Tapak-tapak Jejak Gajahmada Jilid 03

Sementara itu langit malam diatas Padang Konjaran sudah mulai merata menutupi segenap pandangan. Bila melihat dari tempat ketinggian, maka sepanjang mata memandang seperti melihat danau yang amat luas bertepi di sebuah gundukan bukit yang terbungkus warna hitam malam mengelilinginya.

Tiba-tiba saja terlihat bayangan dua orang berkuda membelah keremangan malam, hanya setengah tubuh mereka dan kepala kuda yang terlihat, sisa tubuh lainnya terhalang kegelapan ilalang.

Mata kedua orang berkuda itu terlihat memandang kesebuah arah dimana tiba-tiba saja terdengar suara raungan seekor anjing liar yang terusik tidurnya sebagaimana orang-orang tua mengatakannya sebagai suara anjing yang melihat hantu lewat.

Tapi kedua orang itu nampaknya tidak percaya kepada hantu yang mungkin tengah bergentayangan di Padang Kanjoran itu, mereka lebih percaya bahwa suara anjing liar itu adalah sebuah isyarat tanda yang sudah disepakati, sebuah suara isyarat rahasia.

“Mereka berada di ujung sebelah barat”, berkata salah seorang berkuda itu kepada kawannya sambil mengarahkan langkah kudanya menuju arah barat yang diikuti oleh kawannya.

Ternyata kedua orang berkuda itu tengah mengarahkan langkah kudanya menuju ke sebuah tanah berbatu yang cukup lapang ditengah padang Kanjoran itu.

“Ternyata hantu-hantu Padang Kanjoran tengah berkumpul disini”, berkata salah satu dari orang berkuda itu sambil melompat dari punggung kudanya kepada beberapa orang yang tengah berkumpul di tanah bebatuan di Padang Kanjoran itu

“Sekarang hantu Padang Kanjoran sudah lengkap”, berkata Raden Wijaya menyambut kedatangan  dua orang berkuda yang baru datang itu yang ternyata adalah Ki Bancak bersama Senapati Mahesa Amping yang sengaja bersembunyi di hutan Simpang mengamati gerak-gerik pasukan Kediri yang harus bermalam di jalan Simpang.

“Malam ini mereka masih tertunda di jalan Simpang, mereka tidak membuat gubuk-gubuk darurat. Perhitunganku mereka tidak lama di Jalan Simpang itu, mungkin saat terang pagi mereka akan melanjutkan perjalanannya”, berkata Senapati Mahesa Amping menyampaikan hasil pengamatannya.

“Artinya ada waktu yang cukup membawa pasukan Ranggalawe yang saat ini sudah berada di Bandar Ujung Galuh manyambut tamunya di Padang Kanjoran ini”, berkata Raden Wijaya menyampaikan sebuah rencananya kepada keenam sahabatnya.

“Sebagai pemburu menunggu mangsanya masuk di padang perburuan”, berkata Ki Sandikala menyetujui usulan Raden Wijaya.

“Perjalanan dari Ujung Galuh menuju Padang Kanjoran ini berselisih setengah hari perjalanan dibandingkan perjalanan mereka dari Jalan Simpang”, berkata Ki Sukasrana yang sangat mengenal jarak perjalanan ketika bertugas sebagai seorang prajurit sandi Tanah Gelanggelang.

“Kita hanya butuh lima ratus pasukan berkuda dari Bandar Ujung Galuh yang dapat melarikan kudanya ke Padang Kanjoran ini”, berkata Raden Wijaya kepada Ki Sukasrana sambil tersenyum.

“Dua ribu pasukan keong dari hutan Simpang pasti kalah cepat dengan lima ratus pasukan berkuda yang lebih jauh dari Ujung Galuh”, berkata Argalanang menyampaikan pandangannya.

“Saat ini kita hanya butuh seorang prajurit yang sudah mengenal jalan pintas menuju Bandar Ujung Galuh”, berkata Raden Wijaya sambil memandang kearah salah seorang perwiranya.

“Aku akan mencari salah satu prajuritku yang paling cakap mengenal jalan menuju Bandar Ujung Galuh”, berkata perwira itu yang tanggap bahwa perkataan Raden Wijaya adalah sebuah perintah.

Terlihat perwira itu telah menemukan orang yang dicarinya, salah seorang prajuritnya yang dianggap paling cakap dan sudah mengenal jalan pintas yang tercepat menuju Bandar Ujung Galuh.

Demikianlah, tidak lama kemudian prajurit yang dipilih oleh perwira itu sudah berada diatas punggung kudanya dan langsung menghentakkan kudanya berlari membelah pekatnya padang ilalang dan menghilang jauh dikegelapan malam.

Dan malam pun terus berlalu bersama angin dingin yang merundukkan pucuk ilalang panjang dimana pasukan kecil Raden Wijaya tengah beristirahat cukup terlindung dari kibasan angin malam. Sementara itu di lengkung langit masih ada beberapa bintang berkelip yang tidak terhalang awan bersama bulan pucat menggantung diatas langit Padang Kanjoran memberi sedikit cahaya malam. “Masih ada bintang dilangit”, berkata seorang prajurit Singasari kepada kawannya yang sama-sama dapat tugas jaga malam itu di Padang Kanjoran.

“Maksudmu hujan pasti tidak akan datang?”, berkata kawannya menanggapi perkataan temannya.

“Semua orang juga tahu ada bintang pasti tidak akan turun hujan, maksudku sebenarnya ingin mengatakan bahwa malam masih panjang”, berkata prajurit itu meluruskan ucapannya.

Terlihat kawannya tidak lagi menanggapi ucapan prajurit disebelahnya, sambil memandang bintang dilangit merapatkan dengkulnya dengan tangannya seakan-akan ingin mengusir rasa dingin sambil menanti dan berharap sang malam lekas berlalu.

Namun akhirnya harapan prajurit yang tengah melaksanakan jaga ronda itu sepertinya terkabulkan manakala di ujung timur bumi dilihatnya secercah warna merah tersembul memecah kegelapan langit malam.

Dan sang fajar memang sudah mulai hadir mengisi warna bumi perlahan menyapu sisa-sisa kegelapan malam diatas langit di Padang Kanjoran.

Dan sang fajar juga sudah mulai hadir mengisi warna bumi perlahan menyapu sisa-sisa kegelapan malam diatas langit di Bandar Ujung Galuh, dan menyaksikan beberapa rakit tengah menyeberangi sungai Kalimas membawa kuda-kuda dan prajurit Singasari yang telah mendapat berita untuk secepatnya menuju Padang Kanjoran bergabung dengan pasukan kecil Raden  Wijaya yang sudah lebih dulu ada disana untuk bersama menghadang pasukan Kediri.

Disaat yang sama di hutan Jalan Simpang sang fajar juga telah hadir mengisi warna pagi menyaksikan para prajurit Kediri yang masih belum bergerak mempersiapkan dirinya karena masih diberi kesempatan untuk beristirahat sampai menjelang siang hari.

Perlahan memang sang fajar menyapu warna langit hingga akhirnya telah menjadi bersih cerah biru terang diantara gumpalan-gumpalan kapas awan putih menghiasi lengkung langit pagi diatas bumi padang Kanjoran.

Terlihat bersama hangatnya cahaya pagi beberapa orang prajurit Singasari ditugaskan keluar dari padang Kanjoran untuk memantau dan siap memberi tanda bahwa pihak musuh sudah semakin mendekati padang Kanjoran.

Sementara itu diwaktu yang sama lima ratus orang prajurit berkuda Singasari sudah jauh meninggalkan tepian Kalimas memacu kudanya melintasi jalan pintas yang tercepat untuk sampai di Padang Kanjoran.

Beberapa orang padukuhan yang akan berangkat  melihat sawah mereka terpaksa merapat hingga ke pagar rumah ketika dihadapan mereka melihat banyak prajurit berkuda berlari melewati mereka meninggalkan debu diatas jalan padukuhan yang belum begitu ramai itu. 

“Semoga perang mereka jauh dari padukuhan kita”, berkata seorang petani kepada anak lelaki kecilnya ketika lima ratus prajurit berkuda sudah jauh meninggalkan mereka.

“Aku belum pernah melihat perang, pasti sangat menyenangkan”, berkata anak lelaki kecilnya yang berjalan dibelakangnya.

“Jauhkan angan-angan itu dalam pikiranmu, peperangan bukan sebuah tontonan melihat Ki Pranjak di panggung”, berkata petani itu kepada anak lelaki kecilnya yang terus mengikuti langkahnya.

Sementara itu, lima ratus prajurit itu sudah jauh keluar dari padukuhan mereka terus memacu kudanya. Mereka memacu kudanya menembus udara pagi yang sudah terang tanah melewati bulakan panjang, jalan-jalan padukuhan atau terkadang harus membelah petak-petak sawah baru. Terlihat lumpur-lumpur basah terlempar dibelakang kaki kuda mereka.

“Hancur sudah sawahku”, berkata seorang petani kepada istrinya ketika di pagi itu bermaksud menyiangi rumputrumput liar di sekitar bibit padinya yang baru berumur sepekan, setengah petak sawahnya sudah rusak terinjak kaki-kaki kuda para prajurit Singasari.

“Masih untung bukan tubuh kita yang tertabrak kudakuda mereka”, berkata istrinya mencoba menghibur hati suaminya.

“Kamu benar Nyi, bila aku yang tertabrak kuda-kuda itu, hari ini kamu jadi janda”, berkata petani itu sambil memandang wajah istrinya yang bulat dengan lesung pipit di kedua pipinya yang membuat dirinya tidak pernah jemu untuk memandangnya.

“Hus…jangan bicara sembarangan, bersyukurlah hari ini kita masih diberi hidup”, berkata istrinya sambil melotot memandang wajah suaminya yang sudah mulai nakal.

Sementara itu langit pagi sudah menjadi semakin terang bersama sang mentari yang terus merayap naik menyinari bumi dan terus mendaki kaki lengkung langit ingin secepatnya berdiri diatas puncak singgasananya mengabarkan kepada segenap isi bumi bahwa dia lah penguasa segala cahaya kehidupan. “Kita mendaki bukit kecil itu”, berkata seorang prajurit Singasari sambil menunjuk sebuah bukit kecil dihadapan mereka.

Terlihat lima ratus prajurit berkuda di sebuah bulakan panjang seperti berlomba mendekati sebuah bukit kecil dibawah sinar matahari yang tegak lurus diatas kepala mereka. Angin yang berdesir menampar wajah mereka sepertinya telah mengurangi panas matahari di siang itu yang tanpa disadari telah menyengat kulit dan wajah mereka menjadi tampak kemerahan. Rupanya mereka adalah para prajurit yang sudah terbiasa ditimbuni dengan berbagai kekerasan, cahaya matahari yang menyengat kulit bukan lagi sebuah rintangan, dan mereka tidak berhenti meski matahari semakin terasa menyengat manakala mereka semakin  mendekati puncak bukit kecil itu.

Disaat yang sama di hutan Simpang terlihat pasukan Kediri tengah menyiapkan dirinya untuk melanjutkan perjalanan mereka.

“Dengan sangat terpaksa kita harus meninggalkan mereka”, berkata seorang Perwira prajurit kepada kawannya sambil memandang beberapa prajurit yang terluka parah masih berbaring di sebuah sisi hutan dibawah sebuah pohon yang cukup rindang melindunginya dari sengatan matahari di siang hari itu.

Akhirnya dengan sangat terpaksa rombongan pasukan Kediri itu harus meninggalkan beberapa kawannya yang terluka parah bersama sekitar lima orang prajurit yang akan terus menjaga dan melayani kebutuhan hidup mereka.

Dan iring-iringan pasukan Kediri itu sudah mulai terlihat bergerak menjauhi jalan Simpang dibawah tatapan lima orang prajurit yang harus tetap tinggal menjaga kawankawan mereka yang terluka.

Iring-iringan pasukan Kediri itu terus merayap semakin menjauhi jalan Simpang. Langkah dan gerak para prajurit Kediri nampaknya sudah tidak lagi segahar dan  segergap manakala ketika mereka keluar dari Kotaraja Kediri. Ternyata semangat mereka sudah semakin surut terutama setelah mengalami serangan hujan panah dan tumbangan pohon di disisi jalan Simpang.

Terlihat beberapa orang berdiri di depan pagar rumah mereka manakala iring-iringan pasukan Kediri melewati jalan sebuah Padukuhan. Selama ini warga Padukuhan memang pernah melihat iring-iringan prajurit melewati jalan Padukuhan mereka, tapi tidak sebanyak yang mereka lihat hari itu.

“Pasukan terbesar yang pernah kulihat”, berkata seorang petani kepada kawannya di atas petak sawahnya berhenti bekerja ketika melihat iring-iringan pasukan Kediri melewati jalan Padukuhan.

Iring-iringan pasukan Kediri itu terus berjalan meninggalkan rasa jerih dan desah penuh risau siapapun yang melihatnya, berharap iring-iringan itu tidak berhenti dan terus menjauh dari padukuhan mereka.

Sementara itu sang matahari sudah mulai turun rebah bergeser dari puncaknya ketika iring-iringan itu memasuki sebuah bulakan panjang, terlihat wajah para prajurit Kediri sebagian sudah begitu lelah berjalan berharap ada sebuah perintah untuk beristirahat setelah setengah hari harus berjalan tanpa berhenti.

“Berhenti !!”, terdengar seorang prajurit penghubung berteriak dari atas kudanya sambil membawa rontek terus berlari sampai ke ujung rombongan terakhir iringiringan pasukan Kediri itu.

Terlihat iring-iringan itu telah berhenti, beberapa prajurit Kediri sudah langsung mendekati pohon rindang untuk dapat berteduh dan sekedar meluruskan kaki mereka yang sudah penat berjalan. Maka dalam sekejap bulakan jalan panjang itu sudah dipenuhi para prajurit Kediri yang terpencar di beberapa tempat sekedar menikmati ransum makan siang mereka dan beristirahat secukupnya untuk bersiap kembali melanjutkan perjalanan mereka.

Sementara itu di waktu yang sama lima ratus prajurit Singasari tengah menuruni sebuah bukit kecil, mereka masih terus memacu kudanya tanpa ada sedikit pun tanda-tanda untuk singgah beristirahat. Terlihat mereka terus memacu kudanya diantara bayang-bayang sisi-sisi pohon cemara yang banyak tumbuh di bukit kecil itu cukup untuk menghalangi sengatan matahari yang sudah mulai condong ke Barat.

“Berhenti !!”, berkata salah seorang dari mereka yang ditunjuk sebagai pemandu jalan ketika lima ratus prajurit kuda itu berada di sebuah lembah jauh dari bukit kecil di sebuah tanah datar dimana ada sebuah telaga yang cukup jernih.

“Kasihan kuda-kuda itu”, berkata seorang prajurit Singasari kepada kawannya sambil memandang beberapa kuda mereka yang tengah merumput dan beberapa kuda lainnya tengah menikmati air telaga.

“Lumayan, pinggangku sudah seperti mau  lepas”, berkata kawan prajurit itu sambil meluruskan badannya diatas rumput hijau di bawah rindangnya sebuah cabang pohon beringin besar yang tidak jauh dari tempat mereka berbaring.

“Jangan sampai tertidur, kita hanya sebentar beristirahat”, berkata prajurit itu mengingatkan kawannya.

“Apa kamu lihat aku sudah tertidur?”, berkata kawannya itu sambil menarik kedua tangannya menjadi sandaran kepalanya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh prajurit itu kepada kawannya, ternyata mereka memang hanya beristirahat sebentar untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka minum dan merumput.

“Kita lanjutkan perjalanan”, berkata seorang prajurit pemandu sekaligus pimpinan mereka untuk melanjutkan perjalanan.

Maka dengan sigap lima ratus prajurit itu sudah langsung melompat masing-masing diatas punggung kudanya dan langsung menghentakkan kudanya yang sudah terlihat segar kembali setelah cukup beristirahat di telaga jernih dan teduh itu.

Dalam waktu sekejap saja lima ratus prajurit berkuda itu sudah berlalu menjauh dari telaga itu penuh semangat berlomba memacu kudanya seperti bukan hendak pergi berperang, tapi ke sebuah tempat tamasya dengan begitu banyak kegembiraan.

“Padang Kanjoran ada dibalik hutan galam itu”, berkata salah seorang prajurit pemimpin pasukan berkuda itu menunjuk sebuah hutan berair dangkal yang banyak ditumbuhi pohon galam.

Hutan galam adalah sebuah hutan yang berair dangkal. Hanya pohon galam yang dapat tumbuh di hutan berair dangkal itu, akarnya tidak membusuk meski sepanjang tahun tergenang air.

Maka tidak lama berselang mereka sudah tiba di tepi hutan galam. Tanpa keraguan apapun kuda-kuda mereka sudah terjun diatas air dangkal yang menggenangi hampir seluruh permukaan hutan galam. Pemimpin mereka nampaknya sangat mengenal hutan galam itu, tahu sisi dimana air tidak terlalu dalam. Dan kuda-kuda mereka untuk sementara hanya dapat berjalan karena air terlihat menutupi setinggi paha kuda mereka membuat langkah kuda menjadi sangat  berat dan lamban untuk berjalan diatas air. Sementara itu kerepatan tanaman galam memaksa mereka untuk jalan berliku mencari jalan yang sekiranya dapat ditembus.

Iring-iringan lima ratus prajurit berkuda Singasari masih tertahan di hutan Galam disaat langit diatas mereka yang sudah mulai menjelang petang. Matahari terlihat sudah tergelincir turun ke barat dengan cahaya kuningnya yang semakin teduh. Cukup lama mereka menyusuri hutan galam itu dimana kuda mereka tidak bisa berlari sebagaimana diatas tanah datar. Namun semakin mendekati ujung hutan galam nampaknya air yang menggenangi hutan itu sudah menjadi semakin dangkal membuat kuda-kuda mereka dapat  kembali mempercepat langkahnya.

“Tetaplah di hutan galam ini, aku akan mencari hubungan dimana keberadaan mereka”, berkata prajurit yang menjadi pemimpin lima ratus prajurit berkuda itu meminta pasukannya tetap berada di hutan galam ketika mereka sudah berada di perbatasan Padang Konjaran.

Terlihat pemimpin prajurit itu berjalan bersama seorang prajurit yang ternyata adalah seorang pembawa berita dari pasukan kecil Raden Wijaya.

“Mudah-mudahan mereka masih disana”, berkata prajurit pembawa berita itu ketika mulai memasuki semak ilalang di Padang Kanjoran. Sementara itu langit sudah mulai semakin teduh berwarna senja yang bening memayungi Padang Kanjoran ketika dua orang prajurit berkuda itu mencoba mencari hubungan dengan pasukan kecil Raden Wijaya.

Ternyata daya ingat prajurit pembawa berita itu sangat luar biasa, di tengah padang ilalang yang menutupi hampir seluruh tubuhnya itu masih dapat mencari arah jalan.

“Mereka masih ada di tempatnya”, berkata kembali prajurit pembawa berita itu ketika didengarnya suara anjing melolong berasal dari sebuah tempat.

Dengan wajah penuh gembira, prajurit pembawa berita itu pun menirukan suara lolongan seekor anjing liar dan terus membawa kudanya diikuti prajurit pimpinan pasukan berkuda dari Bandar Ujung Galuh.

“Kamu tiba tepat waktu”, berkata Raden Wijaya kepada prajurit pembawa berita itu.

“Lima ratus prajurit saat ini masih menunggu di hutan galam, siap menunggu perintah dari tuan Senapati”, berkata pemimpin prajurit itu kepada Raden Wijaya menyerahkan dirinya dan lima ratus pasukannya bergabung dibawah pimpinan Senapati mereka.

Sementara itu diwaktu yang sama iring-iringan pasukan Kediri sudah berada di pinggir hutan Kanjoran. Terlihat dua orang penunggang kuda yang bertugas sebagai prajurit pemantau datang mendekati mereka setelah lebih dulu masuk ke hutan Kanjoran, sebuah hutan yang menjadi pembatas arah menuju padang Kanjoran.

“Dibalik Hutan Konjaran ini adalah padang Konjaran yang sangat luas dengan semak ilalang setinggi tubuh”, berkata salah seorang prajurit pemantau kepada Senapati Jaran Pekik.

“Musuh dengan mudah bersembunyi dibalik malam dan padang ilalang”, berkata prajurit pemantau lainnya kepada Senapati Jaran Pekik.

“Hari ini kita bermalam di bibir hutan ini, baru menjelang pagi kita lanjutkan perjalanan”, berkata Senapati Jaran Pekik membuat sebuah keputusan.

Demikianlah Senapati Jaran Pekik memutuskan untuk bermalam di bibir hutan Konjaran ditempat yang terbuka agar pasukannya dapat segera melihat dari segala penjuru bilamana musuh tiba-tiba saja datang menyergap mereka.

Maka di ujung senja di bibir Hutan Konjaran pasukan Kediri itu telah membangun gubuk-gubuk darurat dari kayu, ranting dan daun kering yang banyak mereka temui di sekitar hutan itu sekedar menghindari angin dingin malam.

Akhirnya sang malam perlahan datang menyelimuti lengkung langit diatas bibir hutan Konjaran. Terlihat beberapa prajurit berkelompok di beberapa tempat menyalakan api unggun mengisi malam yang dingin sambil berbincang hal-hal yang menyenangkan,  mencoba melupakan sisa perjalanan mereka esok hari.

“Mereka bermalam dibibir hutan Konjaran”, berkata seorang prajurit pemantau kepada Raden Wijaya.

“Artinya ada kesempatan yang cukup untuk para prajurit kita yang baru datang dari Bandar Ujung Galuh untuk beristirahat”, berkata Raden Wijaya kepada prajurit pemantau itu sekaligus memerintahkan semua pasukannya untuk beristirahat di malam itu.

Tidak seperti pasukan Kediri di bibir hutan Konjaran, pasukan Raden Wijaya tidak ada satupun yang berani membuat api unggun, juga membuat gubuk-gubuk darurat untuk melindungi mereka dari dinginnya embun malam. Mereka hanya berbaring beralaskan tanah kering dibawah lengkung langit malam. Tapi ternyata kerimbunan semak ilalang adalah tempat yang paling hangat dimalam hari. Mungkin itulah sebabnya banyak burung yang bermalam disekitar semak ilalang yang hangat.

“Burung kecil itu merasa kakiku sebagai induk semangnya”, berkata seorang prajurit Singasari dalam hati sambil tersenyum yang melihat seeokor burung kecil menyusup rapat diujung kakinya.

Demikianlah, dua pasukan di tempat yang berbeda tengah melepaskan rasa penatnya, berbaring memejamkan matanya mencoba melupakan rasa tegang dan kecemasan yang kadang selalu datang melintas dalam diri mereka, beberapa bayangan peperangan yang pernah mereka hadapi, juga bayangan peperangan yang akan mereka hadapi. Tapi semua itu langsung menghilang bersama rasa kantuk yang sangat merebut dan menyembunyikan semua pikiran mereka dibalik alam tidur, alam batas antara sadar dan terbangun diawal pagi, alam yang penuh misteri tak terjawab dengan akal indera. Dan yang pasti malam itu mereka sudah tertidur begitu nyenyaknya, bahkan ada yang tidur dipenuhi dengan banyak mimpi. Meski ada juga yang tertidur tanpa sebuah mimpi pun. Celakanya ada beberapa  orang yang tidak bisa tidur semalaman.

Dan akhirnya sang pagi telah datang membangunkan tidur mereka.

Terlihat kesibukan diawal pagi di bibir Hutan Konjaran dari beberapa prajurit Kediri yang bertugas di dapur umum menyiapkan makanan untuk para prajurit.

Bau harum daging kijang ternyata benar-benar sangat menggoda di pagi itu. Ternyata beberapa prajurit yang semalaman tidak bisa tidur diam-diam menyelinap ke tengah Hutan Kanjoran. Hasilnya dua ekor kijang untuk tambahan sarapan pagi mereka.

Senapati Jaran Pekik merasa ikut gembira melihat semangat prajuritnya yang terlihat telah kembali seperti sediakala sebagaimana semangat mereka ketika akan berangkat dari Kotaraja Kediri. Namun Senapati Jaran Pekik masih terus mengingatkan para prajuritnya untuk tetap waspada.

“Mungkin saja musuh saat ini tengah mengintai kita, jangan sampai kejadian di Hutan Simpang terulang lagi”, berkata Senapati Jaran Pekik kepada para perwiranya.

Demikianlah, Senapati Jaran Pekik telah menugaskan beberapa prajuritnya untuk berganti berjaga di sekeliling mereka, juga telah menugaskan beberapa prajurit pemantau didepan jalan yang akan dilewati oleh pasukannya.

Namun ternyata semua kewaspadaan Senapati Jaran Pekik itu seperti sudah dapat dibaca oleh Raden Wijaya. Itulah sebabnya di pagi itu di Padang Konjaran sepertinya tidak ada kegiatan apapun. Semua prajurit Singasari sudah diperintahkan sejak malam harinya  untuk berada di persembunyiannya masing-masing.

Maka ketika dua orang prajurit pemantau Kediri datang mengawasi keadaan di Padang Konjaran, mereka tidak menemukan hal-hal yang mencurigakan.

“Aku melihat sekelompok burung prenjak datang dan pergi di padang ilalang itu, sepertinya mereka tidak menemui apapun yang mengusik kehidupannya”, berkata seorang prajurit pemantau Kediri yang punya cara ketelitian yang tinggi mengamati setiap keadaan kepada kawannya.

Ternyata prajurit itu tidak pernah terpikirkan bahwa para prajurit Singasari adalah orang-orang pilihan yang terlatih dalam segala medan penyamaran. Mereka sudah dilatih ketika dalam pendadaran sebagai prajurit sandi yang ulung, sebagai petarung yang hebat secara perorangan dan juga telah dilatih untuk dapat bersatu dengan alam hingga seperti senyap tak terlihat. Seperti itulah mereka bersembunyi disekitar padang Kanjoran, diam tak bergerak bersatu dengan alam padang ilalang. Maka tidaklah heran bila beberapa burung prenjak tidak terusik dengan kehadiran mereka seperti yang dilihat dan diamati seorang prajurit pemantau dari Kediri yang terus mengawasi keadaan di Padang Kanjoran.

Sementara itu pagi sudah mulai terang tanah, matahari sudah mulai naik menghangatkan seisi bumi dan menerangi langit pagi yang cerah berawan putih bersama semilir angin yang sedikit menggoyangkan ujung-ujung daun dan ranting kecil di pucuk pohon kayu yang tumbuh rindang bertebar penuh memagari hutan Kanjoran.

“Siapkan semua prajurit, kita segera berangkat”, berkata Senapati Jaran Pekik kepada seorang perwiranya.

Maka saat itu juga perwira kepercayaan Senapati Jaran Pekik itu sudah memanggil seorang prajurit penghubung untuk memberitahukan seluruh prajurit untuk siap melanjutkan perjalanannya.

Demikianlah, pada saat itu terlihat iring-iringan pasukan Kediri sudah tengah memasuki Hutan Kanjoran. Mereka seperti kumpulan semut hitam yang masuk ke mulut goa hitam menghilang didalam kerepatan hutan Kanjoran. Semakin masuk kedalam jalan dihadapan mereka semakin rapat terhalang semak belukar.

Cukup lama pasukan segelar sepapan ini menyusuri hutan Kanjoran. Akhirnya mereka telah melihat cahaya sinar matahari semakin terang dihadapan mereka. Cahaya yang mulai merayap naik dipagi itu adalah cahaya sinar mentari yang menerangi Padang Konjaran di muka hutan Konjaran.

Benar, mereka sudah mulai keluar dari hutan Kanjoran dan telah berada di tepi Padang Konjaran yang dipenuhi oleh semak ilalang setinggi tubuh manusia.

“Kami sudah mengamati keadaan padang Konjaran sejak pagi, kami tidak menemukan apapun yang mencurigakan”, berkata seorang prajurit pemantau kepada Senapati Jaran Pekik.

“Teruskan perjalanan kita”, berkata Senapati Jaran Pekik kepada perwiranya.

Maka terlihat iring-iringan pasukan itu terus berjalan menembus padang ilalang Kanjoran. Arah perjalanan mereka nampaknya lurus menuju ke hutan Galam. Semakin masuk kedalam padang ilalang Kanjoran, iringiringan pasukan itu semakin tenggelam terhalang padang ilalang yang tinggi. Hanya sebagian kepala mereka saja yang dapat terlihat dari kejauhan. Sementara pasukan berkuda mereka masih dapat terlihat sebagian tubuhnya di punggung kuda-kuda mereka.

Akhirnya terlihat seluruh pasukan itu sudah tenggelam di tengah padang ilalang Konjaran.

Hati Senapati Jaran Pekik dan hampir seluruh pasukannya itu memang cukup jerih dan berdebar membayangkan tiba-tiba saja pasukan  musuh menyergap mereka dari tempat tersembunyi.

Terlihat mata dan pendengaran mereka selalu mewaspadai dan terus bersiaga dengan segala apa yang mereka lihat dan dengar di sepanjang perjalanan mereka di padang ilalang Konjaran.

Meski hati mereka terus mewaspadai dan terus siaga dengan apa yang mereka lihat dan dengar sepanjang perjalalannya di padang ilalang Konjaran itu, tetap saja menjadi begitu terkejut seketika manakala pendengaran mereka telah mendengar suara dengung panah sanderan melintas diantara mereka.

Belum sempat mereka untuk berbuat apapun, tiba-tiba saja beberapa kawan didekat mereka langsung rebah terkena sebuah anak panah yang telah menancap di tubuh mereka.

“Pembidik gelap!”, berteriak Senapati Jaran Pekik memberi peringatan kepada prajuritnya ketika dilihatnya beberapa orang prajuritnya sudah termakan anak panah gelap yang tidak diketahui darimana datangnya melesat dari balik kelebatan ilalang.

Belum habis suara Senapati Jaran Pekik, kembali beberapa prajuritnya sudah termakan anak panah gelap.

Maka sebagian prajurit Kediri yang masih selamat secara naluri sudah langsung tiarap menyelamatkan dirinya masing-masing.

Ternyata keadaan inilah yang ditunggu oleh Raden Wijaya dan pasukannya.

Terdengar suara dengung anak panah sanderan membelah udara padang ilalang Konjaran.

Ternyata itulah tanda untuk lima ratus prajurit berkuda Singasari keluar dari persembunyiannya di hutan Galam langsung menuju lambung pasukan Kediri yang tengah bertiarap.

Sungguh pemandangan yang sangat menggetarkan hati, lima ratus prajurit berkuda Singasari seperti air bah menghantam pasukan Kediri yang belum sempat bangkit terhantam terjangan pasukan berkuda Singasari, sementara mereka yang dengan cepat bangkit berdiri sudah langsung merasakan tebasan pedang dari pasukan berkuda Singasari.

Terjangan dan serangan itu datang begitu tiba-tiba, setengah dari pasukan Kediri itu sudah langsung susut berkurang. Lima ratus pasukan berkuda Singasari dengan begitu mudah leluasa membantai pasukan Kediri yang tidak siap dan tidak menduga akan mendapatkan serangan yang datang tiba-tiba itu layaknya air bandang menerjang dan menggulung apapun dihadapannya luruh lantak hancur terburai.

“Hadang mereka!!”, berteriak Senapati Jaran Pekik memerintahkan pasukan berkudanya menghadang pasukan berkuda Singasari.

Terlihat pasukan berkuda Kediri yang berada didepan pasukannya telah berbalik arah kebelakang mencoba membantu kawan-kawan mereka yang tersisa dan masih selamat mempertahankan dirinya dari serangan prajurit berkuda Singasari.

Kembali sebuah kejutan baru tiba-tiba saja datang, entah dari mana tiba-tiba saja muncul sekitar seratus prajurit berkuda dari kiri kanan menusuk pasukan berkuda Kediri yang tengah berlari membantu kawan-kawan mereka dari pembantaian lima ratus pasukan berkuda Singasari.

Ternyata sekitar seratus orang berkuda itu adalah para pembidik panah gelap yang bersembunyi yang telah mengikat dua pasang kaki kuda mereka agar tetap berbaring tidak terlihat terhalang lebat dan tingginya padang ilalang Konjaran. Dengan cepatnya mereka membuka ikatan kaki kuda mereka yang langsung segera berdiri dan dengan sekali hentakan kuda-kuda itu sudah berlari menerjang tiga ratus prajurit berkuda Kediri tepat ditengah mereka.

Para prajurit berkuda Kediri tidak menyangka mendapat serangan mendadak dari arah samping kiri kanan mereka. Akibatnya beberapa orang prajurit berkuda Kediri itu sudah langsung terjungkal dan terlempar dari kudanya dengan tubuh terluka parah terkena tebasan pedang tajam para pasukan berkuda Singasari yang sudah langsung dapat menguasai medan pertempuran.

Dalam waktu singkat, jumlah pasukan Kediri itu sudah kembali susut tajam berkurang menghadapi para prajurit Singasari yang memang sangat berani dan mempunyai banyak pengalaman bertempur di segala medan.

“Kadal licik!”, berteriak memekik geram Senapati Jaran Pekik yang melihat semua serangan-serangan yang datang mendadak silih berganti menyurutkan jumlah pasukannya dan sudah berniat menghentakkan kudanya membantu prajuritnya.

Namun Senapati Jaran Pekik tidak jadi menghentakkan perut kudanya ketika seorang penunggang kuda mendatanginya. Terlihat penunggang kuda itu tersenyum memandangnya.

“Sebentar lagi pasukanmu akan tergulung”, berkata penunggang kuda itu setelah dekat dengan Senapati Jaran Pekik.

“Ternyata tidak susah bertemu dengan seorang Senapati pecundang dari Tumapel”, berkata Senapati Jaran Pekik yang telah mengenal penunggang kuda dihadapannya itu sebagai Senapati Raden Wijaya dimana dirinya dulu pernah bertugas di istana Singasari sebagai prajurit kaki tangan dari kelompok Raja Jayakatwang.

“Ternyata aku juga tidak perlu mendatangi Kotaraja Kediri hanya untuk mencari seorang penghianat”, balas menjawab Raden Wijaya yang juga telah mengenal Senapati Jaran Pekik sebagai salah seorang prajurit yang bertugas sangat lama di istana Singasari.

“Aku hanya tidak menyangka, seorang bangsawan telah melakukan sebuah kelicikan dalam peperangannya. Membantai pasukanku di hutan Simpang, juga dengan licik menyergap pasukanku di padang ilalang Konjaran ini”, berkata Senapati Jaran Pekik sambil memicingkan matanya memandang Raden Wijaya dengan perasaan penuh kebencian.

“Kalianlah yang mengajarkan kepadaku untuk melakukan hal yang sama, berbuat yang sama sebagaimana kalian memperdayakan kami di padang Kalimayit, memindahkan secara diam-diam pasukan besar kalian untuk melumpuhkan Kotaraja Singasari yang kosong tanpa prajurit”, berkata Raden Wijaya sambil tersenyum pahit.

“Hari ini aku ingin memberi pengajaran kepadamu, sudah lama aku menyangsikan pangkat dan kehormatanmu sebagai seorang Senapati”, berkata Senapati jaran Pekik yang sudah turun dari kudanya menantang Raden Wijaya.

Terlihat Raden Wijaya langsung ikut turun dari kudanya.

“Mungkin aku mudah mengampuni seorang musuh, tapi tidak untuk seorang penghianat”, berkata Raden Wijaya yang sudah berhadapan dengan Senapati jaran Goyang.

“Aku akan membawa kepalamu ke Kotaraja Kediri sebagai oleh-oleh perjalanan ini”, berkata Senapati Jaran Pekik sambil mencabut pedangnya dari sarungnya.

“Kamu tidak akan sempat kembali ke Kotaraja Kediri”, berkata Raden Wijaya yang ikut mencabut pedangnya sekedar menunjukkan dirinya siap melayaninya.

“Awas batang lehermu”, berkata Senapati Jaran Pekik yang sudah langsung menyerang Raden Wijaya dengan mengayunkan pedangnya kearah batang leher Raden Wijaya.

Trang…… !!!!

Dua pedang beradu ketika Raden Wijaya dengan sedikit merunduk dan mengayunkan pedangnya searah laju ayunan pedang Senapati Jaran pekik.

Bukan main kagetnya Senapati Jaran Pekik merasakan sedikit tangannya kesemutan ketika pedang Raden Wijaya menyentuh pedangnya.

Terlihat Raden Wijaya sedikit tersenyum, tidak langsung balas menyerang hanya menanti serangan berikutnya dari Senapati Jaran pekik.

Dari gebrakan pertama itu Raden Wijaya sudah dapat mengukur tingkat kemampuan lawannya itu.

Dengan hati gusar kembali Senapati Jaran Pekik melakukan serangannya kembali kali ini dengan menusuk pedangnya kearah dada Raden Wijaya.

Kali ini Raden Wijaya tidak menangkis serangan Senapati Jaran Pekik, hanya sedikit memiringkan badannya dan balas menyerang Senapati Jaran Pekik dengan mengayunkan pedangnya tegak lurus kearah pundak Senapati Jaran Pekik dengan kecepatan dan kekuatan yang tidak sepenuhnya sekedar menampakkan bahwa dirinya adalah lawan tanding yang sejajar.

Tapi tetap saja Senapati Jaran Pekik merasakan serangan itu cukup berbahaya dengan langsung mundur selangkah dan kembali melakukan serangannya.

Demikianlah, Raden Wijaya masih terus melayani permainan pedang Senapati Jaran Pekik yang masih belum menyadari bahwa sebenarnya Raden Wijaya dapat dengan mudah dapat menundukkannya. Bahkan dalam hati Senapati Jaran Pekik sudah ada anggapan bahwa dirinya ternyata sejajar dengan tingkat kemampuan Raden Wijaya dimana dalam beberapa serangan Raden Wijaya berpura-pura sangat sibuk dan kewalahan. Semakin yakinlah Senapati jaran Pekik akan dapat mengalahkan Raden Wijaya.

Ketika melayani permainan ilmu pedang Senapati Jaran Pekik, mata Raden Wijaya kadang tidak lepas memperhatikan jalannya pertempuran para prajuritnya yang dilihatnya sudah menguasai medan pertempuran dimana semakin lama pasukan Kediri menjadi semakin surut berkurang.

Sebagaimana yang dilihat oleh Raden Wijaya, pasukannya memang sudah hampir menguasai medan pertempuran dimana pasukan Kediri telah semakin surut, terutama ketika berhadapan dengan seorang yang bersenjata cambuk yang tidak lain adalah Senapati pemimpin tertinggi prajurit di Balidwipa yaitu Mahesa Amping yang mempunyai tataran tingkat ilmu yang sudah begitu sangat tinggi dan sempurna. Terlihat setiap kali Senapati Mahesa Amping melepaskan cambuknya, pasti akan jatuh korban seorang prajurit yang terlempar jatuh terbaring tidak mampu bangkit lagi merasakan tulang pahanya remuk atau tulang iganya patah-patah. Ternyata Senapati Mahesa Amping berusaha hanya untuk melumpuhkan mereka dan tidak bermaksud mengambil nyawanya.

Disisi lain di medan pertempuran itu, terlihat seorang berjubah hitam berkali-kali melumpuhkan para prajurit Kediri hanya dengan sebuah tendangan dan pukulannya yang terlihat tidak begitu keras tapi lawannya sudah langsung pingsan tidak bergerak lagi. Siapa lagi orang berjubah hitam yang memang seorang yang sudah sangat mumpuni tingkat kesaktiannya kalau bukan Ki Sandikala. Melihat beberapa kawannya dengan begitu mudah dijatuhkan terjengkang langsung pingsan membuat para prajurit Kediri tidak berani mendekati Ki Sandikala. Namun tetap saja ada seorang prajurit Kediri yang tersasar berada di dekatnya yang dengan mudahnya dapat dilumpuhkannya. Sebagaimana Senapati Mahesa Amping, Ki Sandikala juga dapat mengendalikan dirinya hanya membuat lawannya pingsan atau sekedar melumpuhkannya tidak mampu bangkit berdiri kembali.

“Menyerahlah!”, berkata Ki Bancak kepada seorang prajurit Kediri yang senjatanya sudah terlepas dari genggemannya ketika beradu keras dengan pedang Ki bancak.

“Aku menyerah”, berkata prajurit Kediri itu  melihat dengan cepatnya pedang Ki bancak sudah menempel di kulit lehernya.

Demikianlah, jalannya pertempuran kedua pasukan itu sudah dapat diperhitungkan. Jumlah prajurit Kediri sudah semakin menyusut dan mereka sudah terpecah terkepung oleh beberapa prajurit Singasari yang mampu menyesuaikan diri berbagi kekuatan terus menekan satu persatu prajurit Kediri yang sudah terkepung.

“Aku sudah tidak punya lawan”, berkata Ki Sandikala kepada Mahesa Amping yang datang menghampirinya.

“Biarlah prajurit Singasari menyelesaikan tugasnya”, berkata Mahesa Amping sambil memandang dua tiga orang prajurit Kediri yang masih terus melawan menghadapi kepungan banyak prajurit Singasari.

“Mengapa kamu tidak mau menyerah?”, berkata Ki Sukasrana membentak seorang prajurit Kediri sambil menempelkan ujung pedangnya dikulit leher orang itu.

“Aku memilih mati daripada menyerah menjadi budak kalian seumur hidupku”, berkata prajurit kediri itu dengan mata memandang tajam seperti tidak merasa takut akan ancaman pedang Ki Sukasrana yang menempel di kulit lehernya.

Plang…!!

Ternyata Ki Sukasrana sudah tidak sabaran lagi langsung melecut telinga prajurit Kediri itu hanya dengan bidang datar pedang tipisnya, dan dengan hanya setengah kekuatan tenaganya, tentunya.

Tapi prajurit Kediri itu seperti merasakan suara yang menggema dan rasa sakit yang sangat dekat dengan gendang telinganya, seketika itu juga prajurit itu sudah langsung jatuh pingsan.

Terlihat Ki Sukasrana memanggil seorang prajurit Singasari untuk mengikat prajurit Kediri yang keras kepala itu.

Kembali kepertempuran antara Raden Wijaya dan Senapati Jaran Pekik yang masih terus berlangsung dimana Raden Wijaya masih memberi angin kepada Senapati Jaran Pekik merasa tingkat kemampuan tataran ilmunya masih sejajar bahkan dapat mengalahkan Raden Wijaya.

“Ternyata dugaanku benar, tingkat kemampuan anak bangsawan ini tidak lebih tinggi dariku”, berkata Senapati Jaran Pekik sambil terus melancarkan serangannya lebih gencar lagi.

Namun dirinya berdegap kaget manakala beberapa orang terlihat mengelilinginya yang ternyata semuanya adalah prajurit Singasari. Sadarlah dirinya bahwa pasukannya sudah jatuh terkalahkan.

“Aku akan membunuhmu”, berkata Senapati Jaran Pekik kepada Raden Wijaya sambil menerjang memutar pedangnya dengan sangat cepat sekali.

“Jangan lari”, berkata Senapati Jaran Pekik yang melihat Raden Wijaya tiba-tiba saja melenting menjauh dan berdiri sambil bertolak pinggang.

“Pasang telingamu baik-baik wahai Jaran Pekik”, berkata Raden Wijaya langsung memanggil nama Jaran Pekik tanpa sebutan senapati kepadanya. ”Kamu belum pantas menyandang gelar Senapati, dibawah bendera Singasari kamu hanya layak setingkat prajurit Lurah”, berkata kembali Raden Wijaya sambil melempar pedangnya.

“Aku tahu sebentar lagi kamu akan memberi isyarat agar seluruh prajuritmu datang membantumu”, berkata Senapati Jaran Pekik dengan maksud memalukan Raden Wijaya di hadapan semua prajuritnya. Dengan begitu masih ada kesempatan dirinya mengalahkan Raden Wijaya yang masih dianggapnya mempunyai tataran tingkat ilmu yang sejajar dengan dirinya.

“Kamu salah Jaran Pekik, aku tidak akan meminta siapapun membantuku. Dan perlu kamu ketahui bahwa prajurit Singasari adalah para ksatria sejati yang tidak akan turun di arena pertempuran antara dua Senapati”, berkata Raden Wijaya dengan suara yang lantang.

“Kalau begitu jangan sesali pedang yang sudah kamu lepaskan”, berkata Senapati Jaran Pekik memekik dengan keras sambil menerjang berlari kearah Raden Wijaya mengangkat pedangnya tegak lurus diatas kepala siap membelah kepala Raden Wijaya.

Terlihat Raden Wijaya masih bertolak pinggang manakala Senapati Jaran Pekik sudah semakin mendekatinya.

Raden Wijaya masih tetap diam manakala Senapati jaran Pekik tengah mengayunkan pedangnya bermaksud membelah kepalanya.

Bukan main kagetnya Senapati Jaran Pekik ketika pedangnya hanya berjarak satu jari dari kepala Raden Wijaya. Tiba-tiba saja dengan kecepatan yang tidak dapat terlihat oleh pandangan mata Senapati Jaran Pekik bahwa kedua tangan Raden Wijaya sudah menjepit pedang Senapati Jaran pekik menahan luncurannya.

Bukan main kuatnya jepitan itu seperti melekat diantara kedua telapak tangan Raden Wijaya manakala dengan sekuat tenaga Senapati Jaran Pekik bermaksud menariknya.

Mata Senapati Jaran Pekik seperti mendelik keluar tidak menyangka bahwa Raden Wijaya mempunyai kekuatan yang begitu hebat, merasakan jepitan tangan Raden Wijaya seperti sebuah dua bilah batu cadas hitam, begitu kuat menahan kekuatan tarikannya yang tidak bergeming sedikitpun.

Puncak keterkejutan Senapati Jaran Pekik adalah manakala hanya dengan sedikit sentakan dari kedua tangan Raden Wijaya, pedang digenggamannya sudah berpindah tangan.

Dan Senapati Jaran Pekik seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, entah dari mana dan dengan kecepatan yang tidak mampu dibacanya, tiba-tiba saja kedua pipinya merasakan tamparan yang begitu kerasnya nyaris merontokkan hampir seluruh gigi gerahamnya.

Terlihat darah segar mengalir dari celah bibirnya yang ikut pecah terkena tamparan keras dari Raden Wijaya.

“Hukuman yang terbaik dari manusia yang menjual darah saudaranya sendiri adalah menjadi budak hina seumur hidupmu”, berkata Raden Wijaya kepada Senapati Jaran Pekik yang baru sadar bahwa selama ini Raden Wijaya hanya memberi angin kepadanya berpura-pura setingkat kemampuan dengannya yang ternyata Raden Wijaya mempunyai kemampuan yang jauh melampaui orang biasa, bahkan lebih tinggi lagi.

“Ikat orang ini”, berkata Raden Wijaya memanggil dua orang prajuritnya.

Demikianlah, pertempuran dua pasukan itu memang telah berakhir, terlihat beberapa prajurit Singasari tengah mengumpulkan para tawanan menjadi satu dalam keadaan tangan terikat dan penjagaan yang ketat. Sementara itu prajurit yang lainnya tengah memberikan perawatan beberapa orang yang terluka, kawan mereka sendiri dan beberapa prajurit Kediri yang terluka. Akhir dari sebuah peperangan memang sangat menggelikan, mereka yang membuat orang terluka, akhirnya mereka juga yang dengan suka rela penuh perhatian memberikan pertolongan merawat orang terluka itu, musuhnya sendiri.

Terlihat Ki Sandikala dan Mahesa Amping berada diantara beberapa prajurit Singasari yang tengah merawat orang yang terluka. Pengalaman dan pengetahuan mereka tentang pengobatan memang sangat dibutuhkan. Dan mereka mengobati semua orang saat itu tanpa membedakan mana prajurit Singasari dan mana prajurit Kediri. Mereka diperlakukan dengan sama sebagai manusia sesama yang tengah membutuhkan pertolongan.

Sementara itu matahari diatas Padang Konjaran sudah merayap menuruni kaki lengkung langit senjanya. Angin semilir berhembus lembut menyapu ujung-ujung ilalang.

“Besok pagi kita harus menyempurnakan mereka yang telah menjadi korban di Padang Konjaran ini”, berkata Raden Wijaya kepada Gajah Pagon dan Ki Sukasrana yang berada didekatnya sambil memandang beberapa prajurit Singasari yang tengah mengumpulkan semua korban yang tewas dalam peperangan hari itu.

“Sisi lain dari manisnya kemenangan peperangan adalah rasa pahit kegetiran dalam duka melihat beberapa orang yang pernah bersama kita menjadi korban peperangan itu sendiri”, berkata Ki Sukasrana yang melihat beberapa prajurit Singasari yang tewas menjadi  korban peperangan hari itu.

“Kita telah membeli harapan kita dengan harga yang cukup mahal, nyawa dan darah. Hari ini kalian berdua menjadi saksi ikrar hatiku untuk tidak menyia-nyiakan pengorbanan mereka. Aku berjanji akan menyebarkan kemakmuran dan kedamaian diatas tanah dimana darah mereka tumpahkan. Ingatkan aku ketika aku lupa  menjadi Raja Angkara, ingatkan aku ketika masih ada kawula yang masih harus menahan lapar disaat istana pura berpesta pora, ingatkan aku ketika titah dan fatwaku timpang dan condong tidak membela kesucian dan kebenaran”, berkata Raden Wijaya dengan kesungguhan hati kepada Gajah Pagon dan Ki Sukasrana.

Terlihat Gajah Pagon dan Ki Sukasrana dengan penuh hormat merangkapkan kedua tangannya.

“Hari ini dan selamanya kami adalah sahabat tuanku yang akan terus menemani dalam suka dan duka. Hamba akan terus menjaga dan mengingatkan tuanku dengan suara yang mungkin pahit didengar, atau hamba mungkin dengan sangat terpaksa meluruskan dan mengingatkan tuanku dengan pedangku sendiri”, berkata Ki Sukasrana mewakili Gajah Pagon kepada Raden Wijaya.

“Semoga pedangmu tepat diujung jantungku, seperti itulah seorang menjaga sahabatnya”, berkata Raden Wijaya sambil menepuk pundak Ki Sukasrana dan Gajah Pagon merasa terharu mempunyai sahabat setia seperti mereka berdua.

Dan saat itu langit senja perlahan menyingkir menepi tergusur keremangan warna malam. Puluhan burung Prenjak turun menyelusup hilang kedalam kerepatan rumpun ilalang untuk menghabiskan seluruh malamnya dalam kehangatan padang ilalang Konjaran, hingga pagi datang menjelang.

Langit pagi diatas Padang Konjaran berawan kelabu seperti ikut berkabung ketika upacara penyempurnaan semua korban yang tewas dalam peperangan antara pasukan Kediri dan pasukan Singasari baru saja usai dilaksanakan. Terlihat beberapa orang berjalan menunduk penuh duka berpisah untuk selama-lamanya dengan kawan dan saudaranya yang hari itu telah kembali ke kampung halaman abadi, alam dimana  semua yang hidup akan kembali kesana.

“Kemana kira-kira kita akan membawa tawanan dan orang yang terluka itu”, berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya ketika mereka telah selesai melaksanakan upacara pemakaman.

“Aku meminta persetujuan dan pendapat kalian, telah kuputuskan untuk saat ini membawa tawanan dan orangorang yang terluka itu ke Bandar pelabuhan Ujung Galuh”, berkata Raden Wijaya meminta pertimbangan Mahesa Amping dan Ki Sandikala atas keputusannya itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar