Serial Suro Bodong Eps 02 : Pedang Urat Petir

PENONTON mengitari panggung setinggi satu meter. Di  atas panggung kayu yang cukup lebar itu telah  berdiri seorang pendekar perempuan yangmengagumkan setiap pengunjung. Karena ia suka mengenakan pakaian serba hijau muda, maka ia dijuluki Kenanga Hijau. Ia mengenakan celana ketat warna hijau muda bertepian emas. Sedangkan bagian atasnya mengenakan pinjung hijau juga, yang menutup bagian dada. Dada ke atas terbuka polos, menampakkan kulitnya yang kuning langsat, membakar darah kejantanan. Kenanga Hijau melapisi  celana ketatnya yang halus dengan kain warna coklat bersabuk hitam dengan hiasan manik-manik putih perak di  tepian sabuknya. Di sela sabuknya itu terdapat sarung pedang mengkilat  berwarna kuning emas. Gagang pedangnya juga dari logam kuning emas yang berbentuk kepala burung Jatayu

Tubuhnya yang kecil, namun bukan kurus itu serasi betul dengan bentuk wajahnya yang mungil, namun berhidung mancung. Matanya kecil, tetapi kelihatan tajam dan bening. Bibirnya  juga mungil, tetapi menimbulkan gairah dan memancing ajakan berkhayal mesra

Indah sekali. Rambutnya yang panjang digulung sedikit di bagian tengah kepala, sedang rambut yang lainnya dibiarkan meriap. Ia mengenakan tusuk  konde warna perak bermata butiran batu merah. Ia juga menggunakan kalung emas sebesar benang kasur dan berliontin  bentuk bunga bermata hijau zamrud. Hiasan kalung itu bagai sekuntum melati hijau yang mekar di sela belahan dadanya yang menon jol dan menantang lawan

Seorang lelaki setengah tua naik  ke atas panggung dan bicara kepada penonton:  “Kalau tidak ada yang berniat melawan Putri Kenanga Hijau, maka pertandingan ini segera ditutup!” “Berikan waktu beberapa saat  lagi, Paman!” kata Kenanga Hijau. Lelaki separoh baya itu mengangguk dan berkata kepada  pengunjung yang mengelilingi panggung: ”Putri akan memberikan waktu beberapa saat lagi untuk menunggu  penantang selanjutnya. Ingat, Saudara-saudara, pertarungan ini cukup besar hadiahnya. Barang siapa bisa  mengalahkan Putri Kenanga dengan Pedang Jatayunya, maka ia bebas memiliki tubuh Putri Kenanga yang tentu saja kita bersepakat bahwa  beliau memang… aduhai! Betul, kan?!” “Betuuull…!!” teriak penonton

Mereka bertepuk tangan. Kenanga Hijau memamerkan senyumannya yang sungguh menggetarkan hati dan sangat mengagumkan itu. Bahkan ada salah seorang penonton yang jatuh lemas  begitu melihat senyuman Kenanga Hijau itu

“Mundurlah, Paman Rogama…! Beri kesempatan kepada mereka untuk naik!” kata Kenanga Hijau

Lelaki separoh baya yang bernama Rogama itu mengangguk, lalu segera turun panggung setelah berkata kepada hadirin:  “Bagi lelaki yang merasa dirinya  pendekar, kami persilakan naik ke atas panggung! Jangan sungkan-sungkan!” Rogama mengambilkan sebuah bangku, dan Kenanga Hijau duduk di  atas bangku seraya memamerkan senyurn  yang menawan hati. Ia menunggu giliran orang yang akan melawannya. Tetapi untuk sementara waktu, belum ada orang yang berani naik ke panggung setelah tiga orang kekar mati di tangan  Kenanga Hijau. Mereka semakin banyak, bukan untuk melawan Kenanga Hijau, melainkan untuk menonton kecantikan yang sangat melemaskan lutut lelaki  itu

Salah seorang penonton berkata kepada temannya, “Kalau saja aku seorang berilmu tinggi, aku tetap segan melawan dia. Sayang kalau kulit semulus itu harus terluka.”  Temannya menyahut, “Kalau aku seorang pendekar, lebih baik kulawan dia di atas ranjang. Lebih seru, pasti!”  Orang di sebelahnya bersungut—  sungut. “Di atas panggung saja belum tentu kau menang, apa-lagi di atas ranjang.”  “Eh, biasanya, sekuat apa pun perempuan, sesakti apa pun seorang  wanita, kalau di atas ranjang pasti ia kalah. Kadang-kadang sengaja mengalah. Betul kok…!”  “Aaah…! Pikiran tidak jauh dari lutut dan perut!” gerutu orang yang ada di belakangnya

Pembicaraan kasak kusuk mereka terhenti, karena mereka melihat seorang lelaki naik ke atas panggung. Hampir semua mulut melontarkan kata:  “Hoooohh….!!” Dan lelaki yang naik ke atas panggung itu melambaikan tangan kepada penonton yang  menghoooh… itu

Lelaki itu berdada bidang dan berlengan kekar. Ia seorang pendekar  yang tinggi tegap. Ia tidak mengenakan baju, namun mengenakan celana abu-abu dengan kain pelapis warna merah. Ia  memakai sabuk hijau tebal dan lebar. Sabuk itu berguna untuk menyelipkan goloknya yang pendek namun lebar

Lelaki itu memakai ikat kepala dari kain tenun berwarna coklat kehitam— hitaman. Ia mengenakan kalung dari kain hitam di lehernya

Kenanga Hijau masih duduk di bangku dengan posisi dada tegap, menonjol ke depan

“Aku yang akan melawanmu,” kata pemuda itu dengan suaranya yang berat, sedikit serak. “Boleh saja. Siapa namamu?” “Danang Wadi!” jawabnya tegas sambil berdiri di depan Kenanga yang dalam sikap kaki terentang kokoh

“Siapa julukanmu?” “Pendekar Alas Mati!”  “Kau sudah siap untuk menanggung akibatnya jika bertarung denganku?” tanya Kenanga Hijau

“Sudah. Dan aku sudah siap juga seandainya aku menang melawanmu.” “Apa rencanamu?”  “Kau akan kujual kepada orang-orang Sriwijaya yang bertandang ke tanah Jawa ini!” Danang tersenyum berani

Kenanga Hijau angkat bahu,  “Terserah apa yang ingin kau lakukan terhadapku kalau memang kau menang melawan aku!”  Kenanga Hijau berdiri, Rogama  buru-buru menarik turun bangku yang diduduki Kenanga. Ia berjalan menyamping karena harus memperhatikan Danang Wadi, dan berkata:  “Jangan menyesal kalau nasibmu seperti ketiga orang tadi, Danang Wadi.”  “Kau akan tercengang melihat permainan dan kesaktianku, Perempuan Cantik. He, he, he…” Salah seorang penonton mengeluh  sendiri, “Huhh… belum apa-apa sudah cengengesan, tidak bakalan menang dia!”  ”Tapi agaknya lelaki itu cukup  sulit dirobohkan. Lihat dadanya yang bidang dan ototnya yang menonjol, itu sudah menandakan bahwa Kenanga Hijau  akan mampu ditekuk-tekuknya,” ujar teman orang tadi. Tapi orang tadi hanya mencibir dan berkata:  “Lihat saja…! Lagak lagunya  yang cengengesan itu tidak meyakinkan. Paling sekali gebrak, mencret!”  Lalu, kedua orang itu saling terpukau melihat suatu pertarungan  yang mengagumkan. Danang Wadi berkali-kali melompat sambil berguling. Goloknya dikibaskan ke sana sini

Kakinya hanya sesekali menyentuh lantai panggung. Ia lebih sering bermain di udara ketimbang menyerang dalam posisi kaki menginjak lantai

Kenanga Hijau seperti berkelahi melawan seekor gagak hitam. Ia harus  mendongak berkali-kali dan mengibaskan pedangnya ke atas. Tapi tak satu pun kibasan pedangnya mengenai tubuh  Danang Wadi. Bagi Kenanga, pertarungannya kali ini cukup unik. Jurus-jurus yang dimiliki Danang Wadi juga cukup sulit diterka

“Hiaaaat…!!”  Teriakan itu lebih sering  terlontar dari mulut Danang Wadi,  sebab ia lebih sering menyerang dengan lompatan dan bersalto ke atas Kenanga

Sesekali kenanga memahg mengimbangi lompatan-lompatan itu, namun sejak tadi pukulan dan tendangannya tak ada yang menyentuh kulit Danang Wadi

Demikian juga Danang Wadi, tak sekali pun pernah menyentuh rambut Kenanga Hijau. Namun golok dan pedang mereka memang sering beradu keras, menimbulkan percikan api yang mengerikan penonton bagian depan

Suatu kesempatan, Danang Wadi berhasil menendang pundak belakang Kenanga Hijau setelah ia bersalto melewati atas kepala Kenanga, dan menjejak ke belakang seperti kuda ngamuk. Kenanga nyaris tersungkur ke depan, tapi ia segera berguling sehingga wajah cantiknya tak sempat berbenturan dengan lantai panggung. Danang Wadi tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia ikut berguling ke arah Kenanga dengan pedang siap di  tangan. Namun Kenanga cepat melejit ke samping, dan menghindari bacokan golok pendek yang lebar itu. Golok Danar  Wadi menancap pada papan lantai  panggung. Kenanga hendak menyerangnya, namun karena kaki Danang lebih panjang, maka dengan sekali tendang  kaki itu tepat mengenai pinggang Kenanga. Tubuh Kenanga pun meliuk kesakitan

“Wah, gawat…! Patah tuh tulang  iga Kenanga…!” teriak salah seorang penonton yang ada di barisan depan

Mereka jadi cemas. Mereka merasa  sayang kalau sampai Kenanga dikalahkan lawannya. Kecemasan mereka meningkat, sebab  Danang Wadi segera bangkit dan berhasil mencabut goloknya yang menancap di papan lantai panggung

Danang Wadi segera menyerang Kenanga dengan tendangan kaki kiri yang mengenai ketiak Kenanga, dan disusul tendangan kaki kanan yang mengenai perut Kenanga. Tubuh perempuan cantik itu terpental, hampir saja jatuh ke panggung seperti ketiga musuhnya tadi. “Menyerahlah, Kenanga…! Kau  sudah mulai lemah!” kata Danang Wadi yang berdiri di tengah arena dengan gagahnya, Ia menunggu Kenanga bangkit

Ia masih membujuk Kenanga:  “Akuilah kekalahanmu…! Jangan sampai kau kalah lalu mati, apa gunanya pertarungan ini kalau begitu?” Kenanga berdiri dengan tegap,  menarik napas panjang-panjang. Lalu ia tersenyum setenang tadi. “Aku hanya menjajal kekuatanmu,  Danang Wadi! Tak ada kamus kalah dalam diriku. Kau harus tahu akan hal itu, Danang Wadi. Dan sekarang… mari kita lanjutkan pertarungan ini. Bersiaplah mati dengan cara senyaman mungkin…!  Hiaaat…!” Kenanga melesat dalam posisi kaki kanan siap menendang sedangkan kaki kiri terlipat ke  selangkangannya. Gerak tangannya bagai tarian pengibas pedang; kedua tangan itu berada di bagian kiri tubuhnya

“Traang…!”  Danang Wadi berhasil menangkis kibasan pedang Jatayu, dengan menggerakkan goloknya ke atas. Lalu tangan kiri Danang segera menghantam  pinggang samping kanan Kenanga. Buru— buru Kenanga merapatkan sikunya dan menahan pukulan itu sambil tangan kirinya mencabut sarung pedang. “Sreet…!”  Ujung sarung pedang yang berwarna kuning emas itu  ternyata mampu  mengeluarkan pisau kecil. Pisau kecil itu merobek leher Danang Wadi tanpa ampun lagi. Tentu saja Danang Wadi terpekik tertahan. Mulutnya ternganga dan tangan k-nannya yang masih memegangi golok ikut membantu tangan kirinya, menutup luka yang ada di  leher. Tetapi, agaknya leher itu robek dalam keadaan lebar dan dalam. Mata Danang Wadi terbeliak-beliak

“Grook… grrook…!”  Suara nafasnya begitu mengerikan. Ia masih bertahan berdiri. Goloknya jatuh, mengenai kakinya. Ia makin  membelalakkan mata. Lalu ia berlutut sambil masih memegangi lehernya yang bagai digorok ujung sarung pedang Kenanga

Seperti lawan-lawannya yang sudah, Kenanga selalu mengakhiri pertarungannya dengan menendang lawan sekuat tenaga. Danang Wadi terlempar  ke luar arena. Ia menggelepar-gelepar sejenak, kemudian tubuhnya kaku dan tak bergerak lagi. Penonton yang nyaris kejatuhan tubuh Danang Wadi  tadi menjerit ketakutan dan berlari ke tempat lain. Penonton yang lainnya terbengong—  bengong setelah sama-sama berseru:  “Hooohh?!” Sebagian penonton mengerumuni mayat Danang Wadi, sebagian lagi tetap memandang ke atas  arena. Kenanga menyarungkan pedangnya. Pisau kecil yang mencuat dari ujung sarung pedang itu telah masuk kembali dengan sekali tekan bagian tertentu  dari sarung pedang itu. Segera Kenanga menghirup udara banyak-banyak dan melepaskannya pelan-pelan. Ia  memulihkan ketenangan pada dirinya. Sikapnya berdiri tetap tegap, merentangkan kaki berbetis indah, seakan menantang pertarungan  selanjutnya. Rogama datang membawakan  bangku dan Kenanga pun duduk di bangku itu dengan senyum seperti tadi: mengagumkan. Senyum yang mampu membuat penonton terkesima dan mendesah penuh arti

Rogama berseru kepada penonton, “Barang siapa yang masih ingin mencoba, silakan naik ke arena. Kita bertarung secara kesatria. Putri Kencana Hijau, siap menunggu uluran nyawa Saudara-saudara…!”  Kasak kusuk dan perguncingan semakin banyak. Bergemuruh seperti lebah hutan berpesta pora. Rogama masih bicara dengan suara kian keras untuk mengimbangi suara gemuruh masyarakat di sekelilingnya. Bahkan kini kedua telapak tangannya diletakkan di tepian mulut, sebagai corong pengeras suara. la bicara sambil berputar ke empat arah. “Barang siapa yang mempunyai kesaktian, pusaka, pedang ampuh, mari… silakan diuji di sini. Kami  akan me rasa mendapat kehormatan besar jika Saudara-saudara mau menguji pusaka yang anda miliki. Ayo, jangan  takut. Hadiahnya tidak tanggung— tanggung Putri Kencana Hijau. Beliau ini cantik, sakti dan… masih perawan! Asli! Saya berani sumpah, sebab saya belum pernah memakainya…!”  “Paman…!” bentak Kencana merasa tersinggung

Rogama ketakutan, lalu berteriak  kepada penonton, “Maksud saya… saya belum pernah memakai pedang Jatayunya itu.” “Huuuhh…!” beberapa penonton mencucu sambil terkekeh sejenak

Kasak kusuk mereka saling memuji  dan mengagumi Kenanga. Namun di antara sekian banyak penonton, ada seorang penonton yang dari tadi hanya diam  saja dan garuk-garuk kumisnya yang lebat

Lelaki itu mengenakan baju model jubah berwarna merah dan celana biru muda dan ikat pinggang hijau tua

Rambutnya panjang tak teratur diikat kain merah, Badannya agak gemuk, perutnya sedikit membuncit dan pusernya melotot keluar bagai  membelalak. Melihat kegema-annya yang sejak tadi makan jagung bakar, sudah jelas dia adalah tokoh dunia  persilatan : Suro Bodong

Sejak tadi tak sepatah kata pun  yang keluar dari mulutnya. Sejak tadi  ia memperhatikan pertarungan Kenanga sambil mengunyah jagung bakar dan sesekali garuk-garuk kumisnya. Pandangan matanya begitu tajam, tapi sikapnya tetap tenang. Ia tidak mau ikut bersorak, atau bertepuk tangan

Bahkan ketika ada seorang anak muda menyapanya:  “Bapak tidak berminat naik panggung, Pak?”  Suro Bodong tidak menjawab. Anak muda itu memperhatikan dengan tegas. Lalu bertanya lagi dengan suara lebih keras, karena mengira Suro Bodong tuli

“Bapak tidak berniat naik panggung, Pak?!!”  Suro Bodong masih tenang saja

Cuek. Ia mengunyah jagung bakar yang digeragotnya dengan seenaknya. Anak muda itu juga penasaran. Ia pikir, ia berhadapan dengan orang gila yang tuli

Sebab itu ia menepak pundak Suro Bodong

Tetapi di luar dugaan, dan tak sempat dilihat oleh mata anak muda itu, tangan Suro Bodong telah menangkap dan menekuknya hingga si anak muda meringis kesakitan. “Berani menyentuhku, kucabuti  semua rambutmu!” geram Suro Bodong, kemudian melepaskan tangan anak muda itu

Sambil meringis dan memijit-mijit pergelangan tangannya, anak muda itu berkata dalam ketakutan:  “Saya cuma bertanya. Mau bertanya kepada Bapak; apakah Bapak punya niat naik apa tidak. Cuma begitu.”  “Naik apa? Naik kuda?! Apa kau  membawa seekor kuda?” kata Suro Bodong yang tak mengerti maksud anak itu. “Maksud saya, naik panggung, Pak

Naik panggung itu,“seraya anak muda menuding tempat arena

Suro Bodong memetik-metik biji jagung dengan jempol tangannya dan menggerutu, memandang Kenanga: “Naik panggungg… naik panggung… apa kau kira aku ini ledek, yang sering menari di atas panggung?”  Anak muda itu berani juga,  rupanya. Ia masih berdiri di samping Suro Bodong, memandang mata Suro Bodong yang kemerah-merahan. Lalu berkata lagi: ”Panggung itu kan arena  pertarungan, Pak. Bukan panggung untuk ledek dan ketrung!” “Pertarungan apa?” Suro Bodong menoleh ke anak itu. “Pertarungan antara pendekar  melawan… itu, Putri Kenanga Hijau. Masa Bapak tadi tidak melihatnya

Sepertinya dari tadi Bapak ada di samping saya dan memandang ke sana…” Anak itu merasa heran, lalu Suro  Bodong berbisik:  “Sejak tadi aku tidak merasa melihat suatu pertarungan.” Anak itu berkerut dahi. “Jadi yang Bapak lihat apa?”  “Orang-orang menari dan bermain dagelan!”  Anak muda itu tertegun beberapa lama. Dalam hatinya ia masih belum mengerti, mengapa Suro Bodong  mengatakan melihat tarian dan dagelan. Padahal jelas ada korban empat orang dari pertarungan sejak tadi. Bahkan, kemarin pun acara itu juga ada. Anak muda itu juga melihat. Bukan hanya melihat pertarungan, namun sempat pula melihat Suro Bodong di seberang panggung, jauh darinya. Dan semua  orang juga mengakui, bahwa apa yang ada di atas arena itu adalah  pertarungan maut. Tetapi mengapa orang yang diajaknya bicara itu, yakni Suro Bodong, mengatakan itu sebuah tarian  dan dagelan. Lawak! Badut, dan sejenisnya

“Aneh sekali penglihatan mata  orang ini,” pikir anak muda itu. Ia tak tahu bahwa yang dia dengar dari Suro Bodong itu adalah anggapan saja

Anggapan dari Suro Bodong tentang atraksi di atas panggung. Pertarungan antara Kenanga dengan beberapa  pendekar dari kemarin sampai hari ini, dianggap hanya sekedar tarian dan banyolan oleh Suro Bodong. Ia tidak  merasa kagum dan terpesona dengan pertarungan itu. Dia hanya ingin melihat, siapa yang akan mampu mengalahkan perempuan cantik yang sombong itu? Karenanya dari kemarin sampai hari ini Suro Bodong selalu hadir dan mengikuti acara tersebut

Dalam usia 40 tahunan, kurang  lebih, Suro Bodong masih bisa menilai kecantikan seorang perempuan. Kenanga diakui kecantikannya, namun hati kecilnya tetap mengakui kecantikan  Ratna Prawesti, kekasihnya yang sedang dicari ke mana perginya. Bagi Suro Bodong, tak ada perempuan cantik di  permukaan bumi ini, selain Ratna Prawesti, anak seorang bupati Jangga,  yang telah dibantai satu keluarga oleh Gerombolan Topeng Setan. Tetapi, ia tidak menemukan bangkai kekasihnya

Berulangkali ia berurusan dengan  orang-orang Gerombolan Topeng Setan, namun tak sekali pun ia melihat ada tanda-tanda gerombolan itu menyembunyikan Ratna Prawesti. Hanya saja, betapa pun juga jadinya, Suro Bodong tetap menaruh kewaspadaan kepada Gerombolan Topeng Setan yang diketuai oleh seseorang yang bernama Banyupati. Sekali ia melihat gelagat adanya tanda-tanda bahwa Ratna Prawesti disekap atau disembunyikan oleh gerombolan itu, maka dengan  sekuat tenaga Suro akan menumpas habis semuanya

Tiba-tiba orang yang mengelilingi panggung itu bertepuk tangan. Bahkan ada yang bersuit dan tertawa. Oh, rupanya ada anak muda yang naik ke panggung dengan barinya. Mata Suro Bodong membelalak dengan mulut  terperangah. Anak itu adalah anak muda yang tadi ditekuk pergelangan tangannya

“Bocah edan..!” geram Suro Bodong dengan gemas. “Berani-beraninya dia naik ke arena itu?”  Anak tersebut masih muda sekali usianya, Kira-kira baru 15 atau 16 tahun umurnya. Pakaiannya biasa, celana dan baju pangsi warna putih kusam. Orang bilang, ia masih hijau

Tapi ia sudah berani naik ke arena dan menantang Kenanga Hijau. Karena itu banyak penonton yang berceloteh macam—  macam

“Hoi, Tong… ini bukan tempat adu jangkrik…!”  “Nyawa cuma sedikit dibuang— buang. Payah kamu, Tong!” “Kalau menang mau buat apaan gadis itu, Tong? Buat diambil istri, ya?”  “Alaaah… kencing belum lempeng saja sudah mau kawin!”  “Hoi, kamu mau bertarung apa mau netek, Gus…?!” teriak seorang bapak dari sudut sana. Dan banyak lagi teriakan orang yang lainnya. Namun  anak muda itu tetap berdiri di atas panggung dengan cengar cengir tak meyakinkan. Ia tidak peduli seruan orang yang menjatuhkan keberaniannya. Ketika Kenanga berdiri dan menyampanya, anak muda itu masih memperlihatkan nyali yang cukup besar. Ia cengar cengir seperti malu-malu kucing

“Kau penantangku berikutnya?” tanya Kenanga

“Ya. Boleh tidak, Mbak?”  Penonton tertawa. Bahkan Kenanga tersenyum geli seraya memandangi anak muda itu. Sedangkan yang dipandang hanya tersipu-sipu sambil menunduk. “Mana senjatamu?” tanya Kenanga

Anak muda itu semakin tersipu  malu, lalu berkata dengan jelas, “Masa harus dikeluarkan di sini. Malu ditonton orang banyak, kan?!”  Penonton semakin gerr…!  Tertawa, ada yang terbahak-bahak, dan  ada yang sampai terbatuk-batuk. Mereka bertepuk tangan. Mereka menjadi segar, bersemangat. “Anggap saja selingan dagelan…!” ujar seseorang. Mereka menjadi reda setelah  Kenanga berkata, “Kau akan mati jika tanpa senjata.” “Ah, buktinya yang pakai senjata  juga mati. Untuk apa aku punya senjata,” jawab anak itu

Kenanga geleng-geleng kepala. “Nyalimu cukup besar. Kau tidak takut mati?”  Anak muda itu menggeleng. “Kata  ayahku, mati sekarang atau besok, sama saja.”  Kini, Kenanga Hijau manggut-manggut. Sejenak Rogama naik ke panggung dan berbisik kepada Kenanga

“Jangan ladeni anak ini, Putri. Buang-buang tenaga!” “Biarkan, Paman. Siapa tahu dia  lebih hebat dari yang sudah-sudah. Siapa tahu juga dia yang kucari.” Kemudian, setelah Rogama turun sambil membawa bangku, Kenanga bertanya kepada anak muda itu: “Siapa namamu?”  “Saga!” jawabnya tegas. “Saga…?! Hemm… nama julukanmu?” Saga kelihatan berpikir bingung. Orang-orang mengikik, tertawa tertahan. Lalu, Saga menjawab seenaknya saja:  “Pendekar… Pendekar… Pendekar Untung-untungan…!”  Tawa penonton menjadi lebih keras. Kenanga menegaskan:  “Sebenarnya kau pendekar apa bukan?”  Saga menggeleng. “Bukan. Tapi… tapi saya ingin melawan situ.” “Kalau kau menang, mau apa? Mau menjadi suamiku?”  Saga menggeleng. “Mau minta duit yang banyak!”  “Minta uang?!” Kenanga berkerut heran dan kagum. “Ya. Kalau Mbak tidak mau  memberiku uang, ya sudah. Saya turun saja…!”  “Baik! Kalau kau menang, selain uang, semua perhiasan dan harta  milikku menjadi kepunyaanmu!” kata Kenanga

Saga tertawa girang, nyaris  melonjak. Sedangkan di bawah pohon  sana, Suro Bodong garuk-garuk kumisnya yang tebal. Ia masih menggumam keheranan

“Mari kita mulai. Bersiaplah…!” tantang Kenanga. Ia segera mengambil jarak dan bersiap memainkan jurus  pembuka. Saga masih menyeringai, ikut-ikutan pasang gaya dengan kaki mengangkang dan kedua tangan mengepal  di pinggang. Kaku sekali

Kenanga memutar ke kanan, Saga memutar ke kanan dengan kaki masih mengangkang dan merendah. Orang-orang  menertawakan. Suro Bodong geleng-geleng kepala sambil makan jagung bakar

“Hiaat…!” Kenanga menghentak. Saga kaget dan nyaris jatuh. Tapi ia segera berdiri seperti tadi: kaki  mengangkang rendah dan kedua tangan mengepal di pinggang kanan kiri. Jika Kenanga bergerak perlahan ke arah kiri, ia berjalan perlahan ke arah  kiri juga, demikian pula sebaliknya. Tiba-tiba kaki Kenangan maju ke depan. Kaki kiri maju dan kaki kanan menendang dada Saga. Saga berusaha  menangkisnya, namun terlambat. Dadanya terhentak kaki Kenanga dengan keras. Ia terjengkang ke belakang. Wajahnya menjadi pucat dan mulutnya cengap-cengap mencari udara. Ia berusaha untuk berdiri. Lalu pasang gaya  seperti tadi: kaki mengangkang dan merendart, kedua tangan mengepal di samping. Kenanga mengendurkan tangannya. Kini ia berjalan mendekati Saga dan menendang wajah Saga dengan  kaki kiri. Saga gelagepan, menggeragap karena pendangan matanya tiba-tiba menjadi gelap akibat terkena tendangan kaki kiri Kenanga yang begitu cepat. Kenanga tersenyum bangga

“Jangan… jangan cepat-cepat,  Mbak..” Saga sempat berkata begitu sambil mengibaskan kepalanya Tetapi Kenanga segera menghantam  dada Saga dengan pukulan tangan kirinya

“Buuk…!” Lalu tangan kanannya menghantam perut Saga: “Buuk…!” “Huugh…!” Saga mendelik dan susah bernapas. Matanya membelalak, wajahnya merah. Mulutnya semakin  cengap-cengap. la terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perut. Nyalinya memang besar, tapi ngawur. Ia maju, mendekati Kenanga. Lutut Kenanga menghentak ke atas ketika Saga mau memeluk perut Kenanga. Hentakan lutut mengenai wajah Saga, lalu hidung anak itu berdarah

Kenanga tidak memberi ampun sedikit pun, ia segera memukul pipi Saga. Kenanga menendang lagi perut anak itu hingga Saga terguling-guling. Berteriak pun ia tak mampu. Tetapi Kenanga tetap akan membunuhnya. Ia melompat dan hendak menginjak dada Saga

“Gilaaa…!!” seru Suro Bodong dengan mata melotot. 2  SURO BODONG segera melompat ke  arena dan berguling dua kali di atas  lantai panggung. Tepat ketika itu kaki Kenanga menghentak ke arah dada Saga

Kaki kanan Suro Bodong menahan hentakan kaki Kenanga. Kedua telapak  kaki itu tepat beradu, dan Suro Bodong menghentak ke atas. Kenanga terpental tinggi, kemudian ia segera bersalto  dan mendarat dengan kaki yang sempurna

Tepuk tangan penonton menjadi riuh. Ada yang berseru:  “Ini baru hebat…!”  Suro Bodong mencengkeram baju  Saga dalam posisi masih merangkak, dan wajahnya dekat dengan Saga. Ia membentak:  “Kamu edan betul apa, gila sungguhan, Bangsat!!”  Saga meringis kesakitan dan berusaha untuk bernafas. Pada saat  itu, Kenanga menyerang Suro Bodong dengan tendangan kaki kanan ke arah punggung Suro Bodong. Tetapi sambil  mengomeli Saga, Suro Bodong tetap bisa mengadukan telapak kakinya dengan telapak kaki Kenanga. Dan hentakan kaki Suro Bodong begitu cepat serta kuat, sehingga kali ini Kenanga terpental sampai terjatuh di lantai panggung

Suro Bodong jengkel sekali kepada Saga. Ia mencengkeram baju Saga dan  menentengnya untuk berdiri. Ia berseru hingga ludahnya muncrat: “Anak sinting! Bodoh…! Kalau  tidak punya ilmu silat jangan sombong di atas panggung ini, tahu?!” “Lepaskan anak itu! Dia harus kubunuh!” teriak Kenanga seraya menyerang Suro Bodong lagi

Tetapi Suro Bodong bagaikan tidak mendengar kata-kata Kenanga. Ia tetap marah-marah kepada Saga

“Nyawamu cuma satu, tolol! Jangan sia-siakan untuk berbuat bodoh! Kata orang begitu!”  Sambil tangan kanan Suro Bodong menangkis pukulan dan tendangan Kenanga, tanpa ia menoleh ke arah Kenanga

”Senjata manusia bukan hanya nekad seperti kamu!”  Seraya kakinya menjejak ke samping dan mengenai paha Kenanga. Kenanga semakin penasaran. Ia menyerang dengan pukulan tangan kanan dan tangan kiri maju bersama. Tetapi  Suro Bodong masih melotot ke arah Saga yang cengap-cengap. “Bodoh sekali kau ini, hah?!”  Sambil ia menggerakkan tangan dan kakinya untuk menangkis serangan Kenanga

“Kalau kau tidak bisa silat,  jangan coba-coba menyerang tahu?” Suro Bodong berkata kepada Saga tapi tangannya memukul siku Kenanga dengan  keras

“Auuw…!” Kenanga menjerit kesakitan. Ia segera mengambil posisi dari depan Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong tidak menyambutnya dengan terang-terangan. Ia bahkan memutar tubuh yang ditentengnya seraya berkata:  “Kalau kau mati, apa untungmu?  Kalau kau menang, itu mustahil tahu?!” Tepat pada saat itu Suro Bodong menggerakkan kaki kanannya ke samping. Gerakannya begitu cepat dan beruntun. Tujuh kali tendangan beruntun itu  mengenai dada Kenanga. Tak seorang pun tahu bahwa sebenarnya Suro Bodong telah menyerang Kenanga dengan jurus  tendangan Ayam Kawin

Tubuh Kenanga yang limbung ke  belakang dengan memuntahkan darah dari mulutnya masih tidak diperhatikan Suro Bodong. Ia bahkan menenteng Saga turun panggung sembari masih mengomel tak  karuan. Yang diomeli hanya mendesah dan mengerang samar-samar. ”Tunggu…! Kau telah melukaiku!  Kau harus mati…!” teriak Kenanga sambil mengejar Suro Bodong. Ia mencabut pedangnya dan melayangkan  tubuhnya dalam posisi kedua tangan memegangi pedang yang teracung ke depan, ke arah punggung Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong tidak mau menoleh sedikit pun sekali pun banyak orang berteriak,  “Awass…!” Suro Bodong hanya meletakkan tubuh Saga ke lantai pinggir. Tepat pada saat itu tubuh  Kenanga dan pedangnya meluncur di atas kepala Suro Bodong. Ia menggerakkan tangan kanannya ke atas dengan cepat  dan keras. Pukulan itu mengenai perut Kenanga sehingga perempuan itu melintir ke samping dan jatuh tak  mampu menjaga keseimbangan tubuh. Suro Bodong pun segera melesat membawa lari Saga dari arena

Rogama tidak mau tinggal diam, ia segera melesat juga mengejar Suro  Bodong. Gerakannya kurang lincah namun cukup berani. Ia melompati kepala demi kepala penonton yang dijadikan tumpuan kakinya. Ia berteriak-teriak kepada  Suro Bodong:  “Hei, berhenti…! Berhenti! Kalian harus mati dulu baru boleh lari…! Berhentttiii…!!”  “Buk..! Plak…! Pletok..!”  “Bangkai busuk! Kepala orang buat injak-injakan…! Kucing kudis…! Monyet peot…! Sapi…! Kuda…!  Semut…!”  Semua orang mencaci maki Rogama yang melompat dari kepala ke kepala. Mereka menyerang Rogama dengan cara apa pun. Ada yang memukul, ada yang menghantam dengan kayu, ada yang melempar batu, bahkan ada yang rela kehilangan sandal bandolnya untuk melempar muka Rogama. Akibatnya,  Rogama terhambat beberapa saat. Namun  kemudian ia dapat lolos dari keroyokan massa dan berlari lagi mengejar Suro Bodong

Suro Bodong menyembunyikan Saga  di belakang sebuah lumbung padi milik orang. Ia membersihkan darah dengan baju Saga yang dilepasnya. Ia masih mengomel terus sekali pun Saga sudah melontarkan kata maaf berulangkali

“Kalau punya otak dipakai. Jangan dibiarkan membeku di kepalamu! Kenanga itu bukan orang sembarangan buat orang awam. Dia berdarah pembunuh. Sadis

Kau bisa mati tanpa jasa apa pun jika melawannya! Apalagi kau tidak mempunyai ilmu silat sedikit pun

Tahu?! Tahu kau?!”  “Sa… saya… saya hanya ingin menari dengannya, seperti kata Bapak tadi…” jawab Saga

“Menari, menari…!” gerutu Suro Bodong. “Aku mengatakan mereka menari, karena aku menganggap ilmu silat  mereka belum seberapa dibandingkan  dengan ilmu silatku. Tahu?! Dasar otak udang…!” “Maaf, Pak. Saya…  saya…  uuhhg…!” Saga nyaris terbatuk lagi. ”Sudah diam…! Jangan banyak  bicara dan bergerak…!“bentak Suro Bodong. Kemudian ia menelentangkan tubuh Saga di tanah berjerami

Suro Bodong memeriksa keadaan sekeliling sebentar, ternyata aman

Sepi. Maka segera Suro Bodong meludahi tangan kanannya tujuh kali. Telapak tangan yang sudah diludahi itu segera diusapkan ke dada Saga dengan gerakan memutar perlahan-lahan Tujuh kali  berputar ke kanan, tujuh kali ke kiri, dan begitu dilakukannya berulang-ulang. Sambil melakukan hal itu, Suro Bodong memejamkan mata. Memusatkan  pikiran untuk menyalurkan hawa murni ke tubuh Saga. Mulanya Saga masih mengerang menahan rasa sakit, tapi lama-lama erangannya berganti desah  dengan nafas lega, lalu semakin hilang desahannya, dan diam. Tenang. Ia bagai tertidur dengan nafas teratur. Tapi  tidak tidur sebenarnya. “Bagaimana rasanya?” ”Yaah… lega dan ringan, Pak…”  “Jangan panggil aku: Pak. Aku belum pernah kawin dengan ibumu!  Panggil saja… ah, terserah kamu. Aku salut dan kagum dengan keberanianmu yang gila-gilaan itu. Aku suka sama  keberanianmu. Mulai saat ini kita  berteman. Mau?” Suro Bodong sedikit tersenyum. Saga mengangguk “Atau anggap saja aku kakakmu

Mau?”  Saga mengangguk dan mengerlingkan mata

“Jangan genit! Tak perlu mengerlingkan mata segala!” kata Suro Bodong seraya menepuk pipi Saga. Tapi anak muda itu masih mengangguk dan  mengerlingkan mata

“Apa-apaan kamu ini? Genit amat seperti perempuan saja!”  Saga masih mengangguk dan berkerling. Suro Bodong mendengus kesal. Ia berkata:  “Namaku Suro Bodong, kau boleh saja me…” Suro Bodong berhenti berkata setelah ia berdiri dan  berbalik ke arah belakangnya. Ternyata di sana telah berdiri Rogama dengan beberapa bekas memar akibat keroyokan  massa tadi. Rogama memandang Suro Bodong dengan sorot kemarahan yang masih ditahan kuat-kuat dan akan segera diledakan di situ

Suro Bodong tertawa sendiri di dalam hati. Ia garuk-garuk kumisnya

Pantas Saga sejak tadi mengangguk dan berkerling mata. Rupanya anak itu memberi isyarat, bahwa di belakang Suro Bodong telah berdiri musuh yang siap melampiaskan kemarahan. Suro Bodong geli sendiri karena mengira Saga berlaku genit. “Mau lari ke mana kau,  Pengecut?!” geram Rogama. Suro Bodong garuk-garuk kumis sebentar. “Lariku tak akan jauh

Tenang saja,” kata Suro Bodong kepada Rogama. “Karena kau sudah melukai, dan  anak itu sudah berani menantang Putri Kenanga, maka kalian berdua harus mati!”  “O, ya? Ah, aku tidak tahu kalau ada peraturan seperti itu, Paman…”  Suro Bodong ikut-ikutan memanggil ‘Paman’ karena’ia mendengar Kenanga memanggil Rogama: Paman

“Supaya kau mati dengan jantan, lekas pergi ke arena dan hadapi Putri Kenanga.”  “Aku bukan pendekar sombong seperti lawan-lawan Kenanga. Aku pendekar baik-baik saja. Jadi, aku  tidak mau pergi ke arena dan bertarung dengan Kenanga. Lagi pula, kalau toh aku menang, percuma. Aku tidak  bernafsu mendapatkan perempuan seperti Kenanga itu!” Suro Bodong mencibir sinis, sengaja menonjolkan kesombongannya untuk menghina Rogama. Dan hal itu  membuat Rogama semakin panas hati. Ia menggeram dengan tangan mengepal kencang

“Bicaramu sudah melampaui batas kesabaran, Kadal! Mau tak mau aku sendiri yang harus meremukkan mulutmu. Hiaat…!”  Rogama menyerang dengan tendangan lurus ke depan, ke arah dagu Suro  Bodong. Suro Bodong hanya menggerakkan dadanya miring ke samping sedikit ke belakang. Kedua tangannya masih tetap  terjulur ke bawah dengan lemas. Pada saat tendangan itu melesat mengenai  tempat kosong, kaki kiri Rogama segera menyusul dengan tendangan lompat ke arah kepala Suro Bodong

“Kadal buntung, rasakan tendangan yang ini, hiaat…!”  Suro Bodong memiringkan badannya lagi ke samping lain. Ia hanya mengelak, tidak menangkis atau pun memberi serangan balasan. Dan waktu kaki Rogama yang molos lagi, tidak mengenai sasaran itu melesat, kaki tersebut segera bergerak ke samping kanan sebelum kembali ke tanah. Suro Bodong merendahkan badan dengan cepat, dan kaki Rogama lewat di atas kepalanya bagai kibasan pedang. Begitu kaki itu sampai ke tanah, Rogama melancarkan pukulan gandanya ke arah  wajah Suro Bodong. Namun Suro Bodong hanya berkelit meliukkan badannya ke kanan dan ke kiri sehingga pukulan  Rogama tak satu pun ada yang menyentuh kulitnya. “Kang…. serang dia, Kang  Suro…!” seru Saga yang masih duduk di tanah berjerami, bersandar dinding belakang lumbung tersebut

Rogama melesat ke atas. Badannya  yang gemuk seperti karung beras hendak jatuh dari langit. Tetapi gerakan kakinya yang lurus ke samping cukup  membahayakan bagi Suro Bodong. Karena  itu Suro Bodong buru-buru berguling ke tanah menghindari tendangan tersebut. Tapi pada saat itu, ketika tubuh  Rogama melayang ke atas dan Suro Bodong berguling di bawahnya, Rogama mengibaskan tangan kanannya. “Juub…!”  Sebuah senjata rahasia berbentuk  segi tiga dari lempeng baja yang tajam menancap di tanah, tepat beberapa mili dari pinggang Suro Bodong. Hampir saja pinggang Suro Bodong ditembus senjata  rahasia berbentuk segi tiga sama sisi itu. Suro Bodong terbengong sejenak melihat tanah yang dipakai menancap senjata tersebut mengeluarkan asap kuning kusam. Suro Bodong terbengong segera meloncat menjauhi asap  tersebut. Matanya masih belum berkedip memandang senjata rahasia Rogama yang aneh, sebab benda tersebut kini  menjadi merah membara, seperti besi dipanggang dalam api yang panas

Kemudian jerami di sekitar senjata itu ada yang hangus dan nyaris membakar sekelilingnya. Suro Bodong segera  menginjak-injak api tersebut. Andai tidak begitu, tentu akan terjadi kebakaran di lumbung tersebut, dan lumbung itu pun dapat terbakar semuanya

“Suro…!” sapa Rogama yang tadi mendengar Saga memanggil lawannya dengan sebutan: Kang Suro. “Kuingatkan sekali lagi, Suro, pergilah ke arena secepatnya dan matilah di sana dengan  terhormat. Jangan kamu mati di sini karena senjataku itu. Kau akan mati tanpa kemegahan, tau?!”  ”Terima kasih atas saranmu,  Paman. Tapi aku lebih suka kalau kau mati di sini dulu, baru aku akan ke  sana menemui Kenanga dan melaporkan  kebodohanmu!” Suro Bodong tersenyum sinis. Ia garuk-garuk kumis sebentar. Rogama menggeram kesal. “Benar-benar tak patut diberi kesempatan kau, Suro…! Jangan  menyesal kalau kau mati di sini juga, hiaaat..!”  Rogama melompat ke atas seolah— olah hendak menyerang dengan tendangan. Tapi sebenarnya Rogama hanya sekedar mengguncangkan  konsentrasi Suro Bodong, dan segera ia melayangkan senjata rahasianya yang berbentuk lempengan baja segi tiga  itu

“Zeeet… suiing…!”  Senjata itu meluncur dengan kecepatan yang tak terjangkau oleh penglihatan mata manusia biasa. Tapi karena Suro Bodong sudah terlatih untuk melihat gerakan angin, maka ia segera merundukkan kepala dan membiarkan senjata segi tiga sebesar tutup gelas itu melesat melewati samping telinganya. Senjata itu melayang lurus dan menancap pada sebuah pohon yang jauh dari tempat mereka bertarung. Suro Bodong berguling ke tanah beberapa kali. Lalu tubuhnya berhenti tepat di bawah kaki Rogama. Segera kaki Suro Bodong melancarkan jurus Tendangan Ayam Kawin yang cukup membuat lawan kewalahan, dan tadi sempat membuat Kenanga tak mampu mengelak

Tendangan itu begitu cepat dan bergerak tujuh kali secara beruntun. Dari tendangan kaki kiri, ganti kaki kanan tujuh kali menendang beruntun dengan cepat sekali. Rogama menggeragap dan tak sempat berteriak kecuali mengangakan mulutnya. Posisi tubuh Suro Bodong masih seperti  telentang di tanah dengan menggerakkan kakinya ke atas, mengenai paha, perut dan selangkangan Rogama. Lalu ia  segera berdiri menghadapi Rogama yang limbung

âItu yang namanya Tendangan Ayam Kawin, tahu?! Sekarang kau harus merasakan jurus Keringat Onta ini, haeeet…!”  Suro Bodong menggerakkan kedua tangannya bersimpang siur di depan mata, lalu meludahi kedua telapak tangannya masing-masing tujuh kali

Kedua telapak tangannya itu dimasukkan ke dalam baju jubahnya, disekapkan pada ketiaknya, kemudian tangan  kirinya segera menampar mulut Rogama,  disusul dengan tangannya yang mencengkeram hidung dan mulut Rogama

Lelaki gemuk bertubuh agak pendek itu menggelepar-gelepar sejenak. Matanya melotot, tangannya masih memegangi bagian selangkangan. Lalu lelaki itu melemas. Matanya sayu, dan ia jatuh  terkulai dalam keadaan pingsan. Itulah kehebatan jurus Keringat Onta dari Suro Bodong, di mana lawan akan  terbius pingsan jika mencium bau dari keringat dan ludah Suro sendiri. Itu memang jurus yang jarang dipakai oleh Suro sebab menjijikkan. Tapi jika terpepet, apa boleh buat, daripada ia membunuh lawannya

“Ayo, lekas kita tinggalkan  tempat ini!” ajak Suro kepada Saga yang masih terbengong heran memandang Rogama yang pingsan itu

“Kang, ilmumu hebat juga, ya?” “Ah, sudah…! Jangan banyak memuji. Lekas kita pergi, Saga…!” Suro Bodong menarik tangan anak muda itu

“Ke mana kita pergi, Kang Suro?” “Ke…?” Suro Bodong kebingungan. “Ke mana sajalah..!”  “Bagaimana kalau ke rumahku?” usul Saga

“Boleh. Eh, lihat itu…” Suro Bodong menuding ke arah di depan lumbung padi tempatnya tadi. “Dia mencari kita, Saga. Untung kita cepat pergi…”  Seorang perempuan berpakaian serba hijau berjalan pelan dan clingak-clinguk. Dia adalah Kenanga  Hijau yang tentu mencari kepergian Rogama, pengawalnya. Suro Bodong menyelinap di antara tumpukkan batu  bata yang belum dibakar. Ia melewati rumah orang bagian belakang, bahkan  terbungkuk-bungkuk menyelusup di bawah jemuran pakaian basah. “Kenapa kau kelihatannya takut  dengan perempuan itu, Kang?” tanya Saga. “Padahal aku yakin kau bisa menang jika bertarung melawannya. Ilmu silatmu cukup hebat.”  “Aku curiga pada dia. Pasti ada sesuatu yang ia inginkan. Ia punya rencana sendiri, sehingga ia harus menantang banyak pendekar. Mungkin orang yang dapat mengalahkan dia itulah yang ia cari untuk maksud tertentu. Kau mengerti?”  Saga mengangguk Suro Bodong bicara lagi sambil mengikuti arah langkah kaki Saga yang menuju ke rumahnya

“Dan, aku tidak mau mangalahkan dia. Nanti malah terlibat urusan  dengan dia. Aku punya urusan sendiri.” ‘Urusan apa, Kang? Mungkin aku  bisa membantumu.”  Suro Bodong melirik Saga  sebentar. Mempertimbangkan sesuatu, namun akhirnya bicara juga yang sebenarnya

“Aku mencari seorang perempuan  yang bernama Ratna Prawesti. Perempuan itu cantik. Kalau tersenyum ada lesung pipit di pipinya. Tubuhnya lencir,  mirip Kenanga. Hidungnya mancung. Matanya bulat bening. Ia memakai gelang kaki perak bermata merah delima. Apa kau pernah melihat perempuan seperti itu, Saga? Dia kekasihku yang sedang kucari!”  Saga menggeleng dalam bungkam. Tetapi, beberapa saat kemudian ia berkata sambil tetap melangkah:  “Kalau melihat perempuan seperti itu, aku belum pernah, Kang. Tapi  kalau mendengar namanya… sepertinya aku sudah pernah”  Suro Bodong bersemangat dan segera bertanya, “Di mana kau mendengar nama itu disebutkan? Di mana? Atau… siapa yang menyebutkannya? Siapa, Saga?” Saga berkerut dahi beberapa lama,  mengingat-ingat. Lalu menggeleng. Ia menjawab:  “Entah. Aku tak ingat, Kang. Tapi aku yakin, aku pernah mendengar nama itu disebutkan.”  “Iya, tapi siapa yang menyebutkan? Di mana kau mendengarnya?”  “Entah. Sulit sekali kuingat!”  “Haahh…!” Suro Bodong mendesah lagi. Ia berhenti melangkah. Ia memandang Saga. Dalam hatinya berkata,  “Anak ini mungkin bisa berguna bagiku…”  Saga melihat rona kekecewaan di wajah Suro Bodong yang bermata selalu semburat merah tipis, seperti orang mabok. Kekecewaan itu membuat rasa haru di hati Saga, lalu ia segera  berkata:  “Bersabarlah, Kang. Aku akan  selalu berusaha untuk mengingatnya

Mungkin tidak sekarang, mungkin nanti, atau besok, atau… kapan saja aku ingat, pasti kukatakan kepadamu.”  Suro Bodong menghempaskan nafas

Angkat bahu tanda pasrah, lalu garuk-garuk kumis dengan telunjuknya. Ia bertanya pelan, bagai tak bersemangat:  “Masih jauh rumahmu?” âTidak Itu, di balik deretan rumah itu…”  “Ayo ke sana..!” ajak Suro Bodong dengan hati gundah sejak ia mendengar kata-kata Saga tadi

Saga buru-buru menggeret tangan Suro Bodong dan bersembunyi di belakang WC jamban. WC itu terbuat  dari bilik, bagian atapnya telah rusak akibat terbakar. Dan ternyata di depan WC itu, juga di beberapa tempat  lainnya, banyak bangunan sisa  kebakaran yang masih berserakan. Belum dibangun lagi oleh bekas pemiliknya

Ada sekitar empat atau enam rumah yang bekas terbakar. Suro Bodong menggumam heran

“Hei,” bisik Suro Bodong. “Mana rumahmu?”  Saga menuding. “Itu, yang ada di bawah pohon kelapa tinggi itu…!” “Lalu kenapa kita bersembunyi di  sini? Baunya aku tak tahan,” sambil sesekali Suro Bodong mengibaskan tangannya di depan hidung

“Kau lihat rumahku?”  “Iya. Aku tahu, yang di bawah pohon kelapa tinggi itu, kan?” “Kau lihat di sekitar rumahku itu?”  Suro Bodong memperhatikan keadaan  rumah yang dimaksud Saga. O, ya… ada beberapa orang berseragam biru hitam dan ada beberapa orang yang berkuda

Mereka agaknya sedang memeriksa keadaan sekitar rumah Saga. Ada yang  menggali di bagian belakang rumah, ada yang membongkar genteng bagian pinggir, ada yang mengorek-ngorek  bawah tiang, dan mereka agaknya sangat sibuk. ‘Siapa mereka itu, Saga?” bisik  Suro Bodong

“Mereka orang-orang Kepatihan Benteng Cadas.”  “Ooo…” Suro Bodong manggut-manggut. “Apa yang mereka lakukan di rumahmu itu?” “Pasti mereka menggeledah seluruh isi rumahku! Sialan!” “Apakah ayah-ibumu tidak  melarangnya jika begitu?” “Ibuku sudah lama meninggal,” jawab Saga pelan

“Oh, maaf. Aku tidak  menyuruhnya,” kata Suro Bodong tanpa menyadari arti kata-katanya. “Lalu, ayahmu…?” “Ayahku… ayahku sudah seminggu  ditawan oleh orang-orang Benteng Cadas.”  Saga tampak sedih. Suro Bodong mengusap ngusap kepala anak itu. Ia mendesah lirih, ikut bersedih Saga melanjutkan kata:  “Ia ditawan di sana. Katanya,  untuk menebus ayahku, cukup mahal. Sebab itulah aku bertekad melawan Kenanga tadi dengan meminta imbalan uang banyak. Maksudku uang itu akan kugunakan menebus ayahku…”  Suro Bodong tertegun sejenak, matanya menyaksikan orang-orang berseragam yang sibuk menggeledah rumah Saga

Suro Bodong menarik kesimpulan, bahwa Saga dalam ancaman bahaya. Pasti ia pun dicari oleh orang-orang itu. Kasihan sekali anak ini, pikir Suro  Bodong. Tak ada waktu untuk  mengajarkan silat sebagai pegangan dan bekal Saga. Sebab itu, dengan cepat Suro Bodong meraih bambu kecil

“Astaga…! Mereka mengeluarkan semua barang-barang di dalam rumahku…” keluh Saga dalam bisikan. Suro Bodong memandang kejadian itu dengan tangan sibuk mematahkan bambu kecil. Bambu tersebut dipatahkan  dengan tanpa mengakibatkan pecahnya bambu itu

“Kang, lihat kekasaran orang-orang itu…!” bisik Saga dengan gemas

“Aku tahu,” jawab Suro Bodong seraya mengintip bambu kecil itu yang ternyata bolong melompong dan tidak  ada keretakan. Lalu ia segera membelah ujung bambu dengan kuku jempol tangannya. Sulit sekali, namun  akhirnya berhasil. Ujung bambu terbelah sedikit, itu sudah cukup. “Kang, apa yang kau lakukan itu?” “Tenang saja, Saga. Ini nanti  akan menjadi senjata buat kamu…” jawab Suro seraya ia memandang ke tanah sekeliling. Saga memperhatikan dengan heran. Dalam hatinya bertanya— tanya: bambu kecil, tak lebih dari sejengkal, bagaimana mungkin bisa  dibuat senjata? Apalagi melawan orang-orang Kepatihan yang berkuda dan gagah-gagah semua. Belum lagi saat ini mereka berjumlah sekitar tujuh orang berkuda, mana mungkin senjata bambu  kecil dan pendek itu bisa dipakai untuk melawannya?  Suro Bodong benar-benar sibuk. Ia meraih selembar pelepah pisang yang sudah kering. Ia membesetnya, lalu menggigit-gigit kulit pelepah pisang itu. Susah sekali, namun akhirnya berhasil. Ia memperoleh secuil kulit pelepah pisang yang sudah kering, namun masih alot. Kulit tersebut berusaha disisipkan di antara ujung bambu yang telah terbelah sedikit itu. Susah, tapi akhirnya berhasil juga

Saga masih terheran-heran dan tidak mau banyak tanya, karena di dalam hatinya juga penasaran: apa  yang akan dilakukan Suro Bodong yang berambut tak teratur itu? Waktu Suro Bodong memasukkan bambu itu ke mulutnya dan meniupnya pelan-pelan, barulah Saga tahu bahwa Suro Bodong membuat sebuah peluit dari bambu tersebut. Namun kali ini, Suro Bodong membongkar lapisan kulit yang dijepit di antara belahan ujung bambu. Ia membetulkan letaknya sesaat, kemudian  meniupnya lagi dengan tiupan pelan-pelan. Kemudian ia tersenyum lega seraya memberikan bambu itu

“Pakailah sempritan ini sebagai senjata buatmu,” kata Suro Bodong. Saga masih heran sekalipun ia menerimanya

“Senjata…? Senjata untuk apa ini?”  “Tiuplah…!”  Saga mencoba meniupnya dengan pelan. Tak ada bunyi apa-apa yang keluar dari peluit bambu itu. “Mana bunyinya?” tanya Saga heran

“Peluit itu sebenarnya berbunyi,  tapi telinga kita, pendengaran manusia tidak bisa mendengarnya. Suara yang keluar dari peluit itu cukup tinggi, di atas pendengaran manusia, sehingga manusia tidak akan bisa mendengarnya.” Saga merasa sedang dibohongi oleh Suro Bodong. Ia benrtaksud membuangnya

“Ah, kamu bercanda dalam keadaan begini, Kang…!”  “Eh, tunggu. Jangan dibuang!  Dengar,ya… peluit ini kuatur  suaranya melalui kulit gedebong pisang yang terjepit di ujungnya. Memang suaranya tidak bisa kaudengar, sebab  seperti kukatakan tadi, suara peluit ini di atas daya tangkap pendengaran manusia. Tetapi hewan apa pun akan  mendengarnya. Dan hewan apa pun yang  mendengarnya akan merasa ditusuk-tusuk telinganya. Suara dari peluit ini tidak akan disukai oleh hewan apa pun

Kalau tidak percaya, coba kau tiup dengan hempasan nafas agak keras.” Saga melakukan perintah Suro Bodong, ia meniup bambu kecil itu dengan tiupan agak kencang. Suro Bodong melirik ke arah rumah Saga. Pada saat itu, ada beberapa kuda yang diikatkan pada pohon, dan ada yang masih ditunggangi oleh orang-orang berseragam biru hitam. Kuda-kuda  tersebut tiba-tiba meringkik bagai ada yang menggelitik. Bukan hanya satu kuda, tetapi semua kuda meringkik  saling bersahutan

“Lihat, kuda-kuda itu meringkik dan bergetar-getar kakinya. Itu  pertanda suara ini bisa didengar oleh kuda dan menggelitik telinganya.”  Saga tersenyum bangga. Lalu ia mengarahkan bambu itu ke rumahnya dan meniupnya lebih keras. Tak ada suara yang keluar dari peluit itu. Namun  kuda-kuda itu semakin meringkik bagai jeritan, dan kaki depannya terangkat— angkat. Penunggang kuda kebingungan dan berusaha mengendalikan hewan  tersebut. Saga tertawa, “Hebat. Kau hebat, Kang!”  Salah seorang berseragam biru  huam berseru, “Hei, ada orang di sana! Siapa itu?!”  “Gawat! Teriakanmu didengar oleh mereka, Saga!” 3  SAGA sempat memasukkan peluit  bambu ke dalam kantong bajunya yang  berlengan panjang itu, sebelum orang-orang berseragam biru hitam menangkap mereka berdua. Suro Bodong dan Saga  berjalan dalam todongan dua orang  bersenjata tombak tajam. Masing-masing tombak panjangnya seukuran tubuh manusia dewasa. Di tiap mata tombak  selain tajam dan berbentuk seperti  ujung panah, juga di bawah mata tombak itu terdapat duri-duri tajam. Tempat yang bagai ditumbuhi duri itu kira—  kira sepanjang dua jengkal dari mata tombak. Jika kulit manusia tersentuh batang tombak bagian tersebut, sudah pasti akan terluka gores beberapa baris

“Apa yang kau lakukan mengintai  kami, hah?!” bentak seorang lelaki berewok dari atas punggung kuda

Mungkin dialah pimpinan dari keenam orang penggeledah rumah Saga itu

“Kami tidak mengintai,” jawab Suro Bodong dengan garuk-garuk kumisnya tebal, bersikap tenang

“Jangan-jangan orang ini ada  hubungannya dengan Ki Pupus,” seru seseorang yang tadi terlihat mengorek-ngorek tanah di bawah tiang rumah belakang

“Kalau memang benar dia ada hubungannya dengan Ki Pupus, berarti dia juga tahu apa yang kita cari,  Brogo!” seru orang yang satunya lagi dengan memanggil Brogo kepada laki-laki berewok di atas punggung kuda

“Benar, kau ada hubungan dengan  Ki Pupus?!” tanya Brogo kepada Suro Bodong. Dengan santai, sebentar garuk-garuk kumis, Suro Bodong menggeleng

“Bohong! Kau pasti ada hubungan dengan Ki Pupus!” bentak Brogo

“Mengakulah sebelum kuseret kau ke Benteng!” “Ki Pupus itu siapa? Pawang  hujan?!”  Brogo gemas melihat ketenangan Suro Bodong yang berani bicara santai sekali di depannya. Ia segera memerintahkan kepada anak buahnya:  “Ikat kedua orang ini di pohon,  dan cambuk sampai ia mengaku…!” Dua orang menyeret Saga dan Suro Bodong ke sebuah pohon kelapa yang menjulang tinggi. Salah seorang mengambil cambuk dan tali dari pelana  kudanya. Sedangkan tiga orang yang masih di atas punggung kuda, demikian juga Brogo yang bersenjata pedang di pundaknya

Saga memang mempunyai nyali yang cukup besar. Dalam suatu kesempatan,  sebelum tali datang untuk mengikatnya, ia berhasil meronta dan meloloskan diri

“Aku tidak mau…! Aku tidak mau dicambuk…!”  “Saga…?!” keluh Suro Bodong dengan kecewa, karena hal itu malahan akan mencelakakan diri Saga. Padahal  Suro Bodong mempunyai rencana sendiri untuk masalah ini. Tapi kini Saga  telah berhasil lolos dan berlari kian kemari dikejar-kejar tiga orang, termasuk si pembawa cambuk dan tali yang dipakai untuk mengikat tubuhnya. Salah seorang mengejarnya dengan kuda. Dan yang lainnya segera membuat barisan penghalang jalan dengan menjajarkan kuda mereka di depan Saga. Sementara itu, tangan Suro Bodong belum terikat, namun masih dalam todongan tombak

Tiba-tiba Saga berguling-guling di tanah sambil meniup peluit bambunya. Kontan kuda-kuda jejingkrakan, meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya dengan hentakan keras. Para penunggang kuda kewalahan

Dua di antaranya terjatuh tak tentu letak. Sementara dua kuda yang salah satu ditunggangi Brogo meronta-ronta dengan binal. Brogo terlempar dari punggung kuda yang meringkik-ringkik. Kuda-kuda itu mengamuk di tempat tersebut dengan ringkiknya yang menjerit-jerit membingungkan mereka. Saat itulah Suro tersenyum, kemudian segera menendang orang yang  menodongkan tombak ke arahnya. Orang tersebut terpana oleh kejadian aneh  itu, maka dengan mudah Suro Bodong menendang dadanya hingga orang itu terpelanting jauh memur pohon kelapa. Orang yang menodongkan tombak itu hendak melemparkan tombaknya ke arah Suro Bodong. Tetapi seekor kuda yang brutal telah menyepak tengkuk  kepalanya dengan keras. Ia memekik dan jatuh tersungkur dengan wajah membentur batu

Orang-orang Kepatihan itu masih bingung dan belum mengetahui mengapa kuda-kuda mereka menjadi mengamuk  seperti itu. Dua penunggang kuda dalam keadaan patah kaki dan tulang pada pundaknya. Mereka mengaduh-aduh seraya menggelosor di tanah. Kuda-kuda itu berhenti meringkik, berhenti mengamuk, setelah Saga juga berhenti meniup peluit bambu. Saga segera berlari ke  arah Suro Bodong. “Kang, ayo kita lari…!  Lekas…!” Saga menarik-narik tangan Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong bertahan. Sorangbersenjata tombak  segera berlari menyongsong Suro Bodong “Cepat cari tempat persembunyian  yang aman…!” perintah Suro Bodong kepada Saga. Saga pun lari ke puing-puing bekas rumah tetangganya yang  sudah terbakar habis

Suro Bodong melompat pada saat tombak itu melesat ke arah perutnya

Sambil melompat, kaki kirinya  menendang dagu orang tersebut sehingga orang itu mengaduh keras. Temannya menyusul dengan tombak juga. Tetapi  sebelum orang itu dekat dengan Suro Bodong, Suro telah lebih dulu menghantam wajah orang yang mengaduh. Pukulannya cukup kuat. Orang itu melintir, dan kaki Suro Bodong segera  menendang kuat-kuat tulang rusuk orang itu. “Krak…!” Terdengar bunyi patah dari tulang rusuk itu yang membuat orang tersebut makin menjerit dan jatuh ke tanah kelojotan

Orang yang baru datang menusukkan tombaknya ke arah kepala Suro Bodong

Suro merunduk. Tombak itu menghantam  ke bawah Suro berguling mendekati kaki orang itu. Ia ditendang dan kena pada bagian leher kirinya. Suro menjadi  telentang. Orang itu menghunjamkan tombak ke perut Suro Bodong sambil berteriak,  “Hiaaaat..!!”  Kaki Suro Bodong bergerak bagai  kipas dan membuat tombak yang tinggal beberapa senti dari dadanya itu  melesat ke arah lain karena tendangannya. Kemudian Suro Bodong menggerakkan kedua kakinya ke atas, memutar, dan dengan punggungnya ia berhasil melentikkan tubuh hingga berdiri  “Heaaat…!!”  Suro Bodong berteriak sambil menendang dalam satu lompatan yang manis. Baju jubahnya yang terbuka bagian depan itu berkibar bagai sayap garuda menghempas lawan. Orang yang ditendangnya terbatuk-batuk dan mengeluarkan darah kental dari mulutnya. Suro Bodong tak memberi  waktu sedikit pun, ia segera menghantam dada orang itu dengan siku tangan kanannya setelah ia bergerak ke  samping orang tersebut. Siku itu menyodok keras di ulu hati sehingga lawannya terbeliak-beliak dan tak mampu berteriak

Empat orang sudah berhasil dilumpuhkan, kendati yang dua menjadi tak berdaya karena kakinya patah dan pundaknya terasa sempal oleh amukan kuda. Kini tinggal tiga orang berseragam biru hitam. Mereka kehilangan kuda, karena kuda-kuda itu berlarian tak tentu arah setelah Saga berhenti meniup peluit. Tinggal ada satu kuda yang masih terikat tali  kekangnya pada sebuah pohon di samping rumah. Brogo berdiri di depan Suro  Bodong. Pelipisnya berdarah akibat ia  terlempar dari punggung kuda tadi. Dua orang bersenjata bola rantai berduri dan yang satu bersenjata tombak, berdiri di samping kanan kiri Brogo. Orang yang memegangi tombaknya itu sudah memar matanya akibat ia tadi  terlempar dari punggung kuda juga, dan entah kena apa matanya itu sehingga bisa biru memar

“Kuingatkan,” kata Brogo  menggeram. “Menyerahlah sebelum kami membunuhmu. Lebih baik kau berurusan dengan Patih Danupaksi, atasan kami  itu di Benteng Cadas!”  Suro Bodong garuk-garuk kumisnya dengan telunjuk. Ia mengangkat wajah, sedikit mendongak dan memandang sinis kepada Brogo. Suro Bodong berkata juga:  “Kuingatkan, pulanglah ke  atasanmu dan jangan ganggu kami lagi, sebelum kalian kubunuh semuanya!” “Siapa kau sebenarnya, Bajingan!” “Aku…? Aku bajingan! Seperti  yang kau sebutkan tadi!”  “Bah! Kau belum kenal siapa aku, kau tak akan berani berkata seperti itu, Bajingan!”  “Ah, aku tidak perlu punya kenalan seperti kamu. Untuk apa? Aku sudah punya banyak kenalan bodoh, mengapa harus mencari yang tolol lagi?” kata Suro Bodong seenaknya

Brogo menggeram dengan mata melebar m-rah. “Jahanam!”  “Kau juga…!” jawab Suro Bodong kalem. “Bangsat…!!” teriak Brogo

“Kau juga bangsat!”  Brogo bernapas terengah-engah  karena amukan amarahnya. Suro Bodong masih berdiri dengan tenang. Dagunya sedikit terangkat, matanya agak  menyipit, kakinya terenggang tegap. Ia tidak menghidari tatapan mata Brogo. Ia bahkan berkata:  “Mau apa kau?!”  “Serang…!” teriak Brogo kepada orang di kanan kirinya. “Serang…!” teriak Suro Bodong yang kemudian terbengong karena menyadari ia tidak punya orang di  kanan kirinya. “Ah, brengsek..! Biar kuserang sendirilah…!” “Hiaaaat…!”  “Ciaaaat…!” Suro Bodong berteriak tanpa bergerak. Hal ini membuat Brogo memandang heran. Brogo berkata dalam hatinya: “Jangan-jangan aku berhadapan dengan orang gila..?!”  Suro Bodong menggerakkan kepalanya ke belakang dengan badan melengkung ke belakang. Bola berduri  yang sebesar kepala bayi itu menyambar di depan hidungnya. Kalau saja kena, hidung Suro Bodong bisa copot dari  wajah kasarnya

Suro Bodong segera berguling ke tanah mendekati pembawa rantai bola berduri. Lalu dengan cepat kaki  kanannya menendang pinggang orang itu dan segera ia berdiri lagi dalam satu hentakan tangan ke tanah. Begitu  berdiri ia disambut oleh hunjaman tombak orang yang lain. Suro Bodong terpaksa melompat ke atas dan kakinya berdiri tepat di atas batang tombak tersebut. Pemegang tombak terpana melihat ilmu peringan tubuh yang amat  sempurna dikuasai Suro Bodong sehingga mampu berdiri tegak di batang tombak yang terjulur ke depan. Orang itu  mengibaskan tombaknya ke kanan dan ke kiri, maksudnya supaya Suro Bodong terjatuh. Namun tubuh sedikit gemuk itu masih saja tetap berdiri tegak di atas tangkai tombak. Bahkan kali ini bergeser mendekati wajah orang tersebut, dan ia menendangkan kaki kirinya ke samping. Pinggiran telapak kaki mengenai wajah orang itu. “Aaaoow!!”  Orang itu menjerit seraya memegangi matanya yang satu, yang tidak memar. Saat itu, Suro Bodong  melompat ke arah lain karena bola berduri menyambarnya lagi. Bahkan kini bola berduri itu berputar-putar bagai  kipas angin, makin lama makin  mendekati kepala Suro Bodong. Suro Bodong hendak berguling, namun putaran bola berduri itu berubah posisi, kini  seperti menyambar bagian atas dan bawah. Tentu saja kalau Suro Bodong berguling ke tanah, ia akan terkena sambaran bola berduri yang tajam

Karenanya ia malahan diam di tempat. Menonton ketrampilan putar bola berantai panjang sambil garuk-garuk kumisnya

Tahu-tahu bola itu meluncur ke  arahnya. “Weess..!” Hampir saja kepala Suro Bodong remuk terhantam bola berduri yang terbuat dari besi itu. Untung ia sigap dan segera berguling ke bawah, kendati untuk itu ia  terpaksa mengadu dagunya dengan batu. Lecet dagu itu tak dihiraukan. Suro melihat ada kesempatan bagus di depannya. Tangan musuhnya kebingungan  menarik rantai, sebab bola berduri itu menancap pada sebuah pohon. Kesempatan itu dipakai Suro Bodong untuk  berguling sekali lagi dan melancarkan Tendangan Ayam Kawin ke arah paha. Tujuh kali tendangan beruntun ke selangkangan. Orang itu menjerit kesakitan dengan mulut ternganga lebar. Suro Bodong segera berdiri tepat kepalanya di bawah dagu orang  itu. Lalu ia menggerakkan pukulan tangan kirinya ke atas. “Heaah…!!” Dan pukulan itu mengena telak di dagu orang tersebut. Perut orang itu ada di depan hidung  Suro Bodong. Segera saja perut tersebut ditebas oleh kedua tangannya  dengan pukulan samping telapak tangan. Kedua pinggang yang dipenggal oleh tangan Suro Bodong itu membuat perut tersebut seperti dijepit besi besar  dan membuat orang itu susah bernapas. Gerakan berikutnya takberbeda  waktu, yakni kedua tangan Suro Bodong menapak di tanah, lalu dia menggerakkan kakinya ke atas dengan kuat. Tendangan sambil nungging itu  mengenai ketiak orang tersebut. Tangan itu lepas memegangi rantai bola berduri, dan kaki Suro mengibas lagi  ke rusuk orang itu, sehingga orang itu terpental dan berguling-guling seraya berusaha untuk berteriak dengan susah

Brogo berlagak tenang. Bertepuk tangan seenaknya dengan senyum sinis memancarkan kebencian

“Bagus sekali permainanmu itu, Kawan…” kata Brogo

“Ah, sudah lama aku bisa bermain  dengan bagus,” Suro Bodong berlagak tersipu. Ia berdiri menunggu saat tertentu di mana Brogo akan  menyerangnya. Ia sempat garuk-garuk kumisnya dengan jari telunjuk  “Tapi aku, Brogo… belum tentu  bisa kau buat seperti dia…” kata Brogo seraya masuk selangkah demi selangkah

“Ah, itu soal gampang!” kata Suro Bodong tak mau kalah gertak. “Aku bisa menjagal kebo hutan kok!”  “Tapi aku bukan kebo, tahu?!”  bentak Brogo dengan mata melotot. Lalu dia segera mencabut pedangnya dari punggung

“Ratusan orang sudah pernah merasakan kehebatan pedang ini, tahu?!  Dan hampir semua yang pernah merasakan pedangku ini tak ada yang mau hidup lagi.”  “O, ya? Aku belum merasakan. Coba, kurasakan…!”  Brogo benar-benar panas hatinya, merasa disepelekan oleh Suro Bodong. Karenanya ia segera menyerang Suro  Bodong dengan satu teriakan yang cukup keras dan membuat Suro Bodong kaget

Suro Bodong tidak main-main terlonjak  kaget karena teriakan itu, sehingga ia tertawa sendiri merasakan kelucuannya. Namun tubuh Suro Bodong dapat mengelak tikaman pedang yang terarah kepadanya

Hanya dengan merubah posisi kaki yang tanya menghadap ke Brogo, kini kaki  kanan ditarik ke belakang dan dia jadi menghadap ke samping, maka pedang Brogo molos melalui depan perutnya

Tangan kanan menghantam pergelangan tangan Brogo yang memegangi pedang, dan tangan kiri  melebar ke samping dengan satu kepalan kuat. Kedua tangan yang bergerak serentak itu membuat Brogo  terpelanting beberapa langkah, karena tangan kiri Suro yang bergerak bagai  sayap garuda melebar itu mengenai pipi Brogo. Suro Bodong berjalan menyamping dengan mata melirik Brogo. Jarak mereka cukup renggang, sehingga untuk menyerang Brogo perlu melompat dan bersalto di udara. Ia melayang  melewati kepala Suro Bodong. “Hiaaaaaat…!!”  Pedang mengibas bagai hendak membelah kepala Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong justru berguling ke tanah sehingga jarak itu semakin jauh saja

“Kau cukup alot, Bajingan!” geram Brogo. “Memang. Aku sendiri heran,  mengapa aku tidak bisa mencicipi  pedang pembelah kayu bakar itu,” ucap Suro Bodong dengan kalem. Ia garuk-garuk kumis, lalu tersenyum. Hal itu  menambah kegemasan hati Brogo. “Rupanya aku tak boleh main-main  lagi denganmu!” kata Brogo dengan kata-kata pelan dan tandas. “Ya. Kurasa jangan main-main

Pulang saja, nanti emak dan bapakmu mencarimu, Nak!”  Brogo menggumam dalam geram yang  mata membakar darah. “Aku ingin tahu, sampai di mana kekuatanmu menerima jurus Pedang Gunturku ini…!”  “Nah, begitu…! Dari tadi kek dikeluarkan jurus pedang yang bisa buat hiburan orang sunatan. Ayo… jangan sungkan-sungkan…!”  Brogo tidak mempedulikan ucapan tersebut. Ia segera merendahkan kedua kaki yang mengangkang. Pedangnya  melintang di atas kepala. Tangan kanan memegangi tangkai pedang dan tangan kirinya bagai mendorong sesuatu yang  berat dari batas pinggang sampai ke atas, menyentuh pucuk pedang. Tangan kiri itu mengusap tepian pedang dari pucuk sampai ke tangkainya, lalu  menyatu dengan tangan kanan, memegangi tangkai pedang. Kedua tangan menebaskan pedang ke arah samping  kanan, ke samping kiri, menarik ke belakang, dan menusukkan ke depan dengan satu teriakan keras:  “Heaaaat…!” “Ziiing…!”  Keluar benang api dari ujung pedang, berkelok-kelok melesat mengejar Suro Bodong. Gerakan benang api yang  berpijar merah itu seperti ular sanca  yang meliuk-liuk memburu mangsa. Suro Bodong kebingungan, karena merasa aneh. Ia segera melompat ke samping kiri ketika benang api itu hendak menembusnya. Tetapi benang api itu mengejarnya dengan belokan yang tajam. Benang api yang berpijar-pijar seakan mempunyai nyawa untuk memburu mangsa

Brogo tertawa terbahak-bahak melihat kebingungan Suro Bodong dikejar benang api yang bergerak seperti ular sanca. Ia diam saja, menjadi penonton yang penuh kegembiraan

“Mampus kau, Bajingan  tengik…!!” teriaknya di sela tawa yang terbahak-bahak Suro Bodong berguling ke tanah  beberapa kali, tapi benang api berpijar itu juga hendak menembus ke tanah. Benda aneh bercahaya pijar itu tak jadi menembus ke tanah setelah Suro Bodong menghentakkan kaki,  melompat ke udara. Benda tersebut ikut melesat ke udara. Memang tak begitu cepat jalannya, tidak seperti kilat  menyambar. Namun cukup membuat Suro Bodong kebingungan. Dan jika sudah kebingungan begitu, ia menjadi panik

Atau jika panik ia menjadi kebingungan tujuh keliling. Ia tak tahu harus berbuat apa kecuali berlari pontang  panting menghindari benang api itu. Bahkan ketika Suro Bodong tergopoh— gopoh mendekati pohon untuk berlindung, benang api itu melesat tertuju ke bagian kepala. Suro Bodong merunduk. Benang api itu lolos lewat di atas kepala Suro Bodong. Tetapi benang api itu segera membelok, kembali lagi menyerang dan mengejar Suro Bodong, hingga lelaki berperut sedikit buncit itu tersungkur jatuh tengkurap karena tersandung akar pohon

“Aaooww…!” pekiknya dalam kebingungan. Ia panik dan benar-benar  gugup. Keringat dinginnya mengucur dan wajahnya sempat menjadi pucat. Ia segera mengambil ranting pohon yang  kering. Ketika benang api itu menyerangnya, ia merunduk dan ranting itu menjadi sasaran benang api  tersebut. Tetapi justru menimbulkan ledakan kecil yang apinya merontoki rambut Suro Bodong. Kontan saja Suro Bodong semakin jejingkrakkan sambil menepak-nepak kepalanya, takut terbakar. Ia masih berlari ke balik pohon besar tanpa mempedulikan tawa Brogo yang terpingkal-pingkal. Benang api masih mengejarnya bagai tak kenal lelah  Saga melihat Suro Bodong  bersembunyi di balik pohon besar. Saga segera melambaikan tangan: “Kang…! Sini…! Sembunyi di  sini…!”  Suro sempat melihat ada tembok hangus di tempat persembunyian Saga. Pada waktu itu, benang api muncul dan hendak menyerang leher Suro Bodong. Secepatnya Suro Bodong beranjak dari tempat itu dan berlari ke tempat persembunyian Saga

“Tenang, Kang… tenang…!” Saga menarik tangan Suro untuk bersembunyi dari balik dinding hangus. ‘Tenang,  benda aneh itu tidak dapat mengejarmu. Dia tidak tahu kalau.”  “Tidak tahu apa?! Lihat, benda  itu menuju ke mari…!” Suro Bodong menuding ke arah benang api berpijar yang melesat ke arahnya

“Apa kau tidak punya jurus  simpanan untuk melawan benda aneh itu, Kang?” tanya Saga. Dan seketika itu Suro teringat suatu simpanannya, yaitu sebuah pedang

Ia segera menarik napas dalam-dalam, kemudian tangan kanannya menggenggam pergelangan tangan kirinya. Dan ia segera menghentakkan tangan kanannya ke depan. Pada saat itu, tangan tersebut sudah memegang  sebilah pedang putih yang memancarkan sinar ungu. Itulah Pedang Urat Petir,  pusaka Suro Bodong yang dapat disimpan di dalam kulit lengan kirinya. Saga membelalakkan mata memandang pedang  itu dengan perasaan heran bercampur kagum. Suro Bodong tak sempat memberi penjelasan apa-apa. Benang api yang berpijar itu membelok, masuk di balik  dinding hangus. Suro Bodong menggerakkan Pedang Urat Petir ke arah benang api tersebut. Dan benda itu menempel  pada ujung Pedang Urat Petir. Ia menempel kaku seperti kawat berpijar,  lalu tak berapa lama padam, dan hilang begitu saja

Brogo tidak tahu apa yang terjadi  di balik tembok hangus itu. Tetapi ia masih tertawa-tawa dengan bangga sambil berdiri, bersandar pada sebuah pohon

“Mau bersembunyi di mana kamu, Kunyuk?! Mau lari ke mana, hah? Tidak mungkin kamu bisa lolos dari jurus Pedang Gunturku itu. Huaaa, ha, ha, haaaa….!” Brogo sengaja mengumbar tawa kemenangan. Tetapi tawa itu menjadi reda

Diam seketika dengan mata membeliak lebar sewaktu Suro Bodong muncul dari  balik dinding hangus. Brogo tak sempat bicara melihat pedang bersinar ungu tergenggam di tangan Suro Bodong. Ia  mulai tegang dan berdebar-debar. Sebab biasanya, orang yang dikejar benang  api tak pernah ada yang berhasil hidup lagi. Tapi sekarang, lawannya kali ini justru tersenyum sambil menghampirinya

“Pusakamu cukup hebat, Brogo!  Cukup untuk dijadikan satu tontonan di pasar malam. Tapi, bagaimana dengan pedangku ini? Kau bisa menandingi  kehebatannya?”  Suro Bodong semakin mendekat,  Brogo semakin melangkah mundur dengan tegang. Kalau lawannya kali ini bisa selamat dari kejaran api Pedang  Guntur, berarti lawan itu bukan orang sembarangan. Tentu Brogo bukan tandingannya. Itulah sebabnya Brogo  menjadi tegang dan mulai cemas. Ia tak punya jurus lain yang lebih ampuh dari Pedang Guntur. “Paman Brogo… bahaya…!” seru seorang yang patah tulang pundaknya

Lalu orang yang bermata memar dan kini menjadi memar lagi setelah mendapat serangan dari Suro tadi juga  berteriak: “Paman Brogo, mari kita tinggalkan dia…!”  Suro Bodong memandang geli melihat wajah Brogo ketakutan. Ia  tadinya merencanakan untuk melancarkan jurus Pedang Jitu, tetapi hati kecilnya melarang. Hati kecilnya  mengatakan, bahwa ia hanya perlu  memberi pelajaran sedikit kepada Brogo dan orang-orangnya, supaya segera pergi dan tidak mengganggu Saga

“Brogo… Aku punya sedikit oleh—  oleh buat kamu pulang nanti. Itu kalau kamu mau pulang, kalau mau tetap dimakamkan di sini ya, silakan saja

Nah, terimalah jurus Pedang Colok ini… Hiaat…! Hiiat… hiaat… haiat….”  Suro Bodong menghunjamkan pedangnya ke tujuh arah sekelilingnya dengan tenaga kuat. Lalu ia mengibaskan pedang itu di depan mata Brogo. Jarak mereka ada sepuluh langkah, tapi tiba-tiba Brogo  berteriak setelah pedang Suro Bodong dikibaskan ke samping

“Aauww…! Aku… aku buta…!  Ooh, aku butaa!!” Brogo kebingungan Matanya mengerjap-ngerjap dan merasa perih. Tangannya meraba-raba karena pandangannya tiba-tiba menjadi gelap. Ia berteriak-teriak: “Aku butaa…!  Ooh…”  Beberapa orang yang masih mampu mendekat, segera membantu Brogo untuk melangkah. Mereka menjadi tegang dan kebingungan. Suro Bodong berdiri dengan tenang garuk-garuk kumis sebentar

“Mau pulang apa mau mati di sini

Pilih saja, Brogo. Kau juga boleh  memilih pulang sambil mati,” kata Suro Bodong sambil memegangi pedangnya dengan kedua tangan

“Aku buta, aku tak bisa melihat apa-apa lagi…!” rintih Brogo. “Ah, itu tidak lama kok. Tidak sampai setengah hari kau akan bisa melihat lagi, Brogo. Itu kan cuma jurus penutup mata lawan dalam pertarungan. Jadi, yah… cuma  sementara saja. Sebenarnya, habis ini aku harus membunuhmu!”  “Oh, jangan…! Jangan bunuh aku. Ayo, anak-anak.. tuntun aku pulang. Ayo, pulang…! Yang sakit bantu berdiri. Ooh… perih sekali mataku…!”  Suro Bodong tertawa melihat mereka sempoyongan kembali ke Kepatihan Benteng Cadas. Pada saat itu, Saga buru-buru keluar dari persembunyian dan mendekati Suro  Bodong. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya kelu saat melihat Suro Bodong memasukkan pedang ke dalam daging lengannya melalui pergelangan tangan kiri. Dan pedang itu masuk seluruhnya ke dalam lengan, tanpa meninggalkan bekas luka setitik jarum pun di pergelangan tangan tersebut

Saga tak henti-hentinya berdecak dan mendesah kagum

“Kau benar-benar pendekar yang hebat, Kang Suro.”  “Syukur kalau kau mengakuinya, Saga. Ah, lupakan saja soal itu

Sekarang aku ingin bertanya: tadi  mereka menuduhku punya hubungan dengan Ki Pupus. Kau kenal orang itu?” “Kenal. Aku kenal sekali dengan Ki Pupus,” jawab Saga. “Siapa orang itu?” “Ayahku…”  “O, jadi…? Jadi, Ki Pupus itu ayahmu? Lantas, kenapa mereka  menangkap dan menawan ayahmu? Mengapa mereka tampaknya penasaran?”  “Mereka mengira ayahku menyembunyikan pedang. Mereka tak percaya kalau ayahku hanya seorang petani biasa. Ketika ada petir menyambar-nyambar, banyak rumah di sini yang terbakar kesamber petir

Hanya rumahku yang selamat, lalu mereka mengira hal itu dikarenakan ayah mempunyai pusaka yang mereka cari-cari, yaitu Pedang Urat Petir…”  Suro Bodong terbengong. “Mereka  mencari Pedang Urat Petir? Gila! Untuk apa?! Siapa sebenarnya mereka itu?!”  Saga diam saja, sebab ia tak tahu bahwa yang dilihatnya tadi adalah Pedang Urat Petir. 4  MALAM merambah. Atas pertimbangan  Suro Bodong, mereka tidak tidur di rumah Saga. Mereka hanya mengambil beberapa peralatan seperlunya, lalu  pergi ke tempat persembunyian Saga, di balik tembok hangus. Di sana, ada ruang yang menuju ke bawah tanah

Sebuah ruang rahasia yang ditinggal  mati oleh penghuninya. Di situ ada dua dipan, satu meja dan sebuah almari makanan kering. Gula, teh, kopi,  tembakau, ada di situ semua. Agaknya ruangan tersebut sengaja dibuat oleh penghuninya untuk menanggulangi  bahaya. Tempat persembunyian itu cukup aman. Sayang penghuninya telah mati terbakar ketika rumah itu disambar  petir minggu lalu

“Aku takut berada di sini, Kang

Pak Jayus, sekeluarga yang memiliki rumah ini sudah mati.”  “Yang sudah mati ya biar saja  mati. Jangan pikirkan,” kata Suro Bodong. Ia sibuk membakar jagung di tempat perapian. Sebelum masuk ke  tempat bawah tanah itu, sore tadi Suro Bodong sempat memetik beberapa jagung dari ladang di belakang rumah Saga. Ia paling menyukai jagung bakar

“Kalau kau mau tidur, tidurlah. Aku akan berjaga-jaga mengusir hantu, kalau memang ada hantu yang berani mendekatiku. Kalau tidak ya tak perlu  panggil-panggil hantu, kan?” Suro asyik membolak balik jagung bakarnya. “Belakangan ini aku jarang bisa  tidur dengan nyenyak, Kang. Aku  memikirkan ayah.” Lalu Saga mengeluh sendiri, “Kasihan ayah… dipenjara tanpa berbuat salah

Disiksa tanpa  bisa bertindak. Aku ingin sekali menebus ayah berapa pun mahalnya…” “Percuma,” ujar Suro pelan

“Ayahmu tak akan bisa ditebus dengan uang berapa pun jumlahnya.”  Saga yang terbaring mengangkat  kepala. “Tapi, Kang… dulu aku pernah bertemu dengan salah seorang prajurit Kepatihan, dan kutanyakan tentang cara menebus ayah. Tapi dia bilang, ayah harus ditebus dengan mahal.”  “Bukan ditebus dengan uang, maksudnya. Melainkan dengan Pedang Urat Petir…!”  Saga tertegun dalam lamunan murungnya. Suro Bodong merasa kasihan ketika melirik Saga. Ia berkata

“Hanya Pedang Urat Petir yang mereka butuhkan. Jika mereka sudah  menemukan Pedang Urat Petir, ayahmu akan dibebaskan.” “Tapi ayah tidak punya pedang  itu, Kang. Ayah cuma punya cangkul, sebab dia petani biasa. Kalau Cangkul Urat Petir, mungkin ayah punya. Tapi kalau pedang, tidak.”  Suro Bodong tersenyum geli. Ia  manggut-manggut. “Aku percaya kata-katamu. Percaya betul bahwa ayahmu tidak mempunyai pedang itu. Sebab…”  Mulut Suro Bodong berhenti  bicara. Ia ragu dan mempertimbangkan:  haruskah Saga mengetahui bahwa Surolah yang mempunyai Pedang Urat Petir? Ini yang dipertimbangkan Suro Bodong. Dan  bungkamnya mulut Suro membuat Saga heran, lalu bertanya:  “Sebab apa, Kang? Kau mau bilang apa tadi?”  “Hemm… tidak. Aku cuma mau  bilang, sebab itu sulit ditemukan. Itu saja!” Suro memutuskan untuk menjawab begitu. Ia khawatir, kalau Saga tahu  bahwa ia memiliki Pedang Urat Petir, berita itu bisa bocor ke mana-mana

Saga orang yang gampang kagum. Gampang memuji dan mudah bangga terhadap berita mengherankan. Bisa-bisa di luar kesadaran Saga, anak itu akan menceritakan siapa pemilik Pedang Urat Petir

“Kang…?”  “Hemm…?!” “Petir itu apa ada uratnya?”  Pertanyaan polos itu cukup  menggelikan hati Suro Bodong. Ia hanya menjawab: “Mana aku tahu. Aku belum pernah  disambar petir kok!”  Saga manggut-manggut, seakan serius sekali menanggapi kata-kata Suro Bodong. Ia bahkan berkata: “Aku juga belum kok. Waktu rumah orang-orang disambar petir itu, kok rumahku tidak disambarnya sekalian, ya? Apa ayahku itu orang sakti sehingga petir takut menyambar?!” “Mungkin. Tapi kalau menu rut perkiraanku, itu hanya tergantung nasib kok. Nasib baik ada pada rumahmu.”  “Aneh sekali, ya?”  “Nasib itu memang serba aneh. O, ya… di depan rumahmu itu kan ada pohon kelapa yang tinggi?”  “Iya. Nah, kalau pohon itu malah ikut tersambar petir, Kang. Cuma, tidak sampai roboh. Hanya terbakar  bagian pucuknya. Aku melihat sendiri api yang membakar daun-daun kelapa itu, Kang.”  “Itu…! Itu yang membuat rumahmu tidak disambar petir. Jadi, sewaktu petir hendak menyambar rumahmu, ia  sempat mampir dulu ke pohon kepala… eh, ke pohon kelapa itu. Coba kalau tidak ada pohon kelapa yang menjulang tinggi, dan lebih tinggi dari atap rumahmu, bahkan lebih tinggi dari pohon-pohon lainnya, oooh… pasti rumahmu juga ikut kena jatah disambar petir, Ga. Seperti rumah orang-orang yang terbakar itu, kan tidak punya pohon setinggi pohon kelapamu itu

Iya, kan?”  Saga mengangguk dan termenung beberapa saat. Suro Bodong mencicipi  salah satu jagungnya yang sudah hangus sebagian. Ia meniup-niup biji jagung, lalu melemparkan ke mulutnya

Sementara jagung yang lain dipasang  lagi di atas anglo tanah. Mirip tungku buat memasak. “Kang…” kata Saga lagi,  memecahkan kesuny ian. “Kalau mau mencari Pedang Urat Petir itu di mana?”  “Memangnya mau apa kau?” “Aku mau mencarinya, lalu kuserahkan kepada Patih Danupaksi untuk menebus ayahku “  Suro Bodong diam. Sedikit tak  enak kata-kata itu didengarnya, namun  ia segera menyadari bahwa itu hanyalah ucapan seorang bocah yang ingin membela ayahnya. Wajar saja. Namun,  betapa tenangnya Suro, akhirnya ia  gelisah juga. Resah memikirkan mengapa orang mencari-cari pedangnya? Akan digunakan untuk apa? Dan siapa yang  sangat membutuhkannya?  Haruskah ia terlibat terlalu  dalam sampai ke urusan Kepatihan Benteng Cadas itu? Ah, bukankah ia punya urusan sendiri? Mencari kekasihnya yang sangat dirindukan :  Ratna Prawesti. Dan, Suro Bodong segera ingat bahwa Saga pernah mendengar nama itu. Mungkin dia suatu  saat akan ingat di mana dan siapa yang menyebutkan nama Ratna Prawesti itu

Tadi Suro Bodong telah meminta Saga mengingat-ingatnya, namun tidak berhasil. Jadi, dia harus sabar menunggu ingatan Saga, supaya bisa  menjadi penunjuk arah ke mana ia harus mencari Ratna. “Haruskah begitu?” pikir Suro Bodong berkali-kali. Ia berkata dalam hati, jika aku harus menunggu ingatan  Saga, berarti aku harus membebaskan  ayah Saga dari tawanan orang Kepatihan. Sebab pikiran Saga saat ini  selalu tertuju kepada ayahnya, mencari cara bagaimana ia bisa membebaskan ayahnya. Itulah sebabnya ia tidak  ingat tentang nama Ratna Prawesti. Wah, kacau…. kenapa aku jadi terlibat ke urusan seperti ini? Kalau  begitu, apa yang harus kulakukan untuk membebaskan ayah Saga, ya? Menyerang Kepatihan? Atau mencuri ayah Saga?  Atau… menyerahkan Pedang Urat Petir ini? Wah… bingung aku. Bagaimana caranya, ya…?”  Setelah pagi menyingsing, Suro  baru memperoleh keputusan. Langkah pertama adalah menyelidiki dulu keadaan Kepatihan Benteng Cadas itu. Dia tak tahu arahnya, tapi Saga pasti tahu di mana Kepatihan Benteng Cadas itu

“Kepatihan Benteng Cadas ada di balik bukit Jati, Kang.” Saga menjelaskan

“Kita ke sana, Ga.” “Wah, berat, Kang. Nanti kita  bentrok dengan penjaga batas Kepatihan lho, Kang. Yang jaga orangnya galak-galak. Dulu, aku ke sana karena alasan cari kayu, jadi boleh. Kalau alasan  lain, misalnya alasan mau melihat keadaan Kepatihan, bisa dibacok sama penjaga di daerah bukit Jati lho.” “Kita tidak beralasan begitu,  tolol! Kita bisa mencari jalan lain. Kita bisa pura-pura cari kayu, Ga. Pokoknya kau jadi penunjuk jalan dan sebagai pencari kayu. Itu saja!” “Yaah… terserah Kang Suro  sajalah. Aku menurut!”  Jarak antara tempat persembunyian dengan rumah Saga tidak begitu jauh. Maka ketika mereka muncul dari ruang bawah, mereka dapat langsung melihat keadaan rumah Saga. Hanya terhalang tembok hangus sedikit, tapi tidak menyulitkan mata Suro Bodong untuk melihat sosok tubuh perempuan berdiri di depan rumah Saga. Waktu itu, pagi sudah meninggi. Embun tak tersisa lagi

“Perempuan jalang…!” gumam Suro Bodong dalam geram. Saga mengernyitkan dahi melihat perempuan berpakaian serba hijau. Seorang lelaki gemuk ada di samping perempuan itu Saga juga menggumam:  “Mau apa Kenanga menyambangi rumahku, Kang?”  “Entahlah…” bisik Suro Bodong sambil menarik pundak Saga supaya bersembunyi di balik tembok hangus

“Agaknya ia mencari-cari kamu. Mungkin ia masih penasaran, karena ia ingin membunuh kamu.”  “Aduh, bagaimana, ya Kang?” Saga cemas. “Kau diam di sini saja. Biar aku  yang menemuinya dan membuat perdamaian dengannya,” ujur Suro Bodong sambil memetik-metik biji jagung bakar dengan ibu jarinya. Kemudian ia melangkah  dengan santai. Sesekali melemparkan biji jagung ke mulutnya. Sesekali menggaruk kumisnya yang tebal dengan telunjuk. Saat itu Rogama sedang memeriksa bagian samping rumah dan Kenanga masuk ke dalam

Waktu Kenanga Hijau keluar dari dalam, Suro Bodong sudah berdiri di bawah pohon, depan rumah agak  menyamping. Ia berdiri di bawah dengan bahu kiri bersandar pada batang pohon. “Hai…” sapa Suro Bodong dengan kalem  Kenanga Hijau membelalak waktu melihat Suro Bodong berdiri sambil mengunyah jagung bakar. Kenanga segera menutupi kekagetannya. Ia bersikap tenang dan melangkah hati-hati  mendekati Suro Bodong. Rogama sendiri juga tercengang melihat Suro Bodong tersenyum kepadanya. Ia buru-buru bergabung dengan Kenanga Hijau. “Rupanya orang gila ini ada juga  di sini, Putri,” jawab Rogama dengan melirik Kenanga sebentar

Kenanga menggumam. “Kurasa dia setan. Bukan orang gila!”  Suro Bodong masih tenang. Ia  sempat mempelajari ketegangan yang ada pada diri Kenanga Hijau dan Rogama. Ia merasa telah menang mental lebih dulu, karenanya ia berkata sambil memetik-metik jagung bakar dengan jempolnya:  “Aku yakin, belum ada seorang  pendekar yang mampu merobohkan kamu, Kenanga. Kau memang hebat.”  “Tapi kau telah membuatku terhina di depan umum. Karena itu, kau harus melawanku untuk menentukan siapa yang  mati di antara kita. Kau atau aku!” Suro Bodong memandang arah lain. Santai sekali

“Aneh,” katanya. “Baru kubuat tunggang langgang kau sudah merasa terhina di depan umum. Padahal itu  belum seberapa. Aku hanya sekedar meluruskan otot-ototku yang pegal. Kalau aku mau, kau bisa kubuat mampus dalam keadaan nungging di depan umum.” “Jahanam, kau!” geram Kenanga

Rogama bersiap maju, tapi Suro Bodong segera berkata lagi:  “Jangan banyak lagak di depan Kenanga, Paman! Sekali pun dia tidak melihat, namun dia tahu bahwa kau  bukan tandinganku.” Suro memandang Rogama. “Kalau kau mati di tanganku, aku sangat menyesal membunuh tikus  tanpa daya.”  “Bangsat! Aku bukan tikus!” bentak Rogama, tersinggung. “Justru karena kau bukan tikus,  maka aku enggan membunuhmu. Dan sebaiknya, jangan lagi memusuhi aku, Paman. Ada banyak hal yang bisa kau lakukan untuk membantu rencana Kenanga.”  “Suro…” geram Rogama. “Aku sakit hati atas kejadian kemarin sore itu, dan aku harus membalas sakit  hatiku sekarang juga! Kau punya urusan sendiri denganku, Suro!” “Bodoh,” kata Suro Bodong tanpa membentak, melainkan dengan suara pelan, sepertinya ogah-ogahan bicara

Ia menyambung kata-katanya: “Bodoh sekali kau. Menurut pendapat banyak orang, jika seseorang ditegur dari kekeliruannya malahan menjadi marah, itu bodoh! Seharusnya kau berterimakasih padaku, karena aku telah menegurmu, mengingatkan kamu tentang kekeliruan. Kau keliru kalau kau melawanku. Maka kemarin sore aku mengingatkan kamu dengan caraku sendiri.”  “Sesumbarmu membuatku muak,”  geram Kenanga. “Sebaiknya bersiaplah untuk bertanding denganku, Setan dekil!”  Dan Kenanga segera mengambil posisi siap tempur. Ia menarik kaki kanannya ke belakang dan merendah,  sedangkan kaki kirinya membentuk 90° di bawah tangan kiri yang menggenggam kuat menuju ke atas, tangan kanan diangkat di atas kepala dengan  setengah terlipat. Kaku keras dan bertenaga

Rogama sendiri mulai menyisih,  bergerak m-ngepung Suro Bodong ke arah kanan. Ia memperlihatkan kesigapannya dengan merapatkan tangan kanan ke  depan dada dalam posisi ketiga jarinya menegang kaku, sementara tangan kirinya setengah terulur ke depan dalam posisi jari yang sama. Ia bergerak ke arah kanan dengan langkah  pelan dan penuh kewaspadaan, sedangkan Kenanga siap membidikkan serangannya dari depan. Di samping kiri Suro  Bodong, pohon yang dipakainya bersandar

Suro Bodong menggaruk kumisnya, seakan tidak mempedulikan gerakan— gerakan mereka. Mulutnya masih mengunyah jagung bakar kesukaannya

Matanya memandang lurus kepada Kenanga namun tidak memancarkan permusuhan. Cuek sekali

“Kalau kau menang melawanku, apa  yang akan kau peroleh?” tanya Suro Bodong kalem. “Kepuasan!” jawab Kenanga pendek dan ketus. “Kalau aku menang melawanmu, apa  yang akan kuperoleh? Apa kau menyediakan hadiah untukku?”  “Kalau kau menang…” Kenanga berpikir sejenak. Dengan rasa sungkan  ia berkata lagi, “Mungkin tubuhku bisa kau manfaatkan sebagai… terserah kamu.”  “Apa kau pikir aku punya nafsu  denganmu?!” Suro berkata dengan senyum mengejek. Kenanga semakin merah mukanya. “Kuremukkan seluruh tulangmu,  hiaaat…!!” Kenanga menendang Suro Bodong dengan gerakan melayang seperti burung rajawali mencakar mangsanya

Suro Bodong masih berdiri agak miring, pundaknya bersandar pada batang pohon. Ia menggerakkan tangan kanannya yang tidak memegangi jagung bakar. Tenaga dalam disalurkan dari tangan dan menghentak ke depan

Kenanga jatuh dalam keadaan terdorong  ke belakang. Suro memetik-metik jagung bakarnya lagi. Tenang sekali. “Kenapa kita tidak berdamai saja, Kenanga. Ilmumu belum cukup untuk menandingi orang seperti aku

Percayalah!”  “Tidak ada istilah damai bagi Kenanga,” Rogama menyahut dari samping. “Juga bagi aku… Hiaaat…!!”  Rogama menendang dengan tendangan samping ke arah kepala Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong sengaja menghantam kaki Rogama dengan satu pukulan tak bertenaga. Dan ternyata hal itu  membuat Rogama terpental beberapa  langkah ke belakang. Memang tidak jatuh, namun cukup terhuyung-huyung

“Apalagi kamu, Paman…!” ujar Suro tetap santai, belum merubah posisi berdiri yang miring ke pohon

“Ilmumu dengan Kenanga tidak ada se-kuku hitamnya. Ibarat pengantin baru, kamu hanya menang nafsu. Nafsu besar  tenaga miskin!”  Kenanga bersiap menyerang Suro Bodong lagi dengan pukulan. Tetapi Suro Bodong menyentilkan biji jagung bakar dan mengenai tangan Kenanga

Kenanga mengaduh sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang terkena sentilan jagung. Agaknya Suro Bodong  menyalurkan tenaga dalamnya yang sempurna ke biji jagung itu, sehingga ketika mengenai tangan Kenanga,  rasanya seperti beku dan dingin. Ngilu sekali

Suro Bodong melemparkan beberapa biji jagung ke mulutnya. Sambil mengunyah ia berkata kepada Kenanga: “Kenapa kau menyukai permusuhan, Kenanga? Biasanya, seorang perempuan menyukai suasana damai dan tentram

Tapi kau tidak. Kau jalang dan brutal. Kasar dan sadis. Pokoknya kau punya tabiat jelek! Ini cukup aneh bagiku, Kenanga!”  “Aku memang bukan perempuan sembarangan. Aku berbeda dengan perempuan yang pernah kau kenal.”  Kenanga bicara dengan pelan, seakan ia bicara dari hati ke hati. “Aku memerlukan seorang pendekar yang gagah perkasa!”  “Untuk apa? Aku punya banyak kenalan pendekar gagah!” “Untuk menolongku.”  “Kau dalam kesulitan?”  Sementara waktu, Kenanga diam. Ia melirik Rogama, dan Rogama yang agaknya sebagai penasihat Kenanga itu diam saja. Rogama bahkan buang muka, lalu tangan kanannya bersandar pada  batang pohon yang lain. Sikapnya sudah menyatakan masa bodoh dan terserah apa yang ingin dilakukan Kenanga. Sebab  itu Kenanga bicara lagi dengan pelan:  “Aku memerlukan sebuah pedang.” “Kau sudah punya pedang, bukan?”  “Lain…” jawab Kenanga setelah ragu sebentar. “Hanya pedang itu yang bisa lengket melekat di pedang  Jatayuku ini,” Kenanga memegang gagang pedangnya. “Dan pedang yang kucari itu hanya ada pada seorang pendekar gagah  perkasa.”  “Sebab itu kau menantang setiap pendekar untuk menjebak pedang yang kau cari itu?!”  Kenanga mengangguk Suro Bodong  berkata lagi sambil membiarkan Kenanga memandang ke arah lain, emosinya turun

“Pedang apa yang kau cari itu? Mungkin aku bisa membantu mencarikannya tanpa kau menantang— nantang permusuhan dengan orang yang belum tentu punya pedang itu?” Kenanga kelihatan mendesah. Ia bertolak pinggang dan memandang jauh ke tempat lain. Lalu ia melirik Suro Bodong dan berkata ketus:  “Apa kau bisa kupercaya?” “Dalam hal apa?”  “Rahasia pedang yang kubutuhkan?”  “Kita coba saja, apakah aku orang jujur atau curang!” jawab Suro Bodong dengan santai, tetap memetik-metik  biji jagung lalu memakannya

“Siapa kau sebenarnya?” Kenanga mulai lunak. “Suro Bodong!”  “Dari mana asalmu?” Kenanga penuh selidik

“Aku selalu terpojok dengan kata-kata itu. Aku selalu tidak bisa  menjawab pertanyaan seperti itu. Sebab aku sendiri belum tahu, dari mana aku dan siapa aku sebenarnya.”  Suro Bodong merasa tak enak ketika Kenanga memandangnya dengan berkerut dahi, penuh curiga. Lalu ia buru-buru berkata:  “Jangan tanyakan dulu soal itu. Tanyakanlah dulu apakah kau akan berhasil bekerjasama denganku atau tidak.”  “Menurutmu, bagaimana?” Kenanga ganti bertanya. “Kalau kau jujur, aku akan  berusaha menjadi orang jujur. Nah,  sekarang katakan, pedang apa yang kau butuhkan?” Setelah termenung sebentar,  Kenanga pun menjawab:  “Pedang Urat Petir…!”  Tersentak hidung Suro mendengar jawaban Kenanga. Jantungnya berdesir sejenak. Ia mengumpat dalam hati:  “Monyet…! Lagi-lagi orang yang  menghendaki pedangku! Untuk apa sebenarnya? Dan mengapa harus pedangku yang mereka butuhkan?”  Karena Suro Bodong diam, Kenanga mempunyai gagasan lain:  “Aku yakin kau akan kebingungan

Kau pasti menyimpan banyak pertanyaan. Tetapi percayalah, aku pun seperti kamu. Aku belum pernah melihat seperti apa Pedang Urat Petir itu. Siapa pemiliknya? Di mana letaknya? Itu  semua belum kuketahui. Sebab itu, hanya satu cara untuk mengujinya, yaitu: pedang tersebut akan lengket  bila menyentuh pedang Jatayuku. Hanya aku dan pemilik Pedang Urat Petir itu  yang bisa melepaskan kedua pedang yang lengket. Orang lain tak akan bisa melepaskannya.”  Termenung Suro, namun tetap saja  mengunyah jagung bakar sambil sesekali menggaruk kumisnya. Rogama memperhatikan Suro Bodong  dengan  berkerut dahi, menyimak sikap dan jalan pikiran Suro Bodong. Sekali pun Suro Bodong tahu, tapi ia tidak peduli. Ia tetap menampakkan ketenangannya yang santai sekali

Kenanga bicara dengan tegas, “Kau tak sanggup, bukan?” “Kalau aku sanggup, bagaimana?”  “Kau bebas dari ancaman matiku. Tapi kalau kau gagal, kau harus kubunuh. Tak ada istilah teman atau  perdamaian jika kau gagal mendapatkan pedang itu.” Suro Bodong tersenyum sinis, berjalan mendekati Kenanga sambil memetik-metik biji jagung bakar. Ia berhenti di depan Kenanga,  memandangnya dengan lagak angkuh dan berkata dengan tegas pula:  “Kalau aku berhasil, kau yang  akan kubunuh saat itu juga. Bagaimana? Setuju?”  Kenanga merasa tak suka dengan kata-kata itu:  “Jadi untuk apa kau membantuku mencari pedang itu?”  Suro tertawa pendek. “Aku hanya mengujimu; kau ternyata takut padaku!”  Suro melebarkan tawa. “Pulanglah, dan temui aku di sini satu bulan lagi!” “Sepuluh hari! Hanya ada waktu  sepuluh hari. Lebih dari itu, kau  tidak punya kesempatan untuk hidup.” Setelah itu ia memberi isyarat kepada Rogama agar pergi dari situ. Suro Bodong hanya tersenyum sinis seraya memandang kepergian Kenanga dan Rogama

“Kang…!” Saga berlari mendekatinya. “Bagaimana, Kang? Dia menyerah kalah?”  Suro Bodong masih memandang ke  arah menghilangnya Kenanga dan Rogama. “Ternyata dia punya tujuan yang  sama dengan orang-orang Kepatihan, Ga.”  Saga berkerut dahi. “Jadi, dia  juga mencari Pedang Urat Petir juga?” tanya Saga meyakinkan

“Ya. Dan aku menjanjikan untuk membantunya.”  “Kenapa begitu? Apakah…”  Suro memotong, “Untuk keamanan kita sementara ini, Ga. Dengan cara itu dia mau pergi dan tidak memburu kita. Bukankah saat ini kita masih  punya tugas, yaitu membebaskan ayahmu dari tawanan patih Danupaksi?”  Saga manggut-manggut. “Aku  mengerti sekarang. Cuma aku belum bisa mengerti, mengapa sekarang banyak orang yang membutuhkan Pedang Urat  Petir? Seperti apa pedang itu dan untuk apa sebenarnya, kok laris amat? Ah, bagaimana kalau kita bikin pedang dan bilang bahwa itu Pedang Urat Petir, Kang?”  Suro menggeleng, masih memandang ke arah kepergian Kenanga. Ia berkata,  “Mustahil mereka percaya. Ada cara untuk menguji Pedang Urat Petir, Ga

Apabila melekat erat di pedang Jatayu milik Kenanga itu, maka mereka akan percaya bahwa pedang tersebut adalah Pedang Urat Petir.”  “Kita bikin pedang, terus kita  beri sagu cair, sebagai lem, supaya bisa melekat di pedang Kenanga. Kan bisa?”  Suro Bodong tertawa pendek dan pelan. Ia mengusap rambut anak muda itu seraya berkata:  “Itu kan pikiran bayi. Jangan berpikir model bayi kalau kau ingin menjadi dewasa. Berpikirlah model orang tua!”  Suro Bodong melangkah. Saga berseru, “Kita jadi pergi ke Kepatihan, Kang?”  Suro mengangguk. Lalu ia merenung  sebentar dan segera berkata, “Tunggu di sini dulu, ya…?!” Suro Bodong pergi ke arah  belakang rumah Saga. Dugaan Saga, Suro Bodong mencari sesuatu untuk senjata mereka. Tapi, dugaan Saga itu tidak  pernah benar. Di belakang rumah Saga tempatnya sepi, dan Suro melakukan sesuatu tanpa dilihat siapa pun

Tubuh Suro Bodong melayang di udara, dan ia bersalto 3 kali. Andai saja Saga melihat, pasti ia akan terheran dan tidak percaya dengan  penglihatannya. Saat itu, setelah Suro bersalto di udara 3 kali, tubuh Suro Bodong mengalami perubahan total. Ia  menjadi anak kecil yang usianya lebih muda dari Saga. Inilah ilmu andalan Suro Bodong yang sebenarnya, yaitu  Jurus Luing Ayan 3. Sebab itulah Suro Bodong jika bertarung jarang bersalto di udara, sebab hal itu dapat merubah  ujudnya menjadi tujuh rupa, tergantung berapa kali ia bersalto di udara

Namun apabila ia berguling dengan posisi tubuh menyentuh tanah atau dasar apa pun, maka ia tidak akan mengalami perubahan ujud yang sangat ajaib itu

Saga kaget sewaktu melihat ada anak kecil keluar dari balik belakang rumahnya. Ia tidak mengenal anak itu. Bercelana hitam dan telanjang dada, berkalung slepetan atau ketapel, berambut cepak, pendek namun tidak terlalu acak-acakan. Matanya  jeli,  alisnya tipis, tapi bulu matanya lebat untuk ukuran anak seusia 10 tahunan seperti dia

“Hei, siapa kamu?!” tegur Saga

“Tole…” jawab anak itu. “Mari kita berangkat ke Kepatihan Benteng Cadas. Ayo…!  Saga tertegun dalam keadaan  bengong. Ia masih tak mengerti mengapa anak yang menamakan dirinya Tole itu bisa muncul dan tahu-tahu mengajaknya  pergi ke Kepatihan?  “Ayo…! Kok malah bengong?!” kata Tole

“Tunggu, aku sebenarnya akan  pergi ke sana, tapi bukan dengan kamu, melainkan dengan Kang Suro!” Tole mendekat dan berbisik, “Aku  Kang Suro…!” “Kau…?!”  “Tenang saja. Ini caraku untuk mengelabui para penjaga batas wilayah  Kepatihan. Mereka tak akan curiga bila keadaanku seperti ini. Ingat, kita berlagak jadi pencari kayu bakar, ya?” “Tunggu dulu. Aku masih belum mengerti mengapa Kang Suro bisa menjadi sekecil kamu?!”  “Aku bisa berubah sampai tujuh  kali rupa, Saga. Aku punya jurus sakti yang tidak dimiliki orang lain. Ah, sudah, mari kita berangkat. Nanti  kujelaskan di perjalanan…!” 5  SURO BODONG berhasil menyusup ke  Kepatihan Benteng Cadas dengan merubah ujud menjadi Tole. Ia berjalan bersama Saga, seperti kakak beradik yang  sedang menikmati keramaian kota Benteng Cadas. Istana Kepatihan terletak di belakang alun-alun. Di sepanjang pinggiran alun-alun ada banyak penjual makanan, kedai dan kios-kios tembakau. Bahkan beberapa bangunan sedang dibangun di tengah alun-alun. Konon, nanti malam akan dimulai perayaan Warsa Panen dengan diadakannya pasar malam di alun-alun tersebut. Rakyat Kepatihan Benteng Cadas mempunyai pesta adat setiap tahunnya, maka Patih Danupaksi selalu mengadakan syukuran berupa perayaan Warsa Panen

“Ini sangat kebetulan, ya Kang?” kata Saga yang tetap memanggil Tole dengan sebutan ‘Kang’, karena dia masih menganggap didampingi Suro Bodong

“Kelihatannya memang kebetulan

Namun ini sebenarnya sedikit menyusahkan kita, Saga,” jawab Tole

“Kalau kita gagal, kita bisa dijadikan bahan tontonan orang banyak, dan dianggap pembuat keonaran. Bisa-bisa  kita berdua dianggap pengacau, lalu dituntut oleh rakyat untuk digantung.”  Anak kecil jelmaan Suro Bodong  itu diam merenung di bawah pohon, di  pojok alun-alun. Tentu saja tak satu pun ada yang curiga dan mengetahui rencana mereka, sebab mereka tidak  ubahnya seperti anak kecil yang sedang bermain. Saga bagai sedang mengajak adiknya bermain di tempat itu. Wajah-wajah mereka pun menampakkan wajah polos tanda bebas dari suatu rencana  khusus

“Apa yang akan kau lakukan, Kang?” tanya Saga

“Tunggu malam. Aku akan masuk ke dalam benteng Kepatihan, dan kau  menunggu di samping warung itu,” Suro Bodong yang berubah menjadi Tole itu mengajak ke sebuah warung. Di samping  warung itu ada pohon besar yang rindang. Di samping warung itu juga ada jalan menuju persawahan, yang  menurut pengamatan Tole dapat membawa mereka ke luar dari wilayah Kepatihan. “Kang,” Saga bicara pelan

“Kelihatannya pintu gerbang benteng Kepatihan dijaga ketat oleh para prajurit berseragam biru hitam.”  “Sebab itu aku akan masuk lewat jalan lain. Aku tidak ingin membuat  suasana menjadi gaduh sehingga rakyat banyak yang mengetahui rencana kita. Aku akan masuk setelah gelap malam tiba, dan kau segera ke warung itu

Kalau aku datang sambil membawa ayahmu, kau harus cepat berlari di belakangku. Mengerti?”  Saga mengangguk. Sementara itu, beberapa prajurit berkuda sedang mengadakan patroli keliling alun-alun  dan keluar masuk di sela-sela bangunan yang akan meramaikan pasar malam

Umbul-umbul dipasang di sepanjang jalan menuju alun-alun dan di sekitar alun-alun sendiri

Sekali pun Suro Bodong telah menjadi anak kecil, namun ia masih sanggup merobohkan para penjaga di  pintu gerbang tersebut. Hanya saja, ia tak ingin suasana menjadi ribut dan kacau balau. Karenanya, ketika malam telah menjelma, Saga segera diperintahkan untuk ke samping warung. Mereka berpisah. Dan satu hal yang sedikit menguntungkan mereka adalah pelaksanaan pasar malam itu, yang ternyata bukan malam ini sangat melegakan hati Tole, sebab andai  terjadi suatu keributan, tak banyak masyarakat yang mengetahuinya. Tole berjalan ke samping bangunan batu yang tinggi. Ia berjalan sambil menyelidiki kemungkinan untuk bisa masuk ke dalam benteng tersebut. Di setiap sudut, di bagian atas benteng,  terdapat rumah jaga dengan masing-masing satu prajurit yang siap dengan panah di tangan

Benteng itu cukup rapat. Selain tinggi dan keras, juga tak mungkin  dapat dibobok atau digali pada bagian dasar pondasinya. Batu benteng itu sangat kokoh, tinggi dan lebar. Tole  saat itu bersembunyi di balik tumbuh—  tumbuhan liar yang terdapat di tepian benteng. Tinggi tanaman itu sebatas perut orang dewasa, sehingga dengan  jongkok di bawah tanaman tersebut, Tole dapat melihat beberapa orang patroli berkuda yang mondar-mandir di sekeliling benteng

Tole memutar otak, bagaimana caranya masuk ke dalam benteng?  Memanjatnya jelas tak mungkin. Selain cepat diketahui penjaga, juga kemiringan tembok benteng batu cadas itu sangat membahayakan jika dipanjat tanpa tali

Setelah malam kian sunyi, Tole mempunyai gagasan lain. Ia mencari tempat lebih tersembunyi, yaitu di seberang benteng, di antara tanaman  pagar rumah penduduk. Namun ketika ia menyeberang ke sana, seorang pengawas yang ada di rumah jaga atas benteng  berseru sambil menaikkan obor besar yang selalu ada di kanan kiri rumah jaga itu

“Hei, anak kecil…! Mengapa malam-malam  begini masih ngeluyur? Ayo, pulang…!”  “Ya, Paman…! Ini saya sedang  mau pulang…!” sahut Tole dengan hati berdebar, takut ketahuan. Waktu Tole sudah sampai di balik pagar halaman, ia segera bersiap-siap. Tempat di situ cukup gelap, karena obor atau pelita yang ada di pinggir  pagar ternyata mati. Mungkin kehabisan minyak. Dan itu sangat menguntungkan Tole

Tubuhnya yang kecil segera  melesat ke atas. Ia bersalto sebanyak 2 kali putaran. Suro Bodong telah memainkan jurus Luing Ayan 2. Maka  tubuh kecil itu telah berubah. Bukan menjadi Suro Bodong seperti semula, melainkan berubah menjadi perempuan cantik, lengkap dengan dandanan serta  kain batik warna putih bergaris coklat yang melilit tubuhnya setinggi bawah lutut. Kain berwarna putih dengan  corak batik lereng coklat itu menutup  tubuh sampai di bagian dada. Sementara itu, ia juga mengenakan kebaya tipis berwarna kuning gading. Rambutnya  panjang, diurai lepas  sebatas  pinggang. Namun ia buru-buru menggulungnya asal jadi. Menyisakan sedikit rambut di bagian pelipis yang terjulur ke bawah sampai di leher

Dengan rambut digulung begitu, lehernya yang putih mulus tampak segar menggairahkan. Sedangkan buah dadanya yang tertutup kain itu juga sekal dan  menjadi daya tarik yang melemaskan lu tut lelaki

Suro Bodong telah berganti ujud, menjadi perempuan cantik yang menggairahkan. Matanya yang bulat bening itu melirik ke atas sewaktu ia berjalan di samping benteng

Gemerincing gelang perak di tangannya terdengar memecah sunyi. Ia sengaja berjalan agak cepat dan memancing suara gelang ketika melewati bawah rumah jaga di atas benteng

Pancingannya berhasil membuat lelaki penjaga pos itu memandangnya

Suro Bodong yang telah berubah menjadi seorang perempuan sengaja menjatuhkan diri dengan nafas ngos-ngosan. Lelaki  penjaga pos itu semakin membelalak ketika kain penutup menyingkap, membuat paha perempuan itu terlihat menggairahkan di bawah temeramnya lampu penerang jalan. Lelaki penjaga pos itu menelan ludahnya beberapa kali, kemudian ia berseru: “Ada apa, Yu…?”  “Oh, tolonglah aku, Kang…  Tolonglah aku…!” Suara Suro Bodong yang telah berganti ujud perempuan cantik itu ternyata juga berubah,  persis suara perempuan biasa. “Ada apa, hah? Kenapa Mbakyu sampai jatuh begitu?”  “Aku… aku dikejar-kejar seorang lelaki yang ingin memperkosaku. Oh tolonglah… Dia tahu kalau aku lari  ke sini…”  Setelah menimbang sesaat, lelaki penjaga rumah intai itu mengulurkan tangga tali

“Naiklah ke mari…! Lekas,  sebelum teman-temanku melihatnya…  Ayo, naik…!” Lelaki itu berseru dalam bisik yang membuat suaranya seakan serak. Dan perempuan berkebaya  tipis warna kuning gading itu buru-buru berusaha naik ke tangga tali. Ia berlagak mengalami banyak kesulitan

Lelaki penjaga sudut benteng segera menariknya, sehingga ia berhasil memegang tangan perempuan itu dan mengangkatnya ke atas benteng

Jarak dari sudut benteng ke sudut yang lain cukup jauh, sehingga apa yang dilakukan lelaki berkumis tipis itu tidak diketahui temannya. Ia  segera menyuruh perempuan itu masuk ke rumah jaga beratap genting. Di sana ada bangku, dan perempuan itu duduk di bangku. Lelaki itu sempat berkata dalam hati, “Lumayan… bisa untuk penghangat tubuh pada malam yang dingin seperti ini. Wouw… cantik  juga dia?!”  “Siapa namamu, Yu?” tanya lelaki itu dengan tangan membelai-belai punggung perempuan jelmaan Suro  Bodong

“Kok tanya nama segala?” “Kamu kan sudah kutolong dari  kejaran orang yang ingin memperkosamu. Masa tak boleh aku mengetahui namamu, anggap saja sebagai hadiah”  Perempuan itu berlagak tersenyum malu. “Namaku… Arum.” “Arum…?”  Perempuan itu mengangguk. “Arum Sajen…”  “Arum Sajen…? Oh, bagus sekali  namamu.” Lelaki itu mencubit dagu Arum Sajen. Arum hanya tersipu sembari mengelak lambat. “Kau tidak ingin mengetahui namaku?”  “Ah, untuk apa, Kang…? Karena sebentar lagi kau akan sekarat…!” “Hah…?!” Lelaki itu mendelik. Selain kaget juga karena tangan kanan  Arum Sajen segera memukul keras ulu  hati lelaki itu, kemudian memukul lagi tengkuk kepala lelaki itu ketika lelaki itu menunduk mules. Dan tak  berapa lama lelaki itu pun roboh tanpa suara

Tanpa membuang waktu, Arum Sajen segera  menuruni tangga batu yang  menuju ke lantai dasar. Tangga batu itu meliuk seperti tubuh ular merambat. Begitu ia sampai di lantai dasar, ternyata ia berhadapan dengan  rumah atau kamar jaga bawah. Kamar itu digunakan untuk tempat menunggu bagi prajurit yang ingin bergantian jaga di atas benteng. Kebetulan waktu itu ada orang prajurit berseragam biru hitam  yang sedang berbincang-bincang di  depan kamar. Tentu saja kedua prajurit itu sangat terkejut melihat Arum Sajen turun dari tangga penjagaan

“Hei, siapa kamu?!” bentak salah seorang

Arum Sajen mendekat dengan senyumnya yang manis. Kedua prajurit saling beradu pandang. Dan pada saat itulah kedua kaki Arum Sajen melayang  cepat, menendang kedua prajurit tersebut. Yang satu terpental karena dadanya terkena tendangan kaki kanan, yang satunya lagi terhuyung-huyung karena wajah terkena tendangan kaki kiri. Namun keduanya segera mencabut pedang dari pinggang masing-masing

“Hiaaaaat…!!” teriakan itu keluar dari mulut prajurit yang  terhuyung-huyung tadi. Suaranya keras, dan pasti mengundang perhatian. Ia menendang ke arah samping Arum Sajen,  namun pedangnya ditebaskan ke arah tubuh Arum

Karena sudah terbiasa gerakan  Suro Bodong, maka Arum Sajen pun mengguling di lantai ke arah berlawanan dengan datangnya pedang lawan. Tetapi ternyata ia jatuh di bawah kaki prajurit lain, yang tadi terpental karena tendangan kaki  kanannya. Sebelum Arum terkena kibasan pedang, kakinya telah menendang dalam keadaan telentang. Tendangan itu  begitu keras dan mengenai perut lawan, sehingga lawan menjadi menggerang kesakitan dan susah bernapas. Arum  buru-buru bangkit dan memukul dada orang itu dengan teriakan seorang wanita. Pukulan ganda dengan tangan kiri-kanan yang cepat itu membuat lawannya terpelanting lagi

“Kurang ajar  kau, Perempuan busuk…!!” seru prajurit di  belakangnya seraya mengibaskan pedang. Arum segera merundukkan badan ke arah samping. Lalu ia membalik dengan satu tendangan keras yang membuat tangan lelaki itu menjadi ngilu. Pedangnya jatuh, dan  Arum menjadi semakin lincah

Melihat banyak prajurit yang berlarian ke tempat kejadian, Arum Sajen tak ada pilihan lain untuk segera merubah. Ia bersalto ke depan satu kali. Itulah Jurus Luing Ayan 1, yang dapat merubah ujudnya secara otomatis menjadi Suro Bodong lagi. “Hah…?! Berubah menjadi  lelaki?!” pekik prajurit yang pedangnya jatuh. Ia menjadi ketakutan. Ia hendak melarikan diri, namun Suro Bodong segera melayang dengan cepat, kaki kanannya lurus ke samping dan mengenai punggung lelaki yang hendak lari

Beberapa prajurit mulai mengepung Suro Bodong. Suasana menjadi ricuh. Suro Bodong garuk-garuk kumisnya sebentar, lalu bersiap menyerang mereka. Tetapi seorang prajurit berseragam lain, mengenakan penutup dada dari bahan tebal warna merah, muncul sambil menenteng Saga. “Menyerah, atau anak ini  kubunuh!”  Mendelik mata Suro Bodong melihat Saga tertangkap. Ia meludah dengan jengkel dan memandang garang kepada Saga

“Bocah goblok…”  “Maaf, Kang. Aku mengintip di  pintu gerbang dan nekad ingin masuk. Tapi tertangkap. Kukira kau pergi meninggalkan aku dan…”  “Diam, Monyet!” bentak Suro Bodong dengan jengkel

“Hei, yang berhak membentak dia  aku! Sebab aku yang menangkap dia! Dan aku yang mendengar keterangan darinya tentang rencanamu, sebab dia takut kubunuh. Ha, ha, ha…!”  “Bocah sinting…!” bentak Suro Bodong kepada Saga. “Diam!” bentak penjaga gerbang

“Aku yang berhak membentak dan marah-marah kepadanya!” “Aku juga berhak! Aku yang  membawanya ke mari dan yang mempunyai rencana seperti ini! Dia tidak ada  dosa padamu! Dia berdosa padaku. Sebab itu, aku berhak marah dan membentaknya!”  “Tapi kamu dan dia sekarang menjadi tawanan kami, jadi kamilah yang berhak membentaknya!”  “Tapi kepada dia aku juga berhak membentaknya!”  Salah seorang prajurit berseru,  “Hei, soal urusan bentak-membentak jangan dikupas di sini. Sebaiknya mereka segera dibawa menghadap Gusti  Patih Danupaksi…!”  “Tunggu…” kata seorang prajurit lagi. “Sekarang ini, di Paseban sedang ada pertemuan penting. Gusti Patih  Danupaksi tidak bisa diganggu.” Suro Bodong menyahut, “Kalau begitu, tangkap saja aku nanti

Sekarang biarkan aku lepas. Nanti kalau patihmu itu sudah selesai mengadakan pertemuan, baru kalian tangkap lagi aku! Bagaimana!” Seseorang menendang kepala Suro Bodong dengan gemas dari belakang. Suro berontak dan marah. Ia hendak menyerang orang itu, tetapi penjaga gerbang berseru:  “Kau bergerak, kuhabisi nyawa anak ini!”  Suro Bodong berbalik, dan  mendekati penjaga gerbang. “Hei, kalau soal menghabisi  nyawa, aku sering. Tapi bukan nyawa anak ingusan seperti dia! Ayo, habisi nyawaku kalau kau memang doyan makan  nyawa?! Ayo…!” Suro Bodong maju, mendesak, dan penjaga gerbang itu mundur. Cemas. Yang lain siap  mengacungkan tombak ke punggung Suro Bodong. Saga masih dicengkeram kuat oleh penjaga gerbang. Suro Bodong menyempatkan diri menampar Saga. “Plaak..!”  “Gara-gara kamu yang bodoh, keadaan jadi kacau! Rencana jadi  buyar. Cuih…!” Suro Bodong bermaksud meludahi Saga, tetapi arah ludahnya salah meluncur ke dada penjaga gerbang

“Kurangajar…! Berani kau meludahi aku, ya?”  Tombak semakin merapat di leher Suro Bodong. Hanya beberapa jari saja jarak tombak dengan leher. Sekali serbu, pasti leher Suro akan bolong

Dalam todongan lebih dari lima  tombak menempel di leher, Suro Bodong dibawa menghadap Patih Danupaksi. Tak ketinggalan, Saga juga diseret ke  depan patih berambut putih. “Siapa kau sebenarnya, Ki Sanak?” tanya Patih Danupaksi. “Bagaimana aku bisa menjawab  kalau ditodong sekian banyak tombak?” kata Suro Bodong mencnangkan sikap. “Kurasa tombak-tombak ini tajam, bukan?”  Dengan wibawa yang ada, Patih Danupaksi memberi aba-aba dengan anggukan kepala kepada para prajuritnya. Lalu mereka menyingkir dari samping kanan kiri Suro Bodong. Kini, Suro Bodong bebas dari ancaman pucuk-pucuk tombak, namun beberapa prajurit tetap disiagakan di  sekeliling ruang pertemuan itu. Saga ada tak jauh dari Suro Bodong, sedangkan Suro Bodong sendiri berdiri dengan tegap, kedua kaki terenggangkan,  memandang Patih  Danupaksi yang duduk di dampar kepatihan

“Kuulangi lagi, siapa engkau sebenarnya, sehingga berani-beraninya masuk Kepatihan Benteng Cadas ini?” tanya Patih Danupaksi ingin memperjelas laporan prajuritnya tadi

“Namaku, Suro Bodong!” jawab Suro dengan tegas, namun masih saja sesekali menggaruk garuk kumisnya yang tebal

“Aku baru sekali ini mendengar namamu, Suro Bodong.”  “Aku tidak heran. Karena aku juga baru sekali ini berhadapan dengan kau, Patih Danupaksi. Benar itu namamu,  kah?”  Patih Danupaksi mengangguk dengan tenang, namun masih kelihatan berwibawa. “Lalu apa tujuanmu ke mari?”  “Pertama, mencari seorang gadis  yang bernama Ratna Prawesti. Apa kau kenal dengannya?”  “Tidak.”  Suro Bodong manggut-manggut. “Kalau begitu, kapan-kapan jika kekasihku itu sudah kutemukan, kau akan kukenalkan dengannya. Supaya kenal!” Suro Bodong  melirik ke  sekeliling. Ternyata ada Brogo segala di situ. Lelaki brewok yang menjadi pimpinan penggeledahan di rumah Saga itu duduk bersila di dekat lelaki  muda, bertubuh tegap dan berwajah bersih. Ada codet di ujung alis mata kirinya. Ia memandang sinis kepada Suro Bodong. Tapi Suro Bodong tak menanggapi sikap tersebut. Ia berkata lagi kepada Patih Danupaksi setelah menggaruk kumisnya satu kali. “Kedua, aku ke mari untuk mengambil Ki Pupus. Kau salah duga Patih Danupaksi. Ki Pupus itu petani biasa. Dia tidak mempunyai Pedang Urat Petir yang kau cari. Kau harus percaya dengan kata-kataku itu!”  Patih menggut-manggut. “Aku percaya,” jawabnya tegas dan berwibawa. “Dan sekarang pun aku  memang ingin membebaskan Ki Pupus. Aku dan orang-orangku memang salah anggapan. Kau boleh membawa Ki Pupus  pulang sekarang juga!”  Suro Bodong berkerut dahi, merasa heran. Mengapa semudah itu Patih  Danupaksi mau mempercayai kata-katanya? “Kenapa kau beranggapan seperti  itu, Patih Danupaksi?” tanya Suro Bodong dengan polos

“Sebab… Pedang Urat Petir sudah di tangan orangnya. Pedang itu sedang kita bicarakan untuk saling ditukar

Aku mendapatkan Pedang Urat Petir tanpa harus memiliki.”  Suro Bodong masih terheran-heran. Matanya memandang tajam pada Patih  Danupaksi seraya sesekali menggaruk-garuk kumis. Ia membiarkan penguasa Kepatihan itu bicara lebih banyak,  sebelum segalanya akan dipertanyakan “Suro Bodong, percayalah… aku  tidak punya tujuan jahat kepada Ki Pupus. Sebagai rasa penyesalan, aku akan menjamin hidupnya, dan kehidupan keluarganya sepanjang umur. Ketahuilah, Suro Bodong, supaya kau tidak menganggapku orang serakah atau  jahat… bahwa sebenarnya bukan Pedang Urat Petir yang kubutuhkan, tetapi orangnya.”  Semakin tajam lagi kerutan di kening Suro, dan hal itu membuat Danupaksi berkata:  “Kau pasti heran, bukan? Tapi memang begitulah kenyataannya, Suro  Bodong. Aku membutuhkan orang yang memiliki Pedang Urat Petir untuk kukawinkan dengan anakku…!” “Gila!” Suro Bodong nyaris  terpekik dengan melotot. Tapi tiba-tiba muncul seorang perempuan cantik yang berseru:  “Tidak! Itu tidak gila, Suro Bodong…!”  Semakin membelalak mata Suro Bodong setelah mengetahui bahwa gadis itu adalah Kenanga Hijau. Perempuan yang mengenakan pakaian serba hijau  itu mendekati Patih Danupaksi dan berkata kepada Suro Bodong: “Ayahku bukan orang gila, Suro

Dia punya alasan. Kami semua punya alasan khusus mengapa aku harus dikawinkan dengan pemilik Pedang Urat Petir…!”  “Tapi… tapi…” Suro gugup

“Tapi aku tidak mau kawin denganmu, Kenanga. Aku… aku…”  Beberapa orang, termasuk beberapa prajurit, tertawa cekikikan. Ada yang tertawa tanpa bunyi, ada yang tertawa cukup pendek-pendek saja. Ada yang tersenyum sinis, dan ada yang menggumam dalam tawanya. Suro Bodong menjadi gerogi serta malu, merasa menjadi badut yang pantas  ditertawakan. Tetapi ia tetap berpegang pada prinsip:  “Aku tidak mau…! Bagaimana pun  juga kalian menertawakannya, aku tetap tidak mau kawin dengan Kenanga. Aku sudah punya kekasih sendiri: Ratna  Prawesti. Itu kekasihku yang sedang kucari-cari…!”  “Suro Bodong…!” sapa Danupaksi dengan wibawa dan kharisma yang tinggi. “Tidak ada orang yang ingin mengawinkan kau dengan putriku, Suro

Jangan salah dengar. Aku hanya akan mengawinkan anak gadisku ini, dengan  pemilik Pedang Urat Petir.” Danupaksi menegaskan lagi. “Pemilik Pedang Urat Petir! Bukan dengan kamu!” Ada kejanggalan yang begitu tajam dirasakan di hati Suro Bodong. Ada keanehan yang sangat mengusik pikirannya. Lalu ia bersikap tenang, manggut-manggut sebentar, garuk-garuk kumis sebentar, setelah itu baru bertanya:  “Siapa pimilik Pedang Urat Petir itu?!”  “Raden Pujo! Pendekar Pedang  Petir…!” seraya Patih Danupaksi mengulurkan tangannya, memperkenalkan Suro dengan lelaki bertubuh kekar,  mengenakan ikat kepala kulit zebra dan terdapat codet bekas luka di ujung alis kirinya

Suro Bodong sebenarnya terkejut sekali, tapi dia bisa mengendalikan diri untuk tenang dan bersikap biasa— biasa saja. Ia memandang Raden Pujo yang duduk dengan dada tegap di  samping Brogo. Lelaki berbaju biru tua dan celana biru muda bertepian manik emas itu memegangi pedang. Sarung dan  gagangnya terbuat dari gading gajah

Gading itu bergaris melintang dari  atas ke bawah dengan logam emas. Indah sekali pedang tersebut, dan ia selalu menggenggamnya dengan tangan kiri. Ikat kepalanya yang berwarna loreng zebra membuat Raden Pujo menampakkan  kesan perkasa seorang pendekar, sekali pun ia berdarah bangsawan. “Apakah kau yakin bahwa pedang  itu tidak palsu, Patih?” tanya Suro Bodong seperti malas-malasan. “Tidak mungkin,” sahut Brogo yang dari tadi diam saja

“Ya, tidak mungkin,” tambah patih Danupaksi. “Kami sudah sama-sama menyaksikan sendiri, pedang yang ada  di tangan Raden Pujo itu, sungguh Pedang Urat Petir.”  “Dari mana bisa tahu begitu?”  desak Suro Bodong dengan hati-hati

Sikapnya kini seperti orang dungu yang ingin tahu. Patih Danupaksi pun menjelaskan:  “Selain dilihat begitu saja,”  patih memandang pedang di tangan Raden Pujo, “Juga dilihat isinya, orang akan yakin, bahwa itulah Pedang Urat  Petir.”  “Boleh dibuka di sini untuk  meyakinkan dia, Ki Patih?” kata Brogo dengan sopan. “Silakan, supaya Suro Bodong  tidak penasaran.” jawab Danupaksi. Raden Pujo mencabut pedangnya, dan para prajurit yang berada di pinggiran ruang pertemuan itu menggumam kagum. Pedang itu mengeluarkan asap dan percikan— percikan api yang berkerlip-kerlip seperti loncatan petir di waktu malam. Raden Pujo berkata kepada Suro  Bodong, “Kurasa pedang Urat Petir ini sangat bersedia untuk membunuhmu sekarang juga, Suro Bodong.”  Suro Bodong hanya garuk-garuk kumis, seperti orang bingung. Ia berkata pelan tapi jelas:  “Kurasa tidak.” Suro Bodong  melirik Kenanga dan Patih Danupaksi. “Siapa orang ini sebenarnya, Patih?  Darimana kau memungutnya?”  Raden Pujo menggeram dan hendak mengibaskan pedangnya ke tubuh Suro Bodong, tetapi Brogo mencegahnya

Brogo sendiri yang menjawab pertanyaan Suro tadi: “Dia temanku! Teman seperguruan  yang sudah lama bertapa di bawah lereng Lawu!”  “Aku tidak yakin,” kata Suro entah kepada siapa. Tapi ia segera memandang Danupaksi, berjalan mendekat bagai tak kenal tata krama. “Aku tidak yakin dengan pedang  itu!”  “Jangan bicara selancang itu, Suro,” bisik Danupaksi. “Beri aku kesempatan untuk  mencelikkan mata hatimu, supaya kau  dan anak gadismu yang cantik itu tidak tertipu.” Danupaksi memandang Kenanga

Mereka saling tatap sejenak, kemudian Suro buru-buru berkata:  “Ini sebuah tipuan! Raden Pujo membayar mahal kepada paman Brogo supaya dia bisa mencicipi keperawanan Kenanga! Hasilnya, adalah tipu daya seperti ini!”  “Lancang betul mulutmu, Suro

Hiaaaat…!” Raden Pujo menyerang Suro Bodong dengan kibasan pedangnya. Suro Bodong mengelak sambil melompat mundur beberapa langkah. Ia masih tenang, pergi ngeloyor begitu saja. Kumisnya  digaruk dengan telunjuk, dan ia pun membiarkan Saga mengikutinya dari lain arah. “Hei, mau ke mana kau, Biadab?”  bentak Raden Pujo yang merasa terhina  mentah-mentah. “Berhenti! Mau ke mana kau?!” “Cari tempat yang lebih lega  untuk menghajarmu, Pujo!”  “Hiaaat…!” Raden Pujo penasaran dan tak bisa menahan diri, ia menyerang Suro Bodong dari belakang, hendak membabat pundak Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong tidak kalah tangkas

Suro segera berbalik sambil menjatuhkan badan. Posisi tangannya menendang keras perut Raden Pujo. Karena kerasnya, Raden Pujo terdorong ke depan, berguling satu kali dan  jatuh tak beraturan di luar ruangan yang menyerupai pendopo itu

“Suro Bodong…!” hardik Kenanga seraya mengejar. “Tenang, Kenanga. Aku akan  membuktikan bahwa kau nyaris tertipu. Kalau aku gagal, potong kepalaku dan pajang di alun-alun pada pasar malam besok!”  Suro Bodong segera melompat bagai gagak melayang, kaki kanan membentang sedang kaki kiri terlipat, tetapi  kedua tangannya terentang, yang satu  sedikit ditekuk dan mengepal kuat-kuat. Raden Pujo menghindari tendangan itu dengan bersalto ke belakang dua  kali. Kini mereka jadi berada di halaman depan pendopo pertemuan itu. “Rasakan jurus Petir Murka ini, Suro… hiiaat…!!”  Raden Pujo menancapkan pedang berpijar-pijar ke tanah. Kemudian ia segera menendang pedang itu pada bagian tangkainya. Pedang tersebut melesat bagaikan kilat. Hampir saja menyambar wajah Suro Bodong. Dengan gesit Suro Bodong segera tiarap, dan pedang tersebut melesat lewat atas  kepala Suro Bodong. Pedang itu menancap pada tiang lampu minyak penerangan halaman

“Duaaarr…!! Timbul suara  ledakan yang membuat tanah menjadi  guncang sesaat. Tiang lampu itu hancur menjadi arang, sedangkan pedang tersebut bagai memantul kembali ke  pemiliknya. Semua orang merunduk dan menutup telinga. Wajah-wajah mereka berlapis kepucatan, kecuali Suro Bodong

“Barangkali itulah yang kau  butuhkan, jurus Petir Murka yang baru sekali ini kebetulan punya rasa kasihan kepadamu, Suro. Biasanya ia tak pernah mengenal belas kasihan kepada mangsanya!” Suro Bodong hanya tertawa dalam  gumam. “Itu bukan jurus sakti. Itu sihir buat mengelabui anak-anak main kelereng. Ah, terlalu ringan buat  permainanku. Hei, ada yang lebih hebat lagi?!  Suro Bodong sengaja  menyombongkan diri untuk memancing kepanasan hati Raden Pujo. Maka geram  Raden Pujo terdengar mengerang seperti macan lapar

Sekali lagi Raden Pujo  menancapkan pedangnya ke tanah dan  menendangnya kuat-kuat. Kali ini kedua telapak tangannya ikut mengembang, dan memancarkan kilatan api biru yang  menempel pada tangkai pedang tersebut. Pedang itu melesat cepat bagai sedang dikendalikan arahnya

“Hiattaa…!!”  Suro Bodong berguling-guling ke  tanah dan melejit dengan menghentakkan punggung. Pada waktu, ia berdiri,  pedang yang memercikan bunga-bunga api itu tertuju ke arahnya, seirama dengan gerakan telapak tangan Raden Pujo

Tetapi dengan cepat Suro Bodong meraba pergelangan tangan kirinya, lalu menarik dalam satu kibasan

Orang-orang tercengang melihat tangan kanan Suro Bodong telah memegang  sebilah pedang bercahaya ungu. Padahal mereka sejak tadi tidak melihat Suro Bodong menyandang senjata apa pun. Ketika Suro Bodong mengibaskan pedangnya yang pertama dari kulit pergelangan tangannya, tepat pedang tersebut mengenai pedang Raden Pujo. “Blaaar…!” Ada nyala api  yangmenyala terang sekali, dan ledakan yang mengguncang pepohonan di sekeliling. Sementara itu, pedang  Raden Pujo kembali ke tempat semula ia meluncur, bahkan menancap pada tanah tempat ia ditancapkan. Orang-orang  menggumam kagum semakin keras. “Raden Pujo…!” seru Suro  Bodong. “Mengapa wajahmu menjadi pucat, hah?! Kurasa kau memang perlu dibuat lebih pucat lagi

Heeaaaattt…!!”  Raden Pujo menggeragap ketakutan. Namun agaknya ia ragu dan malu kalau harus lari tunggang langgang. Waktu itu Suro Bodong mengejarnya, lalu  berlari cepat mengelilingi tubuh Raden Pujo dengan gerakan sangat cepat

Raden Pujo kebingungan, gugup dan ketakutan

Tujuh kali Suro Bodong bergerak mengelilingi tubuh Raden Pujo dengan kecepatan melebihi gangsing. Tiba-tiba ia berhenti tepat di depan Raden Pujo

Lelaki itu hendak memukul Suro Bodong dengan tangan terangkat ke samping

Tetapi Suro Bodong mengibas-ngibaskan pedangnya tujuh kali dengan cepat

Kibasan itu tidak menyentuh sedikit pun pakaian Raden Pujo. Dan suatu  keanehan membuat Danupaksi terbengong— bengong

Tubuh Raden Pujo berkilauan  cahaya yang menyilaukan mata. Semua tangan terangkat, melintang di depan mata. Semakin lama semakin terang,  seperti cahaya inti matahari. Tak satu pun mata yang sanggup menembus pandang cahaya kemilau itu. Namun beberapa saat kemudian,  cahaya kemilau itu surut, dan kian  menjadi padam. Mata mereka mengerjap-ngerjap. Suro Bodong berdiri agak jauh seraya menggaruk- garuk kumisnya

Mereka terpekik dengan mata membelalak begitu melihat tubuh Raden Pujo telah berubah menjadi patung batu dalam  posisi tangan terangkat satu, hendak memukul. Suara menjadi gaduh, ricuh. Masing-masing berkomentar menurut jalan otaknya. Patih Danupaksi masih terbelalak dalam kekaguman ketika ia  berkata kepada Kenanga: “Benar-benar menjadi patung…!!” “Mengagumkan sekali dia…!” bisik Kenanga

Suro Bodong sengaja menjauhi  hiruk pikuknya mereka yang menghampiri patung tersebut. Ada yang mencoba meraba, ada yang mencoba mendorong dan ada yang hanya berceloteh tak jelas bahasanya. Sedangkan Brogo hanya  berdiri tegak, terkesima dan merasa tak percaya dengan kenyataan yang dilihatnya

“Kau hebat…! Hebat sekali,  Kang,” kata Saga seraya memegangi tangan Suro Bodong yang garuk-garuk kumis, sedangkan tangan yang satu  masih menggenggam erat pedang  bercahaya ungu: Pedang Urat Petir yang asli. Danupaksi dan Kenanga mendekati  Suro Bodong dalam keheranan yang belum tuntas. “Apa yang telah kau lakukan  sebenarnya, Malaikat?!”  “Aku bukan malaikat,” jawab Suro Bodong. “Aku hanya membuktikan bahwa kau  akan ditipu oleh Brogo dan Raden  Pujo!” Suro Bodong masih garuk-garuk kumis. Ia tenang, acuh tak acuh

Danupaksi geleng-geleng kepala dengan heran dan takjub memandang keadaan Suro Bodong. Lalu, Suro Bodong berkata:  “Bukankah kalian punya cara tersendiri untuk menguji keaslian Pedang Urat Petir?”  Danupaksi mengangguk, lalu  menyuruh Kenanga mencabut pedang Raden Pujo. Kenanga membawa pedang tersebut kepada ayahnya. Kemudian Danupaksi  berkata:  ‘Tempelkan pada pedangmu, kalau lengket, itu Pedang Urat Petir yang asli…!”  Kenanga mencabut pedang Jatayu, kemudian menempelkan pada pedang yang masih memercikkan bunga api, yaitu pedang milik Raden Pujo. Tetapi berulangkali pedang itu disatukan,  tetap tak mau lengket. “Pedang itu tidak mau melekat  dengan pedangku, Ayah,” kata Kenanga

Tapi tanpa disadari, ia berjalan di dekat Suro Bodong. Tiba-tiba pedang Jatayu melesat sendiri dari pegangan  tangan Kenanga. “Sreekk…!” Tahu-tahu pedang Jatayu melekat erat pada pedang yang dibawa Suro Bodong. Bukan hanya  Suro Bodong yang kaget. Mereka sama-sama memandangi kedua pedang yang saling melekat bagai mempunyai daya magnit yang sangat kuat. Danupaksi buru-buru melepaskan kedua pedang itu, tapi sampai  keringatnya mengucur, pedang tersebut tak mampu dilepaskan. Semua orang beralih perhatiannya kepada kejadian itu, termasuk Brogo

Gemetar tangan Suro Bodong, gemetar pula tangan Kenanga ketika hendak menarik pedang yang lengket  itu, dan ternyata mereka dapat melepaskan kedua pedang tersebut dengan sangat mudah, tanpa harus menguras  tenaga

“Ini Pedang Urat Petir yang  asli…! Iniii…!!” seru Danupaksi dengan girang. Semua pun ikut girang

Dan tiba-tiba Brogo mencabut pedangnya. Semua orang yang ada di sekitarnya menyingkir cepat. Suro Bodong bersiap hendak menangkis serangan Brogo. Tapi ternyata, Brogo menikamkan pedangnya ke dadanya sendiri, tepat di awah jantung

“Brogo bunuh diri…!!” seru para prajurit yang membuat suasana menjadi gempar. Danupaksi terbengong kembali  melihat perbuatan Brogo yang tak sanggup menahan malu, karena benar apa kata Suro Bodong: bahwa dia telah menggunakan kesempatan mencari Pedang  Urat Petir untuk mencari keuntungan sendiri. Ia dibayar mahal oleh Raden Pujo dengan mengaku Raden Pujo itulah pemilik Pedang Urat Petir sebenarnya, dan patut mengawini Kenanga

“Aku patut berterimakasih  sebanyak-banyaknya kepadamu, Suro Bodong. Sekali pun wajahmu kasar, penampilanmu memuakkan, namun sesungguhnya kau mempunyai jiwa yang  bersih,” kata Patih Danupaksi setelah beberapa saat menikmati sarapan pagi. Di situ ikut pula Saga dan Ki Pupus,  yang mendapat kehormatan untuk bersantap pagi bersama keluarga Kepatihan

Suro Bodong berkata seenaknya, seperti sudah menjadi ciri khas pribadinya:  “Untuk apa terima kasih segala! Semua kejahatan bagaimanapun juga suatu saat akan terbongkar. Sepele saja!”  ‘Tapi… sungguh aku tidak menyangka kalau Brogo mau bersekongkol dengan Raden Pujo demi uang dan…”  “Ah, itu juga sepele!” sahut Suro Bodong. “Orang mana yang tidak ngiler dengan uang? Orang mana yang tidak  tergiur oleh kekayaan. Sebesar apa pun kesetiaan seorang bawahan, suatu saat akan rapuh juga mentalnya. Itu  tergantung bagaimana atasannya saja, kalau atasan memperhatikan kesejahteraan hidupnya, menjamin masa  depannya, yah… tak mungkin jiwa-jiwa tempe itu dimiliki seorang bawahan!”  Danupaksi seharusnya tersinggung dengan ucapan itu. Tapi nyatanya ia hanya manggut-manggut dan menghela nafas dalam-dalam. Ada geram terpendam, ada keganjilan yang dirasakan tumbuh dalam hati dan menuding diri sendiri

Kenanga menyadari adanya perubahan batin ayahnya, ia segera mengalihkan suasana dengan berkata,  “Aku tidak menyangka sama sekali kalau pemilik Pedang Urat, Petir itu ternyata kamu, Suro Bodong.”  “Ya,” jawab Danupaksi sendiri. “Dan aku tidak menyangka kalau  akhirnya aku akan mempunyai menantu kamu.”  Mata Suro Bodong membelalak, lalu terbengong. Ia sepertinya baru sadar  dari ancaman yang mendebarkan. Ia jadi berdebar-debar, lalu bertanya: “Apakah itu harus?”  “‘Harus!” jawab Danupaksi. “Kau harus jadi menantuku. Singkatnya, kau harus menjadi suami Kenanga dalam  waktu singkat ini: Kalian harus saling… memadu cinta di peraduan. Ini penting, Suro. Sebab dalam tempo empat puluh hari Kenanga tidak berhubungan badan dengan pemilik Pedang Urat Petir, maka tubuhnya akan menjadi kering. Dan ia akan mati,  tepat hari ke empat puluh.” “Dan sekarang tinggal dua puluh  hari lagi,” kata Kenanga dengan pelan, bernada menyedihkan. “Nanti dulu…” Suro Bodong  berhenti makan. “Kenapa sampai harus begitu?”  Kenanga sendiri yang menjawab  setelah ia memandang ayahnya beberapa saat:  “Dua puluh hari lalu, aku bertarung dengan seorang tokoh  persilatan, musuh dari guruku. Nini Kuncen namanya. Aku membela guruku, tapi ternyata aku bukan tandingannya. Aku terkena pukulan Senggoro Jabang. Ilmu itu hanya dimiliki oleh Nini  Kuncen. Guruku sendiri mati di tangannya pada saat aku dalam keadaan parah. Tapi sebelum guru meninggal ia sempat memberiku petunjuk, bahwa dalam empat puluh hari aku akan mati kekeringan  darah, sebab pukulan Nini Kuncen itu telah membuat racun menggumpal dalam  rahim peranakanku. Racun itu akan membuat darahku kering hanya dalam tempo empat puluh hari. Tetapi apabila…  aku bisa memperoleh benih jantan dari  lelaki pemilik Pedang Urat Petir, maka aku akan tertolong. Racun itu akan tawar apabila bercampur dengan benih  seorang lelaki yang memiliki Pedang Urat Petir…”  Suro Bodong tertegun lama sekali. Pikirannya seperti benang kusut yang semakin semrawut. Ia menggeleng pelan dalam renungannya

“Suro… tolonglah aku dan anakku…” kata Danupaksi. “Nyawaku ada di tanganmu,  Suro…” bisik Kenanga yang duduk di kursi samping kiri Suro Bodong

Jantung Suro Bodong semakin berdebar. Ia bingung. Ia tak ingin menodai percintaannya dengan Ratna Prawesti. Tapi di lain sisi, ia  dituntun untuk melakukan hal yang manusiawi. Jiwanya guncang, batinnya bergemuruh. Ia jengkel sendiri. Lalu, ia berteriak

“Tidaaaak…!!” seraya berdiri, menendang kursi dan mengamuk membuang kejengkelannya. Sampai tanpa disadari, dia telah bersalto 7 kali di udara tanpa menyentuh lantai. Kemudian,  keluarga Kepatihan dan semua yang ada di situ terbengong melompong. Mereka tak berkedip memandang tubuh Suro Bodong telah berubah ujud menjadi seorang pendekar tampan. Mengenakan rompi dan celana warna emas, menyandang pedang di punggung bercahaya ungu. Rambutnya panjang,  halus, diikat dengan tali emas bermata batu merah. Ia telah menjelma menjadi Panji Bagus, yang pernah mendapat  julukan Pendekar 7 Keliling. Jurus Luing Ayan 7 telah mengubah keadaan seperti itu, yang membuat Kenanga  terkesima tiada henti, dan Suro Bodong tersenyum kepada Kenanga. Ia berjalan mendekati Kenanga, meraih rambut  Kenanga yang panjang, lalu berkata dengan suara yang enak didengar oleh siapa saja:  “Aku tetap Suro Bodong. Mungkin dengan ujud beginilah aku bisa membantumu, Kenanga. Dalam ujud Suro Bodong yang sebenarnya, aku adalah milik Ratna Prawesti. Tetapi dalam  ujud Panji Bagus ini….. kau boleh memiliki aku, Kenanga…” Kenanga tak sabar. Kenanga tak terkendali. Jiwa yang berteriak itu  segera memeluk Suro Bodong yang telah berubah menjadi pendekar tampan bermata bening, teduh

“Surooo…!” Kenanga memeluk erat dan membiarkan ayah ibunya tersenyum dalam keharuan. Pedang Urat Petir  memancarkan sinar ungu samar-samar, sebab pedang itu sepertinya masuk terselip di antara kulit dan daging punggung pemuda tampan dan kekar itu

Dalam keadaan sekekar itu, dalam ujud segagah itu, Suro Bodong berani  membalas pelukan Kenanga sekali pun di depan mata orang-orang itu. Tetapi jika dalam ujud Suro Bodong yang sedikit gemuk dan perutnya agak membuncit, apakah ia berani berbuat deinikian? Rasa-rasanya tidak. Dalam ujud Suro Bodong, mau tak mau ia melangkah sambil mengunyah jagung bakar dan sesekali menggaruk kumisnya yang tebal. Ia menyusuri hidup,  mencari kekasihnya: Ratna Prawesti, yang sudah tentu mempunyai cinta tak seagung cinta perempuan mana pun juga. 

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar