Tubuh bungkuk yang hanya terlindung pakaian compang camping itu berjalan dengan terseok-seok menuruni sebuah tebing yang menghubungkan sebuah pendataran bundar seperti kuali raksasa. Anehnya biar tubuhnya terkesan lemah, sosok bungkuk yang ternyata berupa seorang kakek berkulit keriput ini sanggup melewati batu-batu besar di sepanjang lereng yang terdapat di sekitar pendataran.
Sampai kemudian di satu tempat ketinggian, si kakek hentikan langkahnya. Kedua matanya memandang ke arah pendataran di bawah sana, kemudian hidungnya bergerak kembang kempis. Si kakek dongakkan kepala, kemudian terdengar gelak tawanya. Tawa itu sangat sumbang seolah tidak sesuai dengan suasana hati yang sesungguhnya.
Tidak berselang lama, mendadak sontak tawa si kakek terhenti. Mulutnya terkunci, namun tidak terduga air mata kemudian bercucuran menuruni pipinya yang penuh keriput. Orang tua ini terisak-isak. Selanjutnya dari mulutnya yang ompong terdengar keluhan.
"Duh biung... loro hatiku, biung. Gerangan apa yang bisa kuperbuat kini. Nasi sudah menjadi bubur, segala yang sudah terjadi tak mungkin dapat diperbalki kembali, Wualah biung, hidup ratusan tahun, kepandaian tua bangka ternyata tidak bisa menandingi kehebatan sang Gusti Allah, biung tidak dapat kulihat yang utuh, bisa melihat sisanya saja aku sudah mengucap syukur, biung"
Sejenak si kakek bungkuk yang jalannya tertatih terhuyung ke depan dan ke belakang seperti orang yang hendak tersungkur menatap ke depan. Entah apa yang dipikirkannya. Yang jelas dia kemudian tidak lagi berjalan biasa untuk mencapai pendataran melainkan melesat seperti anak panah dengan posisi tubuh seperti udeeng melengkung. Setelah sampai ke tempat yang dituju, dia jejakkan kakinya dengan gerakan seringan kapas.
Kini dia telah berada di tengah pendataran itu. Segera si kakek yang dikenal dengan nama Ki Ladung Kosa memutar tubuh layangkan pandangan ke sekeliling tempat itu.Dia melihat tulang belulang dan tengkorak manusia berserakan. Sebagian tergeletak di tempat terbuka sedangkan sebagian lagi bersembulan di permukaan tanah. Meilhat ke arah tengkorak-tengkorak itu, tanpa terasa kembali air mata si kakek bercucuran. Si kakek terisak, tubuhnya terguncang.
"Tanah moyangku dulu ada di sini, kerabat dan orang orang yang kucinta dulunya juga menetap di sini. Tempat ini dulunya rata, tidak melengkung seperti kuali. Kemudian bencana hebat melanda tempat ini. Tapi aku ingat....." Ujar kakek sambil mengetuk-ngetuk keningnya.
"Malapetaka ini tidak mungkin terjadi jika Empu Kajang Selo tidak membuat sejarah yang menjadi penyebabnya..."
SI kakek lagi-lagi terdiam. Dirinya tiba-tiba teringat seseorang. Orang yang begitu dekat dengannya. Sekilas dirinya melihat wajah cantik orang itu. Si kakek menggeleng, nafasnya memburu. Jelalatan dia memperhatikan tengkorak kepala yang berserakan disekelilingnya. Seperti orang kurang waras, tengkorak yang bergeletaken itupun kemudian diperiksanya, diamati dan diteliti satu demi satu. Setiap kali dia menggumam sambil mencampakkan tengkorak di tangannya.
"Bukan, bukan yang ini. Ini tengkorak kepala laki-laki. Aku tidak tahu ini tengkorak pendekar yang mana. Dan yang ini.. ini pasti tengkorak kepala perempuan dan yang ini juga. Tapi tengkorak ini bukan milik Kukuni Srinti."
Untuk yang kesekian kalinya si kakek terdiam. Matanya menerawang kosong.
"Apakah Kukuni Srinti juga ikut menjadi korban di tempat ini. Kalau dia mati dan tengkoraknya ada di sini, aku pasti dapat mengenalinya. Aku yakin biar hanya tinggal tengkorak dan tulang belulang sisa tubuhnya pasti harum mengingat sepanjang hidup Kukuni Srinti hanya makan bunga."
Kata Ki Ladung Kosa. Si kakek tundukkan kepala. Dia membayangkan saat terjadinya malapetaka itu. Dia tidak tahu berapa banyak tokoh-tokoh sakti berkepandaian tinggi yang menjadi korban.
"Yang jelas ledakan dahsyat segera terjadi begitu senjata maut itu dipergunakan."
Segala kengerian yang sempat terbayang olehnya kemudian lenyap. Kini yang terlintas dalam benaknya justru saat-saat dimasa bersama Kukuni Srinti. Dia tersenyum, tanpa disadari jantungnya berdegup, degupan jantung yang kian menggema membuat lereng berbatu di sekeliling pendataran itu bergetar.
Apa yang terjadi pada Ki Ladung Kosa adalah sesuatu yang lumrah setiap saat deguban jantungnya pasti terdengar kemanamana bila dirinya teringat dengan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan cinta. Masih dengan deguban jantung yang bertalu-talu, si kakek membuka matanya.
Dia memutuskan untuk membongkar gundukan tanah yang terdapat di sekeliling pendataran itu. Tapi baru saja kakek ompong ini mengangkat dua tangannya ke atas kepala siap melepaskan pukulannya, serta merta dia dikejutkan oleh suar gelak tawa.
"Ha ha ha. Aku mendengar suara dag-duk-dag-duk. Wualah ompong. Merana sekali hidupmu ini, sudah tua bangka mau mampus, bahkan berjalan pun sudah tidak lempeng. Disayangkan ingatanmu tetap tertuju pada yang itu-itu juga."
Merasa malu, Ki Ladung Kosa cepat-cepat turunkan kedua tangannya yang sempat dia aliri tenaga sakti. Dia kemudian memandang ke satu jurusan. Si kakek ompong melihat satu bayangan bergerak menuju ke arahnya dengan cepat sekali. Bayangan itu bergerak lurus ke arahnya setelah hendak menabrak. Ki Ladung Kosa menggerutu. Cepat dia menyingkir, orang yang datang kembali mengumbar tawa.
Dia lalu jejakkan kaki di langit dimana Ki Ladung Kosa berdiri pertama kali. SI kakek ompong memandang dengan mata mendelik ke arah sosok di depannya. Yang berdiri di depannya ternyata seorang laki-laki tua berpakaian serba hitam, rambutnya juga berwarna hitam.
Anehnya di sekujur tubuh orang tua ini terdapat tanda berupa totol-totol berwarna hitam, setiap totol yang terdapat di bagian wajah maupun sekujur tubuhnya yang lain ditumbuhi bulu. Walau hanya beberapa helai, namun bulu itu sangat panjang. Kosa nampaknya memang sudah mengenal siapa kakek yang satu ini. Terbukti dia lalu mendamprat.
"Ki Burik Losa kau yang meminta aku datang kemari, sekarang kau malah menertawakan diriku.Manusia seperti apakah dirimu?"
Si kakek tubuh penuh totolan itu tertawa bergelak, dia mengangkat jari-jari telunjuknya lalu menempelkannya di mulut
"Benar aku yang memintamu menemui aku di sini. Tapi bukan untuk mengenang gadismu yang bernama Kukuni Srinti. Aku mendengar jantungmu di kejauhan. Degupan jantung sekuat itu hanya kau yang punya, suara jantung sekencang itu bukannya hanya terjadi bila kau ingat dengan hal-hal yang ada hubungannya dengan cinta asmara gila?"
Kata Ki Burik Loso sambil tertawa terkekeh kekeh.
"Cukup! Kau jangan menghinaku. Aku sudah sangat tua, aku tidak mungkin meninggalkan tempat aku menyepi jika tidak memenuhi panggilan gilamu. Sebenarnya kau mengundangku kemari untuk tujuan apa?"
Ki Burik Loso menggoyang-goyangkan telunjuknya di depan muka. Kemudian enak saja dia duduk menjelepok di atas batu datar.
"Mengapa kau mesti kesusu, mengapa terburu-buru. Waktu masih panjang, dewa matahari baru saja membuka mata."
"Sayang aku tidak punya waktu. Kalau kau tidak segera mengatakan apa yang ingin kau bicarakan. Silahkan kau mendengkur di sini sampai sore nanti," Dengus Ki Ladung Kosa.
"Walah kakek ompong, semakin tua kau mengapa jadi gampang naik darah seperti ini? Ketahuilah, aku memanggilmu ke sini dengan maksud untuk membicarakan sesuatu yang ada hubungannya dengan masa lalu," Ujar Ki Burik Loso dengan mimik serius.
Yang diajak bicara tidak menjawab, dia hanya menatap kakek di depannya dengan sorot mata dingin.
"Ah, mengapa kau menatapku seperti itu? Apakah kau mengira dimataku ini ada Kukuni Srinti!"
"Kau jangan bergurau. Kalau kau ingin membicarakan sesuatu, mengapa kau tidak membicarakannya di tempat lain saja, di tempatmu atau di tempatku juga boleh, mengapa harus di sini?" Tanya Ki Ladung Kosa tidak mengerti.
"Ah, kau ini rupanya sudah pikun kakek ompong. Aku sudah katakan semua masih ada kaitannya dengan masa Ialu," ujar kakek berwajah totol-totol sambil mengulum senyum.
"Kabar apa yang kau bawa?" Kata Ki Ladung Kosa. Ditanya seperti itu, mata Ki Burik Loso jadi jelalatan memperhatikan keadaan disekelilingnya
"DI sini tidak ada siapa-siapa, terkecuali kita berdua, " tegas si kakek ompong yang mengetahui aps yang dipikirkan oleh sahabatnya.
"Kau jangan meyakini sesuatu yang tidak kau ketahui, Secara lahiriah memang hanya kita berdua ada di tempat ini. Tapi aku lebih mengerti apa yang tidak kau ketahui karena aku bukan seperti dirimu."
KI Ladung Kosa cibirkan mulutnya yang sudah tidak bergigi itu, sambil mendengus dia berkata,
"Aku tahu dirimu seorang dewa. Dewa yang dihukum dan dibuang dari kayangan ke bumi. Tentu saja dewa berbeda dengan manusia. Aku tidak heran bila kau bisa membaca apa yang akan terjadi di depan nanti.Nah, apakah kau merasa ada orang ketiga berada di sekitar sini?" Ki Burik Loso menganggukkan kepala.
"Orang Itu bersembunyi di balik tabir, dan dia bukan bangsa manusia. Tapi dia tidak boleh mendengar apa yang kita bicarakan. Sekarang kau ikuti aku," Kata Ki Burik. Dengan cepat orang tua ini bangkit berdiri. Dia ulurkan tangannya. Ki Ladung Kosa memandangnya dengan heran.
"Pegang tanganku, kakek ompong."
"Eeh, apa maksudmu?" Tanya orang tua itu bingung.
"Lakukan saja apa yang aku perintahkan. Aku akan membawamu ke suatu tempat di mana di tempat itu tidak satu pun dari mahluk bernyawa dapat mencuri dengar apa yang kita bicarakan," Ujar KI Burik Loso.
Setelah mengetahui apa maksud dan keinginan sahabatnya, tanpa ragu lagi Ki Ladung Kosa menggenggam tangan Ki Burik Loso. Begitu tangan si kakek tersentuh, Ki Ladung Kosa terperanjat. Serta merta tubuhnya terbetot. Dia kemudian dibawa melesat tinggi seolah ingin menembus langit
"Kau hendak membawaku kemana?" Tanya Ki Ladung Kosa diam-diam merasa cemas.
"Ha ha ha, harusnya aku membawamu ke kayangan. Tapi mana mungkin kakek dekil dan jelek sepertimu kubawa ke sana. Aku takut kau ngiler melihat para bidadari yang cantik. Selain itu aku masih punya kendala. Masa hukumanku akibat kesalahan itu belum berakhir. Sekarang kita paling juga hanya bisa mencapai emperannya langit yang paling bawah. Di sana kujamin aman. Aku mengetahui suatu tempat yang dulu sering dipakai oleh para dewa untuk membicarakan sesuatu."
"Kau hendak mengajakku ke sana? Celaka, aku takut!" Keluh si kakek ompong.
"Hush ... jangan takut. Selain di situ kurasa tidak ada tempat yang aman untuk membicarakan urusan sepenting ini."
"Huh, kau sendiri sebenarnya tidak pantas mengajakku ke emperan langit mengingat oleh para dewa dirimu tidak dipandang muka."
"Kau tidak usah meremehkan aku. Para dewa yang lain bahkan kesaktiannya tidak sehebat diriku. Tapi karena mereka tidak suka melanggar pantangan. Sampai sekarang mereka masih tetap tinggal di kayangan."
"Di kayangan tentu banyak makanan yang enak-enak" ujar Ki Ladung Kosa sambil menelan ludah.
"Oh tentu saja. Bukan hanya makanan yang enak pemandangannya juga indah dan enak dipandang mata, Di kayangan tidak ada orang susah, di kayangan tidak ada orang miskin. Yang sakit tidak ada, semua kebutuhan kita telah ada yang menyediakannya. Segalanya serba dilayani. Coba kau pikirkan sendiri serba enak bukan?"
"Rasanya memang enak, aku Ingin sekali hidup di sana."
"Kau tak bakal bisa, kau bukan dewa, kau hanya manusia. Hanya orang yang tidak punya dosa saja yang diperkenankan berada di kayangan. Sedangkan kau amal kebaikanmu compang-camping sama seperti pakaianmu. Kau tidak pernah ingat dengan Hyang Tunggal. Yang ada dalam ingatanmu hanya Kukuni Srinti. Barangkall untuk tinggal di comberannya kayangan pun tidak diperkenankan oleh para dewa. Ha ha ha."
"Dasar dewa gila. Bicaramu seenak perutmu sendiri. Menyesal sekali aku punya sehabat sepertimu!"
Gerutu si kakek ompong. Mereka terus melayang melewati awan dan deru angin. Ki Ladung Kosa menyadari, kalau tidak dibawa oleh Ki Burik Loso yang memang seorang dewa mustahil dirinya dapat terbang seperti itu. Dia merasa beruntung walau sahabatnya itu terkadang menjengkelkan. Tapi perjalanan selanjutnya tidak mudah.
Mereka melewati sebuah tempat yang sangat panas, penuh kebencian dan diwarnai dengan jerit mengerikan. Ketika Ki Ladung Kosa memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Dia merasa heran. Dia melihat awan merah dan ribuan sosok bayangan berbentuk manusia melayang-layang di tempat itu.
"Siapakah mereka?" Tanya KI Ladung Kosa tak dapat menutupi keingintahuannya.
"Mereka adalah para arwah orang yang sudah mati, mereka tidak diterima langit dan bumi karena kesalahannya yang besar semasa hidupnya," Jawab Ki Burik Loso.
"Ah, sekarang aku melihat kilatan-kilatan aneh d antara kegelapan, Cahaya apakah Itu?"
"Itu adalah rebawa yang ditimbulkan oleh senjata yang terdapat dibumi, Banyaknya cahaya yang kau lihat, berarti merupakan banyaknya senjata di rimba persilatan. Senjata Itu tentu senjata yang memiliki kesaktian atau yang punya tuah. Semakin terang cahaya yang kau lihat itu berarti senjata yang diwakili cahaya itu memang memiliki kekuatan yang sangat luar biasa."
"Hmm, sungguh mengherankan. Aku tidak pernah membayangkan segala yang ada di dunia, ternyata keberadaannya membias hingga kemari. Dan yang itu aku melihat beberapa cahaya yang amat terang benderang. Dapatkah kau menjelaskan padaku? "
"Tentu saja kakek ompong. Cahaya terang benderang itu jumlahnya tidak banyak. Di antaranya kau lihat yang merah itu bukan?" Kata si kakek. Ki Ladung Kosa menganggukkan kepala.
"Cahaya merah itu merupakan bias dari senjata hebat mandraguna yaitu Pedang Roh. Bias Pedang Roh sangat tenang."
"Pedang Roh yang dikabarkan hilang lima ratus tahun yang lalu?" Gumam Ki Ladung Kosa Kaget.
"Ya."
"Sinarnya masih membias, berarti pedang itu masih berada di dunia persilatan."
"Memang benar. Tapi tidak ada yang mengetahui keberadaannya."
"Bagaimana pula dengan senjata para dewa di langit?"
"Hmm, pertanyaanmu bisa menimbulkan murka pada dewa. Itu rahasia, aku tidak berani membuka rahasia langit. Aku takut hukumanku akan bertambah panjang karena memberikan keterangan padamu."
Si kakek mengangguk. Dia tidak mengungkit soal senjata langit lagi. Dia kembali memandang ke sekelilingnya. Dia kemudian melihat cahaya biru kehitaman berhawa angker dan ganas di sebelah selatan sana.
"Bagaimana dengan cahaya biru itu.... .kulihat biasnya sangat angker. Rebawa yang kurasakan sangat ganas, keji dan menggidikkan..
"Kita hampir sampai di tempat yang kita tuju. Di sana nanti akan kukatakan sinar biru kehitaman itu berasal dari bias senjata yang mana...!" Ujar Ki Burik Loso.
Ki Ladung Kosa belum lagi sempat menanyakan sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. Mendadak tubuhnya terguncang hebat. Dia mendapat benturan dari segala penjuru arah, namun dia tidak melihat benda atau mahluk apa yang membenturnya. Sampai akhirnya dia seperti dilontarkan, cekalannya pada tangan KI Burik Loso terlepas. Dia menjerit, lalu menjerit lagi dan tidak sadarkan diri.
***
Tidak begitu jauh dari Salatiga, ada sebuah bukit yang memiliki tiga sudut seperti kerucut. Bukit itu dikenal dengan nama Menara Langit. Sekitar tujuh ratus tahun yang lalu, di kaki bukit Menara Langit berdiam seorang empu maha sakti bernama Empu Kajang Selo. Dia adalah seorang pencipta senjata yang hebat baik berupa pedang, keris maupun tombak yang mempunyai kharisma tidak diragukan.
Banyak orang-orang penting dari kerajaan maupun kalangan pendekar dari dunia persilatan yang memesan senjata kepada empu yang satu ini. Tetapi di antara sekian banyak hasil ciptaannya. Hanya Pedang Cacat Jiwa saja yang menimbulkan kegemparan dan malapetaka dimana-mana. Kabarnya Pedang Cacat Jiwa tadinya diharapkan menjadi senjata pamungkas yang dapat dipergunakan oleh pendekar nomor satu dari golongan lurus.
Untuk menciptakan senjata itu dibutuhkan waktu hampir tiga tahun. Bahan untuk membuat pedang itu juga merupakan bahan terpilih. Bahan itu bukan berasal dari bumi, bukan pula dari besi bertuah melainkan sebuah batu yang didatangkan dari langit, Untuk mendatangkan batu tersebut, Empu Kajang Selo menghabiskan waktu untuk melakukan tapa brata selama enam puluh hari. Kini ratusan tahun telah berlalu Empu Kajang Selo yang menciptakan pedang maut itu tidak jelas di mana rimbanya.
Ada yang mengatakan Empu meninggal dan dikuburkan di puncak bukit Menara Langit, tetapi ada yang berpendapat Empu yang sakti itu sengaja melenyapkan diri dengan mempergunakan kesaktiannya. Kabar tentang Empu Kajang Selo hanya tinggal sebuah Legenda. Sedangkan Soal pedang yang dibuatnya raib tidak meninggalkan jejak. Terlepas dari semua itu, di kaki bukit Menara Langit justru babak baru dimulai.
Adalah Ki Ageng Rana Jiwo, seorang tokoh terkenal dari Grobokan yang tertarik dengan misteri lenyapnya pedang Cacat Jiwa. Sebagai tokoh yang sangat berpengaruh, selain kaya raya, memiliki banyak istri yang cantik. Orang tua berusia sekitar empat puluh lima tahun ini adalah pengumpul bermacam-macam jenis senjata sakti. Bermacam jenis senjata ada di rumahnya. Tetapi Ki Ageng meninggalkan semua yang dia miliki karena dirinya selalu tergoda untuk menelusuri jejak hilangnya pedang Cacat Jiwa.
Pagi itu matahari baru saja muncul di kaki langit sebelah timur. Di atas batu, kakek berpakaian sederhana namun rapi duduk sambil memejamkan matanya. Orang tua ini telah berada di sana lebih dari empat puluh tujuh hari. Posisinya menghadap ke sebuah telaga kecil, berair jernih namun dangkal. Bagian dasar telaga yang terdiri dari bebatuan dan pasir terlihat dengan jelas. Anehnya tidak seekorpun mahluk air seperti ikan hidup di sana.
Selama melakukan tapa brata, diiringl niat untuk mencari jejak pedang Cacat Jiwa. Ki Ageng Rana Jiwo telah mengalami berbagai kendala berupa godaan. Biasanya sejak hari ke tujuh, setiap malamnya di tempat tu muncul mahluk lelembut. Mulai dari yang berwajah seram, kemunculan mahluk mengerikan yang Ingin menelannya hidup-hidup, kawanan binatang buas, sampai dengan munculnya puteri cantik yang merayunya dan mengajak berhubungan badan sampai dengan kehadiran peri-peri cantik yang hadir dalam keadaan telanjang.
Sejauh itu Ki Ageng Rana Jiwo tidak tergoda. Ki Ageng Rana Jiwo menyadari seandainya dia sampai tergoda mengikuti godaan yang datang dalam tapanya. Maka niatnya untuk membuka tabir, menembus tirai gaib menyangkut penelusurannya soal pedang Cacat Jiwa bakal mengalami kegagalan. Tapi segalanya masih terus berlanjut, Ki Ageng Rana Jiwo masih belum mendapatkan petunjuk sesuai dengan yang dia harapkan Angin berhembus, lelaki itu merasakan bau harum semerbak.
Di pagi itu sayup-sayup dia mendengar suara kuda. Dia tidak tahu siapa yang datang yang jelas lelaki itu tetap khusuk dengan tapanya. Suara kuda kemudian lenyap. Angin kembali berhembus, sayup-sayup dikejauhan sana seolah datang dari balik telaga kecil Ki Ageng mendengar suara orang bersenandung. Suara itu sangat mardu, yang bersenandung pastilah seorang perempuan. KI Ageng tidak terpengaruh. Semua ini karena dia telah bertekad seandainya hujan petir yang melanda kawasan itu.
Dirinya tidak mungkin membatalkan niat apalagi sampai meninggalkan tempat itu. Sayangnya cuaca saat itu cepat sekali berubah, Matahari yang tadinya bersinar dengan cerah secara perlahan meredup. Mendung tebal muncul dari langit sebelah utara, kemudian cepat sekali bergerak menebar kesegenap penjuru. Langit gelap, suasana di sekitar kaki bukit Menara Langit juga berubah gelap gulita. Angin bertiup kilat menyambar dan petir menggelegar.Tidak berselang lama hujan turun laksana tercurah dari langit.
Pada kesempatan itu Ki Ageng Rana Jiwo mendengar suara berdentum tepat di depannya, Pada kesempatan itu, di telaga di depannya muncrat, Permukaannya bergolak dan mengebulkan asap tebal berbau busuk bercampur amis darah. Ki Ageng Rana Jiwo masih tidak bergerak dari tempatnya. Dia sama sekali tidak menghiraukan hujan dan petir. Namun di tengah curah hujan lebat. Tiba-tiba dia mendengar suara yang sangat jelas.
"Anak manusia terlahir dengan nama Rana Jiwo.Gerangan apa yang membuatmu nekad hingga melakukan tapa brata di kaki bukit ini?" Ki Ageng Rana Jiwo yang yakin bahwa suara yang dia dengar bukan godaan tanpa ragu segera menjawab, "Ampunkan aku Sinuhun. Bisakah aku bertanya Sinuhun ini siapa?"
"Hh. kau tidak patut mengetahui siapa aku. Jawab saja pertanyaanku dengan jujur."
"Saya selalu bersikap jujur, Sinuhun. Saya hanya bisa mengatakan bahwa kehadiran saya di sini semata-mata karena ingin menelusuri jejak Pedang Cacat Jiwa yang kabarnya terkenal di delapan penjuru angin."
"Apakah kau yakin pedang itu pernah ada?"
"Begitulah yang saya dengar sinuhun. Pedang itu diciptakan oleh seorang Empu. Namanya Empu Kajang Selo." Ujar Ki Ageng Rana Jiwo.
"Dimanakah empu yang kau katakan itu pernah menetap?" Tanya suara itu.
"Empu maha sakti itu tinggal menetap di kaki bukit ini. Beliau menciptakan pedang itu juga di sini."
"Kau begitu yakin. Kapan kiranya empu yang kau maksudkan menciptakan pedang itu?"
"Beliau menciptakannya sekitar delapan ratus tahun yang lalu"
"Itu sudah sangat Jama. Dalam waktu selama itu, apakah kau yakin pedang itu masih ada?"
"Itulah sebabnya melalui tapaku ini saya ingin menelusuri jejaknya sinuhun. Yang menurut saya dengar Pedang Cacat Jiwa tiba-tiba lenyap sekitar enam atau tujuh ratus tahun yang lalu. Saat Itu terjadi hujan batu api dari langit yang memusnahkan sebagian besar kehidupan di dunia ini. Dalam keadaan dilanda malapetaka, pedang itu kemungkinan bisa saja terkubur di perut bumi. Menurut catatan nenek moyang, ketika batu raksasa jatuh dari langit. Sebagian penghuni bumi ini musnah, Sinuhun." Ujar Ki Ageng Rana Jiwo dengan hati-hati sekali.
"Hmm, aku tidak bertanya tentang malapetaka lain yang terjadi di dunia. Justru aku mengkhawatirkan malapetaka yang disebabkan oleh senjata maut itu."
"Tapi hamba Ingin mengetahui keberadaannya." Ujar Ki Ageng Rana Jiwo tetap ngotot. "Kau terlalu keras kepala. Jangan sekali-kali menabur angin Ki Ageng karena kelak kau bakal menual badai yang sama sekali tidak kau inginkan! Lebih baik batalkan keinginanmu."
"Aku hanya ingin melihat pedang itu."
"Mula-mula demikian, tapi lama kelamaan timbul keinginan untuk memilikinya."
"Aku tidak punya keinginan sama sekali." Bantah Ki Ageng Rana Jiwo tanpa ragu.
"Mungkin kau tidak ingin, tapi bagaimana dengan yang lain? Pedang Cacat Jiwa punya seribu satu daya tarik. Setiap saat baik tokoh kelas satu dunia persilatan terlebih lebih kaum golongan hitam selalu mencari tahu keberadaan benda itu. Kau tahu mengapa?" Tanya si suara. Ki Ageng Rana Jiwo gelengkan kepala.
"Jawabnya karena siapa saja yang bisa memiliki senjata itu, dia bakal menjadi tokoh nomor satu yang tiada tanding. Bahkan para dewa sekalipun tidak sanggup melawannya "
"Kedengarannya sangat mengerikan. Tapi keinginanku ini menyangkut niat yang telah lama terpendam. Rasanya aku bisa mati jika niatku tidak terkabul."
"Kau tidak menyesalinya?" Tanya si suara "Tidak"
"Walaupun kau harus mempertaruhkan istri-istrimu?" tanya suara itu lagi.
"Aku tidak menyesal walaupun harus mempertaruhkan harta dan Istriku." Kata Ki Ageng Rana Jiwo tanpa ragu.
"Hmm, kau manusia tolol yang pernah kulihat. Baiklah sekarang kau buka matamu. Kau lihatlah ke arah telaga. Telaga itu amat kecil, tapi dulu punya nilai sejarah tersendiri. Empu Kajang Selo selalu memandikan senjata yang baru selesai dibuatnya di telaga itu."
Perlahan Ki Ageng Rana Jiwo membuka matanya. Dia terkejut melihat keadaan di sekelilingnya yang gelap gulita. Walaupun hujan tidak lagi sederas tadi, namun petir masih menggelegar. Orang tua ini bertanya dalam hati apakah saat itu hari telah berganti malam.
Kemudian dia memandang ke arah telaga. Dia melihat kepulan asap tipis menyelimuti permukaan telaga. Air telaga bergelembung. Tidak berselang lama asap yang menyelimuti telaga lenyap. Gelembung-gelembung yang muncul ke permukaan juga raib, kini telaga menjadi tenang sebening kristal namun memantulkan cahaya kemerahan.
"Apa sesungguhnya yang sedang terjadi?" Membatin Ki Ageng Rana Jiwo dalam hati.
"Masuklah kau ke dalam telaga itu. Masuk tanpa keraguan...." perintah suara yang tidak terlihat ujudnya. Ki Ageng Rana Jiwo sempat terkejut, namun tanpa keraguan dia segera berdiri. Kemudian tanpa keraguan dia segera melompat ke dalam telaga yang dangkal itu. Sesuatu yang tidak pernah terduga terjadi.
Begitu Ki Ageng Rana Jiwo menyentuh permukaan air. Terlihat kilatan-kilatan cahaya menyilaukan menyambutnya, Ki Ageng tidak tahu apa yang terjadi.Yang pasti tubuh seolah amblas ke dasar telaga. Dan sesungguhnya dia merasa tidak mengerti bagaimana dasar telaga yang dangkal tidak segera tersentuh olehnya. Malah yang dia rasakan tubuhnya terus meluncur memasuki ruang dan waktu. Sampai akhirnya Ki Ageng merasa dirinya membentur sesuatu. Si orang tua yang sejak tadi menahan nafas sambil pejamkan matanya terkejut.
"Kau tidak usah takut. Kau yang telah membuka jalan ini. Bukankah kau Ingin melakukan petilasan, Kau ingin mengikuti jejak tentang sebuah masa lalu. Kau ingin melihat perjalanan sebuah pusaka hebat mulai saat selesai diciptakan sampai dengan kejadian apa saja yang ditimbulkan oleh pusaka itu. Kau boleh bernafas bebas, kau juga bebas membuka matamu. Kau telah melewati tabir itu."
Lagi-lagi Ki Ageng Rana Jiwo mendengar suara itu. Ketika Ki Ageng menarik nafas dia terkejut. Sedikit pun tidak ada air yang membuatnya tersedak. Ketika dia membuka matanya, dia lebih kaget lagi. Kini dirinya tidak berada di dasar telaga. Melainkan berada di sebuah tempat. Tempat itu menyerupai sebuah padang yang luas, Ki Ageng melihat bangunan-bangunan megah yang runtuh. Mungkin dulunya sebuah kuil bisa juga candi.
Dia menyaksikan pepohonan yang hangus gosong, bebatuan yang mengeriput serta onggokan debu. Ketika Ki Ageng melakukan pemeriksaan. Dia mendapati sebuah kenyataan onggokan debu yang membukit itu sesungguhnya sisa tubuh dan tulang belulang yang hancur. Ki Ageng menjadi heran ketika merasakan hawa panas memenuhi tempat itu.
Dia tidak tahu apa yang terjadi, dia lalu memperhatikan sekeliling tempat itu. Orang tua ini lebih kaget lagi ketika menyaksikan di sekeliling onggokan debu serta bangunan yang hancur bergeletakan tulang belulang dan tengkorak manusia
"Apa yang telah terjadi?" Desis Ki Ageng Rana Jiwo terheran-heran.
"Inilah salah satu akibat yang ditimbulkan oleh Pedang Cacat Jiwa. Pedang itu telah merenggut ribuan nyawa, Jiwa para pendekar, tokoh-tokoh sakti baik dari aliran hitam maupun aliran putih."
"Apakah yang melakukan pembantaian ini adaiah Empu Kajang Selo?"
"Mengapa kau berpendapat begitu?" Tanya suara itu seakan tidak senang. Ki Ageng terdiam. Menyaksikan keadaan yang terjadi di sekitar padang yang luas itu. Dirinya tidak bisa membayangkan betapa dahsyat malapetaka yang ditimbulkan oleh pedang sakti itu.
"Yang kutahu, Empu Kajang Selo adalah manusia yang berhati mulia. Aku yakin dirinya tidak mungkin tega membunuh orang-orang yang menginginkan pedang hasil ciptaannya."
"Ya, tepat. Empu Kajang Selo hanya menciptakan, dan untuk menciptakan senjata sedahsyat itu dibutuhkan tujuh puluh lima syarat agar penciptaan pedang menjadi sempurna. Jika sampai satu saja syaratnya tidak terpenuhi. Maka yang terjadi adalah malapetaka yang tiada henti-hentinya. Ini sangat mengerikan sekali."
"Dan ternyata salah satu syarat nampaknya memang belum terpenuhi," Ujar Ki Ageng.
"Benar, Salah satu syarat dari tujuh puluh lima syarat yang ditetapkan tidak terpenuhi. Pedang itu menjadi cacat. Bukan pedangnya yang mengalami cacat, melainkan jiwa di dalam pedang."
"Apakah pedang itu benar-benar memiliki jiwa?" Tanya Ki Ageng Rana Jiwo.
"Ya, pedang itu berisi jiwa yang luhur. Jiwa yang luhur bersemayam dalam pedang sehingga senjata itu direncanakan bernama Pedang Keadilan. Namun disayangkan syarat terakhir tidak terpenuhi."
"Mengapa? Apakah Empu Kajang Selo tidak sanggup memenuhi syarat yang telah ditetapkan sendiri?"
Suara itu terdiam, sejenak suasana menjadi hening. Hanya deru angin saja yang terdengar. Ki Ageng jadi gelisah, tapi kegelisahannya itu tak berlangsung lama. Dia kemudian mendengar suara tersebut berkata.
"Kau keliru. Syarat sebenarnya ditentukan oleh wisik, oleh wangsit yang didapat dari hasil samadinya. Empu Kajang Selo kemudian memenuhi syarat yang ditetapkan satu demi satu. Ketika tujuh puluh empat syarat telah dipenuhi. Empu bersamadi lagi, waktu yang dia butuhkan tujuh puluh lima hari."
"Apa yang diinginkannya?"
"Dia ingin naik ke kayangan. Dia hendak bertemu dengan Dewi Keadilan. Memohon restunya serta berkah apar dirinya diberi izin untuk memberi nama pedang menjadi Pedang Keadilan. Izin itu sangat penting, karena izin Dewi Keadilan berarti kesempurnaan bagi senjata mustika itu. Sayang selagi Empu Kajang Selo melakukan samadi, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan olehnya terjadi.
"Seseorang mencuri pedang itu. Celakanya pedang itu kemudian dipergunakan untuk membunuh. Rontoklah semua rencana mulia Empu Kajang Selo. Karena disalahkan sebelum mencapai kesempurnaannya pedang yang memiliki jiwa itu menjadi cacat. Pedang berubah sesat terlaknat dan keji."
"Mengerikan. Tapi apakah pernah terjadi pembantaian di sini dengan menggunakan pedang itu?" Tanya Ki Ageng Rana Jiwo penasaran. "Ha ha ha. Kau selalu ingin tahu, tidakkah kau menyadari bahwa perbuatanmu ini dapat membahayakan keselamatanmu?"
"Aku sadar, Segala resikonya bakal kutanggung." Ujar KI Ageng dengan tegas.
"Yang menanggung bukan hanya dirimu. Tapi juga dua istrimu. Mereka bakal jadi tidak terkendali juga tidak lagi punya rasa malu. Mengapa? Karena mereka terkena bias dari tindakanmu. Tindakanmu adalah menelusuri jejak sebuah pusaka yang membawa kesesatan. Kau mungkin kuat, tidak mudah terpengaruh. Tapi istrimu, walau mereka memiliki silat dan bertenaga dalam tinggi mereka tidak bisa melawan bias senjata yang kau telusuri itu." Ujar suara itu. Ki Ageng sempat terkesiap, Perasaan ngeri membayang di wajahnya.
Dia tidak pernah menyangka apa yang dilakukannya akan membawa akibat bagi orang dekatnya. Dia bayangkan betapa istrinya yang bernama Raras mempunyai wajah cantik rupawan. Sedangkan Nianggum, selain cantik dan berkulit lembut seperti batu pualam dia juga wanita muda yang selalu bergelora dalam bercinta. Apa yang akan terjadi pada mereka? Benarkah mereka akan melakukan tindakan yang memalukan. Panas hati Ki Ageng Rana Jiwo bila membayangkannya. Tapi dia harus menyadari bahwa itu bukan kesalahan mereka.
"Kalau mereka akhirnya bermain gila dengan lelaki lain, atau meninggalkan diriku. Biarlah, aku ini laki-laki. Aku masih bisa mencari sepuluh istri. Segalanya sudah kepalang tanggung. Aku lebih penasaran pada keberadaan pedang Cacat Jiwa dibandingkan mereka. Bagaimanapun aku sudah memiliki mereka dan merasakan keindahannya."
Ki Ageng Rana Jiwo gelengkan kepala berusaha mengusir bayangan para istrinya.
"Kau sudah bisa memaklumi akibatnya Ki Ageng?" Lagi-lagi suara itu mengejutkan Ki Ageng.
"Sudah. Sekarang bolehkah aku mengetahui siapa pencuri pedang itu?" Kata Ki Ageng.
"Pencurinya tentu juga orang sakti. Sayang tidak ada yang tahu, Yang pasti saat pedang itu lenyap, Empu Kajang Solo juga kehilangan dua orang pembantunya. Orang yang selalu membantunya ketika membuat senjata. Salah seorang pembantunya bernama Bayang Rego. Dia mempunyai ilmu kesaktian tinggi. Satunya lagi Balewa Edan. Balewa Edan masih terhitung saudara sepupu Empu.
"Orangnya kurang waras, bicara suka ngaco. Kepandalan silatnya kacau.Waktu pedang hilang, umur Empu Kajang Selo sekitar dua ratus tahun. Sedangkan Bayang Rego kemungkinan lebih dari tiga ratus tahun! Sedangkan Balewa Edan kemungkinan baru seratus tahun. Sejak lenyapnya pedang, sampai malapetaka yang ditimbulkannya hingga kini lebih kurang enam atau tujuh ratus tahun senjata itu menghilang."
"Sudah sangat lama. Aku tidak yakin dua orang yang kau sebutkan masih hidup hingga sekarang."
Kata Ki Ageng Rana Jiwo. "Belum tentu. Soal Empu Kajang Selo yang raib, tidak bisa dipastikan apakah sudah meninggal atau masih hidup. Tapi perlu kiranya kau ketahui bahwa umur manusia bahkan ada yang mencapai seribu lima ratus tahun."
"Adakah kemungkinan salah seorang dari dua kepercayaan Empu Kajang Selo yang telah mengambil pedang."
"Tidak ada yang tahu. Siapa yang memegang pedang, tidak ada saksi hidup yang dapat ditanya. Karena di antara sekian banyak orang yang menginginkan pedang, semuanya binasa.Kharisma senjata itu amat mengerikan. Bila terkena cahayanya orang akan binasa.Seandainya sampai tertusuk, tubuhnya akan mengering.Sedangkan mereka yang mempunyai ilmu tinggi, goresan senjata itu bakal membuatnya cacat seumur hidup."
"Aku sudah mendengar semuanya. Sampai saat ini kau masih belum mengatakan siapa dirimu. Aku tidak perduli. Aku ingin tahu dimana pedang itu berada?"
"Petilasanmu baru setengah jalan. Kau sudah menembus tabir, sekarang kau berada di dalam tabir pertama.Masih ada tabir ke dua ke tiga dan seterusnya.Kau hanya bisa menembus tabir ke dua melalui samadi tujuh hari. Memasuki tabir kedua barangkali kau bakal menemukan jejak lagi. Semua tergantung padamu, atau kau ingin keluar dari tabir yang baru kau lewati ini?"
Ki Ageng Rana Jiwo menggeleng dengan tegas. "Aku memilih melakukan samadi selama tujuh hari." Kata laki-laki itu tanpa ragu.
"Dengan segala resikonya?" Kata suara itu mengingatkan.
"Ya, dengan segala akibatnya." Jawab KI Ageng.
"Kalau begitu lakukanlah."
Kata suara itu. Kemudian padang yang luas tanpa batas menjadi hening. Ki Ageng Rana Jiwo mengambil tempat yang sesuai. Dia lalu duduk bersila dengan mata terpejam.
***
Orang tua itu duduk tenang di depan mulut gua. Sesekali matanya yang cekung memandang ke arah Candi Karang Ampel, Sebuah candi mungil yang bangunannya miring seperti hendak roboh. Di samping candi ada sebuah jalan dan merupakan satu-satunya sarana untuk mencapai mulut gua Siluman.
Sedangkan letak gua dikelilingi oleh tebing batu yang curam. Jika tidak terblasa datang ke tempat Ini tidak ada yang menyangka bahwa di sekitar tebing batu yang berbentuk lingkaran Itu terdapat gua yang usianya telah mencapai ribuan tahun. Kini si kakek memandang ke dalam gua. Angin berhembus sepoi-sepoi membuat rambut panjang si kakek yang telah berubah putih keperakan berkibar-kibar. Dia lalu mengusap wajahnya, kemudian kumis dan jenggotnya yang panjang menjela.Tiba-tiba si kakek menghembuskan nafasnya dengan perasaan bosan.
"Aku sudah lama menunggu. Satu, dua bahkan sampai tiga hari. Seberapa sulit mencari persyaratan itu? Harusnya dia sudah kembali, dan aku bisa memulai semua rencanaku, Sialnya sampai sekarang dia belum juga muncul. Tidak biasanya dia berbuat lalai seperti ini. Apakah dirinya tidak tahu segala upaya kulakukan, semata-mata hanya untuk dirinya. Dasar anak Lempur!"
Gerutu si kakek dengan muka asam. Setelah sekian lama, si kakek kembali menatap ke arah jalan di samping candi Karang Ampel yang condong. Sayup-sayup dikejauhan dia mendengar siulan. Si kakek menarik nafas lega. Suara siulan itu biasanya suara muridnya. Si murid sejak kecil mulutnya memang tidak pernah diam, selalu saja dia bersiul terlebih-lebih bila berhasil menyelesaikan sesuatu yang ditugaskan untuk dirinya. Yang mengherankan si kakek, mengapa siulan yang didengarnya tiba-tiba saja lenyap? Tidak sabar kakek ini dibuatnya, dia lalu berteriak.
"Timur Pradapa murid kurang ajar, kau sudah terlambat. Seharusnya kau sudah kembali sehari yang lalu. Sadar telah lakukan kesalahan, mengapa kau malah bersendau gurau?"
Di luar sunyi, jawaban yang diharapkannya tidak kunjung muncul. Si kakek berambut putih tambah heran.
"Kalau bukan dia yang bersiul, lalu siapa?"
Pertanyaan ini sempat muncul dalam benak si kakek. Tapi sedikitpun dirinya tidak merasa gelisah karena tidak ada yang harus dia takuti. Kini baru terpikir olehnya, jangan-jangan memang ada bahaya yang mengancam muridnya. Tanpa menunggu si kakek bangkit. Namun belum sempat dirinya bergerak ke arah gerbang rahasia di samping candi. Mendadak sentak kesunyian dipecahkan oleh suara gelak tawa.
Kening si kekek berkerut, misai yang menggantung di ujung kedua alisnya dan hampir menyentuh mata bergoyang-goyang. Tawa muridnya tentu tidak sehebat itu. Getarannya sanggup meruntuhkan tebing batu yang mengelilingi gua. Lagi pula Timur Pradapa tidak mungkin berani tertawa sekeras itu karena si kakek pasti bakal menghukumnya. Jadi siapa yang tertawa. Si kakek menunggu.
Seperti ular yang menanti mangsanya agar lebih jelas dia memasang pendengaran serta memusatkan perhatian pada satu arah. Dirinya yakin gua tempat tinggalnya tidak pernah diketahui oleh orang luar. Tempat itu sangat terlindung, dikelilingi tebing terjal yang bentuknya seperti lingkaran sumur. Dan dia berada di tengah lingkaran itu. Dan keyakinannya itu tidak berlangsung lama, sekejab kemudian dia mendengar suara teriakan,
"Juru Teluh Delapan Penjuru. Kuharap kau keluar, keselamatan muridmu tergantung pada keramahanmu. Jika kau tidak keluar muridmu kujamin bakal mengalami nasib celaka."
Teriakan bernada ancaman ini sempat mengejutkan si kakek. Dia tidak tahu bagaimana orang bisa mengetahui Julukannya. Tapi kemungkinan itu bisa saja melalui muridnya. Apa yang terjadi dengan muridnya, siapa yang datang. Si kakek merasa tidak ada gunanya bertanya-tanya. Dia menghentakkan kaki kiri. Seketika tubuhnya melesat ke atas, lalu bergerak ke arah Candi Karang Ampel. Di sebelah sayap timur candi tak jauh dari jalan rahasia si kakek jejakkan kakinya.
Dari tempat itu dirinya dengan bebas dapat mengawasi keadaan di luar, sementara orang luar tak dapat melihat keberadaannya. Orang tua ini tidak membuang waktu. Di luar sana dia melihat seorang laki-laki berbadan tinggi semampai mengenakan pakaian serba merah, rambut panjang awut awutan cambang lebat dan memakai ikat kepala warna merah. Siapapun laki-laki itu umurnya sekitar lima puluh tahun.
Dia datang seorang diri, tidak terlihat yang lain, Tapi tunggu dulu, dia melihat di seberang lapangan kecil di antara kelebatan rumpun pepohonan ada seseorang mendekam di sana. Tapi orang itu tidak sendiri, dia bersama seorang pemuda, Pemuda itu tergeletak di rerumputan kaki dan tangannya dalam keadaan terikat. Melihat pakaiannya, si kakek segera menyadari pemuda yang tergeletak itu adalah muridnya Timur Pradapa. Dia diculik ditahan untuk dijadikan jaminan. Sungguh pengecut. Inilah salah satu tindakan yang tidak pernah disukai oleh si kakek.
"Biarlah, untuk sementara aku berpura-pura tidak mengetahui tentang muridku. Aku akan keluar menemui laki-laki itu dan bertanya apa sebenarnya yang dia inginkan."
Berpikir demikian si kakek segera lakukan gerakan. Sekali dirinya berkelebat. Di bawah sana orang yang memanggil dirinya terperangah. Tidak tahu kapan orang tua ini datang, tahu-tahu dia telah berada di hadapan si baju merah. Laki-laki berpakaian serba merah memandangnya sejenak. Melihat keadaan fisik kakek itu dia yakin Juru Teluh Delapan Penjuru pasti usianya sudah cukup lanjut. Dia hendak mengatakan sesuatu, namun si kakek mendahuluinya.
"Kau berteriak-terlak seperti orang gila. Kau berani memanggil julukanku, bahkan namaku. Tidakkah kau tahu berani memanggil gelar sama artinya dengan kematian bagimu!"
Kata orang tua itu dingin. Lakilaki tu terdiam, dia dongakkan kepala, namun kemudian tertawa tergelak-gelak.
"Aku lupa memanggil namamu, padahal muridmu sudah memberi tahu siapa namamu. Bayan Tandira!"
"Kau siapa?" Tanya orang tua ini bibirnya tersenyum, otaknya mulai mengatur rencana. Bila dirinya mulai terancam, mula-mula yang bakal dia lakukan tentu membebaskan muridnya.
"Aku Gede Mahendra, gelarku Tangan Api."
"Namamu Gede Mahendra, gelar Tangan Api, kau tentu berasal dari Ladang Api. Oh rupanya aku kedatangan tamu cukup penting. Terus terang aku memang mengirim muridku untuk nmengambil tahi bintang di Ladang Api.Aku heran hanya mengambil secuil tahi bintang yang banyak bertebaran di wilayah yang menjadi kekuasaanmu kau menjadi berang bahkan menahan muridku Timur Pradapa..."
Ujar Bayan Tandira menyindir. Yang tersindir tersenyum sinis,
"Orang tua, kuakui tahi bintang jatuh dari langit. Reruntuhan bintang membuat wilayah yang menjadi kekuasaanku selalu dikobari api.Tidak satupun tanaman yang dapat tumbuh di sana. Selama menjadi pemilik, aku hanya bisa menuai api. Lalu, apakah salahnya bila aku mengambil keuntungan dalam bentuk yang lain.Maksudku sudah jelas, jika kau sebagai ahli teluh mengambil tahi bintang untuk suatu syarat. Kupikir syarat itu dipergunakan untuk mendapatkan sesuatu yang amat berharga."
"Ha ha ha. Apanya yang berharga. Muridku kuperintahkan mengambil tahi bintang yang akan kujadikan alat untuk menyembuhkan seorang pejabat kerajaan yang sedang menderita sakit keras."
Kata si kakek. Yang dikatakannya ini tentu dengan tujuan untuk mengelabuhi Tangan Api. Tetapi Tangan Api sendiri sudah memperhitungkan segalanya, tidak disangka-sangka dia mengumbar tawa rawan. Puas dirinya tertawa dengan tenang dia berkata,
"Aku tahu apa yang kau rencanakan, orang tua.Kau membutuhkan tahi bintang bukan untuk mengobati pejabat kerajaan. Kau butuh barang itu untuk satu tujuan, untuk satu rencana penting yang hasilnya jauh lebih berharga dari setumpuk permata."
"Apakah muridku telah kau paksa memberikan keterangan padamu?" pancing Bayan Tandira.
"Muridmu itu seandainya seekor lempur, dia pasti lempur atau anjing yang amat setia. Biar kubunuh sekalipun dia tak bakal memberikan keterangan yang memuaskan seperti yang aku harapkan"
Kata Tangan Api atau Gede Mahendra dengan perasaan kesal.
"Lalu apa yang kau harapkan, apa gunanya kau menahan muridku?" Tanya si kakek sinis. Gede Mahendra juga tersenyum sinis.
"Kau seorang juru teluh, kau juga seorang tukang tenung, di samping itu kau pasti bisa melihat atau meramal sesuatu dengan ilmumu. Aku harapkan pengertianmu."
"Aku tidak punya waktu, sebagai orang yang tahu aturan, aku punya pertimbangan. Muridku telah mengambil tahi bintang di tanah yang menjadi kekuasaanmu. Sebagai gantinya aku akan memberikan sekantong emas. Bukankah ini cukup adil?"
Gede Mahendra dengan tegas menggeleng. "Tidak. Aku tahu rencanamu, Bayan Tandira. Terus terang kau akan menggunakan tahi bintang sebagai alat untuk mengetahui dimana sebuah senjata sakti mandra guna berada. Bukankah demikian."
"Senjata sakti mandra guna, kau bicara apa?" Hardlk si kakek mulai hilang kesabarannya.
"Kau tidak perlu malu mengatakannya. Aku tahu tidak ada syarat yang mudah dibutuhkan oleh orang sepertimu bila ingin melakukan sesuatu yang punya nilai tinggi. Bukankah kau ingin mencari senjata pusaka Pedang Cacat Jiwa."
Bayan Tandira diam-diam terkejut mendengar ucapan Gede Mahendra. "Bagaimana kau bisa mengetahuinya?"
Sambil tersenyum Gede Mahendra menjawab, "Kurasa itu perkara mudah. Menurut kabar burung, saat Ini dunia persilatan sedang kasak-kusuk membicarakan pedang itu. Dan kau kurasa ingin berbuat yang sama. Dugaanku itu semakin diperkuat dengan perintahmu terhadap muridmu. Muridmu kau perintahkan mengambil tahi bintang di Padang Api. Aku tidak mau berdebat, terserah kau mau mengakui atau tidak. Yang penting, bila kau sudi berbagi denganku, kujamin aku akan berada dipihakmu dan muridmu tidak akan mengalami nasib mengenaskan." ujar Gede Mahendra tanpa maksud mengancam.
Bayan Tandira sebenarnya tidak takut dengan segala bentuk ancaman. Baginya Gede Mahendra bukan lawan yang berat walaupun memiliki kesaktian yang dapat membuat kedua tangannya berubah menjadi api. Tapi saat Itu dirinya baru saja hendak melakukan sebuah hajat besar. Dia Ingin meneropong keberadaan pedang Cacat Jiwa. Untuk melakukan peneropongan itu, selama sepekan dia punya pantangan untuk tidak mengotori tangannya dengan darah manusia.
Biarlah untuk sementara dia bersabar, bukankah Gede Mahendra juga bukan manusia sembarangan. Dia dapat memanfaatkan tenaganya demi mempermudah semua jalannya rencana. Kemudian kakek ini berkata.
"Aku bukan orang yang senang bermusuhan. Kuharap lain kali kau tidak usah mempercayai kabar burung, karena burung kebanyakan menjadi musibah buat kaum perempuan. Walau demikian, memang kuakui. Saat ini aku sedang mengatur rencana untuk mencari pedang itu. Aku mau saja bersekutu denganmu, tapi dengan syarat kau harus membawa kedua istri Ki Ageng Rana Jiwo.
"Istri Ki Ageng Rana Jiwo?, bukankah dia orang kaya di Selatan Salatiga. Apa hubungannya dengan semua ini?" Ujar Gede Mahendra.
"Ketidak mengertian itulah yang membedakan antara dirimu dan diriku. Ketahuilah, Ki Ageng Rana Jiwo saat ini sesuai dengan petunjuk yang kudapat dari dunia gelap sedang menelusuri jejak pedang itu. Kedua istrinya tentu mengetahui apa yang dilakukan suaminya.
"Dengan menangkap mereka dan membawanya kemari dalam keadaan hidup, dengan ilmuku... mereka bisa kita buat mengakui tentang apa saja yang mereka ketahui. Jika kau setuju dengan usulku, kita bisa bersekutu, Jika tidak kita harus menempuh jalan masing-masing"
Bagi Gede Mahendra ini adalah tawaran yang menarik. Persoalannya apakah Bayan Tandira dapat dipercaya? Seolah mengetahui apa yang dipikirkan Gede Mahendra, si kakek berkata.
"Aku tahu kau kemari tidak sendiri, kau bersama seorang teman. Temanmu itu sedang menunggui muridku tak jauh dari sini. Sebagai jaminan aku berdusta atau tidak, kau boleh meninggalkan temanmu untuk menyaksikan jalannya penyelidikanku nanti."
"Hmm, usulmu boleh juga. Terus terang aku bersama saudara seperguruan. Biar kupanggil dia." ujar Gede Mahendra. Laki-laki itu kemudian bersuit. Dari balik semak belukar muncul seorang laki-laki yang juga berpakaian merah. Laki-laki itu segera melepaskan ikatan di tangan dan kaki pemuda yang menjadi tawarannya. Kemudian dia yang sudah ikut mendengar pembicaraan saudara seperguruannya itu bersama murid si kakek datang menghampiri.
"Namaku Kutut Langit. Maafkan aku telah bersikap kasar pada muridmu." Kata laki-laki Itu,dia lalu menambahkan. "Aku sudah mendengar pembicaraan kalian. Pada dasarnya aku setuju." Bayan Tandira melirik muridnya. "Bagaimana keadaanmu?"
"Aku baik-baik saja guru. Tahi bintang yang kau minta sudah kudapatkan. Jika kau membutuhkan tahi kebo atau kotoran yang lain, kebetulan juga telah kukumpulkan." Ujar Timur Pradapa singkat. Si kakek cemberut dan mendamprat.
"Murid tolol, mengapa kau mengumpulkan yang tidak ku minta?"
"Ah, ah aku hanya berpikir siapa tahu kau butuh." Ujar pemuda itu tanpa merasa bersalah, Sambil menahan senyum, Gede Mahendra berkata.
"Sudahlah, hal kecil tidak perlu dipersoalkan. Sekarang aku akan pergi untuk menculik kedua istri Ki Ageng Rana Jiwo."
"Ehh, apakah kau tidak menunggang kuda?" Tanya Bayan Tandira.
"Kuda kami tidak jauh dari sini, kutitipkan adik seperguruanku, kuharap kau tidak membuatku kecewa." Ujar Gede Mahendra.
Laki-laki itu lalu balikkan badan. Sekejab saja dia berlalu meninggalkan tempat itu. Sambil terus senyum Bayan Tandira mempersilahkan tamunya mengikuti dirinya. Sementara muridnya sendiri mengiringi di belakang.
***
Mula-mula bau tidak sedap terendus oleh hidung Ki Ladung Kosa. Danau Itu membuatnya bersin tiga kali. Matanya kemudian mengerjab, selanjutnya ketika melihat Ki Burik Loso dengan enaknya duduk bersila. Yang membuat dirinya kaget, Ki Burik Loso bukannya duduk di atas tanah atau pun di lantai batu. Alas yang dijadikan tempat duduk orang tua itu bukan lain merupakan hamparan awan putih seperti kapas.
"Bagaimana kau bisa?" Desis Ki Ladung Kosa tak dapat menutupi keheranannya. Ki Burik Loso buka matanya.
"Bisa apanya? Kita sudah sampai di tempat tujuan. Dan kau sendiri memang terkapar di mana?"
Kata kakek itu. Ki Ladung Kosa memperhatikan tempat dirinya rebah. Matanya terbelalak. Seketika dia bangkit, lalu duduk. Yang dialaminya jelas merupakan sesuatu yang tidak dapat dipercaya. Sama seperti Ki Burik Loso, dirinya juga berada di permukaan hamparan awan. Si kakek tiba-tiba menggigil, terbayang olehnya bagaimana seandainya awan yang dia duduki amblas karena tak kuat menahan tubuhnya. Hal ini menghadirkan nerasaan takut. Dengan gugup dia berkata.
"Kau mengajakku supaya cepat-cepat mati ya?" Damprat Ki Ladung Kosa gugup.
"Cepat mati apanya? Mulutmu itu bawel amat.Aku ini seorang dewa.Karena aku dewa, aku punya kesanggupan melakukan seperti ini. Kalau manusia sepertimu, setinggi apapun kesaktian mana mungkin bisa berbuat seperti ini. Kau tak usah takut, dulu aku sering bolak-balik antara kayangan dan bumi."
"Ah, aku lupa. Tapi bukankah kau hendak membawaku ke suatu tempat rahasia." Ujar Ki Ladung Kosa mengingatkan.
"Kita sudah sampai ke tempat yang kumaksud." Ki Ladung Kosa tidak percaya. Dia memperhatikan sekelilingnya. Orang tua ini melihat hamparan awan dan bentangan langit biru.
"Bukankah yang di atas sana langit?" Tanya Ki Ladung Kosa ingin memastikan. KI Burik Loso menggeleng.
"Bukan, yang di atas itu adalah langit-langit dari sebuah ruangan. Di kanan kirimu adalah dinding. Kalau tidak percaya kau periksa sendiri." Ujar Ki Burik Loso.
Si kakek rupanya penasaran. Dia takut sahabatnya menipu dirinya. Seketika dia bangkit. Kemudian dia melompat ke atas, tangannya menggapai. Duuk! Terjadi benturan keras. Ki Ladung Kosa mengeluh tertahan. Jari tangannya serasa membentur batu. Dia lalu bergeser ke samping, tangannya menyentuh dinding yang disangkanya awan putih. Duuk! Ki Burik Loso tertawa mengekeh
"Sekarang apakah kau sudah percaya?" Ejeknya. Ki Ladung Kosa menggeleng dalam keheranan.
"Aneh.. apa nama tempat ini. Apakah kita ada di kayangan?"
"Wualah enak betul. Kayangan memangnya milik nenek moyangmu hingga dengan mudah dapat keluar masuk begitu saja? Orang sepertimu bisa tinggal di emperannya kayangan juga sudah bagus."
KI Ladung Kosa unjukkan wajah cemberut. "Kau tidak perlu mempermalukan aku seperti itu. Jika sampai di dengar oleh para dewa yang lain, mereka pasti bakal mentertawakan diriku."
"Kau tidak perlu takut. Sudah kukatakan, tempat ini tertutup bagi telinga siapa saja, termasuk telinga dewa. Terkecuali sang Hyang Tunggal. Sekarang kau duduklah...." pinta Ki Burik Loso. Ki Ladung Kosa segera patuhi permintaan sahabatnya. Dia duduk tenang, sementara KI Burik Loso sendiri masih berada di tempatnya semula.
"Aku jadi ingat dengan perjalanan kita kemari."
"Ya, justru aku ingin membicarakan masalah itu segera!" Sahut Ki Burik Loso.
"Apa yang ingin kau bicarakan. Aku sudah siap mendengar." Ujar Ki Ladung Kosa. Melihat mimik wajahnya nampak jelas orang ini sangat bersungguh-sungguh. Ki Burik Loso menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan.
"Begini.." Kata si kakek dengan mata menerawang. "Aku mengetahui sekarang ini orang-orang di rimba persilatan sedang membicarakan soal Pedang Cacat Jiwa."
"Pedang itu telah raib sekitar enam ratusan tahun yang lalu." Sahut Ki Ladung Kosa dengan cepat. Si kakek manggut-manggut.
"Aku tahu. Pedang Cacat Jiwa menghilang begitu benda langit membentur bumi dan membuat sebagian bumi seperti dilanda kiamat. Tapi kenyataannya pedang itu sekarang sedang dicari."
"Hmm, aku tidak habis mengerti mengapa orang tolol di rimba persilatan begitu sibuk mengejar-ngejar malapetaka, Pedang laknat itu telah merenggut ribuan jiwa. Di antaranya adalah tokoh-tokoh kelas satu, golongan putih maupun hitam biasa juga ikut menjadi korban pedang Cacat Jiwa."
"Semua orang tahu tentang musibah menyedihkan itu. Tapi kejadiannya telah berlangsung selama enam ratus tahun lebih. Kedahsyatan dan petaka yang ditimbulkan oleh pedang tersebut telah banyak dilupakan orang. Siapa yang peduli dengan kejadian enam ratus tahun lalu?"
"Aku tidak tahu, aku bahkan tidak ingin membicarakannya. Secuilpun dalam hatiku tidak pernah memikirkannya apalagi memilikinya. Pedang Cacat Jiwa bagiku hanya tinggal legenda, sebuah sejarah terburuk sepanjang rimba persilatan berkembang." Ki Burik Loso menggeleng keras
"Kau dengar, aku tahu tua bangka sepertimu sudah tidak punya keinginan apa-apa terhadap kehidupan dunia. Tapi mencegah terulangnya tragedi yang ditimbulkan oleh pedang itu adalah kewajiban kita. Apalagi jika sampai pedang itu terjatuh ke tangan orang lain." Ki Ladung Kosa terdiam mendengar ucapan Ki Burik Loso. Dia memandang kakek itu, entah apa yang dia pikirkan. Yang pasti tidak lama kemudian dia berkata.
"Kita tidak tahu di mana benda itu."
"Kau tidak tahu, namun kebanyakan orang berusaha mencari tahu. Aku sudah menjalani hukuman yang ditetapkan di dunia ini selama delapan ratus tahun." Ujar si kakek. Mulut Ki Ladung Kosa seketika ternganga,
"Delapan ratus tahun? Saat itu bahkan aku belum terlahir?"
"Ya. Karena itu juga sikapmu, jangan suka kurang ajar apalagi berani membantah."
"Apakah ini artinya bahwa kau mengetahui di mana senjata itu berada?" Tanya Ki Ladung Kosa.
"Aku seorang dewa."
"Ya, kau dewa yang terkutuk dan dibuang dari tempat asal" Sindir KI Ladung Kosa sinis
"Kau tidak perlu mengejekku. Terus terang, biarpun seorang dewa aku tidak mengetahui semuanya. Apalagi sebagian kesaktianku disita begitu aku menerima hukuman oleh dewa yang lebih tinggi dariku. Jadi tegasnya, di luar keterbatasanku. Aku setidaknya mengetahui bahwa sebelum salah satu bola langit jatuh menimpa bumi dan membakar sebagian yang ada. Aku mendengar pedang itu berada di tangan seorang manusia Maha Sakti bernama Sapta Jagad. Dia adalah satu-satunya tokoh yang paling tidak mengetahui keberadaan pedang itu."
"Siapakah dia. Apakah dia dari golongan sesat?" Tanya Ki Ladung Kosa.
"Aku tidak dapat memastikan. Yang pasti mungkin bahwa Sapta Jagad mempunyai dua saudara seperguruan yang cantik-cantik."
"Itu dulu. Sekarang enam ratus tahun lebih telah berlalu, kemungkinan dua saudara seperguruannya yang cantik kini telah berubah menjadi nenek renta. Dan yang kukatakan ini bila dirinya panjang umur. Kalau tidak mungkin sudah mampus." Ujar Ki Burik Loso disertai tawa tergelak-gelak.
"Kita tak usah membicarakan soal kedua saudara seperguruan Sapta Jagad. Pertama yang harus kita lakukan adalah mencari tahu di mana terakhir kaii Sapta Jagad menetap."
"Oh kukira kau mengetahui tempat tinggalnya, Tidak tahunya kau baru mau mencari? Kurasa itu adalah hal yang paling sulit untuk kulakukan."
"Kalau kita berada di bumi, untuk melacak jejaknya memang tidak mudah. Tapi sekarang kita berada di langit, di atas ketinggian. Dari sini kita bisa menentukan di mana seseorang menetap hanya melalui kontak nama"
"Walau orang yang bersangkutan telah meninggal?"
"Ya, biarpun dia sudah tiada."
"Bagaimana caranya?"
"Kau lihatlah baik-baik, jangan berkata apa-apa jika tidak kuminta." Ujar Ki Burik Loso.
Orang tua ini lalu meletakkan telunjuknya di atas kening persis di antara alis kiri dan kanan. Setelah itu mulutnya yang tidak terlindung kumis nampak komat-kamit. Serta merta, jari telunjuk yang menempel di kening bergetar.
Kemudian kening yang ditempeli telunjuk memancarkan cahaya warna warni sebanyak tujuh warna. Angin menderu. Telunjuk lalu diangkat dan diacungkan ke bawah. Lagi-lagi satu perubahan terjadi. Telunjuk itu berwarna merah. Kemudian cahaya yang memancar dari ujungnya menyinari seluruh belahan dunia.
"Semua tempat menjadi merah." Ujar Ki Ladung Kosa tanpa sadar.
"Bila kau melihat kerlip cahaya biru.Berarti disanalah Sapta Jagad terakhir kali tinggal."
Ki Ladung Kosa layangkan pandangannya ke bawah melalui awan yang bolong, dia kemudian melihat kerlip cahaya. Satu-satunya cahaya biru di tengah hamparan cahaya merah. Di sebelahnya dia melihat ombak. Cahaya itu nampaknya tidak jauh dari laut.
"Kau lihat cahaya itu kakek ompong?" Tanya Ki Burik Loso. Yang ditanya manggut-manggut.
"Ya-ya, aku melihatnya. Kira-kira cahaya biru itu tepatnya di mana?" Tanya Ki Ladung Kosa penasaran.
"Cahaya itu berada tidak jauh dari laut, tidak salah, itu pasti pantai selatan."
"Pantai selatan luas. Tepatnya di mana?"
"Daerah Gunung Kidul. Nah kita harus mulai melakukan pencarian dari situ," Ujar Ki Burik Loso mantap.
Orang tua ini kembali berkomat-kamit, Ujung telunjuk yang memancarkan cahaya kemerahan diletakkan kembali ke kening. Seketika cahaya merah yang memancar dari telunjuknya raib. Suasana kembali seperti biasa. Pada saat itu Ki Ladung Kosa menyampaikan ganjalan hatinya.
"Aku tidak mengerti mengapa kau bersikeras ingin mencari Pedang Cacat Jiwa. Padahal kita sudah tahu tentang bencana yang ditimbulkannya."
"Kita mencari bukan untuk memiliki sebagaimana yang diinginkan oleh para tokoh serakah lainnya. Kita hanya berusaha mencegah terjadinya bencana serupa untuk yang kedua kalinya."
"Usulmu boleh juga. Entah mengapa aku tidak sependapat denganmu."
"Menurutmu apa yang menarik buatmu?"
"Keinginanku hanya satu. Aku ingin mencari Kukuni Srinti," kata Ki Ladung Kosa tanpa malu-malu. "Gadismu itu mungkin sudah mati! Buat apa kau mencarinya?"
"Dimasa muda seperti yang kukatakan aku memendam cinta mendalam kepadanya. Sampai sekarang aku juga masih mencintainya."
"Kau menghabiskan waktu hanya untuk cinta. Hingga tua bangka seperti sekarang kau masih mempertahankan cintamu?"
"Aku tidak perduli. Aku merasa Kukuni Srinti masih hidup sampai sekarang. Entah mengapa aku berpikir begitu."
"Tapi desamu telah hancur ketika perebutan Pedang Cacat Jiwa terjadi di sana. Nampaknya satu orang berhasil keluar sebagai pemenang, namun yang lainnya menjadi mayat. Kurasa Kukuni Srinti juga ikut menjadi korban"
"Tapi ketika kita sampai di pendataran bundar bekas desaku, Aku tidak mencium aroma wangi kembang. Aku tahu walau Kukuni Srinti sudah mati, tulang belulangnya sekalipun pasti meninggalkan wangi kembang."
"Itu kelebihan yang dimiliki oleh kekasihmu. Tapi siapa yang perduli? Kau harus ikut aku."
"Ikut kemana?"
"Kemana lagi kalau bukan ke pantai selatan? Bukankah kita melihat sinar biru itu berasal dari sana." Tegas K Burik Loso.
"Bagaimana kalau aku tidak mau?" Ki Burik Loso tertawa tergelak.
"Tidak mau pergi berarti aku bakal meninggalkanmu di sini. Kau tidak mungkin bisa turun dari sini tanpa bantuan dariku. Kau bakal kesepian, karena tidak seorangpun yang dapat kau ajak bicara. Apakah kau senang berada di sini sampai mati?!"
Ancam si kakek. Tentu saja orang tua ini ketakutan. Sambil menggerutu dia terpaksa menerima tawaran sahabatnya.
"Kita tak perlu berlama-lama, mari kita kembali ke dunia," Ujar orang tua itu. Ki Burik bangkit. Dia ulurkan tangannya. Ki Ladung menyambut uluran tangan itu. Wuuus! Tubuh mereka melesat, melayang terbang tinggalkan ruangan beratap langit.
***
Di sebuah tempat yang sunyi, sejak puluhan tahun yang silam tinggal seorang laki-laki tua berambut panjang. Laki-laki Itu pekerjaan sehari-harinya mengukir nama orang-orang yang sudah mati di batu nisan. Dia sendiri menetap tidak berjauhan dari sebuah makam kuno. Makam itu usianya sudah ratusan tahun. Setiap malam bila telah selesai melakukan pekerjaannya, si kakek biasanya menghabiskan waktu di tepi pemakaman.
Dia duduk di sebuah kursi terbuat dari batu. Kursi itu menghadap ke sebuah meja panjang yang juga terbuat dari batu sementara di atas meja tergeletak puluhan bumbung tuak yang bagian luarnya diberi pewarna merah darah. Si orang tua biasanya akan berada disitu sampai larut malam. Terkadang sepanjang malam dia menghabiskan waktu untuk mabuk. Kalau bukan mabuk yang dikerjakan, si kakek juga sering meracau, mengomel atau menyanyi.
Nyanyiannya bukan nyanyian biasa, karena setiap kali dia menyanyi justru yang sering terdengar adalah suara tangis. Tak seorang pun yang tahu dari mana asal usulnya, orang yang pernah menguburkan kerabatnya di makam kuno memberinya nama si Pengukur Nisan. Tapi tidak Jarang ada yang memberinya nama Pengukir Gila. Sejak dulu hingga sekarang memang tidak ada yang perduli.
Dan si kakek sendiri tidak pernah menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Kini malam semakin larut. Di atas langit yang terlihat hanya bintang-bintang yang bertaburan. Sementara di makam kuno, si Pengukir Nisan duduk termenung menghadap ke arah sebuah pelita yang berkelap-kelip di tiup angin. Si kakek rupanya merasa bosan. Dia singkapkan rambut panjangnya yang putih riap-riapan. Selanjutnya dia meraih sebumbung tuak.
Penutup pada mulut bumbung yang terbuat dari batu dibuka. Kemudian mulut bumbung dijungkir ke mulutnya. Gluk! Gluk! Gluk! Terdengar suara bercelegukan ketika tuak itu membasahi tenggorokannya. Setelah puas, sambil menyeka mulutnya yang berselemotan tuak dia tertawa panjang.
"Hidup ini tidak seharum wangi tuak. Kuharap dewa kematian mencabut nyawaku agar lenyap segala rasa bosan yang kualami. Kemarin aku tidur. Aku tidak ingat dan tidak memikirkan apa-apa, saat itu kupikir aku mati. Tapi ternyata tidak. Ha ha ha." si kakek tiba-tiba hentikan tawanya.
Dia lalu bersenandung, suaranya bagus namun tidak beraturan. Senandung itu juga tidak berlangsung lama. Selanjutnya justru dia menangis tersedu-sedu.
"Oalah Gusti... owalah Hyang Tunggal. Memang nasib busuk di badan. Hidup selalu kejatuhan pulung yang jelek. Ha ha ha.. perduli setan. Aku tidak bersalah, jelas-jelas tidak bersalah. Yang salah tentulah orang yang mencuri senjata itu. Biarkan mereka semua mampus. ha ha ha" kata si kakek tidak jelas ditujukan pada siapa.
Sementara tidak jauh dari tempat si kakek berada. Tepat di balik bebatuan besar, Sepasang mata yang terus mengawasi gerak-gerik si kakek jadi terdiam di tempatnya. Semula dia berniat ingin menghampiri orang tua itu dan bertanya tentang sesuatu. Namun begitu menyadari bahwa orang yang hendak ditanya agaknya adalah orang sinting, maka dia membatalkan niatnya. Dia bertanya-tanya dalam hati, siapa kiranya orang satu ini.
Mengapa dia berada di makam itu seorang diri. Mungkinkah dia orang gila? Belum lagi orang di balik batu menemukan jawaban dari pertanyaannya. Saat itu juga keheningan dipecahkan oleh suara teriakan seseorang.
"Pengukir Nisan! Bolehkah kami menemanimu duduk di situ untuk menghabiskan tuak bersama!"
Kata suara itu. Orang yang duduk di kursi batu sebentar nampak kebingungan, namun dia kemudian kembali pada sikapnya. Mata menatap kosong menghadap pelita di depannya.
"Orang tua, kami sudah mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya. Kami mengetahui asal usulmu.!" Kata suara yang lain.
Tidak berselang lama. Dari tiga penjuru melesat tiga bayangan berpakaian serba hitam. Ketiga bayangan itu kemudian jejakkan kakinya di seberang meja yang ditempati oleh si kakek. Mereka ternyata tiga orang laki-laki berambut panjang tegak lurus menghadap ke atas, bertelinga lebar sedangkan pakaiannya berupa jubah mirip dengan sayap kelelawar. Melihat kedatangan mereka yang tiba-tiba, nampaknya mereka datang dari sebuah tempat yang jauh. Ini dibuktikan oleh pengakuan salah seorang diantaranya.
"Kami Tiga Bayang Bayang Maut tidak mau membuang waktu melihat tampangmu yang berlagak seperti orang edan. Kami datang dari ujung timur tanah Jawa Dipa."
Si kakek pura-pura kaget, dia mengangkat wajahnya yang tertunduk sejak tadi, lalu memperhatikan orang orang di seberang meja itu satu demi satu. Selanjutnya tubuh si kakek menggigil,
"Aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya merasa ketakutan begitu melihat rupa kalian dan mengetahui julukan kalian."
"Jika takut, sebaiknya lekas berterus terang dan beritahukan pada kami apa saja yang kau ketahui tentang senjata itu," Kata salah satu diantaranya.
"Tentang senjata? Senjata apa?" Tanya si kakek yang tingkah lakunya seperti orang gila kaget.
"Hmm, tampaknya kita harus membuat terang otak tua bangka ini kawan-kawan!"
Kata salah seorang dari Tiga Bayang Bayang Maut. "Ya" sahut satunya menyetujui. Yang ketiga tidak menanggapi namun segera bicara ditujukan pada Pengukir Nisan.
"Sebelum ini kau tinggal di mana orang tua?"
"Ak.. aku? Tentu saja aku tinggal di sini." Jawabnya gugup.
"Entah! Aku tidak tahu!" Jawab Pengukir Nisan.
"Kau hanya berpura-pura. Jangan berlagak tolol dihadapanku karena kami bisa mencabut nyawamu."
"Oh kalau itu yang kalian lakukan, aku sangat berterima kasih. Sudah lama aku ingin mati seperti orangorang yang sudah mati, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya mengakhiri hidup. Jika ada yang bisa membantuku menemui dewa kematian tentu aku patut berterima kasih kepadanya." Ujar Pengukir Nisan.
"Jangan bodoh. Kalau kita membunuhnya, berarti kita bakal gagal mendapatkan keterangan yang kita butuhkan. Hanya dia satu-satunya petunjuk yang dapat kita harapkan." Ujar temannya berbisik. Yang dibisiki kembali berkata.
"Aku tahu sejarah asal Usulmu Pengukir Nisan, Kau dulu berasal dari Salatiga. Kau dulu orang yang dipercaya oleh Empu Kajang Selo untuk membantunya dalam membuat berbagai jenis senjata sakti. Namamu yang sebenarnya adalah Balewa Edan. Kau masih terhitung saudara sepupu Empu Kajang Selo, bukankah begitu kenyataan yang sebenarnya.?"
Ucapan yang tidak terduga itu membuat si kakek Pengukir Nisan diam-diam dibuat terkejut. Padahal sudah lama orang tidak mengetahui siapa dirinya. Dia sudah lama mencoba menguburkan masa lalu yang kelabu dan penuh tumpahan darah itu jauh dari lubuk hatinya. Bagaimana kini ada orang yang bisa mengetahui jati dirinya? Si kakek tidak mau mengambil resiko, dia tetap pada sikapnya. Mendadak dia tertawa mengekeh.
"Kalian para orang gila bicara apa? Sedikit pun aku tidak mengetahui apa yang kalian bicarakan. Kau menyebut seorang empu, empu mana yang kalian maksudkan. Siapa Balewa Edan? Sungguh bicaramu kacau sekali padahal kau tidak mabuk!"
"Balewa Edan adalah dirimu. Kau membantu kakek itu menciptakan Pedang Cacat Jiwa. Cepat mengaku?" Bentak orang ke dua.
"Pedang, aku membantu membuat pedang? Hi hi hi. Gila sekali! Aku sudah punya pedang biar sudah karatan. jadi buat apa mencipta pedang. Kau menyebut-nyebut tentang Pedang Cacat Jiwa? Apakah bukan jiwa yang cacat alias sakit?" Kata Pengukir Nisan sinis. Orang ketiga merasa tidak puas, dia melangkah maju lalu segera berkata,
"Orang tua, kau jangan mempersulit dirimu sendiri. Akui saja dirimu memang Balewa Edan!"
"Huh hu huh! Ternyata kau yang paling lucu, kau meminta aku mengakui apa? Menjadi seseorang yang bukan diriku sangat aneh kedengarannya. Kalian dengar Namaku Pengukir Nisan. Kalian bertemu dengan orang yang salah," Ujar si kakek. Tiga Bayang Bayang Maut menggerung. Sementara orang yang mendekam di balik batu-batu diam-diam terkejut. Dalam hati dia berkata.
"Orang-orang ini mencari Pedang Cacat Jiwa? Bukankah sebelum ini Manusia Batu juga mengincar benda yang sama. Dan kakek ini siapa? Apakah mungkin dia melakukan penyamaran selama puluhan tahun?" Batinnya.
Sebenarnya dia ingin keluar dari tempat persembunyian, namun dia kemudian berpikir alangkah baiknya menunggu pembicaraan selanjutnya. Pada kesempatan itu salah seorang dari Tiga Bayang Bayang Maut kembali berkata.
"Dunia ini terlalu sempit bagimu, Balewa. Kami datang kemari bukan untuk menyakitimu, kami hanya sekedar ingin bertanya di mana senjata itu berada? Kalau kau tidak tahu tempatnya, cukup kau katakan pada kami, di tangan siapa pedang itu terakhir kalinya." Si kakek Pengukir Nisan sama sekali tidak menanggapi pertanyaan orang.
Sebaliknya dia malah meraih salah satu bumbung tuak, kemudian dengan nikmat sekali tuak itu diteguknya. Lahap benar minum kakek ini seolah dirinya sudah satu pekan tidak bertemu air. Dan ketika orang itu menjadi marah, mereka merasa diacuhkan. Salah seorang diantaranya membuat gerakan. Pengukir Nisan tiba-tiba tersedak. Dia segera tersadar ada yang jahil berusaha membuatnya celaka.
Tanpa bicara panjang orang tua ini berpura-pura terbatuk. Tuak menyembur membasahi Tiga Bayang Bayang Maut. Terdengar seperti minyak terkena air. Ketiga laki-laki bertelinga lebar berpakaian seperti sayap kelelawar berteriak kaget. Mereka mengusap wajahnya yang terasa panas seperti terbakar. Ketika mereka sama melihat ke bagian pakaian di sebelah atas pakaian di sebelah situ ternyata berlubang.
"Jahanam! Lain yang diminta lain pula yang diberikan. Kakek sinting terus bicara tidak berguna, mengapa kita tidak mengabulkan permintaannya?" Kata laki-laki kedua,
Dan orang ketiga adalah orang yang paling pendiam dan paling kejam dibandingkan dua temannya. Tenpa bicara tangannya berkelebat menyambar. Tahu-tahu tangan yang sangat pucat seputih mayat ini terjulur memanjang bergerak lurus mengancam dada Pengukir Nisan. Serangan ganas berbahaya disertai sambaran angin deras itu sama sekali tidak dihiraukan oleh lawannya. Pengukir Nisan justru meneguk tuak di dalam bumbung.
Gluk! Gluk! Gluk! Puas meneguk, tangan lawan tahu-tahu sudah menyambar baju, menyentuh dada dan siap menjebolnya. Orang tua itu tertawa dingin, dia kemudian miringkan tubuhnya ke samping, lalu melangkah mundur kemudian tergontai ke kanan dan ke kiri seperti orang mabuk. Serangan Maut ke tiga lolos, dia kaget, geram dan penasaran.
Wues! Orang ini kembali menggebrak, dia melompat maju, lalu melayang, dua tendangan dilepaskannya sekaligus. Si kakek berkelit. Tubuhnya membungkuk, berbalik ke belakang kedua sikunya menyambuti tendangan itu. Pheer! Maut ke tiga menggerung kesakitan. Sosoknya seperti dilemparkan ke udara.
Namun dengan mengibaskan kedua lengannya yang bersambung dengan jubah. Laksana kelelawar dia melayang terbang. Gerakan seperti terbang itu tentunya didukung oleh jubahnya yang lebar menggantikan fungsi sayap. Kemudian dengan sekonyong konyong si kakek disergapnya. "Bunuh!"
Teriak kedua temannya melihat lawan kena disergap oleh Maut ke tiga. Presh! Si kakek yang telah kena disergap segera dipeluk erat. Tindakan ini tentunya dapat menghancurkan tulang belulang di sekujur tubuh Pengukir Nisan. Tapi entah bagaimana caranya Pengukir Nisan yang gerakannya grubak grubuk seperti orang mabuk ini dapat meloloskan diri
"Cepat bunuh adik ketiga!" Teriak Maut pertama.
"Apa yang dibunuh? Gelar kalian angker mengerikan, sayang jangan membunuh manusia, membunuh seekor nyamuk pun kujamin kalian tidak mampu. Aku muak melihat kalian, cepat angkat kaki atau aku menjadi penyebab kematian bagi kalian?"
Kata si kakek sambil tertawa "Kunyuk gila. Terimalah ajalmu!" Teriak Maut satu dan Maut dua bebarengan. Kini Pengukir Nisan dikeroyok oleh tiga orang lawan sekaligus. Meski orang tua ini sempat kaget melihat dahsyatnya serangan mereka, namun dia menghadapi serangan itu dengan tenang. Tubuhnya masih tetap terhuyung gerakannya malah tambah kacau.
Sementara hujan serangan datangnya seperti badai. Sampai pada suatu kesempatan Tiga Bayang Bayang Maut sama bergerak ke arah lawan dari tiga penjuru, sedangkan sasaran yang diarah oleh mereka adalah bagian leher, perut juga bagian kepala.
"Wow... ini nampaknya yang cukup berarti,!" Seru Pengukir Nisan.
"Kemana aku harus menyelamatkan diri, Kurasa yang ini bukan main-main."
"Dirimu hanya selamat bila patuh dengan perintah kami"
Dengus mereka serentak. Si kakek tertawa dingin, tiba-tiba dia menjatuhnya diri hingga tubuh sama rata dengan tanah, ketika lawan bergerak menyambar dengan gerakan menubruk, kesempatan ini justru dipergunakan oleh kakek itu untuk berkelebat merosot ke bawah, dia kemudian berjumpalitan. Dengan menggunakan daya dorong kaki dan tangan kakek ini melambung. Lawan menubruk tempat kosong, si kakek mempergunakan kesempatan ini. Dua tangan didorong ke bawah tiga kali berturut-turut.
"Hruuuukh...!"
Angin menderu, hawa panas dan dingin menerjang silih berganti. Tiga Bayang Bayang Maut terkesiap. Mereka serentak berlompatan ke samping. Celaka bagi bagi maut ke tiga. Gerakan yang dilakukannya kalah cepat dengan datangnya serangan si kakek. Begitu kena dihantam, Maut ke tiga langsung amblas ke daiam tanah. Tanah berlubang besar. Dua saudaranya berteriak histeris. Mereka berhamburan segera berusaha menolong saudaranya. Sementara si kakek malah duduk menjelepok di atas meja.
"Dia sudah mampus, apanya lagi yang mau diselamatkan!" Seru kakek itu lalu tertawa terpingkal pingkal. Di balik bebatuan orang yang mengintai diam-diam dibuat takjub. Dia tidak menyangka Pengukir Nisan ternyata memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi dari kedua lawannya. Orang tua itu terkesan bodoh namun cerdik dia juga terlihat gila namun sesungguhnya penuh akal. Segalanya masih harus dibuktikan. Dia perlu menunggu.
Sementara itu Maut satu dan Maut ke dua dibuat kaget. Mereka tidak menyangka yang dikatakan oleh kakek itu ternyata memang benar. Tanpa menunggu mereka segera melakukan pemeriksaan. Kedua matanya terbelalak. Mereka sama melihat betapa punggung saudara mereka berlubang besar, nampak hangus dan menghitam. Kegusaran bercampur rasa sedih memenuhi rongga dada Bayang Bayang Maut.
Kini setelah satu dari saudaranya menemui ajal, mereka tidak patut lagi menyebut dirinya sebagai Tiga Bayangan Maut. Namun kematian harus dibalas, hanya satu yang tidak patut kiranya diketahui oleh orang lain. Sebagai hantu pencabut nyawa seharusnya kematian tidak boleh terjadi pada diri mereka. Jika hal ini diketahui oleh orang, mereka bakal mendapat malu besar.
Lagi pula yang lebih memalukan orang yang telah menghabisi salah satu saudaranya hanya seorang kakek yang mereka anggap gila namun punya masa lalu menarik. Kini mereka tinggalkan tubuh yang sudah tidak bernyawa itu. Perlahan namun pasti mereka menghampiri Pengukir Nisan. Langkah mereka terhenti sekitar dua tombak di depan meja yang diduduki oleh lawannya.
"Setelah salah seorang dari kalian menghadap dewa kematian, sekarang apakah kalian jadi berubah fikiran dan mau minum tuak denganku sampai mabuk? Ha ha ha. Jika itu keinginan kalian, aku bisa bermurah hati berbagi tuak. Lagi pula di atas meja ini masih ada belasan bumbung lagi. Bumbungnya besar-besar pasti cukup untuk kita bertiga!"
Maut pertama mendengus sambil meludah. Maut kedua delikkan matanya. Yang pertama segera membentak.
"Setelah kau bunuh saudara kami, masih bisa juga kau berlagak seperti orang yang tidak bersalah. Tua bangka terkutuk, aku belum lega bila hanya membiarkanmu bicara seenaknya!"
Teriakan laki-laki itu disertai dengan tindakan cepat. Empat jari tangannya meluncur deras menjebol perut si kakek
"Ah sayang. Yang kuajak minum ternyata tidak berkenan karena mengaku sebagai pencabut nyawa justru malah nyawanya yang tercabut. Apa boleh buat dari pada konyol lebih baik aku menghindar saja." Kata si kakek.
Dan dengan gerakan yang tidak terlihat dia mengeser tubuhnya. Craak! Meja batu yang diduduki si kakek berlubang membentuk empat jari dengan disertai mengepulnya asap tipis. Jike batu setebal itu dapat dibuat jebol apalagi perut Pengukir Nisan.
"Jangan berpangku tangan! Bunuh dia saudaraku!"
Teriak Maut kesatu gusar mengetahui serangannya luput. Tidak diperintah sekalipun Maut kedua sesungguhnya telah melakukan gebrakan. Ketika dia melihat serangan saudaranya gagal, maka tanpa membuang waktu dia melepaskan tendangan beruntun. Mendapat tendangan itu walau si kakek sudah menghindar masih saja tidak sempat menyelamatkan diri ketika kaki lawan melabrak punggungnya.
Si kakek terguling ke samping lalu Jatuh di bawah meja. Belum lagi orang tua ini sempat bangkit. Pada saat itu Maut pertama menghantam meja, tujuannya jelas sekali. Seandainya meja itu patah, si kakek segera tertindih. Begitu tertindih dengan mudah dirinya menghabisi lawan. Sayang sebelum rencana itu dapat dia lakukan, justru meja batu telah ditendang dari bawah oleh Pengukir Nisan. Meja terbelah, patah dan sebagian hancur berkeping keping.
Kepingan meja menghantam ke arah mereka seperti anak panah yang melesat dari busurnya. Maut satu dan Maut dua tidak mau tinggal diam. Melihat bahaya mengancam mereka segera menghantamkan tangannya ke arah batu-batu itu. Justru memang tindakan itulah yang ditunggu-tunggu oleh Pengukir Nisan. Selagi mereka sibuk menghantam batu-batu itu, maka si kakek mengunakan kesempatan ini untuk menghantam kedua lawan sekaligus.
Tidak satupun dari mereka ada yang menduga mendapat serangan seperti ini. Tapi mereka berusaha menyelamatkan diri dari serangan yang tidak terduga-duga itu. Mula-mula mereka menghantam menyambuti serangan lawannya, setelah itu jubahnya yang panjang menjela dikibaskan. Maut satu dan maut kedua melayang seperti terbang. Si kakek yang serangannya hanya menghantam tempat kosong tiba-tiba saja berteriak melengking.
Sekonyong konyong dia melesat ke atas ketinggian. Tapi pada waktu itu lawan berbalik. Dua pasang tangan menghantam ke arah si kakek, Pengukir Nisan tidak tinggal diam. Dua tangan didorong kedua arah sekaligus. Tep! Dess!
Benturan yang sangat keras terjadi. Keduanya terkejut ketika mendapati tenaga dalam lawan ternyata jauh lebih tinggi dari mereka. Tak ayal lagi keduanya terpental. Tubuh mereka melambung ke atas, si kakek tertawa tergelak-gelak, lalu tiba-tiba saja tangannya kembali didorong ke arah mereka. Maut kesatu dan Maut kedua yang dalam keadaan berjungkir balik ini sudah barang tentu tak dapat menyelamatkan diri.
Tubuh mereke terlempar dalam kegelapan dalam keadaan terluka parah. Tapi tidak terdengar suara bergedebukan jatuhnya mereka. Si kakek sempat diam melongo sambil memandang ke arah jatuhnya lawan. Kemudian seolah tidak pernah terjadi apa apa, dia berkata,
"Terluka sudah pasti, tapi apakah mereka jatuh ke langit? Kalau jatuhnya ke tanah aku masih belum tuli untuk mendengar suaranya. Ha ha ha! Persetan."
Dengan tertatih-tatih orang tua ini menghampiri meja yang Kemudian dia memeriksa, tiba-tiba si kakek menjerit.
"Walah! Hancur sudah semua barangku. Tuak tuak kesayanganku pada tumpah, kurang ajar sekali. Tap.... eh, aku memaki siapa? Bukankah aku yang menghancurkan mejanya. Gendeng, gila! Mengapa aku memaki diriku sendiri?"
Lama juga si kakek mengomel tak karuan. Tapi kemudian dia merasa letih sendiri. Selanjutnya dia duduk. Setelah menarik nafas dengan tidak terduga dia berkata.
"Orang yang bersembunyi di balik batu. Perlu apa kau mendekam di situ? Apakah kau juga ingin mencari tahu tentang pedang yang dikejar oleh tiga orang gila tadi? Cepat keluar atau aku bakal menggebukmu biar mampus?"
Orang yang mendekam di balik batu sama sekali tidak menyangka bahwa kehadirannya ternyata diketahui oleh si kakek. Karena merasa dirinya tidak memendam maksud-maksud yang jahat, tanpa merasa ragu orang ini segera keluar dari tempatnya bersembunyi. Dia berjalan menghampiri Pengukir Nisan. Begitu sampai di depan orang tua itu, si kakek yang telah berusia lanjut ini memandangnya. Pengukir Nisan terkesima.
"Rambut gondrong, pakaian terbuat dari kulit. Masih muda, tampan dan. hmmm. Siapa dirimu? Apa yang kau lakukan di makam kuno ini?" Tanya orang tua ini curiga.
"Nama saya Saga Merah, kek. Saya tidak melakukan apa-apa di sini. Dan saya sedikitpun tidak berhasrat membicarakan soal pedang" Ujar pemuda bersungguh sungguh. Si kakek tertegun, melihat cara pemuda ini bicara dia segera menyadari bahwa pemuda yang bernama Saga merah itu tentulah orang yang sangat serius. Si kakek menyeringai.
"Oh, jadi kau tidak bermaksud mencari pedang? Bagus-bagus sekali. He he he....!"
"Maafkan aku orang tua. Aku sendiri sudah lama mendengar kabar tentang pedang yang menjadi penyebab terjadinya malapetaka di waktu itu. Tapi apa perduliku. Tentang pedang Cacat Jiwa yang menghebohkan, kurasa hanya sebuah cerita bohong yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya."
Kata Saga Merah. Sesungguhnya yang dikatakan oleh murid dari tiga tokoh sakti ini hanya merupakan pancingan saja. Dia sengaja bicara begitu untuk melihat bagaimana reaksi si kakek, juga ingin mengetahui apakah orang tua berilmu tinggi ini benar-benar hanya seorang pengukir nisan atau memang benar seperti yang dikatakan oleh Tiga Bayang Bayang Maut bahwa si kakek sesungguhnya saudara sepupu Empu Kajang Selo yang bernama Balewa Edan. Mendengar ucapan Saga Merah, mata si kakek berkedap-kedip.
"Jadi. jadi.... kau tidak percaya bahwa pedang Cacat Jiwa itu sesungguhnya memang ada?" Tanya si kakek dengan mata mendelik. Saga Merah sunggingkan seringai sinis.
"Huh, siapa yang percaya kisah tentang pedang yang terjadi ratusan tahun lalu. Mana ada pedang sehebat itu. Mereka para tokoh di rimba persilatan kuanggap sebagai orang bodoh yang rela saling bunuh demi memperebutkan ketololan!"
Dengus Saga Merah sengaja memanasi. Dalam kegelapan di bawah kerlip lampu pelita yang dalam keadaan miring di atas meja yang hancur, pendekar muda ini melihat betapa air muka Pengukir Nisan nampak mengelam. Dia seperti orang yang salah tingkah.
"Kau hanya bocah ingusan yang tidak mengenal sejarah masa lalu. Umurmu paling juga baru sekitar delapan belas tahun, dengan usia yang seumur jagung bagaimana kau bisa menyangkal tentang kebenaran yang terjadi di masa lalu?"
Kata si kakek dengan mata mendelik. Tapi lagi lagi senyum Saga Merah terkesan mengejek sehingga Pengukir Nisan merasa tertantang. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa kesan yang ditunjukkan oleh pemuda itu semata-mata adalah untuk mencari kebenaran dan sengaja memancing agar Pengukir Nisan mau bicara yang sebenarnya.
"Bocah kurang ajar! Kau tidak tahu apa-apa, kau masih hijau, matamu baru melek, matamu baru saja terbuka melihat kebenaran hidup," Dengus Pengukir Nisan. Tanpa disadari si kakek mulai terseret perasaannya sendiri. Perasaan ingin membuktikan bahwa pedang Cacat Jiwa sebenarnya memang pernah ada.
"Memang kau sendiri tahu apa orang tua? Kau sama seperti diriku yang hanya mendengar sebuah kisah tentang pedang membawa petaka. Sedang dirimu sendiri sama seperti yang lain, tidak pernah melihat pedang itu? Bukankah demikian kenyataannya!"
Kata Saga Merah lebih memanasi. Pengukir Nisan tambah terseret gelegak perasaannya sendiri. Dia menggelengkan kepala dengan keras. Kemudian setengah membentak dia berkata.
"Kau salah! Justru akulah orang yang paling mengetahui tentang pedang itu. Pengetahuanku tentangnya sedekat pengenalanku tentang anggota badanku sendiri."
Saga Merah terdiam, dalam diam sebenarnya dia merasa kaget. Si kakek terpancing oleh ucapannya. Dia sadar tentang itu. Karena terpancing, secara berapi-api dan tanpa dia sadari telah membuka satu rahasia yang seharusnya dia pendam. Tapi Saga Merah ternyata cukup cerdik, selagi yang diajaknya bicara belum menyadari siasat yang dilakukan Saga Merah, pemuda ini lagi-lagi berkata.
"Kau mengaku tahu tentang pedang itu. Nah-nah-nah, aku mulai meragukan tentang kewarasan otakmu orang tua!"
"Bocah kampret kurang ajar. Kau jangan membuat aku marah.Terus terang sejak dulu orang meragukan kewarasan otakmu.Tapi sebenarnya aku tidak gila beneran. Hidupku sudah ratusan tahun, mungkin saja otakku sedikit pikun karena perabotan di kepalaku mulai karatan. Tapi ketahuilah aku satu-satunya kunci yang mengetahui terciptanya pedang itu." Kata Pengukir Nisan penuh semangat
"Eeh, kau bicara apa orang gila."
"Kurang ajar! Sekali lagi kau memanggilku orang gila, kepalamu bakal kupelintir sampai terlepas dari badan, Kau dengar bocah kampret. Aku ini ikut menyaksikan Empu Kajang Selo membuat senjata maut itu."
"Apa?"
Saga Merah pura-pura unjukkan wajah kaget.Padahal di dalam hati Saga Merah merasa lega karena semua pancingannya ternyata mengena pada sasaran yang dia inginkan.
"Maafkan aku orang tua. Aku merasa kurang percaya, hanya itu saja. Lalu yang sebenarnya dirimu ini siapa?"
"Aku...a..ku...ah..."
Si kakek tiba-tiba menepuk keningnya sendiri. Agaknya dia mulai sadar bahwa pemuda itu sejak tadi sengaja ingin mengorek keterangan darinya.
"Kurang ajar.kau menipu aku, kau memancing-mancing aku hingga tanpa kusadari aku telah keterlepasan bicara. Ampun gusti.anak kurang ajar ini datang dari mana? Mengapa aku bisa saja dibodohi oleh bocah ingusan sepert dia?!"
Gerutu orang tua itu seolah menyesali semua keterlanjuran yang terjadi. Saga Merah untuk pertama kalinya tertawa riang. Dia tertawa melihat Pengukir Nisan seperti orang kebakaran jenggot. Sambil senyum-senyum setelah tawanya lenyap pemuda ini berucap,
"Orang tua, aku bukan orang serakah. Aku tidak kemaruk dengan senjata, biarpun sehebat apa senjata Itu. Yang ingin kuketahui adalah sebuah kejujuran, kejujuran dari mulut orang tua yang kuhormati?"
"Hormat apanya, sejak tadi kau telah memanfaatkan ketololanku. Apakah memancing di air yang butek dapat dikatakan hormat?" Dengus si kakek dengan mulut cemberut.
"Jangan terlalu terbawa perasaan. Kau belum menjawab pertanyaanku!"
Pengukir Nisan diam sejenak, dia mondar-mandir seperti orang bingung yang dijebak. Kemudian dia memandang ke arah Saga Merah, tatap matanya tajam menusuk seolah ingin menjenguk ke dalam relung hati si pemuda.
"Baiklah! Kalau kau tidak mau bicara aku tidak memaksa. Aku akan pergi. Aku bisa menganggap bahwa aku baru saja bertemu dengan seorang pembual," Kata Saga Merah. Pemuda ini lalu berpura-pura hendak melangkah pergi.
"Tunggu!" Sergah si kakek. Saga Merah menghentikan langkahnya.
"Kemarilah. Kurasa aku cukup bermurah hati untuk mengatakan duduk persoalan yang sebenarnya."
Kata orang tua itu pasrah. Saga Merah kemudian datang menghampiri. Dia lalu menggeser sebuah kursi batu dan meletakkannya di depan si kakek. Kini mereka duduk berhadap-hadapan. Pengukir Nisan menarik nafas panjang, matanya menerawang memandang ke arah pelita seolah ingin mengenang apa yang terjadi dimasa silam, ratusan tahun yang lalu. Dengan suara berat kemudian dia berkata.
"Melihat tampangmu aku yakin kau adalah orang yang dapat dipercaya." Ujar si kakek
"Aku jamin rahasiamu aman di tanganku jika kau ingin aku merahasiakannya." Jawab pemuda itu. Si kakek mengangguk.
"Terus terang Pengukir Nisan sebenarnya hanya sebuah nama samaran. Namaku yang sebenarnya adalah Balewa Edan. Kata Edan di berikan oleh saudaraku Empu Kajang Selo karena sejak kecil kabarnya aku suka bicara sendiri."
"Jadi benar seperti yang kudengar bahwa kau memang punya hubungan kerabat dengan Empu itu?"
"Ya. Dia masih sepupuku." Sahut si kakek.
"Jika demikian berarti umurmu?"
"Kau tak usah bertanya tentang umurku." Sergah kakek terkesan tidak suka.
"Kalau begitu mengapa kau berada di sini?"
Pertanyaan itu membuat si kakek menghembuskan nafas dalam.
"Aku berada di sini demi menghindar dari malapetaka yang lain. Aku juga terpaksa mengganti namaku dan memakai rambut palsu panjang seperti ini demi untuk mencari selamat."
"Memang rambutmu sebenarnya seperti apa?" Tanya Saga Merah tidak mengerti.
"Kepalaku botak, sejak kecil rambut segan tumbuh di sana."
"Manusia aneh. Tapi, sebenarnya bukan itu yang ingin kutanyakan, kau lari dari kejaran siapa?"
"Siapa saja terutama yang masih menginginkan pedang itu."
"Orang tua, penjelasanmu dapat kumengerti. Yang tidak kumengerti adalah mengapa mereka mengejarmu. Apakah kau tahu dimana pedang itu?"
"Mereka mengejar karena mereka menganggap aku mengetahui keberadaan pedang itu."
"Yang sebenarnya bagaimana?" Tanya Saga Merah
"Yang sebenarnya justru tidak bisa kukatakan. Pedang itu dicuri seseorang di tempat penyimpanan rahasia. Saat itu Empu Kajang Selo sedang melakukan samadi. Niatnya adalah untuk menemui Dewi Keadilan di Kayangan. Ini harus dilakukan untuk meminta restu, karena setelah tujuh puluh lima syarat terpenuhi. Pedang itu bakal menjadi senjata penegak yang dapat dijadikan tolok ukur bagi orang-orang yang ingin mencari keadilan. Tapi niat untuk memenuhi syarat terakhir belum terpenuhi, Pedang itu sudah lenyap."
"Siapa yang mencurinya?" Pengukir Nisan menggeleng.
"Aku tidak tahu."
"Apakah ada orang lain selain dirimu dan empu yang tinggal disana?"
"Ada. Seorang kepercayaan bernama Bayang Rego. Ilmunya tinggi. Orang tua itu lenyap satu hari setelah pedang itu menghilang."
"Jadi tidak ada yang tahu dimana pedang itu?"
"Tidak. Aku dan Empu telah mencarinya kemanamana. Sebelum pedang ditemukan terjadi malapetaka dimana-mana. Sepekan kemudian kami menemukan jasad Bayang Rego dalam keadaan hangus. Aku mengetahui dia tewas akibat hantaman sinar yang ditimbulkan oleh pedang itu. Hanya aku tidak tahu apakah dia yang mengambil pedang itu kemudian direbut oleh orang lain. Ataukah dirinya berusaha merebut pedang dari tangan pencurinya."
"Hmm, kurasa ini cukup rumit. Siapa yang mencuri pedang pertama kalinya tidak diketahui. Apakah Bayang Rego atau pencuri yang lain." Gumam Saga Merah.
"Bayang Rego mempunyai ilmu tinggi, namun kejujurannya cukup meyakinkan mengingat Bayang Rego telah ikut dengan Empu sejak lama."
"Bayang Rego sudah mati, Dia tak dapat lagi dijadikan tempat bertanya. Lalu dimana Empu Kajang Selo?"
"Entahlah. Menurutku beliau sudah tiada mengingat usianya sudah hampir seribu tahun. Tapi bisa jadi beliau masih ada, kesaktian yang dia miliki amat tinggi hingga memungkinkan dirinya raib tanpa jejak. Mungkin beliau berada di suatu tempat, mungkin di langit mungkin ah entahlah."
"Orang tua, apakah kau pernah melakukan penyelidikan ke mana pedang itu menghilang?" Kata Saga Merah.
"Aku sudah letih menelusuri jejak pedang. Hasilnya tidak ada, usahaku sia-sia. Kupikir pedang itu ada di tangan seseorang. Sudah enam ratus tahun, jika benar berada di tangan seseorang. Seharusnya malapetaka terus terjadi. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Selama itu sejak malapetaka besar yang ditimbulkan oleh pedang cacat yang melanda daerah tak jauh dari Kulon Progo, aku tidak pernah mendengar kabar lagi."
"Mungkinkah pedang itu raib di telan bumi?"
"Mengapa tidak? Aku tak akan lupa. Pada saat itu ada benda langit jatuh menimpa sebagian tanah Dipa ini. Sebagian daratan hancur, api membakar apa saja, air laut menggelegak. Benda langit itu membawa api yang sanggup membakar apa saja. Aku berpikir apakah,mungkin senjata itu ikut menjadi korban?"
"Kalau Pedang Cacat Jiwa terbakar apakah meleleh?" Pengukir Nisan tersenyum.
"Bahan pedang berasal dari batu langit. Lautan api sehebat apapun tidak bakal sanggup melumerkannya. Pedang Cacat Jiwa benar-benar senjata hebat, sayang sebelum sempurna dicuri orang. Itu sebabnya Empu memberinya nama Pedang Cacat Jiwa. Cacat berarti tidak sempurna. Sesungguhnya pedang itu memang cacat karena satu syarat belum terpenuhi" kata si kakek sambil bergidik ngeri.
"Sekarang aku mengerti, mengapa pedang itu menjadi penyebab angkara murka. Pedang hebat, pedang sakti namun tidak sempurna karena tak terpenuhi syaratnya pada akhirnya menjadi senjata pembunuh yang tiada banding"
"Ya. Hanya aku satu-satunya saksi. Apapun yang terjadi pedang itu harus segera ditemukan. Mengigat belakangan ini banyak orang mulai melakukan pencarian. Sangat kusesali, aku sudah tua. Aku tidak mungkin mencarinya seorang diri."
"Bagaimana kalau aku membantumu, orang tua?" Tanya Saga Merah. Niat si pemuda tentu berdasarkan khawatirannya akan malapetaka yang akan ditimbulkan bila pedang itu sampai jatuh ke tangan orang lain. Mata si kakek yang sayu mendadak bersinar. Dia memandang Saga Merah dengan sorot penuh harapan.
"Ini tugas yang berat, aku merasa tidak perlu menjajal kehebatanmu. Taruhannya nyawa karena yang kita hadapi pastilah orang-orang sakti, bahkan kemungkinan kita bakal menghadapi orang dari golongan sesat dan lurus. Di samping itu mereka pasti ada yang menggunakan ilmu sihir."
"Kau tak usah mengkhawatirkan tentang itu orang tua. Aku bisa menghadapi ilmu sihir." Kata Saga Merah.
"Apa?"
Pengukir Nisan yang sebenarnya adalah Balewa Edan belalakan matanya.
"Kau punya guru? Siapa. gurumu?"
Sang pendekar tersenyum. "Tak usahlah kusebutkan siapa guruku."
"Hmm,aku jadi ingat. Di puncak Merapi ada seorang ahli sihir hebat. Namanya Sabai Baba, asalnya dari daratan Himalaya India. Ilmunya tinggi, sihir hebat tapi jarang dipergunakan kecuali untuk maksud baik. Dia juga kudengar punya murid, namanya Petir Kemala"
"Sayang aku kurang mengenalnya?" Ujar Saga Merah yang oleh para gurunya telah diwanti-wanti agar jangan menyebut nama mereka.
"Tidak mengapa. Sekarang apa yang hendak kau lakukan?" Tanya si kakek. Saga Merah terdiam sejenak. Dia berpikir rencana apa kiranya yang terbalk untuk dilakukan. Terpikir olehnya tentang sesuatu, tanpa ragu dia bertanya.
"Apakah kakek ingat Bayang Rego dikuburkan dimana?"
"Tentu saja aku ingat karena aku yang menguburnya. Mengapa kau tanya tentang orang yang sudah mati?" Tanya si kakek terheran-heran.
"Andai saja aku bisa memanggil arwahnya, kemudian memasukkan ke dalam dirimu. Tentu aku bisa bertanya soal awal mula hilangnya pedang," Ujar pemuda itu.
"Tindakan itu bisa dilakukan, tapi apakah itu tak akan membahayakan diriku?" Kata si kakek was-was. "Kau tidak apa-apa asal tahu caranya."
"Hmm, kalau begitu kita harus mengambil kerangka Bayang Rego."
"Kau tidak menguburnya?"
"Tidak. Hubunganku dengannya seperti kerabat, aku tidak sampai hati menguburkannya jadi dia kusimpan di sebuah peti. Peti itu diletakkan di dalam pondokku."
"Apakah aku boleh melihatnya?"
"Hmm, tidak mengapa. Tapi.."
"Kau kelihatannya ragu-ragu orang tua, apakah kau mempercayai diriku?" Pertanyaan itu membuat Pengukir Nisan terkejut, buru buru dia menjawab.
"Tidak. Mengapa aku meragukan niat baik orang." Si kakek kemudian bangkit berdiri. Selanjutnya orang tua ini memandang ke satu jurusan. Di kejauhan sana di balik kegelapan ada kerlip cahaya.
"Pondokku ada di sana. Sekarang kau ikuti aku."
"Baiklah orang tua," Sahut Saga Merah. Pemuda itu berjalan di belakang si kakek, sementara malam mulai terasa dingin.
***
Kuda hitam dipacu cepat melewati jalan becek di malam buta. Tanpa memperdulikan hujan yang turun deras, penunggangnya menggebah kuda dalam posisi setengah berdiri. Dalam gelap kuda mengeluarkan suaru mendengus sesekali terdengar suara ringkikkannya pula. Memasuki mulut sebuah dusun, kecepatan kuda agak dikurangi. Si penunggang kuda layangkan perhatian ke arah kanan kiri jalan yang dilewatinya. Diapun kemudian melihat bangunan paling besar di rumah itu.
"Tidak salah lagi!"
Pikirnya. Rumah megah bertanah luas dengan sebuah kandang kuda tak jauh dari bangunan tersebut pasti merupakan tempat kediaman Ki Ageng Rana Jiwo. Sosok berpakaian serba merah ini lalu melompat turun. Dia menambatkan kudanya di tepi jalan. Selanjutnya sosok ini menuju ke rumah itu. Sialnya di bagian pendopo depan ada beberapa orang sedang berjaga-jaga di sana.
"Siapa kau?"
Salah seorang dari empat penjaga berteriak. Tiga lainnya langsung menoleh. Melihat ada orang yang datang mereka segera berlompatan dari balai balai yang mereka duduki. Orang berpakaian merah berambut panjang dengan ikat kepala merah tidak memberi kesempatan. Tubuhnya melesat, kedua tangan berkelebat menghantam ke arah sasaran sekaligus. Terdengar suara pekik kesakitan. Empat penjaga terkapar.
Dada mereka hangus meninggalkan bekas telapak tangan. Orang-orang ini tewas seketika tanpa sempat mengenal siapa yang membunuhnya. Sementara itu di bagian dalam bangunan besar itu walau suasana hujan seorang istri Ki Ageng Rana Jiwo yang cantik bernama Raras kiranya di malam selarut itu memang belum dapat memejamkan matanya.
Wanita cantik bertubuh langsing berdada lumayan besar itu kiranya sedang gelisah memikirkan keselamatan suaminya. Berbeda dengan istri Ki Ageng Rana Jiwo yang bernama Nianggum. Perempuan jelita bertubuh sintal itu justru sedang dibuai mimpi. Malam yang dingin membuat tidurnya tambah pulas.
Tidak mengherankan Raras yang saat itu duduk di ruang dalam sempat mendengar suara keributan di luar juga mendengar suara pekik penjaganya.Wanita berumur sekitar dua puluhan tahun ini terkejut, namun dia segera bergegas menuju ke pintu. Dari lubang pintu dia mengintip ke arah pendopo. Matanya terbelalak ketika melihat empat penjaga rumahnya terkapar tak bergerak, sementara dia melihat seorang laki-laki yang tidak dikenalnya berwajah angker berpakaian merah sedang memandang ke arah pintu.
Dengan perasaan cemas dia menuju ke kamar yang ditempati oleh madunya. Dia mendorong pintu yang tidak terkunci, dihampirinya tempat tidur. Dengan hati-hati istri pertama ini membangunkan madunya.
"Adik... adik... bangun. Ada orang datang.. mereka membunuh empat penjaga kita di luar sana." Ujar Raras sambil mengguncang bahu Nianggum dengan perlahan.
"Uaah.. ada apa sih.... kakang pulang. Mengapa membangunkan aku, bukankah sekarang giliranmu untuk meladeni keperluannya?"
Ujar Nianggum yang salah mendengar ucapan Raras dengan malas-malasan "Bukan, bukan kakang Ageng yang datang. Kita nampaknya kedatangan tamu jahat.Empat penjaga yang berada di depan dibunuhya. Orangnya berpakaian merah." ujar Raras.
Nianggum yang memiliki wajah lebih cantik dari Raras terkejut, seketika dia melompat dari tempat tidurnya. Lalu mengusap wajah dan matanya yang masih mengantuk.
"Orang itu membunuh empat penjaga? Apa yang diinginkannya? Kita harus bersiap-siap. Mari kita lihatt" Kata Nianggum.
Sambil bergegas perempuan ini mengambil senjata di dalam almari. Sebuah keris berlekuk lima diselipkannya di balik pinggang. Sementara itu di depan pintu terdengar suara gedoran. Rupanya laki-laki berpakaian serba merah itu sudah tidak sabar dan segera berteriak memanggil pemilik rumah.
"Ki Ageng Rana Jiwo, buka pintunya, aku Gede Mahendra ingin bertemu!"
Dia lalu menunggu, namun karena pintu tak kunjung dibuka, maka dengan perasaan gusar pintu itu dihancurkannya. Braak! Pintu hancur berkeping-keping. Angin dingin menyerbu memasuki ruangan yang cukup mewah dan menebarkan bau harum semerbak. Laki-laki berpakaian serba merah yang tiada lain memang Gede Mahendra melangkah masuk.
Matanya jelalatan memandang ke segenap penjuru arah, Karena tidak melihat adanya orang lain, maka dia bermaksud melakukan pemeriksaan di seluruh penjuru kamar. Namun belum lagi lelaki berwajah angker ini sempat melakukan niatnya pada saat itu juga dari ruangan dalam muncul dua wanita cantik masih sangat muda dan bertubuh menawan.
Gede Mahendra sempat terpana. Dia berpikir seumur hidup dan selama menjadi penguasa di Padang Api, belum pernah sekalipun dia melihat dua wanita secantik ini. Mula-mula Gede Mahendra menyangka kedua orang itu kemungkinan besar adalah puteri Ki Ageng Rana Jiwo. Tapi menurut yang dia dengar Ki Ageng sesungguhnya belum punya keturunan.
"Aku ingin bertemu dengan Ki Ageng Rana Jiwo,"
Kata Gede Mahendra yang demi melihat kecantikan kedua wanita itu pendiriannya yang keras sempat terguncang. Raras dan Nianggum saling menatap, Nianggum kemudian memberi isyarat agar Raras yang bicara. Wanita muda itu melangkah maju, sambil tersenyum tapi dengan wajah menyimpan rasa takut dia bertanya.
"Kalau mau bertemu dengan Ki Ageng Rana Jiwo mengapa harus membunuh?"
"Huh, mereka orang yang tidak berguna. Kehadiran mereka hanya memperlama tugas yang seharusnya segera kuselesaikan." Jawab Gede Mahendra.
Berbeda dengan Raras, Nianggum justru tidak mengenal rasa takut. Dia melangkah maju dan berdiri di samping Raras.
"Bicara terus terang, Ki Ageng Rana Jiwo saat ini tidak berada di rumah. Sangat kusesalkan kau membunuh empat penjaga yang tidak berdosa. Harap kau mengerti dan segera tinggalkan tempat ini."
Kata wanita itu disertai lirikan tajam. Gede Mahendra tersenyum, dia berpikir melakukan tugas yang diminta oleh Bayan Tandira yang bergelar Juru Teluh Delapan Penjuru cukup penting mengingat mereka saling bekerja sama. Tapi dia harus memanfaatkan kesempatan baik saat bertemu dengan wanita cantik ini.
"Kalian yang cantik-cantik siapa namamu?" Tanya Gede Mahendra. Raras sang istri tua berusia belia namun amat setia pada Ki Ageng Rana Jiwo langsung mendengus dan palingkan wajah ke jurusan lain. Sementara Nianggum istri termuda dan tipe yang tidak setia langsung menjawab,
"Kami berdua adalah istri dari Ki Ageng Rana Jiwo yang di sebelahku Raras Bulan dan aku adalah Nianggum."
"Oh, dua wanita cantik jelita, beruntung aku bertemu dengan kalian malam ini. Ki Ageng Rana Jiwo sungguh manusia yang beruntung. Usia sudah cukup tua namun memiliki istri yang masih muda dan cantik pula."
"Aku tidak punya waktu, Ki Ageng tidak ada di tempat Kalau punya urusan maka sebaiknya datang lain hari saja!" kata Raras dengan nada ketus bercampur muak. Raras muak dengan tatapan jalang Gede Mahendra yang seperti singa kelaparan menjelajahi sekujur tubuhnya. Mendengar ucapan Raras, Gede Mahendra tertawa tergelak-gelak.
"Pucuk dicinta ulam tiba. Kalau suamimu tidak berada di rumah, kuanggap ini suatu kebetulan. Tanpa mengesampingkan perasaanku setelah melihat rupa kalian yang cantik-cantik, aku ingin bertanya kemana perginya Ki Ageng Rana Jiwo?"
"Ki Ageng Rana Jiwo sedang...." ucapan Nianggum ini segera dipotong oleh Raras. Wanita itu mendelik pada madunya,
"Adik.... orang ini jelas datang dengan membawa tujuan yang tidak baik. Kau jangan sembarangan memberi keterangan pada orang yang tidak dikenal."
"Maaf kakang mbok. Kurasa orang seperti dia memang tidak layak mengetahui keberadaan kakang Ki Ageng Rana. Seharusnya dia kita suruh pergi saja." Ujar Nianggum sambil mengedipkan matanya.
"Ah, mengapa kalian begitu tertutup. Padahal aku mengetahui apa yang dilakukan oleh suamimu. Bukankah Ageng Rana Jiwo saat ini sedang melakukan petilasan. Dia ingin mengetahui keberadaan senjata maha sakti pedang Cacat Jiwa. Kalian tidak perlu sungkan untuk mengatakan dimana tepatnya Ki Ageng berada. Setelah Itu aku akan mempertimbangkan untuk membawa salah satu di antara kalian."
"Ciih....siapa sudi." Kata Raras ketus.
"Sudah bau tanah tidak tahu diri!" Dengus Nianggum pula. Mendengar cercaan kedua wanita itu, Gede Mahendra bukannya marah, melainkan malah tertawa tergelak-gelak. Tapi tawanya itu tidak berlangsung lama, begitu tawa terhenti dia memandang silih berganti ke arah Raras dan Nianggum.
"Kedua wanita ini tak mungkin kubawa semua. Bayan Tandira ingin mengorek keterangan tentang keberadaan KI Ageng. Kudaku cuma satu, mungkin yang satunya cukup berguna untuk memberi keterangan dan juga untuk memuaskan keinginanku," Membatin Gede Mahendra dalam hati. Sambil membasahi bibir, laki-laki itu berkata.
"Kalian wanita cantik seharusnya lebih memilih aku, aku lebih muda dari Ki Ageng Rana Jiwo. Aku juga lebih kuat dan pasti tidak akan mengecewakan. Nah, sekali lagi kutegaskan dimana Ki Ageng berada?"
"Manusia tak berbudi, percuma saja kau mengorek keterangan dari kami karena kami tak bakal memberikan sepotong keterangan pun kepadamu!" Dengus Raras.
"Hmm, kau ternyata seorang istri yang amat setia. Sedangkan satunya lagi menurut penilaianku masih bisa diajak berdamai...."
"Cuih siapa sudi?!" Dengus Nianggum dengan wajah bersemu merah.
"Kau sudah tua juga, wajahnya seram mengerikan. Mungkin kalau kau masih muda dan punya paras yang tampan aku bisa.!"
"Adik jaga mulutmu!" Teriak Raras. Setelah berteriak sekonyong-konyong dia balikkan badan. Dengan berapiapi dia berucap ditujukan pada Gede Mahendra.
"Laki-laki rendah berhati Kaluak, cepat angkat kaki dari rumahku ini atau kau ingin aku membunuhmu?!"
"Ha ha ha! Orang selemah dirimu tak mungkin sanggup melakukan itu. Kau hanya cocok dijadikan teman tidur" kata Gede Mahendra. Namun laki-laki ini tidak sempat menyelesaikan ucapannya karena pada saat itu Raras telah melakukan serangkaian serangan dengan jurusjurus yang cukup berbahaya. Gede Mahendra tentu tidak menyangka lawan mempunyai kepandaian silat. Dia melompat mundur. Sambil tersenyum mengejek dia berkata.
"Boleh juga silatmu! Aku ingin melihat sampai dimana kehebatanmu!"
Wuus! Nyaris saja mulut laki-laki itu terbabat oleh sebilah keris yang berada di tangan Raras. Gede Mahendra berkelit, namun kali Ini keris meluncur mengarah ke beberapa bagian tubuhnya yang mematikan. Laki-laki ini sempat dibuat repot juga. Tapi Gede Mahendra kemudian menyambuti serangan gencar lawan dengan menggunakan jurus-jurus yang lebih hebat. Pada suatu kesempatan, Raras berhasil mengecoh dengan tusukan ke dada, Lawan melangkah mundur, tangannya menangkis namun Raras segera menarik serangan, tusukan kini terarah ke bagian bahu Uhh!
"Craas!"
Pakaian dan lengan Gede Mahendra tergores, darah mengucur dan kenyataan ini mengundang kemarahannya.
"Perempuan laknat sudah bosan hidup!" Teriak laki-laki itu.
Tiba-tiba dia merangkapkan kedua tangannya. Tangan itu bergetar dan sebentar saja telah berubah merah seperti bara hingga sebatas siku. Baik Raras maupun Nianggum sama dibuat kaget. Nianggum menyadari betapa berbahayanya Raras saat itu. Tanpa membuang waktu dia segera menyerang Gede Mahendra darl arah samping. Serangan mendadak yang datang tidak terduga ini justru membuat Gede Mahendra semakin bertambah marah.
Melihat Nianggum menusukkan kerisnya ke arah pinggang. Tanpa ragu lagi dia menyambut serangan itu. Satu gerakan cepat dia lakukan membuat keris yang seharusnya menusuk pinggang tertangkap oleh Gede Mahendra. Begitu keris menyentuh telapak tangan Gede Mahendra yang membara. Keris itu langsung lumer. Jari tangan laki-laki itu segera bergerak cepat lakukan totokan. Nianggum yang hendak membantu Raras justru menjadi korban.
Tubuhnya kaku tertotok tidak pernah bergerak lagi. Melihat ini Raras menjadi berang, dia melesat ke atas. Kakinya berkelebat menghantam ke arah dagu dan wajah lawannya. Gede Mahendra menggerung, dia miringkan kepalanya. Tangan kiri meluncur ke depan dengan satu tangkisan, sedangkan tangan kanan meluncur deras menghantam dada. Tindakan lawannya ini jika sampai mengenai sasaran pasti berakibat fatal.
Dada Raras seketika hangus dan kakinya yang ditangkis dengan menggunakan tangan yang telah berubah seperti bara pasti melepuh. Namun Raras segera berjumpalitan ke belakang. Serangannya dia batalkan, selanjutnya dia jejakkan kaki ke atas meja. Braak! Meja berlubang besar, membentuk lima jari dan telapak tangan. Meja itu terbakar. Gede Mahendra menggeram. Saat itu lawan telah berbalik, kini dia menyerang dari atas.
Tapi Gede Mahendra yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari wanita itu secara tak terduga melompat ke samping. Begitu kakinya menjejak pinggiran meja yang terbakar, Dua tangannya menyambar sekaligus ke tubuh lawannya. Raras tidak sempat menyelamatkan diri. Sepuluh jari tangan menghujam di bagian perut dan dadanya. Pakaian robek, bagian yang terkena serangan langsung mengepulkan asap.
Raras menjerit di tengah malam buta, dia terhempas dan tewas dengan mata melotot. Melihat ini Nianggum yang tertotok hanya bisa menjerit. "Jahanam, pembunuh keji!"
Teriak wanita jelita itu. Gede Mahendra tidak menghiraukan makian itu. Laki-laki ini justru tertawa terkekeh. Dengan kedua tangannya yang ke ujud semula tubuh Nianggum dipeluk dan kembali dipanggulnya.
"Kurang ajar! Kau hendak membawaku kemana?" Teriak wanita itu.
"Ha ha ha. Juru Teluh Delapan Penjuru ingin bertemu denganmu. Tapi kukira kita masih punya waktu untuk bersenang-senang mencari kepuasan diri," Jawab Gede Mahendra.
"Manusia terkutuk! Aku tidak sudi... aku tidak sudi...!"
"Kau tidak sudi, tapi aku mau, lalu apa bedanya... Ha ha ha...."
***
Pantai selatan selamanya menjadi sebuah tempat terganas dan terangker di sepanjang pesisir tanah Dipa. Ombak setinggi gunung menghempas karang yang menjulang. Suara gemuruh tidak ubahnya seperti senandung suara dedemit penunggu pantai. Sementara tidak jauh dari sebuah pegunungan gersang di atas tanah berbatu dua sosok tubuh baru saja terhempas. Mereka tidak ubahnya baru jatuh dari langit. Dan kedua kakek yang baru saja mendarat dengan pantatnya di atas bebatuan sama meringis sambil mengomel.
"Tubuh kurus, tinggal tulang sama kentut. Harusnya jatuh di kasur yang empuk atau jatuh dalam pelukan wanita. Kakek kurang ajar... kau lihat hasil perbuatanmu!"
Kata kakek bungkuk yang sudah tidak bergigi ini sambil unjukkan wajah cemberut. Si kakek satunya lagi yang sekujur tubuhnya dipenuhi totol-totol warna hitam tertawa terkekeh.
"Hasil perbuatanku yang mana telah menyengsarakan dirimu? Bukankah kita sama-sams jatuh dengan bokong duluan yang menyentuh batu."
"Ya, sebagai seorang dewa seharusnya kau bisa menggunakan kekuatan untuk menahan kecepatanmu?"
"Oalah, kakek ompong.Aku sudah sering mengatakan bahwa aku adalah dewa yang sedang menjalani hukuman. Dewa yang lebih tinggi telah mengambil sebagian kekuatanku. Dengan kekuatan yang hanya sekedarnya, mana mungkin aku bisa mengendalikan diri.Masih syukur kita bisa turun dari langit. Sudahlah...mengapa bisamu hanya mengomel dan mencaci maki? Sekarang berdiri yang lempeng, kita sudah harus mencari tempat persembunyian Sapta Jagad."
"Sapta Jagad! Apa benar manusia yang satu itu pernah tinggal di tempat ini?" Kata si kakek yang adalah Ki Ladung Kosa.
"Benar kakek ompong. Segala yang kita lihat ketika berada di tempat rahasia itu jelas merupakan sebuah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan."
"Kalau begitu aku setuju, tapi dari mana kita harus memulai?" Tanya Ki Ladung Kosa. Ki Burik Loso yang aslinya adalah dewa terdiam, matanya memandang jelalatan ke arah pantai. Kemudian perhatiannya tertuju ke arah dataran tinggi berbukit-bukit dan sebuah gunung batu menjulang ke langit.
"Kita harus ke gunung itu!" Ujar Ki Burik Loso mantap.
"Hah, apa? Maksudmu kita harus mendaki menuju ke bagian puncak gunung?" Tanya Ki Ladung Kosa cemas.
"Kau ini bawel sekali. Tentu saja yang pertama kita lakukan adalah memeriksa bagian kaki gunung. Jika di sana kita tidak menemukan tanda-tanah yang kita cari, tentunya kita harus menuju ke bagian puncak. Sekarang lebih baik kau ikut saja."
"Aku tidak keberatan. Tunggu apa lagi? Mari kita berangkat!"
Ujar Ki Ladung Kosa tidak sabar. Ki Burik Loso merasa tidak ada gunanya bicara. Dia tidak meladeni Ki Ladung Kosa yang terus mengeluh di sepanjang jalan menuju kaki gunung yang gersang itu. Ketika mereka sampai di satu tempat, Ki Burik Loso menghentikan langkah lalu memandang ke satu jurusan.
"Langit ada di atas, Gunung Kidul ada di sini. Ketika aku berada di atas, isyarat cahaya hijau itu berasal dari tempat ini. Tapi langit sangat tinggi hingga aku tidak dapat memastikan dimana tepatnya tempat itu berada."
Si orang tua menggelengkan kepala. Pada saat itu KI Ladung Kosa hanya bisa berpikir apa kira-kira yang sedang direncanakan oleh sahabatnya. Sampai kemudian tanpa bicara apa-apa Ki Burik Loso pergunakan jari tangannya.
"Eh, kau hendak menggunakan cara seperti ketika berada di atas sana?" Tanya Ki Ladung Kosa kaget.
"Memang begitulah kakek ompong."
"Tapi mengapa kau tidak menempelkan telunjuk ke kening? Lagi pula mengapa tanganmu tidak memancarkan cahaya seperti yang kulihat ketika berada di ruangan itu?"
"Sudah kukatakan kau tidak perlu banyak tanya. Mulutmu cerewet sekali. Aku hanya butuh perubahan pada tanganku ini. Jika telunjukku terasa panas berarti pedang itu pernah berada di tempat ini."
Ki Burik Loso kemudian mengacungkan telunjuknya ke segenap penjuru. Tiba-tiba ujung jari telunjuknya berdenyut, hawa panas menyengat.
"Aku merasakannya?" Ujar si kakek.
"Eh, telunjukmu mengarah ke tanah datar, bukan ke gunung atau lereng gunung." Ujar Ki Ladung Kosa.
"Ya, tempat itu adanya di sebelah pohon sana. Semakin kuarahkan jariku ke situ, hawa panas semakin menyengat."
Gumam Ki Burik Loso terheran-heran. Temannya menggeleng. Dia nampak ragu sekali.
"Mungkinkah? Coba kita ke sana!" ujar Ki Ladung Kosa. Kedua orang Ini segera mendekat ke arah pohon besar yang tumbuh di pedataran yang diselimuti batu-batu besar "Bagaimana?" Tanya Ki Ladung Kosa.
"Di sini tanganku terus bergetar. Gila, tangan ini rasanya mau terbakar"
Seru Ki Burik Loso jadi heran sendiri. Dia lalu berusaha menentukan arah yang lebih tepat. Ujung jari telunjuk digeser kekanan dan kekiri. Ketika telunjuk bergerak ke arah kaki tempat dimana si kakek berdiri, maka hawa panas semakin dirasakannya. Tubuh orang tua itu bergetar, keringat bercucuran.
"Ini adalah sebuah kenyataan lain yang tidak pernah kubayangkan!" Gumam Ki Burik sambil menggeleng tidak percaya. Ki Ladung dibuat heran. "Apa maksudmu? Apakah kau hendak mengatakan bahwa pedang itu ada di sekitar sini?"
"Bukan. Bukan begitu Ki Ladung ompong, adapun yang kumaksudkan di tempat yang kita pijak ini dulunya kemungkinan ada sebuah jalan. Jalan itu menghubungkan ke suatu tempat di bawah tanah."
"Kau gila. Mana mungkin di sini ada sebuah jalan. Tempat ini rata dengan tanah. Kau jangan mengada-ada."
Ki Ladung Kosa boleh saja mengomel, tetapi KI Burik Loso adalah seorang dewa yang tentu saja punya kemampuan untuk memantau sesuatu. Dengan penuh keyakinan dia berkata.
"Kau tak usah banyak bicara. Sekarang kau pergunakanlah pukulanmu yang paling hebat. Hantam tanah dekat kakiku ini, aku yakin di bawah sana ada sesuatu."
"Kau jangan bergurau, kurasa perkiraanmu itu meleset."
"Kakek ompong, kau harus ingat. Peristiwa menggegerkan soal pedang itu sudah berlangsung beratus-ratus tahun yang silam. Sebuah tempat yang tadinya ada dalam waktu sekian lama bisa saja lenyap. Sejak tadi kau tidak melakukan apa-apa, sekarang aku minta bantuanmu untuk menghancurkan tanah di sekitar tempat yang kupijak ini"
Ki Ladung Kosa nampak cemberut.Walau kelihatannya dia merasa jengkel melihat Ki Burik Loso, namun dia masih mau melakukan apa yang diperintahkan kepadanya
"Aku tidak tahu seberapa hebat kegilaan dalam otakmu Tapi aku tidak mau ambil pusing! Sekarang katakan dengan jelas bagian mana yang harus kuhantam!"
Tanya si orang tua sinis. Ki Burik Loso yang sudah memahami tabiat temannya hanya tersenyum, tanpa bicara dia menunjuk ke depan. Ki Ladung manggut-manggut. Dia tidak membuang waktu, dengan cepat segera mengambil ancang-ancang seperti orang yang hendak melakukan serangan mematikan. Orang tua ini menekuk kaki kirinya. Dua tangan lalu diangkat ke atas kepala. Ki Ladung menarik nafas dan menghembuskannya.
Dua tangan yang berada di atas kepala kemudian bergetar. Seiring dengan itu dari bagian ubun-ubun si kakek mengepulkan asap putih kelabu. Tidak berselang lama kedua tangan orang tua ini juga telah berubah memutih laksana perak. Rupanya Ki Ladung ketika itu benar-benar menggunakan pukulan Kincir Angin Dewa Matahari. Inilah satu dari sekian banyak pukulan Ki Ladung yang amat ganas dan dahsyat luar biasa.
Terbukti ketika kedua tangan itu telah berubah memutih, dari telapak tangan yang saling bertautan menderu angin bergulung-gulung. Sementara cahaya putih menyilaukan mata memancar dari telapak tangan orang tua itu. "Hiaaa." Serata merta Ki Ladung Kosa berteriak nyaring menggelegar. Pada saat itu dia melambung ke udara, Setelah berada di ketinggian dia meluncur kembali ke bawah. Pada saat seperti itu dua tangan secara berbarengan dihantamkan ke permukaan tanah yang ditunjuk oleh Ki Burik tadi.
Cahaya putih menyilaukan mata berkiblat, hawa panas dan dingin datang silih berganti, angin menderu. Di ujung sana Ki Burik Loso tergontai-gontai Wuus! Wuus! Dua kilatan seperti gelombang cahaya menyambar. Kemudian terdengar suara ledakan berdentum ketika pukulan Ki Ladung membentur tanah keras berbatu yang ditujunya. Akibatnya luar biasa, debu dan pasir bermuncratan di udara. Asap tebal menutupi pandangan. Pada saat itu Ki Ladung yang baru selesai menghantam segera jejakkan kaki sambil berkat dengan nada mencemooh.
"Dasar sulit dibuat percaya. Aku sudah mengatakan tidak ada sesuatu apapun di balik tanah ini. Huh, hanya membuang waktu saja." Gerutu orang tua itu. Ki Burik Loso sama sekali tidak menanggapi. Dia memilih menunggu lenyapnya debu dan asap tebal yang menutupi pandangan. Sampai akhirnya segala yang merintangi pandangan lenyap.
Ki Burik segera bergegas menghampiri lubang menganga bekas ledakan yang ditimbulkan oleh pukulan Ki Ladung Kosa. Begitu mata orang tua ini memandang ke arah lubang, matanya terbelalak, wajah berubah riang sedangkan mulutnya tersenyum. Dia melihat di balik lubang bekas ledakan terdapat lubang yang lain. Di ujung lubang terdapat tangga batu. Tangga batu itu menuju ke bawah, kelanjutannya entah kemana karena di ujung sana gelap. Ki Burik tak dapat menembus kegelapan itu.
"Kau lihat! Yang kukatakan ternyata tidak meleset bukan." ujar Ki Burik lega.
"Apa yang kau temukan?" Tanya Ki Ladung Kosa penasaran.
"Kau kemari saja, perhatikan lebih dekat, Kau pasti tidak percaya," Kata Ki Burik Loso. Si kakek bungkuk bergigi ompong penasaranjuga jadinya. Dengan terhuyung huyung dia menghampiri sahabatnya, kemudian berdiri di samping Ki Burik sementara matanya memandang ke arah bawah
"Astaga! sungguh sulit untuk dipercaya?"
Desis Ki Ladung Kosa begitu mengetahui bahwa di bawah sana terdapat sebuah lubang menganga hitam. Di bagian paling ujung lubang itu ada anak tangga. Tangga itu pasti menuju ke ruangan bawah tanah. Kalau tidak melihatnya sendiri, mana percaya si kakek bahwa di balik permukaan tanah yang datar ternyata masih ada celah kosong di bawahnya.
"Bagaimana ini bisa terjadi?"
"Kurasa semuanya berdasarkan proses alam yang memakan waktu cukup lama. Tangga ini pasti menghubungkan suatu tempat. Tapi kemudian menutup dengan sendirinya oleh beberapa kejadian alam."
"Apakah tidak mungkin seseorang sengaja menutup jalan tangga ini?"
"Aku tidak yakin! Ini pasti kejadian alam biasa. Gempa bumi hebat juga mengakibatkan pergeseran tanah. Lagi pula waktu itu ratusan tahun lalu bersamaan dengan hilangnya pedang Cacat Jiwa, ada sebuah benda langit jatuh menimpa bumi. Daerah sini kurasa adalah daerah yang paling rusak oleh hantaman benda langit itu,"
"Yang kita bicarakan tentang masa lalu, yang kita cari juga tentang benda jaman dulu. Aku tidak yakin bisa menemukannya, tapi aku percaya benda itu ada. Namun yang tidak aku percayai kemungkinan pedang itu. Senjata tersebut apakah mungkin berada di dalam tanah?"
"Mengapa tidak? Benda itu kemungkinan bisa saja terpendam. Terbukti sejak saat itu tidak terdengar lagi malapetaka yang ditimbulkannya."
"Lalu apa yang kita lakukan?" Tanya Ki Ladung Kosa. Ki Burik diam membisu. Dia lalu melompat ke dalam lubang yang menganga. Kini dirinya sampai di ujung anak tangga paling atas. Si kakek membungkukkan tubuhnya. Dia memandang ke arah kegelapan itu, ke arah anak-anak tangga yang berada di bawahnya.
"Kita membutuhkan pelita besar!" Ujar Ki Burik "Pelita"
"Sudah lama tidak ada ikan hiu yang mati.Tapi kau tidak perlu takut.Aku ada menyimpan batu cahaya," ujar Ki Ladung Kosa.
Orang tua ini kemudian mengeluarkan batu seukuran ibu jari tangan. Dia segera turun. Batu cahaya berwarna putih itu diserahkannya pada Ki Burik. Setelah menerima batu tersebut, Ki Burik berkata.
"Kau ikut ke belakangku. Apa saja yang kau lihat, apa saja yang terjadi jangan panik. Kau mengerti?!"
Tanya si kakek. Ki Ladung menganggukkan kepala. Di depannya Ki Burik melangkah maju menuruni undakan tangga kedua dan seterusnya. Batu cahaya diarahkan dalam kegelapan. Begitu batu bersentuhan dengan suasana gelap, maka secara menakjubkan batu itu memancarkan cahaya terang. Kini kegelapan dalam ruangan sirna berganti dengan suasana terang. Namun begitu mereka dapat melihat keadaan di sekeliling anak tangga yang ternyata sangat panjang itu, Ki Ladung Kosa tiba-tiba belalakan mata. Laki-laki itu berteriak sambil menutupi kedua matanya.
***
Pondok tempat tinggal Pengukir Nisan memang sangat sederhana. Di dalam pondok tidak terlihat adanya barang-barang berharga. Ruangan dalam pondok dipenuhi dengan bumbung tuak yang sengaja disimpan lama. Nampaknya orang tua ini sangat trauma oleh kejadian di masa lalu, tidak mengherankan bila waktunya banyak tersita untuk mabuk. Bahkan kepada Saga Merah, kakek ini tidak mau dipanggil nama aslinya.
"Nama aslinya berarti malapetaka bagiku baik dulu dan sekarang. Anak muda cukup kau memanggil dan mengenal diriku sebagai Pengukir Nisan saja," Ujar si kakek.
Saga Merah tidak keberatan, Si kakek kemudian masuk ke sebuah ruangan. Tapi tidak berselang lama dia keluar kembali. Orang tua ini menggotong sebuah peti batu. Peti itu tidak besar, tidak seperti peti mati. Ukurannya kecil, namun Saga tidak dapat melihat isi didalamnya. Selanjutnya Pengukir Nisan meletakkan peti batu di atas bale-bale. Orang tua ini kemudian menegaskan,
"Apa yang hendak kau lakukan. Di dalam peti ini kerangka Bayang Rego kusimpan."
Saga Merah memperhatikan peti mati tersebut sejenak lamanya. Dia merasakan seperti ada sesuatu. Sesuatu yang terus bergerak hingga membuat perasaannya gelisah.
"Orang tua, selain dirimu siapa lagi yang tinggal di tempat ini?" Tanya pemuda itu "Aku dan kerangka Bayang Rego."
"Hhm, aku ingin sekali memanggil arwahnya. Kalau arwah itu datang aku bisa menggunakan tubuhmu sebagai wadah, kau bisa kujadikan perantara. Tapi aku tidak ingin gegabah. Aku ingin meneliti terlebih dulu bagaimana keadaan kerangka sebelum dan sesudahnya."
"Kalau begitu, sekarang aku akan membuka peti batu ini."
Keinginan si kakek langsung disetujui oleh Saga Merah. Peti mati kemudian dibuka. Begitu terbuka sosok yang hanya tinggal tulang belulang itu ternyata menebarkan bau menyengat.
"Tidak secuil pun daging busuk yang tersisa, menempel di antara tulang belulang itu. Mengapa tercium bau seperti ini?" Kata Pengukir Nisan heran
"Ya, ada keganjilan terjadi di sini. Kau lihat tulang-tulang ini orang tua. Orang yang sudah menemui ajal ratusan tahun yang lalu, seharusnya tulang atau tengkorak kepalanya berwarna putih mengingat dalam keadaan kering. Anehnya mengapa tulang ini berwarna merah seolah di dalamnya masih mengandung darah.Dan tulang ini seperti milik orang yang mati kemarin. Ada yang tidak wajar terjadi di sini, ada sesuatu yang lain. Dan aku merasakan kehadiran sesuatu yang tak ku lihat."
"Jadi..?!"
"Di sinilah letak kesulitannya. Ada dua pertanyaan yang mengganjal dalam benakku. Pertama kita ingin mencari tahu siapa yang mencuri pedang atau kita justru ingin mencari tahu keberadaan pedang itu."
"Bagiku keberadaan pedang dan dimana saja pedang itu berada tidak menjadi soal. Sebab cepat atau lambat kita akan tahu terlebih-lebih bila pedang itu dimanfaatkan untuk membunuh. Sejak dulu hingga sekarang justru aku ingin mencari tahu, apakah Bayang Rego terlibat dalam pencurian itu ataukah kematiannya justru disebabkan karena dia mengetahui siapa orang yang mengambil pedang itu."
"Jika demikian, sebaiknya kau duduklah di belakang peti batu itu orang tua. Kita akan segera memulai segala sesuatunya. Aku akan berusaha memanggil Bayang Rego."
"Tapi apakah kau benar-benar bisa melakukannya? Bagaimana kalau arwah orang lain yang datang.?"
Kata Pengukir Nisan khawatir. Saga Merah tidak mengenal rasa takut seperti itu mengingat dia amat yakin dengan apa yang akan dia lakukan. Yang dia risaukan adalah biasanya bila kita memanggil arwah seseorang, yang datang bukan arwah yang bersangkutan saja. Arwah orang lain yang tidak diundang juga bakal hadir. Kalau sudah begini mereka bakal berebut masuk ke dalam tubuh yang menjadi perantaranya. Saga Merah telah bertekad akan melakukan pencegahan bila hal itu sampai terjadi. Karena itu dia berkata.
"Kau tidak perlu meragukan kemampuanku. Aku menyadari ada bebarapa keanehan yang terjadi menyangkut diri tulang dan tengkorak ini. Segalanya terasa serba tidak wajar. Tapi aku tidak bakal melakukan yang seperti ini jika aku tak menguasai cara-caranya," Kata pemuda itu berusaha meyakinkan.
"Walau tidak percaya sepenuhnya, setidaknya dalam hatiku ada sedikit rasa percaya padamu. Sekarang aku akan mengambil sikap, aku yakin harusnya aku duduk santai, aku tidak boleh tegang. Aku juga harus mengosongkan pikiran. Perlu diingat, kesaktian yang kumiliki tidak sehebat Empu Kajang Gading. Jadi kuharap kau benar-benar mengetahui apa yang kau perbuat" Pengukir Nisan kemudian duduk bersila.
Kedua mata sengaja dipejamkan, sementara segala sesuatu yang sempat mengganggu pikirannya dia tepiskan jauh-jauh.
"Aku sudah siap!" Kata Pengukir Nisan.
Sang pendekar memandang ke depan. Salah satu tangan diletakkan di sebelah dada kiri dengan jari-jari menghadap ke arah dagu. Setelah itu bergerak ke kanan. Tidak lama dari mulut Saga Merah terdengar suara racau. Tapi semakin lama mulai bertambah jelas Malam yang sunyi tiba-tiba dipecahkan oleh lolongan Kutukila. Kutukila makhluk berkaki empat berujud seperti anjing namun mempunyai mata merah dan taring-taringnya sangat berbisa. suara lolong tidak berlangsung lama. Saat itu suara Saga Merah semakin jelas.
"Kebaikan ada di delapan penjuru, Kejahatan ada di sembilan arah Ilmuku....ilmuku Raja mantra-mantra yang punya kuasa. Kuharapkan kehadiran arwah Bayang Rego dimanapun berada Yang tidak diundang harap menyingkir. Yang diundang segera datang Ilmuku....ilmuku .. Raja mantra-mantra yang punya kuasa Atas penjuru langit atas dunia Dedemit diseru demit datang arwah dipanggil arwah pun datang".
Suara Saga Merah kemudian lenyap. Sebagai gantinya angin menderu sayup-sayup suara Kutukila kemball terdengar. Lalu seolah dicampakkan dari jarak ribuan tombak dalam kegelapan di luar sana muncul sedikitnya tiga cahaya. Ketiga cahaya datang dari arah berlawanan, lalu dengan warna sinarnya yang berlainan ketiga cahaya melesat ke arah pondok tempat dimana Pengukir Nisan dan Saga Merah berada. Bila si kakek berambut panjang riap-riapan ini tidak mengetahui gerangan apa yang terjadi di luar sana. Sebaliknya Saga Merah segera merasakan tanda-tanda yang membuat hatinya gelisah.
"Ada tiga arwah yang datang ke sini orang tua. Kuharap kau mendengar apa yang kukatakan ini. Aku tidak tahu yang mana dari ketiga arwah itu yang merupakan Bayang Rego. Sekarang harap kau memaafkan, bila aku terpaksa untuk sementara menutup ruang yang tersedia di dalam tubuhmu yang seharusnya sudah siap untuk dimasuki oleh Bayang Rego. Kau tetaplah berada di sini, aku mau keluar. Aku ingin memastikan segalanya berjalan sesuai dengan rencana"
Sang Pendekar tiba-tiba melangkah mendekati Pengukir Nisan. Kemudian tangan kanannya diangkat hingga sejajar dengan ubun-ubun orang tua itu. Tanpa terduga dari telapak tangan Saga Merah memancar cahaya putih kebiruan. Cahaya itu dengan segera melesat ke arah ubun-ubun si kakek, kemudian membentuk perisai pipih seperti payung yang melindungi ubun-ubun si kakek. Tidak hanya itu, Cahaya biru itu juga kemudian menjalar kesekujur tubuh Pengukir Nisan hingga melindungi orang tua itu dari gangguan yang tidak diinginkan.
Sesungguhnya tindakan yang dilakukan oleh Saga Merah semata-mata adalah untuk menjaga agar arwah yang tidak dikehendaki mengganggu si kakek. Karena orang tua itu sedang mengosongkan pikiran, tentu dia tidak bakal kuasa menolak kekuatan manapun yang mencoba memasuki dirinya,
Dan Saga Merah berlaku cerdik. Dia sudah memperhitungkan semuanya hingga sampai pada kemungkinan terburuk sekali pun. Setelah yakin dengan keselamatan si kakek. Saga Merah berkelebat keluar. Sesampainya di luar pondok dia melihat ada tiga cahaya merah, lalu cahaya kuning dan terakhir cahaya hijau.
"Aku merasakan kejahatannya."ujar pemuda itu.
Tetapi Saga Merah segera mengibaskan tangannya ke arah tiga cahaya sekaligus. Angin menderu dan tentu saja serangan yang dilakukan pemuda itu mengandung mantra sihir yang dapat melumpuhkan arwah-arwah yang tidak dikehendak dimana kehadirannya berujud cahaya. Tiga cahaya berpentalan selamatkan diri. Mereka menjauh namun segera mendekat kembali begitu serangan Saga Merah yang menggunakan mantra gaib lewat.
Sang pendekar gelengkan kepala, dia berpikir harus segera melakukan sesuatu, sesuatu yang membuat dirinya dapat menemukan yang mana dari ketiga cahaya yang hadir adalah arwah Bayang Rego. Tanpa menunggu dia berteriak.
"Yang kuundang kemari hanya arwah Bayang Rego. Siapa yang merasa dirinya bukan Bayang Rego maka meskipun selama hidupnya memiliki ilmu yang tinggi kuharap segera menyingkir. Kalau tidak maka aku tidak bisa menjamin keselamatannya karena aku akan menggunakan sihir pemusnah!"
Ancam Saga Merah. Kemudian dia berteriak lagi.
"Yang merasa arwah Bayang Rego mendekatlah kepadaku!"
Saga Merah menunggu. Dia kemudian melihat cahaya hijau bergerak mendekat ke arahnya. Namun belum lagi cahaya itu sampai, dua cahaya yang lain menyusul. Kini cahaya merah dan kuning menghantam cahaya hijau. Dalam kenyataan jelas sekali dua cahaya yang lain ternyata memang ingin mencelakal Bayang Rego yang muncul dalam cahaya hijau. Saga Merah menggeram. Dia menjadi gusar, karena itu dia berteriak.
"Aku sudah mengetahui bahwa cahaya hijau adalah arwah Bayang Rego. Siapapun yang mencoba-coba mencelakakanya. maka dia akan berhadapan denganku! Aku tidak punya banyak waktu, jika punya nyali sebaiknya perlihatkanlah ujud kalian."
Teriakan itu tidak mendapat tanggapan apa-apa. Cahaya merah dan cahaya kuning justru terus bergerak berusaha menabrak cahaya hijau. Saga Merah menjadi geram. Dia lalu memutar-mutar tangannya, bibirnya berkomat-kamit. Bersamaan dengan itu di telapak tangan kini muncul dua cahaya putih menyilaukan berbentuk bundar.
Namun ketika Saga Merah terus menggerak-gerakkan tangannya, cahaya putih yang muncul di telapak tangan kanan dan kiri berubah memanjang. Semakin lama cahaya itu bergerak ke atas lalu berubah menjadi dua ekor ular yang sangat besar berwarna putih. Dengan ekor bertumpu pada telapak tangan Saga Merah, kepala ular itu masing-masing bergerak cepat ke arah cahaya kuning dan cahaya merah.
Mulut mereka terbuka lebar, siap menelan kedua arwah yang muncul dalam bentuk cahaya. Cahaya kuning dan cahaya merah nampaknya menyadari bahaya yang bakal menimpa diri mereka. Melihat serangan ular jejadian itu semakin tambah ganas, maka kedua cahaya itu bergerak pergi. Semakin lama semakin menjauh hingga akhirnya menghilang dari pandangan mata. Saga Merah menarik nafas lega. Dia kemudian memandang ke arah cahaya biru itu. Tanpa ragu dia berkata,
"Aku dan Balewa Edan telah menunggumu. Kau ingat dengan kejadian enam ratus tahun yang lalu? Saat itu Pedang Cacat Jiwa dicuri orang. Kau benar-benar orang jujur, aku ingin kau masuk dalam diri Balewa Edan. Aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan padamu. Kau pasti mengetahui peristiwa itu, sampai dirimu terbunuh. Siapakah yang membunuhmu. Mari, kita tidak punya banyak waktu, sebentar lagi pagi segera datang. Aku tahu. Kau tak mungkin bisa bertahan lama di tubuhnya" ujar pemuda itu.
Dia kemudian membalikkan badan dan menuju ke dalam pondok. Sementara cahaya hijau itu sambil melayang-layang mengikutinya dari belakang. Ketika pemuda itu masuk ke dalam pondok. Justru Saga Merah dibuat terkejut. Matanya terbelalak dan dia berteriak penuh rasa kaget. Dia melihat di atas balai-balai Pengukir Nisan rebah dalam keadaan tidak bernyawa. Sekujur tubuhnya berlumur darah. Sebuah luka yang paling mengerikan terdapat di bagian lehernya. Leher orang tua itu berlubang besar seperti digorok.
"Tidak mungkin...tidak mungkin...."
Teriak Saga Merah seperti orang kehilangan kendali. Dengan mata jelalatan dia memandang ke sekeliling apa yang telah membunuh dan pembunuh itu datang dari mana? Saga Merah tidak habis mengerti. Matanya mencari cari, ada yang hilang. Dan yang hilang itu adalah peti batu tempat dimana tulang belulang Bayang Rego tersimpan.
"Siapa yang mencurinya? Apakah pembunuh Itu? Lalu untuk apa dia mencuri peti batu dan membunuh Pengukir Nisan?" kata Saga Merah.
Pemuda itu benar-benar dibuat bingung. Dia tidak tahu teka-teki apa yang dia hadapi. Mungkinkah orang tega membunuh hanya untuk mencuri tulang dan tengkorak orang yang sudah mati, Pasti ada sesuatu yang amat penting, sebuah rahasia yang tidak diketahuinya. Sekonyong-konyong Saga Merah membalikkan badan dan memandang ke jurusan pintu. Dia juga tercengang ketika mendapati cahaya hijau yang mengikutinya tadi ternyata telah raib. Seperti orang tidak waras, Saga Merah segera berlari mengejar.
Tetapi sesampainya di luar dia tidak melihat siapa-siapa. Cahaya hijau itu juga tak terlihat olehnya. Sang pendekar tambah penasaran. Dia berpikir semua yang terjadi berlangsung dengan cepat. Siapa saja yang membunuh Pengukir Nisan, orangnya pasti memiliki kepandaian tinggi. Namun Saga Merah juga telah membentengi Pengukir Nisan dengan mantra sakti. Mustahil pembunuhnya arwah yang datang dari luar.
Tapi Saga Merah lupa si kakek tentu saja sangat marah karena Pengukir Nisan ketika dia tinggalkan sedang mengosongkan pikirannya. Dalam keadaan pikiran kosong bencana bisa saja datang dari segala penjuru. Kemudian yang menjadi pertanyaan bagi Saga Merah sekarang, apakah ada bagian terpenting yang terlewati? Karena masih penasaran, sekali lagi Saga Merah melakukan pemeriksaan, melihat ada atap pondok di bagian belakang yang jebol. Pemuda ini segera melompat ke atas.
"Dari sini pembunuh itu datang, dari sini pula dia pergi dengan membawa peti batu. Buat apa peti batu itu? Gila.. semua yang kusaksikan ini sungguh membuatku bingung" gumam sang pendekar.
Di atas atap pondok dalam kegelapan Saga Merah terus memutar otak dan berpikir. Selagi pemuda ini tenggelam dalam pikirannya sendiri, tiba-tiba dia mendengar suara gelak tawa. Saga Merah tersentak. Seketika dia melayangkan pandangan ke arah datangnya suara tawa itu. Suara tawa jelas datang dari arah makam kuno.
Tanpa menunggu dia segera berlari ke arah itu. Dalam waktu sekejab murid dari tiga guru sakti puncak Merapi Ini sampai ke tempat yang dituju. Sebuah pemakaman luas ditumbuhi pohon-pohon besar hanya menampilkan kesan yang angker. Suara tawa yang didengarnya raib, keadaan dimakam kuno sunyi mencekam.
Dalam gelap yang hanya diterangi cahaya bintang pemuda itu memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Dia tidak melihat ada gerakan yang mencurigakan. Orang yang dicari tidak kunjung terlihat. Saga Merah menghembuskan nafas dalam-dalam. Kemudian dia segera tinggalkan tempat itu.
***
Air menggelegak dari dalam belanga raksasa yang telah dicampur dengan darah dan bunga aneka rupa. Di bawahnya api terus berkobar-kobar. Di sekeliling belanga yang tergantung dengan tali panjang yang dikaitkan dengan langit-langit gua, terlihat tiga orang laki-laki duduk dengan khusuk. Ketika laki-laki itu bukan lain adalah Juru Teluh Delapan Penjuru Bayan Tandira. Posisinya saat itu menghadap ke arah sesajian yang tersusun rapi dan diletakkan di atas hamparan kulit harimau.
Kemudian mendampingi kakek ini adalah Timur Pradapa murid si kakek itu sendiri. Agak jauh dari pemuda itu, duduk seorang lakl-laki setengah baya berpakaian serba merah, Laki-laki itu bukan lain adalah Kutut Langit saudara dari Gede Mahendra yang saat itu tengah menjalankan tugas menculik istri Ki Ageng Rana Jiwo. Di dalam gua, Bayan Tandira sebenarnya sedang melakukan niatnya untuk mengetahui tempat di mana lenyapnya pedang Cacat Jiwa.
Seperti telah diketahui, untuk menembus tabir gaib dan melihat sesuatu satu syarat yang tepenting dan memiliki pengaruh besar adalah Tahi Bintang. Yaitu kotoran benda langit yang jatuh di Padang api. Kini setelah semua syarat terpenuhi, Bayan Tandira benar-benar segera melakukan keinginannya. Kepada Timur Pradapa yang sering membantunya dalam melakukan penujuman dia mulai berkata sesuai dengan urutan syarat yang harus dimasukkan dalam belanga.
"Muridku, seperti biasa, aku akan menyebut apa yang dibutuhkan, Dan yang dibutuhkan telah ada di depan mata. Begitu kusebut namanya maka kau harus mengambil barang yang kukatakan dan memasukkannya ke dalam belanga yang sudah mendidih itu."
"Saya sudah tahu guru," Ujar Timur Pradapa.Laki-laki itu kemudian beringsut mendekati reramuan yang telah tersedia.
Bayan Tandira duduk bersila, dia lalu mengusap wajahnya tiga kali. Begitu wajah diusap, kepala si kakek bergetar hebat. Seiring dengan itu kedua matanya tibatiba mengalami perubahan. Mata itu kini berubah menjadi putih seluruhnya. Bagi Timur Pradapa perubahan itu adalah sesuatu yang biasa dia lihat. Mata sang guru memang selalu berubah setiap kali dia memulai tugasnya. Berbeda dengan Kutut Langit yang tidak pernah melihat kejadian ini. Laki-laki itu sempat terkesiap, dia beringsut, wajahnya pucat. Dengan pandangan tidak percaya dia membatin.
"Astaga! Orang satu ini sungguh luar biasa. Mata itu berubah seperti mata setan. Apa yang akan dilakukannya?"
Kutut Langit diam di tempatnya. Hatinya diliputi rasa tegang. Pada saat seperti itu dia berharap Gede Mahendra segera kembali dan bila saudara seperti itu muncul dia pasti segera mengajak tinggalkan tempat itu.
"Perasaanku tidak enak. Tapi aku disuruh menunggu di sini, menemani mereka padahal tidak ada yang aku kerjakan!"
Kata Kutut Langit bimbang. Jika Kutut Langit sedang berombang-ambing dipermainkan perasaan. Sebaliknya saat itu Bayan Tandira berkata ditujukan pada muridnya.
"Masukkan bangkai anak menjangan."
"Anak manjangan siap dimasukkan," Ujar Timur Pradapa sambil segera lakukan yang diminta gurunya. "Masukkan kecubung biru, daun remek getih tengkorak perempuan yang meninggal saat melahirkan. Masukkan juga tulang orang yang mati gantung diri. Kemudian bunga tujuh rupa, tanah yang diambil di empat penjuru, lalu air tujuh sumur, darah kunyuk hitam..." Ujar si kakek lagi.
Timur Pradapa segera melakukan perintah gurunya. Saat barang-barang itu dimasukkan ke dalam belanga besar yang sedang mendidih, terjadi pergolakan hebat disertai dengan letupan-letupan yang memercikkan cahaya aneh. Asap tebal mengepul. Belanga bergoyang goyang. Bayan Tandira yang kedua matanya mendadak berubah memutih menggeleng keras
"Dia ingin muncul, tapi syarat yang dipersembahkan kurang. Oh ya, aku lupa! Kau belum memasukkan Tahi Bintang ke dalam belanga itu! Lakukan sekarang!" Perintah si kakek.
Dengan patuh Timur Pradapa melakukan perintah gurunya. Begitu serbuk berwarna hitam itu bertaburan menyentuh air yang bergolak, tiba-tiba belanga raksasa itu menggeletar, air meluap disertai suara menggemuruh hebat.
Kemudian dari dalam belanga sekonyong-konyong terdengar suara jeritan. Jerit yang memekikkan telinga hingga membuat Kutut Langit kaget. Sebagai orang yang sudah terbiasa melakukan kesesatan, Bayan Tandira sesungguhnya sangat memahami apa yang terjadi, Dia memandang ke arah belanga yang terus bergerak tidak mau diam.
"Semua syarat telah dipenuhi, namun dunia gaib memberi jawaban syaratnya kurang lengkap. Hmm.celaka, masih dibutuhkan nyawa, raga dan darah." Batin orang tua ini dalam hati.
"Siapa lagi yang harus kukorbankan?"
Pikir kakek itu. Bayan Tandira mustahil mengorbankan muridnya sendiri. Dia melirik ke arah Kutut Langit. Hanya laki-laki itu satu satunya kesempatan. Sementara itu Kutut Langit sendiri sebenarnya sedang dicekam oleh perasaan takut yang amat luar biasa. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa upaya yang dilakukan Bayan Tandira ternyata menimbulkan berbagai efek yang menakutkan. Selagi dirinya terus memperhatikan belanga itu, tiba-tiba Bayan Tandira berseru.
"Aku tidak ingin melihat ada kegagalan. Aku sudah merasakan ada yang menyimpang di antara kita."
"Orang tua apa maksudmu?" Tanya Kutut Langit heran.
"Ah, kau malang sekali. Saudaramu Gede Mahendra telah menyalahi aturan. Seharusnya dia langsung membawa wanita culikan itu kemari. Tapi yang dilakukannya justru memenuhi kehendak nafsu rendahnya," Kata si kakek yang pada akhirnya mengetahui apa yang menjadi penyebab dari hambatan yang dialaminya.
"Aku tidak percaya, kau jangan coba-coba mengalihkan perhatian dengan memutar balikkan kenyataan!" Teriak Kutut Langit tidak terima.
"Kurang ajar! Aku memberi tahu yang sebenarnya kau malah marah. Lebih baik aku menjadikanmu sebagai tumbal untuk menyempurnakan segala kekurangan akibat ulah saudaramu!"
Kata Bayan Tandira. Yang dikatakannya ini sebenarnya oleh Gede Mahendra.Tapi sebenarnya yang menjadi persoalan utama bukan berpangkal pada tindakan Gede Mahendra, melainkan pada keinginannya sendiri selalu menghendaki yang lebih utama. Demi mendengar ucapan Bayan Tandira, Kutut Langit sekonyong-konyong bangkit berdiri. Dengan mata melotot dia berkata.
"Kakek kurang ajar. Kau hendak menipu kami?"
"Bangsat tidak tahu diri, Dalam keadaan begini dimana banyak kekuatan bergabung denganku kau hendak menentangku? Kau bakal mati percuma manusia tolol!"
Bentak si kakek.Sejauh itu Timur Pradapa hanya diam memperhatikan. Kutut Langit merasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk melakukan tindakan. Tanpa bicara, sambil keluarkan suara menggerung Kutut Langit melesat dan menghantam. Si kakek tidak bergerak, Timur Pradapa merasa yakin gurunya dapat mengatasi bahaya yang mengancamnya.
Seperti yang dia duga, sebelum serangan Kutut Langit menyentuh tubuh gurunya, laki-laki itu tiba-tiba saja terjungkal. Dia menjerit, dadanya sakit luar biasa seolah ada tangan yang tidak terlihat menghantam ke dada. Kutut Langit menggeram, dia bangkit, mulutnya bersimbah darah. Tapi laki-laki itu sungguh tidak kenal kata menyerah. Dia siap menyerang lagi. Namun malapetaka yang tidak pernah dia bayangkan tiba-tiba terjadi.
Ketika itu dia hanya melihat mata Bayan Tandira berkedip sebanyak dua kali. Tiba-tiba mata itu memancarkan cahaya. Cahaya putih menyilaukan tersebut menghantam ke arah Kutut Langit. Laki-laki ini merasa tubuhnya tersedot dan sangat sulit untuk dilepaskan. Belum lagi Kutut Langit dapat berbuat sesuatu untuk mengatasi kesulitan yang dia hadapi, Bayan Tandira menyentakkan kepalanya dengan keras.
Begitu kepala disentakkan, cahaya itu ikut bergerak mengangkat Kutut Langit dan menariknya ke arah belanga. Tanpa ampun lagi tubuh laki-laki itu tercebur ke dalam belanga yang bergolak-golak. Kutut Langit menjerit. Tubuhnya menggelepar, namun semua itu tidak berlangsung lama. Kemudian secara perlahan seiring dengan meregangnya sang nyawa tubuhnya mulai tenggelam ke dasar belanga raksasa. Kutut Langit binasa, sebagai gantinya.
Di atas kepulan uap yang keluar dari dalam belanga menggelegak muncul bayangan sosok tubuh tinggi besar bermata bundar berperut besar. Bayangan itu amat menyeramkan. Timur Pradapa yang baru sekali ini melihat kemunculan sosok berujud seorang kakek dengan jenggot panjang hingga menyentuh tanah itu beringsut mundur dan menjauh dari belanga. Berbeda dengan Bayan Tandira, si kakek nampak tenang walaupun wajahnya sedikit tegang.
"Kau memanggilku dengan syarat yang cukup lumayan. Ada apakah?" Tanya bayang-bayang di atas belanga yang meliuk-liuk sesuai dengan gerakan yang keluar dari belanga itu
"Garda Langit sahabatku, kau tidak perlu bertanya karena kau yakin kau sudah mengetahui apa yang kuinginkan. Kuharap kau mau memberikan penjelasan yang kuinginkan tentang keberadaan senjata itu," Ujar Juru Teluh Delapan Penjuru. Makhluk bayang-bayang yang muncul dari dalam belanga mendidih itu tertawa dingin.
"Kau menginginkan sesuatu yang banyak diincar orang, Juru Teluh. Kau bakal menghadapi kendala besar mengingat tidak sedikit yang ingin memilikinya. Aku tidak bisa melarangmu, tapi aku hanya bisa memberi kabar bahwa bencana enam ratus yang lalu akan terulang kembali. Senjata itu akan muncul."
"Tapi dimana Garda Langit, aku ingin kepastian!" Kata Bayan Tandira tidak sabar.
"Kau boleh menunggu senjata itu di puncak Sindur" ujar Garda Langit. "Penjelasanmu kurang kumengerti. Kalau aku menunggu di puncak gunung Sindur, apakah nantinya akan ada orang yang datang. Ataukah pedang Cacat Jiwa sesungguhnya terkubur di gunung itu atau berada di tangan seseorang."
"Aku melihat di gunung itu ada api kemarahan. Aku yakin pedang itu bukan terkubur di perut gunung Sindur. Seseorang akan membawanya ke sana. Tapi, kendala yang bakal kau hadapi tak sedikit. Sungguhpun ilmu kesaktian yang kau miliki tidak kuragukan, namun kau harus ingat di atas ilmu masih ada ilmu yang lebih hebat lagi."
"Aku tidak perduli. Jadi kapan aku harus berada di puncak gunung itu?" Tanya Bayan Tandira.
"Hmm, menurut perkiraanku. Mulai sekarang sampai satu pekan ke depan kau harus berada di sana. Nanti pada malam ke tujuh saat bulan purnama bersinar penuh kau pasti mendapatkan kepastian yang kau tunggu."
"Berapa banyak orang yang datang ke puncak gunung itu?"
"Semua tergantung pada keadaan. Kalau sebelum ini banyak yang terbunuh dalam perjalanan memburu senjata itu.Kemungkinan sainganmu tidak begitu mengkhawatirkan. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya. Maka aku memastikan tipis harapanmu untuk selamat dari bencana."
"Bukankah kau bakal membantu aku dalam mendapatkan pedang itu?" Tanya Bayan Tandira tidak senang.
"Hmm, aku tidak bisa memberikan janji. Bukan hanya dalam dunia kehidupanmu senjata itu berbahaya. Sebaliknya dalam duniaku, bahkan mahluk-mahluk yang tinggal di alamku akan mengalami resiko yang sama bila mencoba mendapatkan senjata itu." Kata Garda Langit tegas
"Oh, ini sangat tidak kuharapkan," Ujar Bayan Tandira agak kecewa.
"Harapan yang paling baik kurasa hanya dengan menjauhi senjata itu dan tidak ikut perduli walaupun senjata itu berada di tangan siapa."
"Sayang aku tidak bisa menerima saranmu,"
"Kalau begitu bersiap-siaplah pada resiko yang diakibatkannya," Kata Garda Langit.
"Hmm, aku tidak perduli," Ujar si juru teluh. Garda Langit tersenyum.
"Aku telah mengatakan apa yang ingin kau ketahui, sekarang apakah aku sudah boleh pergi?" Tanya mahluk bayang-bayang itu. Bayan Tandira berpikir sejenak. Tapi dia merasa tida ada lagi yang perlu dia lakukan. Dia kemudian berkata.
"Kau boleh pergi. Tapi kuharap kau mencari orang yang bernama Gede Mahendra. Jika kau bertemu dengan dia dan kau lihat dia sedang bersenang-senang dengan perempuan culikan, kuharap kau bisa membuat anunya tidur. Kau mengerti maksudku?" Kata Bayan Tandira sambil menahan tawa. "Aku tahu.... Sekarang aku mohon diri," Ujar Garda Langit. Seketika itu juga sosok yang berujud bayang bayang ini raib dari hadapan Bayan Tandira. Si kakek menarik nafas lega. Dia lalu mengajak muridnya untuk mempersiapkan perjalanan yang bakal mereka lakukan.
***
Ruangan yang dihubungkan oleh anak tangga itu ternyata sangat luas sekali. Tempatnya tidak mirip seperti gua. Anak tangga yang terpendam di dalam tanah panjangnya hampir tiada batas. Dengan mempergunakan batu cahaya pemberian Ki Ladung Kosa, sahabatnya Burik Loso dapat melihat bahwa di sebelah kiri dan kanan tangga batu terdapat banyak sekali bangunan megah yang terbuat dari batu.
Bangunan itu mirip dengan sebuah kota lama yang terpendam, hilang akibat peristiwa besar di bumi. Yang membuat Ki Ladung Kosa berteriak kaget karena dia melihat beberapa sosok tinggi berwajah angker yang telah ditumbuhi lumut. Ki Ladung Kosa kemungkinan menyangka sosok angker itu adalah dedemit yang menetap di tampat tu. Namun setelah diteliti, sadarlah Ki Burik Loso bahwa yang membuat sahabatnya kaget dan menjerit ketakutan itu ternyata adalah patung.
"Tempat ini sangat indah sekali!" Kata Ki Burik Loso yang terkagum-kagum melihat bangunan berjejer yang ditata dengan apik. Ki Ladung tidak berkomentar apa-apa, perhatiannya terus tertuju ke arah deretan patung aneh walaupun saat itu mereka telah melewati lebih dari dua puluh anak tangga
"Yang kau lihat itu hanya patung-patung. Apakah itu patung dewa?" Tanya KI Ladung Kosa yang yakin Ki Burik tentunya banyak mengenal para dewa.
"Bukan. Tidak ada dewa yang rupanya sejelek itu. Patung-patungan ini kurasa dulunya pernah dipuja orang. Lihat salah satu patung itu, badannya mirip dengan badan manusia, namun kepalanya binatang masa lalu."
"Mereka memujanya? Atau mereka menyembahnya?"
"Ya... .mereka menyembah patung-patung itu sebelum mereka mengenal dewa. Kurasa ini tidak aneh, sampai sekarang orang yang menyembah batu atau yang menyembah pohon juga masih ada," Ujar Ki Burik Loso tanpa ragu "Apakah tempat ini dulunya ditinggali manusia?"
"Ya, aku yakin sekali. Tempat ini seperti di kota raja, bangunannya padat dan kukira ramai sekali."
Ki Ladung Kosa berdecak. Setelah berjalan melewati lebih dari tiga puluh undakan anak tangga yang kini semakin mendatar, tiba-tiba dia hentikan langkahnya. Dia melihat batu prasasti bertuliskan hurup aneh, mirip dengan hurup palawa namun sulit terbaca.
"Aku tidak bisa membacanya. Sebagai dewa tentu kau mengenal beragam jenis tulisan yang dibuat oleh manusia" Ki Burik memperhatikan tulisan di batu itu. Dia tersenyum.
"Ternyata tempat ini bernama Kota Lama, kota yang diramalkan bakal terkubur begitu seorang empu berhasil menciptakan pedang maha sakti." ujar Ki Burik Loso menjelaskan arti tulisan yang dia baca. Ki Ladung langsung terdiam mendengar penjelasan temannya. Tapi diamnya tidak berlangsung lama. Tiba-tiba dia bertanya.
"Kau mengatakan tentang pedang yang menamatkan riwayat kota ini, apakah pedang yang dimaksudkan adalah pedang Cacat Jiwa?"
"Aku tidak tahu."
"Sebalknya kita segera keluar. Tempat ini bagiku sangat menyeramkan. Lagi pula udaranya sangat pengab sekali"
"Kau jangan selalu mengeluh. Udara pengap karena selama ratusan tahun tempat yang indah itu tertutup, udara tidak dapat masuk. Ayolah, kau tak perlu takut. Menurutku tidak ada satu pun manusia dapat bertahan hidup di kota Lama ini setelah jalan masuknya tertimbun tanah. Kita baru saja membuka jalan itu."
"Mungkin tidak ada manusia dapat bertahan hidup, bagaimana dengan mahluk yang lain?"
"Tidak usah memikirkan yang tidak terlihat. Kau harus ingat, ketika berada di ruangan itu kita melihat cahaya biru dari sini. Seperti yang kukatakan cahaya itu pasti cahaya yang memancar dari pedang, setidaknya pedang terletak tidak jauh dari sini."
"Hh, entahlah. Aku hanya berpikir setelah masuk ke tempat ini perasaanku tidak enak."
"Kau terlalu pengecut. Sekarang kita sudah jauh meninggalkan jalan masuk yang kau buat. Aku sendiri tidak tahu tangga batu ini sepanjang apa dan ujungnya ada dimana. Dan mengapa harus ada tangga yang membelah kita ini?"
Kata Ki Burik Loso. Sahabatnya tetap bersikeras untuk kembali ke arah lalan masuk tempat pertama datang tadi, namun Ki Burik terus membujuknya. Akhirnya setelah didesak terus luluh juga hati Ki Ladung. Dengan menggunakan batu Lante yang memancarkan cahaya putih berkilau mereka terus menelusuri tangga. Sampai kemudian di penghujung tangga, mereka menemukan sebuah Jalan berbatu yang membelah kota Lama menjadi dua sisi.
"Kita hendak kemana lagi?" Yang ditanya sempat terdiam.
"Kalau kita periksa rumah-rumah yang terdapat di sekitar sini,paling juga kita hanya menemukan tulang belulang mereka yang mati terperangkap di masa lalu, Di kota ini mustahil tidak terdapat tempat yang lebih penting. Tempat orang-orang berkumpul, atau tidak tertutup kemungkinan di tempat ini terdapat pusat pemerintahan di masa lalu, walau kemungkinan namanya bukan kerajaan."
"Untuk apa mencari tempat seperti itu?"
"Entahlah. Firasatku mengatakan di sini kemungkinan ada petunjuk yang sangat penting yang ada kaitannya dengan pedang Cacat Jiwa. Oh ya, sesuai dengan tulisan yang kau baca. Bukanlah kota ini diramalkan bakal terkubur begitu sebuah senjata sakti tercipta.Bagaimana seandainya senjata yang dalam ramalan itu ternyata memang pedang Cacat Jiwa?"
"Kalau benar demikian, berarti kota Lama mulai terkubur dan terputus hubungannya dengan dunia luar sekitar enam ratus tahun yang lalu."
"Mengerikan sekali. Orang-orang yang mati di kota ini kurasa yang paling utama penyebabnya karena tidak dapat bernafas. Aku tidak bisa membayangkan harus menemul ajal dalam keadaan seperti itu."
Kata Ki Ladung kosa. KI Burik hanya manggut-manggut. Saat itu dirinya mulai mendengar suara-suara aneh. sayangnya sebelum sempat memastikan suara apakah yang sempat didengarnya itu, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara teriakan melengking.dari nada suaranya, suara itu seperti suara orang yang kegirangan. Ki Ladung melirik sahabatnya.
"Kau mendengar suara itu?"
"Aku mendengarnya.Tempat ini sangat gelap sekali. Kita tidak dapat mengetahui apa saja yang tersembunyi di balik kegelapan itu.Dibutuhkan ribuan batu cahaya untuk menerangi seisi kota ini. Dan kita hanya punya satu." Ujar Ki Burik
"Lihat.."
Ki Ladung tiba-tiba menunjuk ke satu arah. Sahabatnya segera melirik ke arah itu. Mereka sama melihat pada sebuah bangunan besar yang agak terpencil dari jalan itu terlihat ada nyala cahaya yang sangat terang sekali.
"Aku sudah punya firasat yang buruk. Coba kau pikir sendiri. Enam ratus tahun lebih kota lama ini terpaksa terputus hubungannya dari dunia luar. Siapa pun orangnya tak mungkin dapat bertahan hidup di tempat tertutup seperti ini. Yang membuatku heran sekarang ini adalah siapa yang menyalakan lampu di dalam bangunan itu?"
"Apa ini?"
Kata Ki Ladung Kosa heran bukan main.
"Hanya di dalam bangunan itu saja yang pelitanya tiba-tiba menyala. Kurasa tidak harus melakukan penyelidikan!" Ujar Ki Burik Loso menanggapi.
"Kalau begitu aku setuju, kita akan meggunakan segala cara untuk sampai ke tempat yang terpencil itu. Setidaknya kita terpaksa harus melewati bangunan yang terdapat di sekitarnya."
"Jika demikian biar aku yang ada di depan. Sekali lagi kupesankan padamu apa saja yang kau lihat jangan sampai menjerit-menjerit seperti orang gila."
Kata Ki Burik wanti wanti. Sementara itu di bangunan besar pelitanya tiba-tiba menyala. Di dalam salah satu ruangan sesosok tubuh berambut pajang berpakaian putih namun sudah lapuk duduk diam dalam keadaan bersila. Sosok itu ternyata seorang perempuan yang sudah sudah lama berada di situ. Terbukti selain rambut dan kukunya yang panjang, pakaian yang melekat ditubuhnya juga sudah lapuk sekali. Bahkan bila tertiup angin saja pakaian luruh beterbangan. Siapakah adanya perempuan yang tampaknya tetap awet muda ini?.
Dunia persilatan di jaman dulu mengenalnya sebagai kekasih Sapta Jagad. Namanya Seruni. Sapta Jagad sendiri salah satu tokoh maha sakti pada masa itu memiliki wajah sangat tampan. Beberapa tahun kemudian setelah Sapta Jagad dikabarkan berhasil merebut Pedang Cacat Jiwa, dia melarikan diri ke kota Lama. Kota yang paling ramai dan dianggapnya paling aman untuk bersembunyi. Tapi belum lama dia tinggal di kota itu, bencana besar terjadi.
Sebuah benda langit jatuh hampir menghancurkan sebagian tanah Dipa. Bahkan kota Lama terkubur hingga membuat penduduknya binasa. Lalu bagaimana Seruni bisa bertahan? Tidak ada yang tahu apa yang membuat gadis itu dapat bertahan. Yang jelas, begitu pelita dalam ruangan itu menyala setelah enam ratus tahun, gadis di tengah ruangan itu membuka matanya. Dia nampak begitu heran melihat keadaan di sekeliling ruangan.
"Aku berada dimana? Apa yang telah terjadi selama ini? Perasaan aku tertidur. Tapi mengapa lama sekali. Dan pakaianku ini" pikir si gadis. Dia menyentuh pakaiannya. Proll! Pakaian itu ambrol, runtuh dan terbang menjadi debu. Si gadis tercengang. Berapa lama dirinya dalam keadaan tertidur. Tentu sangat lama sekali mengingat pakaiannya yang kuat menjadi luluh lantak seperti itu. Baginya ini adalah kenyataan yang sulit untuk dipercaya.
Gadis ini lalu memandang ke lantai. Di permukaan lantai terdapat genangan air yang sangat bening sekali. Dia melihat wajahnya di permukaan air tersebut tidak ada yang berubah, jadi hanya pakaiannya saja yang lapuk. Mengapa pakaiannya bisa berubah lapuk? Berapa lama dia berada di dalam ruangan itu? Dia mencoba mengingat-ingat. Justru yang terbayang olehnya adalah seraut wajah cantik. Bayangan seorang gadis bernama Aramimbi
"Gadis itu. Dimanakah dia?" Batinnya dalam hati. Ingat tentang Aramimbi mata si gadis kini jadi Jelalatan. Dia memadang liar penuh rasa benci.
"Aku harus mencarinya. Aku mesti membunuhnya, jika tidak dia pasti bakal menjadi saingan terberat bagiku untuk mendapatkan kakang Sapta Jagad."
Si gadis kemudian bangkit namun karena terlalu lama duduk terus menerus, sekujur tubuhnya terutama kedua kakinya sulit digerakkan dan terasa kaku sekali.
"Celaka, apa yang terjadi dengan diriku?"
Batinnya dalam hati. Dia lalu mengatur nafas. Seiring dengan itu secara perlahan dia menyalurkan tenaga dalam ke sekujur tubuhnya. Hawa hangat menjalar dari bagian pusar ke sekujur tubuh. Dua kakinya yang semula terasa dingin bagaikan es kini secara perlahan berubah hangat. Namun belum lagi peredaran darah di sekujur tubuhnya menjadi lancar, pada saat itu juga dia mendengar suara pintu yang menghubungkan ke ruangan itu terbuka, di depan pintu yang terbuka muncul dua orang kakek.
Kedua kakek itu bukan lain adalah Ki Burik Loso dan Ki Ladung Kosa. Gadis itu tentu saja kaget. Sebaliknya berbeda dengan Ki Ladung Kosa yang juga sempat terkejut melihat gadis di ruangan itu. Sedangkan Ki Burik sendiri tampak tenang. Dia melihat gadis itu, memperhatikan pakaiannya yang terbuat dari kulit pohon. Dan pakaian itu telah hancur. Si kakek menoleh. Dia kemudian berkata.
"Sahabatku, ini adalah gadis di jaman kuno. Pakaiannya juga nampak kuno. Dan pakaian itu sudah lapuk. Kau lihat, lengan pakaian hancur, di samping itu pakaian di bagian dada juga hancur. Kalau kau tidak merasa malu dengan umurmu sendiri, sekarang adalah kesempatan untuk melihat dua bukit yang bagus," Ujar si kakek sambil menahan senyum. Ki Ladung Kosa merengut.
"Kau ini dewa edan. Bisa saja kau bicara begitu bagaimana kalau gadis ini hantu. Mana mungkin di kota Lama yang sudah terkubur hampir enam ratus tahun ini masih ada yang dapat bertahan hidup?" Ujar Ki Ladung Kosa.
Mendengar ucapan si kakek, Seruni yang memahami bahasa kakek itu tiba-tiba mengangkat wajahnya. Dia memandang mereka beberapa saat lamanya. Setelah itu dia membentak.
"Orang tua siapapun diri kalian, aku tidak perduli. Tadi baru saja di antara kalian mengatakan Kota Lama telah terkubur selama enam ratus tahun. Apakah benar? Kalian jangan bergurau apalagi berani menipu aku karena jika sampai kalian melakukannya, aku pasti bakal membunuh kalian berdua."
Ki Ladung dan Ki Burik saling pandang Keduanya kemudian sama-sama tertawa. Namun tawa mereka tidak lama, Ki Burik yang mengetahui gadis itu dalam kebingungan segera berkata.
"Gadis cantik siapa dirimu, Bagaimana kau bisa berada di dalam ruangan ini" tanya Ki Burik Loso.
"Aku, seharusnya tidak menjawab pertanyaanmu. Tap biarlah tidak mengapa. Namaku Seruni. Aku memang sengaja berada di sini, aku tidak tahu berapa lama."
"Lihat, tubuhnya diselimuti sarang laba-laba. Itu pertanda kau berada disini sudah sangat lama sekali." Ujar Ki Ladung Kosa.
"Apakah kau ingat nama tempat ini?" Tanya Ki Burik Loso.
"Ya, tempat ini namanya kota Lama. Banyak orang orang yang menjadi buronan di dunia luar sana mengasingkan diri di sini. Kota ini adalah bagian dari sebuah dunia yang terbuang."
"Apakah kota ini dibangun oleh seseorang?"
"Ku rasa begitu."
"Apa yang kau lakukan di kota ini?" Tanya Ki Ladung Kosa menyelidik. Seruni mencoba mengingat-ingat. Dia kemudian berkata.
"Aku datang kemari mencari seseorang yang sangat dekat dalam hidupku. Tapi sebelum orang itu kutemukan, tiba-tiba bencana dahsyat melanda."
"Apa yang terjadi?" Desak Ki Burik Loso penuh ingin tahu
"Yang ku dengar ada benda langit jatuh disekitar laut selatan. Gempa dahsyat kemudian melanda seluruh penjuru tanah Dipa. Kemudian jalan utama menuju kota ini tertimbun tanah. Orang-orang panik, mereka mati karena tidak bisa bernafas. Aku mencari selamat dengan berlindung di sini. Setelah ku tunggu sekian lama ternyata keadaan tidak berubah. Di sana sini aku hanya menemukan orang yang telah mati. Ku pikir aku tidak harapan untuk hidup. Karena itu kuputuskan untuk mati di ruangan Ini"
"Ternyata kau tidak mati. Kejadian yang kau katakan itu telah berlangsung enam ratus tahun yang lewat" Ujar Ki Burik. Penjelasan si kakek membuat Seruni tersentak kaget. Matanya terbelalak.
"Apa? Rasanya tidak mungkin. Aku terjebak di tempat ini selama enam ratus tahun? Sudah begitu lama, seharusnya keadaanku sudah berubah menjadi nenek tua yang sangat renta, bahkan mungkin tinggal tulang belulang saja."
"Banyak orang berumur panjang di jamanmu. Persoalan umur tidak begitu mengherankan. Yang membuatku heran, mengapa keadaan tubuhmu tidak berubah. Kau tetap seperti dulu, padahal enam ratus tahun telah kau lewati."
"Aku tidak tahu. Mungkin keadaan di tempat ini yang membuat keadaan diri seseorang tidak mengalami perubahan. Perubahan waktu tidak berpengaruh pada diri seseorang. Atau mungkin sejak terkurung di tempat ini perjalanan waktu terhenti seketika. Artinya bila aku terjebak di tempat ini sejak usia dua puluh tahun, maka setelah enam ratus tahun kemudian umurku tetap dua puluh tahun." Ujar si gadis
"Bagaimana kau melewati waktu tanpa merasakannya?" Tanya Ki Ladung Kosa terheran-heran.
"Itu yang tidak kumengerti. Seingatku aku memiliki ilmu mati suri yang diajarkan oleh kakek buyutku."
"Oh kau beruntung. Pantas usia dan keadaan fisikmu tidak berubah." Gumam Ki Burik Loso.
"Orang yang mempunyai ilmu Mati Suri, umurnya berjalan di tempat sedangkan keadaaan tubuhnya tidak mengalami perubahan."
Gadis itu mengangguk membenarkan ucapan si kakek. Tetapi kedua orang tua itu memang penuh rasa ingin tahu tanpa mau mengatakan apa yang menjadi tujuan. Dan pada dasarnya di mata mereka, Seruni yang seharusnya sudah lanjut usia dan berubah menjadi nenek renta itu nampaknya gadis yang baik. Ini adalah kesempatan bagi Ki Burik Loso untuk mengetahui lebih banyak. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan dia kemudian bertanya.
"Tadi kau mengatakan sebelum bencana besar menimpa kau sedang mencari orang yang sangat dekat denganmu. Kalau tidak keberatan siapakah namanya?"
Seruni tidak segera menjawab. Gadis itu membetulkan letak pakaiannya. Tapi ketika jari tangan meyentuh pakaian dari kulit kayu itu, pakaiannya justru tambah hancur. Ki Burik merasa tidak sampai hati melihat Seruni dengan pakaiannya yang compang-camping. Dia lalu mengambil selembar kulit menjangan dan menyerahkannya pada gadis itu.
"Pakailah, kau sudah ratusan tahun di sini, tidak heran bila pakaianmu yang telah lapuk dan berubah menjadi debu," Ujar si kakek.
Dia lalu memberikan pakaian itu pada si gadis. Seruni memakainya dengan perasaan senang. Dia kemudian mengenang, matanya yang bundar menerawang. Dengan berhati-hati selanjutnya dia berkata.
"Dia seorang laki-laki tampan yang memiliki kesaktian hampir tiada tanding! Dia kekasihku, tapi sejak kehadiran seorang gadis lain yang bernama Aramimbi, jalan hidupnya berubah total. Gadis laknat itu berhasil menyesatkan hidupnya. Aku berusaha membuatnya sadar tapi pengaruh Aramimbi ternyata jauh lebih hebat. Karena gadis itu dia telah menimbulkan kesengsaraan dimana-mana."
"Apa maksudmu?"
"Kekasihku itu memiliki sebuah senjata sakti bernama Pedang Cacat Jiwa!"
Kata Seruni berterus terang hingga membuat kedua kakek ini kaget dan saling menatap dengan mata terbelalak
"Pedang Cacat Jiwa?" Desis Ki Ladung Kosa, kakek itu hampir berteriak karena merasa menemukan petunjuk.
"Ya, pedang itu adalah senjata pembunuh massal yang amat dahsyat. Kekasihku Sapta Jagad yang dipengaruhi Aramimbi menguasai pedang tersebut. Setelah Sapta Jagad menebar kematian dimana-mana, akhirnya dia dan Aramimbi melarikan diri ke kota ini dari kejaran tokoh tokoh lain yang ingin membalas kematian saudaranya ataupun mereka yang ingin menguasai senjata maut itu."
Penjelasan itu membuat Ki Ladung Kosa semakin tambah mengerti "Jadi kedua orang itu ada disini ketika bencana alam itu terjadi?" Tanya Ki Ladung ingin memastikan.
"Ya, mereka ada disini. bahkan mereka yang mengejarnya juga telah memasuki kota lama ini."
"Apakah mereka masih hidup sahabatku?" Tanya Ki Ladung ditujukan pada Ki Burik Loso.
"Menurutku tidak ada yang hidup terkecuali dia." Ujar Ki Burik.
"Tapi kupikir Sapta Jagad dan Aramimbi masih ada di sini. Kita harus menemukannya baik dalam keadaan hidup atau mati." Ujar Seruni.
"Aku setuju. Kami memang sedang menelusuri jejak Pedang Cacat Jiwa." Ujar Ki Burik.
"Ya, kami bahkan tidak menyangka bakal tersesat di kota Lama ini." Ujar Ki Ladung pula.
"Lalu bagaimana kalian menemukan tempat ini?"
"Kami hampir tidak sengaja." Ujar Ki Burik.
"Bagaimana kalian masuk." Tanya Seruni.
"Kami membuat sebuah lubang dan kami menemukan sebuah tangga yang hampir tidak berujung." Ujar Ki Burik Loso.
"Oh aku bersyukur, kota ini ternyata telah terbuka kembali bagi dunia luar. Sayang hampir seluruh penduduknya tewas terperangkap." Sesal si gadis.
"Tapi tidak mengapa, sekarang kalian ikut denganku untuk melihat ke satu tempat yang ku perkirakan menjadi tempat persembunyian Sapta Jagad dan Aramimbi."
"Tapi di luar sana gelap gulita. Tempat ini telah berubah menjadi kota mati." Keluh Ki Ladung Kosa
"Berarti kita harus membuat penerangan." Ujar Seruni bersemangat. Kedua kakek itu tentu saja menyetujuinya.
***
Malam telah digantikan oleh datangnya pagi. Saat itu Gede Mahendra terus memacu kudanya menelusuri jalan setapak. Di depannya di atas pangkuannya duduk tidak berdaya seorang perempuan jelita. Perempuan itu dalam keadaan tertotok dan dia bukan lain adalah Nianggum. Perempuan culikan istri dari Ki Ageng Rara Jiwo. Kuda terus dipacu. Sesekali terdengar suara jerit dan caci maki Nianggum ketika tangan jahil Gede Mahendra merabai dadanya yang membukit.
"Manusia jahanam! Aku akan membuat perhitungan denganmu! Aku tak akan membiarkanmu hidup lebih lama, kau pasti bakal mendapatkan balasan setimpal dariku." Maki wanita itu.
Sejauh itu dia hanya bisa memaki karena tubuhnya dalam keadaan tertotok. Dia tidak dapat bergerak juga tidak kuasa menghentikan tangan jahil Gede Mahendra yang menggerayangi tubuhnya. Gede Mahendra tertawa terkekeh. Makian itu tidak membuatnya tersinggung demi melihat kecantikan Nianggum yng mempesona di pagi hari. Dia sudah tidak tahan memendam keinginannya sendiri. Dia merasa harus segera mengabulkan hajatnya. Nianggum kembali dibelainya.
Sementara mata Gede Mahendra memandang dengan mata jelalatan ke sekeliling tempat itu. Tidak berselang lama setelah melewati jalan mendaki, Gede Mahendra melihat sebuah bangunan sederhana. Bangunan itu mirip dengan sebuah pondok.
Tempatnya terpencil diapit oleh pepohonan rindang. Pondok itu nampaknya telah lama ditinggalkan. Gede Mahendra tersenyum, laju lari kuda agak dikurangi. Semakin lama semakin lambat hingga kuda berjalan biasa. Nianggum nampaknya dapat membaca gelagat yang buruk begitu melihat pondok yang dituju Gede Mahendra. Dengan gugup dia berkata.
"Apa yang hendak kau lakukan. Aku mau kau bawa kemana?"
Gede Mahendra tersenyum sinis sambil terus memangku tawanannya dia mengelus rambut panjang Nianggum. Tenang saja dia menjawab.
"Seseorang bergelar Juru Teluh Delapan Penjuru membutuhkanmu. Kemungkinan ini ada kaitannya dengan pekerjaan suamimu yang tengah menelusuri jejak pedang. Jalan menuju ke gua itu masih panjang. Aku butuh istirahat, di depan sana ada sebuah pondok. Ku rasa cukup nyaman untuk kita berdua. Kau sangat cantik, kau sudah bersuami. Kalau aku mengajakmu sedikit bersenang-senang sebelum sampai ke tujuan, tentu kau tahu yang aku maksudkan! Ha ha ha."
Merah padam wajah Nianggum. Dia meludah, lalu mendamprat dengan kalap.
"Manusia bejat budi pekerti. Kuminta kau hentikan keinginan gilamu, atau lebih baik kau bunuh aku saja!"
"Oh membunuhmu ku anggap sebagai jalan yang tolol. Aku membutuhkan dirimu, setidaknya aku butuh kehangatan tubuhmu. Setelah aku puas, aku baru membawamu pada Juru Teluh.Terserah apa yang dilakukan nanti.Jika ternyata dia membunuhmu akupun tidak peduli!" kata Gede Mahendra.
Nianggum tentu saja tambah ketakutan. Sebagal wanita dia tidak takut mati. Tapi rencana penistaan atas dirinya yang hendak dilakukan oleh Gede Mahendra adalah sesuatu yang sungguh menakutkan. Apa yang harus dia lakukan. Nianggum merasa pikirannya buntu. Sementara kuda itu sudah berhenti, Gede Mahendra melompat turun sambil membopong Nianggum.
Laki-laki yang telah dibakar oleh keinginan sendiri itu melangkah lebar menghampiri pondok yang sunyi. Melihat pada halaman pondok yang kotor tidak terawat, Gede Mahendra tambah yakin bahwa pondok dalam keadaan kosong bisa dimanfaatkan untuk melepaskan keinginannya. Hati Nianggum tambah cemas. Sementara Gede Mahendra tanpa membuang waktu lagi segera mendorong pintu. Tetapi Gede Mahendra terperangah.
Matanya terbelalak, dia memandang tidak percaya ke dalam pondok. Segala keinginan yang sempat membakar jiwanya perlahan mulai menyurut. Gede Mahendra memandang ke lantai pondok itu. Segala yang dilihatnya sungguh bertolak belakang dengan yang dia pikirkan. Di lantai pondok ternyata tergeletak sosok seorang kakek berbadan besar berperut gendut. Kakek itu berambut jarang dan berwarna putih. Di lantai pondok si gendut dalam keadaan pulas mendengkur.
"Bangsat sialan! Tua bangka ini siapa?" Kata Gede Mahendra.
Tanpa sadar dia melangkah mundur. Sementara itu Nianggum tentu saja merasa lega. Secara tidak langsung dia berpendapat kakek yang tidak dikenalnya itu telah menyelamatkan dirinya dari aib besar. Sedangkan Gede Mahendra kini memutuskan kembali ke kuda dan mencari tempat yang lain. Sayang belum lagi laki-laki itu sampai ke kudanya. Di belakang sana tepat dari arah pondok suara dengkuran lenyap. Sebagar gantinya terdengar suara serak dan berat ditujukan pada Gede Mahendra.
"Hei kau? Mengapa kau batal menggunakan pondok ini? Bukankah nafsu bejadmu telah menggelegak hingga ke ubun-ubun. Apa lagi yang kau ragukan? Jangan hiraukan aku, aku tidak bakal mengintip. Aku tidak suka bercinta, apalagi dengan perempuan cantik istri orang. Ha ha ha."
Gede Mahendra terkejut bukan main. Dia tidak menyangka kakek di dalam pondok itu mengetahui siapa perempuan yang dia bawa. Apakah mungkin kakek itu telah mengikutinya sejak dirinya meninggalkan tempat kediaman Ki Ageng Rana Jiwo? Gede Mahendra meragukannya. Dia yakin selama dalam perjalanan tidak ada orang lain yang membayang bayangi dirinya.
"Aku tidak mau membuat urusan dengan orang lain. Aku harus tinggalkan tempat ini secepatnya."
Pikir lakilaki itu. Dia kemudian melompat ke punggung kudanya. Sambil memangku Nianggum, Gede Mahendra menarik kekang kuda. Kuda itu meringkik, kakinya bergerak cepat, namun yang membuat Gede Mahendra kaget. Kuda tunggangannya ternyata jalan di tempat.
"Tidak mungkin!" Desis laki-laki itu. Orang di dalam pondok menguap lebar. Dia lalu bangkit lalu berdiri di depan pondok tersebut.
"Kau hendak kemana? Kudamu sendiri kulihat tidak mau beranjak dari tempatnya. Lebih baik kau turun lagi. kau bisa pergunakan pondok bekas ketiduranku karena. aku sudah tidak membutuhkannya lagi." Ujar kakek itu.
Gede Mahendra diam-diam menyadari kakek itu telah menggunakan kesaktiannya untuk menjahili kudanya. Dia yang sudah kesal karena niatnya tidak kesampaian tiba tiba turun dari kuda, sementara Nianggum kemudian dia rebahkan tidak jauh dari sebatang pohon
"Orang tua, aku tidak mengenal dirimu..kuharap kau tidak mengganggu diriku. Aku hendak meneruskan perjalananku!" kata Gede Mahendra dingin. "Oh, sayang kalau tidak mengenal, sebaiknya kita berkenalan. Mengapa harus tergesa-gesa, bukankah masanya lebih baik memenuhi keinginan bejat dari pada meneruskan perjalanan. Dari pada mati penasaran melihat kecantikan perempuan itu. Bukankah lebih baik mencicipinya"
"Orang tua mulutmu sudah keterlaluan. Siapakah dirimu?" Hardik Gede Mahendra marah.
"Hmm, kalau cuma mulut yang keterlaluan itu masih belum seberapa. Tapi kalau sudah bagian lain ikut keterlaluan. Dunia bisa kiamat. Kunyuk merah, perlu apa kau mengetahui siapa aku? Kalau kuberi tahu apakah itu ada gunanya bagimu. Kurasa tidak. Tapi sesual mimpi yang datang kepadaku. Dalam mimpi itu aku mendapat firasat kau bakal mati hari ini!"
"Tua bangka kurang ajar. Mulutmu makin tambah lancang, sekali lagi kutanyakan siapa dirimu?" Hardik Gede Mahendra tambah gusar.
Si kakek gendut tertawa-tawa. Kemarahan Gede Mahendra dianggapnya seperti angin lalu
"Telingamu rupanya sudah tuli. Aku ini menghabiskan waktuku dengan mimpi-mimpi orang sejagad. Apakah kau masih belum memahami ucapanku juga?" Tanya si kakek.
"Astaga!" Mulut Gede Mahendra berdesis, matanya terbelalak. Dia memandang kakek itu dengan tidak percaya.
"Ternyata kau adalah Dewa Mimpi? Bagaimana kau sampai bisa berada di sini?"
"Itu tidak penting. Diriku bisa berada dimana saja, aku bisa berada di dalam jiwa ataupun pikiran orang lain. Nah, sekarang lebih baik kau tinggalkan gadis itu. Kembalilah pada saudaramu Kutut Langit."
"Orang tua, kau mengenal saudaraku? Bagaimana keadaannya sekarang?"
Tanya Gede Mahendra terkejut "Dalam mimpiku saudaramu itu telah mampus. Aku mengenalnya karena aku telah bertemu dengan arwahnya. Dan pertemuan itu juga berlangsung di dalam mimpi." Ujar si kakek gendut yang tiada lain memang Dewa Mimpi.
Gede Mahendra benar-benar tak kuasa menyembunyikan perasaannya begitu mendengar ucapan Dewa Mimpi. Dia menjadi marah, sedih juga gusar.
"Siapa yang membunuhnya?"
"Apakah perlu aku menjelaskannya padamu?" Kata si kakek disertai senyum sinis. Gede Mahendra segera teringat pada Juru Teluh Delapan Penjuru. Tanpa dia sadari tubuhnya bergetar. Tinju laki-laki itu terkepal dan wajahnya merah padam.
"Bayan Tandira?! Bangsat itu pasti membunuhnya.Ternyata dia tak dapat dipercaya."
Geram Gede Mahendra. Kemarahan terhadap Dewa Mimpi berangsur surut. Namun pada saat itu tiba-tiba ada suara gaung mengerikan. Tetapi Gede Mahendra tidak perduli bahkan berkata.
"Orang tua, aku harus membawa perempuan ini."
"Untuk apa? Dalam mimpiku Juru Teluh Delapan Penjuru sudah tidak membutuhkan perempuan itu lagi. Lagi pula dalam mimpiku aku melihat Juru Teluh telah mendapatkan kepastian soal pedang itu dari yang lain." Ujar Dewa Mimpi sambil tersenyum-senyum.
"Kurang ajar."
"Ya dia memang kurang ajar. Kalau perlu harus dihajar Tapi kau tidak usah membawanya karena perempuan itu sudah tidak dibutuhkan oleh Juru Teluh Delapan Penjuru terkecuali kau memerlukannya untuk maksud lain," Kata Dewa Mimpi.
"Dewa Mimpi, kau jangan mempersulit diriku. Saat in aku sedang berduka cita atas kematian Kutut Langit. Lagi pula kau tidak tahu apa-apa soal perempuan ini. Dia bukan sanak keluargamu."
"Tapi untuk tujuan buruk, aku melarangnya." Ujar si kakek
"Ah sayang sekali. Kalau demikian aku terpaksa menentangmu!"
Kata Gede Mahendra seolah-olah menyesalkan. "Kau akan mati percuma. Ya....dalam mimpl aku melihat kau mati di tempat ini. Tidak salah kau mati di depan gubuk. Tapi dalam mimpi itu mengapa bukan aku yang membunuhmu?"
Kata Dewa Mimpi heran sendiri. "Kakek tua, aku menghormatimu.Tapi sayang aku tidak bisa menunggumu berubah pikiran. Aku harus menyingkirkanmu!"
Kata Gede Mahendra tegas. Secepat kilat kedua tangan laki-laki itu disilangkan ke depan dada. Tenaga dalam disalurkan dari pusar ke sekujur tubuh. Sekejab saja tangan Gede Mahendra sampai sebatas siku berubah merah seperti bara.
"Kau ingin menggunakan ilmu pukulan tangan api?" Desis Dewa Mimpi sinis. "Rasanya kau tidak layak menggunakan untukku. Saat ini aku akan merubah tubuhku hingga seperti es.Api melawan es. Bagaimana pendapatmu?"
Kata orang tua itu membuat Gede Mahendra sempat surut. Tapi dasar manusia keras kepala. Gede Mahendra tibatiba saja melesat ke arah Dewa Mimpi. Selagi laki-laki bergerak ke arah lawan dan siap membunuh Dewa Mimpi suara deru yang terdengar pertama tadi kini kembali menerpa tempat itu. Semakin lama suaranya semakin bertambah jelas. Kemudian terlihat satu bayangan datang dengan cara berputar-putar seperti pusaran angin topan.
Bayangan itu berwarna hitam pekat berbau busuk luar blasa. Gede Mahendra tidak menyadari ada bahaya lain mengincarnya selagi dirinya siap membunuh lawan. Mungkin dia terlalu bersemangat. Sementara Dewa Mimpi sendiri sangat terkejut sekali melihat kehadiran sosok hitam yang datang bersama hembusan angin.
"Oh, bukan ajalku yang tiba. Gede Mahendra, justru ajalmu datang dari arah belakangmu. Cepat kau memutar tubuhmu, kau segera melihat mahluk tampan ada dibelakangmu!"
Teriakan Dewa Mimpi yang dia anggap menipunya tidak dia hiraukan. Sebaliknya tubuhnya terus melesat, sementara dua tangannya menghantam ke dada si kakek. Dewa Mimpi segera berkelit, sementara serangan yang datang dari belakang saat itu menyambar dengan ganas mencabik Gede Mahendra.
Breeeshk!
"Wuaarkh.."
Gede Mahendra menjerit setinggi langit. Sekujur tubuhnya tercerai berai. Sungguh mengenaskan keadaan tubuh Gede Mahendra ini. Bagian punggungnya hancur, darah menyembur dari luka itu. Gede Mahedra segera bangkit. Dia kemudian berlari ke arah Dewa Mimpi, Tetapi tubuhnya terhuyung lalu jatuh dan tidak berkutik lagi. Dewa Mimpi memandang dengan mata terbelalak. Hembusan angin masih terus terjadi.
Sementara pusaran angin yang menghadirkan sosok hitam itu mulai bergerak melambat. Kemudian semakin lama semakin terlihatlah ujud yang nyata. Ujud sosok yang telah membuat Gede Mahendra tidak pernah melihat bagaimana ke dirinya terbunuh.
"Aku tidak habis mengerti, bagaimana mungkin kau bisa hidup kembali?" Kata Dewa Mimpi heran
"Apakah kau tidak pernah bermimpi tentang diriku? Apakah kau berpikir bahwa diriku ini pernah mati? Kebangkitanku bukan demi pedang itu, Dewa Mimpi. Aku hadir untuk membunuh setiap orang yang telah menyengsarakan diriku."
"Kau terlalu berlebihan. Tidak semua orang telah membuat dirimu sengsara dan kau tidak mungkin hadir di sini tanpa sebab yang jelas."
"Oh kau tidak mengerti juga rupanya. Apakah kau tidak pernah bermimpi tentang diriku?"
"Aku tak pernah berharap memimpikan tentang dirimu. Tegasnya aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu. Bukankah selama ini kau selalu dirawat oleh orang itu?"
"Dewa Mimpi, aku tidak pernah berharap diriku menjadi tanggung jawabnya. Aku tidak pernah tenang setelah peristiwa masa lalu, itu sebabnya aku terpaksa membunuh Balewa Edan. Aku sangat membutuhkan dirinya."
"Karena kau telah membunuhnya, maka pembunuhan itu telah memulihkan keadaanmu?"
"Tepat, memang seperti itu. Aku pulih seperti sediakala karena aku telah mengorbankan satu nyawa. "Mengapa kau datang kemari?" Kata Dewa Mimpi. "Aku datang untuk bertanya."
"Bertanya tentang apa?"
"Hmm, kukira kau sudah tahu. Aku datang kesini semata-mata untuk bertanya apakah sebagai seorang pemimpi kau tahu apa yang harus kulakukan?"
Dewa Mimpi terdiam, namun kemudian segera menggeleng.
"Aku tidak tahu. Kukira kau telah bertindak di luar batas. Seharusnya kau berada di sini hanya demi menemui perasaan kecewa. Aku berkata begitu karena kau membunuh orang demi keuntungan pribadimu, Bayang. Dalam hal itu aku tidak bisa memberikan pandangan apa apa." Ujar dewa Mimpi.
"Berarti kau telah melupakan aku."
"Tidak Bayang. Aku hanya tidak setuju dengan tindakanmu. Kau terlalu nekad namun itu tidak akan terjadi jika tidak ada yang membantu dirimu baik secara langsung maupun tidak."
"Ha ha ha. Pemuda itu melakukannya secara tidak sengaja, dia memang memiliki ilmu sihir. Aku memanfaatkan ilmu sihirnya. Dia kukecoh dengan menghadirkan tiga arwah orang yang tersesat. Begitu dia sibuk mengusir arwah-arwah tersesat, maka aku pergunakan kesempatan itu untuk membunuh Balewa Edan atau si Pengukir Nisan."
"Tindakanmu itu sungguh keji. Aku tidak dapat merestui perbuatanmu apalagi pemuda yang datang ke makam kuno dan memiliki sihir itu pernah datang dalam mimpiku."
"Dia datang dalam mimpimu? Apa yang dikatakannya?" Tanya orang dalam ujud transparan itu.
"Dia mengatakan ingin mencari pembunuh Balewa Edan atau Pengukir Nisan." Ujar Dewa Mimpi.
"Kebetulan kau datang kemari, jadi kuharap kau menyerahkan diri kepadanya dan mengaku perbuatanmu."
"Oh tidak. Aku tidak akan melakukannya sebelum aku bisa menangkap orang yang telah membuatku sengsara."
"Bayang, kau harus mengakui bahwa sebagian kesalahan terletak pada dirimu. Kalau saja kau tidak berniat menguasai pedang ciptaan Empu Kajang Selo, tentu kau tidak bakal mengalami kesengsaraan sepanjang hidup. Dasar dalam hatimu dipenuhi rasa dengki. Tidaklah mengherankan bila kau...."
Dewa Mimpi tidak sempat lanjutkan ucapannya, Saat itu sosok yang ujudnya sepert bayang-bayang membentak.
"Cukup! Aku tidak mau mendengar ucapanmu."
"Kalau begitu apa yang kau inginkan?!"
"Aku ingin nyawamu dan nyawa pemuda sihir itu." Teriak laki-laki dalam ujud bayangan.
Seiring dengan ucapannya itu, mendadak angin menderu. Dewa Mimpi sadar sekali orang yang dikenalnya memang bermaksud membuatnya celaka. Secepat kilat dia menggeser tubuh. Lawan yang menyerang dengan penuh nafsu segera melabraknya "Bres!"
Serangan itu hanya mengenal sebatang pohon seukuran paha. Pohon itu hancur berkeping-keping dari pangkal hingga ke pucuknya.
"Ternyata kini kau semakin bertambah hebat, Bayang. Sayang dalam mimpiku ternyata kematianku bukan ditanganmu. Lagi pula usiaku ke depan masih sangat panjang....." Siing!
Begitu menutup mulutnya Dewa Mimpi justru mendengar suara berdesing. Braak! Bayangan si kakek yang terus berputar kembali melabrak ke arah Dewa Mimpi. Orang tua ini melompat ke samping hindari serangan. Namun serangan sosok yang hadir dalam ujud bayang-bayang itu melakukan gerakan aneh. Wuut! Breet!
Dewa Mimpi terhuyung. Lengannya yang terserempet kuku lawan meneteskan darah. Namun pada saat yang sama Dewa Mimpi masih sempat menghantam kepala lawannya dengan satu pukulan keras. Dhaak ! Dewa Mimpi terhuyung, sebaliknya lawan juga sempat terjajar dan keluarkan suara rintih kesakitan.
Tetapi seolah tidak menghiraukan sakit yang dideritanya, sosok bayang bayang itu kembali bergerak menyerang Dewa Mimpi. Setiap kali orang ini bergerak, tubuhnya mengeluarkan suara deru angin mengerikan. Dewa Mimpi terkesima, dia menyadari kali ini dirinya tidak mungkin dapat menghindari serangan itu.
Namun sebagai orang yang memiliki kesaktian tinggi, Dewa Mimpi mengenal betul siapa yang dihadapinya. Itu sebabnya tanpa bicara Dewa Mimpi segera mengangkat tangannya dengan gerakan seperti burung yang hendak terbang.
"Kau benar-benar mencari mati!" Teriak lawan yang terus berputar.
"Kita akan lihat siapa yang bakal mati." Sahut Dewa Mimpi. Dan kedua belah pihak sama bergerak maju. Nianggum yag berada tidak jauh dari tempat terjadinya perkelahian itu merasakan betapa dahsyatnya serangan itu dan sambaran angin yang ditimbulkannya hampir membuat tubuhnya terpelanting.
Keduanya lalu saling tabrak, saling bentur dan saling menghantam. Suara bergemuruh disertai dengan bertumbangnya pepohonan disekelilingnya. Sosok dalam bentuk bayang-bayang menjerit, tubuhnya terlempar. Dari mulutnya menyembur cairan hitam.
Di seberang sana Dewa Mimpi terhuyung sambil dekap dadanya. Namun orang tua ini segera berkelebat ke arah Nianggum. Di lain waktu Nianggum telah berada dalam panggulannya. Dewa Mimpi berkelebat seperti kilat tinggalkan tempat itu.
"Manusia pengecut! Jangan lari, aku inginkan nyawamu!"
Teriak sosok dalam ujud bayangan itu sambil mengejar. Namun dia kemudian hentikan langkah. Dia memandang ke bawah, ternyata kaki kirinya dalam keadaan terluka parah akibat terkena pukulan Dewa Mimpi
"Tua bangka keparat! Tindakan ini hanya membuat dendamku pada setiap orang makin meluas."
Kata sosok dalam ujud kakek tua itu penuh dendam. Dengan tertatih-tatih tubuhnya kembali berputar. Angin menderu dari sekujur tubuhnya. Tidak lama gelombang angin membuntal dirinya dan membawanya tinggalkan tempat itu.
S E L E S A I