SAAT itu, langit diatas Tanah Ujung Galuh telah dipenuhi warna bening senja. Terlihat beberapa prajurit bergerombol di berbagai tempat tengah beristirahat setelah sepanjang hari bekerja membangun Benteng mereka sendiri, sebuah tempat yang akan jauh lebih nyaman dibandingkan barak-barak sementara mereka.
“Singgahlah kalian di Pulau Wangi-wangi, kabarkan kepada keluargaku bahwa saat ini kami sudah punya tempat yang aman di Tanah Ujung Galuh”, berkata Raden Wijaya kepada seorang perwira prajurit yang akan memimpin sebuah pelayaran dagangnya menuju Tanah Gurun yang akan bertolak besok pagi dari Bandar Ujung Galuh.
“Pesan tuanku akan kami sampaikan,”, berkata perwira itu penuh hormat sambil berpamit diri setelah menerima beberapa pesan lainnya dari Raden Wijaya.
“Bila saja tidak ada keperluan di Balidwipa, mungkin aku akan ikut berlayar dengan mereka singgah di Pulau Wangi-wangi”, berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya ketika perwira itu telah jauh melangkah meninggalkan barak prajurit.
“Aku berharap dapat berkumpul dengan mereka kembali”, berkata Raden Wijaya.
“Disaat musim angin barat daya nanti, aku berharap mereka akan ikut serta pulang bersama Jung Singasari yang kembali dari Tanah Gurun. Tentunya kita sudah dapat memberikan mereka sebuah naungan yang layak, sebuah pesanggrahan yang tenang dan indah karya sang empu sejati”, berkata Mahesa Amping sambil melirik kearah Ki Sandikala yang telah membuat sebuah bagan kasar diatas sebuah lontar, sebuah gambar yang begitu indah seperti nyata diatas tanah hutan Maja.
“Besok Ki Sandikala akan berangkat ke Lamajang?”, bertanya Raden Wijaya kepada Ki Sandikala meyakinkan kembali meski sudah didengar langsung dari Ki Sandikala beberapa waktu yang lalu ketika dalam perjalanan pulang dari Hutan Maja tadi siang.
“Benar, sudah lama hamba meninggalkan sanak keluarga di Lamajang”, berkata Ki Sandikala penuh senyum.
“Kapan kamu akan bertolak ke Balidwipa?”, bertanya Raden Wijaya kepada Mahesa Amping sepertinya merasa berat ditinggalkan oleh dua orang yang selama ini menemaninya seperti sebuah keluarga disaat dirinya seperti terasing, jatuh patah arang tidak punya pegangan arah. Merekalah yang telah membangun, mengangkatnya berdiri tegak kembali menghadapi kepahitan dan getir kekalahan Singasari sebagai jalan takdir yang harus diterimanya sebagai sebuah tantangan, sebuah perjuangan.
“Ada sebuah perahu dagang yang akan bertolak ke Balidwipa besok lusa”, berkata Mahesa Amping. “Aku akan cepat datang kembali dengan seratus orang cantrik Pamecutan sebagaimana yang kujanjikan”, berkata kembali Mahesa Amping yang dapat membaca perasaan Raden Wijaya saat itu.
Maka ketika malam datang mewarnai wajah langit diatas Tanah Ujung Galuh, suasana di barak prajurit yang sederhana itu telah berubah menjadi sebuah malam perpisahan. Dengan sangat berat hati mereka harus melepas Ki Sandikala pergi ke Lamajang seorang diri.
Dan malam itu lengkung langit diatas Tanah Ujung Galuh begitu sepi dari kerlap-kerlip cahaya bintang, mungkin sebentar lagi akan turun hujan.
Hujan Gerimis telah turun sepanjang malam membasahi tanah dan rerumputan diatas Tanah Ujung Galuh. Gerimis baru reda saat menjelang fajar tiba. Sisa-sisa genangan air masih terlihat merata di setiap tanah legok hampir di setiap jalan yang biasa banyak dilalui orang, terutama jalan menuju ke arah bandar pelabuhan Ujung Galuh.
Gerimis yang turun sepanjang malam itu telah membuat udara pagi itu terasa begitu menyegarkan. Wajah cerah terlihat diatas sebuah perahu bercadik yang tengah merenggang menjauhi sebuah dermaga kayu bersama beberapa orang yang melambaikan tangannya di atas dermaga.
“Selamat jalan sahabat”, berkata Mahesa Amping dari atas dermaga kayu melambaikan tangannya kepada Ki Sandikala diatas perahunya.
Terlihat Ki Sandikala dengan senyum cerahnya membalas semua lambaian tangan itu, dua orang prajurit Singasari yang mengantarnya ikut juga melambaikan tangannya.
Perahu bercadik dan bertiang layar tunggal itu terus merenggang menjauhi tepi pantai. Ki Sandikala masih terus memandang kearah dermaga kayu yang semakin menjauh. Wajah-wajah ceria diatas dermaga kayu itu akhirnya semakin samar seperti bayang-bayang yang berbaris diantara ujung geladak jung perahu layar yang bergoyang dihempas ombak laut pagi.
Perahu Ki Sandikala yang dikayuh oleh dua orang prajurit yang mengantarnya terus melaju menyusuri tepian pantai timur Jawadwipa. Laut Selat Madhura begitu tenang seperti sebuah danau biru yang luas, disebelah kanan Ki Sandikala terbentang hutan hijau Jawadwipa.
Di perjalanan pelayarannya itu kadang bertemu dengan beberapa nelayan yang telah menanamkan sauhnya tidak jauh dari bibir pantai. Seperti saudara yang lama tidak berjumpa mereka melambaikan tangannya ke arah perahu Ki Sandikala. Begitulah kehidupan dan keramahan suasana para nelayan ditengah laut.
Ki Sandikala semasa mudanya banyak sekali mengunjungi berbagai tempat. Perjalanan laut kali ini bukan pengalaman pertamanya. Dan Ki Sandikala sangat mengenal beberapa tempat pantai sepanjang perjalanannya seperti mengenal bentuk regol halaman rumah tetangganya.
“Kita beristirahat di pantai penyu”, berkata Ki Sandikala ketika matahari telah hampir berdiri di puncaknya.
Dua orang prajurit Singasari itu terlihat tengah mengayuh dayungnya menuju sebuah bibir pantai yang landai. Bertiga mereka menarik dan mendorong perahu hingga jauh ke pasir putih yang hangat terbakar cahaya matahari di siang hari itu.
“Kita berteduh dibawah batu goa cadas itu, ada banyak air tawar keluar dari celah-celah batu”, berkata Ki Sandikala sambil menunjuk ke arah bukit cadas didepan mereka seperti raksasa hitam menjaga pantai laut.
Sangat teduh berada diantara lekuk-lekuk besar menyerupai goa di kakí bukit cadas itu. Seperti yang dikatakan oleh Ki Sandikala mereka menemui banyak air tawar yang keluar dari celah-celah batu cadas disekitar mereka.
“Kita berteduh disini menunggu hingga matahari melintas ke barat”, berkata Ki Sandikala.
Akhirnya ketika matahari telah melintas tergelincir ke arah barat, mereka melanjutkan kembali perjalanan mereka.
Ketika angin bertiup cukup kencang ke arah timur, mereka segera membuka ikatan layar. Dan perahu bercadik itu telah melaju terbawa angin.
Warna mega langit diatas kepala mereka terlihat semakin buram bersama suramnya cahaya matahari yang semakin meredup mengendap menuruni kaki lengkung langit di barat bumi. Angin pun semakin kencang mengembangkan layar perahu membuat bunyi tiang layar berderik beradu dengan kayu sumbu pengait pengendali arah.
“Gulung layar, kita telah hampir sampai”, berkata Ki Sandikala sambil menunjuk ke arah sebuah tanjung daratan yang menjorok ke laut.
Dua orang prajurit itupun telah mengarahkan perahunya kearah yang ditunjuk oleh Ki Sandikala.
“Aku sudah sampai di pagar rumahku sendiri”, berkata Ki Sandikala ketika perahu sudah merapat di sebuah daratan.
Terlihat Ki Sandikala telah melompat dari atas perahu diikuti oleh salah seorang prajurit yang mengantarnya sambil membawa ikatan tali.
Seorang prajurit lainnya ikut melompat belakangan disaat kawannya telah mengikat tali perahu di sebuah tonggak kayu yang ada.
Dihadapan mereka adalah sebuah perkampungan nelayan. Namun mereka tidak mendekati kampung nelayan itu, hanya berhenti di sebuah gubuk yang sepertinya sudah begitu lama tidak dihuni lagi oleh pemiliknya. Masih ada bale bambu meski beberapa helai sudah banyak yang terlepas.
“Tidak begitu jauh dari perkampungan nelayan ini adalah Padepokan Teratai putih pimpinan adikku, apakah kalian mau ikut bersamaku?”, berkata Ki Sandikala menawarkan kedua prajurit Singasari itu singgah beristirahat di padepokan adiknya.
“Terimakasih Ki, biarlah kami beristirahat di gubuk ini menunggu bulan tepat diatas langit kepala, saat itu kami sudah turun kelaut lagi kembali ke Bandar Ujung Galuh”, berkata salah seorang prajurit kepada Ki Sandikala.
“Baiklah, perjalananku dari sini ke Padepokanku sendiri hanya satu malam perjalanan berkuda, namun aku akan singgah di padepokan adikku”, berkata Ki Sandikala yang dengan sangat berat hati harus meninggalkan dua orang prajurit itu beristirahat sejenak di gubuk tua itu.
“Salam untuk keluarga di Lamajang”, berkata salah seorang prajurit itu ketika Ki Sandikala sudah melangkah tiga empat langkah dari mereka. Mendengar ucapan itu terlihat Ki Sandikala berhenti dan membalikkan badannya kearah dua orang prajurit itu. “Sampai berjumpa kembali di Tanah Ujung Galuh”, berkata Ki Sandikala sambil mengangkat kedua tangannya yang dibalas pula dengan lambaian tangan kedua prajurit itu.
Kedua prajurit itu akhirnya masih melihat Ki Sandikala yang menghilang di perkampungan nelayan.
Ki Sandikala telah memasuki perkampungan nelayan berjalan diantara gubuk-gubuk sederhana. Beberapa orang masih terlihat berbincang di salah satu bale bambu didepan rumah mereka. Sekilas saja mereka memandang kearah Ki Sandikala yang tengah melangkah, saat itu Ki Sandikala tidak mengenakan daster hitamnya, hanya berpakaian sebagaimana pengembara biasa.
Akhirnya Ki Sandikala telah berada di ujung perkampungan nelayan, dihadapannya terlihat padang perdu yang telah menyembunyikan cahaya matahari sore dibelakang semak dan daun yang cukup pepat menutup jalan. Namun masih ada jalan setapak membawa siapapun yang berjalan di padang perdu itu tidak terhalang langkahnya dari semak-semak berduri.
Ki Sandikala terus melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak yang membelah padang perdu itu. Ki Sandikala seperti terlempar dalam dunia keterasingan, dunia kesendirian. Terlihat Ki Sandikala tersenyum sendiri melihat keberadaan dirinya.
“Apa yang kamu harapkan wahai Sandikala dalam pengabdianmu ini?, bukankah kamu sudah mendapatkan tempat tertinggi diantara kaummu, tempat terhormat sebagai seorang pemimpin agung sebuah persekutuan puluhan padepokan Teratai putih yang tersebar di Jawadwipa dan Balidwipa ?. Harusnya hari ini kamu sedang menikmati angin senja didepan pendapamu dalam pelayanan dan kehormatan para cantrikmu”, berkata diri Ki Sandikala yang selalu melihat dan memandang apapun atas hitungan untung rugi, penuh prasangka dan curiga dan selalu mencari sisi kebanggaan dan kehormatan dalam segala awal dan akhir sebuah perbuatan.
“Langkahku adalah jalan takdirku. Syiwa menuntunku dalam bakti. Inilah kodrat penghambaanku sebagaimana datukku Empu Bharada mengabdikan dirinya kepada Airlangga membangun cahaya kemilau kerajaan Kahuripan yang besar”, berkata sisi lain di dalam diri Ki Sandikala, sebagai suara hati nuraninya.
Terlihat Ki Sandikala masih tersenyum sendiri sambil menyusuri jalan setapak di padang perdu itu. Dibiarkan suara-suara didalam dirinya saling berbantah, saling memberikan kebenarannya. Namun Ki Sandikala hanya mengikuti hati nuraninya, sebagaimana langkah kakinya mengikuti jalan setapak, jalan arah satu yang tidak akan menyesatkan dan akan membawanya keluar dari padang perdu.
Akhirnya Ki Sandikala memang sudah berada di ujung padang perdu berhadapan dengan hamparan sawah yang luas berpetak-petak.
Beberapa sawah terlihat sudah mulai di bajak, sementara hanya sebagian kecil saja yang masih terlihat penuh sisa bakaran dami hasil panen sebelumnya. Ternyata Ki Sandikala telah memasuki persawahan disaat musim tanam tiba.
Mata Ki Sandikala memandang padukuhan-padukuhan seperti pulau-pulau hijau yang menyembul di permukaan laut hijau hamparan persawahan.
Langit senja telah menyelimuti segenap arah pemandangan diantara langkah kaki Ki Sandikala yang berjalan diatas galangan sawah. Mata Ki Sandikala memandang kearah pulau gerumbul hitam yang masih jauh dari langkahnya.
Akhirnya langkah Ki Sandikala telah mendekati pulau gerumbul hitam itu yang semakin dekat semakin jelas bahwa gerumbul hitam itu adalah beberapa pohon kayu, pohon randu, pohon suren dan beberapa pohon kelapa yang tumbuh mengelilingi sebuah Padepokan yang cukup besar. Padepokan Teratai putih pimpinan adik kandungnya di Pajarakan.
“Keselamatan dan kesejahteraan semoga memenuhi dirimu”, berkata Ki Sandikala ketika bertemu dengan seorang cantrik didepan regol gerbang Padepokan itu.
“Gusti Yang Maha Agung selalu ada bersama kita. Apakah mata ini tidak salah melihat?, bukankah tuan adalah Empu Nambi adanya?”, berkata seorang cantrik yang mengenal Ki Sandikala namun sangsi melihat pakaian Ki Sandikala yang mirip sebagai seorang pengembara biasa.
Ki Sandikala tersenyum kepada cantrik itu yang ternyata sudah mengenalnya. Sudah lama sejak keberadaannya di Balidwipa bersama Mahesa Amping, nama aslinya tidak pernah didengar lagi. Dan saat itu seorang cantrik telah menyebut nama aslinya, Empu Nambi.
“Silahkan langsung naik ke pendapa, aku akan menyampaikan kedatangan Empu Nambi kepada Guru ketua”, berkata cantrik itu yang melangkah lebar menuju kearah pintu samping butulan. Ketika Ki Sandikala sudah berada di tangga terakhir pendapa, seorang lelaki yang bertubuh kokoh dan tegap berjubah hitam telah datang dari arah pringgitan menyambut kedatangan Ki Sandikala.
“Kakang Nambi….”, berkata lelaki itu menyebut nama Ki Sandikala.
“Semoga keselamatan dan kesejahteraan memenuhi dirimu wahai Saudaraku”, berkata Ki Sandikala sambil memeluk erat adik kandungnya sendiri.
“Kami baru saja ada rencana untuk menemui Kakang Nambi”, berkata Ki Tumbi nama adik Ki Sandikala itu.
“Menemuiku?, apakah begitu pentingnyakah?”, bertanya Ki Sandikala yang langsung berpikir pasti ada sesuatu yang penting untuk dikabarkan kepadanya.
“Nanti saja akan kuceritakan, Kakang masih baru sampai. Nanti setelah Kakang sudah cukup beristirahat disini, baru akan kuceritakan semuanya. Silahkan Kakang bersih-bersih dulu dan berganti pakaian”, berkata Ki Tumbi sambil tersenyum memandang pakaian yang dikenakan Ki Sandikala yang sangat begitu sederhana.
Terlihat Ki Sandikala menarik nafasnya dalam-dalam, dari bibirnya terukir sebuah senyuman penuh rasa pengertian. Namun sebagai seorang yang punya panggraita yang sangat halus sudah dapat menduga bahwa yang akan dikabarkan oleh adiknya itu pasti sebuah berita yang sangat penting dan sangat menegangkan dirinya. Itulah sebabnya dirinya tidak langsung ke Padepokannya di Lamajang, tapi mengikuti hati nuraninya untuk singgah di padepokan adiknya.
Ki Sandikala telah bersih-bersih diri, juga telah berganti dengan pakaian daster hitamnya sebagaimana biasa dikenakan oleh semua pimpinan Padepokan Teratai Putih. Ki Sandikala dengan pakaian kebesarannya itu terlihat lebih gagah dan berwibawa, namun mata dan senyum bibirnya itu seperti besi magnit membuat setiap orang merasa tenteram bersamanya.
Ki Sandikala masih mencoba menahan perasaannya untuk tidak bertanya tentang berita dari adiknya yang diyakini begitu sangat pentingnya sambil menyelesaikan jamuan makan malammya di pendapa padepokan adiknya itu. Ki Sandikala dengan sabar tidak segera memburu adiknya dengan pertanyaan meski sudah menyelesaikan hidangan perjamuannya, dicoba meredam perasaan hatinya dengan beberapa cerita mengenai keberadaan dirinya setelah berpisah di Balidwipa.
“Aku berharap Kakang Nambi tidak menjadi cemas, karena berita yang akan kusampaikan adalah tentang Padepokan Kakang sendiri di Lamajang”, berkata Ki Tumbi sambil mencoba memberi kesempatan kepada Ki Sandikala untuk mempersiapkan ketahanan dirinya mendengar berita tentang Padepokannya di Lamajang.
“Aku sudah siap apapun yang akan kamu sampaikan”, berkata Ki Sandikala sudah dapat menguasai dirinya.
“Paman Narada datang bersama prajurit Kediri ke Padepokan kakang”, berkata Ki Tumbi sambil melihat dan memperhatikan kesan di wajah saudaranya itu. Dilihatnya tidak ada perubahan di wajah Ki Sandikala, hanya sedikit terkejut. Nama Paman Narada sudah lama tidak didengar lagi semenjak terjadi sebuah pertengkaran antara ayahnya dan Pamannya itu. Kabar kedatangan pamannya itulah yang membuat dirinya sedikit terkejut.
“Aku datang selisih dua hari disaat kedatangan Paman Narada dan para prajurit Singasari. Aku hanya mendengar kabar dari dua orang putramu bahwa Paman Narada telah memporak-porandakan semua tempat sebagai pelampiasan rasa kesalnya tidak mendapatkan apa yang dicarinya”, berkata Ki Tumbi sambil terus memperhatikan wajah saudaranya itu yang ternyata Ki Sandikala tidak dapat lagi menahan ketegangannya.
Tapi Ki Sandikala tidak langsung menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya kepada adiknya, sebuah bayangan pikiran yang membuatnya tidak dapat menahan gejolak rasa penuh kecemasan yang sangat. Pikiran dan perasaan Ki Sandikala seperti terbang jauh kebelakang di sebuah waktu yang sudah cukup lama ketika tanpa disadarinya di sebuah malam melihat ayah dan pamannya keluar dari Padepokan. Ki Sandikala yang masih berumur belasan tahun itu sepertinya terusik rasa keingin-tahuannya apa yang akan dilakukan ayah dan pamannya itu ditengah malam buta itu. Ki Sandikala dengan diam-diam mengikutinya hingga sampai di sebuah gumuk tidak jauh dari Padepokannya. Ki Sandikala masih ingat saat itu meski suasana malam yang remang dapat melihat wajah Ayahnya yang begitu murka penuh kemarahan, namun masih tetap menahan perasaan hatinya.
“Narada…”, berkata Ayahnya itu kepada pamannya. ”Terpaksa kuturuti keinginanmu, aku akan siap pergi menyerahkan kemimpinanku kepadamu bila saja kamu dapat mengalahkanku. Namun kuingatkan kepadamu sekali lagi, buanglah cita-cita gila dalam pikiranmu untuk melakukan sebuah pemberontakan kepada kekuasaan Singasari”, berkata Ayahnya yang terlihat berharap Pamannya masih dapat terakhir kalinya untuk menerima nasehatnya. Namun terlihat Ayahnya mengeleng-gelengkan kepalanya, merasa pamannya memang sudah tidak dapat dinasehatinya, terutama ketika Pamannya dengan suara lantang mengatakan bahwa ayahnya adalah orang terbodoh di dunia.
“Kakang adalah orang terbodoh di dunia, Kakang telah mempunyai kekuatan yang tak terhingga sebagai pemimpin agung persekutuan Padepokan Teratai Putih yang terbentang antara Jawadwipa dan Balidwipa. Didalam diri kita mengalir darah Airlangga dari Eyang Putri Dewi Kili Suci. Dan kita telah mewarisi wahyu keraton, sebuah keris pusaka simbol kekuasaan para raja, keris Nagasasra”, berkata pamannya dengan suara lantang.
Hanya sampai disitu bayangan lamunan Ki Sandikala berhenti, terutama ketika mendengar lanjutan cerita adiknya Ki Tumbi. “Mereka mencari pusaka leluhur kita, keris Nagasasra”.
Mendengar adiknya menyebut sebuah keris pusaka Nagasasra, terlintas seketika sebuah bayangan mengisi benak pikiran Ki Sandikala, sebuah kenangan bersama ayahnya ketika dirinya telah menyelesaikan sebuah laku, Ayahnya mengajaknya masuk kedalam biliknya. Ternyata Ayahnya telah memperlihatkan sebuah keris pusaka miliknya. Sebuah keris yang begitu indah yang baru pertama kali dilihatnya. Sebuah keris yang berukir kepala naga di badannya dipenuhi dengan sisik emas. “Kakekmu telah memberikannya kepadaku untuk menjaganya. Hari ini kuberikan kepadamu juga hanya untuk menjaganya. Keris ini hanya sebuah wujud semu, hanya sebuah amsal agar kita sampai kepada hakikat yang sebenarnya. Penangkapan itulah yang ingin disampaikan oleh pencipta keris ini, kakek buyut kita Empu Bharada. Hari ini sengaja kuwariskan pusaka keris ini kepadamu, karena aku telah dapat meyakini bahwa sebenarnya kamu telah memiliki hakikat jiwa keris ini, jiwa seorang raja adil yang bersemayam didalam dirimu. Itulah sebabnya kuwarisi pusaka keris ini hanya untuk menjaganya, bukan untuk memilikinya”, berkata Ayah Ki Sandikala sambil memandang Ki Sandikala penuh senyum kebahagiaan, wajah seorang ayah yang telah merasa dapat menuntun putranya ke pintu gerbang pegembaraan bathin yang penuh dengan cahaya rahasia didalamnya.
Lamunan di dalam benak Ki Sandikala telah buyar menghilang ketika mendengar adiknya bertanya, ”Kakang telah menyimpan pusaka keris itu di sebuah tempat rahasia?”, berkata adiknya yang dijawab oleh Ki Sandikala dengan anggukan kepala perlahan. “Di sebuah tempat tersembunyi”, berkata Ki Sandikala.
“Aku yakin kakang sudah tidak sabar untuk kembali ke Lamajang setelah mendengar cerita ini. Masalah keadaan Padepokan tidak ada yang perlu di khawatirkan. Tidak terjadi kekerasan apapun yang dilakukan oleh Pamanda Narada dan para prajurit kepada penghuni Padepokan. Jadi aku berharap kakang dapat beristirahat di padepokanku semalam ini”, berkata Ki Tumbi yang juga memiliki senyum dan mata yang sama seperti Ki Sandikala.
Ki Tumbi memang sangat pandai membaca perasaan seseorang, dilihatnya ketegangan dan rasa khawatir di wajah Ki Sandikala telah berkurang terutama ketika dikatakannya bahwa tidak terjadi kekerasan apapun dalam peristiwa itu.
Dua kakak beradik itu akhirnya berbincang tentang banyak hal, tentang keberadaan selama perpisahan diantara mereka. Dan sebagaimana seorang saudara yang sudah lama tidak berjumpa, cerita mereka pasti mengalir ke masa-masa kebersamaan mereka, tentang sebuah peristiwa yang berkesan, kenakalan-kenakalan mereka, juga tentang kawan-kawan lama mereka.
Mereka juga banyak berbincang tentang suasana yang masih memanas, suasana pertikaian keluarga istana yang terpecah.
Dalam kesempatan itulah Ki Sandikala menyampaikan beberapa pandangan dan pendiriannya.
“Takdir ternyata telah membawa diriku berputar menemui masa kehidupan masa silam, putaran waktu yang sama saat datuk kita Empu Bharada memenuhi takdirnya berpihak kepada Airlangga menyatukan bumi Jawadwipa. Penuh rasa syukur kujalani takdirku menyatukan kembali Daha dan Kahuripan yang terpecah”, berkata Ki Sandikala sambil memandang pekat malam diatas halaman padepokan.
“Seandainya Paman Narada tidak digelapkan oleh ketamakan dunianya, pasti saat ini kita berada ditempat yang sama”, berkata Ki Tumbi yang menyesali sikap hidup pamannya.
Mata Ki Sandikala masih jatuh diatas kegelapan halaman Padepokan, terlihat bibirnya tersenyum getir membayangkan sikap dan perbuatan Pamannya yang sudah jauh berpaling dari tuntunan hidup dan ajaran mereka.
“Paman Narada mengabdi untuk dirinya sendiri, sementara kita mengabdi kepada yang telah memberikan kita hidup dan kehidupan ini. Paman Narada berjuang untuk mencari takdirnya, sementara kita berjuang diatas takdir kita sendiri”, berkata Ki Sandikala seperti kepada dirinya sendiri.
“Pengabdian kita kepada yang Maha Hidup mengantar diri kita kepada jalan kemerdekaan, sementara pengabdian pada sang angkara nafsu mengantar diri kita kedalam jurang siksa penghambaan budak dunia sepanjang masa”, berkata Ki Tumbi manyambung perkataan Ki Sandikala.
“Berbahagialah wahai saudaraku yang telah melepaskan kasta brahmanamu, sebab kasta tertinggi bukanlah seorang pertapa suci yang menikmati keindahan suasana hatinya, kasta tertinggi adalah manusia yang merdeka mengabdikan dirinya kepada yang Maha Hidup dalam segala keadaan dimanapun kita berada, sebagai petani, sebagai pedagang atau sebagai seorang ksatria dengan pedang ditangan sebagaimana saat ini bahwa aku telah memutuskan pengabdianku, berjuang mengembalikan tatanan kehidupan yang telah terpecah, menghimpunnya seperti bermulanya, sebuah tanah penuh kedamaian dan kesentausaan abadi”, berkata Ki Sandikala dengan suara perlahan masih seperti berkata kepada dirinya sendiri.
“Apapun yang Kakang putuskan, aku akan berdiri dibelakang Kakang Nambi”, berkata Ki Tumbi memberikan dukungannya.
“Saat ini Raden Wijaya tengah menghimpun sebuah kekuatan baru. Aku telah berjanji untuk membawa para cantrik Padepokan Teratai Putih ke Tanah Ujung Galuh”, berkata Ki Sandikala kepada saudaranya Ki Tumbi.
“Aku akan memerintahkan seratus orang cantrik Padepokanku ikut bersama Kakang Nambi”, berkata Ki Tumbi.
“Terima kasih, perintahkan para cantrikmu berangkat lusa ke Tanah Ujung Galuh”, berkata Ki Sandikala. “Aku juga akan mengutus beberapa orang ke berbagai tempat Padepokan Teratai Putih yang tersebar di Jawadwipa dan Balidwipa ini”, berkata Ki Sandikala.
“Biarlah orangku saja yang menyampaikan pesan Kakang Nambi kepada para pemimpin Padepokan Teratai Putih”, berkata Ki Tumbi menawarkan orangorangnya menjadi utusan resminya.
“Bagus, mungkin aku tidak akan lama di Padepokanku di Lamajang, paling lama hanya sepekan”, berkata Ki Sandikala. “Selama ketidak hadiranku kepemimpinan ini kuserahkan kepadamu wahai saudaraku”, berkata kembali Ki Sandikala.
“Semoga aku dapat mewakili tugas Kakang dengan baik, berlaku sebagaimana sikap Kakang selama ini”, berkata Ki Tumbi yang menerima tugas mewakili kepemimpinan persekutuan Padepokan Teratai Putih selama Ki Sandikala kembali ke Tanah Ujung Galuh berjuang bersama Raden Wijaya membangun kekuatan barunya. Dan Ki Tumbi selama ini memang telah menjalankan amanah itu.
Ki Sandikala tengah menatap cahaya bulan telah bergeser terhalang pucuk pohon suren yang tumbuh menjulang tinggi di seberang pagar halaman Padepokan. Langit malam dipenuhi kerlap kerlip jutaan bintang.
“Hari sudah jauh malam”, berkata Ki Tumbi sambil mempersilahkan Ki Sandikala untuk beristirahat untuk melanjutkan perjalanannya ke Lamajang.
Ki Sandikala tidak langsung tertidur di peraduannya, bayangannya jauh menerawang membayangkan sebuah keris pusaka leluhurnya, Kyai Nagasasra. Ada kecemasan didalam hatinya bila saja pamor tentang keris itu sempat diketahui banyak orang akan berdampak kepada sebuah pergolakan besar. Sebagai seorang pewaris benda pusaka keris Nagasasra dari generasi ke generasi rahasia tentang keberadaan keris pusaka itu memang sangat dirahasiakannya, semakin jauh dari perbincangan maka keberadaan keris itu akan semakin aman. Namun Paman Narada telah membuka kembali rahasia yang sudah sekian tahun disembunyikan, rahasia tentang keris Nagasasra yang punya sebuah petuah bahwa barang siapa memilikinya akan menjadi seorang raja besar, disegani lawan dan dibela, dijunjung tinggi penuh kecintaan segenap rakyat kawulanya.
Keris pusaka Nagasasra adalah pemberian Empu Bharada kepada murid tunggalnya Raja Erlangga. Namun menjelang hari tuanya, ketika hendak pergi mengasingkan dirinya, muksa meninggalkan keramaian dunia, keris itu diberikannya kepada putri tertuanya Dewi Kili Suci dengan maksud putrinya itu akan melanjutkannya memerintahkan kerajaannya. Namun Dewi Kili Suci ternyata lebih memilih berkelana mengembara bersama gurunya Empu Bharada dan menjadi seorang pertapa, menyerahkan kerajaan kepada dua orang adiknya. Dewi Kili Suci akhirnya dipersunting oleh salah seorang putra Empu Bharada dan menetap di sebuah tempat yang sunyi, jauh dari keramaian dunia di sebuah tempat di daerah Lamajang. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal buyut keturunan Ki Sandikala atau Empu Nambi, pemimpin persekutuan besar Padepokan Teratai Putih yang tersebar antara Jawadwipa dan Balidwipa.
Akhirnya Ki Sandikala dapat memejamkan matanya lepas tertidur nyenyak setelah menyerahkan segala indra dan pikirannya hanya kepada Gusti yang Maha Hidup, Maha Pemelihara yang Maha Kasih. Keheningan suara malam diatas Padepokan Pajarakan membuat hati siapapun menjadi tentram penuh damai. Dan Ki Sandikala telah jauh tertidur melepaskan segala penat perjalanannya, melepaskan segala kecemasan dan kegelisahannya.
Pagi-pagi sekali Ki Sandikala sudah terbangun, merasakan kesegaran dirinya setelah beristirahat tidur yang cukup. Setelah bersih-bersih di pakiwan, Ki Sandikala langsung menuju ke arah pendapa bermaksud menikmati udara pagi yang masih segar.
“Kelihatannya sang pengembara akan melanjutkan perjalanannya”, berkata Ki Tumbi yang telah terbangun terlihat datang dari arah pringgitan langsung duduk menemani Ki Sandikala di pendapa Padepokannya.
“Lamajang hanya berjarak perjalanan matahari terbit dan terbenam, itupun bila berkuda sambil menikmati suasana lembah perbukitan, berjalan seperti siput merayap”, berkata Ki Sandikala dengan senyumnya.
“Bila hati ini begitu dipenuhi rasa jenuh yang sangat, aku juga seperti Kakang pergi ke berbagai tempat tanpa tujuan”, berkata Ki Tumbi.
“Dalam pengembaraan kadang kita dapat menjadi siapapun, atau tidak menjadi siapapun”, berkata Ki Sandikala.
“Kata-kata Kakang begitu bersayap penuh makna, selalu memberikan rasa dahaga yang tidak membuat diri ini jemu mendengarnya, bila saja dua atau tiga hari kakang berada disini, pasti sangat menyenangkan”, berkata Ki Tumbi sambil melempar senyumnya.
Demikianlah, pagi itu Ki Tumbi disaksikan Ki Sandikala telah mengumpulkan seratus cantrik pilihannya yang akan bertolak pertama lusa depan ke Tanah Ujung Galuh. Setelah menerima wejangan khusus dari Ki Sandikala dan Ki Tumbi, para cantrik itupun telah membubarkan dirinya kembali ke tempatnya masingmasing untuk mempersiapkan dirinya.
Di pagi itu pula Ki Tumbi telah memanggil beberapa cantriknya untuk ditugaskan sebagai utusan resmi menyampaikan pesan berantai dari pucuk pimpinan tertinggi Padepokan Teratai Putih dimana isi pesan itu adalah permintaan pengiriman tenaga sukarela dari setiap Padepokan anggota persekutuan Padepokan Teratai Putih.
“Sampaikan pesanku kepada para pemimpin Padepokan yang akan kalian datangi, hendaknya menjaga kerahasiaan ini, jangan membuat perhatian dan menimbulkan kecurigaan pihak lain”, berkata Ki Sandikala kepada para utusan itu.
Ketika matahari telah beranjak tinggi menyembul diatas tiga batang pohon kelapa di seberang depan pagar halaman padepokan, baru Ki Sandikala berpamit diri kepada Ki Tumbi dan keluarganya.
“Kuda yang bagus”, berkata Ki Sandikala ketika telah berada diatas punggung kudanya.
“Semoga keselamatan dan kesejahteraan meliputi dirimu wahai Saudaraku”, berkata Ki Tumbi ketika kuda tunggangan Ki Sandikala mulai melangkah meninggalkan regol pintu gerbang padepokan.
“Gusti yang Maha Agung selalu menyertai kalian”, berkata Ki Sandikala sambil melambaikan tangannya.
Ki Tumbi dan beberapa cantrik yang ikut mengantar perjalanan Ki Sandikala masih berdiri di depan regol pintu gerbang halaman melihat punggung Ki Sandikala bergerak seiring langkah kaki kudanya. Mereka baru masuk kembali ke Padepokannya ketika Ki Sandikala sudah jauh terhalang di sebuah tikungan jalan.
Langkah kaki kuda Ki Sandikala tengah menyusuri sebuah jalan yang membelah hamparan sawah yang tengah memasuki saat musim tanam. Beberapa petani terlihat tengah bekerja bersama kerbau bajaknya. Bayangan Ki Sandikala terpaku kepada sebuah keluarga yang tengah menanam bibit padi, menyunggingkan sebuah senyum di bibir Ki Sandikala diatas punggung kudanya.
“Bersama memulai menanam bibit padi, bersama menanti tumbuh padi, dan bersama menuai saat panen tiba bersama sebuah kegembiraan hati sebuah keluarga kecil penuh kedamaian dan kebahagiaan”, berkata Ki Sandikala kepada dirinya sendiri.
Di ujung persawahan itu Ki Sandikala telah berhadapan dengan sebuah padang ilalang di bawah sebuah bukit kecil, kesanalah langkah kudanya diarahkan berlari membelah padang ilalang dan mendaki bukit kecil itu.
Ki Sandikala telah tiba diatas puncak bukit kecil itu, matahari memancarkan cahayanya menyapu segenap pemandangan lembah panjang yang diapit oleh dua perbukitan.
Semilir angin mengusap rambut Ki Sandikala yang digulung rapih ketika langkah kaki kudanya tengah menyusuri tanah rumput hijau tepian sungai Gending yang mengalir di sepanjang lembah yang diapit dua perbukitan panjang itu.
Disebut sungai Gending karena sering para pengembara mendengar suara mirip dengung seruling yang menggema mengiringi perjalanan mereka di lembah sungai Gending. Mungkin suara angin yang menabrak celah batu cadas yang ada diantara perbukitan itu.
Ki Sandikala sepertinya menikmati suasana alam lembah itu seperti menatap sebuah lukisan pemandangan yang tidak membosankan, sungai jernih berbatu yang mengalir seperti ular panjang berliku, hutan cemara hijau memenuhi lereng perbukitan serta kicau burung seperti nyanyian dewi cinta memanggil sang bujangga menulis sajak-sajak cintanya.
Ki Sandikala tersenyum sendiri, menyadari bahwa keindahan ada didalam hati. Apapun diluar diri itu tergantung suasana hati. Dan hati adalah pintu pertemuan antara jagad alit dan jagad besar yang luas tak bertepi dan tidak ada batas jarak dan waktu.
Seekor burung elang terlihat terbang rendah menuju ke sebuah hutan lebat, kearah hutan itulah langkah kaki kuda Ki Sandikala berjalan dibawah cahaya matahari yang telah turun merayapi lengkung kaki langit menjelang sore.
Terpaksa Ki Sandikala menuntun kudanya ketika memasuki hutan lebat itu karena harus berjalan diatas sebuah sungai kecil berbatu seperti masuk ke sebuah lorong yang membelah hutan itu.
Namun semakin masuk kedalam jalan sungai itu semakin melebar dan Ki Sandikala sudah dapat naik diatas punggung kudanya.
Ketika Ki Sandikala keluar dari hutan itu, matahari sudah semakin condong ke barat. Terlihat Ki Sandikala menghentakkan kudanya untuk berlari diatas sebuah bukit kecil hutan pinus. Ki Sandikala di atas kudanya seperti terbang membelah angin. Ketika dihadapannya terlihat sebuah padukuhan, Ki Sandikala memperlambat laju kudanya. Lembayung warna senja mengantar langkah kuda Ki Sandikala memasuki regol padukuhan itu.
“Kuda yang bagus”, berkata seorang lelaki tua yang terlihat di depan pagar rumahnya mungkin baru saja pulang dari sawahnya menyapa Ki Sandikala.
“Cuma kuda pinjaman Ki Bekel”, berkata Ki Sandikala sambil turun dari kudanya dan menyampaikan keselamatan masing-masing.
“Mari singgah sebentar ke gubukku”, berkata lelaki tua yang dipanggil Ki Bekel itu menawarkan Ki Sandikala singgah dirumahnya.
“Terima kasih, mungkin lain waktu saja aku akan singgah”, berkata Ki Sandikala.
“Baiklah, aku tidak akan memaksa”, berkata Ki Bekel sambil tersenyum ramah membiarkan Ki Sandikala naik kembali ke atas punggung kudanya.
Jarak dari padukuhan ke Padepokan Ki Sandikala hanya terhalang sebuah hamparan sawah. Ki Sandikala telah berada di tengah jalan antara keduanya.
“Semoga keselamatan meliputi dirimu wahai saudaraku Ki Lamang”, berkata Ki Sandikala kepada seorang lelaki tua yang tengah menyalakan pelita malam di depan regol Padepokannya.
Terkejut bukan kepalang lelaki tua itu memandang Ki Sandikala, keremangan di ujung senja itu tidak menghalanginya untuk mengenali siapa orang yang menyapanya itu yang tidak lain adalah majikannya sendiri.
“Gusti yang Maha Agung telah menyertai tuanku”, berkata Ki Lamang menyambut sapa Ki Sandikala dengan hati penuh suka cita setelah begitu lama tuannya meninggalkan Padepokan.
Merekapun terlihat berjalan beriring menuju pendapa Padepokan yang temaram diterangi dua buah pelita malam.
Ketika Ki Sandikala naik ke atas pendapa, dengan wajah penuh gembira melihat dua orang anak muda di pringgitan langsung melompat dari atas bale berlari ke arahnya.
“Ayah …”, berkata dua anak muda itu sambil berlari mendekat dan bersimpuh di kedua kaki Ki Sandikala penuh kegembiraan hati menyambut kedatangan Ki Sandikala yang dipanggil ayah oleh kedua anak muda itu.
“Ayah rindu dengan kalian semua”, berkata Ki Sandikala ketika sudah duduk bersama dengan kedua anak muda itu.
“Kami disini penuh kecemasan menanti kabar ayah”, berkata salah seorang dari anak muda itu.
“Ki Lanang, apakah Menak Koncar dan Menak Jinggo masih sering menyusahkan dirimu?”, bertanya Ki Sandikala kepada Ki Lanang yang juga telah duduk bersamanya.
“Sejak tuan tidak ada dipadepokan ini, mereka menjadi semakin dewasa. Hanya…kadang-kadang saja tidak mengisi air kolam di pakiwan”, berkata Ki Lamang tersenyum sambil berdiri meninggalkan mereka mungkin menyiapkan minuman hangat untuk tuannya yang baru datang itu.
Kedua anak muda itu ternyata putra Ki Sandikala. Menak Koncar yang terlihat berkulit agak kehitaman itu adalah putra pertamanya. Adiknya yang lebih muda mempunyai kulit lebih terang sangat mirip wajahnya dengan Ki Sandikala bernama Menak Jinggo.
“Paman kalian telah bercerita tentang kedatangan Ki Narada bersama prajurit Kediri di Padepokan ini”, berkata Ki Sandikala.
“Mereka tidak menemukan yang mereka cari, pusaka leluhur kita Keris Nagasasra”, berkata Menak Koncar dengan wajah penuh amarah terpendam.
“Aku telah menyimpannya dengan baik”, berkata Ki Sandikala.
“Syukurlah mereka tidak melakukan kekerasan di Padepokan ini”, berkata kembali Ki Sandikala.
“Bila saja Paman Putut Prastawa tidak menghalangi, sudah kutantang mereka satu persatu”, berkata Menak Jinggo juga dengan perasaan penuh kecewa.
“Eh…dimana pamanmu itu Putut Prastawa?”, berkata Ki Sandikala kepada kedua putranya menanyakan seorang putut yang sangat dipercaya
Namun kedua putranya itu tidak langsung menjawab, terlihat mereka saling berpandangan satu dengan yang lainnya.
“Paman Putut Prastawa sehari setelah kedatangan Ki Narada tidak pernah terlihat lagi”, berkata Menak Koncar.
Bukan main kagetnya Ki Sandikala, langsung pikirannya tertuju kepada Keris Nagasasra. Hanya dirinya dan Putut Prastawa yang tahu dimana keberadaan keris Nagasasra itu. Namun dihadapan kedua putranya Ki Sandikala tidak memperlihatkan keterkejutannya. “Mungkin mendadak ada keperluan yang berkaitan dengan keluarganya”, berkata Ki Sandikala dengan suara yang datar berusaha bersikap seperti tidak merasakan ketegangannya.
Akhirnya Ki Sandikala telah melupakan untuk sementara masalah keris Nagasasra nya ketika dari arah pringgitan datang seorang gadis muda berlari kecil ke arahnya.
“Kukira Ki Lamang dibelakang berbohong bahwa Paman Nambi telah datang”, berkata gadis muda itu bersimpuh penuh kehormatan dihadapan Ki Sandikala yang dipanggilnya sebagai paman itu.
Gadis muda ini memang adalah keponakan Ki Sandikala dari keluarga pihak istrinya. Gadis ini tinggal bersama di padepokan sejak bayi, dua orang tuanya telah meninggal bersamaan karena musibah penyakit aneh yang melanda banyak orang dalam satu daerah tempat tinggal mereka. Bayi mereka sejak itu diasuh oleh keluarga Ki Sandikala. Kini bayi itu sudah tumbuh semakin dewasa, wajah dan segala peringainya sangat mirip sekali dengan istri Ki Sandikala yang sudah lama meninggal dunia. Itulah sebabnya Ki Sandikala sangat menyayangi gadis muda itu. Endang Trinil, begitu nama gadis manis yang sangat rupawan itu.
“Duhai putriku yang jelita, rindu pamanmu ini dengan senyummu”, berkata Ki Sandikala menggoda Trinil
Terlihat Trinil tersenyum manja dan langsung duduk bersama di pendapa.
Baru saja Ki Sandikala ingin menggoda Trinil lagi, dua orang cantrik yang kebetulan melihat sebuah pembicaraan di atas pendapa datang mendekat. Bukan main gembira hati mereka ketika di lihatnya Ki Sandikala ada bersama. “Kami tidak tahu tuan Guru sudah datang kembali”, berkata salah seorang cantrik itu menyambut kedatangan Ki Sandikala.
“Pamanku baru datang, sebaiknya para cantrik dikabarkan setelah pamanku cukup beristirahat”, berkata Endang Trinil kepada dua orang cantrik itu yang menjawabnya dengan anggukan kepala.
“Benar apa yang dikatakan Endang, aku memang belum bersih-bersih”, berkata Ki Sandikala sambil berdiri dan melangkahkan kakinya masuk ke pringgitan.
“Aku akan menyiapkan pakaian bersih untuk paman”, berkata Endang Trinil mengiringi langkah Ki Sandikala.
Malam itu warna langit begitu bersih memayungi Padepokan Teratai Putih. Terlihat para cantrik berbondong-bondong datang satu persatu mengucapkan selamat datang kepada guru tercinta mereka yang sudah begitu lama meninggalkan Padepokannya.
“Besok aku akan bercerita lebih panjang lagi di sanggar”, berkata Ki Sandikala kepada para cantriknya yang akhirnya dapat mengerti bahwa panggung pendapa itu akan roboh bila mereka semua bersamaan berhimpit diatas pendapa padepokan itu.
Akhirnya satu persatu para cantrik cukup puas hanya sebatas menyapa kedatangan Ki Sandikala. Dipendapa itu akhirnya tinggal beberapa para orang tua.
Dalam pertemuan itu sempat dibicarakan tentang Putut Prastawa yang tidak diketahui kabarnya. Namun Ki Sandikala sepertinya berusaha mencari perbincangan lain untuk meredakan ketegangannya hatinya.
“Seperti yang kita ketahui bersama bahwa keluarga Istana Singasari telah pecah menjadi dua kubu. Pasti ada beberapa orang yang mencari keuntungan diatas keadaan yang mulai meruncing ini, diantaranya adalah pamanku sendiri, Ki Narada”, berkata Ki Sandikala berbincang mengenai keadaan yang terjadi di Jawadwipa. “Inilah saatnya kita berbakti kepada tanah kita sendiri, membela keluarga istana Singasari pewaris tanah leluhur ini”, berkata kembali Ki Sandikala sambil menyapu wajah para cantrik yang ada dipendapa padepokan. ”Dan aku telah berjanji kepada putra keluarga istana Singasari bernama Raden Wijaya untuk membawa para cantrik padepokan ini berdiri dibelakangnya”, berkata kembali Ki Sandikala meneruskan kata-katanya.
“Kami percaya dan mendukung sepenuh hati apapun keputusan tuan Guru”, berkata salah seorang cantrik penuh semangat.
Angin malam yang dingin berhembus menggoyangkan pelita malam diatas pendapa Padepokan.
“Tuan Guru baru datang, maaf kami memang harus tahu diri”, berkata salah seorang cantrik mewakili saudaranya yang lain sambil berdiri pamit diri.
“Besok aku akan melihat sampai dimana kemajuan kalian selama aku tidak ada di Padepokan ini”, berkata Ki Sandikala melepas para cantriknya yang tengah menuruni anak tangga Padepokan.
Setelah para cantrik telah pergi, pendapa itu seperti lengang. Hanya ada dua orang putranya dan Ki Lamang menemani Ki Sandikala.
“Malam ini aku akan beristirahat di pondokku”, berkata Ki Sandikala meminta Ki Lamang untuk membersihkan dan merapikan pondokannya yang sudah lama ditinggalkan penghuninya. Menak Koncar dan Menak Jinggo terlihat saling berpandangan merasa asing ayahnya yang baru tiba itu akan bermalam di pondoknya sendiri, tidak di bilik kamarnya di bangunan utama. Tapi mereka berdua mencoba menghilangkan keganjilan itu, mungkin ayahnya ingin menenangkan dirinya menyepi di pondoknya sendiri seperti biasa dilakukannya.
Tidak lama kemudian Ki Lamang sudah datang kembali mengabarkan kepada Ki Sandikala bahwa pondoknya sudah dirapihkan.
“Aku akan ke pondokku”, berkata Ki Sandikala kepada Menak Koncar dan Menak Jinggo sambil berdiri.
Terlihat Ki Sandikala telah menuruni anak tangga pendapa diantar oleh Ki Lamang menuju ke pondoknya.
Ki Lamang hanya mengantar sampai di pintu pondokan, meyakinkan bahwa dirinya sudah tidak diperlukan lagi langsung berpamit diri untuk beristrihat.
Ki Sandikala telah masuk didalam pondoknya. Melihat tidak ada yang berubah di dalam pondoknya. Namun pikirannya melayang membayangkan bahwa Paman Narada pasti sudah memeriksa tempat itu pula. Ki Sandikala langsung merebahkan dirinya diatas bale bambu, matanya terlihat sudah terpejam, namun pendengarannya yang tajam masih saja terjaga. Ternyata Ki Sandikala mencoba menanti saat yang tepat memastikan bahwa semua penghuni Padepokan telah tertidur.
Malam itu langit dipenuhi banyak bintang, rembulan sepotong terhalang awan. Halaman padepokan terlihat sudah begitu lengang ketika sesosok bayangan melesat keluar dari regol pintu gerbang Padepokan. Sesosok bayangan itu sudah jauh meninggalkan Padepokan bergerak begitu cepat diantara bayangan hitam semak dan pepohonan.
Ternyata arah sosok bayangan itu tengah menuju ke sebuah candi yang tidak jauh dari Padepokan Teratai Putih, hanya terhalang sebuah gumuk kecil.
Semilir angin menghembus mengusir awan yang menghalangi wajah bulan. Wajah sosok bayangan itu semakin menjadi jelas berdiri didepan sebuah candi yang ternyata adalah wajah Ki Sandikala.
Ketika mendengar tentang hilangnya Putut Prastawa, hati dan perasaan Ki Sandikala hanya tertuju kepada Keris Nagasasra. Hati dan perasaan Ki Sandikala telah menangkap dan menghubungkan hilangnya Putut Prastawa pasti berkaitan dengan Keris Nagasasra.
Namun Ki Sandikala selalu menutupi perasaan hatinya di hadapan kedua putranya, juga dihadapan para cantriknya. Itulah sebabnya Ki Sandikala meminta untuk bermalam di pondoknya agar dengan leluasa dapat keluar dari Padepokan, meyakinkan perasaan dan kegelisahan hatinya.
Mengapa Ki Sandikala begitu gelisah dan mengaitkan Putut Prastawa dengan Keris Nagasasra?
Ternyata beberapa tahun silam Ki Sandikala ditemani Putut Prastawa telah menyembunyikan keris Nagasasra, bermaksud agar keris berpetuah itu tidak jatuh ke tangan orang yang salah. Sengaja disembunyikan diluar Padepokan hanya untuk mengecoh. Ternyata perhitungan mereka terjadi pula dimana Pamannya Ki Narada tidak mendapatkan yang dicarinya didalam Padepokannya. Terlihat Ki Sandikala dengan penuh hormat merangkapkan kedua tangannya manakala telah berada di depan pintu gapura candi. Pura suci tempat disemayamkan abu leluhurnya, Dewi Kili Suci. Perlahan Ki Sandikala melangkahkan kakinya masuk kedalam gapura itu dan di kegelapan malam menuruni anak tangga candi dan akhirnya telah berdiri di depan sebuah lingga yang dibelakangnya terpahat sebuah patung kepala Ganesha.
Mata Ki Sandikala yang terlatih dapat melihat dengan jelas apapun yang berada di dalam bilik candi itu. Tibatiba saja hanya dengan sekali ayunan tubuh Ki Sandikala telah melenting hinggap diatas pundak patung Ganesha.
Ternyata patung kepala Ganesha tidak melekat menjadi satu kesatuan dengan badannya. Terlihat dengan mudahnya Ki Sandikala menggeser batu besar itu yang dipahat berbentuk kepala gajah. Segera Ki Sandikala meraba tangannya kedalam cekungan rongga leher patung itu.
Bukan main terperanjatnya Ki Sandikala bahwa yang dicarinya ternyata sudah lenyap!!
“Keris Nagasasra sudah tidak ada ditempatnya”, berkata Ki Sandikala dalam hati sambil menarik nafas panjang berusaha mengurangi keguncangan perasaan hatinya.
“Aku mengenal Putut Prastawa sejak kecil, mungkinkah dirinya telah menghianati diriku?. Mungkinkah pamor cahaya gemilang Kyai Nagasasra telah membutakan mata hatinya?”, bertanya Ki Sandikala kepada dirinya sendiri yang masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sendiri bahwa keris Nagasasra telah tidak ada lagi ditempatnya. Dan tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaan persembunyian keris itu selain Putut Prastawa dan dirinya.
“Kemana perginya Putut Prastawa?, apakah dirinya telah mengikuti langkah Paman Narada mencari manisnya madu kekuasaan di istana Kediri?”, bertanya kembali Ki Sandikala kepada dirinya sendiri masih menerka-nerka sikap sahabatnya, Putut Prastawa. Seorang sahabat kecilnya yang tumbuh dewasa bersama di padepokannya.
Ki Sandikala telah menggeser kembali batu kepala Ganesha itu hingga menjadi sediakala.
Dengan sebuah ayunan Ki Sandikala telah melompat ke bawah dengan begitu ringannya seperti seekor kucing jatuh diatas dinding batu tanpa sebuah suara.
Cahaya bulan telah menerangi wajah Ki Sandikala yang telah keluar dari gapura candi.
Ternyata Ki Sandikala tidak menuju ke arah Padepokan, langkah kakinya menuju kearah berlawanan dimana dia datang. Ternyata langkah kaki Ki Sandikala tengah mendekati sebuah pohon Pujo yang ada disebelah utara candi itu. Sebuah pohon yang terlihat begitu besar dan tua, akar kayunya berurai menjalar ke berbagai tempat seperti seekor gurita besar mencengkeram bumi.
Ketika telah berada dibawah pohon Pujo, mata Ki Sandikala sepertinya tengah mencari dan mengingatingat sesuatu. Akhirnya Ki Sandikala sepertinya merasa yakin telah berdiri ditempat yang benar. Dari balik pakaiannya Ki Sandikala mengeluarkan sebuah belati pendek yang sengaja dibawa dari pondoknya. Terlihat Ki Sandikala tengah menggali tanah ditempat dia berdiri.
Ki Sandikala belum menggali cukup dalam ketika belati pendeknya seperti menyentuh sebuah peti kayu. Maka dengan sigap Ki Sandikala mengorek tanah sekitarnya dengan lebih agak lebar dimana matanya telah melihat bagian atas sebuah peti kayu.
Akhirnya Ki Sandikala telah dapat mengeluarkan kotak peti kayu itu dari tanah.
Perlahan Ki Sandikala membuka kotak peti kayu itu sambil menahan nafas, sepertinya takut hembusan nafasnya akan merubah keadaan.
Terlihat mata Ki Sandikala seperti seorang anak kecil yang menemukan barang mainannya yang hilang.
Begitu gembiranya !!!