Serial Jaka Sembung Eps 16 : Kemelut Di Pulau Aru

1

Istana kepala suku Pampani di Kepulauan Aru, malam itu tampak sepi. Jauh lebih sepi dari biasanya. Bukan karena para penjaga tidur semua, bahkan malam itu jumlahnya ditambah hampir dua kali lipat. Tidak hanya di dalam, tetapi juga di luar istana penjagaan sangat rapat, sehingga rasanya hanya setan atau siluman saja yang bisa masuk tanpa diketahui.

Akan tetapi karena kerajaan yang dipimpin oleh Pampani saat ini sedang terancam oleh musuh, di antara para penjaga tidak ada yang berani buka suara. Semua menunggu dengan perasaan tegang sambil memasang telinga baik-baik. Demikian juga halnya penjaga di menara, tak pernah lalai menunaikan tugasnya. Beberapa pengawas kepala berjalan hilir mudik untuk memeriksa semua anak buahnya kalaukalau ada yang tertidur.

Pihak musuh tidak mustahil datang menyerbu secara tiba-tiba. Apalagi karena pihak musuh diketahui sangat kuat dan memiliki ilmu hitam yang sangat jahat. Menurut desas desus, musuh mereka selain bisa menguasai pikiran seseorang dengan ilmu sihirnya, juga dapat menghilang bagaikan angin. Jadi pagar tinggi yang mengelilingi istana belumlah cukup sebagai pertahanan.

Demikian hebatnya ilmu sihir tokoh sesat Womere dari Pulau Kolepom yang menjadi tangan kanan Wan-Da-I, sehingga pendekar gagah perkasa seperti Wori dapat pula dikuasai. Dua orang bangsa berkulit putih yang hendak melakukan penelitian di Kepulauan Aru, juga sudah menjadi tawanan Wan-Da-I. Selain itu, Wan-Da-I sudah mulai pula menjalin hubungan kerja sama dengan pihak Belanda. Selangkah lagi, Kerajaan Pampani tentu akan hancur. Demikianlah rencana dan keyakinan musuh!

Malam semakin larut. Putri Nomina dan putranya yang masih bayi sedang tidur pulas di dalam kamar yang bersebelahan dengan kamar suami istri Umang dan Mirah. Suami istri yang dikenal sebagai pendekar sakti dari Pulau Jawa itu sudah tidur lelap pula, tampaknya siang tadi mereka kelelahan. Suara dengkur si Lengan Tung-gal Umang terdengar lebih keras sehingga terdengar sampai ke luar kamar. Lain dengan istrinya yang tidur dengan desah nafas halus.

Menjelang tengah malam, Mirah tampak menggeliat-geliat. Tidak lama kemudian wanita muda itu terbangun sambil mengusap-usap kedua matanya. Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, ia duduk dan memperhatikan suaminya. Umang masih tidur lelap. Ia menghela nafas lega lalu berjalan berjingkat-jingkat memperhatikan keadaan di sekeliling kamar. Tampaknya aman-aman saja, maka ia pun segera ke luar dan menutup pintu kamar kembali.

Di bawah sinar penerangan lampu teplok yang tergantung di dinding, tampak sepasang mata wanita itu memancarkan sinar aneh, tajam dan dingin dan kadang-kadang tampak melotot namun tanpa sinar sehingga tak ubahnya mata seseorang yang mati perasaan. Jarang sekali mata yang sebetulnya indah itu berkedip. Seandainya ada penjaga yang melihatnya, pastilah akan bergidik ngeri.

Tidak ada yang tahu kenapa sinar mata Mirah yang biasanya cerah ceria itu tampak menjadi lain pada malam itu. Tak ada pula yang tahu apa maksudnya ke luar dari istana dengan cara mengendap-endap. Sinar matanya menatap liar, dan sadarlah ia bahwa penjagaan sangat ketat. Akan sukarlah bagi orang-orang biasa untuk keluar tanpa diketahui penjaga. Tetapi bagi Mirah yang memiliki ilmu silat yang tinggi, hal itu tidaklah masalah serius. Ia menahan nafas sambil menunggu para laskar agak lengah. Lalu tanpa menimbulkan suara mencurigakan, tubuhnya mencelat bagaikan terbang meloncati pagar. Luar biasa cepat dan ringannya gerakan wanita itu, sehingga dalam sekejap saja sudah berada di luar istana tanpa diketahui siapapun juga.

Tubuh Mirah kemudian berkelebatan meloncati tebing-tebing bukit cadas menuju ke arah pantai. Rembulan malam itu sedang bersinar remang-remang, sehingga tubuh Mirah tampak hanya bayang-bayang saja. Seandainya dilihat penduduk tentu akan mengiranya setan yang sedang gen-tayangan mencari mangsa.

Hanya dalam waktu yang singkat, Mirah akhirnya sampai di atas tebing di pinggir pantai Laut Arafuru. Dinding tebing itu sangat terjal bahkan agak condong ke depan, sehingga kalau misalnya ada yang tergelincir, tubuhnya pasti langsung tercebur ke laut. Tingginya hampir sepuluh meter.

Cukup lama juga Mirah berdiri tegak bagaikan patung di atas tebing itu. Sepasang matanya yang mencorong aneh menatap ke bawah, memperhatikan sesosok tubuh yang sedang bersemadi di dalam air laut. Di bawah siraman sinar rembulan, tampak samar-samar ombak laut datang bergulung-gulung menerjang tubuh laki-laki itu. Tetapi tak sedikit pun tubuh itu bergoyang, pertanda bahwa ia bukanlah orang sembarangan.

Si Gila Dari Muara Bondet sendirilah yang bersemadi di dalam air laut, di dekat tebing itu. Seperti hari-hari sebelumnya, lelaki itu sekarang pun tampak benar-benar terlena dalam semadinya sehingga seperti tidak memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Ada dua tujuan utama Karta melakukan semadi seperti itu. Pertama untuk menghimpun tenaga sekaligus menyembuhkan luka-luka yang dideritanya, karena dalam suatu pertarungan melawan Wori belum lama ini, ia menerima pukulan yang cukup telak. Tujuan kedua adalah untuk mengawasi keadaan di sekitar laut, karena besar sekali kemungkinan pihak musuh akan berkeliaran di laut.

"Karta!"

Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita menyebut nama si Gila Dari Muara Bondet. Suara yang cukup halus, tetapi karena disertai pengerahan tenaga dalam, suara itu dapat menembus gemuruh air laut, menembus anak telinga Karta. Ia tersentak dari semadinya dan segera mengenal suara itu. Mirah, pikirnya. Ketika ia berpaling ke atas tebing, tampaklah olehnya wanita itu sedang berdiri tegak seraya menatap ke arahnya.

Ada apa gerangan sehingga malam-malam begini Mirah menemuinya ke laut? Mungkin telah terjadi sesuatu yang luar biasa, karena kalau tidak demikian, tidak mungkin istri sahabatnya itu menemuinya. Maka Karta pun meloncat dari laut, bagaikan terbang saja layaknya tubuh pendekar itu mencelat ke atas tebing dan sempat bersalto di udara dengan gerakan yang sangat cepat dan mengagumkan. Dengan sangat ringannya, kedua kaki Karta mendarat di hadapan Mirah. "Mirah, apa yang sedang terjadi sehingga kau menemuiku ke sini? Apakah telah terjadi sesuatu yang

tidak diinginkan?"

Mirah tidak segera menjawab. Sepasang matanya semakin tajam menatap wajah Karta.

"Kenapa kau diam saja, Mirah? Bagaimana keadaan di istana? Apa yang terjadi terhadap anak dan istriku maupun teman-teman kita yang lain?" "Ah, Karta!" Mirah berdesah dengan suara lirih, sehingga membuat Karta semakin khawatir karena mengira Mirah merasa ragu-ragu menjelaskan keadaan yang sebenarnya.

"Mirah, cepatlah katakan apa yang sedang terja-

di!"

"Tidak sesuatu pun terjadi!"

Karta mengerutkan kening. Kalau tidak sesuatu

pun terjadi, kenapa Mirah menemuinya? Janganjangan Mirah belum mau menceritakan keadaan yang sebenarnya. Akan tetapi melihat wajah Mirah yang tampak biasa-biasa saja, Karta pun dapat menduga bahwa ucapan wanita itu benar adanya.

"Lalu kenapa kau datang ke sini?" tanya Karta heran.

"Aku sendiri bingung. Tapi.....dalam keadaan basah seperti ini, kau tampak lebih gagah dan tampan..."

"Oh, Mirah!" Karta mengeluh karena mengira Mirah hanya sekedar bercanda. Kalau dalam keadaan biasa saja, mungkin ia tidak akan perduli Mirah bercanda. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini hati siapa yang tidak kesal kalau ditemui hanya untuk mengatakan gagah dan tampan?

"Karta!" Mirah kembali berdesis lirih dan tanpa diduga-duga ia mendekap Karta. Kedua tangannya melingkar di dada Karta erat-erat. Wajahnya ditempelkan sehingga nafasnya yang memburu terasa oleh Karta.

Bukan main terkejutnya Karta melihat sikap Mirah itu. Pelukan dan ciuman itu bukanlah perbuatan yang biasa-biasa saja. Apalagi ketika tangan Mirah mengusap-usap dadanya, terasa jemari tangan itu gemetaran. Dan dada yang lembut serta hangat itu oh, telah menempel pula. Seandainya Karta bukanlah seorang pendekar sakti, bisa jadi karena sangat terkejut akan mendorong tubuh Mirah sampai terlempar. Tetapi dengan ketabahan luar biasa, ia mencekal lengan wanita itu dan dengan halus mendorongnya.

"Mirah, ada apakah sebenarnya? Kenapa sikapmu jadi begini?"

"Aku... aku.... oh, Karta!" Mirah tidak mampu meneruskan kata-katanya. Tiba-tiba ia kembali memeluk tubuh Karta dan berusaha mendekapnya lebih erat lagi. Tetapi setelah menepiskan tangan Mirah, Karta menggeser kakinya ke kiri, sehingga tubuh wanita itu hampir terjatuh.

Berdebar jantung si Gila Dari Muara Bondet ketika memperhatikan sinar mata Mirah. Terasa sangat aneh dan sulit dimengerti maknanya. Namun nalurinya membisikkan bahwa wanita cantik di hadapannya itu sedang dirasuk sesuatu yang sangat kuat. Mungkin gejolak nafsu birahi yang tak terkendalikan atau ada yang lainnya. Hal itu pula yang membuat Karta semakin kebingungan, sebab selama ini Mirah tak pernah bersikap seperti itu padanya. Bahkan keduanya sudah seperti saudara saja. Lalu kenapa sikap Mirah sekarang jadi seperti itu?

"Akh...!" Tiba-tiba Karta berseru tertahan ketika menyadari bahwa Mirah sudah memeluknya kembali. Sikap wanita itu bahkan terasa lebih bernafsu lagi dan tampak beringas. Karta mendorong Mirah dengan halus, tetapi tanpa disangka-sangka Mirah pun mendorongnya kuat sekali. Akibatnya tubuhnya terdorong sampai ke pinggir tebing itu. Si Gila boleh merupakan seorang pendekar sakti yang selalu disegani lawan maupun kawan, bahkan boleh dikatakan mendengar namanya saja lawan sudah gentar. Akan tetapi menghadapi keadaan seperti itu, ia menjadi gugup juga. Bersikap kasar terhadap Mirah rasanya tidak mungkin dan tidak sampai hati dia, tetapi ia pun tak ingin dipeluk terus-terusan seperti itu. Maka ia pun mendorong Mirah dengan harapan istri sahabatnya itu segera menyadari sikapnya yang tidak baik.

Akan tetapi Mirah tampaknya benar-benar sudah kesetanan. Ketika Karta mendorongnya, ia pun membalas mendorong bahkan lebih kuat lagi sehingga lelaki itu terpaksa mundur.

"Mirah jangan...!" Tiba-tiba Karta berteriak kaget karena tubuhnya terjatuh dari pinggir tebing. Karena tadi Mirah memeluknya erat-erat, tubuh wanita itu pun ikut terjatuh. Keduanya melayang ke laut dalam keadaan masih berpelukan.

"Byuuuur!"

Tubuh mereka tercebur ke laut. Untung air di tempat itu cukup dalam sehingga keduanya tidak mengalami luka-luka. Setelah berada di air, Mirah tampak semakin ganas. Ia bukan hanya memeluk Karta tetapi kedua kakinya pun mengepit pinggang lelaki itu. Tentu saja Karta semakin kesal. Sikap Mirah itu sudah keterlaluan dan tidak dapat dibiarkan lagi. Didorongnya lagi sekuat tenaga sehingga tubuh Mirah terlempar. Lalu secepat kilat, Karta meloncat dari dalam air dan tubuhnya melayang bagaikan terbang ke atas tebing. Tetapi Mirah pun berbuat hal yang sama, sehingga keduanya kembali berhadapan di atas tebing dalam keadaan basah kuyup.

"Mirah! Apa yang kau lakukan ini? Kau kau

kesurupan setan rupanya. Ingat, Mirah! Kau adalah istri Umang. Sadarlah!"

Mirah tidak menyahut. Tetapi bibirnya yang merah tipis itu mengulum senyum yang sangat menantang. Lalu tanpa diduga-duga, ia membuka pakaian yang melekat di tubuhnya. Karta terkejut dan buruburu memalingkan wajahnya. Cukup lama keduanya membisu dan Karta masih membelakangi Mirah.

"Karta!" Karta membalikkan badan. Sepasang matanya tiba-tiba terbelalak lebar, mulutnya menganga. Ternyata Mirah sudah dalam keadaan telanjang bulat. Tanpa sadar, Karta melangkah mundur.

"Karta, apa aku tidak secantik Nomina? Apa aku tak secantik Ranti istrimu yang kau tinggal di Pulau Jawa? Tataplah tubuhku, Karta. Kau adalah laki-laki perkasa dan sekarang aku akan menyerahkan segalagalanya untukmu!" kata Mirah dengan suara terengahengah.

"Ya. Tuhan!" Karta berkata seperti orang sedang mengigau, "Kenapa kau bersikap seperti orang jalanan, Mirah? Ingat suamimu. Ia sangat mencintaimu. Sadar, Mirah!"

Karta memperhatikan wajah Mirah yang tiba-tiba tampak murung. Wajah itu sebetulnya sangat cantik dengan raut wajah yang bulat telur. Kulit putih halus dengan sepasang mata bening dan senantiasa berbinar-binar. Dan bibir itu, pasti akan menarik setiap lelaki yang memandangnya. Tetapi sungguh mati, perasaan dalam hati Karta selama ini hanya terbatas rasa kagum dan sayang saja. Tak lebih dari itu. Sekarang melihat Mirah berdiri dalam keadaan bugil di hadapannya, ia menjadi termangu-mangu seperti orang yang sedang kehilangan akal sehat.

"Karta, janganlah bersikap kasar padaku! Hatiku hancur luluh. Kau tak pernah mengerti isi hatiku, Karta. Bertahun-tahun lamanya aku merindukan kehadiran bayi dari suamiku, namun sia-sia belaka. Oleh karena itu, aku menghendaki laki-laki seperti dirimu. Aku ingin punya anak seperti Ranti, seperti Nomina. Aku sangat merindukannya. Apakah artinya hidup ini kalau tanpa anak?" Beberapa tetes air mata mengucur membasahi pipi Mirah yang pucat.

Seketika lenyaplah kekesalan di hati Karta, berganti rasa iba yang sangat dalam. Memang betul, suami istri Mirah dan Umang sudah lama menikah namun entah karena apa sampai sekarang belum dikaruniai anak. Mirah memang seorang pendekar berilmu tinggi, sepak terjangnya memerangi kejahatan boleh dibanggakan dan dijadikan teladan bagi pendekar lainnya. Tetapi bagaimanapun juga, pada dasarnya ia adalah wanita biasa juga. Jadi wajarlah kiranya kalau kenyataan bahwa mereka belum punya anak, merupakan penderitaan batin yang sangat menyakitkan baginya.

Ketika ia memeluk Karta kembali, lelaki itu diam saja bahkan dengan lembut membelai rambut Mirah. "Maafkan kekasaran ku tadi, Mirah! Sesungguhnya aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Tetapi perlu kau tahu, sikapmu ini membuatku jadi serba salah. Aku sangat menghormatimu maupun suamimu Umang."

"Aku tidak tersinggung lagi, Karta!"

"Terima kasih, Mirah. Tetapi aku harap dengan hormat agar kau menjaga persahabatan di antara kita. Anak adalah karunia Tuhan. Tak perlu terlalu disesali kalau hasrat hatimu belum tercapai."

"Kau jangan berkhotbah di hadapanku, Karta. Jangan membawa-bawa nama Tuhan sekarang." Lalu dengan air mata yang kembali bercucuran, Mirah bersimpuh dan memeluk kedua kaki Karta, "Tolonglah aku Karta. Taburkan benih keturunan itu di atas ladang persemaianku. Lakukanlah, Karta. Aku mohon padamu..."

"Mirah! Kau insyaflah! Sadarlah! Aku menyayangimu, Mirah. Kau pasti tahu itu. Oleh karena itu, harap kau mengerti keadaanku. Itu tidak mungkin kulakukan. Marilah, biar kuantar kau pulang. Umang tentu mencari-carimu sekarang."

"Tidak!" Tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat sekali dan hampir bersamaan dengan itu, sebuah kilatan cahaya putih menyambar ke arah leher Karta.

"Aaaaah!" Karta menjerit kaget sekali. Secepat kilat ia membantingkan badan ke samping, lalu berguling-guling di atas tebing. Ketika ia hendak meloncat bangun, ujung golok telah menempel di dekat lehernya.

"Umang!" kata Karta tanpa sadar.

Memang benar, Umang sendirilah yang menyerangnya secara mendadak tadi. Serangan itu dilakukan sangat cepat dan kalau saja Karta tidak memiliki kesaktian tinggi, tentulah ia akan tewas di ujung golok Umang, atau paling tidak pasti akan menderita luka parah.

Akan tetapi Umang juga bukanlah orang sembarangan. Pendekar yang lengan kanannya telah buntung sebatas siku itu memiliki kesaktian yang tidak boleh dipandang remeh, terutama permainan goloknya yang sangat kuat dan cepat. Ketika serangannya dapat dielakkan Karta, pendekar dari Lereng Ciremai itu terus mengejar dan menodongkan goloknya ke arah si Gila Dari Muara Bondet.

"Bangsat!" bentak Umang geram. Dari sinar matanya terpancar kemarahan yang meluap-luap dan tampaknya ia telah melupakan persahabatan di antara mereka selama ini.

"Tunggu, Umang! Aku akan menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya," kata Karta terbata-bata.

"Tak perlu banyak bicara di hadapanku, Karta! Tak kusangka seorang pendekar gagah perkasa seperti kau berani berbuat seperti ini terhadap sahabatmu. Kau ternyata tak lebih dari racun perusak yang sangat bejat. Kau sampai hati membawa istriku dan merayurayunya di sini. Benar-benar tak bisa kuampuni kesalahanmu ini. Kau harus menebusnya dengan nyawamu sendiri!"

Karta adalah pendekar gagah perkasa, selain memiliki kepandaian yang sangat tinggi, ia juga bukan seorang pengecut. Ia tidak pernah takut mati. Akan tetapi mati di tangan kawan sendiri apalagi hanya karena kesalahpahaman, tentu saja ia tidak mau. Maka ia masih mencoba menjelaskan persoalan yang sebenarnya.

"Tunggu dulu, Umang. Jangan terburu nafsu. Dengarkan dulu penjelasanku. Se-telah itu kau boleh melakukan apa saja terhadap diriku."

"Kau harus mampus, manusia bejat. Haiiiit!" Umang mengayunkan goloknya, cepat dan sangat mendadak sehingga tampaknya tidak ada kemungkinan lagi bagi Karta untuk menyelamatkan diri.

"Trang!"

Umang terhuyung beberapa langkah. Ujung tongkat yang menangkis goloknya sangat kuat sehingga golok di tangannya nyaris lepas. Ia menatap lakilaki yang menangkis senjatanya sehingga Karta selamat dari maut. Ternyata adalah si Kaki Tunggal Baureksa sahabatnya sendiri.

Sama seperti Umang, pendekar berkaki tunggal itu pun tadi terbangun dari tidurnya, ketika mendengar Umang memanggil-manggil istrinya. Cepat itu mengintip dari balik pintu dan melihat sahabatnya itu meloncat ke luar istana. Rupanya beberapa saat setelah Mirah pergi, Umang juga terbangun dan setelah berusaha mencari-cari, yakinlah ia bahwa istrinya itu pergi ke pantai menemui Karta.

Tepat seperti dugaannya, Mirah memang ada di pantai. Hampir ia tak percaya akan penglihatannya sendiri menyaksikan Mirah memeluk kaki Karta dalam keadaan telanjang bulat. Dada Umang terasa bagaikan terbakar oleh gejolak amarah yang tak terkendalikan lagi. Ia menghunus goloknya dan langsung melancarkan serangan mautnya ke arah leher si Gila Dari Muara Bondet dan tidak perduli lagi walaupun menyadari serangan goloknya itu bisa membuat sahabatnya tewas.

Baureksa yang sempat melihat bayangan tubuh Umang berkelebat ke arah pantai segera mengejar. Untung saja ia memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, sehingga masih sempat menyelamatkan Karta dari maut.

"Kau Baureksa!" kata Umang terkejut. Matanya berkilat-kilat sangat marah melihat sahabatnya itu menangkis sabetan goloknya.

"Umang, apakah kau tidak menyadari perbuatanmu itu? Sabetan golokmu bisa membuntungi leher sahabat kita Karta."

"Apakah matamu juga tidak melihat bagaimana bajingan ini hendak mempermainkan istriku? Kau selalu membela Si Gila ini!"

Si Kaki Tunggal melirik ke arah Mirah sebentar. Wanita itu dengan terburu-buru mengenakan pakaiannya kembali. Baureksa menghela nafas panjangpanjang sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Syukurlah kau masih mengingat nama asli ku....

Baureksa. Berarti kau ingat siapa diriku, pribadiku dan pendirianku. Engkau pun tentunya belum lupa bahwa kita pernah berjuang bahu membahu menumpas Lalawa-Hideung di daerah Cilimus bersama Jaka Sembung. Kau ingatlah semua itu. Jangan berbuat sekasar itu kepada Karta!"

"Jadi kau bermaksud menyalahkan aku karena aku tidak sanggup bikin anak? Dan kau memuji-muji kejantanan si Gila Dari Muara Bondet keparat ini?" Sambil berkata begitu, Umang menudingkan goloknya ke muka Baureksa.

Mendengar ucapan itu, si Kaki Tunggal menghela nafas berat. Wajah pendekar setengah baya itu tampak menjadi muram, bagaikan langit diselimuti kabut. Ia kecewa karena sahabatnya Umang seharusnya tak perlu mengucapkan kata-kata seperti itu. Namun selain merasa kecewa dan kasihan, si Kaki Tunggal juga merasa was-was. Sebab tak biasanya sahabatnya itu bersikap demikian. Dan sinar mata itu, rasanya memancarkan sesuatu yang aneh, yang belum pernah dilihat si Kaki Tunggal selama ini.

"Umang dan Mirah," Akhirnya si Kaki Tunggal berkata setelah perasaannya sedikit agak tenang. "Kalau kalian masih menganggap aku sebagai orang yang paling tua di antara kita, maka dengarlah kata-kataku. Aku mengerti perasaan kalian karena sampai sekarang belum mempunyai anak. Tetapi itu adalah urusan Tuhan. Kita hanya sebagai pelaksana. Percayalah, suatu saat kalian pun tentu akan mempunyai anak."

Tiba-tiba Mirah yang sudah mengenakan pakaiannya meloncat ke hadapan Baureksa. Goloknya diacungkan dan sinar matanya merah bagaikan memancarkan api, "Diam kau, buntung. Kau tak berhak mencampuri urusan rumah tangga ku. Diam kataku! Jangan kau kira aku takut padamu!"

"Mirah, kau sampai hati berkata begitu..." Tibatiba Baureksa menghentikan ucapannya, karena secara tak terduga-duga, Mirah sudah menerjangnya dengan dahsyat. Goloknya diayunkan cepat sekali menimbulkan suara berdesing dan kilatan senjata yang langsung menukik ke arah ulu hati si Kaki Tunggal.

Tentu saja si Kaki Tunggal sangat terkejut. Tapi Mirah yang dari segi umur boleh dikatakan adalah anaknya, berani memakinya si buntung. Sekarang malah menyerangnya kembali dengan ganas. Pendekar berkaki tunggal itu tentu sudah mengetahui kehebatan ilmu golok Mirah. Dibandingkan dengan Umang sendiri, agaknya wanita itu tidak kalah berbahayanya.

Maka si Kaki Tunggal pun segera memutar tongkatnya menangkis serangan Mirah. Akan tetapi agaknya Mirah sudah menduga gerakan si Kaki Tunggal, karena secara mendadak ia sudah menarik goloknya dan menyambar lagi dari bawah ke atas. Berbarengan dengan itu, tangan kirinya menampar ke arah dagu Baureksa. Hebat luar biasa serangan Mirah, sehingga diam-diam Baureksa kembali dibuat terkejut. Apalagi karena ia tidak ingin melukai Mirah. Seandainya Mirah merupakan lawan yang boleh dibunuh, si Kaki Tunggal tentu saja dapat membalas serangan itu dengan menusukkan tongkatnya yang jauh lebih panjang ke arah dada istri Umang.

Oleh karena itu, si Kaki Tunggal segera meloncat mundur sambil memiringkan badan ke kiri. Serangan golok maupun tamparan Mirah sudah menyambar ke arah dadanya.

"Buk!" Tendangan itu mendarat dengan telak. Sambil menjerit kesakitan, Baureksa terpelanting hampir lima meter. Sebelum sempat meloncat bangun, ujung golok Mirah sudah ditempelkan ke lehernya.

"Mirah, insyaflah!" kata si Kaki Tunggal agak tersendat.

"Tutup mulutmu!"

"Kau sungguh keterlaluan, Mirah! Jangan kau kira aku pernah takut mati. Kalau kau mau membunuh aku, bunuhlah sekarang juga. Tapi kelak kau akan menyesali perbuatanmu ini!"

Pada kesempatan itu, Karta bergerak cepat sekali mengayunkan kakinya menghantam kaki Umang, sehingga lelaki itu terjengkang ke belakang. Setelah itu, Karta segera meloncat bangun dan menghampiri Mirah. 

"Mirah, jangan kurang ajar!"

"Berhenti!" bentak Mirah sambil menekankan ujung goloknya ke leher Baureksa, "Kau lihat golok ini! Jika kau masih berani melangkah maju, kutebas batang leher si buntung ini!"

Wajah Karta menjadi pucat. Sebagai pendekar yang sudah sangat berpengalaman, ia segera dapat menyadari bahwa nyawa si Kaki Tunggal benar-benar terancam maut. Sekali bergerak saja, pendekar seperti Mirah tentu akan menebas lehernya hingga buntung, jika ia mau. Dan jika itu misalnya terjadi, berarti si Kaki Tunggal tewas secara tak langsung karena dirinya. Karta sungguh tak menginginkannya. Maka iapun menghentikan langkah sambil menunggu kesempatan untuk menyelamatkan sahabatnya itu.

"Jangan coba-coba bertindak tolol, Karta! Aku tidak main-main sekarang! Nyawa si buntung ini ada di ujung golokku. Kalau kau ingin dia selamat, kau harus bersedia meluluskan permintaanku tadi! Kalau  ti dak "

"Karta, jangan kau perdulikan aku! Jangan turuti kemauannya! Ia sedang dipengaruhi iblis!" teriak si Kaki Tunggal.

"Diam kau buntung!" bentak Mirah menambah tekanan goloknya sehingga kulit leher Baureksa berdarah.

"Karta, awas di belakangmu!" Baureksa berteriak tanpa memperdulikan lehernya yang sakit. Rupanya saat itu Umang sudah menerjang Karta dengan dahsyat. Goloknya diayunkan menyambar ke arah leher Si Gila Dari Muara Bondet.

Ketika senjata maut itu sudah hampir menyentuh kulitnya, Karta menunduk, lalu tangan kanannya menyambar dada Umang dengan kecepatan yang sukar diikuti mata.

"Buk!" Kuat sekali hantaman Karta, sehingga tubuh Umang terlempar dan terjatuh dari atas tebing. Karena ia terjatuh ke sebelah kiri, maka Karta menjadi terkejut sebab disadarinya bahwa di bawah sana, tebing cadas telah siap meremukkan kepala Umang.

"Hah? Umang!" teriak si Kaki Tunggal-yang juga tak kalah terkejutnya.

Akan tetapi tiba-tiba tubuh Umang berputar secara mengagumkan dan kedua telapak kakinya menempel dan langsung seperti lengket di dinding tebing, tak ubahnya seekor kelelawar. Luar biasa! Baik Karta maupun si Kaki Tunggal sangat terkejut menyaksikan kehebatan Umang.

"Astaga! Itu adalah ilmu Lalawa Hideung!" teriak si Kaki Tunggal seolah-olah tak percaya akan penglihatannya sendiri. Tidaklah mengherankan si Kaki Tunggal sangat terkejut menyaksikan Umang mempergunakan ilmu Lalawa Hideung sewaktu menyelamatkan diri. Karena seperti yang dikatakannya tadi, ia dan Umang sendiri bersama Jaka Sembung beberapa tahun lalu pernah menumpas tokoh sesat Lalawa Hideung itu di daerah Cilimus. Tetapi sekarang malah Umang sendiri yang menggunakan ilmu yang luar biasa itu.

Agaknya Mirah sendiri pun tak menduga bahwa suaminya menguasai ilmu itu. Matanya bahkan sampai terbelalak lebar-lebar menyaksikan suaminya sendiri dengan posisi menyiku di dinding tebing.

Akan tetapi Karta lebih cepat dapat menguasai perasaannya dan secepat kilat menendang tongkat si Kaki Tunggal, meluncur cepat sekali menghantam tangan kanan Mirah.

"Akh!" Mirah berseru kaget dan tanpa dapat dicegah lagi, goloknya terlepas dari tangannya. Kesempatan itu digunakan si Kaki Tunggal meloncat bangun dan menangkap tongkatnya. Hampir pada waktu yang bersamaan, kakinya menggaet kaki Mirah sehingga kehilangan keseimbangan dan terjatuh bergedebuk.

"Kurang ajar!" bentak Mirah geram.

Sudahlah, Mirah. Sadarlah! Nyebut!" ujar si Kaki Tunggal dengan suara lembut.

Pada saat itu, Umang sudah meloncat kembali ke atas tebing dan langsung memasang kuda-kuda di hadapan Karta. Sikapnya tampak lebih beringas lagi, siap mengadu nyawa dengan sahabatnya itu.

"Umang, sahabatku! Ingatlah pada Tuhan. Sadarlah. Kau telah keliru. Nyebutlah nama Tuhan. Istigfarlah!" kata Karta. Akan tetapi Umang bukannya sadar, malah menerjang Karta dengan dahsyat. Ia meloncat bagaikan terbang ke arah Karta, lalu kakinya mengirim tendangan maut ke arah dada lawan.

"Mampus kau!" bentaknya. Karta berkelit ke samping, lalu tangannya menangkap pergelangan kaki Umang. Sebelum Umang sempat berbuat apa-apa,

Karta sudah memutar tangan, melemparkan tubuh Umang ke laut.

"Byur!" Tubuh Umang tercebur ke laut. Karta sebetulnya tidak bermaksud mencelakakan Umang. Tetapi pada kesempatan itu ia berpikir, bahwa kalau Umang berendam di laut, pikirannya tentu akan lebih jernih. Setelah tubuh Umang tercebur, ia sendiri pun segera ikut terjun ke laut, karena ia tahu Umang pendekar dari Gunung Ciremai tidak pandai berenang.

Benar saja perkiraan Karta, karena begitu tenggelam ke laut, Umang segera gelagapan. Sebentarsebentar tubuhnya muncul ke permukaan, namun kemudian tenggelam lagi. Karta cuma tersenyum dan sengaja membiarkan sahabatnya itu berjuang matimatian menyelamatkan diri dari ganasnya gelombang laut.

Sementara itu, di atas tebing Mirah sudah bang-

kit berdiri dan menantang si Kaki Tunggal bertarung mengadu nyawa,

"Baureksa," katanya dan tidak menyebut si buntung lagi, "Kalau kau betul-betul pendekar jempolan, berikan golokku itu padaku. Kita bertarung secara satria. Aku sanggup membuntungi kakimu yang satu lagi!"

"Tampaknya kau sangat bernafsu melawan aku yang sudah tua. Lucu anak kecil seperti kau menantangku berkelahi. Tapi baiklah, hitung-hitung untuk melemaskan otot, atau latihan. Nih, terimalah golok mu!" Si Kaki Tunggal melemparkan golok Mirah dengan tongkatnya, yang segera disambar wanita itu dengan cepat.

"Ciaaaat!" Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Mirah segera berteriak nyaring lalu menerjang si Kaki Tunggal dengan dahsyat. Goloknya disabetkan ke arah pinggang Baureksa dan ketika lawannya itu meloncat mundur, ia mendesak maju dengan serangan yang lebih ganas lagi.

Akan tetapi keadaannya sekarang sudah berbeda dengan tadi. Kalau barusan Mirah dapat menjatuhkan Baureksa, hanyalah karena ia menyerang secara sangat mendadak dan laki-laki berkaki tunggal itu tidak bermaksud melukainya. Sekarang karena sejak tadi sudah siap sedia, dengan mudah Baureksa dapat mengelak dan menggunakan kelincahan tubuhnya meloncat ke sana ke mari, sehingga semua serangan Mirah menjadi sia-sia.

Tentu saja Mirah sangat penasaran, walaupun sejak dari dulu ia sebetulnya sudah mengetahui kepandaian si Kaki Tunggal bermain ilmu silat. Sambil berteriak melengking nyaring ia kembali menerjang lawan dengan memutar goloknya cepat sekali sehingga tampak senjata tersebut berubah jadi banyak sekali. Lalu tiba-tiba ujung goloknya meluncur ke arah dada Baureksa didahului cengkeraman tangan kiri ke arah selangkangan. Cepat dan keji bukan main serangan seperti itu, karena salah satu saja yang mengenai sasaran, Si Kaki Tunggal pasti tewas.

"Sungguh ganas!" kata Si Kaki Tunggal sambil berkelit ke samping menghindari cengkeraman tangan kiri Mirah dan pada saat yang bersamaan ia memutar tongkatnya menangkis tusukan golok lawan.

"Trang!"

Kedua senjata itu beradu menimbulkan suara berdentang keras. Karena Mirah kalah tenaga, tubuhnya sempat terdorong mundur beberapa langkah. Namun dengan cepat ia menerjang Baureksa kembali. Tubuhnya mencelat bagaikan terbang dan sewaktu meluncur ke arah si Kaki Tunggal, goloknya diayunkan menyambar leher lawan.

Melihat serangan yang sangat ganas itu, si Kaki Tunggal tetap tenang bahkan sempat tersenyum mengejek. Lalu secepat kilat ia menundukkan kepala, kemudian mencengkeram perut Mirah. Sebetulnya serangan Baureksa itu bukanlah serangan yang terlalu hebat, tetapi karena Mirah sudah dikuasai amarah yang meluap-luap, ia menjadi kurang waspada. Tanpa sempat menghindar, perutnya sudah dicengkeram dan pada saat ia hendak menyabetkan goloknya, si Kaki Tunggal sudah melemparkan tubuhnya ke laut dari atas tebing.

"Karta! Ini satu lagi, suruh dia ikut mandi!" teriak si Kaki Tunggal.

Suara jeritan Mirah mendadak terhenti ketika tubuhnya tercebur ke laut. Karena ia sama seperti Umang tidak bisa berenang, ia menjadi gelagapan. Melihat itu, Karta menjadi kasihan dan segera memburu untuk memberikan pertolongan. Tanpa disadarinya, bahaya mau telah mengancam dari dasar laut. Sebuah benda kehitam-hitaman mirip bubu penangkap ikan meluncur cepat sekali ke arah tubuh Umang. Tanpa sempat menghindar, tubuh lelaki berlengan tunggal itu terceblos masuk perangkap misterius itu dan dalam sekejap hilang di dalam laut.

Pada kesempatan itu, Karta sudah memangku tubuh Mirah hendak membawanya ke tepi pantai. Akan tetapi ia menjadi tersentak kaget manakala menyadari bahwa Umang sudah menghilang.

"Hah? Ke mana suamimu, Mirah? Tenggelam? Ah, tidak mungkin!" Karta segera menurunkan tubuh Mirah dari pangkuannya, memburu ke arah Umang gelagapan tadi. Bagaimanapun juga, Umang tak mungkin tenggelam begitu saja. Biarpun tak pandai berenang, paling tidak pasti bisa bertahan untuk beberapa saat. Pasti telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Hanya beberapa saat setelah Karta memburu ke arah Umang tadi, Mirah pun mengalami hal yang sama. Tubuhnya tersedot dan masuk perangkap maut di dalam laut. Benda berbentuk bubu penangkap ikan itu bergerak cepat sekali, sehingga dalam sekejap tubuh Umang dan Mirah sudah lenyap.

Tentu saja Karta sangat terkejut. Ternyata bukan hanya Umang yang hilang, tetapi kini telah menyusul Mirah. Ini bukan kecelakaan biasa, pasti perangkap musuh

"Kurang ajar!" bentak Karta, lalu segera menyelam. Dengan kepandaian berenang, ia bergerak ke sana ke mari memeriksa sekitar perairan pantai. Namun usahanya sia-sia. Ia telah kehilangan jejak.

Sementara itu, di atas tebing cadas, si Kaki Tunggal menunggu dengan penuh tanda tanya. Tadi ia sempat melihat Umang gelagapan dan Karta memangku Mirah. Tetapi hanya sekejap saja, kedua suami istri itu sudah lenyap. Si Kaki Tunggal pun menjadi khawatir dan menduga bahwa sesuatu yang tak diinginkan telah terjadi. Tapi karena ia pun tak begitu pandai berenang, ia hanya menunggu di atas dengan perasaan tegang.

Tiba-tiba Karta tersembul ke atas permukaan air, lalu mencelat bagaikan terbang ke atas tebing, kemudian mendarat ringan di hadapan si Kaki Tunggal.

"Celaka, Baureksa! Mereka menghilang, pasti diculik musuh!" kata Karta dengan nafas terengahengah.

"Ini tentu perbuatan musuh. Huh! Selama ini kita selalu kecolongan. Benar-benar mereka sangat lihai dan licik. Mereka bisa menyerang dari dasar laut!"

"Mungkinkah si tukang sihir jahanam itu?"

"Saya rasa memang mereka. Umang dan Mirah diculik untuk dijadikan budak melawan kita, seperti halnya Wori. Jadi kita selalu dipaksa bertempur dengan kawan-kawan sendiri. Benar-benar licik!"

"Aku jadi menyesali kejadian tadi!"

"Tak perlu terlalu disesali. Tapi kita harus berusaha untuk menemukan mereka kembali. Ah, Karta! Mengertikah kau tentang peristiwa tadi?"

"Maksudmu Mirah dan Umang telah di-pengaruhi ilmu sihir?"

"Benar! Kita masih bisa terhindar dari pengaruh sihir itu, karena batin kita bersih, tidak dipengaruhi pikiran-pikiran buruk. Mereka sudah cukup lama menikah, namun sampai sekarang belum mempunyai keturunan. Mirah tak sabar lagi menunggu bahkan iri terhadap Nomina. Dan Umang pun cemburu pula padamu. Pikiran seperti itulah yang bisa merusak kebersihan batin sehingga dengan mudah dapat dipengaruhi sihir lawan."

***

2

Sementara itu, di ruangan bawah tanah, WanDa-I dan Womere tampak tersenyum-senyum puas sambil tak henti-hentinya mengatakan bahwa dalam waktu dekat, Kepala Suku Pampani pasti akan hancur. Dan mereka pun akan menjadi penguasa di Pulau Trangan dan sekitarnya, seperti yang sudah lama dicita-citakan Wan-Da-I.

Seperti diceritakan pada awal kisah ini, tokoh sesat Wan-Da-I yang merupakan anak haram dari Iblis Pulau Aru sengaja mengundang tukang sihir dari pulau Kelepom yakni Womere untuk menghancurkan kekuasaan Pampani. Dengan ilmunya yang sangat jahat itu, Womere dapat mempengaruhi pikiran Wori si Pendekar Bumerang, sehingga memusuhi pihak Pampani yang sejak dari dulu adalah sahabatnya sendiri. Selain itu, mereka juga telah menawan Profesor Van Leinen dan Simon yang kebetulan datang dari negeri Belanda untuk melakukan penelitian ilmu pengetahuan di Kepulauan Aru.

Sekarang, pihak Wan-Da-I berhasil pula menangkap suami istri Umang dan Mirah. Tepat seperti yang diucapkan si Kaki Tunggal kepada Karta, pikiran suami istri itu sudah dipengaruhi ilmu sihir Womere. Itulah sebabnya Mirah seperti tidak tahu malu lagi mengajak bahkan memaksa Karta untuk melakukan hubungan seks. Dan ketika keduanya timbul tenggelam di laut, mereka pun masuk perangkap berbentuk bubu penangkap ikan dan langsung dibawa kabur anak buah Wan-Da-I, sehingga Karta kehilangan jejak. "Bawa mereka masuk!" kata Wan-Da-I ketika dua

anak buahnya datang sambil membawa alat perangkap misterius yang berisikan tubuh Umang dan Mirah.

Kedua laki-laki bertubuh raksasa itu masuk ke ruangan Wan-Da-I, kemudian mengeluarkan tubuh Umang dan Mirah yang ternyata sudah dalam keadaan tak sadarkan diri. Setelah itu, kedua lelaki raksasa berkulit hitam anak buah Wan-Da-I itu melangkah mundur setelah terlebih dulu mengangguk hormat ke arah majikannya.

"Womere, suruhlah mereka istirahat!" kata WanDa-I. 

"Baik, tuanku!"

Si tukang sihir Womere melangkah menghampiri Umang dan Mirah. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka direntangkan ke arah dua tawanan itu dan mulutnya komat kamit beberapa saat. Setelah itu, ia berkata dengan suara yang sangat berpengaruh: "Bangunlah, hai pendekar-pendekar yang tangkas! Bangun!"

Perlahan-lahan Umang dan Mirah membuka mata, seperti orang baru tersadar dari mimpi buruk. Keduanya merasa tubuhnya sangat lemas, tetapi terasa ada kekuatan gaib memaksa mereka untuk bangkit berdiri.

"Bangun! Bangun..... dan berjalan..." kata Womere lagi.

Seperti robot, Umang dan Mirah melangkah sesuai perintah Womere. Sinar mata mereka sayu, bahkan seakan-akan tidak bersinar sedikitpun juga, ditambah gerak tubuh yang sangat kaku, maka mereka tak ubahnya seperti mayat berjalan.

"Jalan ke depan!" perintah Womere yang masih tetap merentangkan tangan mengikuti suami istri itu dari belakang dalam jarak sekitar dua meter. Umang dan Mirah terus melangkah menuju sebuah ruangan lain melalui lorong sempit dan gelap.

Dalam ruangan itu telah tersedia dua buah peti kayu yang bentuknya seperti peti mati. Begitu sepasang pendekar itu masuk ke ruangan itu, dua pengawal bertubuh raksasa tadi segera membuka tutup peti. Tanpa diperintah lagi, Umang terlebih dahulu melangkah dan masuk ke dalam peti. Beberapa saat kemudian, Mirah pun masuk ke dalam peti yang satu lagi.

"Bagus! Beristirahatlah kalian dengan baik. Kalau saatnya sudah tiba, kalian akan diberikan tugas!" ujar Womere sambil memberikan isyarat agar kedua pengawal segera menutup peti mati itu kembali.

Di sudut ruangan itu, ada pula dua lelaki berkulit putih yang agaknya juga merupakan tawanan WanDa-I. Keduanya duduk dengan kedua tangan terbelenggu kepada dinding batu ruangan itu. Mereka adalah Profesor Van Leinen dan sahabat mudanya Simon. Kedua orang asing itu terkejut menyaksikan sepasang insan berlainan jenis digiring masuk, lalu masuk ke dalam peti. Jelas tampak oleh kedua kulit putih itu betapa Umang dan Mirah bagaikan robot saja disuruh berjalan dan masuk peti oleh Womere.

"Profesor, coba lihat di sana! Dua orang tawanan baru," kata Simon setengah berbisik.

"Aku sudah melihatnya sejak tadi. Tampaknya mereka adalah sahabat-sahabat kepala suku Pampani. Wajah mereka seperti tergambar dalam bentuk boneka gabus yang kemarin kita lihat di kamar Womere. Kasihan mereka."

"Tapi mengapa mereka tidak diperlakukan seperti kita? Mereka tidak dibelenggu!"

Profesor Van Leinen menghela nafas panjang. Sekalipun belum ada yang menjelaskan, namun karena sudah sangat berpengalaman maka ia segera dapat mengerti kenapa dua tawanan baru itu tidak dibelenggu seperti mereka.

"Mereka adalah tawanan istimewa, lain dengan kita. Untuk membelenggu mereka tidak memakai rantai besi, melainkan menggunakan ilmu magis. Karena tawanan pribumi itu adalah orang yang menggunakan kekuatan batin. Sedangkan kita adalah orang-orang yang berkekuatan pikiran. Oleh karena itu, untuk orang seperti kita bagiannya adalah rantai besi."

"Aku punya ide, Prof." "Maksudmu apa?"

"Betapa sempurnanya kalau kita pun bisa mempelajari ilmu-ilmu magis dari belahan bumi bagian Timur ini. Kita akan menjadi bangsa yang tak terkalahkan."

"Mungkin ada benarnya. Tetapi prosesnya tidaklah semudah yang kau pikirkan. Semuanya serba susah dan membutuhkan kesabaran serta kebulatan tekad. Tapi kita lihat saja nanti. Nasib kita saja belum kita ketahui bagaimana akhirnya. Selamat dari cengkeraman orang-orang ini saja sudah syukur. Mereka sangat jahat dan licik, jauh berbeda dengan Pampani serta kawan-kawannya."

Pada kesempatan itu, ketika hari sudah mulai pagi, si Kaki Tunggal dan Karta sudah sampai di halaman istana. Wajah mereka pucat mencerminkan kecemasan, karena Umang dan Mirah telah hilang entah ke mana. Walaupun belum menemukan petunjuk tentang hilangnya kedua sahabat mereka itu, namun si Kaki Tunggal dan Karta sudah dapat menduga bahwa yang menangkap suami istri itu pastilah pihak WanDa-I. Dan itu pula yang membuat mereka sangat cemas, karena keduanya menyadari bahwa sekali jatuh ke tangan tokoh sesat itu, maka akan sulitlah melepaskan diri.

"Untuk sementara sebaiknya kau turut berjagajaga di lingkungan istana, Karta. Siapa tahu pihak musuh bersiap-siap menyerang kita."

"Tidak, Baureksa. Lebih baik aku tetap tinggal di laut. Lebih banyak manfaatnya."

"Aku mempunyai pertimbangan lain, Karta. Ingat, di saat Mirah dan Umang masih ada, kita tetap bisa kebobolan dan keteter oleh ancaman musuh."

"Tapi lihat posisi kota kita, terpagar kuat. Begitu musuh menyelundup, langsung diketahui para penjaga di atas menara. Semua orang bisa segera bersiap-siap. Jadi yang tidak bisa diduga-duga adalah serangan yang langsung dilancarkan dari laut. Tugaskulah untuk memata-matainya."

"Hm, betul juga pendapatmu. Hampir tak terpikir olehku. Hm, tiba-tiba aku teringat pada pintu tembusan yang pernah, kau temukan itu. Coba kau tunjukkan padaku di mana letaknya."

"Baiklah!" Karta segera meloncati pagar yang mengelilingi istana, disusul oleh si Kaki Tunggal. Dalam sekejap saja, keduanya sudah berada di belakangan istana. Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, kedua pendekar itu merangkaki kolong bangunan besar itu.

Setelah cukup lama merangkak, Karta memberi isyarat untuk berhenti. "Aku, pun baru ingat sekarang pada terowongan ini. Mudah-mudahan kita bisa menemukan Umang dan Mirah," bisiknya.

Terowongan yang dimaksudkan Karta itu merupakan sebuah lubang yang tidak terlalu besar. Agaknya pintu masuk itu sangat dirahasiakan, sehingga selama ini tak seorang pun di antara para laskar yang mengetahuinya. Dulu hanya karena kebetulan saja si Gila Dari Muara Bondet menemukannya. Dengan sangat hati-hati, Karta membuka tutup pintu tembusan yang terbuat dari batu bundar. Si Kaki Tunggal terlebih dulu masuk diikuti oleh Karta. Mereka kemudian menuruni tangga batu di bawah tanah, sambil meraba-raba karena tempat itu sangat gelap.

"Belok kiri. Seingatku ada lorong menuju ke sana. Hati-hati dengan tongkatmu," bisik si Gila Dari Muara Bondet.

"Jangan khawatir. Ujung tongkatku ini mempunyai mata yang langsung berhubungan dengan seluruh urat-urat syaraf dalam tubuhku."

Kedua pendekar itu terus menuruni tangga batu, hingga kemudian si Kaki Tunggal menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Karta yang berjalan di belakangnya menjadi heran, "Kenapa berhenti. Ada apa?"

"Kita sudah ketinggalan. Lorong itu telah ditutup batu."

"Kurang ajar! Benar-benar cerdik mereka. Sampai kita tidak sempat berbuat apa-apa untuk memasuki sarang mereka. Yah, tampaknya tak ada jalan lain lagi!"

Keduanya memutuskan untuk ke luar kembali. Namun betapa terkejutnya mereka ketika hendak kembali, pintu batu bundar itu sudah terkunci dari luar.

"Celaka! Pintu itu sudah ditutup dari luar. Kita terjebak!" kata si Kaki Tunggal.

"Apa yang harus kita lakukan?" Karta bertanya sambil berfikir keras. Tetapi tiba-tiba terdengar suara berdesis dari sela-sela tutup lubang itu dan ketika menengadah tampaklah asap berwarna ungu bergumpalgumpal ke arah mereka.

"Asap beracun!" teriak Karta panik. Ia mencoba menahan pernafasan agar tidak menghirup asap itu. Si Kaki Tunggal pun melakukan hal yang sama, namun daya tahannya tidak terlalu lama. Ia menghirup asap beracun itu, hingga terdengar batuk-batuknya memenuhi ruangan sempit itu. Tak lama kemudian, ia pun roboh lemas. Karta memiliki daya tahan yang lebih lama, karena sejak kecil ia sudah terbiasa menyelam, baik di sungai maupun di laut.

Sambil mengerahkan tenaga dalamnya, lelaki itu mencoba mendorong pintu batu bundar, namun tidak berhasil, sehingga yakinlah ia bahwa pintu itu sengaja ditahan orang dari atas. Hal itu membuat Karta bertambah geram, karena kalau tidak segera dapat ke luar dari kepungan asap beracun itu, maka ia bersama si Kaki Tunggal pastilah akan celaka. Bahkan tidak mustahil akan tewas secara mengerikan.

Dalam keadaan yang sangat genting itu, Karta segera memasang kuda-kuda sambil memusatkan perhatiannya. Kedua tangannya disilangkan di depan dada, lalu sambil melengking nyaring, ia memukul pintu batu bundar itu.

"Ciaaaat ! Praaaak!" Hebat bukan main pukulan

Karta yang dilancarkan dengan pengerahan tenaga dalam itu. Seketika pintu batu itu hancur berantakan.

"Baureksa, kita harus segera ke luar!" teriak Karta sambil mengangkat tubuh si Kaki Tunggal yang sudah sangat lemas. Sekali meloncat, ia pun berhasil ke luar dari lubang itu. Akan tetapi sepotong kayu besar menyambar dan langsung menghantam punggung Karta, sehingga terpelanting bersama si Kaki Tunggal. Sebelum keduanya berhasil bangkit, tiang kayu penyangga bangunan yang cukup besar itu telah menimpa punggung mereka.

"Ha ha ha! Memang kalian berdualah yang paling sulit ditundukkan. Tetapi sekarang, tiba saatnya aja menjemput nyawa kalian. Dan Pampani bukanlah apaapa bagiku!" Orang itu menginjak balok kayu sehingga leher Karta terjepit. Pendekar gagah perkasa itu mencoba melepaskan diri, tetapi karena tadi sudah kehabisan tenaga ia tak bisa berbuat banyak, apalagi karena tenaga injakan orang itu sangatlah kuatnya.

Sambil berusaha menahankan rasa sakit di lehernya, Karta melirik dan memperhatikan wajah orang itu. Wajahnya tiba-tiba berubah jadi pucat, tetapi sebentar kemudian berubah merah padam kembali. Tampaknya ia sangat terkejut, bahkan seolah-olah tak percaya akan penglihatannya sendiri.

"Kau... kau Maleang Pangaru ?" Karta mendesis

menyebut nama Iblis Pulau Aru. Wajar kalau pendekar si Gila Dari Muara Bondet terkejut bagaikan disambar petir, karena dahulu Maleang Pangaru yang dijuluki Iblis Pulau Aru itu sudah tewas bersama pendeta Naomi, nenek tua yang juga tak kalah jahatnya. Bagaimana sekarang tiba-tiba Iblis Pulau Aru muncul dalam keadaan segar bugar bahkan menyerangnya? Karta tak habis pikir, dan karena ia tahu tokoh sesat itu sangat tinggi ilmunya serta sangat jahat pula, nyawanya sudah pasti dalam keadaan terancam.

Melihat Karta terkejut, laki-laki tua itu tertawa terbahak-bahak hingga perutnya berguncang-guncang, "Ha ha ha! Seperti yang kau lihat sendiri. Aku telah datang menagih nyawamu!"

Suara gaduh di bagian belakang istana itu rupanya membuat para penjaga gempar. Tanpa dikomando lagi, para laskar itu menyerbu ke arah suara  itu dengan senjata terhunus. Mereka ternyata dipimpin oleh Pampani sendiri.

"Berpencar! Sebagian masuk ke kolong bangunan dan sebagian lagi masuk lewat pintu. Cepat!" teriak Pampani dengan suara menggelegar mengatasi suara hiruk pikuk serbuan laskar. Dengan sigap,  mereka pun menyerbu menuruti perintah pimpinannya. "Itu dia orangnya!" teriak seorang laskar ketika melihat seorang lelaki sedang menjepit leher Karta dengan balok kayu.

"Sergap!"

"Bunuh!"

Laskar yang jumlahnya puluhan orang itu berteriak-teriak sehingga dalam sekejap Maleang Pangaru sudah terkepung rapat. Akan tetapi laki-laki itu memang bukan orang sembarangan. Begitu puluhan tombak mengincar tubuhnya dari segala arah, ia segera berputar dan kedua tangannya bergerak cepat sekali.

"Krak! Krak!" Senjata-senjata tombak itu berpatahan dan sebelum laskar sempat menguasai rasa kagetnya, kedua tangan Maleang Pangaru sudah mencengkram ke sana ke mari. Cengkraman itu kuat dan keras bagaikan baja, sehingga setiap laskar yang terkena langsung roboh dengan tubuh tercabik-cabik. Ada yang kulit perutnya tembus, hingga ususnya terburai, ada yang lengannya copot, ada yang lehernya hampir putus dan sebagainya.

Walaupun demikian, laskar lainnya tetap tidak gentar. Mereka terus menerjang. Roboh satu maju dua atau tidak orang, sehingga makin banyaklah laskar yang roboh bermandikan darahnya sendiri. Bagaimanapun juga, kekuatan laki-laki tersebut tentu ada batasnya. Setelah cukup lama bertarung, ia akhirnya terdesak bahkan kemudian berdiri dalam keadaan tak berkutik di dekat tiang istana.

"Bunuh!" Terdengar teriakan nyaring dan tombak-tombak itu pun merekam tubuh Maleang Pangaru. Tubuh orang tua itu mengejang meliuk dan meregang, kemudian terkapar dengan puluhan tombak tertancap di tubuhnya. Terdengar jeritan panjang keluar dari mulut lelaki tua itu dan setelah menggelepar-gelepar beberapa saat, tubuh itu pun terkulai lemas dalam keadaan tidak bernyawa. "Mampus kau!"

"Horeee! Kita berhasil membunuhnya. Tuanku Pampani pasti sangat gembira melihatnya. Kawankawan, salah seorang di antara kalian cepat memberitahukannya kepada Tuanku Pampani!" teriak pemimpin laskar itu dengan wajah cerah ceria.

"Aku saja!" teriak seorang pengawal istana, lalu bagaikan anak panah dilepas dari busurnya berlari sambil berjingkrak-jingkrak hendak memberitahukan keberhasilan mereka kepada Pampani. Akan tetapi ketika sampai di halaman belakang istana, pengawal itu mendadak menghentikan langkahnya. Matanya terbelalak lebar dan mulutnya menganga bagaikan anak kecil melihat setan di siang bolong.

Maleang Pangaru yang tadi dilihatnya telah tewas di ujung puluhan tombak, kini justru bertarung dengan Pampani. Pengawal itu hampir tak percaya pada penglihatannya sendiri. Ia mengusap-usap matanya, bahkan kemudian mencubit lengannya sendiri dan manakala terasa sakit, sadarlah ia bahwa dirinya tidak sedang bermimpi. Saking kaget dan bingungnya, pengawal itu hanya berdiri bengong bagaikan patung, tidak tahu harus berbuat apa.

Beberapa saat kemudian, pengawal itu tersadar, lalu berbalik lagi ke tempatnya semula ingin menyaksikan keadaan musuh mereka yang tadi terkapar berlumuran darah dan sudah diyakini tewas. Di depan pintu, ia bertubrukan dengan kawannya sendiri yang saat itu juga kebetulan berlari hendak ke luar.

"Duk!" Kepala mereka sama-sama beradu keras. Akibatnya kedua laskar itu sama-sama terjengkang dengan jidat benjol. Terdengar suara makian, tetapi tanpa memperdulikan rasa sakit di kepalanya, pengawal itu terus berlari ke dalam. Ia menyeruduk kerumunan kawan-kawannya bagaikan babi hutan dikejarkejar pemburu. Beberapa laskar terpelanting oleh dorongan yang sangat kuat.

Agaknya pengawal itu terlebih dulu menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi. Maka ia pun berteriak-teriak bagaikan orang kesurupan setan. "Lihat !

Lihat! Kalian rupanya buta semua. Rabun dan kotok! Lihat, siapa dia!"

Para laskar itu sama-sama melihat ke arah musuh yang tadi mereka rejam hingga tewas.

"Hah?" Serentak para laskar itu mengeluarkan suara kaget dan sama-sama meloncat mundur. Lelaki yang terkapar dengan puluhan tombak tertancap di tubuhnya itu ternyata bukan Maleang Pangaru seperti yang mereka lihat tadi. Lelaki itu tidak tua, melainkan masih muda dan tubuhnya pun tegap, tidak kurus seperti halnya Maleang Pangaru.

Seorang laskar meloncat dan mengangkat wajah yang terkulai itu. Dan ia kembali berseru kaget bagaikan orang disengat kalajengking: "Hah? Ini ini kawan

kita sendiri!" Yang lainnya memperhatikan dengan seksama. Dan benar, korban yang mereka rejam hingga tewas adalah teman mereka sendiri. Sadarlah para laskar itu bahwa mereka sudah bertindak salah, menghabisi nyawa teman sendiri. Padahal tadi, dengan sangat jelasnya mereka menyaksikannya sebagai Malaeng Pangaru. Bagaimana mereka semua yang jumlahnya puluhan orang itu sedemikian mudahnya tertipu oleh musuh? Untuk beberapa saat, para laskar itu terdiam, saling berpandangan dengan wajah menunjukkan rasa bersalah dan penyesalan yang sangat dalam.

Beberapa di antara para laskar itu, yang agaknya tadi ikut merejam tubuh kawan mereka dengan tombak segera meninggalkan tempat itu dengan air mata bercucuran. Tak terlukiskan bagaimana hancurnya perasaan mereka karena terlanjur membunuh kawan sendiri.

Sementara itu, Pampani tampak mulai terdesak oleh musuh yang berwujud Iblis Pulau Aru itu. Semua ilmu simpanan Pampani sudah ia keluarkan, namun jangankan mendesak, ia makin keteter dan pada suatu kesempatan, tendangan kaki lawan mendarat telak di dagunya.

"Braaak!" Tubuh Pampani terpelanting dan menghantam tiang bangunan. Tanpa ampun lagi bangunan di sekitar itu roboh menimpa tubuh sang Kepala Suku. Dengan sisa tenaga yang ada, Pampani melemparkan puing-puing bangunan yang menimpa tubuhnya. Ia terengah-engah dan sekujur tubuhnya dibanjiri keringat. Wajahnya agak pucat, karena ia sadar nyawanya benar-benar sangat terancam. Tetapi sebagai pendekar gagah perkasa yang juga sebagai kepala suku, ia tidak mau menyerah begitu saja. Baginya mati dalam pertarungan, apa lagi melawan musuh besarnya adalah lebih terhormat daripada menyerah. Maka ia pun segera meloncat bangun dan tampak agak sempoyongan.

Melihat itu, lawan tertawa kemudian menyeringai buas. Beberapa saat kemudian, tubuhnya berkelebat menerjang Pampani. Tangan kirinya melancarkan pukulan maut ke arah dada Pampani. Cepat sekali gerakkannya, sehingga kepala suku itu hanya sempat berkelit ke samping dengan cara menggeser kaki. Tetapi agaknya serangan itu hanya pancingan saja, karena begitu Pampani menggeser kaki, tiba-tiba kaki kanan lawan sudah menghantam dadanya.

"Buk!"

Tubuh Pampani kembali terlempar dan sebelum ia sempat bangkit, tendangan lawan lagi-lagi menghantam dagunya. Menyusul lagi hantaman kaki kiri, hingga akhirnya Pampani tergeletak tak berdaya lagi. Kepalanya sangat pusing, sehingga tanah tempatnya tergeletak terasa berputar-putar, pandangan matanya pun berkunang-kunang, sehingga kadang-kandang tubuh lawan tampak berubah jadi banyak sekali.

Kembali lawan yang berwujud Maleang Pangaru itu menyeringai buas. Matanya berkilat-kilat dan merah bagaikan memancarkan api sewaktu menatap Pampani. Agaknya ia sudah memutuskan akan menghabisi nyawa kepala suku itu. Tetapi sebelum melaksanakan niat hatinya, ia masih sempat berkata.

"Riwayatmu akan kuakhiri sampai di sini saja. Sebenarnya tanpa bantuan pendekar-pendekar dari Pulau Jawa itu, kau tidak ada artinya sama sekali bagiku. Walaupun mereka tidak sesakti si Setan Cebol, tetapi mereka cerdik-cerdik serta ulet. Tidak seperti kau yang dungu bagaikan kerbau. Walaupun demikian, kawan-kawanmu itu satu persatu sudah kupereteli hingga suatu saat nanti semuanya akan bertekuk lutut di hadapanku. Sekarang giliranmu untuk mampus!"

Orang tua itu mengangkat kaki kanannya, bersiap-siap menginjak dada Pampani hingga remuk. Akan tetapi tiba-tiba sebuah balok kayu menghantam tengkuknya

"Buk! Augh!"

Tubuh lelaki itu terdorong ke depan, memegangi belakang kepalanya yang dihantam pakai balok kayu itu, ternyata sudah retak dan mengeluarkan darah. Ia menggeram hebat sambil memutar tubuh melihat siapa yang menyerangnya dari belakang. Ternyata adalah Karta sendiri.

Tadi pendekar dari Muara Bondet itu tertimbun di dalam reruntuhan bangunan dan karena sudah sempat kehabisan tenaga, ia tidak bisa segera bangkit. Barulah setelah menghimpun tenaga dalamnya, ia merasa kuat kembali. Tepat ketika ia ke luar dari reruntuhan, ia melihat Pampani sedang terancam maut dan ia pun segera bertindak menyelamatkan nyawa kakak iparnya itu.

"Yeaaaaa!" Karta melengking panjang dan nyaring. Tubuhnya mencelat bagaikan terbang menerjang Maleang Pangaru. Goloknya diputar cepat sekali hingga menimbulkan suara berdesing-desing dan menimbulkan gulungan sinar mata golok kehitam-hitaman mengurung tubuh lawan. Itulah ilmu golok Karta yang paling dahsyat, sehingga lawan bisa kebingungan sebab senjata di tangannya tampak berubah jadi banyak sekali dan setiap saat selalu mengincar tubuh musuhnya, dari segala sudut.

Tetapi lawan yang dihadapinya saat ini juga bukan orang sembarangan. Mendapat serangan yang sangat cepat seperti itu, ia segera meloncat menghindar, kemudian melancarkan serangan balasan dengan tangan kosong tetapi tidak kalah berbahayanya. Pada saat itu, dari dalam lubang muncul pula sesosok tubuh, yang tak lain adalah si Kaki Tunggal sendiri. Setelah mengerahkan tenaga dalamnya tadi, ia pun dapat mengusir pengaruh asap beracun yang memenuhi paru-parunya. Pendekar berilmu tinggi ini pun tidak kalah terkejutnya melihat di tempat itu telah mengamuk lelaki tua yang sangat mirip dengan Iblis Pulau Aru. Wajah dan penampilan maupun cara bertarung orang itu tidak ada bedanya dengan Maleang Pangaru, sehingga kalau misalnya si Kaki Tunggal belum tahu bahwa tokoh sesat itu sudah tewas dahulu, tentu dia tidak akan ragu-ragu lagi bahwa lelaki itu adalah musuh besar Pampani.

"Apakah benar-benar Iblis itu atau hanya ilmu sihir belaka?" tanya hati si Kaki Tunggal. Ia ingin menyaksikan kehebatan ilmu silat orang aneh itu. Maka ia pun melemparkan topi pandannya sambil mengerahkan tenaga dalam, sehingga topi itu meluncur cepat sekali. Agaknya lelaki itu tidak sempat memperhatikannya, sehingga topi si Kaki Tunggal dengan telak menghantam tulang iga Maleang Pangaru.

"Aaaah!"

Tubuh Maleang Pangaru meliuk-liuk dengan wajah yang tiba-tiba berubah jadi pucat, pertanda bahwa ia menderita luka dalam yang cukup parah akibat hantaman topi si Kaki Tunggal.

"Oh, kau sudah datang Baureksa!" seru Karta girang. Ketika melihat sahabatnya menerjang Maleang Pangaru, ia pun melancarkan serangan mautnya.

"Yeaaaa!"

Tongkat si Kaki Tunggal menyambar ke arah leher Maleang Pangaru sementara golok Karta membabat ke arah pinggangnya. Hebat sekali serangan kedua pendekar itu. Tetapi dalam keadaan yang sangat kritis itu, Maleang Pangaru masih sempat mengelak dengan cara berkelit ke samping sambil menundukkan kepala sehingga kedua senjata lawan hanya menerpa angin. Namun saat itu, tangan kiri si Kaki Tunggal sudah menghantam pinggangnya.

"Buk!"

Tubuh Maleang Pangaru terpelanting beberapa meter. Melihat itu, Karta menjadi girang, lalu segera meloncat sambil mengayunkan goloknya siap membabat leher lawan hingga putus. Akan tetapi tiba-tiba terdengar jeritan:

"Tahan! Aku adalah Pampani!"

"Mampus kau!" bentak Karta karena mengira musuhnya hendak memperdayai mereka kembali. Goloknya meluncur cepat sekali menusuk dada lawan. "Tunggu! Aku adalah Pampani, bukan Maleang Pangaru!" Lelaki itu kembali berteriak. Akan tetapi Karta tetap tidak mau perduli. Goloknya terus meluncur dan tampaknya lawannya pun tidak akan mampu mengelak lagi.

"Trak!" Hanya beberapa centimeter sebelum menghunjam di tubuh lawan, golok Karta tertahan oleh tangkisan tongkat Kaki Tunggal sahabatnya.

"Tunggu dulu, Karta!" kata si Kaki Tunggal setengah membentak "Lihat baik baik, siapa yang hendak kau bunuh itu!"

Karta memperhatikan wajah lelaki yang hendak dibunuhnya! Dan dia pun berseru kaget dengan wajah pucat, "Astaga! Pampani!"

"Kita hampir membunuh kawan sendiri," kata si Kaki Tunggal seraya menggeleng-gelengkan kepala.

Karta segera menyarungkan goloknya! lalu membantu Pampani berdiri. Dadanya masih berdebardebar, tak berani membayangkan apa yang bakal terjadi seandainya si Kaki Tunggal tidak menangkis goloknya tadi. Padahal sewaktu ia menerjang, jelas sekali terlihat oleh matanya bahwa lelaki itu adalah Maleang Pangaru. Sadarlah pendekar itu bahwa dirinya sudah termakan oleh ilmu sihir lawan. "Maafkan aku, Pampani!"

Para laskar yang menyaksikan kejadian itu juga tidak kalah terkejutnya. Tadi mereka sudah bersiapsiap melakukan pengeroyokan terhadap musuh besar mereka. Namun ternyata musuh yang tampak sebagai Maleang Pangaru itu adalah kepala suku mereka sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa terbahakbahak, keras sekali dan sambung menyambung seperti suara ketawa setan dari alam gaib. Pampani dan sahabat-sahabatnya maupun para laskar sama-sama berpaling ke arah asal suara itu. Alangkah terkejutnya mereka menyaksikan dua sosok tubuh laki-laki sedang berdiri sambil tertawa-tawa di atas atap istana. Itulah si Tukang sihir Womere bersama Wan-Da-I yang di mata Pampani serta kawan-kawan maupun laskarnya adalah tak ada bedanya dengan Maleang Pangaru sendiri. Demikianlah hebat dan jahatnya ilmu sihir Womere sehingga semua musuh mereka dengan sangat mudahnya dapat diperdayai.

"Ha ha ha! Kalian lihat, betapa mudahnya aku merebut kekuasaan kembali. Tetapi aku tak mau buru-buru. Akan kubikin kalian lebih panik lagi sampai hatiku puas." teriak Wan-Da-I.

"Jahanam kau! Kau benar-benar iblis terkutuk dan keji. Suatu saat aku akan mematahkan batang lehermu, bangsat!" teriak Pampani geram.

"Ha ha ha...! Bagus! Bagus anak tolol Aku akan menunggu! Lebih cepat lebih baik. Sekarang waktuku hanya sedikit hingga tak sempat lagi bermain-main denganmu. Tapi percayalah, aku akan segera datang. Sampai jumpa lagi, Pampani yang tolol!"

"Turun kau!"

Akan tetapi kedua musuh besar mereka itu tidak menyahut lagi karena sudah berkelebat dan dalam sekejap saja sudah hilang dari pandangan. Dengan gerakan yang sangat ringan, mereka meloncati atap-atap serta pagar yang merupakan benteng istana.

Seorang penjaga menara yang sempat melihat larinya kedua musuh itu mengarahkan tombaknya dengan cermat. Senjata tajam itu kemudian dilemparkan, menimbulkan suara berdesing menuju sasaran. Demikian cepatnya tombak itu meluncur dan dengan sangat jitu menyambar ke arah pinggang Wan-Da-I.

Akan tetapi dengan gerakan yang lebih cepat lagi, lelaki itu berputar dan sambil menggeram menendang tombak itu. Kuat sekali tenaga tendangan itu, sehingga tombak penjaga menara berbalik dan meluncur cepat sekali ke arah pemiliknya. Penjaga menara hanya sempat menyaksikan kilatan cahaya menyambar ke arahnya, lalu tiba-tiba ia merasa dadanya nyeri. Ternyata tombak yang tadi dilemparkannya ke arah musuh sudah menancap di dadanya sendiri.

"Aaaaaah!" Terdengar jerit panjang yang sangat memilukan ketika tubuh itu terhempas ke bawah, dalam keadaan tak bernyawa lagi.

"Buk!" Tubuh itu terjerembab sekitar sepuluh meter dari para laskar, sehingga membuat mereka tersentak kaget. Lalu? sama-sama memburu teman mereka yang bernasib malang itu.

"Hah? Ilmu iblis!" "Keparat!"

Bermacam-macam kata makian yang keluar dari mulut para laskar itu setelah mengetahui bahwa teman mereka sudah tewas. Pampani, si Kaki Tunggal dan Karta yang tiba kemudian di tempat itu hanya menghela nafas panjang. Tampaknya pihak lawan sedemikian mudahnya membunuh orang-orang mereka, seolah-olah mereka hanyalah anak-anak ayam di hadapan seekor elang ganas.

Pada kesempatan itu, Womere dan Wan-Da-I sudah jauh dari istana Pampani. Mereka tidak berlari kencang lagi, bahkan kemudian berjalan agak santai.

Wajah kedua tokoh sesat itu tampak memancarkan rasa puas, tentu saja karena barusan sudah berhasil memperdayai musuh-musuh mereka. Cuma agak disayangkan, ilmu sihir Womere yang sangat hebat itu tampaknya tidak mempan terhadap para pendekar Pulau Jawa yakni si Kaki Tunggal dan Karta sendiri. Tadi Karta sudah hampir membunuh Pampani yang dikiranya adalah Maleang Pangaru, tetapi kemudian ia pun tersadar seperti halnya si Kaki Tunggal, sehingga Pampani pun lolos dari maut.

"Hebat juga pendekar-pendekar Pulau Jawa itu.

Mereka tak mempan ilmu sihirmu Womere!"

Si tukang sihir dari pulau Kolepom sebenarnya terkejut juga. Dan diam-diam harus merasa kagum, karena bukan hanya sekali ini, bahkan sudah beberapa kali ilmu sihirnya gagal mempengaruhi si Kaki Tunggal dan Karta. Akan tetapi di hadapan Wan-Da-I, si tukang sihir itu tentu saja tidak mau mengutarakan kelemahannya, bahkan kemudian memberikan dalih untuk menutupi rasa tak enak di hatinya.

"Memang benar, Tuanku! Tetapi itu adalah karena belum seluruhnya ku keluarkan. Tapi bagaimanapun juga, kita sudah beruntung karena mereka tampaknya sudah benar-benar yakin bahwa Maleang Pangaru masih hidup."

Wan-Da-I manggut-manggut sambil tersenyum gembira karena apa yang diucapkan Womere itu benar adanya. Lalu kemudian ia menghentikan langkahnya

"Tunggu sebentar, Womere! Aku tak betah dengan bulu-bulu palsu ini!" Lalu Wan-Da-I pun mencopot kumisnya serta janggut palsu yang menutupi wajahnya. Setelah itu ia mengucek-ucek rambutnya, dan terlihatlah tampangnya yang asli.

"Tuanku Wan-Da-I! Mereka pasti yakin bahwa kekuatan kita sangat besar. Apalagi karena mereka telah melihat Maleang Pangaru dan pendeta Naomi seolah-olah sudah hidup kembali. Oh, iya. Ada kabar gembira, Tuanku! Wori sudah kembali dan membawa barang-barang yang kita kehendaki."

"Bagus! Kalau begitu kita manfaatkan sekarang keahlian kedua orang kulit putih itu."

Setelah tiba di sarang mereka kembali Wan-Da-I segera memerintahkan agar Profesor Van Leinen dan Simon dibawa menghadap. Dua pengawal bertubuh raksasa dan berkulit hitam legam yang selama ini tak pernah lalai mengawasi kedua tawanan itu, segera melaksanakan perintah majikannya. Profesor tua itu dan Simon dibawa menghadap dengan kedua tangan yang masih tetap terbelenggu.

"Lepaskan belenggu itu!" perintah Wan-Da-I. Dan setelah pengawal melepaskannya, tokoh sesat itu berkata kepada kedua orang kulit putih tawanannya, "Sekarang tugas untuk kalian berdua sudah menunggu. Sesudah itu, kalian boleh bebas pergi dari sini memburu manusia monyet itu." Lalu ia pun memberikan isyarat berupa anggukan kepala kepada Womere.

"Tuan-tuan," kata Womere sambil menatap wajah Profesor Van Leinen dan Simon bergantian, "Mari ikut aku! Hai, pengawal, bawa mereka masuk!"

Kedua orang kulit putih itu kemudian dibawa ke dalam kamar rahasia Womere. Di dalam ruangan itu ternyata sudah banyak peti-peti berbentuk tong, yang tampaknya baru dimasukkan ke sana.

"Nah, Tuan-tuan, dalam peti-peti tong ini tersimpan bubuk-bubuk mesiu, hasil dari ilmu pengetahuan Barat bangsa kalian sendiri. Kini Tuan-tuan harus segera mengerjakannya untuk kepentingan kami. Ini adalah kerjasama yang baik di antara kita. Sebagai rasa terimakasih kami nanti, kalian akan kami berikan banyak sekali mutiara atau benda lainnya yang kalian perlukan."

"Apa maksudmu?" tanya Profesor Van Leinen sambil mengerutkan kening. Sehingga ia tampak lebih tua dari usia yang sebenarnya.

"Tuan-tuan harus membuat alat peledak untuk beberapa ukuran! Selain itu, kalian pun harus mengajarkan cara pembuatannya kepada kami!"

Profesor Van Leinen tidak segera menyahut, tetapi dari raut wajahnya dapat diduga bahwa ia sangat tidak setuju dengan maksud Womere. Agaknya, tukang sihir itu pun sudah terlebih dulu memikirkannya. Maka ia tampak tersenyum setengah menyeringai. Sikapnya jelas sangat mengancam ketika berkata: "Ingat! Janganlah coba-coba menipu kami. Kami dapat segera mengetahui gelagat kalian. Nah, selamat bekerja!"

"Kalau kami tidak mau bagaimana?"

"Tidak mau?" Womere tertawa ngakak, "Aku yakin kalian bukanlah orang tolol yang mau menolak maksud baik kami. Tak ada alasan bagi kalian untuk menolaknya. Kerjakanlah dengan segera. Makin cepat makin baik."

Profesor Van Leinen tampak menghela nafas dalam-dalam. Ia terlihat dari wajahnya yang pucat dan sikapnya yang gelisah.

"Mari, Profesor! Sebaiknya kita menuruti permintaan mereka! Makin cepat makin baik, agar kita segera bebas dari tempat neraka ini," kata Simon setengah berbisik ke telinga ahli biologi dan ilmu alam itu.

"Simon, kita diharuskan membuat alat membunuh yang paling keji untuk digunakan membantai orang-orang yang belum tentu merupakan musuh kita. Aku..."

"Jangan tolol, Profesor!" sela Simon cepat, "Kita harus melakukannya. Tak perduli, karena semua penduduk pribumi di sini adalah rintangan bagi usaha kita."

"Tidak, Simon! Kau jangan menyamakan semuanya. Kepala suku bernama Pampani itu orangnya lain, ia sangat bijaksana. Ia tidak berbuat kerja paksa seperti ini jika seandainya kita jatuh ke tangannya. Itu tandanya bahwa..."

"Tutup mulutmu, Tuan!" bentak Wan-Da-I yang sudah berada di ruangan itu "Tak ada pilihan lain bagi kalian kalau ingin keluar dari sarangku dalam keadaan selamat."

"Sebaiknya tuan-tuan segera melakukan perintah kami. Kami masih banyak urusan, sehingga tak perlu mendengar ocehanmu. Pengawal-pengawal raksasa itu akan mengawasi kalian!" kata Womere pula.

Tiba-tiba sang Profesor mendengus, "Mengapa tak kalian paksa aku dengan cara permainan bonekaboneka ajaib itu. Terus terang aku tak mau melakukannya."

"Hati-hati bicara, Prof! Mereka bisa marah!" bisik Simon gemetar.

"Pertanyaanmu lucu juga, Tuan. Dengan bonekaboneka itu, akal dan pikirankulah yang memasuki diri kalian. Sedangkan kami butuh akal pikiran kalian untuk membuat alat-alat peledak. Sudah mengertikah engkau, Tuan?"

Profesor Van Leinen tidak menyahut lagi. Ia berulang kali menarik nafas berat sehingga desah nafasnya terdengar jelas memenuhi ruangan itu. Tetapi kemudian, salah seorang di antara kedua pengawal bertubuh raksasa itu menarik tangannya dengan kasar dengan mata mencorong tajam dan buas.

***

3

Malam telah larut. Alam di sekitar Kepulauan Aru sunyi senyap bagaikan alam yang mati, tanpa gerak dan perubahan. Rembulan di langit bersinar redup, seperti enggan menampakkan diri di atas kepulauan yang sedang dilanda prahara itu. Angin pun berhembus pelan-pelan saja, tak ubahnya sepasang kaki yang sedang melangkah gontai dan tertatih-tatih.

Dari kejauhan terdengar suara desah ombak laut menghempas di pantai. Sesekali terdengar pula suara burung-burung malam, seperti sedang menyanyikan senandung pilu. Terasa betapa malam itu menimbulkan suasana menyeramkan, seolah-olah dari balik dedaunan tangan-tangan lain siap merenggut nyawa siapapun yang terlihat. Atau barangkali dari keheningan malam itu sudah terdengar untaian cerita tragis yang bakal terjadi, tetapi tak seorang pun dapat mendengarnya.

Ibukota Pulau Trangan di mana terletak istana Pampani juga tampak sangat sepi, seakan-akan sedang lelap tertidur. Tetapi sesungguhnya tidak semua penghuninya tertidur. Laskar yang mendapat giliran ronda malam itu tampak masih berjaga-jaga di tempat yang telah ditentukan.

Sekitar lima ratus meter dari pagar benteng, terlihat sesosok tubuh lelaki duduk bersandar pada batu cadas. Lelaki itu mengenakan topi pandan lebar dan di tangannya menggenggam sebatang tongkat yang cukup panjang. Siapa lagi kalau bukan Baureksa yang dijuluki si Kaki Tunggal.

Sekitar lima ratus meter dari tempat itu tampak pula seorang laki-laki bertubuh raksasa, berjalan mengendap-endap di sela-sela batu-batu cadas. Melihat keadaannya yang tidak memakai baju selain sejenis cawat penutup aurat serta gelang-gelang besar di kedua tangan dan kakinya, ia adalah penduduk pribumi Pulau Aru. Dialah pengawal andalan serta kepercayaan Pampani, yakni Bungoru.

Seperti biasanya, si Gila Dari Muara Bondet sudah duduk bersemadi di laut. Di sebelah Barat istana, ada lagi sosok-sosok tubuh mengintai dari balik semak-semak rimbun. Secara keseluruhan, mereka dalam suasana berjaga-jaga.

Hal itu sesuai dengan hasil perundingan Kepala Suku Pampani bersama Karta dan si Kaki Tunggal serta para penasehat istana. Karena mereka yakin malam itu akan datang serangan musuh, maka mereka pun mengadakan penjagaan di segala sudut, baik di dalam maupun di luar istana.

Akan tetapi sampai tengah malam belum terlihat tanda-tanda pihak musuh melakukan serangan. Suasana di sekitar masing-masing masih sepi. Namun menjelang pagi, tiba-tiba dari balik tebing muncul sesosok tubuh laki-laki. Di bawah siraman sinar rembulan, terlihat tangan kanan lelaki itu buntung sebatas siku. Tangan kirinya menghunus sebilah golok, seperti sedang mengintai musuh yang hendak dibunuh. Lakilaki yang tak lain Umang itu terus berjalan mengendap-endap di balik tebing batu cadas.

Dari balik semak-semak, muncul pula Mirah sambil menghunus golok. Ia tampak bergerak gesit meloncati bebatuan dan karena gerakannya sangat cepat, maka yang tampak hanya berkelebatnya bayangan tubuhnya.

Di sudut lain, di atas tebing muncul pula lelaki bertubuh raksasa, yang tak lain adalah Pendekar Bumerang Wori. Lelaki itu berdiri tegak bagaikan patung batu cadas, dengan tangan kiri menggenggam bumerang senjata mautnya.

Si Kaki Tunggal yang saat itu hampir tertidur, tiba-tiba mendengus. Telinganya yang sangat tajam mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Secepat kilat ia berbalik dan meloncat berdiri sambil bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

"Siapa kau?" bentaknya ketika menyaksikan seorang laki-laki berdiri tak jauh di hadapannya. Sejenak ia mengamati wajah lelaki itu dan ia pun berseru kaget: "Oh, kau Umang!"

"Aku datang untuk mencabut nyawamu!" bentak Umang lalu berteriak nyaring. Hampir bersamaan dengan itu, ia meloncat menerjang si Kaki Tunggal. Goloknya diayunkan cepat sekali membabat ke arah leher lawan.

Untunglah sejak tadi si Kaki Tunggal sudah bersiap-siap, sehingga ia segera dapat menghindari dengan cara meloncat ke belakang sekitar lima meter. "Umang, ingat! Aku adalah Baureksa sahabatmu!" teriaknya.

Akan tetapi Umang tidak mengucapkan sepatah kata pun, bahkan secara mendadak kembali menerjang Baureksa dengan dahsyat. Goloknya kali ini menyambar ke arah kaki lawannya, sehingga Baureksa terpaksa harus meloncat tinggi untuk menghindari serangan itu. Dari atas si Kaki Tunggal melancarkan serangan. Namun kenyataan bahwa lawannya kali ini adalah sahabatnya sendiri yang menyerangnya hanya karena dipengaruhi ilmu sihir lawan, membuat si Kaki Tunggal hanya melakukan serangan yang tanggungtanggung saja. Ketika tongkatnya menyambar kepala Umang, lelaki berlengan tunggal itu mengangkat goloknya untuk menangkis.

"Trang!"

Kedua senjata itu beradu cukup keras dan karena si Kaki Tunggal hanya mengerahkan sebagian saja dari tenaga dalamnya, maka tubuhnya pun terdorong mundur. Kesempatan itu digunakan Umang melancarkan serangan lanjutan yang tampak semakin ganas.

Sambil menangkis serangan Umang, si Kaki Tunggal tak henti-hentinya berteriak memperingatkan sahabatnya. Tetapi Umang tetap tak mau perduli, bahkan tampak beringas setiap kali si Kaki Tunggal menyebut namanya. Padahal kalau misalnya si Kaki Tunggal mau, tidak sampai tiga puluh jurus saja, ia tentu dapat merobohkan bahkan membunuh Umang. Tetapi bagaimana mungkin baginya membunuh kawan sendiri? Keadaan itulah yang membuat pertarungan berjalan seru dan berlangsung lama.

Di sudut lain Pulau Trangan, Bungoru tampak masih duduk mengantuk tanpa menyadari bahwa Wori sudah berjalan mengendap-endap menghampirinya. Sepasang mata pendekar bumerang itu mendelik merah dan giginya gemeretak. Lalu tanpa menimbulkan suara teriakan, lelaki bertubuh raksasa itu menerkam Bungoru, dari belakang. Kedua tangannya langsung mencekik leher Bungoru, yang berperawakan raksasa seperti dirinya.

Tentu saja Bungoru sangat terkejut! Lehernya terasa sakit sekali dan nafasnya pun hampir putus. Sambil mengerahkan segenap tenaganya, ia mencoba meronta, tetapi cekikan lawan sangat kuat bagaikan jepitan baja.

Bungoru semakin kesakitan, tetapi ia tentu saja tidak mau menyerah begitu saja. Tanpa memperdulikan rasa sakit di lehernya, ia tiba-tiba menunduk dan mengangkat tubuh lawan, kemudian membantingkannya sekuat tenaga.

"Buk!"

Tubuh Wori terhempas keras sekali, sehingga bukit cadas di sekitar tempat itu terasa bergetar hebat. Pendekar Bumerang mengaduh karena punggungnya terasa sakit sekali. Ia berusaha bangkit, namun tibatiba Bungoru sudah menerkamnya. Kedua tangannya mencengkeram dan memiting leher Wori sekuat tenaga.

Mata Wori mendelik menahan rasa sakit luar biasa di lehernya. Tetapi ia pun bukanlah lelaki yang mudah menyerah. Sekalipun sangat kesakitan dan nafasnya hampir putus pula, ia balas mencekik leher Bungoru sambil mendorong sekuat tenaga. Maka terjadilah dorong mendorong, cekik mencekik dan banting membanting antara kedua lelaki bertubuh raksasa yang sebetulnya bersahabat itu. Cuma Wori sudah dipengaruhi ilmu sihir Womere, sehingga seolah-olah tak kenal lagi terhadap Bungoru. Sedangkan Bungoru sendiri tentu saja tidak mau mati konyol di tangan Wori. Bila perlu, biar pun sahabat atau siapapun akan ia bunuh jika bermaksud mencelakakan dirinya.

Suatu saat, Wori berhasil membantingkan tubuh Bungoru dengan sangat kuatnya.

Dan sebelum lawannya itu berhasil bangkit, Wori segera memungut sebongkah batu cadas sekitar empat kali lebih besar dari kepalanya sendiri, kemudian membantingkannya ke dada Bungoru!

Tentu saja Bungoru sangat terkejut, menyadari nyawanya sedang terancam. Maka sambil berteriak nyaring, ia menyilangkan tangan kirinya menangkis hantaman batu cadas itu.

"Desss!"

Batu itu menghantam lengan kiri Bungoru dan menjadi hancur berkeping-keping. Wori yang agaknya tidak menyangka kehebatan lawan sempat terpaku. Dan kesempatan yang sangat singkat itu sudah cukup bagi Bungoru melancarkan tendangan mautnya menghantam dada Wori.

Pendekar Bumerang terpelanting, menyusul pukulan tangan kanan lawan mendarat telak di dadanya, sehingga membuatnya menjerit kesakitan. Ketika Bungoru kembali menghantam ke arah tulang iganya, ia berkelit ke samping, lalu memukul perut lawan. Kembali kedua lelaki itu bergumul dahsyat, sehingga batubatu cadas di tempat itu berguncang dan batu-batu kecil beterbangan. Di pantai, di atas tebing, Mirah sudah bersiapsiap melancarkan serangan mautnya. Ia mengambil sebongkah batu cadas sebesar kepalanya, lalu dengan mengerahkan segenap tenaga dalamnya, ia menyambitkan batu itu tepat mengarah ke kepala si Gila Dari Muara Bondet yang sedang duduk bersemadi dalam air laut. Batu itu meluncur cepat sekali hingga hampir tak terlihat oleh mata, siap menghancurkan kepala Karta.

"Desss!"

Batu itu hancur berkeping-keping, tetapi bukan menghantam kepala Karta, melainkan lengan kirinya ia angkat tadi melindungi diri dari serangan yang sangat mendadak itu. Walaupun sedang bersemadi, pendekar itu tetap waspada. Ketika merasakan angin dahsyat menyambar ke arah kepalanya, sadarlah pendekar itu bahwa dirinya sedang terancam. Maka sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia mengangkat tangan kirinya untuk menangkis.

"Astaga! Siapa yang menyerangku...!" teriak Karta terkejut. Ia membalikkan badan menatap ke atas tebing. Kembali ia terperanjat setelah mengetahui bahwa yang menyerangnya barusan adalah Mirah sendiri.

"Mirah! Jangan kau turutkan bathinmu yang kotor itu. Ingatlah kau telah dipengaruhi ilmu sihir!"

"Tutup mulutmu, bangsat! Keluarlah dari situ, hadapi aku kalau kau memang bukan pengecut. Mari bertarung sampai salah seorang di antara kita tewas!"

"Itulah yang membuat hatiku jadi sedih, Mirah. Aku dipaksa menghadapi kau sebagai musuh. Kita harus saling membunuh, aku atau kau yang akan mati. Padahal kita adalah kawan sendiri, kawan seperjuangan dan sama-sama sedang menderita dalam keprihatinan. Kita satu cita-cita, Mirah! Apakah kau tidak mengerti perasaanku?"

"Jangan banyak bicara kau, bedebah! Melawan atau tidak, aku akan tetap membunuhmu. Akan kubuntungi kepalamu!"

Tiba-tiba Karta menjadi beringas, bukan ka rena marah mendengar ucapan Mirah itu, melainkan karena telinganya menangkap sesuatu yang mencurigakan di dalam air laut. Ternyata dua sosok tubuh raksasa tiba-tiba tersembul dari dalam air, hanya sekitar empat meter di sebelah kiri dan kanan Karta. Kedua lelaki bertubuh tinggi besar itu menyeringai buas sambil menatap Karta dengan sinar mata mencorong tajam.

Karta terkejut dan segera memasang kuda-kuda, karena ia sudah yakin bahwa kedua laki-laki itu adalah anak buah musuh yang sengaja disuruh untuk membunuhnya. Tanpa mengucapkan apa-apa, kedua lelaki itu menerkam Karta dari arah berlawanan. Gerakan mereka tampak sangat cepat dan ringan, padahal tubuh mereka yang hampir sebesar kerbau dewasa itu tentulah sangat berat. Sadarlah si Gila Dari Muara Bondet bahwa kedua lawan yang dihadapinya sekarang bukanlah orang sembarangan.

Ketika tangan kedua lawan sudah hampir menyentuh tubuhnya, tiba-tiba Karta meloncat tinggi sambil berteriak melengking nyaring. Hampir bersamaan dengan itu, kedua kakinya direntangkan menendang dada lawan-lawannya.

"Duk!"

Tendangan geledek Karta menghantam dada kedua lawan, membuat mereka terhuyung-huyung mundur. Pada saat itu Karta bersalto dan menginjak kepala salah seorang lawannya sebagai tumpuan untuk meloncat ke atas tebing. Akan tetapi baru saja mendaratkan kakinya, sabetan golok Mirah sudah menyambar ke arah pinggangnya. Cepat dan kuat sekali serangan Mirah, sehingga tak ada lagi kesempatan untuk menghindar bagi Karta, selain meloncat tinggi sambil bersalto. Namun ketika kakinya menginjak tebing cadas, golok Mirah sudah menyambar lagi.

"Buntung kakimu!" bentak Mirah.

"Aih!" Karta berseru kaget. Untuk meloncat tinggi lagi, rasanya tidak mungkin lagi. Karena hampir bisa dipastikan sewaktu tubuhnya melayang, Mirah akan melancarkan serangan susulan yang tak mungkin lagi dapat dihindarinya. Maka jalan satu-satunya adalah meloncat mundur. Selamatlah Karta dari ancaman maut, namun tanpa bisa dicegah lagi, tubuhnya kembali terhempas ke laut.

Sebetulnya tadi Karta meloncat dari laut ke atas tebing bukan karena gentar menghadapi dua lelaki bertubuh raksasa itu. Bagi dia yang sudah sangat pandai menyelam dan berenang, bertarung di darat atau dalam air sama saja. Akan tetapi maksudnya tadi adalah untuk menyadarkan Mirah, siapa tahu kali ini ia berhasil sehingga istri sahabatnya itu menjadi ingat akan dirinya. Namun tanpa diduga-duga Mirah malah menyambutnya dengan serangan maut dan masih untung baginya dapat menyelamatkan diri walaupun harus tercebur ke laut.

"Byuuuur!" Tubuh Karta terhempas dan dua pasang tangan kokoh segera menyerbunya dari arah berlawanan. Salah seorang di antara lawan menjambak rambutnya, sementara yang satu lagi mencekik lehernya.

Menghadapi serangan itu, Karta tidaklah gentar tetapi juga tidak mau anggap remeh. Ketika ia merasa jepitan tangan lawan semakin kuat, tiba-tiba kedua tangannya menyambar cepat sekali ke arah selangkangan kedua lawan. Terdengar suara gemeretak ketika jemari tangan Karta dengan telak menghantam kemaluan kedua lawan. Dua lelaki bertubuh raksasa itu pun melepaskan tangannya dan sama-sama menjerit panjang.

Kesempatan itu digunakan Karta untuk meloloskan diri dengan cara menyelam menjauh. Tubuhnya bagaikan ikan saja melesat dan berkelebat di dalam air. Akan tetapi kedua lawannya yang sudah sangat marah akibat serangan Karta tadi tidak mau melepaskan buruannya begitu saja. Keduanya pun ternyata dapat berenang cepat sekali, sehingga dalam waktu singkat sudah berhasil menyusul Karta.

"Celaka, mereka bisa mengejarku!" kata hati Karta cemas. Ia mencoba mempercepat laju tubuhnya, namun tiba-tiba tangan lawan sudah berhasil mencengkeram lehernya. Karta mencoba berkelit, namun kedua lawan sudah terlebih dulu mencekik lehernya. Tenaga kedua lelaki bertubuh raksasa itu  memang luar biasa kuatnya. Rontaan Karta seperti tidak ada artinya, padahal ia sudah mengerahkan segenap tenaga dalamnya.

Sadarlah Karta bahwa dirinya betul-betul terancam bahaya maut dan jika tidak segera dapat melepaskan diri, kemungkinan besar ia akan tewas. Atau paling tidak batang lehernya akan patah dan remuk oleh jepitan lawan. Dalam keadaan yang sangat genting itu, si Gila berhasil meraih gagang goloknya. Lalu ia menyabet ke kiri dan ke kanan, tepat merobek kulit perut lawan hingga ususnya terburai. Darah se-gar segera menyembur, sehingga air laut di sekitar tempat itu menjadi merah. Hanya sejenak kedua laki-laki itu menggelepar-gelepar, kemudian terkulai lemas dan tenggelam ke dasar laut tanpa nyawa lagi.

Karta segera menyarungkan goloknya, lalu meluncur cepat ke permukaan laut. Akan tetapi baru saja kepalanya tersembul, tiba-tiba sabetan goloknya sudah menyambar. "Hait!" Karta bersalto berseru kaget sambil melempar tubuh ke belakang hingga kembali ia selamat dari maut. Ternyata wanita yang menyerangnya tadi adalah Mirah sendiri.

"Jahanam!" bentak Mirah geram karena serangannya kembali gagal. Padahal tadi ia sudah yakin sabetan goloknya paling tidak akan membuat Karta menderita luka parah. Namun ternyata lelaki itu memiliki ketangkasan luar biasa. Walaupun diserang secara mendadak ketika kepalanya baru tersembul, masih sempat mengelak. Hampir tak percaya Mirah karena dalam keadaan segenting itu Karta masih dapat menghindar.

Seandainya misalnya serangannya dilancarkannya di darat, tidaklah terlalu mengherankan jika lawan bisa menghindar. Tetapi di dalam laut seperti tadi, sungguh luar biasa. Dan makin hebat kepandaian lawan, makin besar pula amarah Mirah.

Sambil berteriak melengking nyaring, ia meloncat menerjang Karta kembali. Goloknya menukik dari atas melancarkan tusukan maut ke arah dada Karta. Sementara tangan kirinya sudah dipersiapkan melancarkan serangan susulan.

"Aih, kau benar-benar ganas, Mirah!" teriak Karta sambil menundukkan kepala. Namun agaknya, Mirah sudah menduga hal itu, karena secara mendadak tangan kirinya sudah menyambar dengan jari-jari terbuka ke arah leher Karta.

Serangan yang berupa tamparan dan sewaktuwaktu dapat diubah menjadi cengkeraman maut itu benar-benar dahsyat. Hal itu dapat dirasakan dengan angin pukulannya, yang membuat si Gila terkejut. Cepat-cepat ia mengangkat tangan kanannya untuk menangkis pukulan itu.

"Duk!" Lengan yang kecil halus namun mengandung tenaga dalam yang sangat kuat itu beradu keras dengan lengan kekar Karta. Akibatnya, tubuh kedua insan berlainan jenis itu pun terdorong. Bahkan Mirah terpaksa harus bersalto sampai tiga kali untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, sedangkan Karta sendiri hanya terdorong mundur beberapa langkah. Dari pertemuan pukulan itu tadi, dapatlah diduga bahwa tenaga dalam Mirah masih sedikit berada di bawah Karta.

Dan hal itu pula yang membuat istri Umang semakin geram. Berkali-kali sudah ia melancarkan serangan mautnya, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi, namun semuanya selalu dapat dielakkan Karta. Lelaki itu sepertinya mempunyai mata lebih dari dua dan memiliki kelincahan tubuh yang sewaktu-waktu dapat membuatnya bergerak bagaikan siluman saja. Benci sekali Mirah, tetapi juga sekaligus kagum. Rasa kagum yang mengandung birahi dan gejolak hasrat yang menggebu-gebu. Semuanya campur aduk, sehingga membuatnya tampak sangat beringas namun serangannya menjadi ngawur sekali.

Sementara itu, Profesor Van Leinen dan Simon sudah mulai bekerja di kamar rahasia Womere. Empat laki-laki bertubuh raksasa anak buah si tukang sihir itu mengawasi dengan mata yang hampir tak pernah berkedip. Para pengawal itu tak pernah mengeluarkan kata sepatahpun juga. Namun dari sinar mata mereka memancar sebuah ancaman maut, akan membunuh kedua orang kulit putih itu kalau berani macammacam.

Seperti diceritakan pada awal kisah ini, Wan-Da-I dan Womere telah menjalin hubungan perdagangan dengan Belanda. Mereka memberikan mutiara-mutiara dan sebagai tukarannya adalah mesiu atau bahanbahan peledak. Wori sendiri yang mengantarkan mutiara-mutiara itu dibantu beberapa pengawal ke Pulau Uglo dengan menggunakan perahu layar.

Saat itu, si Gila Dari Muara Bondet sempat berusaha mencegahnya, namun tidak berhasil bahkan ia menderita luka-luka oleh dua tombak pengawal perahu yang menyerempet dadanya. Setelah bertemu dengan orang-orang Belanda, mereka pun mengadakan jual beli secara barteran, di mana Wan-Da-I yang diwakili Pendekar Bumerang Wori memperoleh mesiu yang cukup banyak.

Tanpa mendapatkan kesulitan berarti, Wori membawa mesiu itu pulang. Tentu saja Wan-Da-I sangat girang, apalagi setelah berhasil menawan Profesor Van Leinen dan Simon. Kedua kulit putih itu sebetulnya hendak mengadakan penelitian terhadap manusia kera yang menurut kabar ada di sekitar Kepulauan Aru. Tetapi tanpa diduga-duga, keduanya jatuh ke dalam cengkeraman Wan-Da-I dan Womere. Dalam keadaan tak berdaya, kedua kulit putih yang berasal dari Negeri Belanda itu dihadapkan kepada dua pilihan, dibunuh setelah terlebih dulu disiksa habis-habisan  atau mau menciptakan alat peledak dari mesiu yang mereka terima dari orang-orang Belanda pula.

Kedua pilihan itu sama-sama sangat berat, terutama bagi Profesor Van Leinen. Ia sudah tua dan rambutnya pun sudah memutih. Dalam sisa hidupnya ia hanya ingin mencari nama sekaligus menyumbangkan ilmu pengetahuan kepada dunia, khususnya kepada bangsanya sendiri. Sekarang ia dipaksa pula menciptakan alat peledak yang ia tahu bakal digunakan WanDa-I untuk menghancur leburkan Kerajaan Pampani, yang sudah pasti akan merenggut banyak sekali korban jiwa.

Kalau itu misalnya benar-benar terjadi, berarti secara tidak langsung yang melakukan pembunuhan itu adalah Profesor Van Leinen sendiri. Membunuh! Alangkah ngerinya. Celakanya bukan hanya satu atau dua orang, tetapi puluhan bahkan mungkin ratusan. Bagaimana ia tega melakukannya? Alangkah siasianya jika sisa hidupnya digunakan untuk mencelakakan manusia.

Profesor Van Leinen tadinya sudah siap sedia dibunuh, tetapi Simon selalu mendesaknya agar menuruti perintah Wan-Da-I. Alat peledak yang bakal mereka ciptakan itu memang akan digunakan Wan-Da-I untuk membunuh. Tetapi mereka melakukannya hanya karena terpaksa, tanpa ada pilihan lain. Hidup mereka juga akan sia-sia jika harus mati konyol di tangan tokoh sesat itu. Itulah alasan Simon disertai kata-kata permohonan yang sangat memelas.

Akhirnya, dengan perasaan berat, Profesor Van Leinen menyatakan kesediaannya untuk menerima tawaran pihak Wan-Da-I. Kini kedua lelaki berkulit putih itu sudah mulai menciptakan alat-alat peledak. Tak percuma memang keduanya memiliki ilmu yang tinggi di bidang teknologi. Bagi mereka menciptakan alat peledak dari mesiu yang sudah tersedia bukanlah pekerjaan yang terlalu sulit. Akan tetapi karena sangat terpaksa, pekerjaan mereka jadi lambat sekali. Bahkan kadang-kadang Profesor Van Leinen sengaja mengulurulur waktu sambil memberikan alasan macam-macam. "Kalau sudah begini harus di-tunggu beberapa jam" atau "Bahan yang ini harus terlebih dulu dijemur sampai kering." Serta beberapa alasan lainnya, walaupun sebetulnya alasannya itu hanyalah dibuat-buat saja.

Akan tetapi penduduk pribumi seperti Wan-Da-I, Womere dan anak buah mereka mana mengerti hal-hal seperti itu? Mereka menurut saja kata-kata Profesor tua itu sambil sesekali memberikan ancaman agar mereka bekerja secepat mungkin.

Kita kembali kepada pertarungan antara si Kaki Tunggal dengan Umang yang masih berlangsung sengit. Namun ternyata bahu si Kaki Tunggal sudah tergores ujung senjata lawan hingga mengeluarkan darah. Luka itu sebetulnya tidak terlalu parah, namun cukup menimbulkan rasa nyeri.

Luka itu terpaksa harus diterima si Kaki Tunggal karena ketidaksungguhannya dalam bertarung. Lain halnya dengan Umang, selain sangat ganas, kadangkadang juga nekad mengadu nyawa, seolah-olah sudah siap mati asalkan dapat membunuh lawannya. Hal itulah yang dihindari Baureksa tadi hingga bahunya sampai terluka.

Kenyataan itu membuat si Kaki Tunggal mulai cemas, karena kalau terus-terusan begitu tidak mustahil ia akan menderita luka yang lebih berat lagi. Maka ia pun memutuskan melancarkan serangan mautnya, biarlah ia melukai Umang yang penting jangan sampai membunuhnya.

Ketika Umang kembali menerjangnya dengan tusukan kilat mengarah ke dada, si Kaki Tunggal berguling-gulingan di atas tanah dan pada saat yang bersamaan tongkatnya sudah menyambar pinggang Umang,

"Buk!" Tongkat itu menghantam pinggang si Lengan Tunggal. Tidak terlalu keras, namun cukup membuat tubuhnya ter-pental beberapa meter. Ketika ia bangkit kembali, tampaklah darah segar menetes dari mulutnya pertanda bahwa ia menderita luka dalam. Namun hal itu bukannya membuat Umang sadar, malah tampak semakin beringas. Tanpa perduli rasa sakit di pinggangnya, ia kembali menerjang dengan sikap siap mengadu nyawa dengan lawan.

"Kau tidak akan bisa mengalahkan aku, Umang. Kau boleh belajar dua puluh tahun lagi untuk bisa mengimbangi aku. Tapi kau betul-betul bermental kerupuk, begitu mudahnya dipengaruhi sihir lawan." kata si Kaki Tunggal terpotong-potong, karena ia sudah sibuk kembali berloncatan ke sana ke mari sambil memutar tongkatnya untuk menghindari serangan Umang.

Di laut, di tepi Pantai Arafuru, si Gila Dari Muara Bondet masih bertarung menghadapi Mirah. Sama seperti si Kaki Tunggal, ilmu silat Karta bukanlah tandingan lawan. Kalau ia mau sudah sejak tadi ia bisa menghabisi nyawa Mirah. Tapi itu tidak diinginkannya sebab bagaimanapun juga, Mirah menyerangnya hanyalah karena dipengaruhi ilmu sihir lawan.

Sewaktu menyabetkan goloknya mengincar leher, Karta segera mengangkat senjatanya dan sengaja mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menangkis. Terdengar suara berdentang nyaring ketika dua golok itu beradu, setelah itu Mirah terpekik kaget karena goloknya sudah terlepas dari tangan.

Belum sempat berbuat apa apa, Karta sudah menangkap tangannya dengan kuat, kemudian memutarmutar tubuh Mirah bagaikan baling-baling. Beberapa saat kemudian, ia pun membantingkan tubuh wanita itu ke laut. Mirah menjadi gelagapan dan berusaha berenang ke permukaan air untuk menarik nafas. Namun tiba-tiba Karta sudah membenamkannya kembali. Begitulah berkali-kali dilakukan oleh Karta sehingga makin lama Mirah semakin lemas. Bahkan akhirnya wanita itu terkulai lemas, pingsan.

"Sudah pingsan!" kata Karta sambil mengangkat tubuh Mirah ke tepi pantai. Pertarungan yang baru saja berlangsung menyadarkannya bahwa berhadapan dengan perempuan sebetulnya bisa bikin pusing. Tidak dilawan dirinya sendiri mampus. Dilawan pun susah, karena seperti tadi ia selalu tidak tega.

Perlahan-lahan, Karta membaringkan tubuh Mirah di atas pantai berpasir lembut. Ditatapnya wajah wanita itu lama sekali. Ada rasa kasihan, tetapi ada pula rasa kagum karena sesungguhnya Mirah sangat cantik dan menggairahkan sebagai seorang wanita. Apalagi ketika menatap bibirnya yang tipis dan merah merekah. Rambut Mirah acak-acakan, namun di mata Karta hal itu justru menambah daya tariknya. Sekujur tubuh wanita basah kuyub sehingga lekuk-lekuk tubuhnya yang indah terlihat cukup jelas dari balik bajunya yang tipis.

Karta menghela nafas panjang. Tanpa sadar, ia menjadi teringat peristiwa yang terjadi beberapa tahun lalu, ketika ia bersama Ranti yang kini sudah menjadi istrinya tetapi tinggal di Pulau Jawa.

Ketika itu, keduanya berada di atas rakit, di mana Ranti sedang dipengaruhi ilmu sihir lawan. Karta sangat kebingungan untuk mencari jalan keluar untuk bisa membebaskan Ranti dari pengaruh sihir. Tetapi kemudian, entah bagaimana terjadinya tiba-tiba ia seperti mendapat ilham.

Ia membuka seluruh pakaian yang melekat di tubuh Ranti, kemudian membuka pakaiannya sendiri. Ranti, yang dulunya adalah putri angkat tokoh sesat Gembong Wungu memang terbebas dari pengaruh sihir dan kemudian menjadi istri Karta.

Sekarang, dalam kebingungannya si Gila Dari Muara Bondet memutuskan untuk melakukan hal yang sama terhadap Mirah dengan maksud agar istri sahabatnya itu terbebas dari pengaruh sihir Womere. Tak berani pendekar itu membayangkan bagaimana kalau sekiranya nanti Umang mengetahuinya. Mungkin akan benci dan mendendamnya seumur hidup. Tetapi kalau Mirah terus-terusan dibiarkan terpengaruh sihir lawan, maka secara lambat laun namun pasti, hidupnya akan menuju kehancuran.

Karta tertegun beberapa saat, kemudian menengadahkan wajah ke langit. Matanya berkaca-kaca dan kedua tangannya direntangkan, lalu dengan gemetar, ia berkata: "Ya, Allah! Jika kau menghendaki aku untuk terpaksa berbuat dosa seperti itu, biarlah aku melakukannya! Aku akan melakukannya. "

Setelah memejamkan mata beberapa saat, si Gila Dari Muara Bondet segera membuka bajunya, kemudian celananya hingga tubuhnya menjadi bugil. Lalu dengan jemari gemetar dan wajah sebentar pucat sebentar merah, ia membuka pula pakaian Mirah. Pertama baju atas, kemudian pakaian bawah, dan pakaian dalam. Mirah pun sudah dalam keadaan telanjang bulat seperti halnya Karta.

"Apa boleh buat, biarlah nanti aku disiksa di neraka asalkan kawan-kawanku selamat...." kata Karta bergumam.

Getaran di dada Karta semakin tak menentu. Kulit tubuh itu sangat mulus tanpa cacat sedikitpun juga. Dan sekalipun sebetulnya perbuatannya itu dilakukan bukan karena terdorong nafsu setan, namun tetap saja merupakan pelanggaran dan dosa terkutuk. Perlahanlahan, ia merangkak menghampiri tubuh Mirah yang sedang telentang bugil. Diusapnya kedua pipi wanita cantik itu sambil memejamkan mata. Didekatkannya wajahnya ke wajah Mirah yang saat itu masih dalam keadaan pingsan.

Lalu kemudian....

"Bleng! Glegeeerrrrr. !"

Tiba-tiba terdengar suara ledakan dahsyat, menggelegar sambung menyambung. Kepulauan Aru terguncang bagaikan dilanda gempa hebat. Karta yang saat itu sudah berada di atas tubuh Mirah merasakan bumi di sekitar pantai bergetar hebat. Ia segera meloncat bangun dengan wajah pucat pasi.

"Ya, Allah! Rupanya kau mengutukku! Aaaaah!" Karta berseru dengan dada terguncang seakan hendak meledak. Ia segera menyambar pakaiannya, lalu buruburu mengenakannya. Dari pantai itu dia dapat melihat kobaran api mencuat tinggi sekali seakan-akan hendak menjangkau langit. Sekali, dua kali, tiga kali, empat kali sampai sepuluh kali lebih terdengar suara ledakan itu menggelegar.

Ledakan-ledakan dahsyat itu ternyata mengguncang kola Pulau Trangan. Pepohonan rubuh dan tumbang, rumah-rumah penduduk pun hancur berkepingkeping. Demikian hebatnya ledakan itu hingga puingpuing rumah penduduk terbang ke angkasa setinggi belasan meter.

Menyusul kemudian, terjadilah kebakaran hebat di beberapa tempat. Asap dan api mengamuk dan menjulang tinggi! Penduduk menjadi gempar, lalu berhamburan ke sana ke mari dalam keadaan panik. Tak sedikit di antara penduduk yang ikut ter-lempar setinggi puluhan meter dalam keadaan tubuh cerai berai. Di mana-mana terdengar suara jeritan dan teriakan, tangisan dan yang lainnya. Hewan-hewan ternak pun ikut panik dan berlarian dari kandangnya, hingga makin kacau balaulah keadaan di sekitar kerajaan yang dipimpin oleh Pampani.

Beberapa orang penduduk sempat terlihat ke luar dari rumahnya yang sudah hancur berkeping-keping dan terbakar. Akan tetapi sekujur tubuh orang-orang itu sudah terbakar pula dan baru beberapa langkah setelah tiba di halaman, mereka roboh satu persatu. Terdengar jeritan panjang, lalu tubuh mereka pun hangus terbakar. Tak ada yang berani memberikan pertolongan, bahkan sekedar berpikir untuk memberikan pertolongan pun tidak. Sebab semuanya sangat panik serta ketakutan, sehingga tidak tahu harus melakukan apa, selain berlarian ke sana ke mari tak tentu arah.

Ada pula beberapa penduduk yang tadinya sudah jauh dari kobaran api, namun mungkin karena sangat panik balik lagi berlari ke rumahnya yang sudah terbakar. Tanpa ampun lagi, tubuhnya pun hangus dilalap api. Di sudut lain, ada yang mencoba menyelamatkan harta bendanya, namun tiba-tiba ditimpa balok-balok rumah yang rubuh terkena ledakan. Orang itu pun terjerembab, terbakar dan tak mampu bangkit lagi karena tak lama kemudian sudah hangus menemui ajalnya,

Pampani yang saat itu sedang memimpin sejumlah laskar untuk berjaga-jaga menghadapi gempuran musuh, juga terlonjak kaget bagaikan disambar petir di siang bolong. Wajahnya pucat pasi bagai tak dialiri darah lagi dan sekujur tubuhnya gemetaran menyaksikan kotanya diguncang ledakan-ledakan dahsyat, lalu terbakar.

"Ya, para Dewa! Kota kita dihancurkan! Malapetaka apakah ini? Kita telah dikutuk para Dewa!" teriak Pampani antara sadar dan tak sadar.

"Kebakaran itu ya, Dewa Agung. Pertanda apa-

kah gerangan ini?" kata seorang laskar dengan mata terbelalak. "Mungkin kiamat sudah tiba?" kata yang lainnya.

Beberapa saat, Pampani dan laskarnya hanya berdiri terpaku di tempat itu. Mereka sangat terkejut hingga hanya berdiri saja tanpa tahu harus melakukan apa. Karena mereka masih penduduk pribumi yang belum mengetahui banyak tentang kemajuan teknologi belum bisa menduga sebenarnya apa yang meledak itu dan kenapa tiba-tiba kota mereka diamuk kobaran api yang sangat besar.

Sesuai kepercayaan turun temurun dari nenek moyang, mereka mengira kejadian itu merupakan kutukan para Dewa atau makhluk-mahkluk halus penguasa di sekitar Perairan Arafuru. Tak sedikit di antara mereka yang mengira bahwa penguasa laut sedang marah, lalu menjatuhkan bencana sebagai hukuman. Tentu saja penduduk yang masih berpikiran polos itu menjadi ketakutan, hingga beberapa di antaranya langsung berlutut. Memejamkan mata dengan mulut komat kamit membacakan mantera penolak bala.

Seumur hidup mereka belum pernah mendengar atau menyaksikan letusan sedahsyat itu, apalagi secara susul menyusul, lalu menimbulkan kebakaran hebat. Selama ini mereka paling-paling pernah mendengar gunung meletus yang tentu saja lain dengan apa yang mereka saksikan sekarang.

"Ayo, mari kita bantu saudara-saudara kita!" teriak Pampani yang tiba-tiba saja tersentak dari keterkejutannya. Ia segera berlari sekencang-kencangnya, diikuti para anggota laskar. Mereka kemudian membobol pagar benteng dan berusaha menyelamatkan penduduk yang terkurung kobaran api.

"Tenang! Tenang! Jangan panik! Segera menjauh dari api. Ayo! Cepat!" Pampani berteriak-teriak sekuat tenaga hingga suaranya menjadi parau. Suasana yang tadinya gelap dan dingin, kini berubah jadi terang benderang oleh kobaran api, disertai keadaan yang sangat panas.

Tak terkatakan bagaimana hancurnya perasaan Pampani melihat rakyatnya banyak yang tewas dalam peristiwa maut itu. Di mana-mana mayat bergelimpangan. Ada yang sudah hangus hingga tinggal tulang belulang. Ada yang tubuhnya cerai berai hingga tak bisa dikenali lagi, ada yang tertinggal hanya bagian kepala saja, sedang tubuhnya tidak diketahui ke mana terbang, dan sebagainya yang semuanya menimbulkan rasa ngeri luar biasa. Tanpa sadar, air mata Pampani jatuh satu per satu membasahi pipinya yang pucat.

Jika saat itu Pampani sedang menangis dan penduduk lainnya masih dicekam ketakutan dan kesedihan yang amat sangat, maka di sudut lain justru terdengar suara tawa penuh kegembiraan dan rasa puas. Yang sedang tertawa itu adalah Wan-Da-I dan Womere sendiri. Mereka sangat girang melihat Kerajaan Pampani hancur lebur diamuk kobaran api dan penduduknya pun banyak sekali yang menjadi korban.

"Ha ha ha. Bagus! Bagus! Akan kubikin rata dengan tanah hingga akan tamatlah riwayat Pampani si keparat itu!" teriak Wan-Da-I tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya bergoyang-goyang.

Si tukang sihir Womere pun tertawa terpingkalpingkal. Demikian keras suara ketawanya, hingga air matanya terburai membasahi pipi.

"Kita sudah berhasil, Tuanku! Tinggal membuntungi kepala Pampani dan para pendekar Pulau Jawa itu!" katanya.

Hanya beberapa meter dari tempat itu, Profesor Van Leinen berdiri menyendiri. Wajahnya pucat pasi dan air matanya pun jatuh satu persatu. Tak terkatakan betapa hancurnya perasaan orang tua itu melihat Kerajaan Pampani dilanda malapetaka yang bukan hanya mengambil korban materi, tetapi juga korban jiwa yang jumlahnya tentu sangat banyak. Mereka adalah orang-orang tak berdosa, yang tidak mengetahui apa-apa. Dan semua itu terjadi adalah berkat hasil karya cipta tangannya sendiri.

Setelah berhasil menciptakan alat-alat peledak, Profesor tua itu bersama Simon pun kemudian dipaksa menjelaskan cara menggunakan alat peledak itu. Ternyata tidak terlalu sukar. Maka malam itu juga, WanDa-I dan pembantu yang sangat dipercayainya yakni Womere segera melaksanakan rencana yang sudah cukup lama mereka bahas secara matang-matang. Keduanya sudah memikirkan akibat-akibat yang mungkin terjadi, bahkan kemungkinan paling buruk pun sudah mereka pikirkan baik-baik.

Keduanya segera menyuruh Wori, Umang dan Mirah untuk membunuh Karta, si Kaki Tunggal dan Bungoru yang mereka ketahui sedang berjaga-jaga di luar istana. Ada beberapa pertimbangan Wan-Da-I mengambil langkah tersebut. Pertama sekali adalah untuk mengalihkan perhatian musuh mereka yang terkenal sangat lihai itu. Kedua, siapa tahu ketiga tawanan mereka dengan ilmu sihir itu dapat mengalahkan lawan-lawannya. Tentu saja itu sangat baik, sebab tanpa pertolongan Karta dan si Kaki Tunggal, Kerajaan Pampani dengan mudah saja dapat dihancurkan. Kalaupun misalnya nanti Wori, Umang dan Mirah tidak berhasil mengalahkan lawan lalu dibunuh, Wan-Da-I tidaklah merasa rugi. Sebab ketiga pendekar itu adalah sahabat Pampani sendiri dan hanya karena pengaruh sihir saja makanya mau diperintah membunuh teman mereka sendiri.

Beberapa saat setelah ketiga pendekar itu berangkat, Wan-Da-I dan Womere mengajak Profesor Van Leinen dan Simon membuktikan kehebatan alat peledak itu. Sejumlah pengawal dengan senjata tombak di tangan mengikuti dari belakang dan tampak selalu bersiap-siap membunuh kedua lelaki berkulit putih itu apabila diperintahkan majikan mereka.

Para pengawal yang merupakan orang-orang pilihan Wan-Da-I segera menyusup ke dalam kerajaan Pampani. Karena mereka memiliki ilmu yang sangat tinggi, dengan mudah mereka dapat meletakkan alatalat peledak itu di kolong rumah penduduk, termasuk di kolong istana, sesuai petunjuk majikan mereka. Setelah itu, para pengawal pilihan itu pun berkelebat kembali ke tempat mereka semula.

Profesor Van Leinen menolak meledakkannya, dan sambil menekankan bahwa ia siap untuk dibunuh karena penolakannya itu, ia mengatakan bahwa sudah di luar perjanjian mereka. Ia hanya disuruh menciptakan alat peledak dan mengajarinya cara menggunakannya. Agaknya Wan-Da-I pun tidak mau terlalu memaksa, sebab apa yang diucapkan Profesor tua itu memang benar adanya. Maka ia pun meminta kesediaan Simon.

Pemuda ini pada dasarnya memang sombong dan kurang perduli akan nasib orang lain. Ia sadar ledakan itu pasti akan mengambil korban jiwa dalam jumlah banyak. Tetapi apa perdulinya? Ia toh adalah pendatang di Pulau Aru dan jika misalnya banyak yang tewas, ia tidak akan rugi. Demikianlah prinsip pemuda itu hingga dengan senang hati bersedia meledakkan bom tarik ciptaan mereka sendiri.

"Puaskah engkau, Tuan Wan-Da-I?" Simon bertanya sambil tersenyum ke arah tokoh sesat itu.

"Puas! Sangat puas! Ilmu teknik Tuan berdua sangat hebat. Mereka tentu akan musnah dalam sekejap. Kerajaan Pampani sudah hancur berantakan!"

Profesor Van Leinen mendengar percakapan itu. Ia kembali mengeluh dalam hati dengan wajah yang tampak semakin muram, "Oh, mijn God! Aku datang ke negeri ini bukan untuk membunuh. Kenapa semua ini mesti terjadi? Ampunilah aku, Tuhanku!" Ia merintih perlahan.

Suara dentuman-dentuman dahsyat itu memang betul-betul luar biasa kuatnya. Terdengar sampai jauh ke seluruh kawasan Laut Arafuru. Barangkali ikanikan di laut pun ikut merasa terkejut lalu menjauh dari Kepulauan Aru. Binatang-binatang di hutan-hutan pulau itu pun tentu sangat ketakutan, lalu berhamburan melarikan diri menyeruduk semak-semak.

Dua lelaki penumpang sebuah rakit yang tampaknya hendak menuju Kepulauan Aru di malam itu, juga mendengar dentuman-dentuman dahsyat itu. Terdengar seperti guntur sambung menyambung atau seperti gunung berapi meletus. Kedua laki-laki itu pun meloncat dari dalam kemah rumbia di rakit itu, lalu memperhatikan ke arah asal suara tadi.

Keduanya pun sama-sama terperanjat karena menyadari bahwa suara tadi bukanlah guntur atau gunung meletus. Tidak mungkin dapat menimbulkan kebakaran. Pasti telah terjadi sesuatu yang luar biasa. Api masih membumbung tinggi. Maka keduanya pun mempercepat laju rakit mereka menuju Kepulauan Aru.

"Hai, Awom! Pulau apakah yang sedang terbakar itu?" tanya lelaki yang satu. Ia masih muda, berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Wajahnya tampan dan sangat bersih. Sinar matanya lembut namun tajam mencerminkan sikap yang jujur dan suka menolong sesama manusia, tetapi juga selalu tegas dan tidak mau membiarkan kejahatan merajalela.

"Itulah Kepulauan Aru, Guru!" sahut lelaki yang dipanggil Awom itu, Ia pun masih muda, sekitar dua puluh lima tahun. Ia tidak mengenakan baju, sehingga otot-ototnya yang kekar terlihat berkilau-kilau ditimpa sinar rembulan yang redup. Rambutnya keriting dan hitam seperti kulit tubuhnya. Hidungnya pesek dan lebar, sedang tulang pipinya tampak menonjol, membuatnya tampak lebih tua dari usia yang sebenarnya. Melihat penampilan lelaki bernama Awom itu, dapatlah diterka bahwa ia masih satu rumpun dengan penduduk pribumi Pulau Aru. Namun kalung yang dihiasi taring babi hutan di lehernya, ia agaknya penduduk pribumi pulau besar sebelah Timur, tepatnya Papua. Siapakah sebenarnya lelaki tampan dan gagah perkasa yang dipanggil guru oleh. Awom itu? Ia tak lain tak bukan adalah Parmin si Jaka Sembung. Seperti diceritakan pada awal kisah petualangan Jaka Sembung dan kawan-kawannya, mereka terpencar karena kapal mereka dihantam ombak yang sangat besar. Si Gila Dari Muara Bondet, si Kaki Tunggal, Umang dan Mirah terdampar di Kepulauan Aru, sedangkan Jaka Sembung sendiri sampai ke Papua.

Di negeri itu, Jaka Sembung kemudian mengambil Awom sebagai murid, baik dalam ilmu silat maupun agama Islam. Karena yakin bahwa teman-temannya terdampar di sekitar perairan Laut Arafuru, Parmin menduga mereka sekarang berada di sekitar Kepulauan Aru atau di Kepulauan Tanimbar.

Maka berangkatlah Jaka Sembung bersama muridnya Awom dari Papua menuju Laut Arafuru, dengan menggunakan sebuah rakit. Tepat ketika keduanya berada di Perairan Tanjung Ngabordamiu dekat Pulau Penjuring, mereka menyaksikan salah satu pulau di Kepulauan Aru dipenuhi kobaran api yang sangat besar. Sayang sekali, kedatangan pendekar Gunung Sembung itu agaknya sudah terlambat. Dan kisah petualangannya di Kepulauan Aru dapat pembaca ikuti dalam kisah berikutnya nanti.

Sementara itu, si Gila Dari Muara Bondet masih terus berlari dari pantai menuju istana. Ia sangat terkejut dan panik melihat istana Pulau Trangan terbakar, sehingga meninggalkan Mirah tergeletak begitu saja di tepi pantai. Pendekar itu terus berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi, hingga tubuhnya tampak berkelebatan.

Dari atas tebing di sebelah kanan istana, Karta tertegun sejenak. Istana itu telah terbakar habis. Sedang istrinya Nomina serta putra mereka yang masih bayi berada di dalam istana itu.

"Ya, Allah! Bagaimana dengan anak istriku?" teriak Karta gemetar. Sambil mengeluarkan suara lengkingan nyaring, pendekar itu meloncat bagaikan terbang menuruni bukit cadas itu. Tanpa memperdulikan penduduk yang berlarian dalam keadaan panik, Karta meloncati benteng pagar. Ia kemudian berhenti dan berdiri tegak di dekat kobaran api, sehingga hawa panas segera menyerang tubuhnya.

"Nomina," gemetar lelaki itu menyebut nama istrinya.

Pada saat itu, Pampani pun sudah menyadari bahwa adiknya Nomina ada di dalam istana ketika musibah itu terjadi. Karena peristiwa itu terjadi sangat cepat, besar kemungkinan adiknya itu tidak sempat menyelamatkan diri. Apalagi ia masih harus menyelamatkan putranya.

Pampani menjadi panik sekali. Ia nekad berlari hendak menerobos kobaran api. Beberapa pengawalnya menjadi terkejut, lalu mencoba mencegahnya. Namun dengan kalap Pampani memukul para pengawal itu hingga berpelantingan dan tak berani lagi mencegah, selain berlari mengikuti kepala suku mereka dari belakang dengan perasaan cemas.

"Nomina! Nomina!"

Pampani mendadak menghentikan langkahnya. Ada keraguan terlintas di wajahnya menyaksikan kobaran api yang sangat besar. Nalurinya membisikkan bahwa kalau ia nekad menerobos api itu, tidak ada kemungkinan baginya untuk selamat. Tetapi ingat akan adik serta keponakannya, keragu-raguan itu seketika menjadi sirna.

Tidak! Ia tidak mungkin membiarkan kedua orang yang sangat dicintainya itu tewas mengerikan dalam kobaran api. Ia harus menyelamatkan mereka. Atau kalaupun misalnya sudah terlambat, biarlah ia mati bersama-sama dengan mereka. Itu lebih baik, daripada nanti ia harus hidup sendiri tanpa adik keponakan yang sangat disayanginya.

Selama ini, Pampani memang sangat menyayangi Nomina, adik satu-satunya yang sangat cantik tetapi gagu itu. Apalagi kedua orang tua mereka sudah lama meninggal dunia dan Nomina adalah saudara kandungnya semata wayang. Nominalah tumpuan kasih sayangnya dan selama ini Pampani seperti lupa membagikan kasih sayangnya kepada gadis lain hingga dalam usia setua itu belum menikah. Sedikit banyaknya dipengaruhi rasa sayangnya terhadap Nomina serta kesibukannya mengatur rakyatnya.

Sangatlah bahagianya kepala suku itu ketika adiknya itu menikah dengan Karta. Bukan karena seorang pendekar berilmu tinggi, tetapi terutama adalah sifat kesatria yang selalu tercermin dari setiap tingkah laku maupun budi bahasanya. Apalagi setelah Nomina melahirkan seorang bayi laki-laki mungil dan tampan, tak terlukiskan betapa bahagianya hati Pampani. Inginlah ia mengorbankan apa saja termasuk nyawanya sekalipun terhadap adik serta keponakannya itu seandainya diperlukan.

Ya, pengorbanan seperti itulah yang harus dilakukannya sekarang.

"Nominaaaa!" Pampani berteriak sekuat-kuat tenaga sambil mengepalkan tinju. Matanya menatap liar ke arah kobaran api. Lalu tiba-tiba ia berlari ke arah kobaran api yang membakar istana.

"Pampani! Jangan kau lakukan itu!" Karta yang sudah berada di tempat itu menjadi terkejut melihat Pampani nekad hendak menerobos lautan api. Akan tetapi tampaknya, kakak iparnya itu tidak menghiraukan larangannya. Tentu saja si Gila Dari Muara Bondet sangat terkejut, karena sudah dapat memperkirakan apa yang bakal terjadi jika tindakan itu dibiarkan. Jika tidak segera dicegah, maka akan bertambahlah korban jiwa.

"Pampani.....!" Karta kembali berteriak dan bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat bagaikan terbang ke arah Pampani. Demikian cepatnya gerakan Karta sehingga para laskar tidak dapat melihat kejadian itu dengan jelas, apalagi sekitar tempat itu sangat silau oleh kobaran api. Tiba-tiba saja mereka menyaksikan Karta sedang bergelut dengan Pampani, hanya sekitar satu meter dari kobaran api. Karta berhasil merangkul pinggang Pampani, sehingga membuat kepala suku itu terjatuh dan hampir saja terguling ke dalam kobaran api. Untung dalam keadaan yang sangat genting itu si Gila Dari Muara Bondet menarik tubuhnya ke belakang.

"Lepaskan! Lepaskan!" teriak Pampani sambil berusaha meronta-ronta sekuat tenaga.

"Jangan, Pampani! Jangan kau lakukan itu!" teriak Karta sambil mempererat rangkulannya. Namun rupanya Pampani sudah betul-betul nekad. Ia memukul-mukul tangan Karta, lalu berusaha meloncat ke dalam kobaran api. Tentu saja Karta semakin cemas, karena ia sadar tenaga kakak iparnya itu pun sangat kuat. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik ia bertindak cepat. Demikian pikiran si Gila. Maka ia pun mengangkat tubuh Pampani, kemudian melemparkannya ke belakang menjauh dari kobaran api.

Setelah itu, Karta pun segera meloncat menerkam Pampani. Dirangkulnya kembali pinggang kepala suku itu sekuat tenaga hingga tak mampu berkutik lagi.

"Lepaskan! Lepaskan aku! Nomina dan keponakanku terbakar di dalam api laknat itu!"

"Jangan nekad, Pampani. Tidak ada gunanya lagi. Biarkanlah. Relakan mereka! Kita sudah terlambat. Bagaimana pun kau adalah kepala suku, pemimpin dari rakyatmu. Jangan bertindak senekad itu!"

"Tapi.... tapi, oh Dewa!" Pampani kemudian menyebut-nyebut nama adiknya dengan suara yang makin lama makin pelan dan serak. Pandangan matanya makin berkunang-kunang dan kabur. Kedua kakinya gemetaran, tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Lalu ia pun jatuh terhenyak.

Karta kembali menatap kobaran api, baru sekarang menyadari bahwa anak dan istrinya tercinta mungkin sudah terbakar. Tadi ia hanya memikirkan bagaimana caranya supaya Pampani jangan nekad menerobos api. Segumpal asap hitam tebal ditiupkan angin ke arah Karta. Ia seperti mencium aroma bau daging istri dan anaknya yang terbakar. Jiwanya pun serasa telah terbang meninggalkan raga.

"Anakku.... Nomina...." Karta merintih kemudian terguling roboh tak sadarkan diri.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar