Tapak-tapak Jejak Gajahmada Jilid 01

PULAU itu memang sangat jauh dari daratan yang terdekat, namun siapapun yang mengenal jalur  pelayaran rahasia menuju pulau tempat kebun pala hidup di daratan Tanah Gurun, pasti akan singgah di pulau Tanah Wangi-wangi. Begitulah para pelaut menyebutnya. Sebuah pulau yang berbukit subur hijau dan berpantai landai, di pulau inilah para pelaut datang singgah untuk memenuhi perahu jungnya dengan bekal perjalanan mereka, terutama bekal air tawar yang memang begitu sangat dibutuhkan dalam perjalanan pelayaran yang jauh.

Tuan Raja Jawa, begitulah semua warga penghuni pulau Tanah Wangi-wangi menyebut nama seorang tua yang sangat mereka hormati yang baru datang bersama keluarganya sekitar empat pekan yang lalu dan menetap di Pulau Tanah Wang-wangi.  Siapakah Tuan Raja Jawa yang sangat dihormati oleh penghuni pulau Tanah Wangi-wangi itu?

Tuan Raja Jawa itu tidak lain adalah Ratu Anggabhaya yang datang mengungsi dari Jawadwipa bersama  seluruh keluarga istana Singasari. Mereka mengungsi ketempat yang begitu jauh hanya untuk memberikan kesempatan putra harapan mereka yaitu Raden Sanggrama Wijaya dapat berjuang merebut kembali tanah hak mereka dari seorang pengkhianat perebut tahta singgasana, seorang saudara dan keluarga sendiri, Raja Jayakatwang yang saat itu telah mengukuhkan dirinya sebagai Maharaja Jawadwipa Raya berkedudukan di Kediri.

Mereka para pengungsi keluarga istana Singasari itu datang ke Pulau Tanah Wangi-wangi diantar oleh seorang Senapati muda bernama Mahesa Amping, seorang Senapati muda yang berilmu tinggi yang sangat dekat dan sangat dipercaya oleh Raden Sanggrama Wijaya. Senapati Mahesa Amping juga telah membawa keluarga dan beberapa kerabatnya dari Balidwipa untuk tinggal dan menetap di pulau Tanah Wangi-wangi.

Tuan Raja Jawa atau Ratu Anggabhaya diterima oleh para penghuni Pulau Tanah Wangi-wangi karena datang bersama seorang yang sangat begitu mereka hormati, yaitu Senapati Mahesa Amping yang pernah datang di Pulau Tanah Wangi-wangi bersama Kebo Arema sang Karaeng, putra mahkota pulau Tanah Wangi-wangi. Mahesa Amping dan Kebo Arema adalah pahlawan mereka yang telah membebaskan Pulau Tanah Wangiwangi dari penguasa kejam, para perompak laut yang berkuasa dan menjajah penghuni pulau Tanah Wangiwangi dalam kurun waktu yang cukup lama, menciptakan banyak derita dan kemalangan. Demikianlah, sejak saat itu ada dua keluarga baru yang tinggal di pulau Tanah Wangi-wangi, keluarga istana Singasari dari Jawadwipa dan keluarga Mahesa Amping dari Balidwipa.

Sebagaimana dalam kisah sebelumnya, dimana Senapati Mahesa Amping mengawal rombongan keluarga istana Singasari menuju tanah pengungsian hanya dikawani seorang sahabatnya yang bernama Ki Sandikala. Ketika rombongan singgah di Balidwipa, Senapati Mahesa Amping tidak sampai hati bila harus meninggalkan Adityawarman, anak kandungnya sendiri serta kemenakannya putra Raden Sanggrama Wijaya bernama Jayanagara untuk waktu yang cukup lama yang saat itu tinggal dan masih menetap di Padepokan Pamecutan, sebuah Padepokan yang dibangun dan didirikan  bersama Empu Dangka.

“Gajahmada dan ibunya juga harus kubawa serta”, berkata Mahesa Amping dalam hati ketika akhirnya juga memutuskan untuk membawa Gajahmada anak angkatnya bersama ibunya Nyi Nariratih ke pulau Tanah Wangi-wangi.

“Aku sudah menempuh banyak perjalanan, dan pencarianku telah sampai kepada seorang manusia tempat dimana takdirku selalu ada bersamanya”, berkata Pendeta Gunakara kepada Mahesa Amping ketika berbicara bersama memutuskan untuk membawa Gajahmada dan ibunya Nariratih ke pulau Tanah Wangiwangi.

“Setelah sampai di pulau Tanah Wangi-wangi, aku akan segera kembali ke Jawadwipa untuk ikut berjuang bersama Raden Wijaya, untuk sebuah waktu yang cukup lama dan tidak dapat dipastikan kapan aku akan kembali bersama di pulau Tanah Wangi-wangi. Kehadiran dan kesediaan Tuan Pendeta Gunakara untuk ikut bersama kami telah mengurangi beban dan kekhawatiranku”, berkata Mahesa Amping kepada Pendeta Gunakara mengijinkannya ikut bersama ke pulau Tanah Wangiwangi.

Sebagaimana diketahui bahwa Pendeta Gunakara adalah seorang pengembara dari sebuah Wihara terkemuka di sebuah daratan Tibet yang ditugaskan untuk mencari titisan guru besarnya Jamyang Dawa Lama yang telah meninggal dunia. Setelah menempuh banyak perjalanan, takdir membawanya menemukan titisan Guru besarnya dalam diri Gajahmada, anak kandung Nyi Nariratih yang lahir pada hari yang sama disaat wafatnya Jamyang Dawa Lama yang ditandai dengan adanya gerhana matahari. Sebagaimana adat istiadat pada jaman itu, seorang yang terlahir disaat gerhana matahari harus mempunyai nama samaran. Dan Mahesa Amping sebagai ayah angkat Gajahmada telah memberi nama lain untuknya, dengan nama Mahesa Muksa.

“Mudah-mudahan aku juga dapat menjadi seorang sahabat yang baik dalam perjalananmu”, berkata Argalanang kepada Mahesa Amping yang juga memutuskan untuk ikut bersamanya ke pulau Tanah Wangi-wangi.

“Aku memang perlu sahabat seperti dirimu, bukan hanya teman di perjalanan, tapi juga teman untuk berjuang bersama Raden Wijaya di Jawadwipa”, berkata Mahesa Amping kepada Argalanang sahabatnya itu yang diketahui kesetiaannya dalam sebuah petualangannya di Tanah Melayu bersama Raden Wijaya dan Ranggalawe beberapa tahun yang telah lewat.

Sementara itu Mahesa Amping merasa sangat berat hati meninggalkan Putu Risang, seorang pemuda yang punya bakat besar yang telah dibimbingnya selama ini di Padepokan Pamecutan. Namun Mahesa Amping percaya bahwa di tangan Empu Dangka, pemuda ini akan tumbuh sebagai seorang ksatria yang tiada tanding.

Mahesa Amping juga merasa berat hati harus berpisah dengan Empu Dangka dan semua cantrik di padepokan Pamecutan.

“Jalanilah semua takdirmu, wahai anakku. Aku merasa bahagia telah ditakdirkan bertemu dan pernah bersama denganmu”, berkata Empu Dangka ketika melepas Mahesa Amping dan rombongannya keluar dari regol pintu gerbang halaman Padepokan Pamecutan menuju ke sebuah tempat yang jauh terpisah jarak lautan.

Demikianlah, ketika rombongan keluarga istana Singasari setelah singgah di Balidwipa untuk melanjutkan perjalanan mereka ke pulau Tanah Wangi-wangi, iringiringan mereka menjadi bertambah lagi dengan ikutnya beberapa orang kerabat dan keluarga Mahesa Amping.

Dan mereka berlayar disaat yang tepat, disaat awal datangnya musim angin daya laut.

Sore itu langit terlihat berawan cukup cerah diatas rumah panjang, sebuah rumah panggung yang cukup besar berdiri dekat pantai menghadap kearah timur Matahari. Rumah panjang itu adalah rumah adat yang dibangun oleh para penghuni Tanah Wangi-wangi sebagai tempat tinggal keluarga Kebo Arema sang karaeng yang sudah lama tidak ditempati namun tetap dirawat dengan baik. Atas perkenan para penghuni Tanah Wangi-wangi, rumah panjang itu diserahkan kepada Mahesa Amping dan rombongannya yang baru datang untuk menetap disana. Angin bertiup semilir sejuk menyapu tiga orang yang terlihat tengah menuruni anak tangga rumah panjang. Terlihat juga dua orang yang sudah cukup tua ikut mengiringi langkah kaki ketiga orang yang nampaknya akan berjalan menuju pantai.

Ternyata ketika mereka tiba di bibir pantai, sebuah  jukung terlihat sudah menunggu mereka.

Wajah kuning Matahari sore masih menggantung di barat Cakrawala langit biru diatas pantai pulau Tanah Wangiwangi. Dibawah sinar matahari sore yang teduh wajah kelima orang itu dapat terlihat jelas, mereka adalah Mahesa Amping, Argalanang dan Ki Sandikala, sementara dibelakang mereka dua orang yang ikut mengiringi adalah Ratu Anggabhaya dan Pendeta Gunakara.

“Musim Angin daya laut sebentar lagi akan berakhir, harus menunggu beberapa bulan lagi hingga datang kembali musim angin untuk waktu berlayar. Dan kami tidak ingin datang terlambat di saat saudaraku Raden Wijaya tengah berjuang merebut kembali hak tanah Singasari ”, berkata Mahesa Amping kepada Ratu Anggabhaya yang ikut ke tepi pantai mengantar keberangkatannya menuju Jawadwipa.

“Doa kami menyertai kalian, sampaikan salamku kepada Raden Wijaya”, berkata Ratu Anggabhaya kepada Mahesa Amping yang terlihat tengah akan melangkah naik keatas jukung.

Terlihat sebuah jukung tengah didorong menjauhi pantai landai yang berombak kecil dan terus meluncur ke tengah laut diiringi tatapan mata Ratu Anggabhaya dan Pendeta Gunakara yang tetap berdiri di atas pasir putih  di bibir pantai yang hangat dibawah cahaya matahari menjelang senja.

Ratu Anggabhaya dan Pendeta Gunakara masih tetap berdiri memandang jukung dimana Mahesa Amping, Argalanang dan Ki Sandikala ada diatasnya terlihat merapat di sebuah perahu jung besar Singasari yang bersauh jauh dari bibir pantai yang landai.

Jukung Mahesa Amping adalah jukung terakhir yang ditunggu. Matahari senja terlihat mulai rebah mencium hamparan laut datar di barat bumi, dan sebuah perahu jung besar terlihat sudah mulai bergerak perlahan kearah dimana wajah bulat matahari bersinar diujung barat bumi.

“Mereka bertiga sebagai angin segar, membawa berita kepada Raden Wijaya bahwa keluarganya di Tanah pengungsian selalu berdoa untuk perjuangannya”, berkata Ratu Anggabhaya kepada Pendeta Gunakara ketika perahu jung besar Singasari terlihat menghilang jauh diujung lengkung kaki langit, menghilang diujung hamparan luas laut biru yang datar diujung barat bumi, diujung senja di batas malam yang akan segera datang memberikan mimpinya.

“Manusia hidup diatas mimpinya, seperti kita saat ini yang berdiri memandang sebuah mimpi yang berlayar jauh ke ujung tanah harapan”, berkata Pendeta Gunakara dengan senyum sarehnya mengajak Ratu Anggabhaya kembali ke rumah panjang yang tidak jauh dari pantai.

Mari kita tinggalkan Ratu Anggabhaya dan Pendeta Gunakara yang terlihat tengah berjalan kembali menuju rumah panjang yang tidak begitu jauh dari tepi pantai pulau Tanah Wangi-wangi. Kita lewatkan perjalanan Mahesa Amping, Argalanang dan Ki Sandikala yang tengah berlayar diatas perahu jung besar Singasari menuju tanah perjuangan Jawadwipa.

Mari kita kembali melihat suasana di Kotaraja Singasari yang telah berubah seperti kota mati yang lengang, hanya ada beberapa prajurit pasukan Raden Wijaya  yang kadang terlihat berlalu lalang keluar masuk istana Singasari yang semakin lusuh tak terawat, terlihat beberapa taman istana sudah tidak elok lagi karena telah ditumbuhi tanaman liar yang merambat menutupi hampir seluruh wajah taman istana.

Senja tua diatas istana Singasari nampak begitu dingin menyapu setiap wajah beberapa atap bangunan yang masih tegap berdiri mengisi sisi istana Singasari sambil memandang wajah lengkung langit yang semakin suram.

Dan malam pun akhirnya turun memeluk lorong-lorong jalan setapak di sekitar istana Singasari dengan bayangbayang gelapnya. Terlihat seorang lelaki tengah berjalan di sebuah lorong jalan setapak yang menuju pasanggrahan yang lengang, cahaya pelita yang remang menandakan pasanggrahan itu masih berpenghuni.

Lelaki itu terus berjalan melangkah mendekati pendapa utama didepan pasanggrahan istana itu yang terlihat terang benderang disinari empat buah pelita malam di setiap sudutnya.

Cahaya pelita yang tergantung di dekat anak tangga  telah menyinari wajah lelaki itu yang ternyata adalah Arya Kuda Cemani.

“Kami semua menunggu kedatangan Paman Arya Kuda Cemani”, berkata Raden Wijaya menyambut kedatangan Arya Kuda Cemani yang langsung duduk di sebuah tempat di pendapa utama itu.

Terlihat Ki Bancak, Gajah Pagon dan Ki Sukasrana ikut duduk bersama diantara para perwira tinggi yang hari itu sengaja dikumpulkan oleh Raden Wijaya.

“Empat pekan sudah cukup bagi kita untuk menunggu dan mematangkan gerakan pertama kita, menyalakan api di segala penjuru tanah Jawa, menunjukkan bahwa Kerajaan Singasari dan semangatnya masih belum padam”, berkata Raden Wijaya mengawali.

“Hari ini dari beberapa prajurit sandi yang telah menyebar di berbagai tempat, aku mendapat sebuah berita bahwa para raja di beberapa daerah telah mengirimkan utusannya bersama barang upeti sebagai tanda kesetiaan mereka kepada penguasa Kediri”, berkata Arya Kuda Cemani menyampaikan berita dari para prajurit sandinya.

“Penguasa Kediri saat ini tidak cuma membutuhkan kesetiaan dari para raja di berbagai tempat di Tanah Jawa ini, Penguasa Kediri saat ini juga membutuhkan begitu banyak biaya sebagai bayaran yang cukup mahal dari kemenangan mereka, terutama membiayai seluruh prajuritnya yang besar”, berkata Raden Wijaya kepada semua yang hadir di pendapa utama. “Dan saatnya bagi kita menggunting semua perjalanan para utusan raja dari berbagai daerah, merebut semua upeti mereka. Gerakan kita ini adalah suara bende peperangan, membuka semua mata bahwa Kerajaan Singasari masih ada”, berkata kembali Raden Wijaya dengan penuh semangat dan keyakinan.

Akhirnya malam itu juga telah bulat sepakat semua yang hadir di pendapa utama Pasanggrahan Raden Wijaya di Istana Singasari untuk menyiapkan pasukan khusus dalam beberapa kelompok kecil yang akan menyebar di berbagai tempat, di hampir semua jalan menuju Kotaraja Kediri. Tugas utama pasukan kecil ini adalah menggunting utusan dari para Raja dari berbagai daerah yang membawa upeti tanda kesetiaannya kepada penguasa Kediri, Maharaja Jayakatwang.

Demikianlah, para perwira tinggi pasukan Raden Wijaya satu persatu pamit diri dari pendapa utama untuk secepatnya menghubungi pasukannya, melakukan beberapa persiapan yang diperlukan.

“Sebuah kehormatan bagi kami berada bersama dalam kelompok pasukan tuanku”, berkata Gajah Pagon mewakili Ki Bancak dan Ki Sukasrana yang masih hadir di pendapa utama.

“Yang kubutuhkan saat ini bukan cuma sebuah kesetiaan, tapi juga semangat yang tidak mudah padam. Dan aku yakin kalian bertiga telah memiliki keduanya, kesetiaan dan semangat itu”, berkata Raden Wijaya dengan wajah penuh kegembiraan.

Sementara itu malam sudah semakin larut mendengarkan suara kesenyapannya dalam denging irama sunyi yang menyekap.

“Beristirahatlah, besok kita akan melakukan perjalanan panjang”, berkata Raden Wijaya kepada Gajah Pagon, Ki Sukasrana dan Ki Bancak.

“Kami mohon pamit diri”, berkata Ki Bancak mewakili kedua kawannya itu yang terlihat berdiri melangkah menuju tangga pendapa.

Akhirnya di pendapa utama itu tertinggi Arya Kuda Cemani dan Raden Wijaya berdua.

“Apakah Paman Arya Kuda Cemani sudah mendapat kabar tentang keluargaku?”, bertanya Raden Wijaya kepada Arya Kuda Cemani. “Aku baru dapat berita dari prajurit sandiku yang bertugas diujung Galuh tadi sore, berita yang sangat kunantikan sebelum hadir di pendapa ini”, berkata Arya Kuda Cemani kepada Raden Wijaya.

“Berita apa yang mereka bawa tentang keluargaku?”, bertanya Raden Wijaya merasa gembira ada kabar tentang keluarganya.

“Mereka membawa berita bahwa keluarga istana telah berangkat dari Bandar Buleleng Balidwipa dengan sebuah Jung Singasari yang biasa berlayar sampai ke Tanah Gurun”, berkata Arya Kuda Cemani.

“Semoga perjalanan mereka tidak banyak menemui hambatan, selamat ditempat tujuan”, berkata Raden Wijaya kepada Arya Kuda Cemani.

“Selama jalur pelayaran masih dapat kita kuasai, selama itu pula berita tentang keluargamu akan kita dapati. Diperhitungkan bahwa tiga pekan lagi perahu jung yang membawa keluarga istana akan kembali ke Ujung Galuh”, berkata Arya Kuda Cemani kepada Raden Wijaya.

“Terima kasih Paman, aku akan menunggu tiga pekan itu”, berkata Raden Wijaya dengan wajah penuh harap kepada Arya Kuda Cemani.

Hari itu pagi masih berkabut, sang mentari baru sedikit mengintip diujung bumi. Terlihat seratus orang prajurit Singasari tengah keluar dari gerbang Kotaraja Singasari.

“Wengker berada arah barat Kerajaan Kediri, perjalanan kita cukup jauh”, berkata Gajah Pagon kepada Ki Bancak ketika mereka baru saja meninggalkan gerbang Kotaraja Singasari.

Ternyata mereka adalah salah satu pasukan yang akan melaksanakan tugasnya untuk menggunting semua upeti dari para Raja di segenap daerah Jawadwipa untuk dipersembahkan kepada Penguasa Kediri sebagai tanda kesetiaan mereka.

Gajah Pagon, Ki Bancak dan Ki Sukasrana berada didalam kesatuan yang langsung dipimpin oleh Senapati mereka sendiri, yaitu Raden Wijaya.

Sebagai seorang mantan prajurit sandi Singasari, Gajah Pagon nampaknya sangat mengenal banyak tentang daerah Wengker. Maka, di sepanjang perjalanan Gajah Pagon banyak memberikan penjelasan kepada Ki Bancak, seorang mantan prajurit sandi yang cukup lama bertugas di daerah Balidwipa dan menjadi salah satu orang kepercayaan dari Senapati Mahesa Amping.

“Di Wengker aku pernah jatuh hati dengan seorang gadis, putri seorang Demang”, bercerita Gajah Pagon kepada Ki Sukasrana dan Ki Bancak di sebuah perjalanan.

“Lanjutkan”, berkata Ki Bancak yang tertarik dengan cerita dari Gajah Pagon.

“Sayangnya gadis itu hanya melihat sebelah mata kepadaku”, kata Gajah Pagon dengan tertawa getir.

“Bodoh sekali gadis itu, seandainya aku punya seorang putri, aku akan senang punya mantu yang tampan, seorang prajurit yang gagah seperti dirimu”, berkata Ki Sukasrana ikut penasaran dengan mengatakan bahwa gadis itu adalah wanita bodoh sedunia.

“Bagaimana tidak membuat gadis itu memandangku sebelah mata, pada saat itu aku dalam tugas penyamaran sebagai pelayan sebuah kedai”, berkata Gajah Pagon masih dengan sedikit tersenyum getir. Ki Bancak dan Ki Sukasrana yang mendengar cerita itu langsung tertawa terpingkal-pingkal.

“Itulah hebatnya menjadi prajurit telik sandi, kita bisa menjadi apapun”, berkata Ki Bancak kepada Ki Sukasrana dan Gajah Pagon.

Sementara itu matahari diatas cakrawala langit sudah berdiri tepat diatas di puncaknya, Raden Wijaya memerintahkan pasukannya untuk beristirahat.

Setelah beristirahat dengan cukup, pasukan itupun terlihat kembali melanjutkan perjalanannya. Namun perjalanan mereka kali ini tidak lagi mengikuti jalan yang biasa dilalui oleh banyak orang, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan terutama agar gerakan mereka tidak diketahui oleh musuh, maka mereka harus berjalan melewati hutan-hutan dan bukit. Kadang mereka harus merangkak mendaki bukit karang, karena hanya jalan itu yang paling aman dan sangat jarang sekali dilalui oleh orang biasa. Sebuah perjalanan yang cukup membutuhkan tenaga yang cukup kuat. Namun para prajurit Singasari adalah orang-orang yang sudah terlatih, sudah teruji dalam setiap pendadaran jauh sebelum mereka dipilih untuk menjadi seorang prajurit sesungguhnya.

Dan senja pun akhirnya muncul memenuhi  sebuah lereng gunung yang sepi dimana pasukan kecil Raden Wijaya tengah berjalan untuk mendakinya sebagai salah satu jalan pintas agar secepatnya dapat mencapai arah mendekati daerah Wengker.

Para prajurit Singasari yang tergabung dalam pasukan kecil Raden Wijaya itu memang para prajurit yang tangguh. Nampaknya mereka harus melupakan rasa kantuk mereka, karena malam ini mereka harus secepatnya potong jalur mendaki sebuah gunung agar dapat mencapai daerah Wengker menjelang pagi.

“Menjelang pagi kita sudah akan sampai di sebuah hutan yang berdekatan dengan sebuah padukuhan Banaran. Di hutan Banaran itulah satu-satunya jalan yang biasa dilewati oleh para pedagang dari Wengker menuju Kotaraja Kediri”, berkata Gajah Pagon kepada Raden Wijaya.

“Ternyata aku tidak salah memilihmu”, berkata Raden Wijaya kepada Gajah Pagon sambil tersenyum.

Demikianlah, manakala sang malam mulai berakhir menjelang pagi yang ditandai dengan terdengarnya sayup suara ayam hutan saling bersahutan memecah kesunyian dan kesenyapan di awal pagi itu di sebuah hutan yang berdekatan dengan sebuah padukuhan yang bernama Padukuhan Banaran. Pasukan kecil Raden Wijaya sudah memasuki hutan Banaran.

“Inilah jalan setapak yang biasa dilewati orang yang punya kepentingan untuk mencapai Kotaraja Kediri dari arah Wengker”, berkata Gajah Pagon kepada Raden Wijaya ketika mereka tiba di sebuah hutan Banaran di pagi yang masih buta itu.

“Mari kita mencari tempat terbaik untuk menyergap utusan kerajaan Wengker yang menurut beritanya telah keluar dari Kotaraja Wengker”, berkata Raden Wijaya memerintahkan para prajuritnya.

Akhirnya mereka menemukan sebuah tempat yang cocok untuk menyergap buruan mereka. Maka secara bergiliran mereka melakukan pengawasan, dan juga beristirahat tentunya setelah sepanjang malam harus membunuh rasa kantuk untuk tetap berjalan secepatnya mencapai hutan itu. “Mataku sudah begitu sepat, ngantuk berat”, berkata Ki Sukasrana kepada Ki Bancak sambil rebah di sebuah akar pohon kayu di hutan itu.

“Meski semalaman tidak tidur, mataku tidak biasa tidur di pagi hari. Perutku inilah biasa berkeruyuk disaat pagi datang”, berkata Ki Bancak sambil meraba bungkusan bekalnya.

Demikianlah, pasukan kecil itu dengan penuh ketaatan yang tinggi saling bergiliran melakukan pengawasan. Bila mereka nampak berbaring tidur tidak juga melepas kewaspadaannya. Pendengaran mereka sudah biasa terlatih untuk terus waspada di segala keadaan, meski dalam istirahat tidur sekalipun. Bisa dikatakan bahwa tidur mereka cuma tidur ayam. Seperti itulah tidurnya seorang prajurit di setiap peperangan. Bagi mereka kelengahan sedikit adalah sebuah kemalangan yang tak bisa dimundurkan, taruhannya adalah nyawa mereka. Itulah sebabnya mereka selalu mengutamakan kewaspadaan dimanapun mereka berada. Bahkan terkadang tiba-tiba saja mereka terkaget langsung bangkit berdiri dari tidurnya, meski ternyata suara istrinya membuka pintu kamar membawakan minuman wedang sere di pagi hari. Begitulah jiwa dan perasaan para prajurit dimanapun.

Matahari di atas hutan Banaran terlihat sudah bergeser sedikit dari puncaknya, namun kerapnya batang dan daun di hutan itu telah membuat suasana alam hutan tetap teduh dan basah. Hanya di beberapa tempat saja sinar matahari dapat menerobos langsung ke tanah kering memberikan cahaya terang disekitarnya.

Beberapa prajurit Singasari masih tetap melakukan pengawasan, sementara yang lainnya telah siap siaga di beberapa tempat yang tersembunyi diantara semak belukar dan batang pohon hutan yang besar dan rindang.

Ki Bancak adalah salah seorang prajurit Singasari yang saat itu telah mendapat giliran sebagai  prajurit pengawas. Terlihat dengan lincah dan beraninya naik ke sebuah cabang pohon kayu yang cukup tinggi. Ketika mendapatkan sebuah batang yang cukup terlindung dari pandangan mata, Ki Bancak pun langsung duduk bersandar diatas cabang batang pohon itu.

Akhirnya yang mereka tunggu pun datang juga. Terlihat di kejauhan sebuah iring-iringan sekelompok orang yang tengah berjalan memasuki hutan Banaran menyusuri jalan setapak yang ada di dalam hutan itu. Bila dihitung jumlah mereka ada sekitar duapuluh orang. Di tengah iring-iringan itu terlihat dua orang tengah memikul sebuah kotak peti yang cukup berat, dapat dilihat dari kayu pemikulnya yang sedikit melengkung menahan beban peti kayu itu.

Terdengar suara burung Jalak Bali yang panjang berkalikali diantara suara binatang hutan lainnya yang kadang sekali dua kali terdengar.

Ternyata suara burung Jalak Bali itu adalah sebuah isyarat dari salah seorang prajurit pengawas Singasari dari persembunyiannya yang melihat bahwa sasaran yang mereka nantikan tengah berjalan menuju arah mereka.

Terlihat salah seorang dari beberapa orang yang beriringan berjalan itu mengangkat tangannya, dan serentak semua orang yang tengah berjalan itu langsung berhenti. Ternyata orang yang mengangkat tangan itu adalah pemimpin mereka merasakan ada sebuah keganjilan.

“Aku sering lewat di hutan ini, dan baru hari ini kudengar ada suara burung yang aneh yang tidak pernah kudengar sebelumnya di hutan ini”, berkata pemimpin itu yang masih belum menurunkan tangannya. “Berhati-hatilah”, berkata pemimpin itu yang merasa ada sesuatu yang harus mereka waspadai.

Pendengaran pemimpin mereka itu cukup peka, dapat membedakan suara burung yang menurutnya baru pertama kali didengarnya di hutan itu. Dan ternyata kali ini kecurigaannya telah terbukti, tidak jauh dari tempat mereka berpijak, terlihat begitu banyak orang yang telah berlompatan keluar dari kanan kiri jalan setapak di  tengah hutan itu.

Sekejap ada rasa terkejut yang sangat dari semua orangorang yang baru datang itu, keteduhan cahaya yang remang di hutan itu telah membuat pikiran mereka menyangka ada banyak hantu hutan yang muncul. Namun hanya sekejap, mereka akhirnya menyadari bahwa yang baru muncul begitu banyaknya adalah manusia seperti mereka.

Para prajurit Singasari telah keluar dari persembunyiannya langsung menghadang sekelompok orang yang baru saja memasuki hutan Banaran.

“Aku ingin berbicara dengan pemimpin kalian”, berkata Raden Wijaya yang telah maju beberapa langkah mendekati rombongan itu.

“Aku pemimpin disini”, berkata seorang yang tadi mengangkat tangannya, seorang yang bertubuh tinggi besar dengan otot-otot menonjol di hampir seluruh tubuhnya menandakan sebagai seseorang yang sangat kuat.

“Kami prajurit Singasari tidak ingin menanamkan permusuhan kepada warga Wengker”, berkata Raden Wijaya kepada pemimpin rombongan itu.

“Bila memang tidak ada permusuhan kepada kami, beri kami jalan agar kami dapat melanjutkan perjalanan”, berkata pemimpin rombongan itu.

“Silahkan melanjutkan perjalanan kalian, tapi tinggalkan peti kayu itu untuk kami”, berkata raden Wijaya kepada pemimpin rombongan itu dengan suara yang datar.

“Kami tidak bisa pergi tanpa barang itu”, berkata pemimpin rombongan itu kepada Raden Wijaya

“Apakah kamu tidak bisa menghitung berapa jumlah kami?”, kembali Raden Wijaya berkata kali ini dengan kerling dan senyum.

Terlihat pemimpin rombongan itu tidak langsung menjawab, rupanya ada sedikit kegentaran didalam hatinya melihat musuh yang lima kali lipat jumlahnya, ditambah lagi dirinya sering mendengar bahwa seorang prajurit Singasari adalah seorang petarung  yang tangguh. ”Kami harus mempertahankan barang yang kami bawa sampai ketempat tujuan”, berkata pemimpin rombongan itu kepada Raden Wijaya.

Diam-diam Raden Wijaya tersenyum dalam hati, telah memastikan bahwa pemimpin rombongan itu sudah menjadi sedikit gentar lewat garis wajah dan getar suaranya.

“Aku menawarkan sebuah cara yang baik untuk kalian pikirkan, mari kita bertarung secara perorangan. Bila kalian menang, silahkan melanjutkan perjalanan kalian. Namun bila kami yang menang, terpaksa kalian harus merelakan barang yang kalian bawa”, berkata Raden Wijaya kepada pemimpin rombongan itu. ”Berpikirlah yang jernih, penawaranku bisa berubah”, berkata kembali Raden Wijaya.

Terlihat pemimpin rombongan itu tengah berpikir untung dan ruginya penawaran dari pihak lawan. ”Bila mereka beradu senjata perang terbuka, pasukanku pasti hancur binasa”, berkata pemimpin rombongan itu dalam hati menimbang-nimbang penawaran Raden Wijaya.

“Aku Rangga Gajah Mungkur menerima penawaranmu”, berkata pemimpin rombongan itu dengan suara tinggi sepertinya ingin menunjukkan kewibawaannya dan telah menunjukkan jati dirinya juga jati diri rombongannya yang ternyata adalah para prajurit dari kerajaan Wengker dibalik pakaian orang biasa yang mereka kenakan hanya sebagai penyamaran bahwa mereka membawa barang upeti yang berharga untuk diserahkan kepada penguasa Kediri.

“Sudah kuduga kalian adalah prajurit Kerajaan Wengker, silahkan menampilkan tiga orang petarung terbaikmu”, berkata Raden Wijaya.

Tanah jalan setapak didalam hutan itu memang sangat sempit untuk sebuah pertarungan perorangan. Terlihat beberapa orang prajurit Singasari tengah membabat dan membersihkan semak belukar di kiri kanan jalan setapak itu. Hasilnya lumayan untuk menyaksikan sebuah pertarungan antara perwakilan dari pasukan Raden Wijaya dengan salah seorang prajurit Kerajaan Wengker.

Terlihat pemimpin prajurit Wengker yang menyebut dirinya sebagai Rangga Gajah Mungkur itu memanggil orangnya untuk maju ke arena pertarungan yang telah disiapkan.

Semua mata memandang prajurit Wengker itu yang telah dipilih oleh Ki Rangga Gajah Mungkur, seorang yang berkulit hitam legam dengan perawakan tubuh yang tinggi, kekar berotot.

Terlihat prajurit Wengker itu telah melucuti senjatanya, karena pertarungan perorangan memang sebuah pertarungan tangan kosong.

Sementara itu Raden Wijaya yang telah melihat wakil petarung pihak lawannya tidak langsung segera memanggil salah seorang prajuritnya, hanya memandang tajam wakil prajurit dari Wengker itu dengan pandangan penuh teliti sebagaimana seorang penyabung ayam tengah menelisik ayam jago lawan.

Entah apa yang dilihat dan dipikirkan oleh Raden Wijaya dari orang yang tengah diperhatikan itu. Yang jelas terlihat bibir Raden Wijaya sedikit tersenyum dan berbalik badan menghadap para prajuritnya sendiri.

Terlihat hampir semua prajurit Singasari menahan nafasnya, mereka tahu bahwa Senapati mereka, Raden Wijaya tengah memilih siapa yang akan dimajukan sebagai wakil dari mereka.

“Kemarilah Ki Lurah Bancak”, berkata Raden Wijaya memanggil Ki Bancak dengan panggilan lengkap dengan jabatan lurah didepan namanya.

“Tuan Senapati memilih hamba?”, berkata Ki Bancak kepada Raden Wijaya setelah berdiri mendekat dengan suara yang datar penuh percaya diri yang tinggi.

Terlihat Raden Wijaya tersenyum memandang wajah Ki Bancak. “Sahabat Senapati Mahesa Amping pasti orang pilihan, aku memilih kamu mewakili prajurit Singasari”, berkata Raden Wijaya kepada Ki Bancak sambil memegang pundaknya mempersilahkan Ki Bancak maju ke arena pertarungan.

Begitu tenangnya Ki Bancak maju melangkah ke tengah arena sebagaimana seorang petarung sejati melangkah dengan ayunan kaki yang tegap dan dada dibusungkan kedepan penuh percaya diri yang tinggi.

Ternyata cara Ki Bancak berjalan ke tengah arena itu adalah sebuah cara menjatuhkan jiwa dan semangat lawan. Dan benar saja, sikap dan cara berjalan Ki Bancak memang membuat jiwa dan semangat lawannya menjadi bimbang. “Orang ini punya rasa percaya diri yang tinggi”, berkata lawan Ki Bancak kepada dirinya sendiri dengan mata yang tetap tertuju kepada Ki Bancak yang semakin mendekat kearahnya.

“Aku sudah siap, kawan”, berkata Ki Bancak kepada lawannya dengan sikap yang begitu meyakinkan ketika mereka telah dekat saling berhadapan.

“Aku juga telah siap untuk menghajarmu”, berkata prajurit Wengker itu kepada Ki Bancak dengan langsung membuat sebuah kuda-kuda untuk segera menyerang lawan.

Dan kaki prajurit itu tiba-tiba saja telah meluncur cukup tinggi menghantam arah dada Ki Bancak dengan kecepatan dan tenaga yang cukup kuat.

Ternyata Ki Bancak memang sudah cukup siap menghadapi serangan awal lawannya itu, terlihat kaki kiri Ki Bancak maju kedepan bersamaan dengan memiringkan badannya, gerakan itu dilakukan dengan begitu cepatnya.

Bukan main kagetnya prajurit Wengker itu melihat serangannya lewat begitu saja.

Bertambah kaget pula prajurit itu ketika tiba-tiba saja Ki Bancak merendahkan tubuhnya dan mengayunkan kaki kirinya setengah putaran menghantam kaki prajurit Wengker itu yang hanya masih bertumpu dengan satu buah kaki.

Serangan balik dari Ki Bancak itu berlangsung begitu cepatnya membuat prajurit Wengker itu tidak dapat berbuat lain kecuali dengan cara melompat menghindari kakinya terhantam putaran kaki Ki Bancak yang berputar dengan cepat dan tenaga cukup kuat.

Ternyata Ki Bancak sudah memperhitungkan dan membaca apa yang akan dilakukan apa yang akan dilakukan oleh lawannya. Maka ketika lawannya melompat, Ki Bancak langsung mendorong kaki kanan lawannya yang masih terangkat.

Akibatnya memang cukup mencengangkan siapapun yang menyaksikan pertarungan itu dimana lawan Ki Bancak langsung terjengkang tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya lagi.

Buk !!

Prajurit Wengker itu terlihat jatuh dengan punggung menghantam tanah basah hutan Banaran.

Ki Bancak tidak segera memburu lawannya itu yang tengah terjatuh, tapi langsung berbalik badan menghadap para prajurit Singasari sambil mengangkat satu tangannya tiga kali berturut turut beriring dengan suara sorak sorai gembira dari prajurit Singasari yang merasa kagum atas cara Ki Bancak yang dalam satu gebrakan sudah dapat menjatuhkan lawannya.

“Hidup Ki Bancak!!”, berteriak beberapa prajurit Singasari penuh kegembiraan.

Terlihat Ki Bancak sudah berbalik badan kembali kearah lawannya yang sudah bangkit berdiri. Dan dengan penuh keyakinan dan kepercayaan pada diri yang tinggi, Ki Bancak sudah melangkahkan kakinya mendekati lawannya.

“Jangan terlalu gembira, tadi aku memang lengah”, berkata prajurit Wengker itu kepada Ki Bancak dengan wajah penuh amarah memuncak langsung mengayunkan tangannya kearah Ki Bancak.

“Mencuri tenaga lawan!”, berkata Ki Bancak sambil memiringkan badannya bersamaan dengan menggeser kaki kanannya persis sama seperti yang dilakukannya ketika menghindari serangan awal lawannya itu, tapi kali ini diikuti dengan menangkap pergelangan tangan lawan dan menariknya searah tenaga lawan.

Terlihat tubuh prajurit Wengker itu terhuyung kedepan terbawa tarikan tangan Ki Bancak. Namun begitu prajurit Wengker itu berusaha dengan tenaganya menahan tarikan itu, kembali dengan ringannya tangan Ki Bancak mengikuti arah dan tenaga lawan.

Semua orang yang menyaksikan pertarungan itu sangat kagum dengan apa yang dilakukan oleh Ki Bancak. Parajurit Wengker lawannya itu yang berperawakan tinggi besar serta berotot itu dihadapan Ki Bancak seperti seonggok karung kapas yang begitu ringannya dipermainkan oleh Ki Bancak yang nampaknya sudah sangat menguasai sebuah ilmu rahasia mencuri tenaga lawan.

Ternyata Ki Bancak nampaknya tidak ingin menjatuhkan lawannya dengan segera, beberapa kesempatan telah dilepaskannya dengan begitu saja. Kelihatannya Ki Bancak bermaksud ingin menguras habis tenaga dan kekuatan lawannya dan membuatnya menjadi semakin putus asa.

Akhirnya Ki Bancak sudah dapat melihat bahwa lawannya memang sudah terkuras habis tenaga dan nafasnya. Maka dalam sebuah serangan dengan mudahnya Ki Bancak menangkap tangan lawan dan memelintirkannya hingga sampai ke belakang pundaknya. Sementara tangan Ki Bancak yang masih bebas telah mengunci mati prajurit Wengker itu dengan mencengkeram pinggang lawan. Akibatnya prajurit itu seperti merasakan nafasnya putus dan dengan mudahnya Ki Bancak mendorong prajurit yang tidak berdaya itu jatuh tersungkur mencium tanah.

Terlihat Ki Bancak telah melepaskan cengkeraman tangan di pinggang lawan, namun masih mengunci tangan prajurit itu yang masih berbaring tengkurap.

“Berteriaklah bahwa kamu menyerah atau kupatahkan tanganmu”, berkata Ki Bancak kepada prajurit Wengker itu sambil sedikit menambahkan pelintiran tangannya.

“Aku menyerah!!”, berteriak prajurit Wengker itu merasa khawatir tangannya akan patah bila semakin dipelintir lagi oleh Ki Bancak.

Mendengar teriakan itu, Ki Bancak telah melepaskan kunciannya dan perlahan mundur menjauhi lawannya.

Seperti sebagaimana sebelumnya, terlihat Ki Bancak berbalik badan menghadap kearah para prajurit Singasari yang tengah bersorak gegap gempita, merangkapkan kedua tangannya di dada dan sedikit membungkukkan badannya penuh rasa terima kasih atas simpatik yang diterima untuk kemenangannya.

“Hidup Ki Bancak!, Hidup Ki Bancak!!” berkata beberapa orang prajurit Singasari mengelu-elukan diri Ki Bancak.

Sementara itu tidak ada sedikitpun suara yang terdengar dari pihak prajurit Wengker, mereka sepertinya tengah dipenuhi perasaan kecewa, petarung mereka dikalahkan dengan begitu mudahnya.

Terlihat Ki Rangga Gajah Mungkur bertolak pinggang menahan rasa kecewanya sambil mencari-cari siapakah orang kedua yang akan dipilihnya.

“Jangan sampai mengecewakan diriku”, berkata Ki Rangga Gajah Mungkur kepada salah seorang prajuritnya yang telah dipilih menjadi orang kedua yang akan turun bertarung.

Terlihat prajurit Wengker pilihan Ki Rangga Gajah Mungkur telah maju ke arena pertempuran.

Seperti sebelumnya, Raden Wijaya memperhatikan diri petarung lawan dari bawah kaki hingga kepala seperti tengah mencari kelebihan dan kelemahan petarung lawan. Tiba-tiba saja Raden Wijaya menangkap kilatan dari sorot mata petarung Wengker sebagai tanda orang bersangkutan telah menguasai dan mampu mengungkapkan inti tenaga cadangan didalam dirinya.

Terlihat Raden Wijaya berbalik arah, dan segenap pasukannya seperti menahan nafas menunggu apakah dirinya yang akan mewakili maju ke arena pertarungan.

Dan mata Raden Wijaya masih terus mencari, hingga akhirnya tertahan kearah tubuh salah seorang prajuritnya yang masih muda dan cukup tampan.

“Aku yakin kamu mampu menandingi lawanmu”, berkata Raden Wijaya kepada prajurit muda itu yang tidak lain adalah Gajah Pagon.

“Semoga hamba dapat memenuhi harapan tuanku”, berkata Gajah Pagon merangkapkan kedua tangannya penuh hormat kepada Raden Wijaya.

Perlahan Gajoh Pagon melangkah ke tengah arena. “Persiapkan dirimu anak muda”, berkata prajurit Wengker itu sepertinya meremehkan diri Gajah Pagon, pemuda dihadapannya.

“Aku sudah siap”, berkata Gajah Pagon sambil mengendapkan dirinya menyerahkan segala akal dan budinya kepada yang Maha memiliki kekuatan.

“Lihat seranganku”, berkata prajurit Wengker itu sambil menerjang Gajah Pagon dengan sebuah tendangan cukup kuat dan cepat.

Gajah Pagon adalah seorang yang selalu berhati-hati, tidak sedikit pun meremehkan lawannya. Dengan sigap telah mengelak kesamping dan menyusul dengan sebuah serangan balasan melancarkan tendangan kearah tubuh lawan.

Melihat bahwa serangan awalnya dapat dengan begitu muda dielakkan oleh Gajah Pagon bahkan telah langsung balas menyerangnya, prajurit Wengker itu menjadi maklum bahwa anak muda itu bukan anak muda sembarangan. Maka sambil mengelak, prajurit Wengker itu kembali membuat serangannya dengan kecepatan dan kekuatan berlipat.

Bukan main cepatnya serangan pihak lawan yang juga telah dilambari tenaga cadangan kekuatan dari dalam diri yang disalurkannya lewat tangan dan pukulannya.

Gajah Pagon yang sudah berhati-hati diawal pertempurannya dapat merasakan kecepatan dan kekuatan lawan, maka dengan segera Gajah Pagon menghentakkan kecepatannya pada tataran ilmunya berlapis ganda.

Bukan main kagetnya prajurit Wengker itu, dengan kecepatan melampaui dirinya, Gajah Pagon dapat melesat menghindari pukulannya bahkan kembali balas menyerangnya dengan pukulan mengarah ke pinggangnya yang terbuka, sebuah titik serangan yang cepat dan sukar sekali dihindarkan.

Terlihat prajurit Wengker itu menghindari serangan Gajah Pagon dengan cara melenting kayang ke belakang dan telah menjejakkan kakinya di tanah dengan begitu cepat dan begitu indahnya.

“Maaf, aku telah meremehkanmu”, berkata prajurit Wengker itu kepada Gajah Pagon yang ternyata bukan seorang pemuda biasa sebagaimana anggapannya semula.

Setelah berkata demikian, terlihat prajurit itu kembali menyerang Gajah Pagon, tentunya dengan kecepatan dan kekuatan yang berlipat. Kembali Gajah Pagon dapat menghindar dan langsung menyerang balik dengan kecepatan yang melampaui lawannya.

Demikianlah, pertempuran makin lama semakin seru, semakin cepat dan begitu menegangkan karena keduanya terus meningkatkan kecepatan dan kekuatannya.

“Mereka masih sedang saling menjajagi tataran ilmu masing-masing”, berkata Raden Wijaya dalam hati memperhatikan pertempuran yang sedang berlangsung.

Sebagaimana yang dilihat oleh Raden Wijaya, ternyata Gajah Pagon masih terus berusaha mengimbangi tataran ilmu lawannya dan tidak langsung menyerang lawannya dengan tataran ilmu puncaknya.

Akibatnya pertempuran berlangsung menjadi semakin cepat, semakin keras, begitu seru dan masih belum dapat ditebak siapa diantara keduanya yang mempunyai tataran ilmu lebih tinggi.

Gajah Pagon dapat merasakan angin pukulan lawan lewat begitu keras dan kuat setiap kali serangannya yang meleset ditempat kosong.

“Aku harus berhati-hati”, berkata Gajah Pagon dalam hati menghadapi lawannya yang nampaknya punya kekuatan yang bukan wadag, tapi kekuatan cadangan dari dalam diri yang dapat dihentakkan dan disalurkannya di tangan dan kakinya dalam setiap serangan, sebuah serangan pukulan yang sangat berbahaya.

“Anak muda ini masih saja dapat menghindar”, berkata pula prajurit Wengker itu dalam hati dengan penuh penasaran setiap kali menyerang dengan tataran ilmu yang sudah ditingkatkannya.

Demikianlah, semakin lama pertempuran itu berlangsung semakin cepat, hingga keduanya terlihat melesat seperti bayangan saling menyerang dan menghindar.

“Pantas Senapati Raden Wijaya memilih anak muda itu”, berkata salah seorang prajurit Singasari yang pandangannya sudah kabur melihat pertempuran yang semakin cepat mengagumi ilmu Gajah Pagon yang ternyata sudah begitu tinggi melampaui dirinya sendiri.

“Aku bersyukur tidak di pilih oleh Senapati Raden Wijaya”, berkata kawan prajurit Singasari disebelahnya membayangkan dirinya akan menjadi bulan-bulanan pukulan lawannya.

Sementara pertempuran masih terus berlangsung dengan serunya, semua yang melihat pertempuran itu sepertinya terus menahan nafas tegang manakala bahaya mengancam pada diri petarungnya, namun akhirnya mereka bernafas lega manakala petarungnya dapat keluar dari sergapan dan serangan lawan yang datang beruntun dan berlangsung begitu cepatnya.

“Tataran ilmu Gajah Pagon berada diatas  ilmu lawannya”, berkata Raden Wijaya dalam hati yang terus mengamati pertempuran itu.

Ternyata penilaian Raden Wijaya tidak meleset jauh dengan apa yang terjadi di arena pertempuran itu. Ternyata memang tataran ilmu Gajah Pagon lebih diatas tataran ilmu lawannya. Terlihat beberapa kali Gajah Pagon dapat dengan mudahnya mengelak setiap serangan prajurit Wengker itu yang semakin lama telah menguras banyak tenaganya.

Prajurit Wengker itu merasakan serangan Gajah Pagon semakin meningkat cepat dan sangat berbahaya, beberapa kali dirinya harus melompat jauh menghindari serangan yang begitu kuat dan cepatnya.

Dan akhirnya prajurit Wengker itu tidak dapat lagi mengimbangi kecepatan serangan Gajah Pagon yang telah meningkatkan tataran ilmunya lebih tinggi lagi. Serangan Gajah Pagon tidak dapat lagi diikuti oleh pandangan mata lawannya, begitu tiba-tiba dan sangat cepat datangnya.

Dessss………

Sebuah tendangan Gajah Pagon yang dilambari tenaga cadangan dari inti kekuatan diri berhasil menembus dada prajurit Wengker itu.

Kasihan, prajurit Wengker itu merasakan seperti ditabrak tiga ekor kuda bersamaan, terlempar lima langkah jatuh terlentang di tanah merasakan tulang dadanya remuk patah, terlihat nafasnya sesak tersengal merasakan sakit yang sangat. Lama orang itu tidak mampu bangkit berdiri. Terlihat dua orang prajurit Wengker datang menghampirinya, menggotongnya ke pinggir arena.

“Dua petarung Ki Rangga sudah kami kalahkan, itu artinya tidak perlu ada lagi petarung ketiga”, berkata Raden Wijaya kepada Ki Rangga Gajah Mungkur, pemimpin prajurit Wengker.

“Kami mengaku kalah, kami juga tidak akan mampu menghadapi pasukanmu seandainya saja ada keinginanku mengelak kesepakatan yang sudah kita buat”, berkata Ki rangga Gajah Mungkur kepada Raden Wijaya.

“Ki Rangga rela meninggalkan barang upeti itu?”, bertanya Raden Wijaya kepada Ki Rangga Gajah Mungkur.

“Bukankah itu kesepakatan kita?”, bertanya balik Ki Rangga Gajah Mungkur kepada Raden Wijaya.

“Dari awal sudah kami katakan, bahwa tidak ada permusuhan apapun antara kami dengan orang Wengker”, berkata Raden Wijaya kepada Ki Rangga Gajah Mungkur dengan sedikit senyum di bibirnya. ”Bawalah kembali upeti itu, sampaikan salamku kepada Raja Wengker bahwa Kerajaan Singasari masih ada, selama itu pula tidak ada hak untuk para penguasa di Kediri menerima upeti dari siapa pun di Jawadwipa ini”, berkata kembali Raden Wijaya kepada Ki Rangga Gajah Mungkur.

“Akan kusampaikan salammu kepada Raja kami, juga cerita tentang pasukan Singasari hari ini yang telah memberi kesempatan pasukan kecil dari Wengker untuk tetap hidup, tanpa korban dan darah. Cerita ini juga akan kami sampaikan kepada keluarga kami, istri dan anakanak kami, agar mereka mengetahui kepada siapa terima kasih dihaturkan”, berkata Ki Rangga Gajah Mungkur penuh haru.

“Kita sudah menyelesaikan tugas kita”, berkata Raden Wijaya kepada pasukannya ketika melihat pasukan Wengker telah jauh menghilang di kerapatan Hutan Banaran.

Bukan main senangnya para prajurit Singasari itu bahwa tugas mereka telah selesai tanpa begitu banyak kesukaran, juga tanpa peperangan dan korban.

“Kita kembali ke Kotaraja Singasari”, berkata kembali Raden Wijaya kepada semua prajuritnya yang disambut dengan sorak sorai penuh kegembiraan.

Terlihat beberapa prajurit tengah mengemasi beberapa keperluan untuk perjalanan kembali mereka ke Kotaraja Singasari.

“Aku berharap setelah tiba di Kotaraja Singasari kita diliburkan dua tiga hari”, berkata salah seorang prajurit kepada kawannya.

“Dua atau tiga hari cukup untuk menemui keluarga, bercanda seharian dengan putraku yang baru bisa berjalan”, berkata kawan prajurit itu menimpali perkataannya.

“Bercanda dengan putramu atau ibu dari putramu?”, berkata prajurit itu menggoda kawannya.

Terlihat kawan prajurit itu hanya tersenyum tersipu, tidak menimpali godaan kawannya itu.

Sementara itu beberapa prajurit nampaknya sudah bersiap untuk melakukan perjalanannya kembali, sepertinya mereka sudah tidak sabaran menunggu perintah meninggalkan hutan Banaran secepatnya. Demikianlah, menjelang matahari diatas hutan Banaran terlihat sudah bergeser rebah di ujung barat bumi, menjelang suasana di sekitar hutan Banaran sudah hampir begitu gelap karena sinar matahari yang redup teduh tidak mampu lagi menerangi hutan Banaran yang kerap ditumbuhi banyak pohon kayu yang tinggi rimbun bercabang. Terlihat iring-iringan prajurit Singasari telah keluar dari hutan Banaran.

Dalam perjalanan pulang menuju Kotaraja Singasari, mereka tidak lagi harus berjalan melambung menghindari beberapa Padukuhan, mereka berjalan melewati jalanjalan yang biasa dilalui oleh banyak orang.

Di sepanjang perjalanan manakala melewati sebuah padukuhan, iring-iringan pasukan ini menjadi tontonan yang menarik orang-orang padukuhan. Inilah yang diinginkan oleh Raden Wijaya, menunjukkan bahwa prajurit Singasari masih ada, masih siap kembali merebut tahta Singasari yang tersita.

“Hidup prajurit Singasari”, berkata beberapa orang dari balik pagar halaman rumahnya menyongsong iringiringan prajurit Singasari yang tengah melewati sebuah padukuhan.

“Kami sudah membawa perbekalan kami sendiri”, berkata Raden Wijaya kepada seorang Demang ketika pasukannya harus bermalam di sebuah Kademangan.

“Lumbung-lumbung kami tidak akan berkurang, terimalah kegembiraan dan kebanggaan kami telah disinggahi para pahlawan kami prajurit Singasari”, berkata Ki Demang kepada Raden Wijaya yang menolak menerima sumbangan makanan
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar