Tapak-tapak Jejak Gajahmada Jilid 05

PELITA malam terlihat sudah dinyalakan disetiap rumah di sekitar Bandar Ujung Galuh yang ramai dan sepertinya tidak pernah tertidur itu. Terlihat dua buah perahu bercadik telah bersandar di dermaga kayu.

Rombongan Raden Wijaya telah datang dan kembali di Bandar Ujung Galuh, datang bersama Adipati Arya Wiraraja.

“Selamat datang kembali di Pulau pasak bumi”, berkata Ki Sandikala menyambut kedatangan mereka di barak prajurit. ”Dua ribu prajurit dan para tawanan semua dalam keadaan sehat tidak kekurangan apapun, laporan selesai”, berkata Ki Sandikala dengan gaya seorang prajurit betulan melaporkan kepada atasannya yang ditanggapi gegap tawa dari semua yang baru tiba di Barak prajurit itu.

Demikianlah, malam itu tidak terjadi apapun di Barak prajurit. Mereka yang baru tiba dari pulau Madhura sudah langsung beristirahat.

Terutama Mahesa Amping dan Adipati Arya Wiraraja yang besok rencananya akan melakukan sebuah perjalanan panjang ke Kotaraja Kediri.

Dan pagi itu suasana di barak prajurit sudah begitu ramai ditandai dengan sebuah asap membumbung keudara dari tempat dapur umum untuk menyiapkan makanan pagi para prajurit.

“Secepatnya kami akan membangun benteng  pertahanan di bandar Ujung Galuh ini”, berkata Raden Wijaya kepada Adipati Arya Wiraraja yang sudah terbangun di pagi itu.

“Sebuah tempat yang baik, sebuah benteng yang terjaga oleh dua buah sungai dan lautan di hadapannya”, berkata Adipati Arya Wiraraja menyetujui pilihan Raden Wijaya.

Sementara itu seorang prajurit yang bertugas dari dapur umum telah membawa makanan pagi mereka.

“Apakah Pamanda memerlukan pengawalan khusus untuk perjalanan ke Kotaraja Kediri?”, bertanya Raden Wijaya kepada Adipati Arya Wiraraja ketika mereka sudah menyelesaikan sarapan paginya. Terlihat Adipati Arya Wiraraja tidak langsung menjawab, memandang kepada Mahesa Amping sepertinya melemparkan pertanyaan Raden Wijaya kepada Mahesa Amping.

“Sepasukan prajurit di perjalanan dapat menarik banyak perhatian orang”, berkata Mahesa Amping memberikan tanggapannya.

“Tapi satu orang prajurit pengawal Tanah Perdikan Songenep mungkin tidak akan banyak menarik perhatian orang”, berkata Ki Sandikala menawarkan dirinya. ”Apa kata dunia seorang Adipati besar berjalan sendiri tanpa diiringi seorang pengawal satu pun”, berkata kembali Ki Sandikala memberikan alasannya.

“Tiga orang dalam perjalanan akan lebih baik dibandingkan dengan hanya dua orang”, berkata Adipati Arya Wiraraja menyetujui usulan Ki Sandikala. “Setidaknya ada satu tambahan untuk teman bicara”, berkata kembali Arya Wiraraja yang mulai menyukai sosok Ki Sandikala yang selalu mengenakan daster hitamnya.

“Terima kasih, aku akan merubah penampilanku”, berkata Ki Sandikala penuh senyum.

Sang mentari diatas Sungai Kalimas sudah mulai bergeser merayap naik memasuki puncak tahtanya ketika sebuah rakit terlihat tengah meninggalkan tepiah darat Ujung Galuh menuju tepian diseberangnya.

Tiga orang melompat ke darat ketika sebuah parit merapat di sebuah pinggiran tepi Sungai Kalimas. Mereka adalah Adipati Arya Wiraraja, Mahesa Amping dan Ki Sandikala yang akan melakukan perjalanannya menuju Kotaraja Kediri melalui jalan darat. Terlihat seorang prajurit Singasari telah menunggu mereka tengah menuntun tiga ekor kuda yang terlihat sebagai kuda-kuda yang tegar.

“Terima kasih”, berkata Mahesa Amping penuh senyum kepada prajurit itu sambil menerima tali kendali kuda dari tangan prajurit itu.

Terlihat tiga orang penunggang kuda berjalan semakin menjauhi tepian Sungai Kalimas, mereka tidak memacu kudanya hanya berjalan biasa seperti tidak sedang memburu waktu, tapi seperti tiga orang yang tengah menikmati sebuah tamasya panjang, tengah menikmati pemandangan alam dan sejuknya angin segar yang membawa semerbak aneka daun, bunga dan tanah basah.

“Dihadapan kita adalah hutan Maja, Raden Wijaya bermaksud membangun kekuatan barunya di hutan itu”, berkata Mahesa Amping kepada Adipati Arya Wiraraja ketika melihat dihadapan mereka tidak jauh dari langkah kaki kuda mereka.

“Sebuah tempat yang tersembunyi, jauh dari jalur perairan lalu lalang orang”, berkata Arya Wiraraja kepada Mahesa Amping, diam-diam memuji Raden Wijaya memilih sebuah tempat untuk memupuk  sebuah kekuatan baru.

Akhirnya mereka bertiga telah berada dibibir hutan Maja itu sendiri dan langsung memasukinya hilang terhalang batang-batang pohon yang besar tinggi menjulang dipenuhi jamur dan tanaman merambat.

Matahari saat itu telah bergeser sedikit dari puncaknya masih mampu menerangi suasana didalam hutan Maja diantara celah-celah daun dan cabang pohon yang pepat menutupi setiap sisi tanah yang lembab basah. Semakin masuk kedalam semakin jalan dipenuhi semak belukar membuat mereka harus turun dari kudanya.

“Apakah Ki Sandikala tidak merasakan bahwa kita berjalan diatas tanah yang berundak rata?”, bertanya Arya Wiraraja kepada Ki Sandikala merasakan ada yang aneh dengan situasi tanah disekitar hutan itu.

“Hamba telah merasakannya ketika masuk pertama kali di hutan ini beberapa hari yang lalu. Bahkan dari bibir hutan sana hamba telah menghitung berapa undakan yang telah kita naiki. Saat ini kita berada diatas undakan ke sembilan, kita sudah berada dipuncak hutan ini”, berkata Ki Sandikala yang diam-diam juga menemui keanehan situasi di hutan Maja yang sepertinya pernah menjadi sebuah tempat entah seperti tanah bekas sebuah istana yang mungkin pernah ada di atas tanah hutan ini ribuan tahun silam.

“Ternyata kita punya perasaan dan keyakinan yang sama”, berkata Adipati Arya Wiraraja kepada Ki Sandikala.

Tidak terasa, akhirnya mereka sudah mendekati bibir hutan diseberang lainnya.

Sementara itu, diwaktu yang sama di Barak prajurit di Bandar Ujung Galuh terlihat Raden Wijaya tengah mengumpulkan beberapa perwiranya untuk memulai sebuah rencana pembuatan bangunan benteng yang besar dan kokoh. Sebuah langkah awal memusatkan kekuatan barunya di Bandar Ujung Galuh.

“Kita akan membuat sebuah bangunan benteng yang kuat dan kokoh di Bandar Ujung Galuh ini”, berkata Raden Wijaya kepada beberapa perwiranya.

Demikianlah, hari itu mereka tengah membicarakan tentang letak yang paling baik untuk sebuah bangunan benteng yang kuat. Akhirnya disepakati untuk membangunnya di sebelah barat Ujung Galuh membentang panjang membelakangi sungai Kalimas.

“Nanti malam aku akan membicarakan hal ini kepada Ki Bekel memohon ijinnya untuk menebang beberapa batang pohon di hutan seberang sungai Perigian”, berkata Raden Wijaya kepada para perwiranya.

“Mengapa harus minta ijin kepada seorang Bekel”, berkata Ranggalawe kepada Raden Wijaya.

“Ki Bekel adalah tuan rumah penguasa adat di tanah ini yang harus kita hormati, setidaknya Ki Bekel adalah orang asli penghuni tanah ini, mungkin beliau banyak tahu hutan mana yang masih diperbolehkan untuk diambil kayunya”, berkata Raden Wijaya kepada Ranggalawe memberikan alasannya mengapa harus minta ijin kepada penguasa adat di Tanah Ujung Galuh.

Terlihat Ranggalawe sepertinya menerima alasan dari Raden Wijaya. Diam-diam dirinya merasa malu bahwa setelah beberapa hari tinggal di Bandar Ujung Galuh bersama dua ribu prajurit Singasari belum pernah anjangsana ke rumah Ki Bekel, penguasa adat dan penghuni asli tanah Ujung Galuh.

“Maafkan aku, selama ini aku merasa sebagai seorang senapati besar pemimpin dua ribu prajurit Singasari, jauh lebih terhormat dari seorang bekel di sebuah Padukuhan”, berkata Ranggalawe kepada Raden Wijaya dengan begitu polos mengakui kealpaannya.

“Mudah-mudahan Ki Bekel yang akan kita temui adalah seorang yang sabar, yang masih menanti seorang tamu asing untuk datang menemuinya”, berkata Raden Wijaya kepada Ranggalawe dengan penuh senyum. Demikianlah menjelang awal bergilirnya malam, terlihat Raden Wijaya bersama Ranggalawe telah mendatangi rumah Ki Bekel.

“Kami sebagai penghuni baru di tanah Ujung Galuh ini merasa malu bahwa baru hari ini dapat datang beranjangsana menghadap Ki bekel”, berkata raden Wijaya kepada Ki Bekel ketika mereka sudah diterima di pendapa rumahnya.

“Hamba sebagai seorang bekel merasa terhormat dikunjungi oleh seorang Senapati besar Singasari sebagaimana tuanku”, berkata Ki Bekel menyambut Raden Wijaya dan Ranggalawe di rumahnya.

Akhirnya Raden Wijaya menyampaikan maksudnya untuk membangun sebuah benteng di tanah Ujung Galuh dan meminta ijin untuk mengambil beberapa batang pohon di hutan seberang sungai Perigian.

“Hampir semua penduduk disini telah mengambil bahan kayu mereka dari hutan seberang sungai Perigian”, berkata Ki Bekel yang nampaknya tidak berkeberatan Raden Wijaya mengambil bahan kayu dari hutan seberang Sungai Perigian.

Bahkan diluar dugaan Ki Bekel telah menawarkan beberapa penduduk Padukuhan untuk membantu membangun benteng prajurit di Tanah Ujung Galuh.

“Beberapa dari penduduk disini adalah para undagi yang trampil memilih batang kayu yang paling baik untuk sebuah bangunan, aku akan meminta mereka untuk membantu tuanku”, berkata Ki Bekel menawarkan penduduknya untuk membantu pekerjaan membangun benteng di Tanah Ujung Galuh.

“Terima kasih atas segala penerimaan Ki Bekel kepada kami”, berkata Raden Wijaya ketika akan berpamit diri dari rumah Ki Bekel.

“Pintu kami akan selalu terbuka”, berkata Ki Bekel mengiringi kepergian Raden Wijaya dan Ranggalawe sampai diujung pagar rumahnya.

Setelah kembali pulang dari rumah Ki Bekel, Raden Wijaya dan Ranggalawe tidak langsung beristirahat, tapi langsung membuat rancangan kasar diatas sebuah rontal. Bayangan mereka melambung ke Benteng Bandar Cangu. Hasilnya gambar kasar sebuah benteng yang mirip hampir sama dengan benteng yang ada di Bandar Cangu, hanya lebih besar dan dikelilingi panggungan sepanjang pagarnya.

“Besok kita sudah siap ke hutan seberang Sungai Perigian untuk bahan kayu yang baik disana”, berkata Raden Wijaya yang puas hari itu telah berhasil membuat sebuah rancangan kasar untuk sebagai dasar dan pegangan pembangunan benteng prajurit di Tanah Ujung Galuh.

Demikianlah, keesokan harinya terlihat beberapa prajurit dan penduduk setempat tengah menyeberangi sungai Perigian untuk mencari bahan kayu yang baik. Sementara itu beberapa prajurit sudah berada diatas tanah dimana Benteng prajurit akan berdiri di tanah itu.

“Kita membangun benteng yang panjang membelakangi Sungai Kalimas”, berkata Raden Wijaya memberikan pengarahan kepada para prajuritnya yang akan menyiapkan lahan dasar tempat berdirinya benteng mereka di Tanah Ujung Galuh.

Sementara itu tidak jauh dari mereka terlihat iring-iringan penduduk Padukuhan datang bersama Ki Bekel. Ternyata mereka semua membawa berbagai sesajian. “Kami akan melakukan upacara Pangruwak, agar pemilik bangsa halus yang menempati tanah ini berkenan mengijinkannya”, berkata Ki Bekel kepada Raden Wijaya.

“Terima kasih untuk segala perhatian Ki Bekel, entah dengan cara apa kami membalasnya”, berkata Raden Wijaya merasa terharu atas dukungan dan perhatian para penduduk asli setempat atas rencananya membangun benteng di Tanah Ujung Galuh.

“Kami hanya sedikit berbuat, para penduduk merasa telah punya arti ikut membangun benteng prajurit di Tanah Ujung Galuh ini”, berkata Ki Bekel dengan penuh kegembiraan.

Demikianlah, hari itu upacara Pangruwak dilaksanakan diatas tanah baru benteng prajurit mereka.

Sementara itu diwaktu yang sama Mahesa Amping bersama Adipati Arya Wiraraja dan Ki Sandikala masih dalam perjalanannya menuju Kotaraja Kediri, terlihat langkah kuda mereka sudah mendekati Jalan Simpang.

“Ternyata batang-batang pohon itu masih belum disingkirkan”, berkata Mahesa Amping yang melihat banyak batang pohon yang malang melintang masih belum disingkirkan.

“Siapa yang telah merobohkan pohon-pohon ini?”, bertanya Adipati Arya Wiraraja kepada Mahesa Amping.

Maka Mahesa Amping secara singkat bercerita tentang apa yang terjadi beberapa hari yang lalu tentang sebuah pasukan kecil Singasari yang telah berusaha merusak dan mengganggu pasukan besar Kediri yang tengah melakukan perjalanan menuju Tanah Ujung Galuh.

“Jadi kalian telah berhasil menghalau pasukan besar mereka”, berkata Adipati Arya Wiraraja merasa bangga dengan pasukan Raden Wijaya yang dapat menghalau pasukan Kediri.

Batang-batang pohon itu memang sedikit menghambat perjalanan mereka, maka terlihat mereka telah melaluinya dan terus berjalan diatas jalan tanah yang rata. Tidak terasa mereka telah jauh dari jalan Simpang, namun masih diatas jalan yang sama.

Akhirnya ketika matahari sudah mulai beranjak diatas puncaknya, bersamaan mereka telah mendekati sebuah padukuhan yang cukup ramai. Terlihat mereka mendekati sebuah kedai di pasar padukuhan itu, ternyata hari itu memang bersamaan dengan hari pasaran.

Pasar itu memang sudah mulai terlihat sepi, beberapa pedagang terlihat tengah menggulung barang dagangannya yang masih tersisa.

Sementara itu kedai yang mereka datangi masih terlihat ramai, mungkin beberapa pedagang yang tengah beristirahat sebelum pulang kembali ke rumahnya yang mungkin agak jauh dari Padukuhan itu.

Terlihat Mahesa Amping, Adipati Arya Wiraraja dan Ki Sandikala tengah menambatkan kuda mereka di depan kedai itu dan langsung masuk kedalam kedai itu.

Seorang pelayan lelaki terlihat mendekati meja mereka menanyakan pesanan makanan yang diinginkan.

“Kami akan segera membawa pesanan tuan”, berkata pelayan itu setelah mendengar pesanan makanan dan minuman dari mereka bertiga dan langsung masuk menghilang kedalam.

Mereka memang menunggu cukup lama, tapi mereka bertiga memaklumi karena mungkin pengunjung saat itu sangat ramai. Tapi tiba-tiba saja pendengaran mereka terusik dengan sebuah keributan yang datangnya dari luar kedai.

“Tuan berdua tetap disini, biarlah hamba yang keluar melihat apa yang terjadi diluar”, berkata Ki Sandikala kepada Mahesa Amping dan Adipati Arya Wiraraja sambil berdiri dan melangkahkan kakinya keluar kedai.

Bukan main terkejutnya Ki Sandikala ketika sampai dimuka kedai melihat ada dua orang tengah beradu kata memperebutkan seekor kuda. Dan kuda yang diperebutkan itu ternyata miliknya.

“Kamu bukan pemilik kuda ini, kenapa repot?”, berkata seorang yang berperawakan tinggi besar dengan wajah garang berkumis lebat kepada seorang lelaki yang berusaha merebut tali kekang kuda dari orang berwajah garang itu.

“Aku bertanggung jawab terhadap semua milik pengunjung kedai ini”, berkata lelaki itu sambil terus ingin merebut tali kekang ditangan orang berwajah garang itu.

Tiba-tiba saja tangan orang berwajah garang itu sudah bergerak bermaksud menampar wajah lelaki di dekatnya itu.

Tapi tamparan itu menemui tempat kosong, orang yang akan ditampar wajahnya itu ternyata punya gerakan yang cukup gesit memiringkan wajahnya, namun tidak segera membalas tamparan itu melainkan dirinya melompat menjauh.

“Hargailah aku sebagai temanmu, pemilik kedai ini telah mempercayaiku mengamankan kedainya”, berkata lelaki itu terlihat masih menahan diri.

“Peduli setan dengan tugasmu, aku menyukai kuda ini”, berkata orang berwajah garang itu sambil menarik tali kekang kuda bermaksud membawanya.

“Aku peduli sekali dengan kuda itu, karena kuda itu milikku”, berkata seseorang yang tidak lain adalah Ki Sandikala yang datang menghadang orang berwajah garang itu menghalanginya membawa kudanya.

“Minggirlah tuan, kawanku ini hanya iri aku tidak lagi luntang-lantung hidup tidak karuan seperti dirinya”, berkata lelaki itu meminta Ki Sandikala menyingkir agar dia sendiri yang akan menghadapi orang berwajah garang itu yang ternyata kawannya juga.

Terpaksa Ki Sandikala menyingkir ingin tahu apa yang akan dilakukan orang berwajah garang itu, namun telah siap melakukan pencegahan bila terjadi sesuatu yang merugikan pada lelaki yang nampaknya sangat sabar itu.

“Aku tidak iri padamu dan tidak punya kawan seperti dirimu”, berkata orang berwajah garang itu sambil mencabut goloknya dan sudah langsung membabat tegak lurus tertuju arah kepala lelaki itu.

Awalnya Ki Sandikala akan memberi bantuan kepada lelaki itu, namun mengurungkan niatnya manakala dilihatnya dengan mudah lelaki itu mengelak dan sudah langsung menyerang orang berwajah garang itu dengan sebuah pukulan yang sangat cepat menghantam dada orang berwajah garang itu.

Tapi orang berwajah garang itu tidak membiarkan dadanya terhantam pukulan lelaki itu, terlihat golok ditangannya telah berubah arah menyambar tangan lelaki itu.

Terlihat lelaki itu telah menarik kembali tangannya menghindari golok lawannya yang akan menyambarnya sambil melayangkan kakinya kearah tangan lawannya yang tengah bergerak dengan senjata goloknya.

Orang berwajah garang itu telah merubah arah senjata goloknya balas menyerang lelaki itu, demikianlah dalam waktu cepat mereka berdua sudah terlibat dalam sebuah perkelahian yang seru.

Ternyata perkelahian itu sudah mencuri perhatian beberapa orang yang masih berada di pasar, juga orang yang ada didalam kedai.

Dalam waktu cepat sudah banyak orang berkerumun berdiri tidak jauh dari perkelahian itu tanpa ada keberanian untuk melerainya.

“Lelaki itu punya kelebihan dari lawannya meski tidak bersenjata”, berkata Ki Sandikala dalam hati yang sudah dapat menilai jalannya perkelahian itu.

Sebagaimana yang dilihat oleh Ki Sandikala, ternyata memang bahwa lelaki itu punya kelebihan dari orang berwajah garang itu. Meski tanpa senjata masih dapat melayani serangan lawannya. Bahkan semakin lama sudah dapat menguasai perkelahian itu dengan semakin banyaknya serangan dengan tangan kosongnya membuat sibuk lelaki garang itu mengelak dan menghindari setiap serangan yang selalu datang memburunya.

“Apa yang telah terjadi?”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Sandikala yang sudah ikut keluar dari dalam kedai mendengar ada sebuah keributan.

“Hanya sebuah perkelahian dua orang benggol pasar”, berkata Ki Sandikala kepada Mahesa Amping sambil matanya tidak pernah lepas masih terus mengawasi jalannya perkelahian yang masih terus berlangsung dengan serunya. Sebagaimana yang dilihat oleh Ki Sandikala, perkelahian itu memang sudah semakin seru. Lelaki itu masih dapat melayani orang berwajah garang yang bersenjata golok yang terus menyambar berkelebat memburunya. Tapi lelaki itu masih tetap dapat bertahan bahkan dapat balas menyerang dengan dahsyatnya cukup merepotkan lawannya itu.

Namun sebuah kelengahan telah berhasil membuat sebuah goresan pendek diatas paha kanan lelaki itu, sebuah sabetan senjata golok lawannya tidak dapat dihindari berhasil menggores tidak begitu dalam dari kulit paha kanannya, namun tetap saja menimbulkan rasa perih dan garis warna darah yang terlihat memanjang.

Terlihat beberapa orang yang menyaksikan perkelahian itu menahan nafas berdebar penuh rasa khawatir melihat lelaki itu sudah terluka.

Tapi ternyata lelaki itu tidak menjadi surut meski sebuah luka telah menggores paha kanannya, bahkan luka itu telah menjadi sebuah cambuk semangatnya untuk meningkatkan kemampuan serangannya.

Terlihat lelaki itu telah meningkatkan kemampuannya, daya serangnya lebih cepat dari sebelumnya, juga menjadi sangat berbahaya.

Buk !!

Pukulan tangan lelaki itu berhasil menghantam dada orang berwajah garang itu yang langsung merasakan nafasnya menjadi sesak seketika.

Lelaki itu tidak menyia-nyiakan waktu yang sempit itu dengan melakukan pukulan berikutnya.

Plak..!!, orang berwajah garang itu merasakan gendang telinganya berdegung bersamaan dengan hantaman pukulan yang membentur rahangnya.

Terlihat orang berwajah garang itu telah limbung terjungkal rebah jatuh lemas di tanah.

“Cepat enyah dari sini dan jangan ganggu kehidupanku lagi”, berkata lelaki itu kepada orang berwajah garang itu yang masih merasakan sakit di kepalanya.

Terlihat orang berwajah garang itu berdiri limbung berjalan meninggalkan muka kedai.

Bersama dengan perginya orang berwajah garang itu, beberapa orang yang berkerumun di sekitar itu juga telah membubarkan dirinya kembali ketempat dan keperluannya kembali.

“Terima kasih telah menjaga kudaku”, berkata Ki Sandikala kepada lelaki itu sambil mengambil tali kekang kudanya dan menambatkannya kembali di muka kedai itu.

“Kuda tuan memang cukup menggiurkan siapapun yang melihatnya”, berkata lelaki itu sambil tersenyum kepada Ki Sandikala.

“Tidak banyak orang yang dapat menahan keinginan untuk memiliki barang bukan miliknya”, berkata Ki Sandikala sambil menepuk bahu lelaki itu.

“Tapi masih ada orang yang tidak senang melihat kita jadi orang benar”, berkata lelaki itu sambil tersenyum getir.

“Kami titip kembali kuda-kuda ini”, berkata Ki Sandikala kepada lelaki itu sambil melangkah kembali kedalam kedai diikuti oleh Mahesa Amping dan Adipati Arya Wiraraja.

Ternyata makanan dan minuman pesanan mereka sudah lengkap tersedia di meja.

“Kenikmatan yang tertunda”, berkata Ki Sandikala sambil menatap makanan dan minuman dihadapannya.

Terlihat mereka telah menikmati makan siang mereka yang tertunda. Beberapa pengunjung di kedai itu juga telah kembali di tempatnya semula menikmati makan dan minumnya kembali sepertinya peristiwa yang baru saja terjadi di muka kedai itu sudah terlupakan.

Setelah menyelesaikan makan dan minumnya serta merasa cukup beristirahat, Mahesa Amping, Adipati Arya Wiraraja dan Ki Sandikala terlihat telah berdiri dan melangkah keluar kedai bermaksud akan melanjutkan perjalanan mereka kembali.

“Terima kasih telah menjaga kuda-kuda kami”, berkata Ki Sandikala sambil menyelipkan tiga keping perak ke tangan lelaki pekerja keamanan kedai itu.

“Terima kasih, semoga kejadian tadi tidak membuat tuan menjadi jera singgah ke kedai kami”, berkata lelaki itu penuh gembira.

“Kami akan singgah, disini kuda-kuda kami terjaga dengan baik”, berkata Ki Sandikala penuh senyum ramah kepada lelaki itu sambil melompat keatas punggung kudanya.

Demikianlah, Mahesa Amping, Adipati Arya Wiraraja dan Ki Sandikala telah meninggalkan kedai itu, meninggalkan pasar padukuhan itu dan sudah jauh keluar dari jalan Padukuhan itu diatas punggung kudanya menapaki jalan menuju arah Kotaraja Kediri yang masih berjarak satu hari perjalanan lagi.

Bumi senja yang bening saat itu sudah mulai perlahan buram, burung-burung kecil sudah kembali sembunyi menghangatkan diri di semak perdu dan diatas cabang pohon rindang. Terlihat tiga orang penunggang kuda tengah memasuki regol gerbang sebuah Padukuhan.

Mereka adalah Mahesa Amping, Adipati Arya Wiraraja dan Ki Sandikala yang seharian diatas kudanya melakukan perjalanannya menuju Kotaraja Kediri yang tidak begitu jauh lagi dari tempat padukuhan yang kini telah mereka masuki itu.

“Maaf kisanak, dimanakah Banjar Desa dapat kami temui?, bertanya Ki Sandikala kepada dua orang anak muda yang tengah duduk di sebuah gardu ronda.

“Di persimpangan jalan, silahkan Paman berbelok ke kanan. Banjar desa terletak di sebelah kanan jalan”, berkata salah seorang anak muda itu kepada Ki Sandikala.

“Terima kasih”, berkata Ki Sandikala kepada anak muda itu.

Akhirnya sebagaimana yang dikatakan oleh anak muda itu, mereka bertiga telah menemui sebuah persimpangan jalan. Terlihat mereka telah mengambil jalan ke kanan. Ternyata memang mereka menemui sebuah Banjar Desa ada di sebelah kanan jalan bersebelahan dengan sebuah rumah penduduk yang sangat sederhana.

“Tunggulah disini, hamba akan minta ijin kepada pemilik rumah ini untuk menggunakan banjar desa”, berkata Ki Sandikala yang telah turun dari punggung kudanya langsung melangkahkan kakinya menghampiri rumah itu.

Terlihat seorang lelaki keluar dari rumahnya setelah Ki Sandikala memanggilnya dengan sapaan seorang tamu dimuka pintunya.

“Maaf kami datang diwaktu hari sudah turun malam, dapatkah kami untuk diijinkan bermalam di Banjar Desa itu”, berkata Ki Sandikala kepada pemilik rumah itu sambil menunjuk ke arah Banjar desa.

“Ternyata kalian kemalaman di perjalanan, silahkan menggunakannya. Kebetulan banjar desa itu berdekatan dengan rumahku, warga disini menyerahkan kebersihan dan perawatannya kepadaku”, berkata lelaki itu sambil tersenyum ramah.

Demikianlah Ki Sandikala, Mahesa Amping dan Adipati Arya Wiraraja akhirnya telah bermalam di Banjar  desa itu.

Disamping banjar desa itu mengalir parit kecil yang deras berkelok dari arah belakang. Terdengar suara dan riaknya mengisi suasasana di Banjar Desa itu.

“Mendengar suara air itu hati ini begitu tenang”, berkata Adipati Arya Wiraraja tengah bersandar di dinding bambu pojok panggung Banjar Desa menikmati suasana dan suara riak air.

“Beginilah dunia para pengembara, menikmati suara alam melewati waktu dan hari”, berkata Ki Sandikala menanggapi perkataan Adipati Arya Wiraraja.

“Baru dua tiga kampung hatinya sudah tertambat oleh seorang gadis kembang desa”, berkata Mahesa Amping yang ditanggapi tawa Ki Sandikala dan Adipati Arya Wiraraja.

Akhirnya pembicaraan mereka tentang pengembara terhenti manakala melihat suami istri pemilik rumah dekat Banjar desa itu datang membawa beberapa potong jagung rebus serta minuman hangat untuk mereka.

“Hanya jagung rebus“, berkala lelaki itu sambil menyilahkan Mahesa Amping, Arya Wiraraja dan Ki Sandikala menikmatinya.

“Terima kasih”, berkata Ki Sandikala kepada lelaki itu.

“Silahkan beristirahat”, berkata lelaki itu sambil pamit diri bersama istrinya kembali ke rumahnya.

“Sang pengembara memakan jagung rebus hangat”, berkata Ki Sandikala sambil tangannya mengambil sepotong jagung rebus yang masih hangat.

Ternyata perkataan Ki Sandikala telah memancing mereka bicara lagi tentang seorang pengembara.

“Banyak orang meremehkan seorang pengembara yang ditemuinya sebagai seorang pemalas yang tidak punya tujuan hidup”, berkata Arya Wiraraja kembali berbincang tentang seorang pengembara.

“Orang yang berpikir seperti itu tidak mengerti bahwa pengembaraan itu adalah sebuah jalan hidup”, berkata Ki Sandikala. “Para pengembara lebih banyak berbicara dengan hatinya sendiri, mengenal dirinya yang berujung kepada pengenalan atas penguasa alam jagat raya ini, Gusti Yang Maha Agung, Yang Maha Kasih, Yang Maha Pemelihara dan tidak pernah tidur dan memejamkan matanya barang sekejap”, berkata kembali Ki Sandikala. ”Mereka menemukan itu semua dalam kesendirian, dalam perjalanan panjang di hutan, di padang dan lembah gunung sepi, didalam kesendiriannya”, berkata Ki Sandikala berhenti sebentar sambil melihat mangkuk airnya yang masih ada, mengangkatnya dan meneguknya, sepertinya begitu menikmati wedang jahe yang masih hangat itu.

“Berbahagialah pengembara itu yang telah menemukan jalan terang, menemukan cahaya arti kehidupan. Mereka akan kembali dimana awal mereka datang, atau terus mengikuti langkah kaki menebarkan kasih kepada segenap isi bumi”, berkata Arya Adipati Wiraraja menanggapi pembicaraan Ki Sandikala.

“Namun suatu saat pengembara itu menemukan jalan simpang, banyak yang tersesat memilih jalan gemerlap duniawi yang ternyata adalah tipuan hati, dan pengembara itu sudah tidak tahu lagi jalan pulang”, berkata Mahesa Amping ikut tertarik berbicara tentang seorang pengembara.

Ternyata ungkapan Mahesa Amping sepertinya suara yang mampu menusuk jauh kedalam hati Ki Sandikala dan Adipati Arya Wiraraja. Keadaan di Banjar desa itu tiba-tiba saja menjadi hening, semua yang ada diatas panggung bale bambu itu sepertinya tengah bicara dengan hati dan dirinya sendiri-sendiri, bertanya pada hatinya apakah dirinya telah berada dijalan benar dan tidak tersesat memilih jalan gemerlap duniawi sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Amping.

“Tuan Senapati Mahesa Amping ternyata sahabat muda pengembara hati, perjalanan hati bagi hamba kadang sebagai sebuah titian panjang, perlu kehati-hatian, begitulah kita menitinya hingga sampai ke seberang tanah abadi, tanah penuh suka cita, tanah adem tentrem yang didalamnya tidak akan diliputi rasa sedih duka lara, sejahteralah mereka yang telah melewati jalan titian panjang itu”, berkata Ki Sandikala dengan penuh semangat sepertinya berkata kepada dirinya sendiri.

“Ternyata aku bertemu dengan dua orang pengembara sejati”, berkata Adipati Arya Wiraraja kepada Ki Sandikala dan Mahesa Amping yang mulai dapat mengikuti arah pembicaraan keduanya yang ternyata bicara mengenai pengembaraan hati. ”Semakin diri ini selalu berpaut bersama kalian berdua, pantaslah kalian seperti tak pernah terpisahkan”, berkata kembali Arya Wiraraja.

“Begitulah para pengembara menemukan sahabat sejati”, berkata Ki Sandikala dengan senyumnya. ”Untuk saling menjaga dan berbagi”, berkata kembali Ki Sandikala.

Sementara itu malam telah semakin larut, suara deras riak air parit disamping banjar desa itu masih terus terdengar menguasai keheningan malam berbalut desir angin dingin semilir menembus rangkaian anyaman dinding bambu.

Terdengar suara kentongan bernada suara dara muluk terdengar jauh mungkin dari padukuhan sebelah sebagai tanda hari sudah memasuki pertengahan malam dan kondisi saat itu dalam keadaan aman tenteram tanpa ada ganguan apapun.

“Masih ada waktu untuk tidur beristirahat”, berkata Ki Sandikala menawarkan Adipati Arya Wiraraja dan Mahesa Amping untuk beristirahat lebih dulu. ”Biarlah hamba bergilir jaga pertama malam ini”, berkata kembali Ki Sandikala sambil bergeser bersandar di pojok sudut tiang bambu banjar desa dan meluruskan kakinya.

Dan malam pun akhirnya berlalu menepi berganti pagi ditandai dengan cahaya mentari bersinar menerangi bumi.

Pagi telah datang membawa suara kicau burung aneka warna dan suara, membangunkan seorang bocah gembala dalam wajah kantuk membawa kerbaukerbaunya merumput dan memandikannya. Sementara itu seorang bocah lelaki kecil bertelanjang berlari mengikuti seorang ibu muda yang terlihat tergesa menyeret kain panjangnya di jalan padukuhan. Matahari pagi telah menerangi suasana padukuhan dimana Mahesa Amping, Ki Sandikala dan Adipati Arya Wiraraja tengah bermalam di Banjar desanya. Ternyata di belakang banjar desa itu terhampar petak-petak sawah yang turun berundak yang baru berumur sekitar dua pekan terlihat baru tumbuh tegak dalam lumpur berair basah.

“Syukurlah kalian dapat tidur nyenyak di Banjar desa”, berkata lelaki pemilik rumah sebelah Banjar desa ketika mereka datang untuk pamit diri melanjutkan perjalanannya kembali.

Demikianlah di pagi yang cerah diatas tanah yang masih basah berembun terlihat tiga ekor kuda yang tegar telah berjalan perlahan diatas jalan padukuhan. Tiga orang diatas punggung kuda itu sepertinya menikmati udara pagi yang segar diantara rumah dan pohon-pohon yang tinggi sepanjang jalan padukuhan itu. Beberapa orang yang mereka lewati terlihat memperhatikan dengan dalam langkah perjalanan mereka bertiga sebagai tamu asing yang sering mereka lihat melewati padukuhannya. Mungkin tiga ekor kuda tegar yang membuat mereka tidak putus memandang, membayangkan bilasaja bisa memilikinya untuk setiap hari dibawanya berkeliling tanah padukuhan sebagai kebanggaan tak terkirakan. Seorang bocah anak gembala yang tengah menunggu kerbaukerbaunya mandi di sebuah kubangan pinggir jalan diujung padukuhan itu terus memandangi ketiga penunggang kuda itu yang baru saja keluar dari regol gerbang padukuhan terus menyusuri jalan tanah padat yang akhirnya menghilang di sebuah tikungan jalan.

Lengkung langit biru dipenuhi awan putih bersama sang mentari yang berdiri tegak memancarkan cahaya penuhnya hampir terasa membakar bumi. Siang itu terlihat tiga orang penunggang kuda telah memasuki gerbang Kotaraja Kediri. Dibiarkannya kudakuda mereka melangkah berjalan diatas jalan tanah Kotaraja Kediri yang hampir sepanjang jalan sudah dipenuhi banyak rumah panggung yang cukup bagus dengan tiang-tiang pilar kayu pendapanya terukir indah terlihat dari arah jalan Kotaraja Kediri.

Ketiga penunggang kuda itu akhirnya telah  menghentikan kuda-kuda mereka ketika telah sampai di muka gerbang istana. Terlihat mereka turun dari punggung kudanya serta langsung menuntunnya mendekati gardu rumah jaga dimana seorang prajurit terlihat keluar menyongsong mereka.

“Junjungan kami Adipati Arya Wiraraja ingin datang menghadap Paduka tuan Baginda Raja penguasa Agung Kediri”, berkata seorang diantara ketiga penunggang kuda itu yang tidak lain adalah Ki Sandikala sambil menyerahkan sebuah lempengan perak persegi sedikit lebih kecil dari telapak tangan berukir sebuah lukisan pedang kembar.

“Tunggulah disini, kami akan menyampaikannya kepada pimpinan kami”, berkata prajurit pengawal istana itu menerima peneng perak dan membawanya kedalam.

Tata cara penerimaan tamu yang akan menghadap seorang raja memang sangat panjang dan berjenjang. Seorang prajurit pengawal pertama harus melaporkannya kepada lurah prajurit mereka. Selanjutnya seorang lurah prajurit secara berjenjang datang menghadap perwira utama prajurit pengawal. Akhirnya perwira prajurit itu menyampaikannya kepada seorang prajurit kepercayaan raja mereka.

“Adipati Arya Wiraraja datang ke istanaku?”, berkata Raja Jayakatwang di pasanggrahannya sendiri kepada seorang prajurit pengawal pribadinya yang menyerahkan sebuah pertanda sebuah lempengan perak berukir lukisan pedang kembar. “katakan bahwa aku akan menerima mereka di Pura Kartika”, berkata Raja Jayakatwang kepada prajurit pengawal pribadinya.

Terlihat prajurit pengawal pribadi Raja itu telah keluar menemui seorang perwira tinggi mereka yang bertanggung jawab atas keselamatan raja dan keluarga istana.

“Tuanku Baginda Raja berkenan menerima tamu itu di Pura Kartika”, berkata prajurit pengawal pribadi raja kepada seorang perwira tinggi pimpinannya.

“Berikan kembali peneng ini kepada pemiliknya, mereka diperkenankan datang menghadap tuan baginda Raja di Pura Kartika”, berkata perwira tinggi itu kepada seorang Lurah prajurit.

“Hebat sekali pemilik peneng ini dapat langsung diperkenankan menghadap Paduka Baginda Raja”, berkata lurah prajurit dalam hati sambil berjalan mencoba mengamati lambang yang terukir di lempengan perak itu. “Biasanya harus menunggu dua atau tiga hari, bahkan ada yang tidak diperkenankannya”, berkata kembali lurah prajurit itu dalam hati masih sambil berjalan kearah gerbang istana.

Hanya mereka yang dekat dengan keluarga Istana Singasari saja yang mengetahui siapa orang  yang berhak memegang lempengan perak berukir lukisan timbul pedang kembar itu. Dan hanya ada tiga orang yang memiliki lempengan perak berukir itu, diantaranya adalah Adipati Arya Wiraraja.

“Tuanku Baginda berkenan menerima kalian, mari kuantar kalian ke Pura Kartika”, berkata Lurah prajurit kepada Ki Sandikala.

“Terima kasih”, berkata Ki Sandikala sambil menerima kembali peneng perak sebuah jati diri dan pertanda khusus milik Adipati Arya Wiraraja.

“Tinggalkan saja kuda kalian, prajurit kami akan mengurusnya”, berkata lurah prajurit itu sambil memerintahkan anak buahnya untuk membawa dan mengurus kuda-kuda tamunya.

Maka terlihat Lurah prajurit itu sudah berjalan dimuka diikuti oleh Ki Sandikala, Mahesa Amping dan Adipati Arya Wiraraja yang berjalan menuju Pura Kartika, sebuah bangunan khusus untuk menerima para tamu terhormat kerajaan.

“Selamat datang wahai Paman Adipati Arya Wiraraja, sebuah kegembiraan masih dapat bertemu muka dengan seorang yang punya nama begitu cemerlang dimasa silam”, berkata Raja Jayakatwang menyambut kedatangan mereka bertiga di Pura Kartika sambil tetap duduk diatas sebuah altar beralas kulit harimau belang dengan pengawalan dibelakangnya tiga orang prajurit setia kepercayaannya.

Terlihat Adipati Arya Wiraraja duduk berjajar bersama Mahesa Amping dan Ki Sandikala.

“Terima kasih tak terhingga telah memperkenankan hamba untuk datang menghadap”, berkata Adipati Arya Wiraraja sambil merangkapkan tangannya penuh hormat. “Hamba sengaja datang melangkahkan kaki menghadap Tuanku Baginda hanya sebagai orang tua yang memberanikan diri menjadi sebagai penyambung lidah bagi dua keluarga yang tengah bertikai. Raden Wijaya atas nama keluarga istana Singasari telah mendatangi hamba yang rendah ini untuk menyampaikan beberapa kesepakatan”, berkata kembali Adipati Arya Wiraraja menyampaikan maksud dan tujuannya datang menghadap Raja Jayakatwang.

“Apakah Raden Wijaya telah mempercayai Paman Adipati Arya Wiraraja mewakili dirinya memutuskan sebuah kesepakatan?”, bertanya Raja Jayakatwang sambil memandang Adipati Arya Wiraraja.

“Hamba tidak berani mewakili Raden Wijaya membuat kesepakatan langsung dengan tuanku Baginda. Raden Wijaya telah mengirim utusannya langsung yang juga menjadi saksi atas segala kesepakatan yang diputuskan. Utusan Raden Wijaya datang bersama hamba, disamping hamba sendiri”, berkata Arya Wiraraja kepada Raja Jayakatwang.

“Hamba Senapati Mahesa Amping telah diperkenankan mewakili Raden Wijaya”, berkata Mahesa Amping sambil merangkapkan kedua tangannya memperkenalkan dirinya.

“Lekas katakan kesepakatan apa yang diinginkan oleh Raden Wijaya”, berkata Raja Jayakatwang kepada Adipati Arya Wiraraja.

“Ampun tuanku bila hamba akan menyampaikan kesepakatan yang diinginkan oleh Raden Wijaya yang menurut hamba terlalu sedikit dari begitu besarnya yang tuanku Baginda miliki saat ini. Dan Raden Wijaya akan memberikan sesuatu yang besar dari permintaannya yang sangat sedikit itu. Raden Wijaya bersedia untuk menarik semua pasukannya yang tersebar membuat gangguan di jalur perdagangan Kediri”, berkata Adipati Arya Wiraraja berhenti sebentar menarik nafas panjang.

“Apa yang ingin diminta oleh Raden Wijaya untuk harga menarik semua pasukan liarnya itu?”, bertanya Raja Jayakatwang menyela perkataan Adipati Arya Wiraraja.

“Raden Wijaya hanya menginginkan perkenan tuanku memberikannya Tanah Ujung Galuh sebagai daerah swatantra untuknya. Dan Raden Wijaya telah berjanji untuk mengakui kedaulatan Kediri sebagaimana kedaulatan Singasari”, berkata Adipati Arya Wiraraja kepada Raja Jayakatwang.

“Katakan, apa keuntungannya untukku”, berkata Raja Jayakatwang menguji pandangan Adipati Arya Wiraraja yang dikenal sangat cemerlang itu.

“Sebagaimana yang hamba katakan bahwa Raden Wijaya hanya menerima sedikit dari yang telah diberikan untuk tuanku baginda dapatkan”, berkata Adipati Arya Wiraraja sambil memandang wajah Raja Jayakatwang mempelajari raut mukanya yang dapat dibaca sebagai suara hatinya. ”Pengakuan kedaulatan Kediri dari Raden Wijaya adalah juga pengakuan dari semua raja-raja di Jawadwipa. Itulah yang akan tuanku Baginda dapatkan, sebuah keuntungan yang besar dari sebuah tanah yang begitu kecil tak berarti yang ingin dimiliki oleh Raden Wijaya”, berkata Adipati Arya Wiraraja yang dapat membaca raut muka Raja Jayakatwang yang dilihatnya berubah cerah.

“Raden Wijaya memang tidak akan dapat meminta apapun dariku, bila ada perkenan dariku hanyalah sebuah hadiah dari seorang saudara. Katakan kepada Raden Wijaya bahwa aku telah berkenan memberikannya sebuah hadiah tanah swatantra untuknya, sebuah tanah di Ujung Galuh. Dalam waktu yang tidak lama akan kuutus orangku sendiri yang akan menyampaikan kekancingan tanda perkenanku kepadanya”, berkata Raja Jayakatwang yang merasa gembira membayangkan apa artinya sebuah tanah Ujung Galuh dibandingkan pengakuan kedaulatan dari seluruh raja-raja di Tanah Jawa yang sebagian besar adalah kerabat dan keluarga istana Singasari adanya.

“Sabda tuanku paduka adalah pusaka, dan hamba merasa bahagia bahwa ternyata tuanku baginda adalah seorang yang pemurah dan berhati kasih, semoga nagari ini menjadi tempat yang menyejukkan bagi semua para sudra, menjadi nagari yang aman untuk para waisya dan para kstria sepanjang masa tidak akan pernah melepaskan pedangnya di tanah yang tidak ada peperangan. Berbahagialah para kawula diperkenankan memiliki putra dewata yang turun di tahta istana Kediri ini”, berkata Adipati Arya Wiraraja dengan merangkapkan kedua tangannya penuh kehormatan dihadapan raja Jayakatwang.

Bukan main gembiranya hati raja Jayakatwang menerima puja puji Adipati Arya Wiraraja.

“Semoga Raden Wijaya secepatnya memenuhi kesepakatannya, perkenanku kepada kalian hari ini telah kupenuhi”, berkata Raja Jayakatwang sambil bangkit berdiri dan telah melangkah keluar diiringi para prajurit pengawal pribadinya.

Adipati Arya Wiraraja, Mahesa Amping dan Ki Sandikala terlihat segera berdiri setelah merasa bayangan Raja jayakatwang sudah tidak terlihat lagi di Pura Kartika. Diluar pintu utama Pura Kartika terlihat seorang Lurah prajurit tengah menunggu mereka. Terlihat mereka bertiga telah berjalan kembali kearah gerbang istana Kotaraja Kediri.

Dua orang prajurit dan seorang pekatik telah menunggu mereka di pintu gerbang istana. “Terima kasih telah menerima kami dengan  baik”, berkata Ki Sandikala diatas punggung kudanya.

“Semoga keselamatan menaungi perjalanan kalian”, berkata lurah prajurit itu sambil melambaikan tangannya.

Lurah prajurit, dua orang prajurit dan seorang pekatik mengiringi langkah kuda mereka yang berjalan perlahan menyusuri jalan Kotaraja Kediri yang sudah mendekati awal senja dimana sang mentari terlihat menantang wajah mereka bergelantung di barat bumi.

Dan Mahesa Amping, Adipati Arya Wiraraja dan Ki Sandikala sudah berada dijalan menuju gerbang Kotaraja Kediri.

“Ternyata Ki Sandikala dapat berperan sebagai seorang prajurit Tanah Perdikan Songenep yang baik”, berkat Adipati Arya Wiraraja ketika mereka tengah melewati regol gerbang Kotaraja Kediri.

“Tuan Adipati juga sangat mumpuni dalam hal bertutur kata, hamba melihat Raja Jayakatwang seperti seorang pembeli dihadapan pedagang canggih memasarkan barang dagangannya, hingga yang ada dalam bayangan Raja Jayakatwang adalah keuntungan yang besar”, berkata Ki Sandikala.

“Raja Jayakatwang tidak terpikir bahayanya membeli seekor anak harimau”, berkata Mahesa Amping yang disambut tawa oleh Ki Sandikala dan Adipati Arya Wiraraja.

“Kelihatannya kita akan bermalam di Padukuhan kemarin”, berkata Ki Sandikala sambil menatap lengkung langit yang mulai redup bening menyelimuti bumi senjanya.

“Sepanjang malam ditemani suara gemericik air”, berkata Mahesa Amping

“Dan sepanjang malam bercerita tentang perjalanan tiga orang pengembara”, berkata Adipati Arya Wiraraja yang sepertinya sangat menikmati perjalanannya itu.

Sementara itu dihari dan waktu yang sama Raden Wijaya masih berada diantara para pekerja yang tengah membangun benteng besar di Tanah Ujung Galuh.

“Hari sebentar lagi menjadi gelap, mari kita kembali ke barak”, berkata Ranggalawe mengajak Raden Wijaya kembali ke baraknya.

“Dua pekan lagi bangunan benteng besar akan berdiri di Tanah Ujung Galuh ini”, berkata Raden Wijaya sambil memandang bangunan Benteng Prajurit yang sudah terlihat setengah pekerjaan lagi.

“Apakah kita akan menarik semua kekuatan prajurit kita di Kotaraja Singasari?”, bertanya Ranggalawe ketika mereka di pertengahan jalan menuju baraknya.

“Semua menunggu lawatan Ayahandamu, Adipati Arya Wiraraja di Kotaraja Kediri”, berkata Raden Wijaya menjawab pertanyaan Ranggalawe.

Temaram warna langit senja diatas Bandar Ujung Galuh yang masih ramai dipenuhi orang yang berlalu lalang. Pucuk-pucuk tiang layar beberapa perahu kayu terlihat bergoyang dipermainkan ombak kecil di pinggir dermaga kayu di tepian laut panjang Selat Madhura.

“Tadi siang Ki Bekel menawarkan penukaran kayu jati tebangannya tahun lalu yang sudah berumur cukup lama dalam rendaman air sungai”, berkata Raden Wijaya kepada Ki Bancak, Ranggalawe dan Argalanang yang menemaninya di barak prajurit malam itu.

“Selalu ada keberuntungan untuk kita”, berkata Argalanang

“Semoga keberuntungan selalu mengiringi jalan kita”, berkata Ki bancak menambahkan

Angin semilir mengiringi wajah sendu malam diantara gerak langkah para buruh yang tengah memanggul barang. Terdengar tawa beberapa wanita penghibur dimuka rumah bordil menggoda hati siapapun kelana yang singgah dan bermalam di Bandar Ujung Galuh itu.

Malam itu Ki Sukasrana dan Gajoh Pagon bersama beberapa prajurit Singasari dapat tugas berjaga di Bandar Ujung Galuh. Raden Wijaya telah memutuskan bahwa keamanan di tanah Ujung Galuh menjadi tanggung jawab prajurit Singasari.

“Bandar Ujung Galuh ini tidak pernah sepi”, berkata Gajah Pagon kepada Ki Sukasrana sambil berjalan menyusuri pantai malam tepian dermaga bersama kerlap kerlip pelita malam yang tergantung di depan rumah dan kedai.

“Hari ini adalah malam pertama kita mengamankan bandar Ujung Galuh, pasti ada gesekan yang akan terjadi”, berkata Ki Sukasrana yang tahu bagaimana suasana di setiap bandar pelabuhan tempat singgah  para pedagang dari berbagai penjuru dunia.

Belum habis Ki Sukasrana bicara, terdengar suara jerit para wanita penghibur yang terlihat berhamburan keluar dari sebuah rumah bordil yang ada di bandar Ujung Galuh itu.

“Mari kita lihat apa yang terjadi”, berkata Gajah Pagon mengajak Ki Sukasrana mendekati arah suara keributan itu.

Namun belum lagi Ki Sukasrana dan gajah pagon mendekati arah suara keributan itu, terlihat seorang lelaki terlempar keluar dari rumah bordil itu. Diikuti oleh seorang lelaki yang keluar dari rumah bordil itu yang ternyata adalah seorang prajurit Singasari.

“Biarkan prajurit itu bekerja”, berkata Ki Sukasrana kepada gajah Pagon memegang lengannya untuk berhenti dan melihat dari jauh.

“Katakan kepada pemimpinmu bahwa mulai malam ini keamanan di Bandar Ujung Galuh ini berada di tangan pasukan Raden Wijaya”, berkata prajurit muda itu sambil bertolak pinggang dihadapan seorang lelaki yang dengan tertatih-tatih berusaha berdiri. Ternyata suara keributan itu berasal dari perkelahian diantara mereka.

“Pimpinan kami tidak takut kepada siapapun, juga tidak akan gentar meski menghadapi seratus pasukan Singasari seorang diri”, berkata orang itu yang sudah dapat berdiri kembali dan langsung pergi jauh meninggalkan prajurit muda itu.

“Orang itu adalah orangnya Ki Balap dari Padukuhan seberang yang datang setiap malam untuk meminta uang setoran keamanan”, berkata seorang lelaki kepada prajurit muda itu yang ternyata adalah pemilik rumah bordil itu.

“Besok mungkin kerja kita akan lebih berat lagi”, berkata Gajah Pagon yang sudah mendekati prajurit itu dan mendengar percakapan mereka berdua.

“Kita akan melihat, apakah mereka berani menghadapi kita”,berkata Ki Sukasrana sambil tersenyum.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar