Serial Jaka Sembung Eps 13 : Pertarungan Terakhir

1

Bukit yang gundul dan gersang itu kini mulai diselimuti kabut tebal. Malam merangkak semakin larut. Angin bertiup dari arah Selatan dengan kencangnya. Lolongan panjang srigala terdengar dari kejauhan merubah suasana hening jadi kian mencekam.

Langit gelap, dan rembulan pun menerangi mayapada dengan sinarnya yang timbul tenggelam karena tertutup awan hitam. Petir menggelegar dengan kerasnya. Kilat memberkas menerangi perbukitan.

Di dalam sebuah goa tampaklah samar-samar beberapa sosok tubuh manusia yang sedang tidur lelap dengan tangan terhimpit di ketiak, kaki terlipat karena tak kuasa menahan dingin malam yang menusuk sampai ke tulang sumsum.

Di antara mereka ada seorang pemuda berkulit coklat, berpakaian seorang pendekar. Pemuda kulit hitam tanpa pakaian dan hanya memakai semacam selongsong sebagai pembungkus alat keperkasaannya. Paling kanan ada pula sepasang kulit putih, yang lelaki berpakaian compang camping, sedangkan yang wanitanya hanya menutupi tubuhnya dengan selembar kain sarung,

Sedikit, demi sedikit rembulan meredup sinarnya. Bintang pun tak lagi berkelap-kelip menghiasai cakrawala yang luas. Cuaca kian gelap. Hujan turun rintik-rintik membasahi bumi diiringi bunyi halilintar yang keras. Dengkuran nafas keempat orang itu bertambah keras. Mereka tak lagi memikirkan bahaya yang mengancam karena tak dapat lagi menahan rasa kantuk dan lelah yang teramat sangat.

Di antara mereka ada yang sedang diliputi perasaan gembira bercampur haru karena pertemuan bapak beranak yang telah beberapa lama terpisah.

Mereka tidur nyenyak sekali dibuai mimpi masing-masing hingga tak mendengar lolongan anjing hutan memecah udara disusul kilat halilintar yang menemani turunnya hujan, membentangkan cahayanya sehingga mengusik pemuda berkulit sawo matang yang tidur persis di mulut goa.

Perlahan-lahan pemuda itu membuka kelopak matanya, kemudian mengangkat badannya dan memandang ke seluruh penjuru goa yang menjadi tempat mereka berlindung untuk sementara.

Ia melihat si gadis kulit putih yang tersingkap kain penutup dadanya hingga buah dada yang besar mengencang tersebut keluar. Kalau saja ada seorang lelaki hidung belang di antara mereka, tak tahulah apa yang akan terjadi. Untunglah yang melihat pemandangan erotis di dalam goa itu adalah seorang pemuda tampan yang memiliki keimanan kuat dan berbudi luhur. Dialah Parmin si Jaka Sembung.

Seorang pemuda kulit hitam yang tidur meringkuk di samping Parmin adalah Awom panglima suku Kaimana. Ada pun gadis kulit putih tersebut adalah Yulia yang selama ini dinobatkan sebagai kepala suku Kaimana. Sedangkan lelaki tua kulit putih yang tidur di sampingnya adalah Yan Van Boerman ayahnya sendiri

Parmin segera beranjak ke tempat Yulia membaringkan tubuh. Dia betulkan kain penutup tubuh mulus itu dengan hati-hati sekali

Kemudian Parmin berkelebat ke luar menuju sungai yang berada di kaki bukit. Dia bersihkan tubuh lalu berwudlu. Tak lama kemudian Parmin menghadap ke sesuatu tempat yang ia anggap sebagai kiblat, seraya mengangkat kedua tangan untuk bertakbir.

Parmin memejamkan kedua matanya agar bisa lebih berkonsentrasi dalam komunikasi kepada Sang Maha Pencipta. Di tengah malam yang dingin itu Jaka Sembung melakukan shalat tahajudnya dengan tafakur.

Selang beberapa lama kemudian, Parmin telah berada kembali di dalam goa. Dipandanginya tubuhtubuh temannya yang lelap tidur dengan pandangan kasih sayang, Parmin tersenyum iba seraya berkata dalam hati;

"Kasihan, mereka begitu lelah menempuh perjalanan yang panjang dan penuh dengan bahaya."

Parmin duduk sambil merenung sampai akhirnya matanya telah tertutup rapat-rapat.

Dia pun tertidur lelap menghabiskan sisa malam yang dingin itu.

Malam telah pergi, mentari dari ufuk Timur mulai mengintip dan suara kicauan burung-burung bersahut-sahutan. Namun tubuh-tubuh yang lelah masih tertidur dengan lelapnya, kecuali Jaka Sembung yang terlihat duduk di mulut goa setelah melakukan sholat Subuhnya.

Semburat sinar matahari mulai memasuki goa itu. Berkas sinar yang menyilaukan jatuh ke wajahwajah mereka yang masih tidur.

Satu demi satu dari mereka membuka kelopak matanya perlahan-lahan.

"Uuuuh, hari sudah siang rupanya," celetuk Awom sambil menggeliatkan tubuhnya yang tegap berotot itu.

"Ya, saking lelahnya, kalian tidur dengan nyenyak sekali tanpa memperhatikan di mana kalian sedang bermalam," sambut Parmin yang kini sudah tampak bersih dan segar karena baru saja mandi di sungai itu.

Ketiga orang itu pun segera turun ke sungai untuk mencuci badan.

Setelah terasa segar, kembali mereka ke dalam goa, sementara Parmin dan Awom pergi mencari umbiumbian untuk sarapan pagi.

Beberapa saat kemudian, sambil membakar bahan makanan ala kadarnya itu, mereka berbincangbincang.

"Bagaimanakah asal mulanya anda berada di pedalaman Papua ini?" tanya Parmin kepada Van Boerman yang masih saja belum mau lepas memeluk anak gadisnya.

"Tatkala kapal kami hancur di serang badai, aku terpisah dengan Yulia," ujarnya seraya memulai ceritanya.

"Entah berapa lama tubuhku terombangambing gelombang laut yang luas itu. Dengan bergantung pada sebilah papan pecahan dinding kapal, aku mengadu nasib antara hidup dan mati. Tak hentihentinya aku berdoa memohon pertolongan yang Maha Kuasa agar menyelamatkan jiwaku. Aku tak tahu di mana anakku Yulia, juga pendeta Yorgen yang selama ini menemaniku dalam tugas missionari dan aku juga tak tahu ke mana teman-temanku yang lain. Aku hanya berpikir tentang diriku bagaimana caranya agar selamat." ungkapnya sambil mengerutkan kening.

"Cuaca saat itu dingin sekali dan angin laut bertiup sangat kencang. Aku tak dapat memandangi lautan di depanku, karena sebagian laut yang luas itu telah ditutupi kabut tebal hingga rembulan pun tak sanggup menembusnya. Hari mulai larut malam. Tubuhku terasa menggigil tak dapat menahan dingin yang menusuk-nusuk tulang sumsum. Perutku terasa perih karena lapar, aku tak dapat berbuat sesuatu untuk menangggulanginya. Aku hanya terus berharap dan berharap semoga Tuhan berkenan menyelamatkan jiwaku," ujar Van Boerman sambil matanya menerawang seolah membayangkan kembali peristiwa yang mengerikan itu.

"Waktu terasa sangat lambat bergeser, suasana malam gelap gulita telah hilang diganti dengan cuaca pagi yang cerah dengan munculnya sang mentari. Burung-burung camar berterbangan di atas kepalaku. Mereka seakan merasa sedih melihat apa yang ku alami di tengah laut lepas seperti itu. Barulah ketika matahari bergeser ke Barat, tampak sebuah sekoci yang ditumpangi oleh kelasi kapal yang hancur itu, mendekat kepadaku." ucapnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang berambut pirang.

"Atas persetujuan di antara mereka aku diangkat dan dimasukkan ke dalam perahu itu. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan lamanya kami hanya melihat air tanpa tepi. Pada suatu hari kami melihat dataran, kami menemukan sebuah pulau yang sangat asing yang kemudian kami ketahui bernama Papua," akunya sambil melototkan mata.

"Baru saja kami mendarat di pulau itu, mendadak kami disambut oleh pribumi yang masih primitif dengan sambutan yang tidak sebagaimana layaknya seorang tuan rumah. Mereka menyerang kami dengan tombak-tombak dan senjata tajam lainnya. Kami yang hanya berempat tak tahan mengimbangi keroyokan orang-orang primitif itu walau telah berusaha mengadakan perlawanan sedapat mungkin. Akhirnya dengan lari lintang pukang kami dapat menyelamatkan diri ke dalam hutan belantara." Van Boerman berhenti sejenak, kemudian meneruskan ceritanya.

"Berhari-hari kami tersesat di dalam hutan belukar. Perut yang memang beberapa lama tak terisi mulai terasa perih dan berpilin-pilin. Di dalam ransel yang berhasil kami bawa terdapat beberapa potong roti yang sudah hancur terendam air laut sehingga sulit untuk dimanfaatkan sebagai pengganjal perut.

Setelah secukupnya beristirahat, kami melanjutkan perjalanan melalui hutan belukar yang hanya ditumbuhi pohon-pohon sebatas bahu. Kami merayap dengan menyibak semak-semak pohon dengan kedua tangan, hingga tak terasa pakaian kami robek terkoyak patahan-patahan dahan pohon.

Tepat pada saat matahari tenggelam, akhirnya kami sampai ke sebuah perbukitan, bukit batu ini! Kami beristirahat semalaman di bukit tandus ini. Suasananya persis sekarang ini, ada yang berbaring di sudut dan ada pula yang lelap tidur di dekat mulut goa ini." kata Van Boerman sambil menunjuk-nunjuk.

"Pagi-pagi sekali kami sudah bangun dan membersihkan diri di sungai yang ternyata ada di kaki bukit berbatu ini. Sepanjang hari kami menikmati sekeliling bukit ini. Salah seorang dari kelasi kapal itu ternyata punya keahlian dalam bidang batu-batuan dan bertambangan. Ia menyatakan bahwa ternyata di bukit batu ini terdapat bijih emas.

Kemudian kami coba buktikan hasil penyelidikan Simon Ban Derlang itu bersama-sama dengan jalan menggali batu-batuan di lembah bukit tandus dan gersang ini. Namun ternyata setelah bermingguminggu kami menggali tanpa mengenal panas atau hujan, hasilnya tetap nihil.

Lama-kelamaan kami yang menggali tanah mulai ragu-ragu. Tetapi Simon mulai berubah watak, mulai memaksa dan bersikap tangan besi. Bila ada yang membangkang, Simon tidak segan-segan menghajar kami, sampai akhirnya salah seorang dari kami ada yang nekad melarikan diri dengan membawa barangbarang seadanya, dan celakanya ranselku yang berisi al-kitab dan rosario itu ikut terbawa," Van Boerman menghentikan kisahnya sejenak untuk bernafas kemudian melanjutkannya kembali.

"Entah bagaimana nasibnya dan aku heran bagaimana rosario itu sampai berada di tanganmu, Yulia?" Van Boerman bertanya pada anak gadisnya sambil mencium rosario yang kini ada di tangannya.

"Kami mendapatkannya dari seorang suku kanibal!" jawab Yulia sementara itu Van Boerman tertunduk merenungkan nasib kawannya yang mungkin sudah menjadi santapan orang-orang suku pemakan daging manusia itu.

Tak terasa hari semakin tinggi. Sang mentari sudah mengeluarkan kekuatannya sehingga tak ayal lagi cuaca sudah berubah sangat panas memanggang bukit yang gersang dan tandus itu. Segeralah mereka menuruni puncak bukit menuju ke tempat yang agak teduh yang ditumbuhi pepohonan.

Dari sini mereka menentukan langkah selanjutnya untuk mencari jejak pendeta Yorgen yang mungkin terdampar di pulau ini juga.

Sore hari itu Parmin dan Awom mulai bekerja membuat rakit dari batang-batang pohon yang agak kecil. Dengan rakit itu mereka menuju ke hulu sungai agar perjalanan mereka lebih cepat dan aman.

Setelah hampir satu hari mereka menempuh perjalanan, Parmin melihat suatu dataran yang agak mudah untuk ditempuh dengan berjalan kaki. "Kita mendarat di sini, Awom!"

Dengan cekatan Awom mendorong rakit tersebut dengan batang kayu panjang sampai ke dasar sungai hingga sampailah ke tempat yang dimaksudkan oleh Parmin.

"Kau tambatkan tali rakit pada tonggak itu. Awom! Sewaktu-waktu kita bisa menggunakan rakit ini kembali!" ujar Jaka Sembung. Setelah mengamankan rakit tersebut mereka melanjutkan perjalanan dengan memasuki jalan setapak yang melintasi hutan belantara itu dengan formasi Parmin dan Awom sebagai pemandu jalan, sedangkan Yulia dan ayahnya. Van Boerman mengikuti dari belakang. Mereka terus berjalan tanpa menyadari kehadiran sesosok tubuh yang senantiasa membayangi langkah-langkah mereka.

Pada saat yang tepat sosok tubuh itu menyergap Yulia dan ayahnya ke dalam semak belukar dengan mulut terbekap. Parmin dan Awom segera mendengar suara gemerisik dedaunan semak dan segera membalikkan tubuh sehingga mereka melihat bahwa Yulia dan ayahnya sudah tidak mengikuti mereka lagi.

Baru saja Parmin akan melangkah untuk berbuat sesuatu, mendadak kaki kirinya tersandung akar pohon yang ternyata merupakan suatu perangkap. Tak ayal lagi setelah benda itu putus, pohon yang terletak di tanah tiba-tiba melesat ke udara bersamaan dengan itu kaki Parmin terjerat dan tubuhnya terlontar ke atas. Melihat hal itu Awom bermaksud melabrak dengan bersenjatakan tombak, tetapi Parmin berteriak.

"Awon! Jangan melawan, menyerah saja!"

Awom mengikuti apa yang diinginkan Jaka Sembung karena dia yakin bahwa Parmin sedang merencanakan sesuatu yang paling baik.

Selang beberapa lama kemudian tubuh Parmin, Awom, Yulia dan ayahnya Yan Van Boerman tak berkutik lagi dengan tubuh terikat kuat.

Manusia-manusia hitam dan buas itu lalu mengusung Parmin dan kawan-kawannya seperti babi hutan buruan menuju perkampungan mereka.

*** 2

Beberapa jam kemudian setelah melewati jalan setapak, hutan belukar dan sungai kecil, kelompok suku Papua itu telah sampai di perkampungan mereka yang terdiri dari belasan rumah panggung berbentuk kerucut yang terbuat dari daun-daun kering, ijuk dan ilalang. Letak rumah-rumah primitif itu berjajar melingkari sebuah halaman yang cukup luas.

Di tengah halaman perkampungan itu terdapat kerangkeng-kerangkeng yang terbuat dari bambu berbentuk teralis yang memang telah dipersiapkan untuk para tawanan dan mangsa mereka.

Yulia dan ayahnya dijebloskan ke dalam kerangkeng sebelah Selatan dengan pengawalan ketat. Sedangkan Parmin dan Awom masing-masing di kerangkeng sebelah Timur dan Barat, sehingga dengan demikian secara kebetulan Parmin dan Awom dapat mengawasi kedua orang kulit putih itu dari perbuatanperbuatan orang-orang suku pemangsa tersebut.

Parmin tersungkur dihempaskan dengan kasar ke lantai kerangkeng. Ketika ia mengangkat kepalanya, terlihatlah di hadapannya seorang berjubah putih berjubah hitam sudah lebih dahulu berada di dalam kerangkeng tersebut.

"Uuuh! Siapakah anda?" tanya Parmin.

Dengan penuh wibawa orang berjubah hitam dan berkalung salib menjawab sambil tersenyum.

"Aku adalah pendeta Yorgen!"

Betapa terkejut bercampur gembira Jaka Sembung mendengar pengakuan orang yang di hadapannya yang ternyata adalah orang yang selama ini dicarinya.

"Aku sangat gembira dapat berjumpa dengan anda!" kata Parmin.

Pendeta Yorgen seorang lelaki Belanda berusia enam puluhan, berwajah selalu cerah dengan dahi lebar bercahaya, kumisnya tipis dan bertaut dengan janggutnya yang lebat. Semua itu membuat penampilannya tampak anggun dan arif.

"Kulit anda sawo matang... Kurasa anda bukanlah pribumi pulau ini!" pendeta Yorgen meneruskan perkataannya sambil menduga dari mana asal suku tawanan baru ini.

"Betul! Aku berasal dari pulau Jawa, sebuah pulau yang merupakan bagian kecil dari kepulauan Nusantara." Parmin menimpalinya sambil terus bertanya.

"Sudah berapa lamakah anda berada di sini?" "Hampir setahun aku dikurung seperti ayam!

Tapi anehnya mereka tidak membunuhku!" dengan nada sedikit heran

Suasana hening sejenak. Mereka saling beradu pandang dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Parmin kemudian melanjutkan ucapannya;

"Aku membawa berita gembira untuk anda, pendeta...! Tuan Yan Van Boerman dan putrinya Yulia telah berada di sini juga. Jika tidak terhalang dinding kerangkeng ini, anda dapat melihat mereka di sebelah Barat kerangkeng kita.

Malam mulai merambat dan dataran pantai Nabire yang terletak di teluk Sarera itu mulai redup tenggelam dalam buaian malam. Yang terdengar hanyalah suara deburan ombak membelah tepian pantai.

Angin bertiup sepoi-sepoi dan bintang pun bertaburan menghiasi cakrawala yang sunyi senyap. Perlahan-lahan bintang-bintang penghias cakrawala itu mulai hilang karena pergeseran waktu menuju dini hari. Pergantian itu mulai terasa setelah terdengar kokok ayam hutan serta kicauan burung di atas rantingranting pohon.

Parmin masih asyik berbincang-bincang panjang lebar dengan pendeta Yorgen karena mereka berdua tak dapat memejamkan mata. Mendadak mereka dikagetkan oleh beberapa orang anggota suku primitif yang mendorong dengan kasar pintu kerangkeng. Kemudian menarik tubuh Parmin keluar kerangkeng dengan todongan tombak-tombak mengancam. Melihat perlakuan tersebut terhadap Parmin tak hentihentinya pendeta Yorgen berdoa demi keselamatan Pendekar Gunung Sembung itu. Dengan suara gemetar dia memberikan semangat kepada Parmin,

"Semoga kau selamat, Nak!"

Parmin dengan pasrah mengikuti makhlukmakhluk buas itu membawanya pergi sambil berkata dalam hati,

"Mau dibawa ke mana lagi aku ini?"

Parmin terus digiring menuju halaman yang telah banyak dipadati orang-orang suku papua pemakan daging manusia yang menawannya. Ada yang duduk bersila mengitari api unggun yang berada di tengahtengah mereka, ada yang menari-nari dan ada pula yang menabuh gendang dengan irama yang menyentak-nyentak sehingga membuat suasana menjadi hiruk pikuk.

Sesaat kemudian suasana bising itu berubah menjadi hening seakan mereka sedang memanjatkan doa dalam upacara tradisionil suku. Mereka berdiri membungkuk kemudian duduk kembali.

Ketika Parmin sampai di arena upacara, laksana ada yang mengkomandoi suasana hening itu serentak berubah seperti semula, pecah dengan sorak sorai.

Parmin terkejut ketika melihat siapa yang duduk di singgasana kepala suku di tengah-tengah kerumunan makhluk-makhluk buas dan ganas itu. "Astagfirullah, dia lagi!" desisnya dalam hati.

Manusia bertopeng tengkorak yang sudah lama dikenalnya itu bangkit dari singgasananya sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi menyambut kedatangan seorang tawanan besarnya. Parmin digiring dengan perlakuan yang sangat kasar.

"Makhluk iblis itu sungguh berbahaya kalau dibiarkan hidup! Aku harus dapat mengenyahkannya walaupun aku tahu ia mempunyai ilmu silat yang lebih tinggi dariku!" tekad Jaka Sembung dalam hati.

Atas perintah manusia bertopeng itu, Parmin digiring ke dalam sebuah arena yang berbentuk lingkaran tonggak-tonggak kayu rapat berjajar setinggi bahu.

"Mau diapakan aku ini?" pikir Parmin.

Setelah masuk di pintu masuk arena tersebut, Parmin dihempaskan mereka sambil mengancamnya dengan ujung-ujung tombak. Kemudian mereka bergegas meninggalkan Parmin seorang diri. Tak berselang beberapa lama dari arah hadapan Parmin berdiri dibukalah sebuah pintu kandang. Serta merta penghuni di dalamnya, yang tak lain seekor babi hutan yang ganas dan buas dengan taring melengkung runcing di moncongnya, menghentak-hentakkan kakinya hingga menimbulkan kepulan debu dan kerikil, siap untuk mencabik-cabik tubuh pendekar kita.

Bersamaan dengan itu pula para penonton hiburan maut itu bersorak-sorai dengan suara penuh nafsu membunuh, seakan hendak meruntuhkan tebing-tebing bukit Serera. Memang, seandainya saja yang menjadi mangsanya itu manusia tolol yang tak menguasai ilmu silat sudah menjadi santapan babi hutan yang garang itu. Tapi lain halnya dengan Parmin si Pendekar Gunung Sembung, sebelum binatang itu mendekatinya, maka dengan gerakan yang sangat manis dia meloncat bersalto berkali-kali di udara sambil berusaha melepaskan tali ikatannya. Tatkala tali pengikat tangannya putus, para penonton itu kaget bukan kepalang apalagi ketika tiba-tiba Jaka Sembung melompat sambil merampas tombak pataka upacara yang berhias tengkorak kepala manusia dan bulu-bulu burung yang dipegang oleh seorang tokoh agama suku Papua kanibal.

Dengan tombak pataka tersebut Parmin kembali memasuki gelanggang untuk siap-siap. Para penonton yang sedikit terkejut kini gembira sekali dengan sorak sorainya melihat tawanan mereka meneruskan pertandingan. Tapi apa yang terjadi selanjutnya mereka lebih terkejut lagi, karena Parmin menggunakan tombak itu bukan untuk menghantam babi hutan, melainkan untuk loncat melewati kalangan bambu dan penonton dan langsung melesat menuju singgasana kepala suku dengan lentikan yang sangat mempesona.

***

3

Manusia bertopeng menyeramkan yang sedang asyik menyaksikan pertandingan maut antara Parmin dan babi hutan, dengan gesit melesat dan menghindar meninggalkan tempat duduknya selagi Parmin meluncur di udara dengan batu loncatan pada kepala-kepala para pengawalnya. Tapi Parmin si Jaka Sembung tak kalah gesit dan cepatnya. Dia menginjakkan kakinya pada ujung-ujung tombak yang runcing, para pengawal yang berderet itu untuk mengejar buronannya sambil berteriak mengancam lawannya.

"Jangan lari! Aku akan membuka topengmu itu hari ini!"

Namun orang bertopeng dan berjubah merah itu terus berlari menuju puncak bukit berbatu.

"Jangan coba-coba menghindar! Aku kini semakin yakin bahwa kaulah orangnya! Ku akui juga bahwa kau benar-benar luar biasa!" ujar Jaka Sembung mulai mengetahui siapa lawan gelap yang selalu membayangi setiap langkahnya di Papua ini.

Namun orang bertopeng itu semakin tak memperdulikan ucapan-ucapan Parmin yang pedas, bahkan dia sebaliknya tertawa terpingkal-pingkal sambil mengejek.

"Jika kau belum puas karena dendammu belum terbalas, maka di sinilah kita bertempur habishabisan! Buka topengmu!!" Parmin tak henti-hentinya memaki untuk memancing kemarahan lawan, namun dengan santai insan bertopeng itu menjawab.

"He... he... he...! Memang sekarang saatnya satu lawan satu! Kau kira aku telah mampus oleh senjata-senjata tahi kucing itu? Buahh! Jangan bertepuk tangan dulu, monyet! Walau nasibku agak sial dalam pengejaran mencabut nyawamu, tapi hari ini ajalmu akan tiba, monyet Sembung! Selain terbalas dendam keluargaku, namaku akan menggemparkan dunia persilatan karena kematianmu!"

"Jangan takabur! Kekuatanmu sudah mulai berkurang! Walaupun kau punya andalan pukulan maut yang bisa membakar itu, namun aku tahu kau telah kehilangan sebelah tanganmu!" ejek Parmin sambil memasang kuda-kuda dan mempersiapkan tenaga dalamnya. Dengan gerakan yang indah dia melesat ke arah lawannya yang telah siap menyambut serangan itu dengan mengerahkan seluruh ilmunya.

"Sekarang bukalah topeng iblis mu, hiyaaaatt...!!" Tak ayal lagi tenaga dalam dua tokoh silat, itu kini bertemu. Laksana besi berani kedua tangan mereka saling bertumpu seakan tak bisa lepas sampai menimbulkan suatu reaksi berupa kepulan asap. Matahari yang menyaksikan pertarungan akbar itu kian kemilau mengeluarkan panasnya yang membakar kulit. Sinarnya berbias-bias karena cepatnya gerakan mereka berdua. Tak terasa mereka sudah bertarung lebih dari seratus jurus. Butir-butir keringat telah bercucuran dari seluruh pori-pori tubuh mereka, sehingga membuat seluruh pakaian mereka basah kuyup.

Siang berganti malam, suasana di atas bukit berbatu itu kini sedikit diterangi oleh sinar rembulan yang hampir menyabit. Tubuh mereka tak nampak, hanya bayang-bayang hitam yang berkelebat kian ke mari bagaikan dua ekor burung malam yang sedang bertarung habis-habisan. Orang-orang suku Papua yang buas tercekam menyaksikan kehebatan ilmu mereka berdua memandang tanpa berkedip. Dalam hati mereka berdoa agar kepala sukunya yang keluar sebagai pemenang dalam pertarungan maut itu.

Dua hari dua malam pertarungan itu berlanjut sudah. Pada suatu saat, tubuh Parmin tergedor oleh serangan lawan sehingga kakinya tergelincir dan tak ampun lagi tubuhnya jatuh terperosok dengan deras ke lereng bukit itu. Tetapi belum lagi lawan bertopeng itu melontarkan serangan berikutnya Parmin telah siap siaga dengan mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Dua tenaga dalam kini saling bertubrukan di udara, menimbulkan getaran hebat menyebabkan bukit batu itu terasa bergetar.

Keringat kian deras mengucur seperti biji-biji jagung. Beberapa saat kemudian mata, Parmin mulai memerah dan dari sudut-sudutnya mulai meleleh cairan berwarna merah. Cairan itu terus mengalir seperti anak sungai. Beberapa saat sesudah itu darah hitam mulai meleleh, kali ini dari lobang hidung, telinga dan mulut. Tubuh Jaka Sembung kini mulai condong dan oleng pertanda kekuatannya mulai habis untuk selanjutnya tentu menuju kematian! Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada Parmin mencoba bertahan, namun tubuhnya bertambah condong dan akhirnya roboh ke tanah. Sedangkan lawannya masih tetap tegak tak tergoyahkan.

Laskar suku kanibal yang sejak tadi menyaksikan pertarungan dahsyat itu kini menyerbu dengan rasa tak sabar ingin mencincang tubuh Parmin yang sudah tergeletak tak berdaya. Namun di saat yang gawat itu suara teriakan terdengar dari arah belakang mereka, "Tahaaann!!"

Pasukan itu berbalik dan apa yang dilihatnya ternyata suara itu datangnya dari kepala suku mereka. Sambil keheranan mereka saling beradu pandang dan bertanya-tanya. Tubuh yang sudah tak berdaya dan sudah semestinya harus mereka cincang, kenapa kini dicegahnya?

"Biarkan dia hidup!! Aku tak ingin dia mati begitu cepat! Aku akan membuatnya mati perlahanlahan!" ucapnya dengan penuh nafsu untuk menyiksa lawannya, sambil mengarahkan telunjuknya ke suatu tempat.

"Masukkan kembali dia ke dalam kerangkeng! Besok kita akan mengiris dagingnya sedikit demi sedikit!"

Tubuh Parmin yang sudah tak berdaya dan babak belur itu kembali diusung, diiringi sorak sorai kemenangan, kemudian mereka menghempaskannya dengan kasar ke dalam kerangkeng.

Pendeta Yorgen yang sedang menanti Parmin dengan cemas, segera bergegas menghampiri tubuh yang sudah tak berdaya itu.

"Ya, Tuhan! Apa yang mereka telah lakukan? Siksaan yang kejam! Dia tak sadarkan diri!" keluh pendeta itu sambil membuat gerakan tangan yang membentuk salib di dada.

Berjam-jam lamanya Parmin tak sadarkan diri. Selama itu pula pendeta Yorgen terus mendampinginya sambil berdoa dengan khusuk.

"Oh, Bapa yang di surga ampunilah hamba-Mu ini. Dia sedang berjuang antara hidup dan mati. Tapi aku yakin Bapa akan memberinya pertolongan. Karena aku yakin dia berada di jalan-Mu, Ya Allah!"

Parmin mulai siuman dari pingsannya sambil mengucap dua kalimat syahadat, "Lailaha Ilallah WaAshadu Anna Muhammadar Rosulullah."

Pendeta Yorgen yang melihat Parmin sudah siuman, dia gembira dan terus memandangi wajah pendekar muda yang penuh semangat dalam menentang segala keangkara-murkaan di muka bumi itu.

"Dia sudah mulai sadar... Kepalanya bergerak dan mulutnya komat kamit!" ucapnya dalam hati.

Tubuh Parmin tiba-tiba bangun perlahan-lahan dan duduk tegap bersila sambil mengatur pernafasannya. Kemudian dia menggerakkan tangannya serta matanya perlahan-lahan dipejamkan seraya berucap,

"Bismillahir Rahmanir Rahim...?"

Setelah itu kepulan asap keluar dari segenap puri-pori tubuhnya. Pendeta Yorgen yang menyaksikan pemandangan itu terbelalak kagum. "Ya, Tuhan! Apa yang sedang terjadi? Mukjizat?!"

Belum lagi rasa kagum terlepas dari benaknya, kini dikagetkan dengan sesuatu yang lebih dahsyat lagi.

"Oh, kaki balai-balai yang didudukinya itu menembusi lantai kerangkeng!" Pada puncak semadhi itu Parmin tiba-tiba melihat dengan jelas bayangan almarhum gurunya Ki Sapu Angin yang berambut panjang putih hingga bahu dan kumis serta jenggot yang lebat warna putih pula yang berkata dengan penuh wibawa.

"Parmin, muridku! Jurus 'Wahyu Taqwa' adalah jurus larangan yang sangat dahsyat! Sebagaimana kau ketahui ilmu silat Gunung Sembung adalah warisan dari Sunan Gunung Jati, seorang Wali Kutub yang bersemayam di Gunung Jati Cirebon... Dengan jurus 'Wahyu Taqwa' itu pula beliau berhasil menghalau kebathilan yang datang dari orang-orang kaum syirik dan murtad yang coba-coba menghalangi penyebaran agama Islam, di tanah Jawa. Jika jurus itu sudah kau gunakan dan ternyata belum mampu mendobrak pertahanan musuh, harus kau sempurnakan dengan semadi sampai puncaknya. Di saat itu kau berada dalam titik pertemuan antara hidup dan mati. Di saat itu pasrahkan dirimu kepada Yang Maha Kuasa dan kau lancarkan pukulan yang terakhir, pukulan pamungkas!

Sesudah itu akan terjadi dua kemungkinan. Tubuh musuhmu atau tubuhmu sendiri yang akan hancur! Tetapi kau harus berani mengambil jalan terakhir itu, Parmin! Percayalah bahwa Allah Subhanahu Wata'ala pencipta alam semesta melindungi hambaNya yang berjuang dan berada di jalan yang hak!"

Setelah berucap, tubuh orang tua berambut putih dan memakai busana serba putih itu lenyap dari pandangan Parmin. Sementara itu pendeta Yorgen yang sejak tadi memperhatikan peristiwa menakjubkan itu kian menajamkan matanya seraya berucap,

"Ya, Tuhan! Kaki balai-balai itu kini telah amblas seluruhnya menembus lantai kerangkeng, sungguh hebat!" Benar, kini balai-balai kayu itu sudah tak tampak berkaki lagi.

"Allahu Akbar...!" ucap Jaka Sembung sambil mengusap wajahnya dan sesaat kemudian tubuh Parmin rebah kembali.

Pendeta Yorgen terkejut melihat tubuh Parmin yang tergolek pingsan tak sadarkan diri lagi.

"Ya, Tuhan! Ia pingsan lagi! Agaknya telah terjadi sesuatu terhadap dirinya!"

***

4

Malam berikutnya telah tiba. Rembulan semakin menyabit dan tertutup awan hitam. Bintang pun tak menampakkan cahayanya. Mengapakah? Seakan mereka tahu sesuatu akan terjadi pada kerangkeng tempat Yulia dan ayahnya meringkuk.

"Aku sangat mengkhawatirkan nasib Awom dan Parmin, Ayah!"

"Ya, betul! Inlander yang bernama Parmin Itu. Sangat berjasa bagi kita! Ia menolong sesamanya tanpa memandang warna kulit atau agama!" Ayahnya menimpali dengan rasa simpati yang dalam.

"Apakah mungkin pendeta Yorgen masih hidup, Ayah! Tipis harapan kita untuk bertemu dengannya!"

Belum lagi ayahnya sempat menjawab, mendadak Yulia menyambung perkataannya dengan melihat orang-orang suku primitif itu menuju ke arahnya. Suku Nabire yang selama ini memenjarakan mereka.

"Lihat, Ayah! Mereka datang! Mungkin giliran kita untuk dijagal!" kata Yulia kepada ayahnya yang juga melihat kedatangan anggota suku itu dengan wajah pucat pasi.

"Walau kita memang ditakdirkan Tuhan mati di sini, tak apalah. Aku masih bisa tersenyum, asalkan kita tetap berkumpul, Anakku!" jawab Van Boerman sambil memeluk erat anak gadisnya itu.

Namun betapa terkejutnya Yan Van Boerman, ternyata yang dibawa hanya anak gadisnya, sedangkan ia tetap ditinggalkan. Sambil berteriak-teriak ia mencoba untuk protes.

"Tidak! Mau dibawa ke mana Anakku, he! Kalau kalian hendak membunuhnya, bunuhlah aku sekalian!! Jangan pisahkan aku dengan Anakku?! Bunuhlah aku juga!!" teriaknya memelas. Namun orang-orang buas itu tak menghiraukan ratapan ayah Yulia.

Yulia digiring ke rumah kepala suku, ke suatu tempat yang tidak jauh dari pondok-pondok laskar suku primitif itu. Tatkala Yulia hendak masuk, seorang berjubah dan bertopeng tengkorak telah berada di dalamnya, duduk santai dengan tangan bersedakep.

"Masuk...!!" perintahnya kepada laskar suku yang membawa Yulia, selanjutnya memerintahkan anak buahnya tersebut untuk meninggalkan mereka berdua.

"Lepaskan belenggu tangannya! Kemudian kalian cepat pergi dari ruangan ini!" katanya dengan sorot mata penuh arti.

Setelah anak buahnya beranjak dari hadapannya, dia berbicara kepada Yulia dengan bahasa melayu.

"Sebetulnya aku tak punya sangkut paut dengan kalian orang-orang kulit putih!"

Betapa terkejutnya Yulia mendengar ucapan orang bertopeng menyeramkan itu dengan bahasa melayu yang sangat fasih.

"Huh! Anda bukan suku Papua rupanya! Kalau begitu siapakah Anda?" tanya Yulia dengan serius. "Nona tak perlu tahu siapa aku! Tapi dengan je-

las aku hanya punya urusan dengan tuan penolongmu yang bernama Parmin itu! Aku terpaksa menculik kau dari Kaimana untuk memancing Parmin agar berhadapan denganku!" Suara si Topeng Tengkorak itu terdengar bergetar menahan gejolak dendam.

"Syukurlah kalau anda tidak bermaksud memusuhi kami! Kami sangat berterima kasih! Tapi apakah anda pernah melihat orang kulit putih selain kami?" tanya Yulia sekali lagi dengan penuh harap.

"He... he... he...he...?! Apakah yang kau maksud adalah Pendeta Katholik itu?" tanya si Topeng Tengkorak dengan santai sambil tersenyum menyeringai.

"Betul! Apakah anda juga menahan dia di sini?. Ya, Tuhan! Syukurlah kalau dia selamat! Kami sangat gembira dapat berkumpul kembali dengannya!" pekik Yulia dengan luapan rasa gembira karena pendeta Yorgen yang selama ini dicarinya ternyata telah berada di tempat yang sama.

"Oh, tentu! Tentu! Kalian akan menjadi tamutamuku di sini! Kalian akan bebas. Tapi ada syaratnya! Dalam hal ini keputusannya mutlak terletak di tangan anda, Nona!"

"Apa maksud Anda?" tanya Yulia dengan tak sabar untuk mengetahui arah pembicaraan orang yang bertopeng tengkorak itu.

"Kukira syaratnya setimpal dengan harga nyawa kalian bertiga, yaitu kau harus menjadi istriku untuk sementara!" jawabnya sambil coba mengelus tubuh Yulia.

Betapa kagetnya Yulia, ternyata omongan manis kepala suku itu ada udang di balik batunya. Ia ingin menikmati tubuhnya yang sintal dengan lekuk tubuh sangat indah. Apalagi di usianya sekarang, sebagai gadis dewasa dengan pesona yang betul-betul membuat lelaki menjadi mabok kepayang.

"Oh, tidak! Jangan sentuh aku!" teriaknya dengan cemas.

"Kuda macam apapun sudah aku tunggangi! Kuda coklat, kuda hitam, kuda kuning hanya kuda putih yang belum aku coba!" kata Hi Topeng Tengkorak dengan dengusan nafsu yang menggebu.

"Tidaaaaak! Aku lebih baik mati daripada harus menyerahkan kehormatanku!" teriak Yulia sambil meronta-ronta untuk melepaskan dekapan orang itu. Namun tubuh gadis Belanda itu tak kuasa menggoyahkan, apalagi melepaskan cungkeraman orang yang sudah kemasukan iblis. Dia bahkan terus menggumuli Yulia, dan tangannya yang culas itu menggerayang liar menelusuri lekuk-lekuk tubuh gadis kulit putih itu.

"He... he... he....! Kau tak bisa berbuat apa-apa di sini, ratu molek dari Kaimana! Di sini aku yang berkuasa! Sudah lama aku menginginkan engkau! Aku sudah bosan dengan perempuan pribumi pulau ini! Merontalah sekuat tenagamu, Nona!" dengus si Topeng Tengkorak sambil meremas sepasang daging yang menggumpal kencang di dada Yulia.

"Auuuu!!! Lepaskan aku! Lepaskaaaaaaaann!! Bajingan kau!" jerit Yulia yang sudah berada pada saat-saat yang kritis untuk mempertahankan kesuciannya. Kain sarung satu-satunya, penutup tubuh pemberian Jaka Sembung itu kini sudah lepas direnggut tangan kasar sang durjana bertopeng tengkorak itu.

"Auu! Bangsat! Jahanam! Iblis!!!"

Sudah berapa banyak makian yang dilontarkan Yulia, namun si Topeng Tengkorak tak menghiraukannya, bahkan tatapan matanya semakin liar tatkala matanya menatap tubuh tanpa sehelai benang dengan kulit seputih pualam dan bulu-bulu halus berwarna pirang. Nafasnya terdengar menggeros-geros dengan segenap otot tubuh yang kian menegang tak tertahankan lagi.

"Oh, jangan!! Helk !" pekik Yulia tatkala si To-

peng Tengkorak mencoba mendekap tubuhnya.

Dengan kasar dan tak sabar sang durjana itu menggumuli tubuh Yulia, membuat gadis kulit putih itu meronta dan berteriak-teriak sekuat tenaga. Namun apalah arti daya upaya seorang perempuan di bandingkan dengan tenaga seorang lelaki yang memiliki ilmu silat tingkat tinggi dan dalam kekuasaan nafsu birahi yang memuncak.

Maka pecahlah tirai kesucian gadis Belanda itu diiringi jerit tangis yang menggeletar. Sekilas dalam ingatannya terbayang wajah Jaka Sembung, seseorang yang pada detik itu ia harapkan kehadirannya.

"Oh, Parmin! Parmin!!" jeritnya dalam tangis yang menyayat.

Namun jangankan Parmin, seekor cecak pun tak bisa menyahut atas tragedi yang sedang berlangsung terhadap gadis Belanda yang malang itu.

***

5

Angin gemuruh bertiup menerpa pantai dan perbukitan Nabire. Ombak-ombak laut teluk Sarera bergejolak seakan-akan tak rela ada kesucian yang direnggut oleh tangan yang tak berhak.

Pada saat yang sama di lain pondok nampak seorang pemuda kulit hitam yang tak lain adalah panglima suku Kaimana, Awom sedang termenung dan menengadah ke atap kerangkeng sambil mengerutkan kening seakan ada yang sedang dipikirkannya.

"Oh, para dewa bagaimana nasib kepala suku Kaimana dan ayahnya? Lalu bagaimana nasib Parmin?"

Belum lagi Awom sempat membayangkan nasib ketiga kawannya, mendadak di luar kerangkeng tampaklah seorang wanita kulit hitam, berpakaian hanya berupa untaian kulit pohon yang menutupi celah pahanya dengan buah dada yang dibiarkan lepas bebas mendekat kepadanya.

"Sssssst!! Apakah kau mengerti bahasa Nabire?" tanya gadis hitam manis itu,

"Oh, ya bisa sedikit-sedikit? Siapakah anda?" jawab Awom sambil bertanya. Sementara itu dalam hati dia mengagumi keindahan tubuh wanita muda kulit hitam itu. Tubuhnya padat berisi dan berada pada usia yang sedang mekar sebagai seorang gadis. Sepasang matanya besar dan selalu berbinar-binar.

Sambil memperkenalkan diri wanita itu merapatkan diri ke dinding kerangkeng agar lebih dekat dengan Awom.

"Namaku Da-Fan putri kepala suku yang telah tewas ketika terjadi perang suku. Ayahku mati dibunuh oleh kepala suku yang sekarang berkuasa di perkampungan ini. Aku bermaksud membebaskanmu dan mengajakmu lari!! Jangan kawatir. Kawan-kawanku yang setia telah membereskan para penjaga. Kita bisa lari dengan sampan menuju pulau Ro-on! Di sana pamanku bersama laskarnya yang melarikan diri sedang menunggu aku! Kita bisa kawin di sana!" ujar gadis manis yang bernama Da-Fan itu sambil mengagumi otot-otot tubuh Awom sang panglima suku Kaimana. Namun pemuda Papua yang satu ini tak terburu nafsu menerima tawaran itu. Dia masih mengkhawatirkan nasib kawan-kawannya.

"Aku tak bisa mengikutimu, Da-Fan! Kepala sukuku dan kawan-kawanku ada di sana!"

"Siapakah kawan-kawanmu yang kau maksud?" tanya Da-Fan dengan nada penasaran.

"Dua orang kulit putih dan satu orang berkulit coklat!, Wanita kulit putih itu adalah kepala suku Kaimana, dan aku sebagai panglima perang wajib melindunginya!" jawab Awom tegas.

Sementara itu di sudut-sudut pondok yang gelap, kawan-kawan wanita Da-Fan sedang mengelabui penjaga dengan menyerahkan kehangatan tubuhnya masing-masing. Mereka bergumul laksana hewan dan membuat para penjaga itu benar-benar lupa akan tugasnya

"Sssst, hati-hati Awom!"

Dengan berjalan berjingkat-jingkat Da-Fan membawa Awom ke luar dari kerangkengnya. Ketika melewati sebuah pondok, Awom mengambil salah sebuah tombak yang sedang disandarkan di dinding.

"Aku memerlukan tombak ini! Sekarang kau tunjukkan aku, di mana letak pondok kepala suku?" pinta Awom kepada teman barunya yang dengan cepat telah merebut hatinya itu.

"Jangan!! Jangan Awom! Nanti kau dikutuknya seperti ayahku! Tubuh ayahku hangus olehnya!" pinta Da-Fan dengan harapan agar Awom menuruti sarannya. Namun panglima perang suku Kaimana yang mempunyai watak kesatria itu tak gentar dengan segala kemungkinan yang menghadang. Kini yang ada di benaknya hanya bagaimana cara membebaskan kepala suku beserta yang lainnya.

"Awom tidak takut kepada siapapun!" kata pemuda Kaimana menantang. "Tapi Da-Fan takut, Awomku sayang!" bujuk gadis manis itu dengan penuh harap. Awom berpikir sejenak, kemudian berucap;

"Baiklah! Kau tunjukkan saja padaku di mana tawanan-tawanan itu berada?"

"Mari!" jawab Da-Fan singkat sambil menarik tangan Awom untuk bergegas menuju ke suatu tempat.

Sementara itu di tempat kediaman si Topeng Tengkorak kepala suku Nabire sekarang, tampak gadis berambut pirang bergolek lemas dengan tubuh telanjang bulat bermandi keringat. Dia tak kuasa bangkit karena tenaganya terkuras habis diamuk sang durjana yang dengan kejam dan buas telah menggagahi dirinya. Ia masih merasakan seakan seluruh tulang belulangnya remuk dan seluruh persendiannya seperti lolos tak berfungsi.

Si Topeng Tengkorak tampak sudah mengenakan busananya dengan senyum penuh kepuasan setelah mendapatkan seorang gadis idaman yang ternyata masih perawan pula. Yulia terus menangis dengan ratapan keputusasaannya. Kini dia merasa tak berguna lagi. Baginya dunia ini telah kiamat. Siapa sudi menerima kehadiran seorang gadis yang tidak suci lagi.

"Mulai sekarang kau bisa berbuat apa saja di Nabire ini! Bebas sesuka hatimu!!" ujar si Tengkorak dengan bangga kemudian melompat ke luar dan menghilang di kegelapan malam, dengan suara tawa yang membahana.

Dalam pada itu Awom dan Da-Fan mengendapendap menuju tempat tinggal kepala suku Nabire. Pondok besar itu tinggal beberapa langkah lagi di depan mereka.

"Di mana?" tanya Awom kepada Da-Fan dengan tak sabar. "Tunggu dulu, Awom! Jangan tergesa-gesa!" pinta Da-Fan.

"Ada apa?" tanya Awom sambil menatap bola mata gadis itu.

"Aku ingin membicarakan sesuatu di tempat yang sunyi!" pinta Da-Fan sekali lagi.

"Apa yang hendak kau bicarakan? Asal jangan terlalu lama, Da-Fan!"

Dengan tergopoh-gopoh Da-Fan membimbing tangan Awom menuju ke pantai yang sunyi yang hanya terdengar deburan ombak dan tiupan angin pantai yang sepoi-sepoi.

Setelah terasa agak jauh dari keramaian, DaFan mengajak Awom duduk-duduk di pinggiran pantai yang bertabur pasir halus.

"Duduklah Awom! Di atas pasir ini kita bebas dan aman!" ajak Da-Fan sambil merebahkan tubuh Awom yang seakan tenggelam dalam bisikan suaranya yang lembut. Kemudian Da-Fan merebahkan diri ke dada pemuda itu sehingga terasa buah dadanya yang montok mengencang itu terhimpit ke tubuh Awom yang berotot keras, seraya berkata;

"Awom, dengarlah... Atas nama dewa-dewa, di malam yang indah ini akan aku serahkan kesucianku kepadamu pemuda gagah." Da-Fan dengan jarinya yang lentik meraba-raba tubuh Awom yang kuat laksana kuda Arab.

"Kau tahu, Awom! Kepala suku yang bertopeng tengkorak itu pasti akan mengambil diriku sebagai korban nafsu birahinya. Itu hanya soal waktu, suatu saat tentu akan tiba. Tetapi aku tak sudi menyerahkan kesucianku kepada orang yang tak kucintai!" ujarnya dengan nada sedih.

Hari semakin larut. Rembulan mengintip dari balik awan yang menutupinya. Pohon-pohon raksasa yang dihempas angin melambai-lambaikan daunnya dan suara bintang-bintang kecil bersahut-sahutan, seakan mengucapkan selamat bahagia kepada dua pasangan pemuda kulit hitam itu.

Da-Fan dengan desah nafasnya menelusuri leher Awom memberi kenikmatan yang belum pernah dirasakan pemuda Kaimana tersebut. Seluruh tubuh Awom terasa merinding seperti digelitiki oleh tangan seribu bidadari. Semakin pemuda itu memejamkan matanya, semakin terasa kenikmatannya.

"Biarlah aku dikutuk olehnya? Biarlah tubuhku hangus terbakar, tapi aku tetap tak mau menyerahkan kesucianku! Telah banyak gadis-gadis Nabire yang jadi korban. Jika aku akan mati hari ini, aku sudah puas karena aku sudah menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepadamu, Kekasihku!"

"Kau tak akan mati, Da-Fan! Percayalah! Tidak ada dewa berujud manusia! Dia dewa palsu!" jawab Awom dengan pasti untuk meyakinkan Da-Fan sambil mendesah karena bibir gadis Nabire itu semakin terasa hangat merayapi dadanya dan kini mulai ke bawah mengecupi otot-otot perutnya.

"Awom, kau berani berkata begitu?" tanya DaFan sambil melepaskan selongsong koteka pemuda Kaimana itu.

"Yang harus kau sembah adalah Tuhan yang menciptakan kita dan seluruh alam ini!" jelas Awom mengulang apa yang pernah dikatakan Jaka Sembung kepadanya.

"Tuhan? Aku baru mendengar nama-Nya? Siapakah Dia?"

"Dia bukan manusia seperti kita! Dia bersemayam di tempat Yang Maha Tinggi, lebih tinggi dan mulia dari apapun yang pernah kau lihat!" jawab Awom sambil menggelinjang karena elusan tangan gadis itu menelusuri sesuatu yang sangat sensitif.

"Apa Dia lebih kuat dari dewa?" tanya Da-Fan sambil merebahkan tubuhnya di sisi Awom. Agaknya ia mengisyaratkan kepada pemuda pujaannya itu untuk mencumbunya. Tetapi panglima suku Kaimana ini betul-betul seorang pemuda yang masih lugu, oleh karenanya ia tak berbuat sesuatu apapun kecuali meneruskan penjelasannya tentang kehebatan Tuhan.

"Para dewa sudah barang tentu berada di bawah kekuasaannya! Dewa tengkorak yang kau bilang itu pasti akan ditumpasnya! Karena dia jahat! Tuhan sangat benci kepada orang jahat!" tegas Awom dengan nada serius.

Da-Fan sudah tidak sabar lagi dan memagut tubuh Awom agar mendekapnya. Gadis Nabire itu menginginkan pemuda pujaannya melakukan apa yang baru saja ia lakukan terhadapnya.

Ternyata Awom pun cepat menangkap pelajaran pertama itu, dan...

"Awom! Aku terasa terbang, Awom? Kau berada di mana? Di sisiku, bersamaku bukan? Dan aku di mana...?! Dimana.... Mengapa aku tak bertemu denganmu sejak dahulu? Kalau aku tahu kau Kalau

aku tahu begini indahnya aku akan mencarimu walau kau berada di ujung dunia sekalipun!" desah gadis itu setengah merintih.

Da-Fan terus menceracau terbawa arus kenikmatan tiada tara pada saat-saat Awom menelusuri leher gadis itu dengan kecupan bibirnya. Tubuh gadis Nabire itu menggelinjang berkali-kali ketika kecupan Awom menelurusi sepasang gumpalan daging yang mengencang di dadanya. Da-Fan mendesis-desis sambil memejamkan matanya.

Pada puncaknya, gadis itu memekik tertahan dengan tubuh bergetar hebat. Ia menggigit bahu kekasihnya untuk menahan siksa yang nikmat itu.

Angin bertiup merontokkan daun-daun. Udara seakan bergetar, dahan-dahan pohon meliuk liuk laksana tubuh yang meronta. Untuk sesaat tubuh Da-Fan mengejang, kemudian dengan lenguhan panjang ia terkulai dalam pelukan Awom. Nafas pemuda itu sendiri menggeros-geros dengan peluh membasahi kening dan sekujur tubuhnya. Senyum kebahagiaan menghias bibir sepasang muda mudi kulit hitam itu.

***

6

Di lain tempat sosok tubuh berdiri di kejauhan seperti tonggak dengan angkernya di kaki bukit dan menghadap ke laut lepas. Entah apa yang sedang dilakukan oleh makhluk berjubah dan bertopeng tengkorak itu.

Perlahan lahan tangannya ke depan dan kemudian ditariknya ke dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam kemudian mengerahkan seluruh tenaganya. Dengan menghentakkan tenaga yang kuat serta teriakan yang keras. Ia melancarkan pukulan jarak jauh ke arah sebongkah batu karang yang runcing mencuat dari dasar laut. Tak ayal lagi batu karang itu tumbang dan mengeluarkan asap akibat tenaga dalam yang dahsyat dan menimbulkan suara yang menggelegar laksana suara halilintar.

Suara gaduh yang membisingkan itu agaknya telah mengejutkan burung-burung hantu dalam semak belukar, membuat mereka terbang berhamburan.

Melihat burung-burung berterbangan di udara, orang yang ternyata musuh nomor satu Parmin si Jaka Sembung, segera melancarkan pukulan jarak jauh ke arah burung-burung malam itu. Tak ayal lagi, nasib mereka tak jauh beda dengan batu karang laut itu. Tubuhnya hancur berkeping-keping dan hangus terbakar. Rupanya itulah ilmu pukulan yang selama ini menjadi andalannya.

Suasana hening sejenak seakan tak terjadi apaapa di pinggiran laut itu, namun tiba-tiba terdengar kembali teriakan yang memekakkan telinga. Kalau saja ada orang yang mendengar suara itu dan dia tak mempunyai ilmu penangkal yang tinggi, gendang telinganya akan hancur dan mengeluarkan darah. Untung saja tak ada seorang pun manusia di sana, hingga suara keras itu terpantul pada dinding bukit. Yang menyebabkan batu-batu bukit itu bergoyang dan runtuh.

"Ha... ha... ha... ha! Walaupun tanganku tinggal sebelah, tapi pukulanku masih tetap sempurna! Dendamku kepada monyet Sembung itu pasti akan terbalas, Kakang!"

***

7

Yulia kini telah siuman dari pingsannya, dia merasakan rasa nyeri di celah kedua pahanya. Dengan perasaan pilu ia melihat tetesan darah yang membekas di atas tikar gambut tempat tubuhnya terbaring.

Yulia mencoba untuk mengambil kain sarung penutup tubuhnya yang tercampak tak jauh di hadapannya.

"Oh, Tuhan! Mengapa ini mesti terjadi pada diriku? Aku telah ternoda! Aku lebih baik mati! Lebih baik mati!" ratap gadis Belanda itu dengan tubuh menggigil menahan isak tangis yang menyesak dada. "Hu.. hu... hu.... hu! Parmin, mengapa bukan

kau yang merenggut kesucianku? Kalau saja kau yang menghendakinya, tanpa kau pinta pun akan kuserahkan segala-galanya demi cintaku padamu!"

"Mengapa pada saat yang paling gawat itu kau tak muncul? Bukankah kau selalu datang menyelamatkan aku di saat-saat genting? Apakah kau telah tewas di tangan makhluk iblis bertopeng tengkorak itu? Kalau begitu aku harus menyusulmu dengan pisau itu!" pekik Yulia yang sudah menganggap hidupnya sudah tak berarti lagi sambil tatapan matanya ke arah pisau yang terselip di dinding ruangan itu.

"Aku harus mati! Haruuuuuuuuussss! Ya, Tuhan! Maafkanlah segala dosa-dosaku! Aku tak sanggup menanggung derita ini! Oh, Parmin jangan tinggalkan aku!"

Baru saja gadis Belanda itu hendak menghabiskan nyawanya dengan sebilah pisau itu, tiba-tiba tangannya ditahan oleh seorang kulit hitam.

"Jangan !"

"Ah....!" teriak Yulia sambil menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang telah mencegah perbuatannya.

"Awom, kau?! Lepaskan aku! Lepaskaaaaann!!

Biarkan aku mati!" teriaknya histeris.

"Tidak! Suku Kaimana sangat mencintai anda!" bujuk Awom dengan nada penuh harap kepada kepala sukunya itu. Sementara itu Da-Fan menyaksikan kedua orang berlainan warna kulit dari sudut ruangan.

"Kami sangat membutuhkan anda, yang mulia kepala suku! Adalah kewajibanku sebagai panglima untuk melindungi anda!" hibur Awom sekali lagi dengan sepasang mata yang berkaca-kaca.

"Oh, Tuhan!" sebut Yulia seakan baru tersadar dari tindakannya.

"Sekarang marilah kita ke luar dari neraka ini dan menyelamatkan ayah anda. Parmin, dan lainnya."

"Parmin? Apakah Parmin masih hidup?" tanya Yulia yang tiba-tiba merasa cerah setelah mendengar nama orang yang dikaguminya.

"Aku sendiri diselamatkan oleh Da-Fan! Menurut keterangannya, Parmin dikurung bersama pendeta Yorgen!" jawab Awom sambil menunjuk ke arah DaFan. Gadis Nabire itu mengangguk sambil tersenyum.

"Oh, benarkah?" tanya Yulia dengan sinar mata yang berbinar-binar.

***

8

Matahari pagi kembali bersinar lagi, membias di punggung-punggung bukit pantai Nabire yang indah. Pondok-pondok perkampungan suku terlihat berderet di kaki bukit. Di dalam pondoknya tampak si Topeng Tengkorak memerintahkan anak buahnya untuk mengeluarkan para tawanan dari kerangkeng-kerangkeng mereka masing-masing.

"Keluarkan semua tawanan! Hari ini akan kita adakan upacara korban dengan ular-ular berbisa itu!"

Orang-orang suku primitif itu tanpa toleh kiri kanan langsung mengerti apa yang telah diperintahkan oleh orang yang bertindak sebagai kepala suku mereka.

Pendeta Yorgen yang sejak kemarin menunggui Parmin yang belum sadar dari pingsannya, terkejut dan panik melihat beberapa orang suku Nabire itu membuka pintu kerangkeng. "Tidak! Jangan bunuh dia! Kalian boleh bunuh aku? Tapi.... tapi janganlah kau tambahkan siksaan kepada pemuda ini! Keadaannya sangat menderita!" pinta pendeta kulit putih itu penuh harap. Namun anggota suku kanibal tersebut tak menghiraukan katakata pendeta, bahkan menarik tubuh si pendeta dan mengikatnya dengan tali. Pada saat itu si Topeng Tengkorak masuk pula ke dalam kerangkeng sambil berkata; "Semula memang aku tidak bermaksud membunuh kalian orang-orang kulit putih! Tapi anak gadis tuan Yan Van Boerman itu telah lari dan membunuh beberapa pengawalku! Oleh karena itu nyawa kalianlah sebagai gantinya!"

Si Topeng Tengkorak melanjutkan bicara sambil mondar mandir, tiba-tiba kakinya diangkat lalu digedorkannya ke dada Parmin.

"Mengenai santri monyet ini, aku tidak ingin tergesa-gesa! Aku telah merencanakan siksaan yang paling tepat setelah kesadarannya pulih!"

Setelah berkata demikian, si Topeng Tengkorak dan beberapa pengawalnya pergi meninggalkan Parmin yang masih pingsan dengan membawa pendeta Yorgen. Di luar kerangkeng mereka berpapasan muka dengan Yan Van Boerman yang juga sedang digiring.

"Pendeta Yorgen!" teriak Yan Van Boerman dengan gembira.

"Aku sudah tahu bahwa kau masih hidup, Anakku!" sambut pendeta Yorgen dengan suara agak tertahan karena haru.

Setelah dekat mereka saling berpandangan dengan sorot mata berkaca-kaca. Pendeta Yorgen berusaha menghibur Yan Van Boerman.

"Tabahkan hntimu, Anakku! Jika Tuhan belum menghendaki kita mati, kita tidak akan mati!"

Mereka disambut oleh orang-orang suku Nabire yang membuat pagar betis dengan sorak sorai gegap gempita. Ada yang berjingkrak-jingkrak dan ada pula yang menari-nari menandakan pesta pembunuhan segera akan dimulai. Di tengah keramaian hiruk pikuk itu Yan Van Boerman semakin merasa cemas.

"Aku sangat mengkhawatirkan nasib Yulia, Ba-

pa!"

Dengan tenang dan penuh keyakinan bahwa

Tuhan Yang Maha Kuasa akan menolong mereka dari segala mara bahaya, pendeta Yorgen menenangkan bathin Yan Van Boerman.

"Tuhan akan melindunginya, Anakku! Tabahkanlah hatimu!"

Tubuh pendeta Yorgen dan Yan Van Boerman direntangkan di tengah tanah lapang. Orang-orang suku Nabire bersorak semakin riuh seperti, sudah tidak sabar lagi. Langit mendung ketika itu seakan berduka atas nasib yang akan menimpa kedua anak manusia itu. Yan Van Boerman semakin merasa kecut, dia sangat memerlukan dorongan semangat dari pendeta Yorgen.

"Bapa Yorgen! Apa yang harus kulakukan?"

Dengan tenang sekali lagi pendeta Yorgen memberi pandangan.

"Berdoalah, Anakku! Mereka tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan! Jika memang Tuhan menghendaki kita mati di sini, relakanlah dirimu! Kita harus rela berkorban.... Biarlah kita menjadi juru penebus dosa untuk anakmu Yulia, Parmin dan orangorang lain yang wajib diselamatkan! Sebagaimana halnya pengorbanan Yesus Kritus yang disalibkan di bukit Golgota untuk menebus dosa umat manusia!"

Si Topeng Tengkorak yang sejak tadi memperhatikan kedua orang kulit putih itu sambil duduk di kursi kehormatan kepala suku, berkata dengan nada sinis;

"Kuberikan waktu kepadamu untuk berkhot-

bah, pendeta Yorgen! Sebentar lagi ular-ular berbisa akan melahap nyawa kalian tanpa ampun! Untuk menghibur diri, anggaplah kalian sebagai juru penebus dosa! Tapi kalau kalian tahu, kenyataannya akan berlainan. Aku tetap akan membunuh orang-orang yang telah kau tebus dosanya itu!" Sesaat kemudian dia berbicara dengan bahasa Nabire sambil merentangkan tangan kirinya ke samping

"Keluarkan sekarang keranjang-keranjang ular

itu!"

Tak berselang seberapa lama, dari belakang

pondok beberapa orang suku kanibal itu membawa keranjang yang berisikan puluhan ular ganas dan berbisa.

"Ya, keluarkan!" teriak si Topeng Tengkorak sekali lagi dengan garang.

Ular-ular itu kini telah dikeluarkan dari dalam keranjang dan segera merayap, siap mematuk tubuh kedua orang Belanda yang sudah tak berdaya dengan kaki tangan terbelenggu di patok-patok kayu yang terpancang di atas tanah.

"Bapa! Kita akan digigit ular-ular berbisa itu!" jerit Yan Van Boerman.

"Tabahkan hatimu, Anakku! Gigitan ular itu tak akan terasa perih kalau kita telah pasrahkan jiwa raga kita kepada Tuhan!"

Ular-ular itu merayap perlahan-lahan seakan sengaja membuat tegang urat-urat syaraf calon-calon korbannya. Tapi walaupun demikian Yan Van Boerman, hatinya semakin kecut dengan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Keyakinannya yang selama ini kuat terhadap agama seakan telah sirna.

"Oh, Tuhan! Ular-ular itu semakin dekat!" Namun pada saat yang kritis itu tiba-tiba beberapa orang pengawal suku berpelantingan dari dalam kerangkeng di mana Parmin dipenjarakan. Ada yang terpental ke semak belukar dan mati seketika. Ada pula yang terbanting jauh ke tengah jajaran penonton hiburan biadab itu. Disusul dengan gebrakan yang membuat kerangkeng yang terbuat dari kayu, bambu dan ilalang itu bergetar. Namun sebelum kerangkeng itu ambruk, sesosok tubuh telah meletik ke luar dengan bersalto beberapa kali di udara. Suasana menjadi riuh dengan hiruk pikuk dibarengi kepulan debu ketika kerangkeng itu roboh berantakan.

Si Topeng Tengkorak yang sedang duduk di atas singgasananya, kaget melihat Parmin yang tibatiba sudah berdiri tak jauh dari hadapannya. Ia segera memberi perintah;

"Halangi monyet santri itu! Cepaaaaaat!" Serentak beberapa suku Nabire yang mendampingi sang kepala suku bergerak dengan tombak-tombak runcing dan beracun untuk siap menghadang Parmin si Jaka Sembung. Namun tatkala mereka menyergap, pendekar Gunung Sembung secepat kilat melompati tubuhtubuh mereka menuju tempat pendeta Yorgen dan ayah Yulia yang nyaris direnggut nyawanya oleh ularular ganas dan berbisa.

Beberapa kepingan kayu bangunan yang ambruk yang lelah disiapkan di sela-sela jari jemarinya, digunakan Parmin sebagai senjata untuk menghalau binatang-binatang melata itu.

"Ciiiiiaaaaaaaaaaaaat...!"

Kepingan yang dilemparkan itu bagaikan anak panah yang melesat dari busurnya, tak ayal lagi menghantam puluhan ular-ular ganas dan berbisa itu. Jaka Sembung menghantam sebagian lagi dengan pukulan jarak jauh yang sangat ampuh. Sekejap ular-ular itu hangus tak berkutik lagi.

Pada saat itu pendeta Yorgen yang sedang menanti kematiannya terperangah melihat sosok bayangan datang menolong mereka yang ternyata seorang pendekar muda yang beberapa saat yang lain masih terbaring dalam keadaan pingsan.

"Parmin!" teriaknya gembira.

Belum lagi Parmin berbuat sesuatu untuk melepaskan kawan-kawannya, puluhan orang suku Nabire dengan mata liar menyerangnya. Secepat kilat dia mengeluarkan sebuah jurus dahsyat untuk mempersingkat waktu. Tak dapat dicegah lagi, dengan mengibaskan kedua tangannya ke kiri kanan, laskar suku Nabire kanibal itu terhempas ke udara dan mereka ambruk ke bumi untuk tak berkutik lagi.

Melihat keadaan itu si Topeng Tengkorak menggelegak amarahnya, dan segera menyambar sebuah tombak yang lalu dilemparkan deras ke arah Parmin si Jaka Sembung.

Seketika tombak itu melesat dari tangannya laksana peluru yang siap menghantam sasaran. Tapi pendekar kita lebih tangkas dari yang ia duga. Dengan hanya menggunakan dua jarinya, tombak itu ditangkapnya dengan manis dan dikembalikan pula ke arah tuannya dengan cepat.

"Hiyaaaaaaat...!" teriak Parmin membuat lawannya terkejut.

Si Topeng Tengkorak dengan gesit melompat untuk menghindar sehingga tombak itu menghantam salah seorang pengawal yang berada tepat di belakangnya. Tak ayal lagi tubuh pengawal malang itu ambruk dengan tubuh tertembus dan menghamburkan darah segar.

Sementara itu di antara hujan tombak di tanah. Dengan sekali renggut tubuh pendeta Yorgen dan Yan Van Boerman telah berada dalam pelukannya. Laskar suku Nabire terus menyerang Parmin dan kawankawannya dengan mata liar dan membabi buta dengan nafsu membunuh. Tapi Parmin dengan nekad menerobos mereka dengan tendangan kaki untuk membuka jalan sambil melindungi keselamatan dua orang kawannya itu. Dengan gesit dia meloncati barisan pengepungnya bersama beban yang dibawanya. Namun sebelum sampai kakinya menginjak tanah, dari arah depan beberapa orang menyerang dengan ganasnya.

"Wah, celaka!!" keluh Parmin sambil tetap mendekap tubuh kedua kawannya yang berkeringat dingin karena cemas.

***

9

Di saat kritis itu tiba-tiba terdengar jeritan laskar Nabire dengan punggung-punggung tertembus anak panah yang tak tahu dari mana arah datangnya. Disusul pula dengan menghujaninya berpuluh-puluh anak panah yang segera menelan korban lebih banyak lagi. Orang-orang suku Nabire itu menjadi kalang kabut. Mereka berteriak histeris, berusaha melarikan diri untuk menyelamatkan nyawa, tapi anak-anak panah itu lebih cepat dari mereka. Tak ayal lagi semakin banyak korban berjatuhan dan membuat suasana semakin bertambah panik. Sementara itu kawan-kawannya masih bertanya-tanya dalam hati, siapakah pembokong-pembokong yang telah menyelamatkan nyawa mereka?

"Astaga! Itu laskar suku Kaimana! Tentara dari putrimu, Tuan Yan! Kita dapat pertolongan!" teriak Parmin gembira dengan apa yang dilihatnya.

Betul saja! Dari atas bukit bermunculan beberapa sosok tubuh dengan busur-busur panah di tangan. Walaupun jumlah mereka tidak banyak, tapi cukup mengancam nyawa suku kanibal Nabire itu.

Di tengah hiruk pikuknya suasana, Parmin yang telah terbebas dari ancaman maut, menoleh kiri kanan mencari kepala suku yang bertopeng tengkorak itu sambil melepaskan kawan-kawannya dari dekapannya. Ternyata si Topeng Tengkorak telah lari menyelamatkan diri ke atas bukit Nabire.

"Tuan pendeta dan tuan Yan selamatkan diri kalian! Aku hendak mencari manusia bertopeng itu!" ucap Jaka Sembung kepada kawan-kawan Belandanya.

"Jangan kuatir! Kami bisa menjaga diri, Saudara Parmin!" jawab salah seorang dari mereka dengan tegas.

Parmin si Jaka Sembung bergegas melacak ke mana larinya musuh besarnya itu dengan mengerahkan segenap kepekaan panca indranya

"Ke mana larinya iblis penasaran itu...?"

Seluruh perkampungan suku primitif itu telah dijelajahinya, namun dia belum juga menemukan si Topeng Tengkorak.

Matahari sudah mulai meninggi, angin bertiup kencang seakan marah menyaksikan tubuh-tubuh manusia bergelimpangan dari kedua belah pihak tanpa nyawa. Lembah itu seakan baru saja diamuk oleh prahara yang mengharu biru.

Mayat-mayat orang suku Nabire bertumpang tindih dengan mayat-mayat orang suku Kaimana yang telah menyerangnya. Anyir darah menyebar ke manamana. Burung-burung bangkai berterbangan di atas perkampungan agaknya sudah tak sabar untuk menyantap tubuh-tubuh manusia yang sudah menjadi bangkai.

***

10

Sementara itu di pantai teluk Sarera yang tak seberapa besar ombaknya, telah mendarat beberapa sampan beserta awaknya yang bersenjata lengkap, tombak, panah dan parang. Mereka bergegas meninggalkan sampan tanpa ditambatkan terlebih dahulu. Salah seorang dari mereka yang agaknya adalah sang pemimpin, dengan rasa tak sabar memberi komando dengan bahasa suku Nabire...

"Cepaaaaaaat! Nyawa mereka sedang terancam bahaya! Seraaaang!"

Dengan gagah berani sekawanan orang yang memang telah menanti saat-saat seperti itu menyerbu ke tengah pertempuran antara suku Nabire dan suku Kaimana yang masih sedang berkecamuk dengan sengitnya.

Agaknya Da-Fan, Awom dan Yulia telah meminta bantuan paman Da-Fan yang bermukim di pulau Ro-on. Mereka adalah sisa-sisa laskar suku Nabire di masa lalu sebelum negerinya direbut oleh suku pedalaman yang masih buas. Awom gembira ketika melihat kehadiran orang-orang suku Kaimana.

"Seraaaaaang!" teriak Awom dengan penuh semangat.

Maka dalam sekejap saja terjadilah perang antar suku dengan sengitnya. Perang antara suku Kanibal melawan dua kelompok suku yang sudah agak beradab. Paman Da-Fan pemimpin sisa laskar itu dengan gagah berani bertempur menelan nyawa demi nyawa. Tak ketinggalan Da-Fan sendiri ternyata seorang putri Nabire yang gagah perkasa yang berkali-kali menghunjamkan tombaknya ke dada lawan.

Di tempat lain. Yulia dan Awom pun tak mau tinggal diam. Pengalamannya bertahun-tahun di tengah-tengah suku Papua primitif, membuat Yulia mahir menggunakan tombak dan parang. Sekejap saja belasan suku Nabire pimpinan si Topeng Tengkorak itu berjatuhan bersimbah darah jatuh ke bumi.

Terlihat di sini bahwa suku-suku yang sudah mengenal peradaban lebih banyak menggunakan taktik dalam bertarung bila dibandingkan dengan suku kanibal yang hanya mengandalkan tenaga dan kegarangannya.

Dalam tempo singkat terlihatlah bahwa kedudukan suku kanibal sudah mulai goyah dan berada di ambang kepunahan.

***

11

Sementara langit mulai kemerah-merahan, mentari pun bergeser sedikit demi sedikit ke ufuk Barat pertanda sore sudah menjelang. Perkampungan suku Nabire menjadi remang-remang, suasana sunyi senyap karena tak ada lagi penghuninya yang masih hidup dan berkeliaran.

Tampak di antara tubuh-tubuh yang bergelimpangan berkelebat sesosok bayangan menyusup melewati pondok-pondok perkampungan berbentuk kerucut. Sekilas wajahnya terbayang diterpa biasan matahari dari sela-sela rimbunnya pohon raksasa yang memagari perkampungan suku tersebut. Perlahanlahan wajah itu semakin nampak jelas. Dialah Parmin, pendekar Gunung Sembung yang tak berhasil mencari jejak-jejak kepala suku Nabire yang bertopeng tengkorak itu. Terpancar kekecewaan dari raut wajahnya yang basah oleh keringat.

"Kurasa dia sedang memancingku!" gumamnya dalam hati dengan menarik nafas panjang.

Parmin segera meloncat ke atap-atap pondok itu dengan maksud agar dapat melihat pemandangan di sekitar perkampungan itu dengan baik. Tatkala ia hendak menginjak atap pondok yang paling besar, mendadak pondok itu hancur berantakan. Untunglah pada saat bersamaan Parmin membuang tubuhnya yang masih melayang di udara dengan bersalto berkalikali kemudian menginjakkan telapak kakinya dengan mantap sehingga luput dari serangan mendadak yang tak lain dari lawannya yang bertopeng tengkorak itu.

Dengan sikap bersiap-siap Parmin memasang kuda-kuda untuk menangkis serangan lawan selanjutnya. Di saat itu terdengar suara ledakan tawa manusia yang mengandung tenaga dalam yang dahsyat, serta merta Parmin berkonsentrasi dan mengalirkan tenaga dalamnya ke telinga untuk menghalau suara itu.

"Ha.... ha.... ha... ha! Tidak percuma kau digelari Jaka Sembung, anjing!"

"Huh?!" Parmin berdesis dan menatapnya dengan tajam.

"Kau kira aku lari menghindarimu, hah?! Aku di sini! Dan aku senang sekali melihatmu bisa berdiri kembali di atas telapak kakimu! Sebentar lagi akan kupatahkan kedua kaki dan tanganmu! Akan kubikin mampus secara perlahan-lahan sampai kau merasakan bagaimana enaknya mati pelan-pelan!" geram si Topeng Tengkorak dengan suara bergetar menahan emosi yang menggelegar

"Kali ini kaki dan tanganmu yang akan kupatahkan, Iblis Perusak!" hardik Parmin dengan penasaran ingin cepat-cepat membuka Topeng Tengkorak lawannya itu.

Dengan gesit dan cekatan Parmin melompat menerjang orang yang ada di hadapannya dengan terkaman yang sulit untuk dielakkan.

"Jangan banyak bacot! Buka topengmu! Aku ingin melihat tampangmu yang asli!"

Orang bertopeng tengkorak itu terkejut dan tiba-tiba kedoknya sudah disambar oleh pendekar Gunung Sembung.

"Kurang ajar!!!!!"

Maka kini tampaklah seraut wajah yang tak asing lagi bagi Parmin benar-benar asli. Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan, berwajah bulat dengan sesuai tubuhnya yang gempal itu.

"Aku sudah menduga bahwa kau adalah Ki Subekti saudara kembar Ki Subeni!" ujar Jaka Sembung kepada orang tua itu.

"Hmmm! Memang! Hidupku tak pernah puas jika belum memeras darahmu sampai kering!" geramnya dengan berapi-api.

"Aku belum puas sebelum dendam arwah kakakku Subeni terbalas! Bertahun-tahun aku menguntitmu sampai ke Papua ini! Si Tiga Melati keparat itu sudah modar jadi makanan segar ikan-ikan hiu di laut Arafuru! Kini giliran nyawamu kucopot, Bangsat!" umpatnya dengan sengit.

Dengan tenang Parmin menjawab sambil bersiap-siap dengan mengalirkan tenaga dalam tingkat tinggi ke seluruh tubuh.

"Sangat kuhargai pembelaanmu terhadap saudaramu! Itu hakmu! Tapi aku pun lebih punya hak untuk menyingkirkan kalian, Iblis berwujud manusia!"

Bukan main berangnya Ki Subekti setelah mendengar ucapan Parmin yang menyakitkan hati itu, serta merta ia melontarkan pukulan jarak jauh yang sangat ampuh dan mematikan. Bersamaan dengan itu pula Parmin meletik ke udara untuk menghindar. Pukulan maut itu tak mengenai sasaran dan hanya menimpa tempat kosong. Seketika itu terlihat bentuk telapak tangan hitam dengan kepulan asap membekas di tanah. Melihat pukulannya dapat dihindari dengan baik, Ki Subekti mengambil langkah seribu dengan melompati perairan pantai di antara batu-batu cadas  yang berlumut

"Hai! mau lari ke mana kau? Apakah kau sudah mulai gentar, Jahanam!" teriak pendekar Gunung Sembung sambil melesat mengejarnya. Namun Ki Subekti terus berlari dengan melontarkan ejekan-ejekan kepada Jaka Sembung.

"Ha ha ha ha! Aku sudah memilih tempat kuburanmu yang paling baik, monyet Sembung!"

Sekejap saja mereka telah berada di atas batu karang yang muncul di permukaan laut. Pada saat itu mereka mempersiapkan ilmu andalannya masingmasing.

"Aku yakin kau tak mampu membunuhku, Akiaki Jelek! Kekuatanmu sudah jauh berkurang! Tanganmu tinggal satu!" ejek Parmin.

"Bangsat! Justru di sini aku memilih tempat untuk kuburan bangkaimu!" ucapnya dengan kesal sambil melepaskan jubah yang selama ini dipakainya.

"Gerrrrr! Tangan palsuku ini lebih ampuh untuk mendobrak perutmu!" dengusnya dengan suara parau. Namun demikian pendekar muda dari Gunung Sembung itu terus menerus mengejeknya hingga orang tua itu kian kalap dan meradang.

"Ha ha ha ha...! Lontarkanlah semua gertak sambalmu itu bandot tua! Seharusnya sudah lama kau menanggalkan titel kiaimu! Hidupmu sudah penuh dengan kemurtadan! Kau sama murtadnya dengan almarhum saudara kembarmu itu!"

Sesaat kemudian tubuh mereka berdua melesat ke udara dengan mengadu ilmu kanuragan tingkat tinggi hingga terjadilah bentrokan tenaga dalam yang menimbulkan suara keras dan mengeluarkan kepulan asap. Akibatnya tak ayal lagi tubuh masing-masing terpental jauh lebih dari lima puluh langkah dan tercebur di laut. Selanjutnya mereka melanjutkan pertarungan di air dengan mengerahkan tenaga dalam yang dahsyat hingga membuat mereka masing-masing mengalami luka dalam yang parah dengan semburan darah segar dari mulutnya.

Pada suatu saat tubuh mereka melesat kembali ke udara dan bertemu di atas batu karang di tengah laut. Kemudian tangan-tangan mereka saling bertumpuan untuk kembali mengadu kekuatan tenaga dalam masing-masing. Hawa panas keluar dari tubuh mereka hingga menimbulkan kepulan asap. Pada saat itulah Parmin berucap dalam hati,

"Saatnya kini tiba...! Kuserahkan kepada-Mu ya Allah seluruh jiwa ragaku! Aku tunduk dengan apa yang Kau kehendaki! Bismillah!!!" Suara hening tegang itu tiba-tiba dipecahkan oleh pekikan mengguntur! Bersama terbelahnya batu karang pantai, dua sosok tubuh itu melesat berbarengan. Pada kesempatan itu Parmin menyerang sedetik lebih cepat dengan pukulan tenaga dalam tingkat tinggi ke arah lawannya. Tak ayal lagi tubuh Ki Subekti ambruk berguling guling dan batuk-batuk dengan mengeluarkan darah hitam kental terkena hantaman pukulan Parmin yang bernama jurus 'Wahyu Taqwa'.

Tubuh orang tua itu menggigil hebat, wajahnya berubah menjadi biru menyeramkan. Dan dari bekas pukulan Parmin pada tubuhnya, kini mengepul asap.

Asap itu semakin banyak dan segera berubah menjadi api yang menjilat-jilat tubuh Ki Subekti yang nampak mengerang-erang sambil berkelojotan. Sungguh mengerikan. Api itu semakin besar dan sekejap saja melalap tubuh orang tua itu tanpa ampun! Itulah kedahsyatan puncak dari jurus 'Wahyu Taqwa'.

Ombak laut menyembur tubuh berapi itu dan menyeretnya ke tengah lautan lepas. Parmin memandangi terus dari kejauhan dan sesaat bertafakur mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia sama sekali tak menduga bahwa dengan mengerahkan ilmu silat tinggi yang bernama jurus 'Wahyu Taqwa' akan terjadi akibat sedahsyat itu bagi lawannya.

"Innalillahi Wainna Ilaihi Roji'un.... Segala sesuatu yang berasal dari-Mu kembali pula kepada-Mu ya Allah!"

Api itu semakin mengecil dan akhirnya lenyap di tengah laut teluk Sarera. Parmin merenung sambil menerawang jauh ke ujung lautan. Ia tak menoleh sedikit pun tatkala terdengar suara orang memanggilnya. Suara itu semakin keras, menandakan orang yang memanggil semakin dekat dan akhirnya pendekar kita terperangah melihat kehadiran seorang wanita kulit putih yang tak lain adalah Yulia, sang Kepala suku Kaimana beserta ayahnya dan pendeta Yorgen.

"Syukurlah kau selamat, Parmin! Aku sangat mengkhawatirkan nasibmu!" ucapnya dengan suara tersendat menahan haru sambil menjatuhkan tubuhnya kepelukan Parmin. "Aku hampir saja tewas, Yulia! Untunglah Allah senantiasa melindungiku!" ujar Jaka Sembung.

Sejenak mereka terbenam dalam keharuan, tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Namun kedua orang yang tak lain pendeta Yorgen dan ayahnya sendiri memaklumi perasaan mereka yang baru saja terlepas dari peristiwa hidup dan mati. Parmin terkejut oleh sikap Yulia yang tiba-tiba melepaskan dekapannya dan serta merta menjauh dari Parmin.

"Oh.... Aku     Aku pun sudah mati! Aku merasa

sudah   tak   ada   gunanya   lagi....   Di hadapanmu....

Buatmu, Parmin!" ucap Yulia sambil mengenang peristiwa yang telah merenggut kesuciannya itu. Parmin berusaha mendekati Yulia dengan memberikan kata-kata lembut dan sikap yang sangat hati-hati.

Pendeta Yorgen dan Yan Van Boerman dengan berharap-harap cemas, tak lepas-lepas memperhatikan tingkah laku kedua muda mudi itu terutama Yulia. Yan Van Boerman sangat prihatin dan takut kalaukalau anaknya putus asa dan tak dapat menerima kenyataan sehingga menyebabkan goncangan jiwa yang cukup patal.

"Kau lihat, Yan! Tuhan telah mengulurkan tangan-Nya dengan perantaraan Parmin, karena kita berada di jalan yang benar!" ujar pendeta Yorgen.

"Ya, Bapa! Tapi kasihan anakku! Dia telah ternoda oleh makhluk iblis itu." ucapnya dengan nada sedih.

Dengan tenang dan penuh wibawa pendeta Yorgen berkata kepada Yan Ban Boerman seperti sikap seorang ayah yang menasehati anaknya yang sedang dirundung kemalangan.

"Aku tahu perasaanmu, Nak! Tabahkan hatimu karena ini sudah menjadi takdir Tuhan! Kalau seandainya di saat itu Parmin telah siuman dari pingsannya, pastilah putrimu dapat diselamatkan! Aku tahu saat itu Parmin sedang dalam keadaan sangat kritis, antara hidup dan mati!"

Sementara itu Parmin sudah dapat menyalakan api semangat hidup Yulia yang hampir punah, karena senantiasa, dihantui perasaan yang tak menentu tentang dirinya yang sudah ternoda. Akhirnya mereka saling merangkul. Pendeta Yorgen dan ayahnya merasa sangat gembira karena kecerahan anak gadisnya sudah pulih seperti sediakala. Itu terlihat dari tatapan matanya yang tampak berbinar-binar.

"Mari kita pulang, Yulia! Kawan-kawan yang lain tentu sudah menunggu kita! Jangan kau cemaskan tentang kesucianmu! Hatimu tetap suci karena tidak menghendaki semua ini terjadi!" ucap Parmin sambil merangkul tubuh gadis Belanda itu menuju ke tempat di mana ayahnya dan pendeta Yorgen berada, dan mengajak mereka sama-sama untuk meninggalkan tempat itu menuju ke perkampungan suku Nabire.

***

12

Sementara itu perang pun telah usai. Korban bergeletakan di sana sini dengan ditebari anyirnya darah. Di antara tumpukan mayat itu, berdirilah Awom si panglima suku Kaimana dengan gagahnya dengan tombak yang berlumur darah masih dalam genggamannya.

Da-Fan yang melihat kekasihnya masih berdiri tegap, cepat-cepat berlari menuju padanya, kemudian serta merta tubuh tegap berotot itu didekapnya eraterat. "Awom....!" teriak gadis Nabire itu dengan air mata gembira.

"Da-Fan !" sambut pemuda Kaimana itu.

"Akhirnya kita bebas, Awom! Kita bisa merayakan perkawinan kita dengan segera!" kata Da-Fan dengan suka cita.

"Kita adakan pesta meriah! Pamanku Kya-Fa akan diangkat sebagai kepala suku Nabire yang baru. Sekarang kepala suku bertopeng tengkorak itu telah tewas di tangan pendekar Gunung Sembung, Parmin!"

Mereka, suku Nabire sangat gembira menyambut kemenangan yang mereka peroleh dalam membasmi keangkaramurkaan. Ada yang menari berpasang-pasangan, ada pula yang berjingkrak-jingkrak sambil mengacung-acungkan tombak yang masih berlumuran darah diiringi suara gendang yang bertalutalu.

"Lihatlah, Awom! Mereka bergembira merayakan kemenangan! Tidakkah kau merasa bahagia, Awom?" tanya Da-Fan yang masih tak mau melepaskan dekapannya pada Awom.

Suasana di teluk Nabire itu kini sangat ramai dengan sorak sorai, suara nyanyian, teriak-teriakan serta yel-yel kemenangan, membaur bercampur aduk menjadi suasana hiruk pikuk. Namun mereka tak perduli, yang penting mereka kini bahagia tanpa ada yang mengganggu ketentraman suku dan perkampungan mereka.

Dari kerumunan orang-orang serta bisingnya suara tetabuhan, seseorang yang tak lain adalah paman Da-Fan yang bernama Kya-Fa, menghimbau mereka agar turut serta.

"Hai, Da-Fan! Awom! Mari sini kita rayakan kemenangan kita, ha ha ha! Belum waktunya kalian bermesra-mesraan! Tunggu sampai malam turun! Ha ha ha ha...! Mari kita adakan pesta semeriahmeriahnya!"

Namun tanpa disadari, nyawa kepala suku yang baru dilantik itu terancam oleh seorang anggota suku lawannya yang ternyata masih hidup. Da-Fan dan Awom seketika terkejut melihat ia akan membokong pamannya dari belakang dengan sebilah tombak.

Dengan cekatan Da-Fan memperingati pamannya dibarengi sebuah dorongan tangan yang membuat pamannya terhempas dan luput dari sasaran. Tapi sayangnya tubuh Da-Fan sendirilah yang menjadi sasaran tombak sebagai penggantinya.

Awom yang melihat itu menjadi terkejut. Dengan cepat Awom bertindak dengan sebilah tombak yang masih ada di tangannya. Baru saja prajurit itu hendak melarikan diri, tombak Awom lebih cepat bersarang di punggungnya. Tak ayal lagi tubuh itu ambruk tersungkur ke tanah dan tak berkutik lagi.

Kemudian Awom berlari mendapatkan Da-Fan yang sedang meregang nyawa,

"Da-Fan...!" Ia menubruk tubuh kekasihnya dengan nada tangis yang lirih.

"Da-Fan kuatkan dirimu!"

"Awom... A... worn.... Aku sangat cinta padamu.... uuuuk! Ja... ngan kau bersedih... kita akan selalu berkumpul di alam yang lain, kekasihku "

"Tidak, Da-Fan! Kita akan merayakan perkawinan kita sekarang!"

"Tidak, Awom....! Wajah ayahku telah terbayang-bayang di depanku! Ia mengulurkan tangan mengajakku ke suatu tempat yang indah! Aku akan senantiasa setia menunggumu di sana! Awom Tu-

buhmu dingin peluklah aku! Dekaplah akh!"

"Da-Fan...!" Awom berteriak histeris mengiringi detik-detik terakhir kekasihnya dengan tubuh berlumuran darah tertembus sebilah tombak. Dia gugur karena menyelamatkan jiwa pamannya, seorang kepala suku Nabire yang baru yang akan membawa suku Nabire kelak menuju kejayaan dan kemajuan pada masa yang akan datang.

Sedangkan Da-Fan, namanya akan selalu dikenang dan menjadi tonggak sejarah bagi suku Nabire, Da-Fan seorang gadis Nabire yang gagah dan pemberani, dia turun ke medan laga tanpa mengenal takut dan apa itu mati. Yang ada di benaknya hanyalah bagaimana mengembalikan tanah tumpah darahnya kembali tentram dan damai di bawah pemerintahan sendiri.

Awom merasa sangat sedih, kenapa orang sebaik Da-Fan begitu cepat menuju kematian. Da-Fan adalah seorang gadis yang sangat berarti dalam kehidupannya. Dialah yang menyelamatkan dirinya, dialah yang telah memberi suatu kegairahan baru. Dia rela mengorbankan jiwa agar terlaksana apa yang dicitacitakan ayahandanya untuk merebut kembali perkampungan suku Nabire dari kekuasaan suku pedalaman yang masih liar dan buas.

Kya-Fa yang kini menjadi kepala suku, merasa sedih melihat keponakannya mati lantaran berkorban untuk keselamatan jiwanya.

"Da-Fan!! Kau gugur untuk menyelamatkan jiwaku! Kau pahlawan suku Nabire yang gagah berani!"

Hari begitu cepat berganti, malam yang sangat mencekam telah berganti pagi. Matahari mulai menyinari alam, membentuk panorama yang indah di bukit Sarera. Terlihat dari kejauhan beberapa kelompok manusia yang tak lain adalah orang-orang suku Nabire yang baru saja membebaskan negerinya, mulai bekerja. Ada yang sedang memperbaiki rumah-rumah mereka yang roboh, ada yang menyapu halaman membersihkan puing-puing dari bangunan dan pohon-pohon yang tumbang. Sebagian dari mereka menggali tanah untuk mengubur mayat-mayat yang bergelimpangan di segala penjuru perkampungan.

Kegiatan mereka dibantu pula oleh orang-orang suku Kaimana yang pada saat pertarungan suku kanibal itu datang membantunya. Dua kelompok suku Papua yang sudah mengenal sedikit peradaban itu tampak bekerja rukun saling bahu membahu guna membersihkan serta membangun kembali perkampungan yang telah porak poranda. Di tengah mereka tampak Kya-Fa berseru;

"Hai, Rakyatku! Hari ini adalah hari yang sangat bersejarah bagi negeri kita. Beberapa orang saudara kita seperti kalian lihat dengan mata kepala sendiri, mereka gugur guna mempertahankan kewibawaan suku Nabire dari gangguan orang-orang yang bermaksud menjajah kita, dia berjuang tanpa mengenal takut, dia berani mengorbankan nyawanya demi untukku? Dengan demikian kita doakan semoga arwah mereka diterima para dewa yang bersemayam di tempat yang jauh!"

Setelah berkata sang kepala suku memerintahkan salah seorang tokoh agama suku Nabire untuk memimpin upacara.

Sebelum upacara dimulai, sebagian mereka menyiapkan kayu-kayu kering dan menumpukkannya di tengah-tengah halaman. Sebentar kemudian kayukayu itu dirambati api. Semakin lama api itu semakin membesar. Seluruh anggota suku mengitari api unggun itu dengan langkah-langkah yang mencerminkan suasana sakral sebagai tanda sedang berkabung.

Suasana hening sejenak ketika terlihat serombongan orang suku Nabire mengusung sesuatu seperti keranda yang berhias tengkorak binatang dan taringtaring babi hutan. Berdiri paling depan pada rombongan tadi adalah tokoh agama suku yang berjubah dengan tutup kepala terbuat dari bulu-bulu Cendrawasih dan hiasan-hiasan lain yang menyerupai tanduk.

Di dalam keranda itu terbaring jenazah Da-Fan, pahlawan suku Nabire.

Menurut adat mereka, jenazah golongan bangsawan suku harus diawetkan dengan rempah-rempah pengawet sehingga tubuh orang yang mati tetap utuh untuk selamanya.

Baik Jaka Sembung maupun pendeta Yorgen tak dapat berbuat apa-apa dengan adat istiadat mereka, walaupun kedua orang itu sependapat bahwa sebaiknya semua jenazah tanpa memandang tingkat sosial masing-masing, harus dikebumikan ke dalam tanah.

***

13

Malam telah turun, bintang gemintang muncul di awang-awang menambah keindahan panorama pantai teluk Sarera. Namun keindahan itu tak berarti apaapa buat seorang pemuda yang dirundung musibah ditinggal sang kekasih untuk selama-lamanya. Dialah Awom, sang panglima perang suku Kaimana yang sedang duduk termenung di atas bukit di bawah pohon yang sangat rindang.

Ia seorang diri tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya. Tangannya mengambil beberapa batu kerikil yang ada di sekeliling tempat itu lalu berulang kali dilemparkan ke laut sebagai suatu cara untuk menghibur diri. Dari  kejauhan  sosok  tubuh  melintas melalui jalan setapak hutan Nabire menuju pantai Sarera, dengan melangkah cepat dan tangan yang bergerak menepis pepohonan kecil yang menghalanginya.

Sesaat kemudian sosok tubuh itu sudah berada tak jauh dari Awom yang sedang menyendiri. Sinar gemintang yang membias di sela-sela dedaunan menerangi sekilas wajah tampan dan berwibawa dengan bulu-bulu tumbuh kian menebal di atas bibir dan dagunya. Dia tak lebih adalah, Jaka Sembung. Perlahanlahan dia melangkah mendekati pemuda  Kaimana sang panglima suku yang sedang termenung itu!

"Awom...!"

Awom tak bergerak dengan panggilan Parmin. Tetapi Jaka Sembung meneruskan bicara tanpa meminta jawaban dari Awom, kawan baiknya itu.

"Awom, dengarlah!" ucap Parmin sambil segera duduk di samping kiri Awom dan menepuk nepuk pundaknya, Parmin melanjutkan pembicaraannya.

"Relakanlah kepergian Da-Fan karena segala sesuatu yang hidup pasti akan mengalami mati. Hidup di dunia ini memang demikian..... Bertemu Berpi-

sah.... Tiada sesuatu yang kekal! Kalau kita sudah yakin tentang itu, maka kita setiap saat harus sudah bersiap-siap untuk menghadapi setiap perpisahan agar kita tidak terlalu hanyut oleh perasaan dan ikhlas menerimanya!"

Awom mendengarkan kata-kata Parmin sambil menatap kejauhan seakan sedang merenungkan makna kalimat itu. Parmin pun selanjutnya memberi wejangan pada Awom agar mengerti apa arti hidup ini sesungguhnya.

"Kau  bisa  melupakan  sedikit  demi   sedikit....

Kau harus yakin bahwa ada kehidupan yang jauh lebih kekal sesudah nyawa meninggalkan badan dan kalian akan berkumpul di sana!" lanjut Jaka Sembung.

Awom bangkit dari duduknya dan terus mondar mandir sambil kadangkala menundukkan kepala atau melepaskan pandangan matanya ke langit seakan mencari jawab. Kemudian dengan suara yang agak berat karena menahan rasa sedih ia berucap.

"Ya, aku mengerti, Parmin! Sejak berjumpa dengan anda, aku mulai mengerti sedikit demi sedikit tentang arti hidup ini!"

Parmin pun bangkit dan menghampiri Awom. Mereka berdiri berhadap-hadapan. Parmin memandangi kawannya itu sambil tersenyum karena bangga terhadap kecerdasan Awom dalam menangkap segala sesuatu yang telah ia ucapkan.

Laut teluk Sarera mulai memperlihatkan ombaknya yang bergulung-gulung, daun-daun gemerisik terhempas bersama dahannya karena tertiup angin yang kian mengencang. Bukit Nabire sudah gelap karena kabut tebal yang telah menyelimuti lembah itu. Sinar bintang gemintang tak mampu lagi menerangi cuaca yang telah pekat itu.

Hari sudah larut malam, suasana saat itu menjadi sunyi senyap yang terdengar hanya suara deburan ombak pantai teluk Sarera.

Dua orang berlainan suku namun satu bangsa yang sedang berbincang-bincang itu menyadari kalau hari semakin larut malam. Maka salah seorang dari mereka mengajak untuk kembali ke perkampungan.

Dalam perjalanan pulang mereka melanjutkan perbincangan. Tanpa mereka sadari, mereka telah jauh meninggalkan pinggiran pantai teluk Sarera.

Sesaat kemudian mereka sampai di pintu masuk perkampungan suku Nabire. Beberapa langkah ke dalam terlihat beberapa orang suku Nabire sedang sibuk membereskan sesuatu, ada yang membuat hiasan khusus, meletakkan obor-obor di setiap tonggak kayu di sekeliling perkampungan, kemudian menyalakannya sehingga perkampungan itu nampak seperti siang hari. Parmin dan Awom terus melangkah menuju kediaman kepala suku. Di sana sudah menunggu Yulia, ayahnya dan pendeta Yorgen. Mereka menyambut-

nya dengan senyum keramahan.

Agaknya malam itu adalah malam istimewa karena ternyata jatuh pada tanggal dua puluh lima Desember tahun Masehi.

Malam itu untuk pertama kalinya di pulau Papua diperingati malam Natal, malam kudus di mana dua puluh abad yang lalu telah lahir Yesus Kristus di Betlehem.

Pendeta Yorgen memimpin upacara kecilkecilan namun mengandung makna yang amat dalam.

Suasana hening meliputi mereka yang hadir pada saat itu. Kya-Fa, kepala suku Nabire, Parmin dan Awom dan seluruh anggota kedua suku Papua, Nabire dan Kaimana.

Pendeta Yorgen mengajak Yulia dan Van Boerman untuk membaca doa di depan sebuah altar yang terbuat dari kayu bertutup kulit binatang. Di belakang mereka berdiri para anggota suku yang ikut ambil bagian dalam perayaan Natal itu.

Pendeta Yorgen berkotbah lantang mengenai kerukunan hidup beragama, apa arti hidup yang sebenarnya dan yang terakhir menjelaskan siapa dan bagaimana Yesus Kristus itu.

Orang-orang yang hadir pada perayaan itu mendengarkan khotbah itu dengan khidmat. Dalam suasana hening syahdu itu kita lihat seseorang yang tampak sedang berpikir keras. Ia adalah Awom. Apa yang sedang dipikirkan, kuta belum tahu.

Malam begitu cepat berlalu, orang-orang yang hadir kini telah meninggalkan acara malam Natal satupersatu, sampai akhirnya tinggal Yulia, pendeta Yorgen, ayah Yulia Van Boerman serta Parmin dan Awom. Mereka masih berbincang-bincang dengan ditemani oleh Kya-fa sang kepala suku Nabire.

"Parmin, setelah ini ke mana kau akan pergi?" tanya pendeta Yorgen.

"Entahlah, Pak Pendeta! Mungkin aku akan kembali ke tanah kelahiranku pulau Jawa! Masih banyak tugas yang harus kuselesaikan!" jawab Parmin.

Pendeta Yorgen, Van Boerman dan Yulia mengucapkan selamat kepada Kya-Fa yang menjadi kepala suku Nabire yang baru seraya berkata;

"Selamat buat anda, Tuan Kya-Fa! Aku selalu berdoa semoga negeri yang anda pimpin mendapatkan kemajuan dan menjadi suku yang lebih maju dan memeluk agama Ketuhanan, aman dan makmur tak ada lagi gangguan yang datang dari suku lain." ucap pendeta Yorgen dengan nada mempengaruhi.

"Terimakasih! Begitu juga aku mengucapkan banyak terimakasih atas segala bantuan anda dalam menumpas keangkaramurkaan yang telah diperbuat oleh orang bertopeng tengkorak, dengan memperalat suku pedalaman yang masih buas. Para wanitanya dirusak, kepala suku kami dibunuh!" ucap Kya-Fa dengan mata berkaca-kaca karena merasakan sedih.

Sejenak semua orang yang hadir di pondok itu tertunduk diam.

Mereka turut merasakan derita bathin kepala suku yang baru itu.

Beberapa saat kemudian suasana hening itu dipecahkan oleh suara kokok ayam hutan. Bintangbintang yang bertaburan kini telah lenyap dari peredarannya dan dari arah Timur matahari mulai menampakkan sinarnya. Pemandangan alam bukit Nabire asri dipandang mata. Dahan pohon meliuk-liuk terhempas angin pagi yang bertiup sepoi-sepoi. Burung-burung beterbangan hilir mudik mencari makan. Dari kejauhan terdengar deburan ombak pantai teluk Sarera menghempas batu-batu karang.

Dari puncak bukit terlihat perkampungan suku Nabire terpampang tersusun rapi. Kalau kita perhatikan, tak seorang pun penghuni pondok-pondok perkampungan itu berkeliaran, mungkin mereka lelah setelah berbulan bulan lamanya hidup dalam kekacauan hingga tak sempat merasakan tidur dengan nyenyak.

Pada kesempatan ini mereka gunakan untuk beristirahat tidur dengan sepuas-puasnya. Hal itu terbukti dari suara dengkuran nafas mereka yang terbawa angin. Namun tak semua penghuninya terlelap tidur.

Di bangunan yang paling besar, tempat kediaman kepala suku Nabire, nampak masih terdengar suara yang sedang bercakap-cakap.

"Yulia! Aku tak melihat Awom sejak tadi, ke mana dia?" tanya Parmin yang belum sempat merapatkan mata untuk beristirahat tidur, kepada Yulia, sang kepala suku Kaimana.

"Pemuda Kaimana itu masih menganggapku sebagai kepala sukunya dan tetap mematuhi aturan. Tadi malam setelah usai upacara Natal, ia meminta izin kepadaku pergi ke puncak Kahyangan!" jawab Yulia.

"Puncak Kahyangan? Di mana letaknya tempat itu?!" Parmin terperangah sambil mengerutkan dahinya karena baru kali ini mendengar nama tempat seperti itu. Gadis Belanda itu pun angkat bahu.

"Aku sendiri tidak tahu! Tapi dia bilang hendak melakukan semadi di sana! Dia ingin menghadap para dewa dan roh-roh nenek moyangnya? Mungkin ia sedang mengalami kegoncangan jiwa karena kematian kekasihnya yang sangat ia cintai, Da-Fan!" jelas Yulia, kepada Jaka Sembung.

"Yulia! Baiklah kau tunggu disini bersama pendeta Yorgen dan ayahmu. Aku hendak menyusul Awom ke sana! Aku tak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan!"

"Hati-hatilah Parmin! Aku pun tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadapmu!"

Parmin pamit kepada Yulia dan ayahnya, Van Boerman serta kepala suku Nabire serta pendeta Yorgen. Kemudian bergegas meninggalkan perkampungan suku Nabire untuk mencari Awom.

***

14

Pagi itu Parmin bergegas mengadakan pelacakan dan matahari yang cerah menemani perjalanannya. Pendekar kita ini menelusuri pinggiran hutan yang ditumbuhi pohon-pohon kecil. Tangannya dengan lincah membabat dahan-dahan pohon, untuk terus merayap hingga tak terasa dia telah berada di suatu tempat yang cukup jauh dari Nabire.

Tanpa mengenal lelah Parmin terus melangkah sambil memasang telinga dan matanya untuk menangkap setiap gerak maupun gejala yang mungkin saja terjadi di setiap jengkal langkah kakinya. Apalagi kawasan yang ditempuhnya saat ini mulai ditumbuhi semak lebat dan pohon yang tinggi-tinggi.

Semakin ke dalam cuaca semakin gelap, karena sinar matahari tak dapat menembusnya. Selang beberapa waktu kemudian Parmin telah berhasil melewati hutan belantara. Kini di depannya terbentang hulu sungai yang dipenuhi batu-batu besar. Sesaat Parmin memandang ke seluruh perbukitan yang berada di kawasan hulu sungai itu. Demikian indah panorama yang terlihat. Lagi-lagi pendekar Gunung Sembung itu memuji kebesaran Tuhan Sang Pencipta. Dia merasakan dirinya demikian kecil jika dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan yang memiliki seluruh alam beserta isinya.

Setelah memandangi keindahan panorama alam yang dimiliki pulau Papua ini, Parmin bergegas meneruskan niatnya dengan menyeberangi hulu sungai. Namun sebelum itu, dia bersihkan seluruh badannya terlebih dahulu, agar terasa segar dengan air sungai yang sejuk dan jernih itu.

Setelah seharian Parmin menempuh perjalanan, menjelang sore hari mulailah ia mendaki perbukitan. Tak jauh dari bukit itu ia berhenti sejenak untuk mengamati sebuah dahan pohon yang patah, seperti tanda atau sandi.

"Hem, dahan patah! Mungkin Awom melewati jalan ini!" katanya dalam hati.

Beberapa langkah kemudian Parmin telah memasuki jalan setapak yang berpasir. Di sana tampak dengan jelas bekas jejak kaki manusia. Jaka Sembung terus mengikuti bekas kaki yang membawa butir-butir pasir sampai ke sebuah kaki tebing.

"Mungkin dari sinilah ia mulai mendaki!" ucapnya sekali lagi dalam hati. Sambil terus melanjutkan langkah kakinya menaiki tebing tersebut. Untuk melewati tebing-tebing semacam itu, Parmin sudah memiliki pengalaman tatkala mendaki puncak Gunung Ciremai, yang cukup terjal dan sangat tinggi membentuk dinding lurus ke atas. "Aku jadi ingat guru dan ayahku di Gunung Ciremai. Sudah lama aku tak mengunjunginya! Bagaimana keadaan mereka sekarang? Mudah-mudahan beliau semua, selalu dalam keadaan sehat wal-afiat!"

Guru Parmin bukan hanya Ki Sapu Angin, tetapi juga Begawan Sokalima yang kini masih hidup dan bersemayam di puncak Gunung Ciremai.

Setelah berhasil melewati ketinggian tebing yang terjal, Parmin mengayunkan langkahnya kembali. Namun baru beberapa langkah, dia dikejutkan oleh sesuatu benda yang ia kenal baik.

Perlahan-lahan ia mendekati benda berbentuk kalung yang terbuat dari serentetan taring babi hutan bercampur manik-manik beraneka warna. Dia memungut benda yang tersangkut di sebatang ranting kayu itu.

"Ini kalung Awom! Aku lebih yakin ia melalui jalan ini!" gumamnya.

Malam mulai turun, langit cerah dan tampaklah gugusan bintang bertaburan di cakrawala yang luas, bagaikan hamparan lazuardi hitam yang berkilauan oleh bintik-bintik cahaya menerangi jagad raya.

Walaupun tanpa obor untuk menerangi jalannya, Parmin masih mampu menerobos suasana malam itu. Tanpa mengenal lelah, pendekar kita terus berjalan merayapi lereng pegunungan. Pada suatu tempat dia berhenti, menahan langkahnya dan menengadahkan kepalanya ke atas sebatang pohon raksasa, di sana ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

"Tombak Awom tertancap di pohon itu!" serunya dalam hati. Membuat ia semakin yakin bahwa jalan yang dilaluinya adalah napak tilas perjalanan yang dilakukan oleh Awom.

Setelah menempuh perjalanan tiga hari tiga malam, sampailah ia di sebuah lereng berbatu. Dia terus naik perlahan-lahan, dengan merayap sambil berpegang pada batu-batu besar itu agar bisa cepat melewatinya.

Keringat bercucuran di sekujur badannya, walaupun hawa di tempat itu sangat dingin. Wajahnya pucat karena menahan lelah. Tanpa disadarinya, hari begitu cepat berganti pagi. Namun Parmin terus mendaki pegunungan itu dengan penuh semangat.

Pada hari kelima, Parmin mulai mendaki puncak pegunungan itu. Di hari ketujuh sampailah ia pada daerah bersalju di ketinggian yang selama ini belum pernah ia bayangkan.

Sejauh mata memandang yang tampak hanya warna putih seputih kapas dengan suhu yang sangat dingin, membuat tubuh Parmin yang tanpa baju terasa menggigil, tulang-tulangnya seperti gemeletuk dan darahnya seperti membeku.

Sebagai seorang pendekar ulung, Parmin dapat menguasai keadaan itu dengan mengatur pernafasan dan menyalurkan hawa panas ke seluruh tubuhnya.

Semakin malam semakin dingin pula suhu di puncak bersalju itu. Sementara itu nun jauh di bawah sana, lembah telah ditutupi kabut sangat tebal.

Parmin terus merayap perlahan-lahan dan sangat hati-hati karena bukan tak mungkin suatu saat salju itu bisa longsor secara tiba-tiba.

"Tumpukan salju ini sangat berbahaya bagiku jika terjadi longsor!" gumamnya dalam hati.

Baru saja Parmin akan melewati sebuah batu yang sangat besar, tiba-tiba ia mendengar suara raungan yang sangat keras. Parmin terperanjat dan seketika menghentikan langkahnya. Lalu mengendap-endap untuk mencari sumber suara tersebut.

"Astaga! Mahkluk apa itu?"

Parmin lebih terkejut lagi setelah tahu apa yang dilihatnya, sesosok makhluk tinggi besar seperti gorila yang seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu tebal berwarna hitam serta memiliki kuku-kuku yang sangat panjang dan runcing. Binatang seperti itu pada abad ke dua puluh sekarang, menurut berita ditemui orang di puncak 'Mount Everest' pegunungan Himalaya yang oleh orang-orang setempat dijuluki dengan nama 'Yeti'. Dengan waspada Parmin mengikuti langkah makhluk raksasa tersebut. Suatu ketika matanya tertuju pada sosok manusia yang ternyata sedang diincar

oleh si Yeti.

Pada saat itu Parmin kaget, ternyata sosok manusia yang dilihatnya adalah Awom, sang panglima suku Kaimana yang sedang dicarinya.

"Astaga! Itu Awom!" Jaka Sembung memekik tertahan dalam hati.

Jaka Sembung seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Awom tampak duduk tenang dengan tubuh hampir terendam oleh salju putih yang kemilauan itu.

Makhluk raksasa yang berbulu tebal itu terus melangkah menghampiri tubuh Awom. Tiba-tiba tangannya yang berbulu dan berkuku runcing itu terangkat hendak mencengkeram batang leher Awom.

Ketika melihat itu Parmin tcrsentak dan berteriak tanpa sadar.

"Awom!! Awaaaasss di belakangmu!" Tapi Awom seperti tak mendengar teriakan Parmin, bahkan kelihatannya dia memasrahkan diri.

Makhluk itu dengan garang meraup tubuh Awom, sehingga ia terangkat ke atas seperti sebuah boneka. Parmin yang melihat leher sahabatnya seperti hendak diremas putus, menjadi kalap. Secepat kilat ia mengerahkan seluruh kekuatannya, kemudian langsung menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke dada binatang raksasa yang menyeramkan itu.

Tak ayal lagi dengan mengeluarkan raungan keras makhluk raksasa itu oleng dan melepaskan cengkeramannya. Pada saat itu tubuh Awom terlepas dari tangannya.

Makhluk seram itu mengamuk, sambil menggeram mengeluarkan suara yang sangat memekakkan telinga. Bukit salju seketika bergetar dan tumpukantumpukan es itu longsor berhamburan.

Namun, belum sempat makhluk Yeti itu berbuat sesuatu, Parmin, si Jaka Sembung dengan cepat menghentakkan kakinya, berkelebat di udara dan mendarat persis di hadapannya.

Dengan cepat pula Parmin langsung menghantamkan pukulan yang kedua tepat di ulu hatinya. Tubuh raksasa itu berguling-guling melorot ke bawah dengan darah menyembur dari mulutnya.

Akibat tubuh besar yang ambruk itu, tumpukan salju yang berada di atas tebing longsor dengan dahsyatnya, menimbulkan suara yang sangat bergemuruh dan menguburnya dalam-dalam.

Awom yang baru sadar dari semadinya menjadi terperanjat kaget. Ia mendapatkan dirinya terpental jauh dari tempat semula. Belum lagi terjawab permasalahannya, tiba-tiba tubuhnya terperosok ke bawah bersamaan dengan longsoran es tadi.

Parmin yang melihat gejala kritis yang dialami sahabatnya itu dengan cepat menyergapnya. Tindakannya justru mengakibatkan mereka berdua yang terpelanting dan melorot ke bawah karena licinnya longsoran es itu.

"Pegang erat-erat tubuhku, Awom!"

Longsoran salju dengan sangat cepatnya melorot, mengakibatkan pohon pinus di sekitar kaki bukit banyak yang tumbang tersapu. Dengan mendekap tubuh Awom, Parmin bersalto untuk mencapai sebatang pohon yang  tergeletak dan segera ia manfaatkan sebagai alat peluncur.

Longsoran salju semakin menggila. Parmin mati-matian mempertahankan keseimbangan tubuhnya di atas batang pohon yang meluncur dengan kecepatan penuh sambil menggendong tubuh Awom. Suatu saat batang pohon itu membentur sebuah tonjolan batu cadas, membuat tubuh mereka berdua terhempas dan melayang di udara. Dan lalu jatuh tak jauh dari kaki bukit yang dipenuhi rerumputan yang cukup tebal. Parmin terperosok di sebelah Selatan, sedangkan Awom lebih jauh terpental ke sebelah Utara.

Dengan tubuh masih berselimut salju, Parmin menghampiri tubuh sahabatnya yang menggeliat-geliat menahan rasa sakit, seraya berkata dengan suara terengah-engah.

"Mengapa kau senekat ini, Awom?! Kau mau bunuh diri?!"

Sambil masih menggerak-gerakkan anggota tubuhnya, Awom berkata sambil tersenyum kepada sahabatnya pendekar Gunung Sembung itu.

"Anda salah sangka, Parmin! Aku tak bermaksud bunuh diri, tetapi sedang meminta izin para dewa, dan tempatnya adalah di sini, tempat yang paling tinggi di seluruh jagad ini!" katanya dengan wawasan pengetahuan seorang putra pribumi saat itu.

"Izin untuk apa?" potong Parmin dengan tak

sabar.

"Aku akan masuk dan memeluk agama anda!

Dan ikut ke mana saja anda pergi!" jelas Awom dengan sinar mata berbinar.

Parmin tertegun sejenak, sambil memandangi sahabatnya, dengan tatapan mata penuh pertanyaan dengan apa yang diucapkan pemuda kulit hitam itu. "Alhamdulillah! Tapi mengapa kau memilih agama Islam?"

"Bukankah anda pernah katakan bahwa semua agama itu baik, tapi tidak semua yang baik itu benar?" jawab Awom sambil mengingatkan Parmin pada apaapa yang pernah dikatakannya di waktu yang lalu.

Diam-diam, pendekar pulau Jawa itu memuji kecerdasan Awom yang selama ini merenungi katakatanya. Dengan tersenyum bangga Parmin menjawab

"Betul, Awom! Tetapi untuk memasuki dan memeluk agama Islam, harus berdasarkan ketulusan hati atau keikhlasan tanpa paksaan. Kau sangat beruntung! Allah telah membuka mata hatimu yang selama ini berada dalam kegelapan, untuk memeluk agama yang diridhoinya. Dalam kitab suci Al Qur'an Allah berfirman; Inna Diena Indallohil Islam... Sesungguhnya agama yang paling diridhoi dan yang paling diterima di sisi Allah hanyalah Islam! Pada ayat lain dikatakan juga yang kurang lebih maksud dan tujuannya begini; Barang siapa memeluk agama selain agama Islam, dia di akhirat kelak termasuk orang-orang yang merugi!"

Mendengar itu, Awom seperti sudah tak sabar lagi, ia mendesak Parmin agar dirinya bisa lebih cepat untuk menjadi seorang muslim.

"Bagaimana syaratnya?"

"Sangat mudah, Awom Tapi sangat berat! Ka-

rena yang paling penting adalah pengakuan di dalam hati sanubari, bukan kata-kata yang keluar dari mulut!"

Awom tak menyahut, dia hanya menganggukanggukkan kepalanya. Kemudian Parmin meneruskan percakapannya, meminta Awom untuk mengikutinya sambil mengucap;

"Sekarang ikutilah aku! Kau harus membaca dua kalimat syahadat.... Assyhadu Allaa Illaha illallah.... Wa-Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah!" ucap Jaka Sembung dengan perlahan-lahan tetapi sangat jelas.

Awom mengikuti ucapan Parmin. Namun lidahnya belum bisa mengikutinya.

Berulang kali Parmin menuntun Awom mengucap kalimat-kalimat syahadat itu secara perlahanlahan. Akhirnya tepat tengah malam, Awom baru dapat mengucapkan dengan benar, ucapan yang menjadi syarat pertama bagi orang yang ingin memeluk agama Islam.

"Assyhadu Alla Illaha Illallah Wa-Asyhadu

Anna Muhammadar Rasulullah!" ucap Awom dengan fasihnya.

Dengan disaksikan gugusan bintang yang menerangi mayapada, pohon-pohon pinus raksasa yang dahannya meliuk-liuk karena ditiup angin pegunungan, resmilah Awom menjadi seorang muslim yang siap menjalankan perintah Sang Maha Pencipta dan menjauhi segala apa yang dilarangnya.

Di suasana malam yang hening sunyi senyap itu, Parmin mengajak Awom untuk merenungkan eksistensi seorang muslim.

Agaknya eksistensi seperti itulah yang selama ini membuat Awom berpikir keras, terutama ketika ia hadir mengikuti upacara malam Natal di perkampungan suku Nabire itu.

"Kau tahu arti dan tujuan dari dua kalimat syahadat yang baru kita ucapkan tadi, Awom?"

Lagi-lagi Awom diam, kali ini dia menggelenggelengkan kepalanya tanda tak mengerti, arti dan tujuan dari dua kalimat syahadat itu, "Arti dari dua kalimat syahadat itu adalah; Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang kusembah selain Allah... Dan aku bersaksi dengan sebenar-benarnya bahwa Nabi Muhammad itu Utusan Allah!"

"Lalu maksudnya apa?" potong Awom dengan rasa ingin tahu.

"Kalimat pertama bermaksud yang kita wajib sembah hanyalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, kita tak boleh menyembah yang lain dari-Nya. Kalau seandainya kita menyembah dari yang lain seperti menyembah matahari, api, laut dan lain sebagainya yang termasuk ciptaan-Nya, itu namanya 'syirik'. Kalau sudah syirik atau menyekutukan Tuhan dengan yang lain, termasuk dosa besar yang tak dapat diampuni!"

"Sedangkan kalimat kedua; Aku bersaksi dengan sebenar-benarnya bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Artinya bahwa dalam menjalani kehidupan ini, seorang muslim haruslah mencontoh segala sesuatu yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad!"

Awom manggut-manggut dan kembali bertanya. "Mengapa kita harus percaya adanya Tuhan?" "Apabila manusia itu melihat alam yang sangat

luas dan besar ini, akan timbullah suatu pertanyaan dalam kalbunya, tentulah ada juga sebab maka ada alam ini, atau tentu ada pembuat yang telah membangun alam ini!" jawab Parmin dengan sederhana, agar dapat dengan mudah dicerna oleh sahabatnya itu.

Sejenak mereka saling beradu pandang. Awom mengembangkan sebuah senyum kepuasan atas penjelasan Parmin mengenai ajaran Islam. Tetapi kemudian dia mengerutkan dahinya, seakan ada sesuatu hal yang ingin ia tanyakan. Tentang hal-hal penting yang berkaitan dengan adat istiadat sukunya.

Sebelum sempat Awom mengeluarkan pertanyaan, mendadak Parmin membuka suaranya terlebih dahulu;

"Awom! Mulai saat ini kau telah menjadi seorang muslim! Jadi kau harus berpakaian secara benar! Harus menutup aurat! Aurat seorang muslim laki-laki adalah dari pusar sampai lutut!" jelas Parmin, sambil menunjuk bagian tubuh yang ia sebutkan.

Hari kini telah berganti pagi, mentari sedikit demi sedikit mulai nampak dari belakang puncak pegunungan yang masih berselimut kabut tebal. Sang mentari mulai menyinarkan sinarnya ke seluruh permukaan dataran yang hijau dengan hamparan pohonpohon yang dahannya meliuk-liuk, terhempas angin pegunungan.

Kedua sosok manusia yang tak lain adalah Awom dan Parmin itu, berjalan dengan langkah ringan menelusuri lembah menuju perkampungan suku Nabire. Sejenak keduanya menghentikan langkahnya, tatkala sampai di hulu sungai yang terbentang mengelilingi perkampungan itu untuk membersihkan muka dengan air sungai yang jernih itu.

Setelah merasakan seluruh tubuhnya segar kembali, keduanya melanjutkan perjalanan dengan langsung mencari jalan pintas. Tak lama kemudian, mereka telah sampai di pinggiran perkampungan Nabire.

Parmin dan panglima suku Kaimana beristirahat sejenak sambil melahap beberapa buah-buahan yang dapat dimakan untuk mengganjal perut selama beberapa hari tak sempat diisi.

Mereka duduk-duduk di bawah pohon yang tinggi dan rindang sambil berbincang-bincang.

"Awom, ini buah apa namanya?" tanya Parmin. "Oh,   itu!   Suku   kami   menamakannya buah

Opu!" jawab Awom sambil mengupas kulitnya dan dengan lahap Parmin memakan buah yang baru dikenalnya itu. Rasanya seperti rasa kacang tanah, cukup untuk memulihkan tenaga dalam tubuh yang selama ini banyak terkuras.

"Oooooh, tak terasa hari sudah begitu siang!" ucap Parmin yang mulai merasakan kantuk yang datang.

"Betul! Mungkin kita sangat lelah menempuh perjalanan siang dan malam tanpa mengenal istirahat!" Awom menimpali ucapan Parmin.

Keduanya kini bangkit dan melangkah menuju gerbang perkampungan yang sudah terlihat di depan mata.

"Ayolah, Awom! Hari sudah siang, mungkin mereka telah cemas menanti kedatangan kita!"

Sementara itu di perkampungan suku Nabire nampak Yulia, ayahnya dan pendeta Yorgen serta para prajurit suku Kaimana sedang sibuk membereskan berbagai perbekalan untuk persiapan perjalanan pulang yang cukup jauh dari perkampungan suku Nabire ke perkampungan suku Kaimana.

Kedatangan Parmin dan Awom, disambut dengan sorak sorai dan tepukan tangan sambil mengeluelukan nama mereka.

"Hai!! Kawan-kawan, pahlawan kita telah datang! Telah datang di tengah-tengah kita!" teriak salah seorang dari mereka hingga terdengar ke tempat di mana Yulia, pendeta Yorgen dan Van Boerman berada.

Yulia dengan cepat ke luar rumah dan berlari menyongsong sambil memeluk Jaka Sembung, kemudian ia menoleh kepada Awom seraya bertanya.

"Awom! Apa yang kau lakukan di puncak Kahyangan itu! Kami semua sangat mengkhawatirkan dirimu!"

Awom tersenyum kalem mendengar pertanyaan kepala sukunya yang cantik itu.

Kepala suku Nabire yang sejak selesai upacara perayaan Natal, terus menerus khusuk melakukan upacara ritual memanjatkan doa menurut agama sukunya. Bagi keselamatan Awom dan Parmin, kini telah mengakhirinya setelah mendengar Awom dan Parmin kembali ke tengah-tengah mereka, dengan tak kurang suatu apa.

Kemudian Kya-Fa kepala suku Nabire yang ramah itu duduk membaur bersama-sama yang lain untuk mendengarkan cerita Awom.

Awom mengisahkan perjalanannya mendaki puncak Kahyangan. Di mana dirinya hampir tewas di tangan makhluk raksasa bertubuh laksana gorila yang memiliki bulu-bulu tebal dan sampai akhirnya ia resmi menjadi seorang muslim.

Semua orang yang mendengar ceritanya, baik Yulia, pendeta Yorgen, Van Boerman dan Kya-Fa kepala suku Nabire, bergembira karena Awon telah pulang dengan selamat dan turut gembira dengan agama baru yang menjadi pilihan pemuda gagah itu.

Hari semakin larut, di luar pondok udara dirasakan sangat dingin dan suasana sunyi mencekam, hanya sekilas terdengar suara bisikan binatangbinatang kecil yang bersembunyi di kegelapan malam.

Waktu demi waktu cuaca semakin gelap karena bintang gemintang di cakrawala sudah menghilang di balik awan hitam. Kilat sekali-sekali menerangi kegelapan malam, disusul kemudian dengan suara halilintar yang menggelegar. Sesaat kemudian terdengar air gemericik di atap-atap rumah.

Hujan mulai turun dengan derasnya, sehingga tak seorang pun penghuni perkampungan yang berkeliaran. Obor-obor yang menyala di sekitar perkampungan suku Nabire semua padam tertimpa air hujan.

Di malam yang semakin gelap dan basah kuyup itu, tak ada lagi terdengar orang bercakap-cakap, yang terdengar hanyalah suara dengkuran nafas yang mengiringi tidur lelap para penghuninya.

Pagi itu seluruh halaman rumah dan pepohonan basah tersimbah air hujan, yang baru berhenti ketika menjelang pagi. Beberapa orang satu persatu mulai keluar dari tempat tinggal mereka. Begitu juga dari tempat kediaman kepala suku Nabire, beberapa orang yang tak lain dari Yulia, dan ayahnya, Yan Van Boerman, pendeta Yorgen, kepala suku Nabire Kya-Fa, Awom si panglima suku Kaimana dan Parmin si Jaka Sembung, bergegas menuju halaman terbuka untuk menghirup udara pagi yang masih segar.

Sesaat kemudian, kepala suku Nabire Kya-Fa berdiri di hadapan rakyatnya seraya berbicara dengan berapi-api.

"Hai, rakyatku suku Nabire dan kalian juga rakyat suku Kaimana! Aku di sini atas nama kalian mengucapkan banyak terimakasih, bahwa saudarasaudara kita yang berasal dari dunia yang lebih maju telah mengajari kalian bagaimana caranya menenun dan yang lain-lain!"

Selesai Kya-Fa berbicara, mereka menyambutnya dengan sorak sorai yang gegap gempita.

Parmin, Yulia, pendeta Yorgen dan Yan Van Boerman telah mengajari mereka tentang baca tulis dan beberapa hal tentang dasar-dasar ilmu pengetahuan.

Sedikit demi sedikit, orang-orang suku Nabire dan suku Kaimana sudah mulai bisa mengenal huruf dan mengenal suatu peradaban yang sebelumnya masih asing bagi mereka.

Ingin sekali Parmin lebih lama tinggal di tengah suku-suku Papua, untuk menyumbangkan apa saja yang ia dapat sumbangkan kepada mereka, tapi karena masih banyak tugas menanti, maka Parmin tak dapat tinggal di Papua. Ia bermaksud kembali ke pulau Jawa membawa serta Awom yang tak mau lagi berpisah dengan Parmin.

Maka tibalah hari yang dinantikan itu. Mereka bersiap-siap untuk mengantar Parmin dan Awom ke pantai menuju ke atas perahu, yang sudah dipersiapkan orang-orang suku Nabire sebelumnya. Perahu itu cukup besar untuk dua orang, diperlengkapi dengan layar, dayung, serta perbekalan makan minum yang cukup, selama perjalanan yang diperkirakan memakan waktu cukup lama menuju pulau Jawa.

Di antara kerumunan orang-orang itu, nampak yang paling sedih adalah Yulia, dia sepertinya tidak mau ditinggalkan oleh seorang yang paling ia kagumi.

Dengan isak tangis, ia menjatuhkan tubuhnya di dada Parmin yang berusaha menghibur hatinya.

"Sudahlah Yulia! Kalau panjang umur, kita bisa bertemu lagi! Aku percaya di bawah kepemimpinanmu dan di bawah bimbingan pendeta Yorgen, suku Kaimana dan suku Nabire akan menjadi suku yang beradab dan hidup lebih maju."

Di tengah suasana yang sangat mengharukan itu, pendeta Yorgen berkata sambil mengucapkan selamat jalan. Disusul oleh ucapan ayah, Yulia dengan suara berat karena tak tahan melihat perpisahan antara mereka, kedua matanya berkaca-kaca tergenang air mata dan rakyat kedua suku itu hanya terdiam membisu.

"Dan kami pun berdoa semoga bangsa anda segera terlepas dari belenggu penjajahan! Kami berbicara atas ikatan hati nurani sesama manusia! Tuhan selalu beserta kita, Jaka Sembung!"

"Terima kasih!" ucap Parmin sambil mengajak Awom untuk menaiki perahu berbentuk rakit tersebut. Sementara itu Yulia masih memandang tak berkedip dalam melepas kepergian Jaka Sembung. Terlalu banyak suka duka bersamanya yang harus dilupakan begitu saja. Terlalu pahit dan terlalu pagi baginya menghadapi perpisahan ini.

Semangat hidup yang baru saja tumbuh dalam diri gadis Belanda ini, berkat dorongan kasih sayang pendekar muda dari tanah Jawa itu, kini tiba-tiba tergoyang dengan kepergiannya.

Dunia seisinya tiba-tiba terasa begitu sunyi baginya. Kepada siapa lagi ia akan berbagi canda ria dan bercengkrama seperti yang dilakukannya selama ini.

Perahu rakit itu berlayar kian jauh dari tepi pantai Sarera, semakin lama semakin mengecil dari pandangan mata sampai akhirnya lenyap di balik kaki langit sebelah Barat.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar