Tapak-tapak Jejak Gajahmada Jilid 08

Cahaya rembulan bias memantul di wajah Ki Sandikala lewat benda yang ada di dalam peti kayu itu yang ternyata sebuah keris kuningan. Segera Ki Sandikala menarik keris itu dari wrangkanya. Sebuah perbawa penuh kharisma terpancar dari badan keris telanjang itu.

“Mengapa Putut Prastawa tidak membawa keris Nagasasra yang asli?”, bertanya Ki Sandikala sambil menatap keris di tangannya yang ternyata adalah keris Nagasasra.

Sebagai seorang Empu, Ki Sandikala adalah seorang pembuat keris yang hebat, sebuah keahlian yang didapatkannya secara turun temurun. Pada suatu waktu Ki Sandikala berhasil membuat keris kembaran Nagasasra. Hanya seorang yang ahli saja yang dapat membedakan kedua keris itu.

Itulah sebabnya ketika memegang keris Nagasasra itu dirinya tahu betul bahwa keris dalam genggamannya itu bukan hasil karyanya.

“Bilasaja Putut Prastawa menginginkan Keris ini, pasti sudah jauh hari sebelum kedatangan Paman Narada”, berkata Ki Sandikala sambil menyelipkan keris itu di balik pakaiannya.

“Tapi mengapa Putut Prastawa menghilang?”, berkata kembali Ki Sandikala berpikir keras mengenai hilangnya Putut Prastawa.

“Mengapa pula yang hilang cuma keris kembarannya?”, bertanya lagi Ki Sandikala sepertinya apa yang ditanyakannya pada dirinya sendiri itu memang sebuah pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya sendiri, masih begitu gelap.

“Aku mengenal Putut Prastawa, pasti kehilangannya tersangkut juga dengan hilangnya keris kembaran ini. Namun sejauh mana ketersangkutannya aku tidak dapat menduga, apalagi berprasangka.

Aku mengenal betul kesetiaannya kepada diriku, juga pada Padepokan ini”, berkata kembali Ki Sandikala kepada dirinya sendiri.

Ki Sandikala segera menutup kembali tanah bersama peti kayu itu yang telah kosong.

Tiba-tiba saja pendengaran Ki Sandikala yang terlatih dapat mendengar suara yang berasal dari atas pohon Pujo. Suara itu bukan suara gesekan daun yang  bergerak karena hembusan angin, tapi suara tarikan nafas berat dari seseorang yang bersembunyi di antara dahan dan dedaunan yang lebat diatas pohon Pujo itu.

“Hanya burung kecil yang bersembunyi diatas dahan”, berkata Ki Sandikala dengan suara datar tanpa berpaling keatas pohon namun perkataannya sepertinya ditujukan kepada seseorang diatas sana.

Ki Sandikala juga tidak berpaling ketika sebuah  bayangan terlihat telah turun seperti seekor burung besar, begitu ringannya jatuh perlahan menjejakkan kakinya diatas tanah.

Bayangan itu sudah berada tepat di hadapan Ki Sandikala.

“Aku memang telah menduga, kamu pasti masih ada disekitar tanah ini”, berkata Ki Sandikala kepada orang yang baru turun dari atas pohon Pujo itu.

“Maafkan hamba yang tidak langsung turun menemui tuan Guru”, berkata orang itu yang baru turun dari pohon Pujo itu sambil merangkapkan kedua tangannya penuh hormat.

“Kamu tidak turun karena menjaga dan melindungi belakang punggungku”, berkata Ki Sandikala penuh senyum.

“Jadi tuan Guru sudah tahu lama bahwa hamba bersembunyi diatas?”, berkata orang itu.

“Hanya tidak tahu bahwa ternyata yang bersembunyi diatas adalah kamu, Prastawa”, berkata Ki Sandikala kepada orang itu yang ternyata adalah Putut Prastawa.

“Hamba menjaga tanah ini, menjaga Keris Nagasasra yang asli”, berkata Putut Prastawa.

“Itulah sebabnya kamu seperti menghilang dari Padepokan?”, bertanya Ki Sandikala

Putut Prastawa akhirnya bercerita bahwa setelah Ki Narada tidak menemui yang dicarinya, dirinya berkeyakinan bahwa pasti Ki Narada akan mencari keris Nagasasra di sekitar Padepokan. Ternyata dugaannya menjadi kenyataan, sehari setelah itu Ki Narada bersama rombongannya mencarinya di dalam candi. Dan berhasil menemukan tempat disembunyikannya keris Nagasasra.

“Maafkan hamba tidak berusaha mencegah Ki Narada membawa keris kembaran Nagasasra”, berkata Putut Prastawa.

“Tindakanmu sudah tepat, melepas Ki Narada yang sudah merasa puas telah mendapatkan apa yang diinginkannya”, berkata Ki Sandikala dengan wajah penuh senyum memuji tindakan Putut Prastawa yang dinilainya cukup cerdik.

“Itulah yang hamba pikirkan saat itu, hasil kerja kita melindungi dan mengecohkan siapapun yang akan memiliki Keris Nagasasra akhirnya membuahkan hasil”, berkata Putut Prastawa. “Meski begitu hamba masih sangsi apakah Ki Narada dapat dikelabui. Itulah sebabnya hamba tidak pernah meninggalkan tempat ini, khawatir Ki Narada akan datang kembali menyisir area di sekitar candi”, berkata Putut Prastawa.

“Terima kasih juga telah meredam jiwa-jiwa muda kedua putraku untuk tidak melakukan apapun terhadap polah Ki Narada di Padepokan”, berkata Ki Sandikala.

“Hamba memang telah meyakinkan Menak Koncar dan Menak Jinggo untuk tidak berbuat apapun agar tidak terjadi kekerasan di Padepokan”, berkata  Putut Prastawa.

“Artinya semua yang kita lakukan untuk menjaga keris pusaka leluhur ini tidak sia-sia adanya”, berkata Ki Sandikala. “Biarlah Ki Narada saat ini merasa puas telah mendapatkan apa yang diidamkannya, sebuah keris karyaku sendiri kembaran Kyai Nagasasra”, berkata Ki Sandikala sambil tersenyum. “mari kita kembali ke Padepokan, para cantrik telah merasa kehilangan dirimu selama ini”, berkata Ki Sandikala mengajak Putut Prastawa kembali ke Padepokannya.

Namun belum lagi mereka akan melangkah, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa bergema dari berbagai arah. Dan suara itu sangat dikenal oleh Ki Sandikala.

“Sayangnya aku bukan anak kecil yang mudah di kelabui”, berkata seseorang diantara suara tawanya yang terdengar seperti berputar putar dari berbagai penjuru mata angin.

“Selamat datang Paman Narada, mengapa seperti anak kecil main petak umpet di belakang batu?”, berkata Ki Sandikala sambil ikut tertawa panjang, suaranya pun ikut bergema dan berputar-putar dari berbagai penjuru.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Sandikala, seorang lelaki tua telah keluar dari persembunyiannya di balik sebuah batu.

“Penglihatan dan pendengaranmu sangat tajam, Nambi”, berkata lelaki tua yang dipanggil Paman Narada oleh Ki Sandikala.

“Paman sudah mendapatkan apa yang diinginkan, apakah ada hal lain lagi?”, berkata Ki Sandikala dengan wajah penuh ramah kepada lelaki tua itu yang telah datang melangkah mendekatinya.

“Aku ingin meminta darimu keris Nagasasra yang mempunyai sisik naga berjumlah seratus buah, sementara yang ada di tanganku ini hanya berjumlah sembilan puluh sembilan sisik naga emas”, berkata Ki Narada dengan mata tajam seperti elang memandang kearah Ki Sandikala.

“Hanya selisih satu sisik, tidak ada bedanya. Dan aku sudah merelakannya untuk Paman”, berkata Ki Sandikala dengan nada suara yang datar.

“Begitu tetap berbeda, dan aku akan meminta darimu dengan segala cara”, berkata Ki Narada dengan suara penuh ancaman.

“Paman mengancamku?”, berkata Ki Sandikala dengan suara yang agak meninggi, namun berusaha untuk tetap mengendalikan perasaan hatinya.

“Aku tidak sedang mengancam, hanya mengingatkanmu bahwa di belakangku ada kekuasaan yang besar yang dapat merugikan dirimu, juga padepokanmu”, berkata Ki Narada

“Bukankah Paman telah berjanji kepada ayahku untuk tidak mengusik keberadaan keris Nagasasra?,” berkata Ki Sandikala mengingatkan Ki Narada.

“Ternyata ayahmu telah bercerita tentang perjanjian itu”, berkata Ki Narada dengan wajah kurang senang.

“Ayahku tidak pernah bercerita, tapi aku melihat langsung sebuah pertempuran yang adil antara ayah dan paman beberapa tahun lalu di tempat ini di sebuah malam”, berkata Ki Sandikala tanpa menyinggung sebuah perjanjian, namun dalam kata-katanya itu memang bermakna untuk mengingatkan Ki Narada kepada janji yang pernah diucapkan kepada Ayahnya yang telah mengalahkannya saat itu dalam sebuah pertempuran yang adil diantara mereka.

“Janji itu sudah berakhir bersama kematian ayahmu”, berkata Ki Narada tanpa perasaan malu sedikit pun.

“Apakah Paman bermaksud memperbaharui perjanjian itu?”, berkata Ki Sandikala dengan sikap yang tenang.

Meski disampaikan dengan bahasa yang wajar, namun perkataan itu didengar oleh Ki Narada sebagai sebuah tantangan terbuka.

Terlihat Ki Narada memandang Ki Sandikala dari ujung kaki sampai keatas kepala. Ki Narada seperti melihat kakaknya hidup kembali dalam tubuh Ki Sandikala. Sorot mata yang bening seperti sebuah telaga yang sangat begitu dalam. Tiga puluh tahun yang lalu Ki Sandikala sudah menjadi seorang pemuda yang tangguh. Melihat dari ketenangannya, Ki Narada dapat sebuah kepastian bahwa Ki Sandikala pasti sudah mewarisi semua ilmu ayahnya, bahkan siapa tahu sudah dapat mengembangkannya jauh diatas tataran ayahnya sendiri. Itulah sebabnya Ki Narada tidak langsung mengambil keputusan. Apalagi disebelahnya ada seorang putut yang sudah lama berguru di Padepokan Teratai Putih. Ki Narada masih sempat melihat bagaimana  Putut Prastawa menunjukkan ilmu meringankan tubuhnya yang nyaris begitu sempurna ketika turun dari pohon Pujo.

“Jangan khawatirkan bahwa kami berdua akan turun bersama”, berkata Ki Sandikala yang sepertinya dapat membaca keraguan Ki Narada.

Ki Narada terlihat tersenyum getir mendengar perkataan Ki Sandikala. “Aku tidak akan mundur meski kalian turun berdua. Karena aku datang bersama lima puluh orang prajurit pilihan dari Kediri”, berkata Ki Narada sambil bersuit panjang.

Ternyata suitan panjang itu sebagai tanda memanggil para prajurit Kediri yang selama itu bersembunyi di berbagai tempat. Dan lima puluh orang prajurit Kediri telah berdiri di belakang Ki Narada.

“Menyerahlah Nambi, serahkan segera keris itu. Kamu boleh telah mewarisi seluruh ilmu perguruan kita, aku tidak tahu apakah kamu sudah mampu melebihi kemampuan ayahmu. Namun setidaknya aku masih dapat bermain lama bertempur bersamamu. Sementara pututmu itu meski dapat terbang, tapi tenaganya akan habis melayani lima puluh orang prajurit”, berkata Ki Narada sambil diiringi tawa yang merendahkan. Sebuah tawa yang sangat menyakitkan hati.

Tapi Ki Sandikala yang telah banyak mengetahui kelicikan pamannya itu malah tertawa datar.

“Bagaimana bila aku bertukar lawan, paman menghadapi Putut Prastawa”, berkata Ki Sandikala.

“Aku akan cepat merobohkannya, setelah itu akan kubantai kamu seorang diri bersama lima puluh orang prajurit”, berkata Ki Narada sambil bertolak pinggang seperti sengaja menekan Ki Sandikala dengan katakatanya itu.

Terlihat Ki Sandikala menarik nafas panjang, dirinya sampai saat ini belum banyak tahu sudah sejauh mana perkembangan ilmu pamannya itu. Namun dirinya masih tetap menenangkan perasaan dirinya tidak terganggu sedikitpun oleh sikap pamannya itu yang sengaja ingin mengaduk-aduk perasaannya, memberikan tekanantekanan dengan kata-katanya.

Ki Sandikala memang tidak punya rasa takut sedikitpun, yang dikhawatirkan adalah kemungkinan banyaknya orang yang terluka, juga kemungkinan dirinya berbenturan dengan orang yang sedarah, pamannya.

Kekhawatiran Ki Sandikala semakin menjadi-jadi manakala dua orang pemuda berlari mendekatinya.

“Tiga ratus orang cantrik siap dibelakang ayah”, berkata salah seorang dari pemuda itu yang sengaja mengeraskan suaranya agar di dengar oleh Ki Narada.

Ternyata pemuda yang berkata itu adalah Menak Koncar datang bersama adiknya Menak Jinggo.

Ketika mendengar Ki Sandikala akan bermalam di pondokannya, dua kakak beradik itu sudah merasa curiga pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh ayahnya. Maka mereka berdua telah berjaga bersembunyi disekitar pondokan. Ternyata kecurigaan mereka terbukti, melihat Ki Sandikala keluar di tengah malam. Dan mereka berdua berhasil mengikuti Ki Sandikala.

Dari persembunyian mereka dapat melihat dan mengamati apa yang dilakukan oleh Ki Sandikala. Dan mereka juga melihat kehadiran Ki Narada disekitar tanah itu bersama para prajurit Kediri. Itulah sebabnya Menak Koncar memerintahkan adiknya Menak Jinggo untuk kembali ke Padepokan guna membangunkan para cantrik menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi.

Kehadiran dua orang pemuda kakak beradik bersama tiga ratus para cantrik padepokan Teratai Putih memang telah berhasil membuat cemas hati Ki Narada.

Ki Narada yang selama hidupnya selalu berjalan dengan segala perhitungan untung dan ruginya pada saat itu memang tengah berpikir keras. Perhitungannya kali ini seperti seorang penjudi ulung yang tahu kapan saatnya untuk mengalah.

“Jangan menyesal bila pada suatu saat aku akan datang kembali menghancurkan Padepokanmu dan merebut keris Nagasasra dari tanganmu”, berkata Ki Narada sambil memberi isyarat kepada prajuritnya untuk mundur. “Paman tidak perlu datang, karena akulah yang akan mengunjungi Paman di Kotaraja Kediri”, berkata Ki Sandikala sambil tersenyum disaat terakhir kali bertatap muka dengan Ki Narada yang sudah langsung berbalik badan pergi bersama prajuritnya menghilang di kegelapan malam.

“Terima kasih, kalian telah menggagalkan kekerasan terjadi di Tanah ini”, berkata Ki Sandikala kepada kedua putranya.”Juga telah membebas-tugaskan Pamanmu Putut Prastawa untuk tidak berkeliaran lagi sepanjang hari di tanah sekitar candi ini”, berkata Ki Sandikala kembali dengan senyum khasnya yang tidak pernah lepas dari bibirnya memandang kearah Putut Prastawa.

Terlihatlah sebuah rombongan besar beriring di penghujung malam itu menuju Padepokan. Hari ini mereka merasa bersyukur tidak terjadi apapun. Hanya mengorbankan rasa kantuk yang sepertinya telah kembali mengusik mata mereka.

“Apakah ayah masih akan beristirahat di pondokan ?”, bertanya Menak Koncar dengan sedikit menggoda kepada Ayahnya.

Ki Sandikala tersenyum mendengar perkataan yang menggoda dari putranya itu.

“Sebentar lagi malam akan berakhir, ada beberapa hal yang akan ayah bicarakan bersama pamanmu Putut Prastawa di pendapa”, berkata Ki Sandikala sambil mengajak Putut Prastawa naik ke panggung pendapa.

Demikianlah, malam memang akan segera berakhir. Hampir semua para cantrik telah kembali masuk ke biliknya masing-masing untuk melanjutkan rasa kantuknya yang masih tersisa. Sementara itu Ki Sandikala masih bersama Putut Prastawa di atas pendapa seperti halnya dua orang sahabat yang sudah lama tidak berjumpa. Seperti sapuan ombak, atau seperti air pancuran di musim penghujan.

Warna pagi sudah menjadi terang tanah.

Para cantrik sudah berkumpul di sanggar terbuka, mereka tengah mendengarkan beberapa wejangan dari Ki Sandikala, guru mereka yang sudah begitu lama meninggalkan mereka.

Ki Sandikala berusaha membuka hati dan pikiran para cantriknya dengan menyampaikan suasana pecahnya keluarga istana Singasari.

“Empu Bharada telah meramalkan bahwa suatu waktu Daha dan Jenggala akan bersatu kembali, akan menjadi Nagari yang lebih luas dari Kerajaan Kahuripan sendiri lewat tangan keturunanya. Akulah darah  keturunan Empu Bharada. Ditubuhku juga mengalir darah Erlangga lewat putri tercintanya Sanggrama Wijaya Tunggadewi”, berkata Ki Sandikala berhenti sebentar sambil menyapu pandangannya kepada wajah-wajah para cantriknya.

Ucapan Ki Sandikala memang sempat membingungkan para cantriknya, di kepala mereka telah timbul dugaan bahwa Ki Sandikala sendiri yang akan tampil merebut kekuasaan.

“Jangan salah artikan perkataanku, memang aku akan berada dalam kancah memersatukan kerajaan yang telah terpecah ini, tapi tidak mengatasnamakan diriku sebagai darah Erlangga, tapi aku sebagai darah Empu Bharada yang akan berjuang memersatukan kembali Daha dan Jenggala sebagaimana Empu Bharada berjuang di sisi murid tunggalnya raja Erlangga merebut kembali Kerajaan Kahuripan”, berkata kembali Ki Sandikala yang sepertinya dapat membaca arah pikiran para cantriknya dan mencoba meluruskannya.

Terlihat Ki Sandikala tersenyum menatap wajah beberapa cantriknya yang sudah mulai mengerti kemana arah pembicaraannya.

“Apakah kalian akan berada di belakangku ikut berjuang memersatukan kembali Tanah yang terpecah ini?”, bertanya Ki Sandikala yang langsung disambut suara gegap gempita para cantriknya.

“Kami siap….kami akan berada di belakang tuan Guru!!”, berkata saling tumpang tindih hampir dari semua cantrik yang ada sehingga suasana di sanggar terbuka itu menjadi begitu riuhnya.

Setelah suasana mulai mereda, Ki  Sandikala melanjutkan perkataannya, “pada saat ini dari berbagai persekutuan Padepokan Teratai Putih yang tersebar di Jawadwipa dan Balidwipa akan mengirimkan seratus orangnya langsung menuju Tanah Ujung Galuh. Hari ini aku juga akan memilih seratus orang diantara kalian”, berkata Ki Sandikala yang kembali disambut suara riuh para cantriknya berharap mereka salah satu dari seratus orang itu.

Demikianlah, pada hari itu juga Ki Sandikala dibantu oleh Putut Prastawa telah memilih para cantrik terbaik diantara mereka. Pada saat yang sama Ki Sandikala juga telah menghibur beberapa cantrik yang merasa kecewa tidak terpilih ikut bersamanya ke Tanah Ujung Galuh.

“Jangan berkecil hati, dimanapun kita berada tugas dan pengabdian kita sama. Tetaplah kalian berlatih dan menjaga Padepokan ini. Pada suatu waktu mungkin aku akan memerlukan diri kalian”, berkata Ki Sandikala kepada beberapa cantrik yang tidak terpilih. Diantara para cantrik yang kecewa, ada tiga orang yang sangat jelas sekali kekecewaannya yang terlihat dari raut wajah mereka yang masam. Namun Ki Sandikala purapura tidak mengetahuinya.

Endang Trinil, Menak Koncar dan Menak Jinggo adalah ketiga orang yang merasa kecewa tidak dipilih oleh Ki Sandikala.

Wajah masam itu masih nampak ketika malam telah datang dalam kebersamaan mereka di atas Pendapa Padepokan.

“Apakah kamu tidak merasakan ada tiga orang berwajah masam sepanjang hari?”, berkata Ki Sandikala penuh senyum kepada Putut Prastawa yang ikut hadir di atas pendapa malam itu diantara Menak Jinggo, Menak Koncar dan Endang Trinil.

Putut Prastawa yang tahu kemana arah pembicaraan Ki Sandikala ikut memanaskan suasana dengan perkataannya, “Hamba telah berbuat jujur, tidak pilih kasih. Seratus orang cantrik yang terpilih adalah para cantrik terbaik di Padepokan ini”.

“Bagaimana bila ketiga orang itu mengajak kamu beradu tanding, apakah kamu bersedia?”, berkata Ki Sandikala tanpa melihat kearah Menak Koncar, Menak Jinggo dan Endang Trinil yang masih bertanya-tanya kemana arah pembicaraan Ki Sandikala.

“Siapa takut di keroyok tiga orang sekaligus”, berkata Putut Prastawa yang tahu maksud dari Ki Sandikala.

Terlihat Ki Sandikala mengarahkan wajahnya kearah Menak Koncar, Menak Jinggo dan Endang Trinil yang juga tengah memandangnya.

“Kalian dengar sendiri, pamanmu bersedia dikeroyok oleh kalian bertiga. Inilah kesempatan kalian untuk melampiaskan kekecewaan kalian tidak terpilih ikut ke Tanah Ujung Galuh”, berkata Ki Sandikala kepada anak dan kemenakannya itu.

“Sudah lama tangan ini gatal-gatal ingin menghajar tiga anak manja di Padepokan ini”, berkata Putut Prastawa penuh senyum sambil berdiri langsung turun ke halaman.

“Aku juga tidak sabaran untuk menghajar pamanku yang pernah menghilang sekian lama”, berkata Menak Koncar mewakili saudaranya ikut bangkit berdiri mengikuti langkah pamannya ke halaman Padepokan.

Menak Jinggo dan Endang Trinil diikuti Ki Sandikala beriringan turun ke halaman Padepokan dimana Putut Prastawa sudah tegak berdiri seperti seorang jawara menunggu lawan-lawannya.

Tanpa perintah apapun, Menak Koncar, Menak Jinggo dan Endang Trinil sudah menempatkan dirinya mengepung Putut Prastawa.

“Anak manis, lihat seranganku”, berkata Putut Prastawa yang memilih Endang Trinil sebagai orang pertama  dalam serangan awalnya.

Luar biasa cepatnya serangan Putut Prastawa mengarah ke tubuh Endang Trinil seperti tidak main-main. Putut Prastawa memang menyerang dengan tataran ilmu tingkat tingginya.

Ternyata Putut Prastawa tahu betul siapa Endang Trinil yang dipilihnya menerima serangan awalnya itu. Serangan yang dahsyat dan sangat cepat itu telah menemui tempat kosong, Endang Trinil sudah melenting menghindar dan langsung balas menyerang.

Tanpa menunggu waktu, Menak Koncar dan Menak Jinggo sudah langsung bersama menerjang ke arah Putut Prastawa.

Menghadapi tiga serangan bersamaan tidak membuat Putut Prastawa surut, dengan lincahnya telah melompat menghindar dan balas menyerang secara bersamaan dengan kaki tangannya kearah tiga orang anak-anak muda itu.

Demikianlah, pertempuran itu terus berlangsung semakin lama semaki seru. Mereka masing-masing seperti mengetahui kemana arah serangan dan bagaimana seharusnya menghindar. Putut Prastawa tidak pernah surut berkelit seperti seokor belut melejit meloloskan diri dari serangan tiga anak muda yang terlihat penuh penasaran tidak juga dapat mengalahkan seorang Putut Prastawa.

Ki Sandikala yang menonton pertempuran itu tersenyum bangga, ketiga anak muda itu ternyata sudah jauh berkembang kemampuannya dibandingka beberapa waktu lalu, meski serangan-serangan mereka masih saja dapat dipatahkan oleh Putut Prastawa yang sudah mempunyai pengalaman lebih daripada mereka.

“Aku akan puas bila kamu dapat menghajar salah satu diantaranya, karena mereka hanya tiga ekor srigala yang datang dari pulau berbeda”, berkata Ki Sandikala kepada Putut Prastawa.

“Hanya tiga ekor anak srigala”, berkata Putut Prastawa sambil menyerang kearah wajah Endang Trinil.

Ternyata Menak Koncar sangat tanggap apa arti sindiran Ayahnya itu, sebagai sebuah sindiran bahwa serangan mereka dilakukan secara terpisah.

“Tunjukkan bahwa kita bukan tiga anak srigala, tapi raja srigala penguasa hutan malam”, berkata Menak Koncar kepada Menak Jinggo dan Endang Trinil.

Mendengar perkataan Menak Koncar, terlihat Endang Trinil dan Menak Jingga melenting bersamaan dan hinggap berdiri berjajar bersama Menak Koncar.

Ketiga anak muda ini seperti tahu apa yang harus dilakukan bersama, menyerang seperti ombak silih berganti tidak pernah berhenti, tenaga mereka seperti terjaga karena hanya memikirkan sebuah serangan dan menanti serangan selanjutnya.

Ki Sandikala tersenyum melihat pokal putra dan putri kesayangannya itu, mereka seperti satu tubuh dan begitu mengenal kemampuan masing-masing.

Ki Sandikala juga masih tersenyum melihat Putut Prastawa yang semakin kewalahan tidak dapat sedikitpun balas menyerang, hanya terus menerus menghindar membuat tenaganya menjadi semakin susut. Keringat terlihat bercucuran dari tubuhnya.

Hingga dalam sebuah kesempatan yang sangat sempit, Endang Trinil telah melibatnya yang langsung menyerang dengan tendangan yang menggunting menyentak kaki Putut Prastawa.

Dibelakang Endang Trinil sudah menanti serangan Menak Jinggo. Maka tidak ada jalan lain bagi Putut Prastawa mengikuti arah condong dirinya dan langsung berguling di tanah.

“Woww…!!”, berkata Ki Sandikala memuji kekompakan serangan dua putra dan kemenakannya itu.

“Ternyata keponakanku yang manis ini benar-benar jeli matanya”, berkata Putut Prastawa yang sudah kembali berdiri. “Ternyata kalian telah mengenal jiwa didalam jurus perguruan kita sebagai inti sari serangan ular naga. Lima atau enam orang bersatu memainkan jurus ini akan menjadi semakin dahsyat”, berkata Ki Sandikala sambil maju ketengah diantara mereka memberikan beberapa hal menyempurnakan beberapa gerakan yang seharusnya dilakukan. ”Dalam satu hari ini kalian bertiga pasti sudah dapat mematangkannya dan menularkannya kepada semua cantrik di Tanah Ujung Galuh”, berkata Ki Sandikala penuh senyum.

“Di Tanah Ujung Galuh?”, bertanya Manak Koncar masih meraba-raba maksud perkataan Ayahnya.

“Maksudku sudah jelas, aku tidak memilih kalian diantara seratus cantrik padepokan ini, tapi aku akan membawa kalian agar ikut membantu membimbing para cantrik disana”, berkata Ki Sandikala.

Wajah ketiga anak muda itu langsung berubah penuh ceria.

“Paman memang suka sekali membuat kejutan-kejutan”, berkata Endang Trinil dengan wajah manjanya.

“Bukan aku bila tidak membuat kejutan”, berkata Ki Sandikala menatap gembira melihat dua orang putra dan keponakannya itu begitu ceria. ”Dan aku memang tidak mau jauh-jauh dari kalian”, berkata kembali Ki Sandikala sambil mengajak mereka naik keatas panggung pendapa.

Diatas pendapa Ki Sandikala kembali memberikan pandangannya memperkaya pengenalan mereka bertiga tentang jurus jalur perguruan mereka.

“Besok pagi aku rasa pamanmu pasti sudah lebih segar menghadapi kalian bertiga”, berkata Ki Sandikala yang ditanggapi penuh senyum oleh ketiga anak muda itu sambil mengarahkan pandangannya kearah Putut Prastawa.

“Aku berhutang tendangan, aku berharap besok sudah dapat melunasinya”, berkata Putut Prastawa sambil memandang kearah

Endang Trinil yang membalasnya dengan senyum penuh kemanjaan. Begitu manis.

“Kapan kita berangkat ke Tanah Ujung Galuh?”, bertanya Menak Jinggo sepertinya sudah tidak sabaran membayangkan sebuah perjalanan yang menyenangkan.

“Dua atau tiga hari ini”, berkata Ki Sandikala. “Kita berjalan dalam kelompok-kelompok kecil agar tidak menimbulkan kecurigaan pihak lawan”, berkata kembali Ki Sandikala.

“Sepanjang perjalanan aku akan menikmati masakan keponakanku yang manis ini”, berkata Putut Prastawa menggoda Endang Trinil.

“Sepanjang perjalanan tidak ada pemuda yang berani menggodanya, karena dikelilingi empat ekor sirigala”, berkata Ki Sandikala ikut menggoda Endang Trinil

“Dua srigala tua, dua lagi srigala muda. Dan aku putri bulannya yang diasuh oleh keluarga srigala”, berkata Endang Trinil dengan senyumnya yang manja seperti putri bulan sebenarnya, dan memang begitu menyegarkan siapapun yang melihat senyum itu.

Sang putri malam telah bersembunyi di balik pohon suren besar di sebelah barat Padepokan disaat Menak Koncar, Menak Jingga dan Endang Trinil telah hanyut di bawa sang mimpi jauh hingga ke Tanah Ujung Galuh.

Sementara itu di Tanah Ujung Galuh seperti tidak pernah tertidur, perahu-perahu besar dari berbagai nagari  datang dan pergi membongkar barang dagangannya. Para buruh sibuk memanggul barang seperti tidak pernah letih ditingkahi suara genit para wanita penghibur malam begitu menggoda membuat setiap mata lelaki tidak pernah jemu mengisi hari sepanjang malam di Bandar Ujung Galuh itu.

Hingga akhirnya sang fajar telah menyingsing di atas Tanah Ujung Galuh.

Sudah dua hari ini di Tanah Ujung Galuh telah berdatangan secara bergelombang para prajurit dari Kotaraja Singasari yang sengaja ditarik untuk bergabung di Tanah Ujung Galuh. Kedatangan mereka bertepatan dengan telah selesainya pembangunan benteng besar yang berdiri di atas Tanah Ujung Galuh. Di tempat itulah para prajurit seluruhnya mengisi dan memenuhi barakbarak prajurit.

Bayangkan, delapan ribu prajurit telah memenuhi Tanah Ujung Galuh.

Sudah dua hari itu pula di Tanah Ujung Galuh itu telah berdatangan secara bergelombang orang-orang yang dikirim oleh Adipati Arya Wiraraja sesuai janjinya. Untuk sementara itu mereka ditempatkan di barak lama, dibarak yang masih begitu sederhana.

Tidak dapat dibayangkan, begitu rimpuh dan ruahnya suasana keadaan di Tanah Ujung Galuh.

“Kupercayakan dua ribu orang dari pulau Madhura kepadamu wahai saudaraku Ranggalawe”, berkata Raden Wijaya kepada Ranggalawe di pendapa agung di benteng baru mereka pagi itu.

“Hari ini aku akan membawa mereka, merubah padang ilalang menjadi hamparan sawah ladang hijau”, berkata Ranggalawe penuh semangat.

“Kita berbagi tugas, aku akan mengerahkan para prajurit untuk menebang beberapa batang pohon di hutan Maja untuk bahan kayu tempat tinggal baru para penghuni tanah Perdikan”, berkata Raden Wijaya.

Demikianlah, hari itu adalah hari pertama mereka membuka hutan Maja sebagai Tanah Perdikan baru. Mereka bekerja dengan begitu semangat, karena didalam hati mereka telah dipenuhi sebuah keyakinan baru, diatas tanah yang mereka bangun adalah sebuah tanah harapan baru untuk mereka sendiri, juga masa depan mereka.

“Ki Sandikala begitu rinci membuat gambar pakem hunian baru”, berkata Gajah Pagon kepada Ki Sukasrana yang ikut bersama Raden Wijaya memilih daerah mana saja di hutan itu yang perlu di ambil batang kayunya.

Gambar yang dibuat oleh Ki Sandikala diatas lembaran lontar itu memang begitu terinci, memudahkan mereka memilih dimana seharusnya jalan sebuah Padukuhan, dimana seharusnya berdiri lima sampai enam hunian sebagai kelompok babakan desa. Dari babakan desa yang tersebar itulah terbentuknya sebuah Padukuhan yang tertata begitu rapih.

Awan di langit selalu berubah setiap saat dan waktu.

Begitulah, awan langit diatas Hutan Maja terus berubah sepanjang waktu setiap saatnya.

Seperti Raja Samaratungga menunggu batu demi batu tersusun menjadi sebuah candi yang megah, candi Borobudur. Seperti itulah Raden Wijaya menunggu pengentasan tanah perdikannya diatas Hutan Maja. Hari itu telah mulai terlihat petak-petak sawah seperti tercetak rapih dialiri sungai dan parit kecil, dan pada hari yang lain sudah tumbuh beberapa hunian diantara jalan desa dan jalan padukuhan yang tertata rapih diantara rindangnya Hutan Maja. Sayangnya semua itu hanya ada dalam lintasan bayang-bayang lamunan Raden Wijaya. Pada kenyataannya semua itu perlu waktu dan kerja.

“Hari ini sudah datang secara bergelombang para cantrik dari Padepokan Teratai Putih”, berkata Raden Wijaya kepada Gajah Pagon dan Ki Sukasrana ketika mereka menjelang sore hendak kembali ke benteng prajurit setelah sehari penuh berada di padukuhan hutan Maja.

“Ki Sandikala sendiri pasti saat ini masih dalam perjalanan, mungkin beliau lewat jalur darat sambil melihat-lihat perkembangan beberapa tempat”, berkata Gajah Pagon menyambung perkataan Raden Wijaya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Gajah Pagon. Ki Sandikala memang masih dalam perjalanan menuju Tanah Ujung Galuh lewat jalur darat.

Tidak seperti para cantriknya yang telah berangkat mendahului lewat jalur laut, Ki Sandikala telah memutuskan untuk berangkat menuju Tanah Ujung Galuh melewati jalur darat. Hal ini dilakukan guna melihat lebih dekat perkembangan setiap daerah setelah pecahnya kekuatan Singasari. Disamping juga untuk memberi tambahan wawasan kepada dua orang putranya Menak Koncar dan Menak Jinggo yang sejak kecil tidak pernah pergi jauh dari Padepokannya.

Perjalanan mereka menjadi penuh warna karena bersama mereka ada seorang gadis manis yang mulai tumbuh dewasa, Endang Trinil.

Sore itu mereka telah memasuki sebuah padukuhan yang berbatasan dengan hutan Ranu Regolo, sebuah hutan hitam lebat yang sangat luas berada disebuah lembah diantara Gunung Bromo dan Gunung Semeru. Jarang sekali orang yang berani melewati hutan itu bila tidak ada kepentingan yang sangat mendesak. Ada sebagian orang mengatakan bahwa di Hutan Ranu Regolo sangat angker karena tempat hunian para lelembut. Hutan Ranu Regolo juga ditakuti karena dipenuhi begitu banyak binatang buas, srigala dan kawanan anjing hutan di malam hari. Dan disiang harinya banyak sekali harimau yang berkeliaran mencari mangsa.

Namun diantara keangkeran serta binatang buas  di hutan Ranu Regolo, ada satu lagi yang membuat setiap orang mengurungkan niatnya melewati hutan itu dan memilih mencari jalan lain meski harus memutar lebih jauh.

Semua orang pasti membenarkan bila dikatakan bahwa hutan Ranu Regolo juga sebagai sebuah sarang penyamun !!!

Tapi apapun bahayanya, Ki Sandikala bersama keluarga kecilnya akan melewati hutan itu.

Suasana di jalan padukuhan itu masih terang tanah,  bulat matahari kuning masih bergantung di barat lengkung langit.

“Ada sebuah rumah singgah diujung Padukuhan ini, kita bisa bermalam disana”, berkata Ki Sandikala yang sepertinya sudah mengenal padukuhan itu.

Namun langkah kaki mereka seperti tertahan ketika dibelakang mereka terdengar suara langkah kaki kuda berlari melewati mereka dan meninggalkan debu yang mengepul. Mereka melihat sepintas dua orang penunggang kuda telah melewati mereka dan semakin menjauh meninggalkan mereka. Hampir semua mempunyai kesan yang sama terhadap kedua penunggang kuda itu, mereka melihat kedua penunggang itu pastinya dua orang asing yang terlihat dengan pakaian yang dikenakan. Juga dua buah pedang panjang yang melintang di punggung kedua orang itu sangat bagus berkilat warna perak yang tidak lajim dimiliki oleh orang pribumi.

“Sebuah sarung pedang yang indah, pasti pedang didalamnya tidak kalah indahnya”, berkata Menak Jinggo sambil masih memandang kedua orang berkuda yang sudah semakin jauh dari pandangan mereka.

“Pakaian mereka pasti dari bahan yang halus, bahan pilihan”, berkata Endang Trinil sambil memegang bahan pakaian yang dikenakannya, yang hanya dari sebuah bahan kasar yang bisa dikatakan sudah tidak baru lagi.

“Jangan-jangan mereka dua orang pangeran yang sedang mencari sang putri bulan”, berkata Menak Koncar yang disambut tawa.

Meski hari masih terang, namun suasana jalan Padukuhan itu sudah begitu sepi. Hanya terkadang mereka mendapati satu dua orang tengah membelah kayu di pelataran rumahnya. Sementara di sebelah kanan mereka terlihat petak-petak sawah yang masih kering. Saat itu memang tengah memasuki musim pancaroba di padukuhan yang mereka singgahi.

“Disaat musim pancaroba ini, biasanya para lelaki pergi bekerja sebagai penderap di daerah lain yang tengah panen padi. Mungkin itulah sebabnya padukuhan ini menjadi begitu sepi”, berkata Putut Prastawa. “Kadang mereka pergi sekeluarga bersama sebagai penderap”, berkata Ki Sandikala ikut menyambung perkataan Putut Prastawa.

Tidak terasa sambil berbincang, rumah singgah yang mereka tuju sudah semakin dekat.

Rumah singgah adalah sebuah rumah yang sengaja di bangun untuk orang-orang yang sengaja akan melintasi hutan Ranu Regola. Dulu banyak pedagang yang menggunakan rumah singgah ini untuk bermalam sambil menunggu beberapa orang agar mereka dapat melintasi hutan Ranu Regola bersama. Tapi saat ini sedikit sekali bahkan tidak lagi ditemui para pedagang yang datang singgah, mungkin karena hutan Ranu Regola sudah tidak aman lagi bagi mereka.

Matahari sudah semakin redup ketika mereka berlima sampai di rumah singgah itu.

“Bukankah mereka dua orang penunggang kuda pemilik pedang indah itu?” berkata Endang Trinil.

Perkataan Endang Trinil mengingatkan mereka kembali kepada dua orang penunggang kuda dengan pedang indahnya yang telah mendahului mereka di jalan padukuhan.

Seorang lelaki tua pemilik rumah singgah itu telah datang menyambut mereka berlima, membawa mereka ke sebuah bale bambu yang lain bersebelahan dengan dua orang berkuda yang nampaknya juga akan melintasi hutan Ranu Regola.

“Kami juga menyediakan penganan untuk persediaan selama di perjalanan”, berkata lelaki tua itu ketika membawa makanan dan minuman hangat kepada Ki Sandikala dan rombongannya. “Terima kasih Ki, siapkan penganan untuk kami berlima”, berkata Ki Sandikala kepada orang tua itu.

“Dulu tempat ini sangat ramai disinggahi para pedagang yang akan melintas ke Hutan Ranu Regola, para prajurit Singasari saat itu masih sering berkeliling melakukan penjagaan”, berkata orang tua itu.”Semoga perjalanan kalian tidak mendapatkan gangguan”, berkata kembali orang tua itu sepertinya penuh rasa khawatir.

“Apakah keadaan hutan Ranu Regola saat ini tidak aman lagi?”, bertanya Ki Sandikala penuh selidik.

“Saat ini jarang sekali ada yang berani melintas di hutan itu, kabarnya ada sekelompok penyamun yang menjadikan hutan itu sebagai hunian mereka”, berkata orang tua itu seperti ragu dan agak takut seperti berharap tamunya itu berpikir ulang untuk melintasi hutan Ranu Regola.

Tapi apa yang diucapkan oleh Ki Sandikala membuat hatinya cukup lega.

“Mudah-mudahan para penyamun itu tidak mengganggu kami, karna kami tidak membawa apapun yang dianggap cukup berharga”, berkata Ki Sandikala.

Ketika hari sudah mulai beralih menjadi malam, pemilik rumah singgah itu menawarkan Endang Trinil beristirahat di dalam rumah.

“Ada bilik kosong di rumah ini hanya khusus untuk seorang wanita”, berkata orang tua itu menawarkan.

“Terima kasih Ki, anak gadisku ini memang tidak boleh begadang sampai jauh malam”, berkata Ki Sandikala bercanda meski dia sendiri mengetahui Endang Trinil bukan lagi gadis biasa yang manja. Tapi sudah banyak ditempa punya ketahanan yang bahkan melampaui lelaki biasa.

Sambil mencibirkan bibirnya yang tipis, Endang Trinil terlihat mengikuti orang tua itu masuk kedalam rumah.

Sementara itu dua orang asing yang duduk berseberangan di bale bambu yang lain masih belum juga bertegur sapa, sepertinya tidak memperdulikan kehadiran Ki Sandikala dan rombongannya. Mungkin mereka beranggapan Ki Sandikala dan rombongannya sebagai seorang pribumi biasa, atau memang mereka merasa tidak perlu berbagi apapun layaknya orang asing yang ingin bertanya begitu banyak hal yang ingin diketahui. Atau mereka mungkin begitu banyak menyimpan rahasia??

Ketika malam sudah semakin larut, dua buah bale bambu yang hanya berjarak dua langkah kaki itu masih juga seperti dua buah pulau yang terpisah.

Salah seorang dari lelaki asing itu terlihat sudah tertidur pulas, sementara temannya masih tetap duduk bersila seperti tengah melatih pernapasan.

Diam-diam Menak Koncar yang mendapat giliran berjaga di malam itu sempat melirik orang asing yang tengah duduk bersila itu. Menak Koncar dapat mengukur usia orang itu masih sekitar empat puluhan. Sebuah cambang yang lebat membuat orang itu terlihat sangat tampan, wajah seorang lelaki sejati.

Menak Koncar juga sempat melihat wajah orang asing yang sudah tertidur pulas, kulitnya lebih pucat lagi dari pada temannya. Diam-diam Menak Koncar juga dapat membedakan kedua orang itu bahwa kelopak mata orang yang masih duduk itu meruncing sipit, sebuah ciri jenis kelopak mata yang baru kali ini dilihatnya. Ada memang sedikit keinginan Menak Koncar untuk pindah ke bale bambu disebelahnya hanya untuk  sekedar menyapa, bertanya ini itu, tapi keinginan itu ditundanya melihat orang yang tengah duduk bersila itu nampaknya memang sedang menikmati kesendiriannya.

Akhirnya Menak Koncar telah mengalihkan pandangan matanya ke arah hutan Ranu Regola dihadapannya yang terlihat seperti raksasa hitam pekat berdiri menyeramkan.

Sayup-sayup Menak Koncar mendengar lengking anjing liar jauh dari pedalaman hutan Ranu Regola. Dalam bayangan Menak Koncar terpikir seekor anak kijang tengah terjebak dalam kepungan anjing-anjing liar dimana tidak jauh dari mereka pasti menunggu srigala lapar siap mencuri hasil buruan anjing-anjing liar itu.

Namun lamunan Menak Koncar seperti buyar manakala disebelahnya Menak Jinggo bangun dari tidurnya.

“Saatnya kakang beristirahat”, berkata Menak Jingga kepada Menak Koncar.

“Entahlah, mata ini masih juga belum mengantuk”, berkata Menak Koncar kepada adiknya.

Angin dingin malam itu memang cukup membuat sekujur badan mereka dapat menggigil, namun mereka menjadi heran melihat orang asing yang masih bersila itu seperti tidak merasakan apapun.

Begitu kagetnya kedua kakak beradik itu manakala orang asing itu menoleh kepada mereka berdua. Menak Koncar dan Menak Jinggo semakin jelas melihat wajahnya, dapat dikatakan sebagai sebuah wajah yang tampan, hanya mata yang sipit saja yang mereka lihat sebagai sebuah keanehan. Namun secara keseluruhan orang itu memang sangat tampan, apalagi dengan cambangnya yang terlihat tebal menambah kegagahan dari pemilik wajah itu.

Dan yang tidak mereka berdua duga sama sekali bahwa pemilik wajah itu ternyata dapat tersenyum.

Benar, orang asing itu memang telah menyapa mereka berdua dengan sebuah senyuman.

Maka sebagai tanggapan atas senyum dari orang asing itu keduanya membalas pula senyuman itu.

“Apakah kalian juga akan melintasi hutan didepan kita itu”, bertanya orang asing itu dengan penuh keramahan seperti mencairkan keterasingan dan kebekuan suasana diantara mereka.

“Benar, besok kami akan melintasi hutan Ranu Regola itu”, menjawab Menak Koncar

“Apakah kalian sudah sering melintasi hutan itu?”, bertanya orang asing itu.

Mendapat pertanyaan itu Menak koncar dan Menak Jinggo saling berpandangan.

“Kami berdua belum pernah melintasi hutan itu”, berkata Menak Koncar tersenyum tersipu.

Orang asing itu hanya tersenyum mendengar perkataan dari Menak Koncar. Perlahan orang itu telah menggeser badannya melayangkan pandangannya kearah hutan Ranu Regola seperti sedang memasuki kegelapan hutan pekat menerobos dengan mata dan bayang-bayang pikirannya.

Melihat orang asing itu telah kembali dalam kesendiriannya, Menak Koncar dan Menak Jinggo seperti mengikuti apa yang dilakukan oleh orang asing itu, masuk kegelapan hutan dengan mata khayalnya berjalan terantuk akar dan semak-semak yang rapat.

Hayal dan lamunan Menak Koncar, Menak Jinggo dan orang asing itu sepertinya terputus oleh suara ayam jantan yang terdengar halus jauh dari dalam hutan.

Sang malam telah berada di ujung pagi, siap untuk pergi kebelahan bumi yang lain.

Menak Koncar sempat melihat kawan orang asing itu sudah terbangun,

Menak Koncar melihat bahwa perbedaan diantara keduanya terlihat di kelopak mata mereka, kawan orang asing itu memang lebih sipit dengan kulit lebih putih seperti sebuah lobak.

Menak Koncar juga sempat memperhatikan keduanya secara bergantian pergi ke pakiwan untuk bersih-bersih.

Matahari di ufuk timur pagi itu bersinar begitu cerah, membuat wajah-wajah semua orang di rumah singgah itu menjadi begitu ceria. Mereka tengah menikmati pemandangan di pinggir hutan Ranu Regola bersama semangkuk minuman hangat yang menyegarkan.

“Mari anak muda, kami berangkat lebih dulu”, berkata orang asing itu menyapa Menak Koncar sambil melangkah mengikuti kawannya yang telah lebih dulu berjalan ke arah dimana kuda-kuda mereka diikat di sebuah batang pohon.

Diiringi pandangan mata Menak Koncar dan keluarganya kedua orang asing itu telah berjalan menuntun kudanya kearah Hutan Ranu Regola yang hanya terpisah tumbuhan semak dan perdu yang akhirnya telah menghilang di telan kegelapan hutan Ranu Regola yang berpagar batang kayu tua yang besar dan tinggi menjulang ke langit. Hari pagi sudah mulai menjadi terang tanah ketika Menak Koncar dan keluarganya telah melakukan persiapan untuk melanjutkan perjalanannya.Terlihat telah berpamit diri kepada pemilik rumah singgah itu.

“Semoga keselamatan selalu mengiringi perjalanan kalian”, berkata orang tua pemilik rumah singgah itu mengantar kepergian Menak Koncar dan keluarganya.

Terlihat mereka beriringan menyusuri jalan setapak ditengah tanaman semak dan perdu yang membatasi jarak menuju hutan Ranu Regola dibawah cahaya sinar matahari pagi yang cerah.

Akhirnya satu persatu telah memasuki hutan Ranu Regola menyusuri sebua jalan setapak, mungkin jejak para pemburu yang sering keluar masuk hutan itu. Sementara cahaya matahari seperti sebuah pedang panjang menembus lewat celah dahan ranting dan daun menerangi pandangan mata diantara keteduhan hutan yang pepat itu. Bau tanah humus dan daun segar tercium memenuhi perjalanan mereka beriring bersama angin sejuk segar.

Endang Trinil nampaknya menikmati perjalanannya, sepanjang jalan matanya tidak jemu memandang pohonpohon besar yang telah berlumut dipenuhi tanaman angrek berwarna warni. Jiwa wanitanya seperti ingin meloncat memetik salah satu bunga anggrek hutan itu, tapi keinginan itu hanya tersimpan di dalam hati terhalang langkah kaki Menak Koncar di belakangnya yang sepertinya terus mengikuti memotong tumitnya agar tidak berhenti.

“Lihatlah bunga itu, ada totol hitam di lidah bunganya”, berkata Endang Trinil yang tidak lagi mampu menahan bibirnya mengagumi sebuah bunga anggrek yang tengah mekar.

Menak Koncar dan Menak Jinggo terpaksa harus berhenti dan melemparkan pandangan matanya ke arah tangan Endang Trinil yang tengah menunjuk ke sebuah bunga anggrek yang menempel di sebuah batang pohon besar berlumut.

Putut Prastawa yang sudah jauh sekitar lima langkah dari mereka jadi ikut berhenti, hanya ikut tersenyum melihat laku Endang Trinil yang berhenti berjalan hanya karena keindahan sebuah bunga anggrek.

Endang Trinil bukan gadis manja yang hanya menuruti perasaannya, terlihat dirinya berlari kecil mengejar Putut Prastawa diikuti di belakangnya Menak Koncar Dan Menik Jinggo.

Menak Koncar yang mengetahui keinginan hati saudaranya itu segera memetik beberapa tangkai bunga anggrek sambil berjalan.

“Terima kasih”, berkata Endang Trinil sambil menerima empat buah tangkai bunga anggrek pemberian Menak Koncar.

—oOo—
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar