadanya, menuntut ilmu kesucian bathin.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar