1
PETI MAYAT dibawa masuk melalui pintu gerbang. Kayunya terbuat dari jati glondongan berukir. Warnanya coklat tua, mengkilap. Peti mayat itu diletakkan di ruang paseban oleh orang-orang Griya Teratai Wingit. Wajah-wajah mereka dilapisi duka mendalam. Sementara di luar rumah besar itu, kabut hitam merayap menutup jalan, dan langit mendung bagai membungkus bumi dengan tebal.
Di kejauhan, tampak sesosok tubuh kekar milik seorang pendekar sedang bergerak menuruni lereng, menuju Griya Bukit Badai. Sosok pendekar muda yang tampan itu sudah tidak mengenakan ikat kepala dari kulit macan tutul lagi. Rambutnya yang panjang mengenakan ikat kepala dari tali halus, bagai terbuat dari rajutan benang-benang sutera berwarna ungu. Sosok itu, tak lain dari sosok Lanangseta, yang berjuluk Pendekar Pusar Bumi, dan menyandang gelar pemberian gurunya sebagai Malaikat Pedang Sakti.
Ia berhenti di depan pintu gerbang, mencium bau setanggi kematian. Bau itu menggerakkan hatinya untuk bercuriga dan bertanya-tanya, siapa yang meninggal? Debar-debar jantungnya begitu keras dan cepat. Ia mulai dicekam kecemasan yang membuat tangannya gemetar. Wajah menegang dan firasat buruk mulai terasa jelas. Kepada kedua penjaga pintu gerbang Griya Teratai Wingit itu ia bertanya, "Siapa yang meninggal?"
Dengan membungkuk dan memberi hormat, salah seorang penjaga menjawab sopan, "Putri Bukit Badai, Tuan...!"
"Kirana...?!" Lanangseta menjerit dalam hati. Jantungnya seperti berhenti beberapa detik. Ia bergegas masuk, bahkan dengan gerakan cepat yang tak terlihat oleh mata sepasang penjaga pintu gerbang. Nafasnya terengahengah karena menahan kedukaan yang amat dalam. Ketika berhadapan dengan Marwa, pelayan Kirana, Lanangseta tak mampu melontarkan sepatah kata pun. Ia terlanjur dibungkam oleh kesedihan yang meledakledak di dalam dada. Tetapi dengan wajah murung, dilapis kedukaan, Marwa berkata lirih:
"Kami sudah berupaya menghiburnya, tapi Putri belum bisa menerima keadaan ini. Rindunya semakin dahsyat dan telah merobah darahnya menjadi racun. Dan... dan tadi malam ia menghembuskan nafas terakhir sambil menyebutkan namamu, Mas Lanang "
Merah mata Lanangseta mendengar penuturan itu. Menggeletuk giginya, mengepal tangannya kuat-kuat. Darah di dalam tubuh mendidih. Ia seakan ingin memukul dirinya sendiri. Namun jiwa seorang pendekar melarang dirinya rapuh dalam menerima kenyataan. Ia harus tetap tegar, harus bisa tabah dan mampu menguasai emosi dirinya.
Lanangseta belum masuk ke ruang paseban. Ia sempat bertemu dengan ayah Kirana, Rama Sabdawana di serambi samping. Lelaki berambut uban dan sedikit gemuk itu memandang kehadiran Lanangseta yang segera bersujud kepadanya. Wajah Sabdawana menyimpan selaksa duka, sekalipun ia kelihatan tenang. Matanya kemerah-merahan, perih. Ia mengenakan jubah abu-abu menandakan masa duka pada dirinya. Ia hanya mengusap rambut Lanangseta yang berada di lututnya dengan perasaan haru menghunjam-hunjam hati. Lalu ia berkata pelan setelah Lanangseta bangkit dan berdiri dengan sopan di hadapannya. "Dia telah pergi " suara Sabdawana serak dan lirih
sekali. "Dia menunggumu untuk hidup bersama, tapi dia gagal. Kerinduan merupakan pantangan hidupnya, yang apabila terjadi akan merubah darahnya menjadi racun. Jika terlambat terobati, akan membunuhnya sendiri. Dan ternyata, dia memang terlambat "
Rasa-rasanya ada sebilah kulit bambu yang mengiris-iris hati Lanangseta dengan pelan-pelan sekali. Ia nyaris berteriak dalam ledakan dukanya begitu mendengar kata-kata Sabdawana, ayah Kirana. Namun semua itu ditahannya, mati-matian. Ia hanya berusaha berkata dengan susah sekali, "Saya... yang terlambat "
"Belum," jawab Sabdawana. "Waktumu masih memberi kesempatan untuk melihat seperti apa jenazah calon istrimu itu. Ia kami baringkan dalam peti, sebagai tempat penantian orang yang dicintainya "
Berulangkali Lanangseta mengerjapkan mata, menahan rasa perih dan panas akibat rembasan air dari dalam kelopaknya. Ia melangkah ke paseban bersama Sabdawana dengan lutut gemetar. Baru sekarang ia merasakan keharuan yang begitu menyiksa diri akibat rasa sesal menghantuinya.
Di ruang paseban, tempat pertemuan antara Sabdawana dengan para muridnya yang kini menjadi pelayan dan pengawal di situ, ada beberapa orang yang telah berkumpul melingkari peti mayat. Mereka menggumamkan kidung puji-pujian dan doa untuk arwah Kirana Sari. Lanangseta nyaris tak tahan mengendalikan emosinya begitu melihat wajah orangorang yang berkidung menyayat hati itu dihiasi oleh linangan air mata. Berulangkali Lanangseta menghela nafas dalam-dalam, berulangkali juga nafas dihempaskan panjang-panjang untuk memperoleh ketenangan.
Atas perintah Sabdawana, Lanangseta diizinkan masuk dalam lingkaran asap setanggi yang mengelilingi peti mayat itu. Mulanya Lanangseta sedikit ragu, tak sampai hati. Ia hanya memandang peti mayat yang masih belum ditutup. Namun akhirnya ia pun melangkah, mendekat setelah Rama Sabdawana berkata pelan, "Datanglah, dia menunggumu. Masih setia menunggumu, sekalipun dia telah mati "
Langkah yang berat berhenti di tepi peti mayat. Mata Lanangseta membelalak dan mulai berkaca-kaca digenangi cairan bening menghangat. Ia bagai tak percaya kalau yang dilihatnya adalah Kirana. Ia nyaris menjerit melihat tubuh itu kurus kering, kulitnya membungkus tulang dan layu. Kecantikannya bagai pudar dirongrong penyakit mengerikan.
Dulu Kirana cantik, menggairahkan. Badannya padat, buah dadanya menonjol. Kulitnya bersih, matanya sangat indah dalam lilitan maskara pada masa itu. Bibirnya merekah segar dan sangat sensual. Tetapi kini, ia bagai mati dalam ketuaan. Tubuhnya tak lebih dari sebatang bambu suling yang dibungkus kulit layu dan pudar. Tulang-tulang rahang terlihat menonjol, juga tulang pipi dan pundaknya.
Sebegini parahkah kerinduan Kirana? Setragis inikah cinta Kirana kepada Lanangseta? Jadi benarkah selama ini Lanang telah termakan fitnah pemuda Prabima Wardana, yang mengatakan bahwa Kirana telah berbuat serong dengan pemuda itu? Sepahit inikah kenyataan yang ada pada diri Kirana yang memendam kesucian cintanya kepada Lanangseta, dan menelan racun kerinduan atas datangnya Pendekar Pusar Bumi ini?
Lanangseta menggeletukkan giginya kuat-kuat. Desakan duka semakin hebat, semakin menghentikan pernafasan. Batinnya yang bertanya-tanya dan berkecamuk sendiri itu meratap tak mampu dicegah lagi. Lalu, dengan pelan dan penuh keharuan yang membungkus jiwa, Lanangseta mengusap pipi jenazah Kirana. Perlahan-lahan sekali ia merundukkan kepala ke dalam peti, dan mencium kening Kirana dengan sentuhan lembut dan menyayat hati. Ia ingin menahan air mata kesedihan. Namun gagal. Ada setetes air mata yang menitik, jatuh di kening Kirana. Ia buru-buru mengangkat wajahnya, agar tidak terlalu dalam larut dalam kesedihan yang meratap itu. Ia buru-buru mengecapkan matanya, bagai ingin mengembalikan air mata yang telah terlanjur menggenang di kelopaknya.
Namun pada saat itu, mata yang memerah itu tibatiba membelalak kaget. Semua orang yang berkabung di situ melihat perubahan wajah Lanangseta yang terperanjat kaget. Semua orang saling bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi? Kenapa Lanangseta terkejut sekali? Apa yang dilihat Lanangseta pada waktu itu? Maka mereka pun bergegas bangun dari duduknya, mereka bergerak membentuk beberapa kelompok dan saling berkasak-kusuk. Sabdawana sendiri ikut merasa heran melihat Lanangseta membelalakkan mata begitu.
Mayat Kirana Sari mengerjap-ngerjapkan mata pada saat air mata Lanangseta menitik di keningnya. Mata itu semakin jelas terbuka. Memandang sayu kepada Lanangseta. Lama-lama mata itu sendiri berair bagai dihunjam keharuan yang dalam. Kemudian tangan Kirana bergerak pelan, terangkat bagai minta disambut oleh Lanangseta. Lanang merasa ragu. Tapi terdengar dari mulut Kirana sepatah kata yang memanggil kekasihnya, "Lanang "
Suara itu lirih. Sangat pelan. Hampir tak terdengar oleh Lanangseta. Bibir yang membiru itu bergerak-gerak dengan tangan yang semakin tinggi terangkat. Lalu, Lanang pun menyambutnya, membantu Kirana untuk bangkit dan memeluk Lanangseta dalam satu tangis yang nyata. Mereka yang turut berbela sungkawa di situ menjadi mundur ketakutan. Ada yang berseru di luar kesadaran, "Dia bangkit...! Mayat itu bangkit dan... dan hidup lagi...?!"
Erat sekali Kirana memeluk Lanangseta. Tangisnya menghangat di hati Lanang. Ia belum mampu berkata lebih banyak lagi kecuali sebaris kata yang terucap dengan serak, "Kau telah kembali, Kasihku "
"Cantik...." desah Lanangseta dalam pelukan kerinduan itu. Ketika itu Sabdawana mendekat, dan Kirana buru-buru memeluk ayahnya juga dalam tangis seorang perempuan polos.
"Ia telah kembali, Ayah... ia kembali...." Orang-orang masih bingung dan diliputi rasa takut bercampur heran. Wajah-wajah mereka menegang di dekat pintu. Yang tak berada di ruang paseban menjadi berdesak ingin melihat mayat hidup kembali. Sementara itu, Lanangseta masih terbengong-bengong memikirkan keanehan itu. Tapi kata-kata Sabdawana yang berwajah cerah telah sedikit menetralkan keheranan hati Lanang. "Kau telah menghidupkannya kembali, Lanangseta.
Air matamu kurasa telah menetes dan menyentuh jasadnya. Air matamu itu... sesungguhnya air surgawi yang amat dibutuhkan untuk menghidupkan suatu kematian yang belum saatnya tiba. Dan, ternyata kematian putriku adalah kematian yang mendahului kodrat, sehingga mampu kau tawarkan dengan air mata, walau hanya setetes. "
Ruang paseban itu cukup luas, sehingga suara Sabdawana terdengar menggema. Setiap orang mengangguk-angguk dalam keheranan yang memukau mereka. Selain luas, ruangan itu juga berjendela lebar. Ada empat jendela di sana, masing-masing di samping kiri dan kanan. Dua jendela di samping kiri menjurus ke pemandangan serambi samping, dan yang dua lagi di bagian kanan menjurus pada pemandangan di luar pagar rumah besar itu. Dari jendela kanan itu dapat terlihat tanah lereng berpohon lebat.
Dan pada saat itu mereka semua dikejutkan oleh meluncurnya sebatang anak panah yang datang dari arah pohon di luar pagar rumah. Anak panah itu berwarna kuning, berbulu merah. Anak panah itu menancap tepat di sisi peti mayat sebelah kanan.
"Musuh datang...!" seru orang-orang yang hadir di situ. Mereka adalah para murid Sabdawana yang tanpa menunggu komando segera lari melesat ke luar dan memburu ke tempat datangnya anak panah tadi. Sementara itu, Kirana menghentikan tangisnya, memandang anak panah yang masih menancap di peti mayat.
Lanangseta menemukan gulungan surat yang diikat pada anak panah itu. Ia segera menyerahkan gulungan surat tersebut kepada Sabdawana. Dengan dahi berkerut, Sabdawana membuka dan membaca surat itu. Kemudian ia menggeram gemas sambil menyerahkan surat tersebut kepada Lanangseta. Kirana masih lemas dan lesu, namun ia memaksakan diri untuk ikut membaca bunyi surat tersebut:
Sudah saatnya kita menentukan nasib lama, siapa yang terkuat: Teratai Wingit atau Pesanggarahan Maut. Tepat waktu matahari di pucuk kepala kita. kutunggu kehadiranmu di Lembah Berdarah. Kau atau aku yang harus mati di sana. Selamat jumpa lima hari lagi di Lembah Berdarah.
Dari aku, musuh lamamu, BEGAL DOGOL
"Begal Dogol, Ayah...?!" Kirana bernada cemas.
"Ia masih penasaran dan mendesak untuk bertarung denganku." kata Sabdawana dengan tenang dan menyimpan kegelisahan. Lanangseta segera mohon diri sebentar. Ia melompat melalui jendela dengan kecepatan yang luar biasa, Mengejar si pengirim surat, walau sudah cukup lama menghilang.
Kemarahan Lanangseta meluap. Mungkin dikarenakan suasananya dirusak oleh kehadiran suara tantangan itu. Mungkin juga karena ia sejak tadi sudah memendam kemarahan terhadap dirinya sendiri yang nyaris membuat Kirana mati itu, sehingga kehadiran surat tantangan itu bagaikan api yang membakar darahnya. Tak peduli Kirana waktu itu berseru memanggilnya, Lanangseta tetap melesat bagai sinar, langsung melompati pagar yang tinggi, mendahului para pengejar lainnya.
Dari pohon ke pohon Lanangseta bergerak cepat. Ia sengaja tidak melalui jalan darat. Kakinya sejak tadi tidak menyentuh tanah, kecuali menyentuh dahan dan daun-daun pohon. Matanya memandang nanar pada setiap gerakan, mencari orang yang telah diutus oleh Begal Dogol untuk menyampaikan surat tantangan. Surat itu semacam penghinaan yang merendahkan harga diri Sabdawana. Lanangseta merasa perlu bertindak, karena Sabdawana sudah dianggap ayahnya sendiri.
Sekali pun kaki Lanangseta menginjak dahan dan daun-daun pohon, namun sama sekali tidak menimbulkan bunyi. Daun dan dahan tak satu pun ada yang bergerak. Ini menunjukkan betapa sempurnanya ilmu peringan tubuh Lanangseta sejak ia menjadi murid Tongkat Besi.
Dalam satu gerakan, Lanangseta tiba-tiba berhenti terpaku. Ia melihat seorang lelaki bertudung daun pandan, berselempang busur dan membawa dua anak panah di punggungnya. Gerakan lelaki itu cukup gesit. Langkahnya lebar dan mantap. Lelaki itu berpakaian serba hitam dan menyelipkan sebilah golok di pinggangnya. Menurut gerakannya yang terlihat luwes dan ringan itu, Lanangseta dapat memastikan bahwa lelaki itu tentu mempunyai ilmu silat yang tidak mudah dianggap ringan oleh murid-murid Sabdawana. Tentu saja para murid itu tertinggal jauh dan tak akan mampu mengejarnya, karena lelaki itu setiap melompat selalu diiringi dengan salto ke depan. Hanya beberapa langkah saja ia berhenti bersalto, tapi selebihnya, ia selalu melayang dan berjumpalitan di udara. Tudungnya amat kuat melekat di kepala. Bajunya yang serba hitam itu seakan nyaris tidak bergerak sedikit pun.
Lelaki itu berhenti seketika dari gerakannya, karena seorang lelaki bertubuh kekar dan tegap telah berdiri di depannya. Ia sedikit kaget, karena kemunculan Lanangseta itu sama sekali di luar dugaannya.
"Siapa kau? Apa alasanmu menghadangku?!" hardik lelaki bertudung itu.
"Kau utusan dari Begal Dogol?!" Lanangseta bahkan ganti bertanya. Lelaki itu sedikit menggeragap.
"Apa urusanmu?"
"Aku ingin bertemu dengan Begal Dogol yang sok jago itu. Seperti apa rupanya?" kata Lanangseta dengan tenang.
Lelaki itu menjadi gusar. Lanangseta sudah dapat memperhitungkan kalau ketahanan lelaki bertudung itu tidak seberapa, sebab ia masih mampu terpancing oleh ejekan Lanang.
"Jangan menyebut guruku sembarangan, Bangsat!" "Aku toh tidak menyebut gurumu dengan julukan
Bangsat!"
Lelaki itu menggeram. "Sekarang apa maumu?!" "Menyampaikan keinginanku untuk bertemu dengan dia?!"
"Akan kusampaikan."
Lanangseta menggeleng. "Aku sangsi gurumu yang sok jago itu tidak mempercayai kata-katamu. Sebaiknya kau harus membawa tanda."
"Apa maksudmu...?"
Tanpa menjawab lagi, Lanangseta segera bergerak dengan satu lompatan. Kaki Lanangseta meluncur ke arah muka lelaki itu, tetapi lelaki itu dapat berkelit ke samping dan mencoba menangkis kaki Lanangseta. Lanangseta berdiri dan tersenyum. "Hanya segitu kemampuanmu...." ujar Lanangseta. Kemudian ia segera bergulung-gulung ke udara dengan satu kali lompatan. Lelaki itu sempat kebingungan menentukan arah pukulannya. Gerakan Lanangseta bagai mengitari dirinya dengan cepat dan susah diawasi. Lelaki itu tidak tahu kalau Lanangseta telah mencabut pedangnya. Yang ia tahu seperti ada sinar merah yang menyertai gerakan Lanangseta. Dan sinar merah itu tahu-tahu berkelebat menyentuh tangannya. Lelaki itu mencoba menghindar sambil bersalto ke arah samping. Ia tak tahu kalau Lanangseta sudah memasukkan pedangnya lagi ke sarungnya.
Lelaki bertudung itu berdiri tegak dengan kaki terenggang kokoh. Lanangseta juga berdiri tegak dengan ketegapan badannya yang begitu menakjubkan. Lelaki bertudung itu tersenyum. Lanangseta juga membalas senyuman sinis itu. Mereka berjarak antara enam atau delapan langkah. Masing-masing menampakkan sikap waspada dan ketegarannya.
Terdengar suara lelaki itu mengejek Lanangseta, "Ilmumu masih cetek, Bung. Hanya bisa membuat lawan menjadi pusing sebentar, dan tidak menghasilkan apa-apa."
"Mungkin benar dugaanmu, Kawan. Tapi... lihatlah tanganmu yang kanan itu "
Lelaki itu melihat tangan kanannya, dan ia terkejut bukan kepalang tanggung, bahkan sempat menjerit dengan mata terbelalak tegang. Tangan itu telah buntung pada batas pergelangannya. Hebatnya lagi, potongannya itu tidak mengucurkan darah, melainkan hanya merembaskan darah sedikit demi sedikit.
"Setaaan...!" teriak lelaki itu kepada Lanangseta. Ia sempat mencari ke sekeliling, di mana terjatuh penggalan tangannya. Namun agaknya ia tidak menemukan.
"Kau mencari jari-jemarimu, Kawan ?"
Lelaki itu masih memandang sekeliling, tapi begitu mendengar kata-kata Lanangseta, ia segera mengangkat wajah. Tegang, sangar dan nafasnya terengah-engah. Pada saat itulah tangan kanan Lanangseta yang sejak tadi disembunyikan di belakang segera terulur ke depan dan memperlihatkan potongan tangan lelaki itu yang telah ada dalam genggaman Lanangseta.
"Mungkin ini yang kau cari, Kawan...!" Lanang tersenyum sinis. Lelaki yang jari serta telapak tangannya utuh ada pada Lanangseta itu segera menggeram sambil menyeringai marah. Ia ingin bergerak maju, tapi Lanangseta telah melompat mundur. Ia berhenti dengan nafas kemarahan meledakledak. Lanang tersenyum sinis, mengejek, semakin menjengkelkan.
"Apa barang bekas ini masih kau butuhkan? Untuk apa? Untuk makanan anjing?"
"Bangsaaat...!" Lelaki itu melayang, menebang dengan kaki.
Lanangseta melejit tinggi, lalu bersalto ke depan beberapa kali, melampaui ketinggian lelaki itu. Kemudian kaki Lanangseta menjejak ke bumi, melayang lagi sampai ia berhenti di atas dahan pohon. Lelaki itu kebingungan dalam geram nafsu kemarahan yang hebat.
Melalui tangan kirinya ia melancarkan pukulan tenaga dalam yang membuat ranting pohon serta dahan yang diinjak Lanangseta itu patah seketika. Tapi Lanangseta telah berpindah tempat ke dahan yang lain.
"Katakan kepada gurumu, Si Bangsat Begal Dogol, aku ingin bertemu dengannya kapan saja... aku ingin membuat dia mati dengan memuaskan. Nah, sampaikan salamku itu kepada Begal Dogol. Katakan itu salam dari Malaikat Pedang Sakti, begitu. Jelas kan?!"
Lanangseta segera melejit meninggalkan lelaki bertudung. Lelaki itu berteriak, "Berikan potongan tanganku itu...!" Tapi Lanangseta tidak menjawab sepatah pun. Ia menghilang, bagai masuk dalam gumpalan awan di langit. Namun ia masih memegangi potongan tangan kanan lelaki bertudung, yang tadi melayangkan panah ke peti mati Kirana.
"Pulang semua, sudah kudapatkan dia...!" teriak Lanangseta kepada murid-mu rid Sabdawana yang sibuk mencari pemanah gelap itu. Mendengar suara Lanangseta, kendati tidak melihat ujud orangnya, maka murid-murid Sabdawana itu pun segera pulang. Lanangseta sampai ke Griya Teratai Wingit lebih dulu dari mereka. Lanang langsung menghadap Sabdawana yang masih berada di ruang paseban. Sementara itu ia melihat Kirana sudah bisa duduk di sebuah bantal berlapis sarung kain mengkilap, sejenis kain satin putih. Ia tersenyum lega melihat kedatangan Lanang kembali.
"Bagaimana dengan orang itu? Kau apakan?" tanya Kirana dengan suara masih lemas. Lanangseta segera meletakkan potongan telapak tangan utusan Begal Dogol. Potongan telapak tangan itu di letakkan di lantai bertikar, di depan Sabdawana yang tengah duduk bersila.
"Surat itu kujawab dengan ini...!" kata Lanang, dan Sabdawana mengeluh dalam desah yang panjang.
"Ini berarti aku harus memenuhi tantangan Begal Dogol, Lanang. Padahal aku bermaksud tidak mau menuruti nafsunya!" kata Sabdawana yang membuat Lanangseta terbengong. Dalam hati Lanang bertanya, "Kenapa tidak mau? Takut? Atau Apa...?"
***
2
SABDAWANA termenung di bawah pohon rindang di belakang rumah besar itu. Ia duduk pada sebuah bangku dari batu cadas putih yang diukir motif kelopak-kelopak teratai. Sore itu, Lanangseta tidak ingin mengganggu tidur Kirana. Ia menyempatkan diri mendesak ayah Kirana untuk mengatakan apa sebab ayah Kirana tidak ingin memenuhi tantangan Begal Dogol. Dalam renungannya itu, Sabdawana berkata pelan seakan kepada dirinya sendiri, "Haruskah setiap tantangan berakhir dengan pertarungan? Haruskah harga diri terletak pada ujung senjata?"
Pendekar Pusar Bumi yang duduk tak jauh dari Sabdawana itu juga ikut termenung, khususnya merenungkan kata-kata orang tua berambut uban itu.
"Tapi saya ingin tahu apa alasan Rama, sehingga Rama bermaksud tidak melayani Begal Dogol," ucap Lanangseta dengan suara penuh kesopanan.
"Apa alasannya?" Sabdawana berkerut dahi sambil memandang Lanangseta. "Apakah aku juga harus mendesakmu, menanyakan apa alasanmu menghilang selama ini?"
"Itu pertanyaan yang wajar, Rama. Dan sudah pasti saya akan menceritakan, apa sebab saya menghilang."
Sabdawana manggut-manggut. "Baiklah.
Ceritakanlah sejujurnya, Lanang."
Tiba-tiba ada perasaan ragu yang menyelinap di hati Lanangseta. Ada rasa takut dikatakan sombong jika ia membeberkan siapa dirinya sekarang ini. Tapi pertimbangan otaknya mengatakan lain: ia harus bicara, ia tak ingin segalanya serba misterius.
"Rama... seseorang telah menculik saya, ketika saya pingsan dalam pengejaran terhadap diri Prabima "
(dalam kisah PEDANG SEMERAH DARAH).
Sabdawana kelihatan menyimak betul tiap ucapan Lanang, sampai-sampai ia tidak bergerak sedikit pun.
"Orang itu juga memaksa saya untuk menjadi muridnya. Ia membawa saya ke sebuah lereng gunung, dan di sana saya dijejali ilmu-ilmunya. Ia cukup kuat, berilmu tinggi. Dan semua itu hanya karena dia ingin mati. Mulanya saya menolak, tapi tak terasa saya jadi menyukai ilmu orang itu. Sampai pada akhirnya, saya ditipu olehnya, diajak berlatih ilmu pedang yang ternyata suatu jebakan untuk kematiannya. Dia mati dengan pedang saya ini, Rama."
"Siapa orang itu?" "Si Tongkat Besi "
"Tongkat Besi?" Sabdawana berkerut dahi. "Kalau tak salah dulu kau pernah mengatakan bahwa pedangmu itu dicuri oleh seorang kakek yang bergelar Si Tongkat Besi? Kalau tak salah waktu itu kau habis menghancurkan Puri Tebing Neraka."
"Ya. Memang orang itulah yang akhirnya menjadi guru saya, namun sekaligus yang menjadi musuh saya, sekali pun itu musuh yang paling saya cintai." "Apa kehebatan ilmunya?"
"Banyak, Rama. Dia mempunyai banyak ilmu dewa, sebab dia memang seorang dewa yang terusir dari Suralaya, tempat para dewa itu."
"Seorang dewa?!" Sabdawana menjadi kaget, lalu kelihatan tegang. Ada kekhawatiran yang disembunyikan dalam hatinya. Dan kekhawatiran itu terbias lewat sorot matanya yang mencurigakan.
"Rama kelihatannya terkejut? Mungkin tidak percaya?"
Sabdawana gelisah dan menggeleng. "Ada sesuatu yang kurasakan aneh. Setahuku, seorang yang dulu bekas dewa hanyalah Eyang Pramban. Dia adalah guru dari guruku, Lanang. Jadi, kalau sekarang kau mengaku dididik oleh orang yang mengaku bekas dewa, ah... kedengarannya janggal sekali. Jangan-jangan kau tertipu olehnya."
Lanangseta termenung sesaat. "Mungkinkah ia menipu saya, Rama? Apa maksudnya kalau memang ia menipu saya."
Sabdawana angkat bahu, "Entahlah. Tapi, kurasa itu sebuah tipuan."
"Kalau begitu, saya memang sudah terpengaruh dan terjerat dalam tipuannya. Mungkin saya terlalu percaya kepadanya. Ia mengaku pernah hidup pada zaman dulu. Mengaku berusia antara 400 sampai 600 tahun, dan sampai saat kemarin belum bisa mati-mati. Hanya saja, yang saya herankan, ia dapat mengenal keluarga Rama Sabda. Ia bahkan menyebutkan nama seorang perempuan yang memakai nama ilmu leluhur Bukit Badai ini. Menurutnya, perempuan itu bernama... Syalindra "
"Lanang...?!" Sabdawana terkejut sekali, sampaisampai ia berdiri. Lanangseta jadi takut menyinggung perasaan Sabdawana, apalagi setelah Sabdawana berkata, "Itu nama istriku...! Jangan sebut dengan sembarangan!"
"Maaf, Rama," kata Lanang penuh dengan nada penyesalan. "Tapi memang itulah kata-kata guru Tongkat Besi yang berhasil saya bunuh. Saya tak tahu persis, apakah dia dewa atau hanya mengaku-aku sebagai dewa, yang jelas dia punya kesaktian yang luar biasa, Rama."
"Perlu kau ketahui, Lanang," kata Sabdawana masih tetap berdiri. "Zaman dulu, memang ada orang yang mengaku bernama Eyang Pramban. Dia adalah bekas dewa. Dia diusir dari kahayangan, dan menjelma sebagai manusia. Dia mempunyai seorang murid, Ki Pandan Wangi, yang kemudian menjadi guruku. Tapi belum habis ilmu Eyang Pramban diturunkan kepada Ki Pandan Wangi, guruku itu telah pergi darinya karena suatu sebab yang tak dapat dikerjakan, yaitu harus membunuh gurunya sendiri. Dan pada masa remajaku, dunia persilatan pernah heboh karena sebuah sayembara. Sayembara itu berbunyi: Barang siapa bisa membunuh Eyang Pramban, maka ia akan diberikan pusaka yang tiada duanya di dunia tentang kehebatannya. Maka orang berlomba-lomba membunuh Eyang Pramban. Tapi tak satu pun ada yang mampu membunuhnya, sehingga pusaka yang dijanjikan itu tidak berhasil dikuasi oleh siapa pun. Nah, sekarang kau mengaku telah membunuh orang bekas dewa. Apa buktinya, Lanang?"
Kemudian, setelah mempertimbangkan beberapa saat, Lanang pun mencabut pedang Wisa Kobra dari sarungnya seraya berkata, "Hanya ini bukti yang saya miliki, Rama "
Sabdawana bagai orang melihat setan, matanya membelalak lebar dan mulutnya ternganga, bukan sekedar melompong, tapi ternganga lebar. Ia sepertinya mau berteriak, tapi tak mampu. Wajah tuanya menjadi pucat pasi, dan tangannya gemetar saat ia melihat pedang Lanang bercahaya merah, seperti gumpalan bara yang amat panas. Dan tiba-tiba, sangat di luar dugaan Lanangseta, Sabdawana yang usianya jauh lebih tua darinya itu bersimpuh di depan Lanangseta. Bahkan kini bersujud menyembah Lanangseta dengan perasaan takut sekali.
"Rama...? Rama...? Kenapa harus begini?!" Lanangseta tak enak disembah Sabdawana. Apalagi Sabdawana itu kan calon mertuanya? Masa' seorang calon mertua sampai menyembah calon menantu? pikir Lanang begitu. Tetapi nyatanya, Sabdawana bahkan menangis dalam ketakutan. Lanang semakin bingung lagi. Ia menyuruh Sabdawana bangun dan berdiri, namun Sabdawana tetap bersujud menyembah Lanangseta.
"Wah, kacau ini kalau begini...!" pikir Lanangseta sambil memandang ke sana-sini, takut ada murid Sabdawana melihatnya. Untung keadaan sepi, sehingga tak ada orang yang mengetahui betapa takutnya Sabdawana ketika itu, dan betapa menghormatnya Sabdawana kepada Lanang begitu ia melihat pedang Wisa Kobra seperti bara api yang amat panas.
Lanangseta segera menyarungkan pedang itu. Hatinya benar-benar kebingungan mengatasi hal itu. Ia membiarkan sampai beberapa saat. Kemudian, setelah dirasakan keterkejutan dan masa shock dari ayah Kirana itu sudah reda, Lanangseta berkata dengan lembut dan penuh kesopanan.
"Rama... bangkitlah. Saya Lanangseta, saya bukan... bukan...." Lanangseta kebingungan. Tapi dengan hatihati dan penuh rasa sungkan, Lanangseta membantu Sabdawana untuk bangun dan tidak bersujud terus begitu. "Rama, kenapa Rama Sabdawana harus bersujud dan menyembah saya. Saya ini apa? Saya ini kan calon menantu Rama Sabdawana. Malu kalau rampai ada yang tahu, Rama "
"Ampunilah saya...." ucap Sabdawana dengan rasa takut, dan sepertinya menyimpan perasaan bersalah. "Saya merasa bersalah. Saya tidak tahu, ooh...
ampunilah saya "
Lanangseta sebenarnya merasa jengkel, mengapa jadi begini? Siapa yang gila sebenarnya? Dia, atau ayah Kirana?
"Rama, coba jelaskan, sejelas-jelasnya. Sungguh, saya mohon penjelasan dan jangan membuat saya jadi gila. Saya ingin Rama menjelaskan semua ini, seperti seorang mertua menjelaskan kepada menantunya. Silakan, Rama "
"Seperti seorang mertua kepada menantunya?"
"Iya. Jelaskan begitu. Jangan ada pemisah hubungan di antara kita. Saya bukan apa-apa. Rama jangan salah duga. Saya Lanangseta, calon menantu Rama. Jelaskanlah, tolong. Saya minta tolong betul, Rama. " Lanangseta memohon, berharap-harap dengan
kerendahan hati, sehingga Sabdawana mulai berani bersikap seperti tadi, walau sedikit kaku dan tak berani bicara dengan kasar.
"Pedang itu... oh, saya jadi ingat masa lalu "
"Ceritakanlah masa lalu itu, Rama, supaya saya tidak penasaran dan menjadi gila karenanya."
Sabdawana menelan liurnya sendiri. Ia masih bersikap lebih rendah dari Lanangseta. Lalu ia bicara dengan hati-hati dan seakan menghormati Lanangseta.
"Tadi sudah kukatakan... ada sayembara dari Eyang Pramban, yaitu dewa yang menjelma menjadi manusia karena diusir dari Suralaya. Banyak orang berusaha membunuh Eyang Pramban untuk memperoleh pusaka sakti yang bernama Pedang Malaikat. Sekian banyak orang dari penjuru dunia mencoba, dan tak ada yang berhasil. Ki Pandan Wangi, guruku itu, merasa tak tega melihat Eyang Pramban dikejar-kejar banyak orang hanya karena ingin membunuhnya dan ingin mendapatkan Pedang Malaikat. Kemudian secara diamdiam, saya diperintahkan untuk membayang-bayangi Eyang Pramban. Disuruh melindungi beliau dari kekasaran orang-orang yang hendak membunuhnya itu. Salah satu orang yang bernafsu membunuhnya adalah... sepasang suami-istri, yaitu Begal Dogol dan istrinya. Mereka berasal dari Pesanggrahan Maut. Waktu Begal Dogol dan istrinya hendak membokong Eyang Pramban, aku menghalangi dan bahkan berhasil membunuh istrinya. Dari situlah awal dendam Begal Dogol terhadapku. Setiap kami jumpa, kami selalu bertarung dan Begal Dogol selalu kabur lebih dulu. "
"Kemudian ?" desak Lanangseta karena Sabdawana
berhenti beberapa saat.
"Kemudian... aku pernah mendapat cerita dari Ki Pandan Wangi, bahwa barang siapa bisa membunuh Eyang Pramban, selain ia akan mendapat Pedang Malaikat, juga akan menjadi anak dewa. Siapa pun orangnya. Ki Pandan Wangi sendiri sangat menghormati Eyang Pramban, bahkan siapa pun orangnya yang berhasil membunuh Eyang Pramban juga harus dihormati, sebab secara tak langsung dia sudah menjadi anak dewa yang mampu membuat merah hitamnya dunia persilatan. Ki Pandan Wangi juga menjelaskan ciri-ciri pusaka Pedang Malaikat yang ia peroleh dari Eyang Pramban semasa menjadi muridnya. Ciri-ciri itu seperti yang ada pada pedangmu, Merah bagai membara, namun sebetulnya dingin bila disentuh tangan. Pedang itu akan menjadi membara seperti panasnya lahar, apabila sudah menyentuh atau sudah basah oleh darah Eyang Pramban. Itulah Pedang Malaikat. Dan orang yang berhasil membunuh Eyang Pramban akan menyandang gelar dari Suralaya sebagai Malaikat Pedang Sakti. Itu sudah menjadi ketentuan para dewa sebelum Eyang Pramban terusir dari Suralaya. Semua tokoh persilatan di jagad raya ini harus tunduk kepada pemegang Pedang Malaikat, sebab tak seorang pun akan dapat menandingi kesaktian Malaikat Pedang Sakti. Dan... dan ternyata, orang itu adalah kau sendiri, calon menantuku. Secara pribadi, aku adalah calon mertuamu. Tetapi dari segi dunia persilatan, kau lebih unggul dariku, bahkan kau juga anak dari Eyang guru yang patut kuhormati."
"Kalau begitu, kita berdiri dari segi pribadi saja, Rama. Jangan pandang saya dari sudut dunia persilatan?" kata Lanangseta menghindari hormat Sabdawana.
"Apakah harus begitu?" tanya Sabdawana masih dengan perasaan sungkan.
"Ya. Karena saya tak ingin hubungan saya dengan putri Rama itu akan terganggu jika Rama memakai kaidah hukum rimba persilatan. Saya... saya sangat mencintai dia, dan tak ingin diganggu oleh siapa pun."
"Saya juga," tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang mereka. Suara perempuan yang masih parau.
"Kau...?" Lanang hanya menyebut Kirana begitu karena ia terkejut melihat Kirana sudah berada di belakangnya.
Kata Kirana, "Apakah saya juga harus menghormat kepada dia, Rama?"
Jawab Sabdawana, "Ya. Kau orang rimba persilatan, kau harus tunduk kepadanya. Kalau tidak, kau bisa binasa, bukan oleh kemarahannya, tapi oleh kemarahan Pedang Malaikat itu "
"Tidak!" sanggah Lanangseta. "Kau tidak perlu seperti yang lain, Kir...." Lanang tak jadi menyebutkan nama Kirana, takut terjadi amukan badai yang dahsyat. "Kau tidak seperti yang lain. Kau adalah istimewa bagiku "
Lanang menyambut tangan Kirana. Kirana tersenyum, tampak segunung ketenangan dan bangga diri telah dipeluknya dalam hati.
"Tapi kesehatanmu belum mengijinkan kau berdiri di sini, Cantik... kau masih harus di kamar, jangan mencuri pembicaraan."
"Aku tidak sengaja mendengar semua pembicaraan itu."
"Ya, tapi kau masih lemah. Jangan jadi pencuri tak sengaja dulu. Kau harus banyak beristirahat supaya cepat sehat seperti sediakala."
"Aku yakin, dalam waktu dekat aku pasti akan pulih, sehat seperti sediakala. Darahku tidak beracun lagi. Senyummu sudah menawarkan racun dalam darahku, Lanang. "
Sabdawana tahu diri, ia menyingkir perlahan-lahan, memberi kesempatan kepada sepasang remaja yang sedang memadu kerinduan itu. Hanya saja ia tak habis pikir, mengapa ia menjadi mertua dari Malaikat Pedang Sakti, yang konon menjadi buah bibir setiap orang itu? Nasib keberuntungan siapa yang singgah dalam hidupnya ini?
Lanangseta membimbing Kirana agar duduk dan bersandar dengan santai. Tubuhnya yang kurus itu dengan hati-hati sekali dituntun Lanangseta dan ditempatkan seenak mungkin.
"Apakah kau tidak merasakan kejang lagi di setiap ototmu?" tanya Lanangseta.
"Tidak. Mungkin selamanya penyakit itu tak akan kuderita lagi," bisik Kirana.
"Kenapa kau yakin begitu?" "Karena ada Malaikat Pedang Sakti di sampingku."
Lanangseta tersenyum dalam tawanya yang pelan bagai tawa sebuah gumam.
"Kau tak akan meninggalkan aku lagi, bukan?" tanya Kirana dengan mencoba bersandar di dada Lanangseta. "Oh, masih sehangat yang dulu," pikir Kirana pada saat itu.
"Kalau aku pergi, kenapa?" goda Lanangseta. "Mungkin akan sakit lagi."
"Kenapa harus sakit lagi?"
"Karena aku akan merindukan kamu." "Kalau kau rindu, kenapa itu?"
"Darahku akan berubah menjadi racun lagi."
"Kalau begitu aku tak akan pergi, tapi bagaimana dengan tantangan Begal Dogol itu? Aku harus mengawal ayahmu, bukan?" kata Lanangseta seraya mengusap rambut Kirana yang dibiarkan meriap panjang.
"Ayah belum tentu berangkat ke Lembah Berdarah," jawab Kirana dalam bisik.
"Kau tahu apa sebabnya?"
"Sebab...." Kirana melirik ayahnya. "Oh, tak kelihatan." Maka ia pun menjawab pertanyaan Lanangseta. "Sebab, ia telah berjanji di depan roh ibu, ketika roh ibu menemui ayah pada suatu malam."
"Berjanji bagaimana?" desak Lanangseta penasaran. "Ayah berjanji tidak akan bertarung lagi dengan
siapa pun. Ia hanya akan menggunakan kekuatan bahasanya dalam bicara. Kalau memang orang itu nekad akan membunuhnya, ia hanya akan berdoa supaya ibu segera menjemput ayah."
"Aneh. Kenapa harus begitu?"
"Ayah ingin mati dalam jemputan ibu. Bukan mati konyol atau mati penasaran di tangan musuh dan dendam." "Romantis sekali ayahmu itu, Cantik."
Kirana berbisik pelan, persis di depan mulut Lanang, "Wajar kan kalau putrinya mengikuti sang ayah?"
"Apa kau juga romantis?" goda Lanang. "Apa kau tidak suka, Lanang?"
"Kau pernah mendengar aku berkata begitu?"
Kirana menggeleng. "Yang kutahu...." Kirana berhenti.
"Yang kau tahu, apa?"
"Yang kutahu... kau sudah lama tidak menciumku " jawab Kirana dalam desah yang lembut.
Lanang tersenyum mesra. Lalu ia menggoda lagi, "Aku lupa bagaimana cara menciummu... kau mau ajarkan cara itu padaku?"
"Kau harus memanggilku guru kalau begitu." "Baik, Guru Cantik "
Kirana terkikik samar-samar, dan Lanangseta pun tertawa terpendam. Kemudian Kirana yang sedang meneguk dahaga kerinduannya itu pun semakin romantis.
"Pejamkan matamu kalau ingin mencium gadis," ujarnya.
"Kenapa harus memejamkan mata, Bu Guru?" "Untuk memusatkan perhatian dan pikiranmu pada
rasa."
"Rasa apa itu? Mual, mulas, pahit ?"
"Kalau kau bercanda, pelajaran akan kututup sampai di sini," Kirana berlagak mengancam.
"Silahkan kalau Bu Guru bisa menutupnya "
Kirana mencubit lembut bibir Lanangseta. "Jangan nakal, Lanang. Nanti kuhukum kau."
"Asal aku pandai mencium gadis, aku rela dihukum Bu Guru...." Lanang masih meladeni kegembiraan Kirana. Pikir Lanang, barangkali dengan begini ia bisa membalut luka yang selama ini diderita Kirana dan nyaris membuatnya terkubur. Barangkali inilah obat yang ditunggu-tunggu oleh Kirana sepanjang hari.
"Lanang...?"
"Ya, Bu Guru "
"Pejamkan mata," bisik Kirana.
"Yang kiri atau yang kanan, Bu Guru?" "Keduanya, Sayang "
"Ah, nanti saya tidak bisa melihat kecantikan Bu Guru."
"Kecantikanku hanya ada dalam jiwa dan sukmamu, Lanang. Carilah kecantikan itu di sana, dan kau akan menemukannya lebih dari yang pernah kau lihat."
Lalu, Lanang menuruti permintaan Kirana yang mesra itu. Ia memejamkan matanya dengan bibir masih tersungging senyum.
"Tahan nafasmu, Lanang " bisik Kirana.
"Sampai berapa lama, Bu Guru?"
"Jangan terlalu lama, nanti aku kehilangan kamu," rengek Kirana menyejukkan hati Lanang.
"Saya sudah menahan nafas, Bu Guru." "Diamlah sebentar "
"Tidak boleh bicara, Bu?" "Tidak boleh "
"Kenapa tidak boleh?"
"Karena kalau kau bicara bibirmu bergerak-gerak. Kalau bibirmu bergerak-gerak aku sulit mengecupmu, Sayang."
"Kalau begitu pegang saja bibir saya, Bu Guru, biar gampang dikecup."
"Dalam berciuman, tangan tak boleh menyentuh bibir."
"Kalau begitu, tangan saya harus menyentuh apa, Bu Guru?"
Suara Kirana semakin lirih dan mendesah, "Memelukku " Lalu Lanangseta memeluk Kirana dengan mesra, dan Kirana menyentuhkan bibirnya tipis-tipis ke bibir Lanangseta. Ia menggeser bibirnya perlahan-lahan dan bagai mengambang di bibir Lanang, sehingga nafasnafas mereka terasa menghangat di wajah masingmasing.
Lanangseta masih mengikuti permainan ala Kirana. Bibirnya dibiarkan disentuh-sentuh dengan lidah Kirana tipis-tipis dan membuat tubuhnya merinding. Hati Lanang berdesir-desir. Tapi Kirana masih menyentuh-nyentuhkan ujung bibirnya dan lidahnya ke mulut Lanangseta. Tangan Lanang meremas punggung Kirana samar-samar. Kirana mendesah, kemudian segera melumat bibir Lanang dengan tak sabar lagi. Lanangseta mengimbangi dalam kelembutan yang ada. Dan Kirana semakin melumat bibir yang menggairahkan itu. Sesaat mereka bercumbu, lalu Kirana melepaskan ciumannya perlahan-lahan sekali. Bibirnya ditarik mundur dengan amat pelan hingga Lanangseta merasa berdesir-desir.
"Bagaimana, Lanang?" bisiknya setelah mengikik. "Saya tidak merasa apa-apa, Bu Guru."
"Aku tadi sudah menciummu, masa' tak merasa?" "Saya murid pelupa, Bu Guru. Coba diulangi sekali
lagi, biar saya hafal pelajaran ini."
"Ulangan akan diadakan nanti malam. Tidak sekarang...!" Kirana terkikik geli, Lanang pun juga, lalu mereka saling berpelukan dalam kasih dan kemesraan. Namun, mendadak di benak Lanang teringat sesuatu: bagaimana nasib Mahani?
*** 3
KEMESRAAN semakin membara, cinta telah menuntut segalanya. Lanangseta sudah jelas, bahwa selama ini rasa cemburunya telah dimanfaatkan Prabima untuk memfitnah dan mematahkan percintaan suci itu. Karenanya, Lanangseta tak ingin mengalami kekejian fitnah dari pihak lain. Ia harus segera mengawini Kirana Sari, putri dari Sabdawana. Namun seperti syarat yang ditentukan dulu, yaitu mengalahkan orang-orang Tebing Neraka dan sekuntum bunga teratai dari Goa Malaikat sebagai mas kawinnya, mau tak mau, Lanangseta harus melengkapi syarat tersebut. Orangorang Tebing Neraka telah berhasil dihancurkan, (dalam kisah GERHANA TEBING NERAKA) dan kini Lanangseta tinggal mencari kembang teratai dari Goa Malaikat.
"Aku akan menemui Sekar Pamikat untuk meminta bunga teratai dari Goa Malaikat," kata Lanang. "Dia telah menjanjikannya tempo hari sebelum aku berangkat ke Tebing Neraka. Jadi, kurasa tak ada masalah lagi, Cantik. Aku tinggal memintanya dan "
"Dan kita akan segera menikah, bukan?" sambung Kirana dengan bersemangat. Lanangseta hanya mengerlingkan mata. Lalu keduanya tertawa dalam pelukan.
"Hati-hati, Lanang. Kali ini aku tak ingin kau gagal lagi," bisik Kirana. "Jangan terlalu lama, nanti aku rindu. Aku tak bisa menahan rindu. Mungkin itu kelemahanku dalam bercinta. Mungkin itu pula yang menyebabkan dulu aku dilarang jatuh cinta kepada seorang lelaki."
"Tunggulah sebentar. Hanya sebentar, Sayang. "
Goa Malaikat, sungguh merupakan suatu kenangan manis bagi Lanangseta, namun juga kepahitan kisah baginya. Di goa ini, ia berpisah dengan Putri Ayu Sekar Pamikat, yang kini telah menjadi petapa cantik dalam goa tersebut. Takdir telah menggaris kehidupan mereka, bahwa mereka harus berpisah, sekalipun cinta sudah terlanjur melekat erat.
Lanangseta tak mau banyak mengenang kisah lama. Terlalu perih di hati jika dikenang. Ia menghela nafas dalam-dalam sebelum masuk ke goa misterius itu. Ia merangkak untuk masuk melalui mulut goa yang sempit, seperti lubang sumur dalam posisi miring. Lanang sudah sedikit tahu tentang rahasia goa tersebut. Di antaranya, jika tak ada matahari pintu goa akan menutup sendiri. Rapat, bagai tak pernah ada pintu di situ. Namun jika goa itu terkena sinar matahari, maka pintunya akan terbuka dengan sendirinya, (kisah selengkapnya ada dalam cerita MISTERI GOA MALAIKAT) demikian pula dengan loronglorongnya yang dapat buntu mendadak jika pantulan sinar matahari tidak lagi memasuki goa tersebut. Bahkan Lanangseta masih ingat, pada dinding lorong yang menuju ke kanan, tersimpan segudang emas bagai bongkahan batu jika dindingnya terbuka oleh pantulan sinar matahari. Tetapi Lanang tidak berminat untuk memiliki emas yang ada di situ, karena selain mempunyai resiko yang berbahaya, juga ia menganggap bunga teratai yang harus diperolehnya dari goa tersebut lebih berharga ketimbang bongkahan emas yang dapat menjadi sumber bencana. Cintanya kepada Kirana, lebih tinggi nilainya, lebih murni kadarnya ketimbang segunung emas Goa Malaikat.
Lanangseta menyusuri lorong yang ada di bagian kiri dari arah dia masuk goa. Ia masih menemukan bekas pakaian Gopo yang untuk alas tidur adik kembarnya: Pendekar Maha Pedang, dulu ketika pendekar muda itu terkena racun dari Sendang Bangkai, (dalam kisah RAHASIA SENDANG BANGKAI)
Langkah Lanangseta yang telah menyusuri lorong dengan tegap itu tiba-tiba terhenti. Ia sedikit ragu melihat seorang pemuda berada di dalam goa tersebut. Pemuda itu sedang berjalan masuk, sehingga ia tidak tahu kalau di belakangnya Lanangseta berhenti memperhatikan langkahnya. Siapa pemuda itu? Ini yang menjadi pertanyaan Lanang pada saat terbengong melompong memandang langkah pemuda itu.
Bukankah goa ini adalah goa larangan bagi siapa saja? Kecuali keluarga leluhur Kirana, tak boleh seorang pun masuk ke dalam Goa Malaikat. Mungkinkah pemuda itu tersasar jalan seperti diri Lanang dulu?
Lanang mengikuti terus langkah pemuda tersebut. Ia ingin tahu, apa dan siapa itu sebenarnya. Langkah yang begitu cepat, seakan ia sudah hapal dengan liku-liku lorong yang banyak terdapat dalam goa tersebut.
O, agaknya pemuda berpakaian necis, berwarna biru muda itu memang sudah beberapa saat tinggal di dalam goa tersebut. Buktinya ia menuju suatu tempat yang lebih lega, di mana di situ terdapat lima obor pada dinding goa. Obor itu cukup sederhana: potongan kain dibungkuskan pada batang kayu, dan dinyalakan. Begitu saja. Ada lima obor yang dikaitkan pada dinding goa. Pemuda itu dengan santai mengambil sebilah pedang bersarung emas yang diletakkan pada tumpukan dedaunan kering. Agaknya tumpukan dedaunan kering itulah tempat tidurnya.
Jika melihat bentuk dan potongan pakaiannya, ia seperti keturunan bangsawan, setidaknya putra seorang demang yang punya pengaruh kuat di tengah masyarakatnya. Tapi melihat wajahnya yang tampan, bersih, dan bermata bulat membelalak indah itu, sepertinya Lanang pernah melihat wajah tersebut. Tapi kapan dan di mana, Lanangseta benar-benar tak mampu mengingatnya. Ia mengintip dari satu celah dinding yang berongga, dan memperhatikan semua gerak-gerik pemuda itu sambil mengingat-ingat seraut wajah. Tapi sampai begitu lama, Lanang bagai menemukan kekusutan otak belaka. Ia tak mampu mengingat apa-apa. Yang ia tahu, pemuda itu berusia jauh lebih muda darinya. Mungkin seusia dengan Jaka Bego. Pemuda itu pantas menjadi adiknya. Hidung dan bulu mata yang tebal, semua persis dengan yang ada di wajah Lanangseta. Ganteng. Lanang juga ganteng.
Tapi alas kakinya yang terbuat dari bahan halus, berbulu indah warna merah, sungguh menampakkan betul sebagai alas kaki anak seorang raja. Siapa dia sebenarnya? Penasaran sekali Lanangseta dibuatnya. Ia bermaksud menampakkan diri, tapi Lanangseta tercengang sejenak oleh suara pemuda itu yang bagai bicara sendirian, "Seorang tamu yang datang dengan sembunyi-sembunyi, tak lebih dari seorang pencuri "
Dahi Lanangseta berkerut. Dirinya itukah yang dimaksud seorang tamu? Pemuda itu berkata lagi, "Sesuatu yang tersembunyi, biasanya mempunyai kebusukan. Tapi kebusukan itu cepat atau lambat akan ketahuan. Jadi buat apa bersembunyi di sana, Kawan?"
Lanangseta yakin, pemuda itu berbicara kepada dirinya. Memang mata pemuda berpakaian biru muda yang indah itu tertuju kepada pedangnya yang bersarung kuning emas. Tetapi dari nada bicaranya, Lanangseta yakin betul bahwa dialah yang sedang diajak bicara pemuda itu.
Sambil berkerut dahi, akhirnya Lanangseta pun ke luar dari tempat persembunyiannya. Pemuda itu bergegas bangkit ketika Lanangseta berkata, "Kau bicara denganku, Kawan?"
Pemuda itu berjalan mendekati Lanangseta sambil tertawa lepas. Lagi-lagi Lanangseta harus berpikir, di mana ia pernah mendengar suara tawa yang khas seperti itu?
Pemuda itu menggenggam pedang sarung emasnya di tangan kiri, dan menjabat tangan Lanangseta dengan senyum yang mempesona. Ganteng, bak senyum seorang pangeran. Ia berkata dengan suaranya yang empuk, "Selamat datang ke Goa Malaikat lagi, Lanangseta "
"Hai?!" Lanangseta semakin heran. "Kau mengenal namaku?"
"Tentu," jawabnya, lalu tertawa lagi. "Aku tak pernah melupakan kamu, Pendekar tampan. Aku tak pernah melupakan sepasang pendekar kembar. Lanangseta yang bergelar Pendekar Pusar Bumi, dan Ekayana, yang bergelar Pendekar Maha Pedang. Kalian berdua sama hebatnya."
Pusing sekali kepala Lanang menghadapi masalah itu. Pemuda itu enak sekali bicara, merasa sudah mengenal lama dan akrab. Pemuda itu tidak asing lagi dengan Lanangseta. Tapi Lanangseta mengapa belum bisa mengingat-ingat siapa pemuda tersebut. Sikapnya yang ramah dan suka tertawa sering menggoda hati Lanang untuk semakin mengorek ingatannya. Siapa? Di mana? Kapan? Ah kacau!
"Kau tahu banyak tentang aku?" Lanang bertanya heran.
"Ya," jawabnya sambil tertawa pendek. "Tapi aku tidak tahu, siapa kamu?! Aneh."
"Ya," jawab pemuda itu, seakan mengajak bercanda. "Ya, bagaimana? Apanya yang 'Ya'?" "Kebingunganmu, Lanang." Ia tersenyum-senyum,
matanya yang membelalak dan berbulu lentik itu mengawasi Lanang dengan kesan kerinduan yang kini telah terpenuhi. "Siapa namamu, Kawan?" tanya Lanangseta. "Wijaya."
"Wijaya...?!" Lanang mengingat-ingat. "Wijaya Buana."
"Wijaya Buana?!" kerutan dahi Lanang kian tajam. "Rasa-rasanya aku belum pernah berkenalan dengan orang yang bernama Wijaya Buana. Sungguh!"
Dengan berani dan bersikap sok akrab, pemuda itu memegang kedua pundak Lanang dengan kedua tangannya. Mata mereka saling tatap, tapi berbeda sorot hati yang ada. Wijaya Buana memandang dengan perasaan gembira, dan Lanang dengan tatapan heran penuh selidik.
"Goa ini penuh keanehan," gumam Lanang. "Benar. Dan aku ini sebagian dari keanehan itu." "Sebagian? Dari keanehan? Apa maksudmu?"
Pemuda itu tertawa, lalu meredakan tawanya. "Pernah mendengar tawa itu?"
Lanang manggut-manggut bagai orang tolol. "Sepertinya aku memang pernah mendengar suara tawa itu."
"Tidak ingat siapa pemiliknya?"
"Aku lupa. Sungguh. Bukan aku sombong, tapi aku benar-benar lupa. Maafkan aku "
Pemuda itu tertawa lagi, kemudian dengan merangkul Lanang ia mengajak Lanang berjalan. Akrab sekali. Sedangkan Lanang. bingung sekali.
"Barangkali karena memandang wajahku, kau lupa dengan suara tawaku. Coba pejamkan mata dan dengarkan sekali lagi. Aku akan tertawa, dan kau memusatkan ingatanmu."
Mereka berhenti melangkah di dekat obor. "Tidak. Sebutkan saja siapa kamu sebenarnya dan di mana kita pernah bertemu? Aku tak punya waktu."
"Tidak, tidak, tidak...!" sergah Wijaya. "Aku ingin membuat kau terkejut. Atau, sekarang sebaiknya kau terkejut dulu baru kuberitahu siapa aku dan di mana kita pernah bertemu. Bagaimana...?" Pemuda itu tertawa lagi dengan girang. Lanangseta seperti orang tolol yang sedang dipermainkan.
"Ayo, pejamkanlah mata dan simaklah tawaku "
Akhirnya Lanangseta pun memejamkan mata. Pemuda itu tertawa lagi. Kali ini tawanya agak panjang dan tubuh Lanangseta merasa gemetar jadinya. Lanangseta buru-buru membuka mata, lalu menatap tak berkedip pada pemuda itu.
"Bagaimana, sudah kau temukan siapa aku?"
Lanangseta terbengong lama. Dari ujung rambut sampai ke ujung kaki pemuda tampan itu diperhatikan dengan teliti. Lalu ia menggumam dengan ragu, "Mustahil "
"Bukan...!" pemuda itu tertawa geli. "Namaku bukan Mustahil. Hei, jangan ngacau kamu "
"Ya, aku tahu namamu bukan Mustahil. Tapi sekilas nama yang melintas dalam ingatanku itu yang mustahil."
"O, ya? Nama siapa itu? Sebutkanlah, Lanang.
Sebutkanlah. Ayo "
"Seperti... seperti tawanya. Tongkat Besi?"
"Tongkat Besi? Wouw bukan!"
"Jadi, siapa kamu. Aku sudah menyerah."
Pemuda yang mengaku bernama Wijaya itu menepuk-nepuk pundak Lanangseta yang dirangkulnya.
"Kau pernah diculik Peri Sedang Bangkai?"
Lanang mengangguk dengan sangsi dan curiga. Ia memasang kewaspadaan.
"Kau pernah diselamatkan oleh putri Ayu Sekar Pamikat?"
Lanang mengangguk lagi, makin curiga. "Dan... kau pernah mendengar nama Gopo?" Lanang mengangguk lagi, tanpa komentar.
"Itulah aku... Go-po..." Kemudian pemuda itu tertawa melihat Lanangseta terperanjat kaget seraya menatapnya tanpa berkedip. Tawanya itu kini telah mengingatkan otak Lanangseta, bahwa ia pernah mempunyai teman yang tertawa seperti itu, dan bernama Gopo. Maka, tak ragu lagi Lanang segera memeluk pemuda itu dalam satu keharuan tersendiri.
"Gopo...! Kau gila...! Kau bisa jadi seperti pangeran!" "Memang aku calon raja," kata Gopo yang berubah
ujud dan nama menjadi Wijaya Buana.
"Sungguh aku tak habis pikir, bagaimana bisa kau seperti ini? Dulu badanmu besar, mirip raksasa, wajahmu kasar dan "
"Cukup, cukup !" sergah Gopo. "Jangan mengungkit
masa lalu. Aku suka malu sendiri."
"Jadi bagaimana kau bisa menjadi begini?" tanya Lanang sambil duduk di tumpukan daun kering. Ia kelihatan gembira sekali setelah sekian lama meninggalkan Goa Malaikat dan berpisah dengan Gopo, sekarang dapat bertemu lagi dalam keadaan yang sangat di luar dugaan. Bahkan terlalu khayal baginya.
"Lanang, kisahku panjang sekali. Terutama diawali dengan kisah Ludiro yang menggiurkan hatiku. Kisah tentang Lumut Bercahaya yang dimakannya itu dan membuat tubuhnya menjadi kebal senjata. Aku ingin menyusuri goa itu dan ingin memakan lumut itu, tapi "
Gopo alias Wijaya Buana itu terkekeh sendiri.
"Aku tersasar di suatu tempat, Lanang. Aku hampir menangis karena tidak bisa menemukan jalan menuju tempat kalian berkumpul itu. Lalu, aku menemukan sebuah telaga, yang menurutku hanya sebuah kolam yang terjadi secara alam, tanpa dibuat seseorang. Telaga itu ada di dalam goa ini. Airnya bening dan segar. Aku nekad mandi dan beberapa kali meminum air telaga itu, walau sebenarnya aku tidak haus. Nah, waktu aku menyelam di kedalaman telaga itu, tiba-tiba aku jadi seperti bisa bernapas. Aneh kan? Aku bermain lama sekali di dalam air telaga itu, melihat dinding-dinding telaga yang bergambar relief. Ternyata gambar relief dalam dinding telaga itu adalah sebuah rangkai jurusjurus silat kuno. Aku berhasil mempelajarinya dalam waktu singkat, dan tanpa menghirup udara dulu ke atas telaga. Aku tetap berada di dalam air telaga. Lalu, ketika aku muncul di permukaan air, kulihat tubuhku telah berganti ujud, dan leherku terkelupas sedikit. Kukira aku terluka ternyata... itu adalah insang pernapasanku selama aku belajar ilmu silat kuno di kedalaman air telaga...." Kemudian Gopo membuka krah leher bajunya dan memperlihatkan kulitnya yang bagai robek beberapa senti.
Kulit yang robek seperti diiris itu berdenyut-denyut bagai mengisap sesuatu. Lalu, Gopo pun berkata, "Inilah insang yang dapat kupakai bernapas di dalam air. Dan beginilah gerakan insangku jika sedang bernapas."
"Ajaib sekali...!"
"Memang. Memang sangat ajaib perjalanan hidup ini. Dan waktu aku melihat tubuhku sudah berubah ujud seperti ini, lalu aku menangis. Menangis dalam keharuan. Tetapi, tiba-tiba, Nang... aku melihat Sekar Pamikat menghampiriku dan membawakan pakaian ini. Aku bertanya kepada Sekar Pamikat, apakah dia masih ingat padaku? Ternyata dia masih ingat, Nang. Terus... ia menjelaskan, bahwa semua ini terjadi karena memang sudah seharusnya terjadi. Jadi bukan secara kebetulan. Memang beginilah nasib dan takdir hidupku. Sama seperti dirinya yang menjadi petapa di dalam goa ini, untuk selanjutnya menjadi milik goa ini. Kemudian, aku diberi pakaian seperti ini, Nang. Bagus ya?"
"Sangat bagus," jawab Lanang. "Lalu, kenapa kau tidak segera ke luar dari goa ini?"
"Sekar Pamikat melarangku ke luar dari goa ini, sampai pada suatu saat nanti, ada seorang putri raja yang tersasar ke mari dan mengenalku. Putri raja itulah calon istriku, dan aku akan menjadi raja di suatu tempat menggantikan kedudukan ayahnya. Tapi aku tidak tahu raja mana dan putrinya cantik atau tidak... aku tidak tahu." Gopo tertawa. Lanjutnya, "Kemudian aku diberi nama baru... Wijaya Buana. Gusti Ayu yang memberiku nama itu."
"Siapa Gusti Ayu itu?"
Wijaya berbisik, "Bekas kekasihmu dulu. Sekar Pamikat. Masa' lupa...? Dialah penunggu dan penguasa segala kekayaan goa ini."
"Oooh..." Lanangseta manggut-manggut. Ia memperhatikan Gopo yang sudah berubah menjadi pemuda ganteng dan punya kelainan, yaitu di kedua lehernya terdapat insang pernapasan jika ia berada di kedalaman air.
"Nah, sekarang apa tujuanmu ke mari?" tanya Wijaya.
"Aku akan menikah dengan seorang gadis, dan mas kawinnya adalah bunga teratai dari dalam goa ini."
Wijaya Buana tertawa, "Aku tahu, aku tahu...! Itu yang namanya teratai Wingit."
Lanangseta terperanjat sedikit, nama teratai itu sama persis dengan nama rumah Kirana. Lalu apa sebenarnya hubungan antara bunga teratai yang ada di goa tersebut dengan rumah kediaman Kirana itu? Lanang tak sempat berpikir panjang lebar karena Gopo telah menggeret tangannya seraya berkata, "Mari kutunjukkan tempatnya...! Bunga teratai itu adalah satu-satunya bunga yang tumbuh di dalam goa ini. Letaknya di tengah telaga yang kuselami dulu itu. Nah, mari kubawa kau ke sana. Tapi, o, ya... sebaiknya kau tetap harus meminta ijin kepada Sekar Pamikat lebih dulu, sebab ia pernah melarangku mengambil bunga tersebut sekalipun aku kagum terhadap keindahan bunga itu."
Gopo yang tampan, Gopo yang tidak sekasar dulu, hanya gaya candanya yang masih kelihatan itu, dengan gembira mengantar Lanangseta menuju ruangan khusus di bawah goa. Mereka menuruni tangga yang terdiri dari 100 anak tangga.
"Aku pernah masuk ke sini, ketika aku harus meminta restu kepada Sekar sebelum aku berangkat mengalahkan orang-orang Tebing Neraka," kata Lanangseta. Gopo melepaskan pegangan tangannya.
"Huhh... kalau begitu buat apa aku menuntunmu ke mari. Kukira kau belum tahu tempat pertapaan Gusti Ayu!"
"Sebagai teman baik, ada perlunya kau menyertaiku, Gopo. Eh, aku memanggilmu bagaimana? Gopo atau Wijaya?"
"Kalau sedang sepi, tak ada orang lain, yaah... panggil saja Gopo. Tapi kalau sedang ada orang, apalagi gadis calon istriku nanti, jangan panggil Gopo, ah! Malu aku. Panggil saja Wijaya. Manis kan...?"
Lanangseta tidak menyahut kecuali hanya mencibir dan menuruni tangga sejumlah 100 anak tangga itu. Lalu, tak berapa lama mereka tiba di depan sebuah ruangan khusus yang tertutup pintu batu berbentuk lengkung atasnya. Ruangan itu ada di dalam sebuah ruangan yang lebar, konon tempat para leluhur Kirana bertemu. Di depan pintu batu berbentuk lengkung atasnya itu, Lanang diam sesaat, menjernihkan hati dan pikirannya. Lanang masih ingat bagaimana cara membuka pintu tersebut. Dengan kelembutan.
Maka ia mengetuk pintu itu tujuh kali dengan lembut, dan tak lama pintu pun bergerak perlahan. Gerakan pintu ke samping dan sangat pelan. Kemudian tampaklah seorang perempuan dengan rambut terurai mengenakan jubah putih bening seperti dari bahan satin, dan begitu lembutnya sehingga bagian bawah gaun yang menyentuh ke tanah itu seperti busa-busa salju berserakan. Perempuan itu tak lain dari Sekar Pamikat, yang dulu pernah melekat di hati Lanangseta. Maka, begitu melihat kecantikan Sekar yang semakin mirip bidadari itu, hati Lanangseta bagai teriris pilu, ingat masa-masa perempuan cantik itu ada dalam pelukannya. Sayang ia sekarang sudah menjadi petapa suci yang... Pikiran Lanang tak sempat berlanjut karena ia melihat suatu kejanggalan pada diri Sekar Pamikat.
Perempuan cantik yang bersih, lembut bagai bidadari dan termasuk orang suci itu, kini berlutut di depan Lanangseta. Ia berlutut dan membungkukkan badan dengan kepala tertunduk sebentar.
"Apa-apaan ini? Aku ke mari mau minta ijin untuk mengambil bunga teratai," kata Lanang seperti bicara pada diri sendiri.
"Sekar... bangunlah." kata Lanang lagi.
"Sepantasnya saya memberi sembah dan hormat kepada Putra Dewa yang agung...." ucap Sekar Pamikat lirih. Tapi justru membuat Lanang kebingungan. Ia memandang Wijaya maksudnya hendak minta pertimbangan dan sedikit komentar tentang apa yang harus dilakukannya dalam keadaan begini. Tapi, tibatiba Wijaya sendiri bagai penuh ketakutan. Ia jadi berlutut, membungkukkan badan dan menundukkan kepala.
"Ampunilah saya... saya tidak tahu kalau Putra Dewa adalah orang yang pernah saya kenal dulu...." kata Wijaya yang bagai kehilangan candanya dan menjadi takut sekali.
"Sekar, apa maksud semua ini?!"
Jawab Sekar Pamikat sambil masih berlutut, "Saya mencium bau wangi darah dewa. Saya yakin, darah itu membekas di pedangmu. Dan saya harus tunduk, menyembah kepadamu, karena kau sudah menjadi Putra Dewa. Dan saya sudah siapkan setangkai teratai Wingit buatmu, semoga bahagia kau bersama putri Bukit Badai, semoga rukun selalu dengannya. "
Lanangseta bingung, apa yang harus dilakukannya? Betulkah dia lebih agung dari pada petapa suci Goa Malaikat ini?
***
4
TERATAI Wingit, ternyata nama setangkai bunga teratai berwarna jingga. Besarnya seukuran piring makan, mengabarkan bau harum yang lembut, lain daripada yang lain. Tangkainya ada satu jengkal berwarna merah tua. Memang cukup aneh dan menarik, tapi lebih dari itu, teratai Wingit seakan merupakan kunci perkawinan Lanangseta dengan Kirana. Di sanalah ada cinta. Dalam teratai itu tersimpan segenggam cinta suci penuh pengorbanan. Terserah pandangan yang memandang, Cinta Sekar Pamikat, atau cinta Lanang kepada Kirana?
Yang jelas, perasaan Lanangseta terbagi menjadi dua bagian ketika membawa pulang teratai Wingit itu, Antara bangga dan suka karena sebentar lagi ia akan mempersunting Kirana, serta haru karena ia telah melepas cintanya kepada Sekar Pamikat, bahkan Sekar Pamikat sendiri yang memetikkannya dan memberikan teratai itu kepada Lanangseta. Simbol suatu kemurnian cinta kasih yang diberikan dengan kerelaan dan pengorbanan.
Waktu meninggalkan Goa Malaikat, Lanangseta sempat diantar oleh Gopo dengan suatu penghormatan melebihi seorang panglima yang hendak berangkat bertempur. Gopo mengantar sampai di luar pintu goa, ia berdiri terus di samping lobang goa sampai Lanangseta menghilang di balik kerimbunan pohon lembah Bukit Badai.
Sepanjang perjalanan menuju Griya Teratai Wingit, hati Lanangseta tak henti-hentinya berdebar. Sesekali ia tersenyum membayangkan masa-masa indah yang akan dilaluinya bersama Kirana Sari. Sesekali Lanangseta sengaja mengendus bau harumnya teratai Wingit itu. Tapi pada suatu langkah, ia terpaksa harus berhenti dengan gerutu di dalam hati.
Dua orang berpakaian seragam menghadang Lanangseta. Mereka sama-sama mengenakan baju lapis logam yang dirajut sedemikian rupa sehingga menyerupai penutup dada. Kilatan cahaya matahari yang memantul dari baju anti senjata itu membuat mata Lanangseta mengerjap silau. Seragam celananya warna merah dari bahan halus dan mahal. Pada bagian tepi celana terdapat garis lurus dari pinggang ke mata kaki. Garis itu berwarna kuning gading. Demikian juga dengan baju lengan panjang yang rapat sampai pergelangan tangan mereka. Sedangkan di kepala mereka terdapat semacam topi keprajuritan warna biru tua berhias lempengan emas. Di bagian tengah topi ada semacam besi meruncing juga berwarna kuning emas. Sementara penutup dadanya yang berwarna tembaga dan berbentuk bulat. Kedua orang ini sama-sama bermata sipit dan berkulit kuning. Jelas mereka bukan dari bumi Nusantara, melainkan dari tanah seberang yang menurut dugaan Lanangseta, mereka dari negeri Cina.
"Tak salah lagi, inilah orangnya, Chang Hu," kata seorang dari mereka kepada temannya. Temannya manggut-manggut. Matanya yang sipit memandang tajam kepada Lanangseta. Lalu ia menjawab, "Ya. Ini orangnya. Kita bicara baik-baik, kalau dia tidak mau bersikap baik, baru kita hajar dia, Yang Lung."
Kedua orang itu dapat diketahui namanya, yang satu Chang Hu, yang satunya lagi Yang Lung. Untuk menandai yang mana Chang Hu, ialah pada kumisnya. Kumis Chang Hu tak begitu lebat, namun turun ke bawah dan nyaris menjadi satu dengan jenggotnya yang sedikit, mirip segenggam lumut hitam. Namun keduanya sama-sama pedang lebar bertangkai panjang, menyerupai sebuah tombak. Di antara pedang dan tangkainya terdapat rumbai-rumbai halus berwarna merah, saat ini mirip sejumlah rambut yang meriap-riap dihempas angin.
"Siapa kalian? Ada urusan apa denganku?" kata Lanangseta sambil semakin hati-hati membawa bunga teratainya.
"Aku Chang Hu, kepala keamanan kapal, dan ini wakilku yang bernama Yang Lung. Kami datang dari negeri Cina "
"Untuk keperluan apa?" tanya Lanang sambil alisnya berkerut tajam.
Yang Lung yang bertubuh sama besar dengan Chang Hu, hanya sedikit lebih pendek itu, segera menyahut jawaban, "Kami mendapat tugas dari Kaisar untuk mengawal Laksamana Chou ke negeri ini dalam urusan dagang. Dan seperti kau ketahui sendiri, Laksamana Chou mempunyai seorang anak gadis yang bernama Yin Yin. Selama ini kami sudah melarang kau berhubungan dengan Nona Yin Yin. Tetapi keduanya sama-sama nekad. Lalu, Laksamana Chou sudah hilang kesabarannya sejak putrinya kau bawa lari tiga hari yang lalu. Jadi, demi keselamatanmu, berikanlah kepada kami Nona Yin Yin, dan jangan lagi berhubungan dengannya. Dua hari lagi kapal kami akan bertolak kembali ke negeri Cina, dan "
"Tunggu sebentar!" sergah Lanangseta yang semakin tidak mengerti dengan kata-kata kedua utusan dari negeri Cina itu.
"Yin Yin itu siapa? Dan seperti apa ujudnya? Aku belum pernah mengenal Yin Yin!"
"Tak perlu berpura-pura begitu!" Chang Hu mulai menggertak dengan langkah maju satu kali. "Semua orang kapal tahu kalau kau sering menunggu Yin Yin di pantai, lalu mengajaknya ngobrol. Laksamana Chou sendiri pernah melihat kalian saling bergandeng tangan. Kau pikir, kau pantas berhubungan dengan Nona Yin Yin?! Dia anak seorang Laksamana, tahu? Bukan anak pelaut sembarangan!"
"Gawat!" pikir Lanangseta. Ini pasti salah alamat. Lanang sendiri merasa tidak pernah mempunyai teman gadis orang Cina, mengapa sekarang ia jadi terlibat urusan dengan kedua pengawal Laksamana Chou ini? Pasti ini ulah Prabima yang ingin menggagalkan perkawinan Lanang dengan Kirana. Entah dengan cara bagaimana, Prabima memanfaatkan tamu asing ini untuk terlibat urusan dengan Lanangseta. Karenanya Lanangseta segera berkata dengan tegas, "Chang Hu dan Yang Lung kalian salah alamat. Bukan aku orang
yang kalian cari. Aku memang mempunyai musuh, dan ia sangat licik. Mungkin kalian dimanfaatkan untuk menyerang aku dengan caranya sendiri."
"Hayaa... jangan bohong! Kamu membawa bunga teratai, bukan? Dan bunga itu adalah bunga kesukaan Nona Yin!" kata Yang Lung. "Pasti bunga itu akan kau sampaikan kepada Nona Yin, supaya dia bisa kamu bujuk untuk mengikuti semua keinginanmu. Betul, bukan?"
"Bunga teratai...?!" Lanangseta memandang bunga teratai Wingit yang masih di tangan kirinya, dekat dengan dada.
"Benar," sahut Chang Hu. "Kalau kamu tidak membawa bunga teratai, mungkin kami bisa kamu bohongi. Tapi bunga teratai itu sudah menandakan bahwa kamulah orang yang membawa lari Nona Yin. Kamu pasti mau serahkan bunga itu kepadanya, bukan?"
"O, bukan! Kalian salah duga...!" bantah Lanangseta. Sebenarnya ia ingin menerangkan keadaan sebenarnya, tapi Chang Hu sudah terlanjur hilang kesabarannya.
"Yang Lung...! Serang...!" teriaknya sambil maju menyerang Lanangseta dengan pedang jagalnya. Mau tak mau Lanangseta melompat menghindar ujung pedang yang menyerang ke arah dadanya. Namun pada waktu bersamaan tahu-tahu kaki Yang Lung menghentak ke atas, hampir membentuk sudut 180°. Tendangan itu mengenai pinggul Lanangseta sehingga Lanang menjadi limbung.
Lanang baru saja meletakkan kakinya ke tanah, dan disambut oleh pedang Yang Lung yang menebas kepala Lanang. Secepat kilat Lanang berguling ke depan. Chang Hu melompat dan jatuh di depan Lanang, sehingga Lanang tak jadi berdiri karena pedang itu dikibaskan, bagai sebuah sapu yang sedang menghalau kotoran.
Sekali lagi Lanangseta koprol dan menggunakan kesempatan untuk meletik bagai udang, lalu bersalto dua kali dan mendarat dengan manis di tempat sepi. Mereka berjarak antara 7 sampai 8 kaki dari kedua belah pihak.
"Tunggu sebentar, jangan keburu nafsu...!" teriak Lanangseta, maksudnya supaya mereka menahan kemarahan. Tapi seruan itu tidak dihiraukan. Chang Hu mengambil pisau belati dari balik punggungnya dan dilemparkan dengan kecepatan luar biasa ke tubuh Lanangseta. Lanangseta menghindar ke kiri, tapi ternyata kepalanya itu disambut oleh pisau kecil yang meluncur dari tangan Yang Lung.
Pada saat itu bunga teratai hampir jatuh dari tangan Lanangseta, sehingga pikiran Lanang terpusat untuk menyelamatkan bunga tersebut agar tak jatuh dari tangannya. Dan ia sempat tercengang melihat benda kecil mengkilat itu meluncur di depan hidungnya. Tak ada waktu dan kesempatan untuk menghindar. Hanya saja, benda tersebut tiba-tiba berbelok arah karena mendapat sentuhan benda kecil lainnya yang menimbulkan suara "Ting...!" Ternyata benda yang menyentuh pisau kecil itu adalah sebutir batu yang melesat dari arah balik pohon. Kesempatan itu digunakan oleh Lanangseta untuk bersalto ke belakang dan berdiri tegak di samping pohon tersebut.
"Hei...!" sapa seorang pemuda berpakaian compangcamping yang bertubuh kurus kerempeng.
"Bego...! Kenapa ada di sini?"
"Aku sedang jalan-jalan. Habis di rumah, paman Ludiro marah-marah terus padaku," kata Jaka Bego yang bersembunyi di balik pohon.
Lanangseta tak sempat ngobrol dengan Jaka Bego, karena kedua utusan dari negeri Cina itu telah menghampirinya dengan pedang bertangkai panjang tertuju ke arah depan. "Bawa bunga ini. Hati-hati, jangan sampai jatuh...!" Setelah menyerahkan bunga teratai Wingit kepada
Jaka Bego, Lanang pun menyongsong serangan lawannya dengan meloncat maju dan melewati atas kepala dua lawannya. Kedua prajurit negeri Cina itu berbalik arah. Mereka tetap menyerbu bersama dengan senjata yang kembar. Rumbai-rumbai merah di pangkal mata pedang itu berkelebat ketika Chang Hu mengibaskannya dalam jarak tiga langkah di depan Lanangseta. Lanang merundukkan badan dan mencoba menangkap tangkai pedang, namun ia gagal. Yang Lung telah mendahului meloncat dan bersalto ke arah Lanang dengan senjata panjang ditusukkan ke dada Lanangseta. Tapi Lanangseta mampu berkelit ke kiri dan memukul lengan Yang Lung dengan keras. Hampir saja senjata itu jatuh kalau tidak buru-buru diambil alih oleh tangan kiri Yang Lung. Pada saat itu, Yang Lung sempoyongan dan menyeringai kesakitan karena pukulan Lanang. Hal itu digunakan sebaik mungkin oleh Lanang untuk menendang punggung Yang Lung sehingga lelaki itu tersungkur.
"Kuminta kalian jangan membuang-buang nyawa di sini!" geram Lanangseta memperingatkan lawannya. "Aku tidak kenal dengan gadis yang kalian cari. Kalian salah duga!"
"Pencuri mana yang akan mengaku sebelum dihajar sampai hancur...!" balas Chang Hu sambil menyerang Lanang. Tombak bermata pedang itu diputar cepat di depannya, membentuk sebuah perisai yang agaknya sulit ditembus karena kecepatan putarnya. Lalu tibatiba putaran itu berhenti dan tahu-tahu ujung pedang telah melesat maju, nyaris menusuk leher Lanangseta jika Lanang tidak bergerak memiringkan badan ke samping kiri. Sambil mengelak, tangan Lanang berhasil memegang tangkai pedang tersebut. Chang Hu mencoba menariknya seketika, namun tak berhasil. Tetapi tangan kiri Lanang telah berhasil menghantam bawah ketiak Chang Hu, dan membuat Chang Hu meringis kesakitan.
"Kasihan mereka harus mati karena kesalahpahaman," pikir Lanangseta. Sebab itu ia segera melesat dalam satu hentakan kaki, tinggi, dan berguling di angkasa beberapa kali sehingga ia berhasil mencapai dahan pohon. Di luar dugaan, Yang Lung telah menyusulnya dengan satu kali hentakan badan, ia seperti terbang lurus ke atas dan bertengger pada satu dahan, sama dengan dahan yang diinjak Lanangseta. Ia segera menyerang dengan pedangnya yang panjang itu. Lanang mencoba mengelak dan menendang Yang Lung dengan kaki kanannya yang lurus ke samping atas dengan keras dan kaku. Yang Lung berteriak kesakitan setelah pelipisnya berhasil ditendang Lanang sekuatkuatnya. Ia limbung dan jatuh dari atas pohon tanpa mampu mengontrol keseimbangan tubuhnya.
Pada waktu Yang Lung jatuh, Jaka Bego ada di bawahnya persis. Ia segera berlari takut kejatuhan tubuh Yang Lung. Gerakan Jaka Bego yang ketakutan itu sempat mematahkan dahan pada pohon kecil di sampingnya. Patahannya membentuk keruncingan sendiri sehingga pada waktu Yang Lung jatuh, kaki Yang Lung sempat menghantam patahan dahan tersebut. Di luar dugaan, kayu runcing itu telah menusuk paha Yang Lung dan tembus sampai ke atasnya. Yang Lung menjerit kesakitan. Salah satu kakinya berhasil berdiri di tanah sedang kaki kirinya masih tersangkut pada dahan pohon yang runcing itu.
Waktu itu, Chang Hu meloncat tinggi sekali dan melesat ke arah Lanangseta. Gerakannya begitu cepat, ia melewati atas kepala Lanangseta, tapi ternyata kakinya bergerak ke belakang dan berhasil mengenai punggung Lanang. Lanang terjatuh tapi masih bisa mengatur keseimbangan tubuh. Lalu Chang Hu melompat sambil bersalto dan mendarat di dekat Lanangseta.
Sementara itu Yang Lung masih berteriak-teriak kesakitan dan menyumpah-nyumpah memakai bahasa Cina. Jaka Bego memperhatikan dari arah depan Yang Lung. Ia melongo sambil memandang wajah Yang Lung yang menyeringai menahan sakit akibat pahanya tertusuk dahan yang patah.
"Sakit, ya...?" tanya Jaka Bego dengan cemas. Yang Lung mengangguk. Ia menuding-nuding pahanya yang ditembus kayu sebesar tangkai pedangnya. Maksudnya meminta bantuan Jaka Bego untuk melepaskan kayu tersebut dari pahanya. Ia tak mampu melepas sendiri sebab posisinya terbalik, di mana wajah dan bagian dadanya menghadap ke tanah, sedangkan kayu itu menembus dari paha depan sampai ke paha belakang.
Jaka Bego segera meletakkan bunga teratai Wingit di atas kerimbunan semak. Lalu ia segera membantu Yang Lung melepaskan kayu yang menusuk pahanya.
"Wooaaaoo...!" teriak Yang Lung kesakitan ketika Jaka Bego menggerak-gerakkan kayu yang menancap di paha itu dengan kasar. Maksudnya untuk mencari kemudahan agar kayu bisa dicabut dengan gampang. Tapi justru gerakan kayu yang seperti diputar-putar itulah yang menambah rasa sakit Yang Lung.
Jaka Bego gugup, ia kembali ke depan wajah Yang Lung dan bertanya, "Masih sakit, ya?" Dan Yang Lung hanya bisa mengangguk-angguk tanpa bisa menjawab dengan kata.
Jaka Bego berlari mendekati pohon yang dahannya menancap di paha Yang Lung, lalu dengan mengambil posisi yang enak, tangan Jaka Bego memegangi dahan tersebut Dipegang erat-erat dengan kedua tangan, kemudian kakinya menendang selangkangan Yang Lung kuat-kuat. Sekali, dua kali, kayu belum tercabut tapi teriakan Yang Lung semakin kuat. Kemudian yang ketiga kali, tendangan kaki Jaka Bego semakin kuat menghentak selangkangan Yang Lung, dan tubuh itupun terpental sampai beberapa meter dengan cepat sekali.
Di luar dugaan tubuh Yang Lung melesat cepat dan menghantam pohon di depannya. Kepala Yang Lung membentur batang pohon, di mana pada batang pohon itu terdapat bekas tebangan dahan yang tersisa, bentuknya meruncing. Maka tak aneh lagi jika ubunubun Yang Lung menancap keras di bekas tebangan dahan yang meruncing itu. "Crook...!"
Yang Lung tak sempat berteriak lagi. Kepalanya berdarah. Ketika Jaka Bego mendekatinya, ia juga melihat ada darah yang ke luar dari selangkangan Yang Lung. Agaknya 'telur' Yang Lung pun pecah pada saat hentakan kaki Jaka Bego begitu keras menendangnya. Memang paha Yang Lung dapat terlepas dari kayu yang menancapnya itu, tapi di sisi lain, Yang Lung pun menemui ajalnya karena ubun-ubunnya tertancap pada bekas potongan dahan yang meruncing, serta bagian alat vitalnya rusak karena hentakan kaki Jaka Bego.
Melihat kenyataan itu, Jaka Bego terbengongbengong. Ia menggumam sendiri setelah memeriksa Yang Lung ternyata tidak bernyawa lagi. "Kok bisa mati, ya? Padahal aku cuma menolong melepaskan kayu itu, tapi kenapa jadi melepaskan nyawanya sekalian, ya?" Jaka Bego garuk-garuk kepala.
Jaka Bego segera berlari ke daerah pertarungan antara Lanang dengan Chang Hu. Waktu itu, Chang Hu sedang memainkan jurus pedang bertongkat yang dapat melilit-lilit di sekujur tubuhnya. Lanangseta sedang bersiap mencari kelengahan dan celah bagus untuk menghantam Chang Hu. Tetapi Jaka Bego seperti orang yang tidak tahu bahaya. Ia mencoba mendekati Chang Hu dan tangannya meraih-raih dengan ngeri seraya berkata, "Bah.... Bah...! Itu, tuh, temannya mati...! Bah, temannya mati di sana. "
Tangan Jaka Bego tak berhasil menyentuh tubuh Chang Hu, sekali pun ia hanya bermaksud mencoleknya. Lanang yang mengetahui ketololan Jaka Bego jadi cemas.
"Bego! Jangan di situ nanti kau kena senjatanya. !"
Tapi Jaka Bego tidak mendengar seruan Lanangseta, sebab desau angin permainan pedang bertangkai itu cukup menutup gendang telinganya. Ia tetap berusaha menyentuh dan mencolek lengan Chang Hu, tapi tanpa sengaja colekan tangan Jaka Bego mengenai kepala Chang Hu, sehingga kepala itu seakan didorong dan disentakkan ke depan.
Chang Hu berhenti, tak jadi membuka jurus permainan pedang melingkar. Ia melotot kepada Jaka Bego, "Anak tak tahu sopan! Kepala orang tua dibuat mainan seenaknya...! Rasakan hukumanku ini, hihh !"
Chang Hu menebaskan tangkai pedangnya bagian bawah untuk memukul Jaka Bego. Tapi Jaka Bego berhasil menghindar dengan ketakutan dan tangan dijulurkan ke depan. "Jangan...! Jangan marah sama saya. Maaf. Saya cuma mau bilang kalau teman Babah mati di sana tuh !"
Chang Hu menggeram, lalu hendak memukul Jaka Bego lagi. Tapi Jaka Bego segera lari ketakutan seraya berseru minta tolong. "Toloooong !"
Chang Hu yang sudah naik pitam segera mengejar Jaka Bego. Rupanya Jaka Bego dapat berlari lebih cepat dan lebih lincah. Bahkan Jaka Bego berhasil segera memanjat pohon dengan cepat seperti seekor beruk hendak memilih kelapa. Lanangseta segera menerjang Chang Hu setelah dilihatnya lelaki bermata sipit itu hendak menggunakan ilmu peringan tubuh untuk mendahului Jaka Bego sampai di dahan pohon. Akibat terjangan kaki Lanang, Chang Hu terpental dan terguling-guling.
Pada sat itu Jaka Bego berhasil sampai di sebatang dahan. Ia berseru sambil jingkrak-jingkrak bergelayutan.
"Syukur...! Syukur...! Diberitahu baik-baik malah maraaah...!" Jaka Bego jatuh karena dahan yang dienjot-enjot itu patah seketika. Ia menjerit ketakutan.
Tepat pada saat itu, Chang Hu bergegas untuk bangkit. Namun baru beberapa bagian, tahu-tahu ia telah ditimpa dahan pohon bersama tubuh Jaka Bego. Dahan pohon sebesar paha orang dewasa itu mengenai kepala Chang Hu. "Trook...!" Terdengar keras suaranya. Sementara itu, ternyata ada ranting kecil yang sempat menancap di leher Chang Hu sehingga Chang Hu menjerit kesakitan. Jaka Bego juga menjerit ketakutan, karena hampir saja pundaknya terkena pedang Chang Hu yang berdiri itu. Ia bergegas bangkit dan hendak menyingkir dari atas tubuh Chang Hu yang merontaronta sambil kesakitan. Tapi, Jaka Bego terpelanting jatuh menindih bagian dahan yang kering. Chang Hu menjerit ketakutan. O, ternyata masih ada ranting sebesar ibu jari yang menusuk dalam lengan Chang Hu, pantas ia menjerit makin keras.
Tangan Jaka Bego terjulur minta ditolong Lanangseta agar tubuhnya bisa cepat ke luar dari dahan dan ranting yang ruwet karena daun-daunnya itu. Semakin Jaka Bego meronta bangun, semakin sakit saja luka Chang Hu, sebab dahan itu bagai semakin ditusukkan ke tubuh Chang Hu.
"Hoaaa...! Huuuh...! Aaaaoow...!" Chang Hu berteriak-teriak tak karuan. Lanangseta segera menggeret tangan Jaka Bego, dan pemuda kurus kerempeng itu berhasil keluar dari keributan dahan dan ranting yang tak teratur itu.
"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" kata Lanangseta. "Orang itu, bagaimana?" seraya Jaka Bego menuding
Chang Hu, yang masih berusaha melepaskan diri dari rimbunan dahan yang patah menjatuhi dirinya.
"Biarkan saja! Ia bisa keluar dari kesulitannya! Ayo...!" Lanangseta bergerak lari meninggalkan tempat tersebut. Jaka Bego sempat berpamitan kepada Chang Hu, "Bah... saya pergi dulu, ya? Tidak bisa menolong, habis.,, dia menyuruhku cepat-cepat pergi.... Tuh, aku ditinggalnya kan?" Kemudian tanpa menunggu jawaban dari Chang Hu, Jaka Bego menyusul Lanangseta.
"Untung kau datang dan bisa menyelesaikan masalah itu," kata Lanang seraya berlari ke arah Griya Teratai Wingit.
"Hebat saya, ya? Bisa mengetahui ada pencuri gadis Cina," ujar Jaka Bego sambil meringis.
"Kau pikir benar-benar aku yang melarikan gadis itu?" sanggah Lanang yang mengerti, bahwa Jaka Bego ternyata sejak tadi telah mendengar pembicaraan Lanang dengan dua utusan Laksamana Chou itu.
"Jadi, bukan kamu yang melarikan gadis Yin Yin itu?"
"Bukan!"
"Aku juga bukan kok...!" kata Jaka Bego takut dituduh.
Lari mereka begitu cepat. Dalam waktu beberapa saat sudah hampir sampai rumah Kirana. Tapi tiba-tiba Lanang ingat sesuatu. Ia berhenti dan memandang tegang pada Jaka Bego. "Hei...!" serunya. "Di mana bunga teratai itu?"
"Hah...? Bunga itu? Astaga... kutinggalkan di atas semak sana tadi. Aku lupa membawanya kembali...!" "Bego! Tolol! Itu bunga berharga bagiku...!" Dengan tenang Jaka Bego menjawab, "Aaah... hanya setangkai bunga saja kok harus marah. Nanti gampang cari lagi."
"Tolol...! Itu bukan sembarangan bunga? Aduuh... Bego, Bego!" teriak Lanangseta sambil meringis geram dan dongkol.
***
5
BERUNTUNG sekali teratai Wingit masih ada di tempatnya, di atas dedaunan semak belukar. Lanangseta segera memungutnya, mencium bunga itu sekali, lalu mendekapnya dengan hati-hati.
"Sifatmu berubah, Lanang. Sudah mulai mendekati kebanci-bancian," ujar Jaka Bego melihat Lanangseta seperti seorang perempuan yang menyukai bunga. Lanang tidak menghiraukan kata-kata itu. Baginya, mendapatkan teratai Wingit sama saja mendapatkan segalanya, tanpa harus peduli omongan orang.
"Hei, Lanang...? Ke mana mayat orang Cina tadi?" Jaka Bego terkejut melihat keadaan di sekitar situ sudah kosong. Hanya ada ceceran darah yang menandakan bekas tergeletaknya mayat orang berpedang panjang itu. Juga dahan-dahan pohon serta rantingnya yang bagai menimbun Chang Hu itu sudah berserakan. Ada bekas darah, tapi kedua orang itu tidak ada. Menghilang? Atau dimakan binatang buas? Atau bersembunyi di suatu tempat untuk menyerang dari belakang?
"Kurasa Chang Hu berhasil selamat dari timbunan dahan, lalu ia membawa pulang mayat wakilnya itu," kata Lanangseta sambil menatap ke sekeliling.
"Akan kucari mereka...!" Jaka Bego hendak pergi. "Hei, jangan berbuat bodoh, Bego! Kau bisa dihadang
oleh teman-teman Chang Hu. Mereka datang ke mari satu kapal bersama Laksamana Chou. Sebaiknya mari kita pulang ke Griya Teratai Wingit saja."
"Yaah... kalau kau mengkhawatirkan diriku, ya sudah "
Jaka Bego nyelonong pergi ke arah Griya Teratai Wingit. Lanangseta mengikutinya dari samping. Sempat pula Lanang menanyakan kedatangan Jaka Bego dan Ludiro.
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Mahani, Bego?"
"Mahani tetap saja seorang gadis cantik," jawab Jaka Bego seenaknya.
"Tak ada halangan sampai di Desa Tayub?"
"Tidak. Kami-kami memang tidak mencari halangan kok. Pokoknya, kami sudah antar dia sampai di Desa Tayub, lalu paman Ludiro mengajakku pulang ke rumah Rama Sabdawana."
"Kapan kau sampai? Tadi pagi?"
"Maksudmu sampai di rumah Rama Sabdawana?" "Ya."
"Kemarin lusa!" tegas Jaka Bego. "Tiga hari yang lalu kami sudah sampai di rumah Rama Sabdawana."
"Tiga hari yang lalu?!" Lanang berkerut dahi.
"Iya! Kamu pikir kami mampir-mampir dulu setelah dari Desa Tayub? Uuh paman Ludiro yang tidak mau
diajak mampir nonton orang adu jago. "
Lanang membiarkan Jaka Bego berceloteh sendiri, sementara Lanang memikirkan waktu yang ternyata telah bergerak di luar kesadarannya. Jadi menurut perkiraannya ia sudah ada tiga atau empat hari di dalam Goa Malaikat itu.
"Mungkin terlalu asyik ngobrol dengan Gopo sehingga lupa bahwa waktu telah berubah dengan cepat. Tapi, ah... goa itu memang misterius. Aneh. Perbedaan waktu di dalam goa dengan di luar goa memang sangat menyolok. Baru saja berada di dalam goa beberapa saat, ehh... tahu-tahu sudah beberapa hari menurut perhitungan waktu di luar goa "
Lanangseta juga berceloteh sendiri di dalam hatinya. Kemudian ia segera mempercepat langkah, takut kalaukalau kepergiannya yang sudah beberapa hari itu menimbulkan kerinduan di hati Kirana, dan membuat racun dalam darah gadis itu. Oh, tidak. Lanang tidak ingin Kirana menderita rindu seperti dulu lagi. Ia harus segera sampai di rumah dan memeluk Kirana dengan mesra.
Tapi ketika mereka tiba di Griya Teratai Wingit, keadaan cukup sepi. Tak terdengar suara Ludiro, atau Rama, atau Kirana, dan bahkan suara para pengawal pun tak ada. Mencurigakan sekali.
"Ke mana mereka? Kok sepi-sepi saja?" tanya Lanangseta kepada Sambu, pelayan yang dulu tekun menghidangkan makanan dan minuman ketika Lanang dalam perawatan.
"Mereka pergi, Mas Lanang," jawab Marwa. Pada waktu itu Jaka Bego langsung masuk ke dapur mencari makanan.
"Pergi? Pergi ke mana?" Lanang mulai cemas.
"Ke Lembah Berdarah, memenuhi panggilan sahabat lama Rama Sabdawana, katanya."
"Astaga...!" Lanang kebingungan, ia mencari-cari seseorang yang diperkirakan bersembunyi sengaja mempermainkan dirinya, tapi memang tidak ada. Sepi dan lenggang. Hanya ada dua pengawal di pintu gerbang dan dua pelayan yang bernama Marwa serta Sambu.
"Siapa saja yang ke Lembah Berdarah?!" tanya Lanang kepada Sambu.
"Rama dan putri, serta... paman Ludiro. Hanya saja, murid-murid lainnya mengikuti dari belakang secara sembunyi-sembunyi. Mereka mengkhawatirkan keselamatan Rama. Mereka tahu kalau hari ini, tepat matahari di atas kepala manusia, Rama akan bertarung melawan musuh lamanya: Begal Dogol. Para murid tak sampai hati untuk membiarkan begitu saja, tanpa turut campur dalam urusan ini."
"Gawat...!" Lanang masih kebingungan, mondarmandir sambil memegangi buah teratai Wingit. Lanang tak ingat kalau hari ini adalah hari penantangan Begal Dogol. Ini berarti ia tak boleh diam begitu saja Ia harus menyusul ke Lembah Berdarah, apalagi calon istrinya ada di sana, paling tidak Lanangseta harus melindungi Kirana dari keusilan Prabima Wardana, bekas pemuda yang ditolak cintanya oleh Kirana Sari.
"Marwa," panggil Lanangseta kepada pelayan itu. "Tolong simpan bunga ini baik-baik, ya? Jangan sampai layu, dan jangan boleh ada yang menyentuhnya sebelum kami pulang dari Lembah Berdarah. Ngerti?"
"Baik, Mas Lanang," Marwa menerima dengan hatihati. Ia memperhatikan takjub kepada bunga itu, kemudian membawanya ke dapur. Lanang sendiri segera pergi setelah ia mendapat penjelasan dari kedua pengawal pintu gerbang tentang letak Lembah Berdarah.
"Lanang...! Tunggu akuu...!" teriak Jaka Bego. Lanang tidak peduli. Ia melesat cepat menuju Lembah Berdarah. Jaka Bego sibuk mengambil daun pisang dan membungkus beberapa potong singkong rebus yang sudah dicampur dengan parutan kelapa. Dengan tergesa-gesa ia membungkus singkong itu, lalu segera lari ke luar halaman, dan ternyata Lanang sudah tidak kelihatan lagi.
"Brengsek...!" gerutunya dengan kesal.
Lanang memang lebih memikirkan keselamatan calon istrinya. Memang Kirana dan Sabdawana dikawal oleh Ludiro yang punya badan kebal senjata itu, namun bukan hal aneh lagi jika Begal Dogol menggunakan cara-cara yang licik untuk membunuh Sabdawana beserta pengikutnya.
Kecemasan Lanang itu memang benar. Sebab pada saat itu, di Lembah Berdarah yang tandus itu, ternyata Begal Dogol tidak hanya sendirian. Begitu Sabdawana dan Kirana yang didampingi terus oleh Ludiro itu sampai di sebuah tonjolan batu cadas, tahu-tahu Begal Dogol muncul beserta empat anak buahnya. Begal Dogol di tengah, dikawal kanan kiri dengan masingmasing sisi dua orang.
"Sabdawana...." sapa Begal Dogol dengan senyum sinis. "Kita berjumpa lagi. Selamat datang di Lembah Berdarah, tempat kita dulu bertarung, dan tempat istriku mati oleh pedangmu. Hei, di mana pedangmu yang dulu itu, hah? Kau kelihatannya tidak membawa apa-apa, Sabdawana? Bukankah lebih baik kita bertarung dengan menggunakan pedang yang kau pakai membunuh istriku dulu?!"
Sabdawana yang tenang dan berwibawa itu hanya berkata, "Aku datang bukan untuk perang, Dogol. Aku datang untuk menyelesaikan dendammu secara baikbaik. Jangan lagi ada pertumpahan darah di antara kita. Kita ini sudah tua-tua, sudah waktunya masuk liang kubur, janganlah akhir dari hidup diwarnai dengan semburan darah dendam."
Begal Dogol tertawa, demikian juga kedua anak buahnya di kiri, dan kedua yang di kanan.
"Belum-belum sudah takut duluan," kata Begal Dogol kepada keempat pengawalnya. Kemudian ia berseru, "Sabdawana, mungkin kamu tahu kalau selama ini aku telah banyak menimba ilmu sehingga kau takut menghadapiku. Baiklah.... kalau begitu, kau berhadapan saja dengan anak buahku. Pilih salah satu dari keempat muridku ini: Sargowi, Peot, si Bonyok, atau Bujel...." Begal Dogol memperkenalkan keempat pengawal di kanan kirinya. "Pilih salah satu, mana yang hendak kau lawan. Jika kau kalah, berarti aku akan melupakan namamu, dan kalau kau menang, aku akan melupakan almarhumah istriku. Pilih, yang mana yang akan kau lawan...?"
"Tak seorang pun akan kulawan, Begal Dogol. Aku merasa sudah tua, sudah sepatutnya menghindari perkelahian."
"Kalau begitu aku harus memaksamu, ya?" "Biar saya yang maju, Rama," bisik Ludiro.
Sabdawana berkata, "Jangan. Biarkan dia mati dengan nafsunya sendiri."
Begal Dogol bersuit panjang. Tahu-tahu dari segala penjuru muncul anak buah Begal Dogol, jumlahnya lebih dari 50 orang. Masing-masing mempunyai senjata beraneka ragam. Dan mereka serempak maju, mengurung Sabdawana serta Ludiro dan Kirana. Suara mereka bergemuruh seperti lebah yang siap menyengat. Anehnya, dari sekian banyak orang yang mengepung, tak terlihat wajah Prabima Wardana. Padahal, Kirana sengaja ikut ke Lembah Berdarah hanya untuk membunuh Prabima, yang telah mengacaukan percintaannya dengan Lanangseta selama ini. Sayang pemuda itu tidak menampakkan diri, dan sekarang sekian banyak orang telah siap membunuh mereka bertiga. Mereka membikin satu lingkaran yang merupakan pagar betis di mana ketiga orang Griya Teratai Wingit itu tidak akan bisa keluar dari kurungan itu. Ludiro waktu itu hanya menggumam, "Licik...!" Dan matanya semakin liar.
Begal Dogol tertawa. "Kalau sudah begini apakah kau tetap tidak akan mau bertarung melawan kami, hah?"
"Kau boleh bunuh aku, tapi jangan sentuh putriku!" kata Sabdawana. Dan Begal Dogol hanya tertawa. Lalu dari arah belakang Begal Dogol, muncul beberapa orang yang telah meringkus enam murid Sabdawana. Ternyata para murid itu telah berhasil diringkus sewaktu mengikuti Sabdawana dengan diam-diam. Dan kini Sabdawana terbelalak melihat keenam muridnya menjadi tawanan mereka.
"Sabdawana...? Ini murid-muridmu, bukan?" kata Begal Dogol dengan angkuh. Sabdawana tak menjawab, Kirana dan Ludiro menjadi tegang. Ada Bonang dan Lande di sana. Mereka berdua mempunyai ilmu yang cukup bisa diandalkan, tapi nyatanya mereka masuk dalam tawanan anak buah Begal Dogol. Berarti tak ada apa-apanya Bonang dan Lande itu. Ludiro tak sabar menunggu penyerangan, sayang Sabdawana tidak segera memberi komando dan bahkan diam dengan tenang. Malahan ketika Dogol menyeret salah seorang murid Sabdawana, Ludiro menjadi tegang sekali. Murid Sabdawana tersungkur di depan kaki Begal Dogol, kemudian dengan kejam Begal Dogol menusukkan tongkat berbentuk ular sanca di kepala murid tersebut. Suara teriakan histeris berbarengan dengan tawa Begal Dogol dan orang-orangnya. Kepala orang itu tembus ditusuk tongkat Begal Dogol dan tubuh itu pun berkelojot sebentar lalu tak bergerak lagi.
"Jahanaaam...!" geram Ludiro tak sabar lagi. Tetapi tangan Sabdawana merentang, memberi isyarat agar Ludiro tenang dan tidak bertindak apa-apa.
"Kau masih tak mau bertanding denganku, Sabdawana?!" kata Begal Dogol dengan suara dingin. "Aku selalu menghindari perselisihan, Dogol."
"Bah!" geram Begal Dogol yang berambut panjang dan berjenggot panjang, sama putihnya itu. Mata tuanya yang keriput memandang nanar. Jubahnya yang merah bergerak-gerak ditiup angin lembah.
"Sebagai seorang guru, kau tidak patut dihormati! Kau biarkan muridmu mati, kau tak mempunyai pembelaan sedikitpun kepada murid-muridmu ini! Guru macam apa kau?!" Kakek tua itu menjadi dongkol sendiri. Tapi Sabdawana menjawab dengan tenang, dan masih berwibawa, "Muridku sudah siap mati untuk gurunya. Karena mereka mencintai aku. Apakah kau mempunyai murid seperti mereka? Kurasa mereka hanya bisa pasang tampang modal badan, tapi tidak mempunyai nilai pengabdian terhadap seorang guru. Lihat, mereka... wajah-wajah mereka mulai cemas, karena merasa takut hanya dijadikan umpan kemarahanmu saja. Lihat, mana ada wajah mereka yang tenang seperti murid-muridku? Semua wajah sekarang tahu, bahwa sebentar lagi mereka akan dijadikan umpan pertama untuk mencoba ilmuku "
Terdengar suara kasak-kusuk dan gerutu tak jelas dari orang-orang yang mengurung Sabdawana. Agaknya kata-kata Sabdawana menjadi bahan pertimbangan bagi mereka. Dan hal itu membuat Begal Dogol menjadi tambah panas hatinya. Ia menarik salah seorang murid Sabdawana, lalu orang itu dihantam dengan tongkat ular, "blegaaar...!" Suara ledakan terdengar mencengangkan. Orang yang dihantam tongkat itu hancur bagai serpihan daging mentah. Mengerikan sekali. Ludiro menggeram dan Kirana menghela nafas dalam-dalam. Tapi Sabdawana tetap tenang.
Begal Dogol semakin garang. "Lihat, lihat muridmu ini, kalau tidak kau bela, maka mereka akan mati hancur berkeping-keping seperti orang ini, tahu?! Akan kubunuh mereka satu persatu untuk membuktikan bahwa kau memang seorang guru yang banci! Penakut! Dan tak pantas dihormati."
"Pikiranmu salah, Dogol," kata Sabdawana dengan tenang namun suaranya cukup menggema di sela-sela perbukitan itu. "Kau justru menambah semangat murid-muridku untuk mati membela gurunya. Mereka yang akan kau bunuh itu tahu betul, bahwa hidup itu tidak harus saling mendendam, seperti ajaranku kepada mereka. Sekarang mereka melihat buktinya bahwa aku sendiri dapat bersikap sabar dan mengalah demi kemenangan yang sebenarnya. Tetapi bagaimana dengan murid-muridmu yang sebanyak ini? Apakah mereka tidak akan menilai kau sebagai seorang guru yang tak pantas menjadi panutan? Tindakanmu kejam dan di luar batas kemanusiaan. Kurasa mereka mulai cemas, kalau-kalau suatu saat mereka akan menjadi korban kekejamanmu seperti itu. Barangkali mereka hari ini bisa membunuh kami, tapi di kemudian hari, mereka juga akan menjadi korbanmu, Dogol. Mereka sekarang mulai tahu, bahwa kau selama ini hanya bermanis muka, selama ini kau berusaha merebut perhatian mereka, sehingga mereka tunduk kepada perintahmu. Tetapi di balik kebaikanmu selama ini, mereka sekarang mulai sadar bahwa mereka sengaja dipersiapkan untuk acara seperti ini, yaitu sebagai umpan dan sebagai percobaan ilmuku. Kalau ilmuku lebih hebat dan bisa membunuh mereka lebih sadis dari kamu, kau akan lari meninggalkan mereka. Kau akan mencari ilmu lagi, sementara murid-muridmu itu akan mati secara bersamaan di tanganku. Aku yakin, Dogol... murid-muridmu sekarang ini sedang berfikir, mengapa kau tidak berbuat sekejam itu. Aku yakin, mereka tahu kalau aku bisa membunuh mereka dengan sekali gebrak empat-lima orang akan mati seketika. Mereka jangan dianggap bodoh, Dogol. Mereka itu tahu, kalau orang diam itu ilmunya pasti tinggi, dan mereka mulai menyesal mengikuti orang semacam kamu, Dogol. Kurasa hati mereka saat ini sedang bertanya-tanya, haruskah mereka menjadi korban urusan pribadimu? Kau membela istri, tapi mereka...? Siapa yang membela istri mereka dan keluarga mereka jika mereka mati di sini? Apakah kau akan menjamin? Belum tentu. Mungkin kau bilang akan menjamin keluarganya, tapi jika mereka sudah terlanjur mati sia-sia dan kau tidak menjamin keluarganya, apakah mereka bisa menuntutmu? Kau pasti akan mengingkari janji kepada mereka. Kalau orang yang bisa berbuat kejam terhadap orang lain sepertimu, mengapa tak bisa berbuat kejam terhadap mereka juga? Pasti bisa. Pasti suatu saat kau perlakukan mereka seperti kau memperlakukan muridmuridku. Percayalah Dogol... saat ini mereka yang mengurung kami sedang menimbang-nimbang, apakah mereka harus menjadi korban urusan pribadimu, sedangkan pribadinya sendiri tidak kau urusi, atau mereka lebih baik mengikuti aku, menjadi orangorangku dan dapat hidup damai di Griya Teratai Wingit sana. Lihat, wajah-wajah mereka itu menampakkan suatu keinginan. Keinginan hidup dengan damai bersama anak-istri dan keluarganya."
"Tutup mulutmu!" teriak Begal Dogol. Kemarahannya semakin meluap. Ia berseru kepada orang-orang yang mengurung Sabdawana. "Serang mereka...! Serang...!"
Sepi. Tak ada yang bergerak. Masing-masing saling bertatap-tatapan, masing-masing menunggu temannya berbuat. Orang-orang yang mengurung Sabdawana itu menampakkan keragu-raguannya. Begal Dogol tegang.
"Serang mereka, lekas! Seraaang...!"
Mereka dalam kebimbangan. Salah seorang membuang senjatanya ke tanah. Lalu di ujung sana juga ada yang membuang senjatanya. Lalu disusul yang lainnya. Senjata berjatuhan, berdenting ramai bagai sedang dikumpulkan.
"Tolol...! Jangan mau terhasut oleh omongannya...! Serang mereka?! Hei, hei... apa-apaan kalian membuang senjata? Goblok! Benar-benar goblok...!" Begal Dogol kebingungan.
Orang-orang yang mengepung Sabdawana menjadi loyo. Mereka pergi menyisih setelah membuang senjatanya di tempat. Agaknya kata-kata Sabdawana berhasil meresap dalam hati dan pikiran suci mereka. Sampai-sampai tak seorang pun mau berdiri di tempatnya semula. Oh, begitu hebat ilmu yang digunakan Sabdawana. Dalam tempo beberapa saat ia dapat menundukkan hati orang-orang sangar itu. Rupanya ilmu Lebur Hati inilah yang menjadi andalan Sabdawana. Bukan hanya sekedar bicara, namun ia mampu menggerakkan hati mereka dengan kelembutan tenaga dalamnya yang benar-benar mengagumkan. Kini, orang-orang itu menepi, duduk memandang ke arah arena pertempuran yang telah kosong, kecuali Sabdawana beserta dua orangnya, dan Begal Dogol dengan keempat pengawal setianya. Bahkan orangorang yang meringkus anak buah Sabdawana itu pun menepi sambil melepaskan ikatan pada tangan tawanannya.
"Gila! Mengapa mereka jadi seperti buruh menunggu uang upah mingguannya?!" teriak Begal Dogol.
Pada saat itu, seorang bertangan buntung ke luar dari balik batuan cadas setinggi lima tombak. Melihat salah satu tangannya buntung, tanpa telapak tangan, Kirana jadi ingat Lanangseta. "Pasti orang itulah yang mengirimkan surat tantangan dan akhirnya dipotong tangannya oleh Lanangseta. Ah, tapi ke mana dan sedang apa Lanang sekarang?" pikir Kirana saat itu. "Biar aku yang menghadapi mereka lebih dulu, Guru," ujar si tangan buntung.
"Serang mereka Braja...!" perintah Begal Dogol.
Kalau saja waktu itu Lanang sudah ada di tempat, tentu orang itu bagian Lanangseta. Pasti orang yang bernama Braja itu akan menyerang Lanangseta lebih dulu, karena ia ingin membalas dendam atas hilangnya sebelah telapak tangannya. Sayang waktu itu Lanangseta masih dalam perjalanan menuju Lembah Berdarah.
Lanang berlari dengan cepat menyusuri tepian hutan, kemudian menembus hutan lagi, memotong jalan cepat menuju Lembah Berdarah. Ia tak berhenti berlari, karena ia merasa harus cepat sampai di Lembah Berdarah sebelum Kirana yang kondisi tubuhnya masih lemah itu jangan sampai terluka oleh kelicikan orangorangnya Begal Dogol.
Terdengar suara pedang beradu di kejauhan. Lanangseta yakin, "Itulah pertarungan antara Sabdawana dan Begal Dogol. Tapi kedengarannya hanya dua pedang yang beradu. Berarti Begal Dogol tidak main keroyokan," pikir Lanang. Ia mempercepat langkahnya, menggunakan ilmu peringan tubuh lagi.
Namun alangkah kagetnya Lanangseta ketika ia baru saja akan sampai di tempat pertarungan itu, ternyata ia melihat Jaka Bego sedang makan singkong dalam daun. Jaka Bego agaknya sudah sejak tadi menyaksikan pertarungan di daerah tandus itu. Pertarungan antara Ludiro dengan lelaki bertangan buntung. Jaka Bego menyaksikan dari atas cadas yang menjulang tinggi. Ia duduk dengan santai sambil makan singkong dan memandang pertarungan tersebut.
"Hei...!" sapa Lanangseta dengan terengah-engah.
Jaka Bego menengok, lalu bersungut-sungut, "Kamu jahat. Kau meninggalkan aku, pergi sendiri tidak mau ajak-ajak aku "
"Tapi nyatanya kau datang lebih dulu kan?"
"Hah ?" Jaka Bego bingung. "Jadi, kau baru datang,
ya?"
Lanangseta menghempaskan nafas. Kesal juga mendengar lagak Jaka Bego.
"Wah, kalau begitu kau tidak melihat Rama Sabda menggunakan ilmunya, ya?"
"Apa? Jadi, Rama Sabda sudah bertanding melawan Begal Dogol?" Lanang agak terkejut dan was-was.
"Bukan melawan Begal Dogol, tapi melawan orangorang yang segitu banyak mengurungnya tadi. Hanya dengan kata-kata, hebat kan? Dengan kata-kata saja musuh jadi buang senjata dan sekarang malah menjadi penonton setia. Itu, lihat mereka yang duduk di pinggiran sana. itu tadi mereka sudah siap menyerang
Rama Sabda, tapi dengan kata-kata Rama Sabda, mereka jadi luluh hatinya dan membuang senjatanya. Huhh... kamu suka mampir-mampir kalau pergi, jadi tidak sempat menyaksikan kekuatan ilmu Lebur Hati."
"Kekuatan ilmu Lebur Hati? Kok kamu tahu kalau Rama Sabdawana menggunakan kekuatan ilmu Lebur Hati?"
"Aku mengarang sendiri," jawab Jaka Bego sambil menggigit singkongnya lagi. "Habis aku tidak tahu namanya, maka kukarang sendiri saja. Ilmu Lebur Hati " Lanang tertegun beberapa saat. Dia ingat, dulu
Kirana pernah bercerita tentang ilmu Lebur Hati yang dimiliki oleh leluhurnya, termasuk ayah Kirana. Tapi, mungkinkah hal semacam itu juga diceritakan Kirana kepada Jaka Bego? Jika tidak, dari mana Jaka Bego mengetahui adanya ilmu Lebur Hati? Apakah benar ia hanya asal ucap saja?
"Hei, lihat...!" seru Jaka Bego. "Sekarang dua orang menyerang putri Sabdawana...! Tuh, lihat...! Ah, ah... kasihan seorang perempuan harus dilawan dengan dua orang "
Ketika Jaka Bego melongok ke bawah, ternyata Lanang sudah tak ada di tempatnya semula. Ia menggerutu, "Sialan! Diajak ngomong capek-capek tidak tahunya sudah pergi...! Eh, kok itu Lanang sudah sampai sana. ?"
Jaka Bego bergegas turun dari batuan cadas dan berlari ke arah pertarungan itu. Ia dengan membusungkan dada sambil membawa bungkusan daun pisang masuk ke dalam arena. Ia mencolek Lanang dan berkata, "Jangan turut campur. Biar aku dulu yang menghadapi mereka. Tolong bawakan ini "
Jaka Bego menyerahkan bungkusan singkong kepada Lanang. Lanangseta menerima dengan terbengong melompong, sedangkan Sabdawana yang tak jauh dari Lanang hanya tersenyum tipis. Kemudian mereka membiarkan Jaka Bego masuk dalam arena, melibatkan diri dengan serangan-serangan dari anak buah Begal Dogol yang masih setia itu.
"Berhenti...! Berhenti semua...!" teriaknya dengan sesekali menaikkan celananya yang seakan mau melorot.
Semua jadi berhenti. Ludiro tetap memegang pedang Jalak Pati, Kirana mundur, dan kedua musuh Kirana juga berhenti, demikian pula si tangan buntung yang ikut berhenti bagai terkejut oleh sesuatu yang mengagetkan.
"Semua pertarungan harap dibatalkan!" seru Jaka Bego.
"Apa-apaan kau anak ingusan!" bentak Begal Dogol.
Jaka Bego berlari sebentar mendekati Lanang dan berbisik keras, "Aku juga punya ilmu Lebur Hati. Lihat. "
Jaka Bego kembali ke tempat, sementara Sabdawana terkejut mendengar ilmu itu disebutkan. Ia memandang Lanang.
"Siapa dia sebenarnya?"
Lanang angkat bahu. "Yang saya tahu, dia bocah misterius, Rama "
Mereka hanya bisa memandang tingkah Jaka Bego yang sesekali membingungkan, sesekali menjengkelkan, dan yang jelas sering mengherankan. Jaka Bego saat itu sedang bicara sambil menghadap kepada orang-orang yang duduk menjauh dari arena tersebut.
"Perkenalkan, namaku Jaka Bego. Pernah membunuh sembilan pendekar dari berbagai negeri !"
Orang-orang yang duduk menjauh itu bertepuk tangan. Jaka Bego nyengir sambil menghormat seperti petinju mau bertanding. Lalu ia berseru lagi, "Kuminta kalian semua tetap di tempatnya masing-masing. Sebab kalian harus merasa beruntung, bahwasanya. kalian
dapat menyaksikan pertarungan tingkat tinggi dengan gratis, yaitu pertarungan Begal Dogol dengan Jaka Bego, sebagai wakil dari Rama Sabdawana. Setuju ?"
"Setuju...! Akuuur...! Sikat saja...! Yang seru, ya ?!"
Mereka saling saur manuk, seperti burung di pagi hari.
Begal Dogol maju mendekati Jaka Bego dan menampar pipi Jaka Bego. "Plak...plak. !"
"Minggir kau, Anak bawang. !"
"Sabar, Mbah... sabar... saya mau bertarung dengan yang namanya Begal Dogol." kata Jaka Bego sambil mengusap-usap pipinya yang kesakitan ditampar itu. "Kuminta, Mbah dukun jangan ikut campur. Biarkan saya menghadapi Begal Dogol sendiri "
"Aku Begal Dogol!" bentak Begal Dogol dengan sengit. "Ah, masa' seorang begal kok sudah keriput begitu?!" "Kurang ajar...!" geram Begal Dogol. "Aku ini yang
bernama Begal Dogol."
"Ah...." Jaka mundur karena Begal Dogol maju mendesaknya.
"Ayo, lawan aku...!" sambil Begal Dogol menyodoknyodokkan perutnya ke tubuh Jaka Bego.
"Ah, jangan main-main, Mbah...." Jaka Bego kelihatan ketakutan.
"Aku tidak main-main. Ayo lawan aku...! Pukul...!" Jaka Bego menggeragap dan terhuyung karena perut Begal Dogol disodok-sodokkan ke tubuh Jaka Bego. "Pukul aku...! Nih, pukul...! Katanya kau mau melawan Begal Dogol...!"
"Iya, tapi situ bukan Begal Dogol...! Aduh...!" Jaka tersandung dan nyaris jatuh. "Jangan main-main, Mbah... ini pertarungan tingkat tinggi lho, nanti encokmu kumat!"
"Plak...! Plak...! Plookk...!"
Jaka Bego dipukul keras wajahnya sampai ia terpejam-pejam dalam kesakitan. Ludiro hendak bergerak, tapi Lanang segera menahan.
"Biarkan dulu dia. Tak perlu khawatir, memang begitulah ilmu kebegoannya...." bisik Lanang, yang lain pun mendengar dan manggut-manggut.
"Lawan, Begooo...!" teriak salah seorang di kejauhan. "Plak...!"
"Ayo, lawanlah...! Lawan aku, cepat...!"
Sekali lagi tamparan keras dari Begal Dogol mengenai pipi Jaka Bego. "Plook...!"
"Beraninya sama anak kecil...!" Jaka Bego mulai mau menangis.
Di kejauhan ada yang berseru, "Yaaah... nangiiis...!" "Kau yang menghentikan pertarungan ini, sekarang
kau yang harus bertanggung-jawab. Aku ingin melihat sampai di mana kesaktianmu, Bocah sinting?! Ayo, lawan aku...!" teriak Begal Dogol.
"Jangan begitu, Mbah... aku kan tadi hanya bilang kalau mau melawan Begal Dogol! Bukan melawan kamu!"
"Iya, tapi aku ini Begal Dogol...!"
"Bukan! Kamu bukan Begal Dogol...!" Jaka Bego semakin ingin menangis, mulutnya sudah mewekmewek sambil melangkah mundur.
Begal Dogol bicara kepada Braja, "Ini anak sinting benar-benar menjengkelkan "
"Cekek saja!" kata Braja. Seketika itu Jaka Bego memegangi lehernya dengan rasa takut dicekek.
"Jangan, Mbah... jangan cekek aku "
Dengan geram dan dongkol sekali, Begal Dogol menendang Jaka Bego sekeras-kerasnya.
"Huhhgh...!" Jaka Bego tak sempat mengaduh, tubuhnya yang kurus kerempeng itu melayang dengan cepat dalam posisi tangan terbuka. Tak sengaja tangan kanannya menghantam kening seorang pengawal yang tadi menyerang Kirana: si Bonyok. Tahu-tahu si Bonyok menjerit kesakitan terkena hempasan tangan Jaka Bego. Dan ia buru-buru menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan sambil berguling-guling dan berteriak-teriak. Ternyata kening itu menjadi pecah dan darah segar tersembur dari kening itu. Semua mata jadi memandang tegang, melotot menyaksikan adegan di luar dugaan itu.
Tubuh si Bonyok berkelojotan beberapa saat, kemudian ia tak tertolong lagi karena ada darah putih yang keluar dan ternyata itu adalah otak. Tentu saja banyak orang yang mengucek-ngucek matanya sendiri karena menganggap sesuatu yang mustahil telah dilihatnya. Masa' hanya tersenggol tangan yang melayang akibat tendangan Begal Dogol bisa mengakibatkan separah itu. Sementara Jaka Bego sendiri tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Ia jatuh dengan kepala duluan. Ia meringis dan mengaduh sambil memegangi kepalanya. Wajahnya seakan ingin segera menangis, tanpa mempedulikan mata tiap orang terheran-heran melihat si Bonyok yang benar-benar menjadi bonyok itu.
"Kau telah membunuh saudaraku, Kunyit...!" teriak Peot yang bertubuh sepadan dengan Jaka Bego, namun lebih gemuk lagi. Ia segera menyerang Jaka Bego dengan mencabut goloknya, Jaka Bego lari ketakutan. Ia lari sambil menengok ke belakang sampai tak sadar kalau dia menabrak tubuh Begal Dogol. "Monyet...!" geram Begal Dogol sambil memegang kedua pipi Jaka Bego. Kedua pipi itu ditekannya kuat-kuat sampai mulut Jaka Bego monyong ke depan dan tak bisa bicara kecuali kesakitan.
Begal Dogol mendekatkan wajah dengan gemas dan berkata, "Kau apakan si Bonyok, h ah?! Kau apakan dia...?!"
"Uuf... uuf... uuuff...." Jaka Bego hanya bisa bicara begitu. Namun Peot yang sudah marah karena saudaranya mati terbunuh oleh kibasan tangan Jaka Bego itu tak sabar lagi. Ia segera menendang tubuh Jaka Bego dari belakang. Akibat tendangan itu, sudah tentu Jaka Bego kesakitan dan ludahnya sempat muncrat ke wajah Begal Dogol. "Crot...!" Ludah itu mengenai mata Begal Dogol. Dan tiba-tiba Begal Dogol melemparkan Jaka Bego kuat-kuat lalu menjerit kesakitan. Ia memegangi matanya sambil menyumpahnyumpah. Orang mengira, Begal Dogol marah karena merasa dihina dengan diludahi Jaka Bego. Namun di balik semua itu, mereka merasa heran karena Begal Dogol berjalan dengan meraba-raba dan berseru, "Bangsat...! Mataku buta! Anak itu membuat mataku menjadi butaaaa...!" Semua pengawal Begal Dogol mencabut senjata. Mata mereka membelalak tegang memandang Jaka Bego yang menggeliat kesakitan pinggangnya. Sabdawana dan Lanangseta saling pandang. Heran. Demikian juga Ludiro dan Kirana, sama-sama tertegun.
"Ilmu yang langka sekali " gumam Sabdawana.
"Jangan...! Jangan bunuh aku...." Jaka Bego ketakutan. Ia jadi gemas sendiri karena pinggangnya terasa sakit untuk berdiri, akibatnya ia tak dapat lari. "Jangan bunuh aku. Aku cuma ingin bertarung dengan Begal Dogol. Sungguh, cuma dengan Begal Dogol !
Begal Dogol, Begal Dogol, Begal Dogoooolll...!" seraya Jaka Bego memukul-mukul tanah karena jengkelnya terhadap pinggangnya. Namun di luar dugaan, pada saat itulah dari beberapa balik batuan cadas muncul enam bayangan serupa. Keenam bayangan itu melesat dan mendarat di dalam arena. Semua mata terperanjat kaget. Bahkan Sabdawana sendiri sempat mundur selangkah, seperti halnya Lanangseta, Kirana dan Ludiro.
Keenam orang itu sama persis dengan Begal Dogol. Pakaiannya juga kembar dengan Begal Dogol yang matanya buta itu. Tongkatnya juga sama persis, tak ada bedanya sedikit pun. Hanya ada satu orang yang berbeda dalam hal pakaian. Kalau yang enam lainnya berpakaian serba merah, seperti juga Begal Dogol yang matanya buta, tapi satu orang itu berpakaian putih bersih, sama putihnya dengan rambut dan jenggotnya yang panjang.
"Gila! Begal Dogol ternyata telah memecah diri menjadi tujuh sosok kembar. Ini rupanya yang menjadi andalan Begal Dogol dalam menantangku," kata Sabdawana. Yang lain masih terbengong. Bahkan para pengawalnya bersama si tangan buntung itu juga terbengong-bengong melihat Begal Dogol ada tujuh orang. Sama persis. Tak berbeda sedikit pun.
"Rupanya Jaka Bego sejak tadi mengetahui bahwa yang diludahi itu bukan Begal Dogol yang asli. Dan ia menyebut-nyebut nama Begal Dogol tiga kali sambil memukulkan tangannya ke tanah, itu adalah kunci memanggil Begal Dogol yang asli," bisik Sabdawana.
"Sekarang tergantung kita untuk menentukan, mana Begal Dogol yang asli," sahut Ludiro dengan mata memandang cermat ke setiap wajah Begal Dogol.
Lanang menambahkan kata, "Kalau sudah begini, ini adalah tugas saya, Rama. Kuminta jangan ada yang bertindak kecuali saya dengan... paman Ludiro."
"Hati-hati, Lanang," pesan Kirana yang semakin menambah semangatnya hati Lanangseta.
Lanang dan Ludiro maju beberapa langkah. Ludiro berseru lebih dulu kepada pengawal Begal Dogol yang hendak menyerang Jaka Bego, "Jangan sentuh anak itu!"
Namun Peot dan Sargowi tetap nekad hendak membacok Jaka Bego. Dengan cepat Ludiro mengambil Cambuk Naga dari punggungnya dan memecutkan dua kali ke arah Peot dan Sargowi. Kedua orang itu menjerit kuat-kuat karena bahunya bagai terpotong benda tajam dan nyaris putus, sedangkan Jaka Bego malahan menjerit ketakutan dan ngeri melihat bahu kedua orang itu seperti paha sapi dipotong hidup-hidup. Kedua orang itu terguling-guling dalam kesakitan yang amat sangat.
Lalu dua orang Begal Dogol menyerang Ludiro dengan tongkat berbentuk ular sanca. Ludiro berguling pada saat kedua kaki dan tongkat lawannya menyerangnya dengan cepat. Ludiro lolos dari serangan itu, sementara Cambuk Naganya melecut ke belakang dan mengenai kedua sosok Begal Dogol. Kedua punggung itu robek bagai tanah yang retak di musim kemarau.
Tepat pada saat rubuhnya kedua orang itu, Lanangseta segera mencabut pedang Wisa Kobranya. Karena di depannya telah bergerak dua sosok Begal Dogol sambil menghunjamkan tongkatnya. Pertamatama kedua tongkat itu ditebas dengan gerakan cepat oleh pedang Wisa Kobra yang membara seperti besi sedang dipanggang itu. Kedua tongkat tersebut hancur beberapa bagian. Lalu tubuh kedua pemilik tongkat itu ditebas pula oleh pedang tersebut, namun keduanya berhasil bergulir ke samping kanan-kiri dalam keadaan melayang, sehingga mereka selamat.
"Pedang Malaikat...?!" seru seorang Begal Dogol yang mengenakan jubah putih. Seketika itu ia melejit hendak melarikan diri, tapi Cambuk Naga telah mendahului melecut leher orang berjubah putih. Rupanya orang itu cukup tangkas. Ia berhasil menggenggam Cambuk Naga itu tanpa tergores sedikit pun tangannya. Ludiro dan orang berjubah putih saling bertahan, tarik menarik melalui Cambuk Naga yang terentang kuat. Pada saat itu, seorang pengawal yang bernama Bujel mengeluarkan golok pendeknya dan hendak memotong tali Cambuk Naga. Tetapi ia terjegal kaki Jaka Bego yang bermaksud hendak bangkit. Bujel jatuh tersungkur dalam keadaan limbung, ia bertahan untuk tidak menyentuh tanah. Tetapi pada waktu ia bangun hendak berdiri tegak, tahu-tahu tali cambuk yang terentang itu dikibaskan oleh Ludiro ke samping. Tak sengaja tali itu mengenai leher Bujel, dan orang itu pun berkelojotan bagai kambing disembelih, sebab tali Cambuk Naga telah memotong lehernya.
Jaka Bego berguling dengan terpaksa karena tubuhnya terkena tendangan tangan buntung yang sedang melawan Lanangseta. Akibatnya, tubuh Jaka menyentuh kaki Begal Dogol yang buta tadi.
"Mampus kau sekarang, Bocah edaaan...!" geram Begal Dogol yang buta, ia segera mengangkat kakinya dan menginjak wajah Jaka Bego kuat-kuat. Injakan itu tepat di mulut Jaka Bego. Tentu saja Jaka Bego berkelojot kesakitan. Dengan berusaha sedapat mungkin, Jaka Bego akhirnya bisa menggigit jari kelingking kaki lawannya yang masuk ke mulut Jaka Bego. Kelingking itu digigit dengan gemas dan Begal Dogol yang buta itu menjerit sekuat-kuatnya. Lalu, mendadak tubuhnya menjadi membiru, dan rubuh. Badan itu menjatuhi Jaka Bego sehingga Jaka Bego menjerit minta tolong. Ia berusaha menyingkirkan tubuh yang telah membiru dan mengerikan baginya. Begitu ia berhasil lolos dari tumpukan tubuh itu, ia memandang dengan heran, sebab tubuh itu kini menjadi kaku dan biru bagai terkena bisa ular beracun yang amat ganas.
Di lain tempat, Lanangseta menghadapi tiga lawannya sekaligus. Mereka adalah dua Begal Dogol dan si tangan buntung. Dalam satu kesempatan, mereka berposisi berjajar ke belakang. Paling depan Braja, atau si tangan buntung dan di belakangnya tepat dua Begal Dogol berdiri hendak mengatur gerak. Seketika itu Lanangseta menggerakkan pedangnya dengan cepat, menusukkan ke dada Braja, namun tidak sampai menembus, melainkan hanya ujung pedang saja yang menyentuh dada Braja. Setelah itu Lanangseta bersalto ke belakang dua kali, menjauhi lawannya. Ketiga lawannya bergerak menyerang dengan tendangan layang. Namun sebelum mereka sampai di tanah, tahutahu Braja meliuk seperti gedebong pisang yang telah dipotong. Tubuhnya terbelah menjadi tiga bagian. Ia tak sempat berteriak kecuali menganga lebar. Sedangkan tak berapa lama, kedua tubuh Begal Dogol yang ikut melayang itu juga menjadi terpotong tiga bagian, yaitu bagian dada, serta bagian pusar. Mereka juga tidak berkutik lagi, tak mampu berteriak.
Kini tinggal tiga sosok Begal Dogol yang harus mereka tumbangkan. Satu orang sedang menyerang Ludiro yang sedang adu kekuatan dengan Begal Dogol berjubah putih, satu lagi sedang menyerang Jaka Bego dengan tongkat yang dilemparkan.
Jaka Bego ketakutan diserang tongkat itu. Ia bukannya lari atau menghindar, tapi malahan berteriak-teriak sambil menutup wajahnya dengan kedua lengan. Lanangseta segera menggerakkan tangan kirinya, dan keluarlah semacam sinar merah yang menjurus ke tongkat tersebut, sehingga tongkat itu pun melesat menuju ke tempat lain. Lanang segera melambungkan tubuh, bersalto dan jatuh di belakang Begal Dogol yang menyerang Jaka Bego. Orang itu berbalik arah hendak menyerang Lanangseta, tapi Lanangseta melayang dan bersalto lagi melalui atas kepalanya, lalu mendarat di depan Begal Dogol berjubah putih. Pada saat itu Begal Dogol yang hendak menyerang Jaka Bego itu telah menjerit satu kali dan tahu-tahu kepalanya telah terbelah.
Lanangseta menggerakkan kakinya ke arah Begal Dogol berbaju putih. Kaki itu menghantam rahang lawannya, sehingga orang berjubah putih itu terpental. Pegangan Cambuk Naga terlepas, tepat pada saat itu Ludiro kebingungan mengatasi serangan satu lawannya. Namun ketika ia hendak disabet tongkat ular, Ludiro sempat berguling ke tanah. Sambil berguling, ia berhasil mengibaskan cambuknya dan mengenai perut orang itu. Kontan orang itu berjumpalitan dalam erang kesakitan. Perutnya bodol, ususnya keluar. Dan ia menggelepar-gelepar di tanah.
Saat itu juga Lanang berhasil merobek lengan orang berjubah putih yang diperkirakan Begal Dogol yang asli. Namun orang itu sempat melayang dan menyemburkan asap hitam dari mulutnya. Lanangseta berguling-guling menghindari asap hitam yang diduga adalah racun berbahaya. Orang itu jatuh menindih tubuh Jaka Bego, namun pada saat itu, Jaka Bego sedang memegang sebilah golok pendek milik Bujel. Ia sedang terheranheran melihat golok begitu pendek, dan tahu-tahu tubuh orang berjubah itu menjatuhi dirinya. Tak sengaja Jaka Bego telah menggenggam erat tangkai golok itu, lalu orang berjubah putih mengerang panjang. Jaka Bego membelalakkan mata melihat orang itu mengerang dan berusaha bangkit.
Jaka Bego berseru, "Tolong.... tarikan orang ini. Golok yang kupegang ini menancap di punggungnya....
Kasihan dia tidak bisa bernapas tuh... tuh lihat !"
Ludiro mengibaskan Cambuk Naga, dan cambuk itu membelit di kedua kaki orang tersebut. Lalu dia menariknya dengan satu sentakan, dan orang itu melayang dengan kaki dililit Cambuk Naga. Pada saat itu, Lanangseta melepaskan pedang membaranya. Pedang itu melesat sendiri bagai sinar api merah. Pedang itu menembus tubuh yang sedang melayang. Jebol sampai ke bagian depan, dan pedang itu pun segera kembali lagi ke tangan Lanangseta.
Orang berjubah putih jatuh tak sempat bernafas lagi. Jaka Bego segera melompat dan berdiri di atas perut Begal Dogol berjubah putih. Ia mengangkat kedua tangannya bagai memperoleh kemenangan yang gemilang. Lalu orang-orang bersorak. "Horeee...! Hidup Jaka Bego...!" Dan mereka pun segera menyerbu Jaka Bego. Mereka mengangkat tubuh Jaka Bego ke atas dengan sorak kemenangan. Mereka berseru, "Hidup Jaka Bego...! Hidup Bego, Bego ! Bego, Bego kok hidup!
Hidup Bego, Bego !"
"Hei, hei... turunkan aku...! Aduuh pinggangku
patah, tahu?! Adduuhh... celaka kalau begini !"
Lanangseta dan Ludiro tertawa menyaksikan soraksorai itu. Kirana segera meninggalkan ayahnya dan memeluk Lanangseta. Tetapi ketika Lanangseta mendekati Sabdawana, orang itu bersujud dan berkata, "Terima kasih atas bantuanmu, Putra Dewa. "
"Sudahlah, Rama... sekarang aku akan mengurus perkawinanku dengan gadis angkuh ini," ujar Lanangseta. Sabdawana dan Kirana tertawa lepas.
Tapi Ludiro segera bertanya, "Hei, apakah kalian ada yang melihat di mana pemuda yang bernama Prabima itu. Bukankah dia juga murid Begal Dogol?"
"Iya, ya...? Di mana dia. ?" tanya Kirana. "Dan, siapa
sebenarnya Jaka Bego itu? Agaknya ia punya ilmu yang aneh."
Lanang hanya mendesah, "Ah, itu soal nanti. Yang penting sekarang kawin dulu."
SELESAI