BERAWAL dari berita kekalahan pasukan Patih Kebo Mundarang yang sudah merembes masuk di Kotaraja Kediri yang berlanjut pada rasa takut akan kedatangan pasukan Raden Wijaya menyerang Kotaraja Kediri.
Lucu memang bila malam itu di bumi Kotaraja Kediri keadaan seperti terbalik, ketika orang miskin menjadi bahagia, sementara para saudagar kaya merasa tidak beruntung hidup malam itu. Ketika para pengemis dan para pengembara dapat tidur nyenyak dimanapun mereka berada, sementara para pejabat istana tidak dapat tidur nyenyak didalam rumah mewahnya sendiri yang berjajar sepanjang jalan utama Kotaraja Kediri.
Pasukan Raden Wijaya tidak datang malam ini, begitu yang dipikirkan oleh hampir semua orang di Kotaraja Kediri.
Pasukan Raden Wijaya akhirnya menjadi mimpi buruk bagi mereka malam itu.
Tapi malam itu mereka semua terbangun dari mimpi buruk mereka sendiri bukan oleh pasukan Raden Wijaya, tapi oleh sebuah kenyataan yang sangat buruk yang tidak mereka sangka sama sekali.
“Pasukan Raden Wijaya!!!”, hampir semua orang berteriak yang sama mengira bahwa pasukan Raden Wijaya malam itu telah datang menyerang Kotaraja Kediri ketika mereka mendengar suara langkah kaki kuda bergemuruh masuk di sepanjang jalan Kotaraja Kediri.
Tapi dugaan mereka meleset jauh, karena yang datang masuk ke Kotaraja Kediri bukan pasukan Raden Wijaya, tapi sebuah pasukan yang lebih besar dari yang diduga oleh siapa pun, sebuah pasukan yang sangat liar dari pasukan liar manapun di dunia.
Telah datang memasuki Kotaraja Kediri malam itu sebuah pasukan yang begitu besar sebanyak tiga belas ribu prajurit Mongol datang memecahkan suasana malam yang sepi yang memang sudah mencekam sepanjang malam itu.
Dua ribu prajurit Kediri tidak dapat mempertahankan istana, tiga belas ribu pasukan Mongol seperti air bah yang tidak dapat dibendung langsung meluluh lantakkan setiap apapun didepan mereka.
Terlihat banyak orang berlarian menyelamatkan diri diantara banyak rumah yang sudah mulai menyala terbakar. Jerit dan tangis terdengar hampir di segala penjuru dan sisi bumi tanah Kotaraja Kediri.
Kotaraja Kediri sudah terbakar!!
Seperti itulah bila pasukan Mongol menaklukkan sebuah kota, membakar semua rumah dan bangunan tanpa tersisa, mengambil dan merampok apapun yang berharga.
Biadab!! Seperti itulah kata yang dapat diucapkan untuk para prajurit Mongol setiap menaklukkan kota di dunia. Dan malam itu telah menghinakan hampir semua gadis dan wanita di Kotaraja Kediri.
Api masih berkobar membara menjilati kayu rumahrumah megah di sepanjang jalan utama Kotaraja Kediri diiringi suara langkah kaki kuda seperti bayangan setan malam menakutkan terus mencari mangsa. Dan ratap tangis air mata seperti tidak pernah reda di sepanjang malam ternista itu.
Sementara itu jauh di ujung malam ketika cahaya pagi melukis lengkung langit menjadi warna kemerahan di sebuah hutan di kakí bukit Kadungan.
Terlihat barak-barak sederhana berjajar di hutan itu dipenuhi para prajurit yang nampaknya masih terlelap tidur.
Mereka adalah pasukan Raden Wijaya yang baru memenangkan sebuah pertempuran mereka kemarin di Padang Kadungan mengalahkan musuh mereka para prajurit Kediri.
Ditengah kesunyian awal pagi itu terlihat sebuah barak dapur umum sudah mulai berasap, sebagai tanda bahwa disitu sudah ada sebuah kehidupan, kesibukan para prajurit khusus yang bertugas menyiapkan ransum makanan untuk semua prajurit pasukan Raden Wijaya.
“Ternyata aku masih dapat melihat kembali ransum makanan pagiku”, berkata seorang prajurit kepada kawannya ketika seorang petugas membawa sebuah ransum untuknya.
“Pagi kemarin, pagi hari ini atau pagi besok bagiku terasa hambar selama masih berada jauh dari Tanah Ujung Galuh”, berkata kawannya itu dengan suara datar.
“Pasti yang kamu tengah pikirkan adalah si Surti kemenakan Ki Barep yang membuka kedainya hingga malam di Bandar Tanah Ujung Galuh”, berkata prajurit itu menebak pikiran kawannya.
“Hanya itu yang aku pikirkan, aku memang telah berjanji untuk datang melamarnya”, berkata kawannya seperti membenarkan tebakan prajurit di sebelahnya itu.
Sementara itu di padang Kadungan terlihat seorang lelaki tengah berjalan setengah berlari menuju kearah hutan di kakí bukit Kadungan. Nampaknya lelaki itu begitu tergesa-gesa untuk segera sampai di hutan di kakí bukit Kadungan itu.
“Mabujang!!”, berteriak seorang anak muda yang mengenali lelaki yang berjalan tergesa-gesa itu.
Ternyata lelaki itu memang bernama Mabujang terlihat menoleh kearah anak muda yang memanggilnya dan langsung mendekati.
“Kulihat wajahmu seperti tengah dikejar setan”, berkata anak muda itu kepada Mabujang yang ternyata adalah Putu Risang.
“Antarkan aku ke barak Tuan Raden Wijaya, ada berita penting dari Kotaraja”, berkata Mabujang kepada Putu Risang.
Mendengar perkataan Mabujang, nampaknya Putu Risang tidak banyak tanya lagi langsung membawa Mabujang ke barak Raden Wijaya.
Bukan main terperanjatnya Raden Wijaya mendapat berita tentang Kotaraja Kediri dari Mabujang.
“Aku memang pernah mendengar bahwa pasukan Mongol telah menaklukkan banyak kota, tapi aku baru hari ini mendengar kebiadaban mereka. Dan kita telah bersekutu dengan manusia liar seperti mereka”, berkata Raden Wijaya seperti tercenung membayangkan suasana Kotaraja Kediri seperti apa yang digambarkan dan diceritakan oleh Mabujang kepadanya.
Matahari pagi diatas padang Kadungan sudah tinggi bersinar menghangatkan rerumputan hijau dan tanaman liar di sekitarnya. Juga menyinari beberapa gundukan tanah merah yang berjajar rapih sebagai pusara tanpa tanda apapun.
Sebuah iring-iringan pasukan Raden Wijaya terlihat sudah bergerak keluar dari hutan bukit Kadungan seperti seekor ular raksasa keluar dari mulut hutan merayap mendekati padang Kadungan yang datar hanya dirimbuni semak liar dan ilalang yang luas membentang.
Semua mata seperti terpaku menoleh sebentar kearah gundukan tanah merah itu, terlintas di kepala mereka wajah mereka yang dikuburkan disana, mungkin seorang saudara, kawan mereka atau wajah seorang musuh yang terbunuh di ujung pedang mereka sendiri.
Tanah gundukan merah itu pun akhirnya terlewati menjadi sepi berkawan ilalang dan bunga semak liar, sementara rombongan pasukan Raden Wijaya sudah semakin menjauh meninggalkan padang Kadungan.
Tidak seperti ketika berangkat dari Bumi Majapahit, pasukan itu nampaknya berjalan begitu lambat karena bersama mereka membawa begitu banyak tawanan dan orang terluka.
“Beberapa tawanan akan kita kembalikan kepada keluarganya bila kita telah tiba di Kotaraja Kediri”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping di sebelahnya berjalan perlahan menyesuaikan dengan langkah kaki prajurit dan para tawanan di belakang mereka.
“Semoga dapat menjadi sedikit penawar duka untuk mereka”, berkata Mahesa Amping menyetujui perkataan Raden Wijaya mengembalikan tawanan kepada keluarganya.
Rombongan pasukan Raden Wijaya masih terus bergerak melangkah menuju Kotaraja Kediri, hanya saja tidak selincah ketika mereka keluar dari bumi Majapahit. Karena ada bersama mereka para tawanan perang dan banyak juga orang yang terluka.
Dan Raden Wijaya harus menekan keinginannya untuk secepatnya sampai ke Kotaraja Kediri manakala dilihatnya matahari sudah berdiri tepat diatas puncak langit biru.
“Kita beristirahat disini”, berkata Raden Wijaya ketika rombongannya telah tiba di sebuah lembah dimana terlihat sebuah sungai kecil mengalir melintasi perjalanan mereka.
Ucapan Raden Wijaya adalah sebuah perintah, maka terdengar para penghubung memerintahkan para prajurit untuk beristirahat di lembah itu sekedar menghilangkan kepenatan mereka setelah dari pagi mereka memang tidak pernah berhenti berjalan.
Terlihat wajah orang-orang yang terluka seperti bersyukur sejenak tidak merasakan rasa sakit yang sangat diatas tandu-tandu mereka yang terus bergerak sepanjang perjalanan. Luka yang masih basah dan tulang yang patah belum mereka memang sangat menyiksa bila sedikit ada guncangan. Sementara mereka terus terguncang selama perjalanan pagi menjelang siang itu.
“Kita terlambat setengah hari perjalanan”, berkata Raden Wijaya kepada sahabatnya Mahesa Amping ketika mereka tengah bergerak kembali melangkah menuju Kotaraja Kediri.
“Batas gerbang timur kota”, berkata Putu Risang kepada Mabujang
Terlihat Mabujang menarik nafas panjang, teringat apa yang terjadi di Kotaraja Kediri malam itu dan dirinya tidak tahu lebih jauh lagi karena sudah keluar dari Kotaraja Kediri disaat malam masih kelam disaat para prajurit Mongol bergentayangan mencari korban dan mangsanya.
Dan rombongan pasukan Raden Wijaya sudah mendekati batas gerbang timur kota disaat senja di pertengahan. Tanah, batang pohon seperti sepi menyambut kedatangan rombongan pasukan Raden Wijaya.
Dan rombongan pasukan Raden Wijaya terlihat sudah memasuki regol gerbang timur Kotaraja seperti melewati sebuah gapura pusara besar yang sunyi. Kotaraja Kediri sudah menjadi kota mati. Mungkin sebagian penghuninya sudah pergi jauh mengungsi. Tersisa banyak asap masih mengepul diantara puing-puing kayu tiang rumah bangunan yang hangus terbakar. Dan mulai terlihat mayat bergelimpangan di sepanjang jalan Kotaraja Kediri.
“Apakah ini sebuah karma?”, berkata Raden Wijaya dalam hati mengingat kembali sebuah gambaran yang sama ketika dirinya memasuki Kotaraja Singasari di awal keruntuhannya yang dibakar hangus oleh pasukan Jayakatwang dibawah pimpinan Patih Kebo Mundarang yang akhirnya telah tewas ditangannya sendiri.
“Rumah kediaman Ki Prasojo seniman perak itu”, berkata Putu Risang kepada Mabujang di sebelahnya mengenal betul letak sebuah rumah yang sudah musnah terbakar sebagai tempat kediaman Ki Prasojo.
“Semoga Ki Prasojo sekeluarga saat ini sudah mengungsi jauh menyelamatkan diri”, berkata Mabujang kepada Putu Risang berharap tidak terjadi apapun pada diri Ki Prasojo dan keluarganya.
Akhirnya rombongan pasukan Raden Wijaya berhenti didepan istana yang sudah rata hangus terbakar menyisakan puing-puing sisa kayu yang gosong terbakar.
“Mereka pergi setelah merampok semua barang berharga istana dan seluruh isi harta kekayaan Kotaraja Kediri”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping.
Sementara itu beberapa prajurit sudah menyebar masuk ke dalam istana memeriksa mayat-mayat para prajurit Kediri yang ditinggalkan begitu saja bergelimpangan di berbagai tempat.
Berkat ketelitian mereka akhirnya telah menemukan seorang prajurit yang ternyata masih hidup dan dapat diselamatkan, mungkin prajurit Mongol itu telah mengira orang itu sudah tidak bernyawa lagi.
Dari prajurit Kediri yang masih hidup itu didapat sebuah keterangan bahwa Raja Jayakatwang bersama Ratu Turuk Bali telah dibawa oleh Pasukan Mongol sebagai tawanan perang.
Mendengar keterangan itu terlihat ada secercah cahaya kegembiraan di mata Raden Wijaya.
“Bibi Ratu Turuk Bali masih hidup”, berkata Raden Wijaya lirih dalam hati. Akhirnya Raden Wijaya memerintahkan prajuritnya membuat barak-barak darurat sementara di sekitar depan istana untuk tempat beristirahat mereka karena tidak ada satu pun bangunan yang dapat dipergunakan lagi di Kotaraja Kediri itu.
“Aku perlu pemandu jalan pintas menuju muara Kalimas”, berkata Raden Wijaya kepada Gajah Pagon
“Hamba mengenal seorang petugas telik sandi yang mengenal tiap jengkal jalan di Jawadwipa ini dengan baik”, berkata Gajah Pagon pamit diri untuk datang lagi membawa seorang pemandu.
Tidak lama berselang Gajah Pagon telah kembali bersama seseorang dan memperkenalkannya kepada Raden Wijaya sebagai seorang pemandu yang ternyata adalah Mabujang, seorang petugas telik sandi pembawa berita tentang kehancuran Kotaraja Kediri tadi pagi.
“Berapa lama perjalanan menuju Muara Kalimas”, bertanya Raden Wijaya kepada Mabujang.
“Dengan berkuda perlu waktu dua hari dua malam dengan sedikit beristirahat”, berkata Mabujang kepada Raden Wijaya.
“Siapkan empat puluh orang terbaik, malam ini juga kita berangkat mencegat pasukan Mongolia di tepian muara Kalimas”, berkata Raden Wijaya kepada Gajah Pagon.
Demikianlah, setelah memberi beberapa pesan kepada para prajurit yang ditinggalkan di Kotaraja Kediri itu, Raden Wijaya malam itu juga telah berangkat bersama empat puluh orang terbaiknya menuju Muara Kalimas dengan empat puluh ekor kuda terbaik pula yang mereka miliki.
Angin dimalam itu terasa begitu dingin, terlihat bayangan hitam rombongan orang berkuda keluar dari gerbang timur batas kota Kotaraja Kediri. Mereka membawa kudanya seperti terbang membelah udara malam memburaikan pakaian serta rambut mereka. Begitulah mereka menembus setiap jalan yang dilalui sepanjang malam itu tanpa beristirahat sedikitpun.
Ketika pagi telah datang pasukan berkuda itu masih terus berlari, terlihat saat itu mereka tengah membelah padang ilalang bersama angin berlari seperti terbang melayang.
Hanya sebentar mereka beristirahat sekedar memberi kesempatan kuda-kuda mereka merumput dan minum di sebuah sungai kecil yang mereka lewati.
Dan empat puluh orang penunggang kuda itu sudah terlihat lagi memacu kudanya berlari menyusuri lembah dan bukit, membelah padang ilalang dan berpacu diatas bulakan panjang diantara dua padukuhan.
“Pasukan berkuda itu berlari seperti mengejar angin”, berkata seorang lelaki tua di pinggir sebuah pagar rumah kepada istrinya ketika melihat pasukan berkuda itu berlari di sebuah jalan padukuhan.
“Kita harus membelah bukit didepan sana, itulah jalan pintas yang terdekat menuju Muara Kalimas”, berkata Mabujang memperkirakan jalan yang harus mereka lewati.
Demikianlah, sesuai arahan dari Mabujang sebagai seorang pemandu jalan mereka terlihat tengah membelah sebuah bukit yang terjal. Dengan susah payah akhirnya mereka dapat membelah bukit itu dan sampailah mereka di sebuah hutan kecil berbukit disaat hari telah mulai menjadi gelap.
“Kamu memang seorang pemandu yang hebat”, berkata Raden Wijaya kepada Mabujang ketika mereka beristirahat sejenak memberi kesempatan kuda-kuda mereka merumput di sebuah hutan bukit kecil itu yang ternyata adalah hutan bukit Cemara.
“Kita sudah mendahului dua hari perjalanan pasukan Mongol”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping yang tengah memandangi wajah bulan diatas langit hutan bukit Cemara.
Bumi Majapahit masih terlihat sepi, sementara wajah langit pagi masih ditemani bintang kejora sang perindu. Disaat seperti itulah Raden Wijaya dan rombongannya memasuki bumi Majapahit. Dan mereka langsung menuju Pasanggrahan Raden Wijaya.
Ki Sandikala yang mendengar berita kedatangan Raden Wijaya dan rombongannya langsung menjumpai Raden Wijaya di Pasanggrahannya bersama Mahesa Pukat dan Kebo Arema.
Pertemuan yang mengharukan manakala Raden Wijaya dan Mahesa Amping melihat Mahesa Pukat dan Kebo Arema datang bersama Ki Sandikala.
“Kalian memang dua anak muda yang dapat diandalkan”, berkata Mahesa Pukat penuh kebahagiaan melihat Raden Wijaya dan Mahesa Amping telah tumbuh sebagai pemimpin muda.
Akhirnya mereka saling bercerita selama perpisahan yang panjang itu. Bermula Mahesa Pukat bercerita tentang perjalanan mereka ke Tanah Melayu dimana kepulangan mereka tertunda akibat sebuah pertempuran mereka di laut selat Bangka dengan pasukan Mongol.
“Kami terpaksa mundur kembali ke Tanah Melayu menunggu suasana yang aman dapat menembus selat Bangka”, berkata Mahesa Pukat bercerita mengapa begitu lama mereka baru kembali.
“Dan hari ini kami datang kembali bersama Dara Jingga dan Dara”, berkata Mahesa Pukat sambil menatap wajah Mahesa Amping dan Raden Wijaya bersamaan.
“Mereka berdua datang bersama kalian?”, bertanya Raden Wijaya penuh kegembiraan.
“Saat ini mereka ada bersama para putra mereka di Pasanggrahan Mahesa Amping”, berkata Ki Sandikala menjawab pertanyaan Raden Wijaya.
Saling bercerita pun berlanjut, kali ini diwakili oleh Raden Wijaya sendiri.
Raden Wijaya bercerita dengan singkat kemenangan mereka menghadapi pasukan Patih Kebo Mundarang di Padang Kadungan. Raden Wijaya juga bercerita tentang keadaan terakhir Kotaraja Kediri yang telah hancur runtuh diporak-porandakan pasukan Mongol.
“Syukurlah, jung Singasari tidak dapat mereka kuasai dalam sebuah pertempuran kami dengan pasukan Mongol itu di Selat bangka”, berkata Kebo Arema setelah mendengar cerita tentang kebiadaban pasukan Mongol di Kotaraja Kediri.
“Aku merasa bersalah, menerima pasukan itu di Tanah Ujung Galuh, menyerahkan seorang pemandu yang dapat membawa mereka melewati jalur sungai”, berkata Raden Wijaya seperti menyesali semua tindakannya bersekutu dengan pasukan asing itu.
“Tugas seorang pemimpin adalah membuat sebuah keputusan, namun tidak mudah membuat sebuah keputusan yang dapat diterima oleh banyak orang. Jangan menyesali sebuah keputusan, tapi bagaimana kita menghadapi segala kemungkinan akibat keputusan itu”, berkata Kebo Arema merasa kasihan melihat wajah Raden Wijaya penuh rasa sesal pada dirinya.
“Kami memang telah menyiapkan banyak persiapan dalam banyak kemungkinan. Kami telah menyiapkan sebuah pasukan khusus dibawah kendali Ki Sandikala”, berkata Mahesa Amping sambil bercerita tentang rencana dan siasat mereka menghadapi pasukan asing itu.
“Sebuah siasat perang yang hebat”, berkata Mahesa Pukat setelah mendengar dengan singkat rencana dan siasat mereka menghadapi pasukan asing itu.
“Bangsa kita dikenal sebagai pelaut ulung yang selalu jaya di lautan, sementara mereka adalah para penguasa darat yang sangat ditakuti di daratan terutama kemahiran pasukan berkuda mereka yang paling ditakuti siapapun raja di banyak dunia. Siasat perang air memang sebuah siasat yang paling tepat menghadapi mereka”, berkata Kebo Arema menyetujui rencana siasat itu.
“Kita masih punya dua hari menghadapi mereka di muara sungai Kalimas”, berkata Raden Wijaya penuh semangat.
Pertemuan di Pasanggrahan Raden Wijaya menjadi lebih semarak lagi manakala Dara Petak dan Dara Jingga datang bersama putra-putra mereka Jayanagara dan Adityawarman.
“Nanti malam nampaknya akan turun hujan di Bumi Majapahit ini”, berkata Kebo Arema membuat sebuah canda yang diketahui kemana maksud tujuannya yaitu menggoda Mahesa Amping dan Raden Wijaya yang baru bertemu kembali dengan istri-istri mereka setelah lama berpisah. “Kami orang tua pasti tahu diri”, berkata Ki Sandikala disambut tertawa oleh semua yang hadir di pendapa pasanggrahan Raden Wijaya.
“Ki Sandikala benar, aku dan tuan Senapati Mahesa Pukat memang berniat mengungsi ke pasanggrahannya”, berkata Kebo Arema menyambung ucapan Ki Sandikala.
“Aku memang tidak sabar menunggu cerita petualangan sahabatku Kebo Arema ini”, berkata Ki Sandikala.
Dan tidak terasa matahari sudah berada diatas atap Pasanggrahan Raden Wijaya, jamuan makan siang pun mengalir mengisi mangkuk-mangkuk dihadapan mereka diatas pendapa pasanggrahan Raden Wijaya.
Setelah menikmati jamuan makan siang, pembicaraan pun berlanjut. Dan cerita pun berlanjut dalam banyak kisah sejauh perpisahan diantara mereka hingga tidak terasa matahari sudah mulai terlihat redup di lengkung barat bumi.
“Kami pamit lebih dulu, membawa dua orang tua ini ke pasanggrahanku”, berkata Ki Sandikala bermaksud pamit diri membawa Kebo Arema dan Mahesa Pukat ke Pasanggrahannya.
“Kami juga pamit diri”, berkata Mahesa Amping yang langsung berdiri diikuti oleh Dara Jingga dan putra mereka Adityawarman.
Pendapa itu akhirnya seperti menjadi begitu sepi, hanya ada Raden Wijaya, Dara Petak dan putra mereka Jayanagara.
Angin bertiup sepoi basah terlihat menerbangkan setangkai daun maja kering di halaman muka pasanggrahan Raden Wijaya.
“Sepertinya malam ini memang akan turun hujan”, berkata Raden Wijaya memandang wajah dara Petak yang juga tengah memandangnya dengan pandangan mata penuh cinta dan kerinduan.
Dan senja pun akhirnya jemu menjaga bumi pergi menghilang sembunyi dibalik keremangan malam. Bumi Majapahit malam itu begitu sepi berteman dengan suara gerimis panjang yang mewarnai hari-hari di awal musim penghujan itu.
Namun gerimis panjang itu tidak merusak kehangatan pembicaraan tiga orang lelaki diatas pendapa pasanggrahan Ki Sandikala. Terlihat Ki Sandikala, Mahesa Pukat dan Kebo Arema seperti terpaku diatas duduknya, mereka ternyata tengah membahas sebuah persiapan rencana penyerangan mereka menghadapi pasukan asing yang diperhitungkan akan melewati aliran sungai Kalimas.
“Dua ribu pasukan Singasari akan ikut meramaikan pesta besar itu”, berkata Mahesa Pukat menawarkan pasukan yang datang bersamanya dari Tanah Melayu.
“Aku pernah mendengar bahwa mereka sangat mahir berperang di lautan”, berkata Ki Sandikala mendengar tambahan dua ribu prajurit Singasari dari Mahesa Pukat.
“Aku akan meramaikannya dengan sepuluh perahu perusak”, berkata Kebo Arema mengusulkan dalam waktu singkat menyiapkan sepuluh perahu perusak.
“Nampaknya aku bercakap-cakap dengan seorang mantan bajak laut”, berkata Ki Sandikala menyetujui usulan Kebo Arema yang punya banyak pengalaman khusus dalam peperangan di lautan.
“Aku hanya sering berada dibelakang layar, sementara kemampuan bertandingku masih jauh dibelakang seorang pendeta dari Lamajang”, berkata Kebo Arema yang sudah mulai mengenal Ki Sandikala seorang guru besar padukuhan Teratai putih yang tersebar antara Jawadwipa dan Balidwipa itu.
“Sahabat Raja Kertanegara yang sakti pasti tidak bertaut banyak dengan sahabatnya”, berkata Ki Sandikala yang merasa yakin bahwa Kebo Arema pasti seorang yang berilmu tinggi.
Sementara itu Mahesa Amping, Dara Jingga dan Adityawarman juga sudah berada di Pasanggrahannya malam itu.
Mahesa Amping merasa gembira melihat Nariratih sudah mengenal Dara Jingga. Kepada Dara Jingga, Mahesa Amping bercerita tentang pertemuannya dengan Nariratih, namun tetap merahasiakan nama asli Mahesa Muksa yang sebenarnya bernama Gajahmada.
“Semula aku menyangsikan hubungan kalian tidak terbatas pada hubungan seorang tuan kepada hambanya. Tapi setelah mendengar sendiri cerita dari Kangmas, aku percaya bahwa Kangmas tidak pernah berdusta kepadaku”, berkata Dara Jingga kepada Mahesa Amping.
Mahesa Amping yang mengetahui kehalusan seorang wanita terlihat menarik nafas dalam-dalam. Didalam hatinya sendiri kadang ada sebuah dusta yang tersamar tentang perasaan hati seorang lelaki berhadapan dengan seorang wanita seperti Nariratih.
“Gerimis seperti ini biasanya akan sangat lama dan panjang”, berkata Dara jingga mengisi suasana kekosongan diantara mereka.
“Benar, mungkin akan berlanjut mendekati awal pagi nanti”, berkata Mahesa Amping menanggapi.
Dan pagi diatas bumi Majapahit nampaknya begitu cerah setelah semalaman diguyur oleh gerimis yang panjang. Terlihat tiga orang lelaki tengah berjalan diatas tanah basah di halaman muka Pasanggrahan Ki Sandikala.
Ketiga lelaki itu ternyata adalah Ki Sandikala, Mahesa Pukat dan Kebo Arema yang akan pergi ke Benteng Tanah Ujung Galuh.
Setelah sampai disana mereka meminta kepada beberapa prajurit untuk menyiapkan secepatnya sepuluh perahu perusak. Sebuah perahu kayu yang cukup besar dilengkapi sebuah besi tajam bercagak di depan anjungannya.
Setelah memberi pesan yang cukup kepada para prajurit yang akan menyiapkan sepuluh perahu perusak, terlihat mereka berjalan kearah muara sungai Kalimas.
Terlihat mereka berjalan menyusuri tepian Kalimas hingga jauh ke pedalaman.
“Di tikungan sungai ini kurasa tempat yang paling tepat untuk menjamu tamu-tamu asing kita”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Pukat dan Ki Sandikala.
“Sebagaimana sekelompok bajak laut menunggu mangsanya”, berkata Ki Sandikala mengagumi ketelitian Kebo Arema menyusun rencana peperangan mereka.
“Disinilah tempat yang baik untuk menempatkan beberapa orang pengintai yang akan melemparkan panah sanderannya begitu melihat para tamu asing itu mendekati meja perjamuannya”, berkata Kebo Arema ketika mereka tiba di sebuah tempat yang tidak begitu jauh dari arah tikungan sungai Kalimas di dekat muaranya itu. “Mendengar kata perjamuan, aku jadi tidak sabar untuk mengarak Putri Gayatri dan Raden Wijaya dalam upacara pungut mantu nanti.
Demikianlah, setelah menyusuri sungai Kalimas, terlihat mereka kembali ke arah semula, kearah muara sungai Kalimas. Namun pembicaraan mereka telah menyimpang jauh, tidak lagi mengenai sebuah rencana peperangan, tapi berkisar tentang rencana upacara pungut mantu antara Raden Wijaya dan putri Raja Kertanegara bernama Gayatri yang saat itu telah tinggal bersama di Pasanggrahan Ki Sandikala ditemani oleh Endang Trinil anak kemenakan Ki Sandikala.
“Aku banyak berharap, semoga Dara Petak dapat berpikir jernih, pernikahan diantara mereka adalah sebuah ikatan suci, ikatan garis penyambung keluarga memperkuat silsilah mahkota”, berkata Ki Sandikala kepada Mahesa Pukat dan Kebo Arema.
“Dalam perjalanan kami berlayar dari Tanah Melayu, aku sudah dapat mengenal lebih dekat dengan putri Raja tanah Melayu itu, Dara Petak menurutku adalah seorang wanita dewasa yang punya wawasan cukup luas, juga keseimbangan jiwanya menilai apapun yang datang kepadanya. Seorang Wanita yang tabah”, berkata Kebo Arema kepada Ki Sandikala dan Mahesa Pukat.
Tidak terasa mereka berjalan sudah sampai di muara sungai Kalimas.
“Mari kita kembali ke Bumi Majapahit, aku ingin kalian berdua menilai kesiapan pasukan khusus kami”, berkata Ki Sandikala kepada Mahesa Pukat dan Kebo Arema.
Sementara itu, di sebuah aliran Sungai Brantas terlihat iring-iringan perahu besar terlihat laju terbawa arus air yang cukup deras di awal musim penghujan di tahun itu. “Beberapa hari yang lalu aku melihat mereka melaju ke hulu, sekarang mereka sudah akan kembali ke hilir”, berkata seorang lelaki kepada kawannya diatas sebuah jukung ketika melihat rombongan armada pasukan Mongol melintas di sungai Brantas.
“Sebuah jung besar yang indah, tapi tidak sebesar jung Singasari”, berkata kawannya melihat sebuah ukiran ular naga yang indah menghiasi anjungan perahu kau itu.
“Para pembajak pasti enggan mendekati mereka”, berkata lelaki itu kembali kepada kawannya.
Kedua orang itu tidak tahu bahwa iring-iringan perahu besar itu adalah sebuah armada perang bangsa Mongol yang baru kembali dari Kotaraja Kediri setelah memporak-porandakan serta merampok semua barang berharga di istana maupun seluruh rumah milik orang Kediri di Kotaraja. Seandainya mereka tahu dan melihat langsung perlakuan liar pasukan Mongol itu di Kotaraja Kediri pasti kedua orang itu tidak akan berani berada dan terlihat oleh pasukan liar itu.
Untungnya mereka tidak tahu, juga tidak mengetahui sedang apa sebagian dari mereka diatas perahu besar itu. Ternyata mereka sedang berpesta pora merayakan kemenangan mereka. Dan yang sangat memilukan hati bahwa mereka berpesta pora diantara para tawanan wanita yang baru saja mereka dapatkan dari Kotaraja Kediri. Para wanita yang mereka ambil dari seorang suami yang mereka bunuh, atau para gadis yang mereka rampas dengan paksa dari rumah-rumah yang mereka bakar setelah membunuh semua penghuninya, menyisakan para kaum perempuannya.
Hari itu adalah hari ke tiga pelayaran mereka menyusuri sungai Brantas bermaksud untuk kembali ke Bandar Tanah Ujung Galuh untuk selanjutnya kembali ke tanah leluhurnya jauh di daratan Cina.
Sementara itu, di salah satu perahu besar itu, dimana seorang panglima perang mereka berada suasananya tidak berbeda, mereka juga sepanjang perjalanan tengah berpesta pora merayakan kemenangan mereka.
“Yang Dipertuan agung Kubilai Khan telah menyediakan persiapan pangan yang cukup besar, persediaan pangan untuk satu tahun perjalanan. Sementara kita mendapatkan harta rampasan perang yang berlimpah, mari kita rayakan kemenangan ini”, berkata Panglima perang itu diantara para perwiranya yang menyambutnya dengan suasana sorak kegembiraan.
“Dan sebagai bukti bahwa kita telah menaklukkan Kerajaan Jawadwipa, kita telah membawa Raja dan Ratu mereka hidup-hidup”, berkata kembali Panglima perang itu dengan suara lebih keras lagi disambut oleh sorak dan sorai lebih keras lagi dari para perwiranya.
Sementara itu matahari sudah berada di seberang barat jauh di belakang mereka manakala iring-iringan perahu itu telah memasuki sungai Kalimas.
Dan pesta pora diatas perahu pasukan Mongol itu masih terus berlangsung bahkan semakin kian meriah ketika langit malam memayungi sepanjang sungai Kalimas, memayungi hutan di pinggir kanan kiri sepanjang aliran sungai itu.
Dan mereka terus berpesta pora sepanjang malam itu.
Terlihat iring-iringan perahu besar mereka telah memasuki aliran sungai muara Kalimas ketika bintang kejora terlihat bersinar terang di langit timur, hari memang telah menjelang pagi. Diatas perahu-perahu besar itu sudah tidak terdengar lagi suara kegaduhan, tidak terdengar lagi suara kemeriahan pesta pora. Yang tersisa adalah kendi-kendi dan cawan arak yang bertebaran diatas geladak bersama suara dengkur sebagian prajurit yang terlihat tergeletak diatas geladak setelah semalaman lelah berpesta pora minum arak sepuasnya.
Hari memang masih gelap dan dingin diatas sungai Kalimas mendekati pagi itu.
Mereka tidak menyadari sama sekali bahwa beberapa pasang mata tengah menunggu kedatangan mereka.
Mereka tidak menyadari ketika sebuah panah sanderan terlihat melambung tinggi membelah langit diatas sungai Kalimas. Dan mereka tidak sama sekali menyadari ketika sepuluh perahu perusak telah menghadang perjalanan mereka.
Barulah mereka menyadari ketika beberapa perahu mereka terguncang ditabrak sebuah perahu perusak didepan mereka.
Namun baru saja mereka menyadari bahwa mara bahaya tengah mengepung diri mereka, ribuan panah berapi terlihat meluncur menghujani iring-iringan perahu prajurit Mongol itu.
Terdengar jeritan para prajurit Mongol yang tertembus panah berapi, dan perahu mereka sudah terbakar, api berkobar di mana-mana.
Belum juga para prajurit Mongol itu menguasai keadaan, tiba-tiba saja ratusan jukung kecil telah mendekati perahu-perahu prajurit Mongol itu. Dan ribuan orang terlihat berloncatan dengan tangkas dan cepatnya seperti air bah memenuhi perahu para prajurit Mongol itu. Raden Wijaya memimpin pasukannya telah melompat di sebuah perahu langsung menyerang prajurit asing yang masih terkejut tidak tahu harus berbuat apa. Tapi naluri prajurit mereka sudah dapat langsung menyesuaikan diri, tapi dengan persiapan yang terlambat digilas habis pasukan Raden Wijaya.
Sementara itu di perahu lain, terdengar suara cambuk menggelegar seperti sebuah petir terlihat berputar-putar melecut kesana kemari menimbulkan suara jeritan tertahan korban di ujung cambuknya. Ternyata orang bercambuk itu adalah Mahesa Amping yang sengaja membuat suara petir dengan cambuknya untuk meruntuhkan nyali pihak lawan yang mendengarnya.
Di perahu lainnya, ternyata Putu Risang telah berbuat yang sama sebagaimana Mahesa Amping, telah melepas cambuk pendeknya dengan gerak sendal pancing, maka terdengar suara petir membahana di pagi yang masih gelap itu telah menjatuhkan perasaan para prajurit asing. Sementara cambuknya seperti kepala ular yang hidup dan bermata, satu persatu prajurit asing itu jatuh berguguran terkena cambuk pendeknya. Keadaan itu telah membangkitkan semangat para prajurit pribumi yang tergabung dalam pasukan khusus itu menghadapi para prajurit asing. Dalam waktu yang singkat jumlah prajurit asing didalam perahu itu langsung menyusut surut.
“Sekarang aku menjadi yakin, mengapa tuanku Raden Wijaya begitu percaya kepada anak muda itu, ternyata ilmunya memang sangat dapat diandalkan”, berkata Mabujang yang berada dalam satu perahu bersama Putu Risang melihat sepak terjang Putu Risang menggerakkan cambuk pendeknya.
Di perahu lainnya lagi, seorang Kebo Arema seperti seekor banteng mengamuk dengan sebuah badik pendek senjata andalannya telah merobohkan begitu banyak prajurit asing. Rupanya Kebo Arema ingin membalas kekalahannya dalam pertempuran mereka di selat Bangka.
Terlihat juga Ki Sandikala, meski tidak melepas senjata andalannya yaitu sebuah cakra, tapi tidak mengurangi ketrenginasannya. Para prajurit asing terlihat seperti rayap diterjang api obor yang berjalan. Siapa pun prajurit asing yang mendekat langsung tersapu, terlempar terkena pukulan dan tendangannya.
Senapati Mahesa Pukat, Ranggalawe, Gajah Pagon, Putut Prastawa, Menak Koncar dan Menak Jingga adalah para ksatria yang menjadi perhitungan, ikut menyerbu bersama pasukan gabungan itu menguasai satu persatu prajurit asing didalam perahu besarnya.
Luar biasa memang akibat dari serangan yang mendadak dan begitu tiba itu, setengah prajurit Mongol itu sudah langsung menjadi korban. Tiga ribu pasukan khusus Raden Wijaya memang sudah disiapkan untuk serangan mendadak itu, ditambah seribu mantan prajurit Singasari dibawah Senapati Mahesa Pukat adalah para petarung di lautan membuat para prajurit Mongol yang sangat ditakuti di daratan terutama pasukan berkudanya seperti tidak mampu melayani serangan pasukan gabungan itu. Dalam waktu yang begitu singkat sebagian perahu-perahu besar itu sudah langsung dapat dikuasai oleh para prajurit gabungan itu.
Seperti air bah, bilamana mereka telah menguasai satu perahu lawan, maka mereka beralih membantu kawan mereka ditempat lain di perahu lawan lainnya yang belum sepenuhnya dikuasai pasukan pribumi itu. “Raden Wijaya berkhianat”, berkata seorang yang berpakaian panglima perang penuh rasa geram bercampur kegusaran menyaksikan satu persatu perahu besar sudah dikuasai para pasukan pribumi. Dengan wajah merah penuh kemarahan telah membantai siapapun prajurit yang datang mendekat.
“Kita harus keluar dari kepungan ini”, terdengar orang berpakaian panglima perang itu berteriak kencang.
Ternyata teriakan itu adalah sebuah perintah, terlihat seorang perwira bawahannya berteriak yang sama. Maka seketika itu juga terlihat layar perahu itu sudah dikembangkan. Dan dengan suara setengah memaksa memerintahkan para budak mereka mengayuh perahu itu lebih cepat lagi.
Terlihat sebuah perahu besar milik prajurit asing telah dapat keluar dari kepungan itu. Kegelapan pagi telah menyelamatkan mereka dari sergapan yang mendadak itu. Perahu besar itu telah menghilang jauh di kegelapan pagi sungai Kalimas meninggalkan perahu besar lain kawan mereka yang sepertinya telah menjadi bulanbulanan para prajurit pribumi.
Demikianlah, tiga ribu pasukan Raden Wijaya yang dibantu dua ribu pasukan Mahesa Pukat yang baru kembali dari Tanah Melayu telah dapat menguasai jalannya pertempuran.
Satu persatu prajurit asing itu telah berjatuhan, dan satu persatu perahu besar milik prajurit asing itu telah dapat mereka kuasai.
Terlihat sang Fajar telah bersinar di atas sungai Kalimas, terdengar sorak sorai pasukan gabungan itu menyuarakan kemenangan mereka ditengah asap yang mengepul membakar perahu besar berukir naga besar di anjungannya itu. Sebuah perahu besar yang indah yang datang dan berlayar dari tempat yang jauh di seberang lautan di pantai Cina daratan akhirnya telah tenggelam di dasar sungai Kalimas, di sebuah sungai kecil yang belum pernah didengar sebelumnya, untuk pertama kalinya didatangi oleh orang asing yang tidak dapat diceritakan oleh mereka karena nama mereka ikut tenggelam bersama perahu berukir naga besar di anjungannya itu.
Raden Wijaya dan para ksatria bumi Majapahit masih melihat perlahan tapi pasti dua belas perahu besar pasukan asing itu tenggelam terseret aliran sungai Kalimas. Perlahan tapi pasti hanya terlihat tiang-tiang layarnya masih muncul di permukaan air sungai Kalimas bersama mayat-mayat yang terapung terbawa aliran sungai Kalimas yang terlihat sudah mulai naik meluap di awal musim penghujan itu.
Dan tiang-tiang kayu layar perahu akhirnya sudah tidak terlihat lagi di permukaan sungai Kalimas, tenggelam bersama barang muatannya, tenggelam bersama sisasisa kenangan pahit yang datang bersama para pasukan asing itu dengan segala kesombongannya, dengan segala keangkuhanya dari sebuah armada besar prajurit yang paling disegani di segala medan pertempuran.
Syukurlah para prajurit Raden Wijaya dapat menolong dan menyelamatkan beberapa orang tawanan perang yang sebagian besar adalah para wanita. Tidak sebagaimana luka para prajurit yang dapat diobati. Sementara hati dan perasaan para wanita itu memang perlu waktu yang lama untuk dapat kembali hidup sebagaimana semula. Luka mereka ada di dalam lubuk hati yang paling dalam, luka tersiksa dan teraniaya dalam cengkraman kebuasan para prajurit asing yang tidak mengenal lagi norma-norma kehidupan. Sekelompok manusia yang dipenjarakan oleh nafsu kebiadaban, lebih rendah dan lebih kotor dari binatang yang paling hina sekalipun.
“Akhirnya kita dapat mengalahkan keangkuhan mereka”, berkata Ki Sandikala kepada Raden Wijaya disampingnya di tepian sungai Kalimas sambil memandangi satu persatu tiang layar perahu milik pasukan asing itu tenggelam menghilang dari permukaan air sungai Kalimas
“Ada satu yang dapat meloloskan diri, aku berharap paman dan bibiku masih hidup ada bersama mereka”, berkata Raden Wijaya kepada Ki Sandikala.
“Saat ini sudah ada dalam pergantian arah angin laut, perahu besar mereka tidak akan dapat membawa mereka kembali ke tempat asal mereka, angin Muson akan membawa mereka ke arah timur”, berkata Ki Sandikala kepada Raden Wijaya.
Terlihat wajah Raden Wijaya berubah cerah, terlintas didalam benaknya bahwa bibi dan pamannya Raja Jayakatwang masih dapat diselamatkan kembali dari tangan orang-orang asing itu.
“Mereka masih belum jauh”, berkata Raden Wijaya penuh harapan kepada Ki Sandikala.
“Ijinkan hamba memerintahkan beberapa orang untuk mencari Ratu dan Raja Kediri itu”, berkata Ki Sandikala kepada Raden Wijaya.
“Pergantian musim angin laut masih enam bulan kedepan”, berkata Raden Wijaya.
“Benar, kita dapat mencari mereka di beberapa daratan terdekat”, berkata Ki Sandikala.
Demikianlah, pada hari itu juga Ki Sandikala telah memerintahkan beberapa orang mengejar perahu asing itu dimana diperkirakan mereka telah membawa Ratu dan Raja Kediri sebagai tawanan perang. Putut Prastawa, Menak Jingga, Menak Koncar dan Putu Risang masing-masing telah ditunjuk sebagai pemimpin dalam beberapa kelompok pencarian itu.
“Kalian berpencar ke segala arah penjuru kemungkinan dimana perahu asing itu merapat di daratan. Segeralah meminta bantuan bila perhitungan kalian tidak mampu menghadapi pasukan mereka”, berkata Ki Sandikala memberikan arahan kepada kelompok pasukan yang akan memburu keberadaan perahu asing itu untuk merebut kembali Ratu dan Raja Kediri yang masih menjadi tawanan perang mereka.
Maka setelah mendengarkan pengarahan dari Ki Sandikala, terlihat pasukan pencari itu telah berangkat dari Bumi Majapahit menuju Bandar Tanah Ujung Galuh. Mereka akan berpencar mencari di beberapa daratan terdekat. Setiap kelompok membawa seorang prajurit yang sangat mahir mengenal arah angin dan mengenal dimana daratan terdekat, sebuah dari beberapa kemungkinan perahu asing itu merapat berlindung untuk sementara waktu menunggu pergantian arah musim angin yang dapat membawa mereka kembali ke tempat asalnya di daratan Cina.
“Kita bergabung dalam kelompok yang sama wahai anak muda”, berkata Mabujang sambil berlari mendekati seorang anak muda yang ternyata adalah Putu Risang ketika mereka sama-sama menuju ke Bandar Tanah Ujung Galuh.
Bandar Tanah Ujung Galuh hari itu sudah mendekati senja, air biru laut sudah mulai terlihat kelam menampar bibir-bibir dermaga kayu. Terlihat sebuah perahu bercadik mulai menjauhi dermaga menuju laut lepas, mereka adalah salah satu perahu bercadik dari kelompok pemburu yang berpencar berangkat mencari keberadaan sisa pasukan asing yang telah membawa Raja dan Ratu Kediri sebagai tawanan perang. Dan Putu Risang bersama Mabujang ada dalam salah satu perahu prajurit pemburu itu.
Sementara itu di hari yang sama jauh dari Bandar Tanah Ujung Galuh, di sebuah laut lepas terlihat sebuah perahu besar berukir naga besar di anjungannya terapung diatas laut sunyi dengan layar terkembang penuh.
Ternyata perahu besar itu adalah para prajurit Mongol yang tersisa, yang dapat meloloskan diri dari sergapan pasukan Raden Wijaya di sungai Kalimas. Dan dengan sangat terpaksa mereka harus mengikuti arah bertiupnya angin yang membawa mereka berlayar tanpa arah tujuan kearah timur, terapung di laut sunyi.
“Magucin dan Yongki, kalian lebih mengenal Raden Wijaya dibandingkan diriku. Apa kira-kira yang ada dalam pikirannya saat ini, terutama pikirannya tentang kita”, berkata seorang berpakaian panglima perang pasukan itu diatas perahu besar mereka kepada dua orang perwira bawahannya bernama Magucin dan Yongki, dua orang yang pernah diselamatkan oleh Ki Sandikala dan telah diantar ke Bumi Majapahit diperkenalkan kepada Raden Wijaya.
”Kita telah membuat marah Raden Wijaya dimana kita telah menawan Raja dan Ratu Kediri, salah satu perjanjian yang telah kita langgar kesepakatan bersamanya”, berkata Magucin mewakili kawannya Yongki kepada sang Panglima perang mereka.
“Raja dan Ratu Kediri itu sangat berharga sebagai jaminan pertanda kepada Kaisar Yang Dipertuan Agung Kubilai Khan bahwa tugasku di Jawadwipa telah dapat kulaksanakan dengan baik”, berkata Panglima perang mereka dengan suara keras sepertinya merasa tersinggung dikatakan oleh Magucin telah menghianati sebuah kesepakatan dengan Raden Wijaya. “Yang ingin kutanyakan adalah apa yang ada dalam pikiran Raden Wijaya terhadap kita saat ini”, bertanya kembali Panglima Perang itu.
“Tuan Panglima Ike Mese ingin tahu apa yang akan diperbuat Raden Wijaya saat ini?”, berkata Yongki yang tahu tabiat Panglima perangnya yang tidak ingin dipersalahkan, seorang yang mudah marah yang dipanggil sebagai Panglima Ike Mese oleh Yongki.
“Untuk itulah kalian berdua kupanggil, bukan untuk bicara yang lain”, berkata Panglima Ike Mese dengan suara masih tersinggung dengan apa yang dikatakan oleh Magucin.
“Yang pasti bahwa Raden Wijaya akan memerintahkan prajuritnya untuk memburu kita, menjaga di setiap Bandar Jawadwipa karena tahu kita terjebak dalam pusaran angin yang terbalik dari arah pelayaran kita kembali ke tanah leluhur. Raden Wijaya akan terus memburu kita karena tahu kita telah membawa harta rampasan perang, juga dua tawanan berharga itu”, berkata Yongki mewakili kawannya Magucin yang terlihat terdiam, takut berkata lagi yang dapat membuat amarah Panglima perangnya itu.
“Apa menurut kalian yang dapat kita perbuat untuk dapat keluar dari penjagaan Raden Wijaya”, bertanya Panglima Ike Mese kepada dua orang perwira bawahannya itu.
“Kita harus berlayar melambung menghindari Jawadwipa, menukar perahu besar berciri naga besar karena mata Raden Wijaya pasti sudah disebar di sepanjang pantai timur ini”, berkata Yongki masih mewakili Magucin yang masih juga terdiam.
“Aku setuju dengan buah pikiranmu itu”, berkata Panglima Ike Mese kepada Yongki tanpa melihat kepada Magucin seperti tahu apa yang ada dalam pikiran bawahannya yang satu itu, merasa tersinggung dengan suara kerasnya.
Namun pembicaraan mereka terhenti ketika mereka bertiga mendengar suara teriakan dari arah anjungan.
“Daratan!!!”, terdengar suara seorang prajurit dari anjungan.
“Daratan!!!”, terdengar lagi suara seorang prajurit dari anjungan.
Terlihat Panglima Ike Mese, Magucin, Yongki dan beberapa orang lainnya berjalan kearah anjungan untuk melihat apa yang terlihat di anjungan.
Ternyata mereka memang telah melihat sebuah daratan, meski matahari senja telah hampir menutup pemandangan sekitar mereka di tengah laut sunyi itu, tapi sebuah bayangan daratan yang tersamar kabut senja terlihat terbujur dihadapan mereka.
“Kita berlabuh di daratan itu”, berkata Panglima Ike Mese memberi perintah.
Demikianlah, di ujung senja perahu besar berukir naga besar itu telah berlabuh di sebuah pantai daratan tak bernama.
Beberapa pasang mata terlihat mengawasi kedatangan mereka, nampaknya para nelayan yang bermukim di daratan kecil itu. Terlihat sebuah perkampungan nelayan tidak jauh dari pantai tempat berlabuh perahu besar berukir naga itu.
“Maaf, kami telah terbawa arus angin terdampar di daratan ini. Apakah kami dapat berjumpa dengan pemimpin kalian di daratan ini?” bertanya Magucin yang ditugaskan sebagai duta kepada salah seorang nelayan.
“Tuan berada di Nusa Sapudi begitulah kami menyebutnya, mari kuantar tuan kepada pemimpin kami”, berkata seorang nelayan membawa Magucin menemui pemimpin mereka.
Ternyata Magucin adalah seorang duta yang sangat berpengalaman, sangat mudah mengambil hati setiap orang. Begitu diperkenalkan dengan pemimpin di perkampungan nelayan di daratan kecil yang bernama Nusa Sapudi itu, Magucin sudah dapat mempengaruhi pemimpin itu, orang yang dituakan di Nusa Sapudi itu.
“Kami kenal banyak orang di seberang daratan besar Madhura yang akan memberi tuan beberapa perahu kayu”, berkata orang yang dituakan di daratan itu untuk dapat menyediakan beberapa perahu kayu kepada Magucin yang telah berkata manis akan memberinya banyak hadiah.
“Terima kasih, kami tidak akan melupakan kebaikan budi tuan”, berkata Magucin
“Beberapa orang kami dapat mengantar kalian sampai ke Tanjungpura, disana kalian dapat bersembunyi dari mata penguasa Jawadwipa menunggu datangnya angin barat”, berkata pemimpin itu kepada Magucin.
“Terima kasih, senang bekerja sama dengan tuan”, berkata Magucin kepada orang yang dituakan di perkampungan nelayan itu. Ternyata Magucin bukan hanya dapat berkata manis, tidak lama berselang sudah datang kembali ke rumah orang yang dituakan di daratan itu dengan membawa banyak hadiah berupa beberapa pundi keping emas.