1
Di suatu pagi yang cerah matahari mulai memancarkan sinar keemasannya menyinari alam sekitarnya. Angin berhembus sepoi-sepoi basah menambah sejuk udara yang dihirup oleh makhluk-makhluk yang ada di permukaan bumi ini. Udara yang begitu segar jauh dari polusi.
Nun jauh di sana di kaki gunung Ciremai, di mana mata memandang terlihat pemandangan yang sangat indah. Para petani begitu asyiknya mencangkul tanahnya di sawah. Padi-padi yang hijau maupun yang telah menguning dengan latar belakang Ciremai yang menjulang kokoh ke angkasa raya menambahkan keindahan alam sekitarnya.
Pemandangan yang begitu indah dan tertata rapi itu seperti goresan lukisan yang begitu indah dari sang Pencipta. Puncaknya yang perkasa menembus cakrawala dengan awan bergumpal-gumpal di udara laksana kapas raksasa mengambang. Di sana Ciremai berdiri tegak membiru dalam kebisuannya. Semakin kita telusuri ke dalam, terlihatlah di atas tebingtebing terjal di sebelah Utara, suatu benda bergerak merayap, perlahan tapi pasti.
Benda itu sangat kecil bila dibandingkan dengan alam di sekitarnya, batu-batu cadas yang besar begitu besar bila dibandingkan dengan benda tersebut.
Gerakannya seolah-olah ingin menaklukkan gunung perkasa itu dengan jalan merayap ke puncaknya. Ternyata benda yang sedang merayap naik itu adalah seorang manusia.
Sesosok tubuh manusia berpakaian seperti seorang pendekar silat dengan ikat kepala yang berwarna sama dengan kain yang melilit di pinggangnya. Setiap kali kakinya menginjak tebing, maka setiap kali pula batu-batu kerikil berguguran ke dasar jurang yang sangat dalam
Apakah sebenarnya yang mendorong semangatnya untuk bertarung melawan keterjalan lereng gunung itu? Barangkali saja apabila ia tergelincir sedikit saja, maka tubuhnya akan melayang ke dasar jurang nun jauh di bawah sana. Tidak terbayangkan bagaimana jadinya, sementara batu yang berjatuhan saja hancur di bawah sana, apalagi tubuh manusia.
Sambil terus merayap, sesekali tampak ia mengusap peluh di tubuhnya. Manusia itu terus merayap dengan penuh perhitungan. Selang beberapa saat ia telah sampai di puncak tebing itu. Tampak kemudian ia mengangkat tangannya seperti sedang mengucapkan syukur kehadirannya atas keselamatannya sampai di tempat tersebut.
Manusia itu lalu menengok ke bawah sana di mana terlihat sungai-sungai yang berliuk-liuk seperti seekor naga yang sedang menari, menggeliat lincah ke sana ke mari dengan airnya yang jernih. Di kejauhan, horison melengkung menggambarkan langit yang seperti sedang berpelukan dengan bumi bak sepasang suami istri yang sedang berkasihan.
"Sungguh menakjubkan! Oh.. Yang Maha Pencipta, betapa indah alam yang Kau ciptakan ini. Semua yang ada di sini adalah untuk umat-Mu. Sungguh Engkau Maha Pemurah," gumam orang itu sambil menengadahkan wajahnya ke atas.
Setelah puas memandang, ia lalu menyandarkan tubuhnya ke sebuah batu besar untuk beristirahat. Mendadak ia seperti teringat akan sesuatu. Diambilnya sebuah suling dari bambu itu, maka mengalunlah sebuah irama yang melantunkan bayangan kerinduan sebuah hati di antara tebing-tebing cadas yang menyeramkan itu
Tutuliliut... Tetiutiut.. tuiiii...
... Kasih yang jauh di sana,
... Aku selalu terbayang-bayang,
... Di kala tidur maupun terjaga,
... Engkau selalu hadir sayang..."
Dalam kesendiriannya di puncak tebing itu, tak seorang pun menemaninya, kecuali seruling bambu satu-satunya yang merupakan pelipur duka hati manusia tersebut.
Siapakah orang itu? Wajahnya begitu simpatik dengan pakaian bersahaja yang mencerminkan kesederhanaan jiwanya pula. Dia tak lain adalah Parmin alias si Jaka Sembung! Pendekar dari gunung Sembung yang terkenal.
Ketika lelahnya telah berkurang banyak dan tenaganya mulai pulih kembali, tampak Parmin berdiri dan kembali melanjutkan perjalanannya merayapi tebing Ciremai. Seorang diri ia kembali menanjaki tebing demi tebing untuk mencapai puncak Ciremai yang sesungguhnya.
Keesokan harinya ketika matahari mulai bergenit kembali dengan sinarnya yang terang, Parmin telah sampai di sebuah dataran yang dikelilingi pohonpohon rindang. Udara sangat sejuk dan nyaman terasa di kulit. Parmin terus melangkah. Matanya berkeliling mencari sesuatu. Tiba-tiba langkahnya terhenti dan pandangan matanya tertumbuk pada suatu tempat.
Tempat tersebut sangat bersih dan rapi, seolah-olah ada tangan yang mengurus dan mengaturnya. Sungguh unik dan fantastis sekali keadaannya. Sembilan buah batu berkeliling membentuk garis oval, tersusun rapi seperti diatur untuk mengadakan suatu pertemuan.
"Inikah tempat yang dikatakan guru? Tempat Wali Sanga bermusyawarah?" gumam Parmin dalam hati. Pandangan matanya lalu tertuju pada sebuah batu besar di sebelah kanannya. Parmin lalu mendekati batu besar tersebut. Terlihatlah beberapa baris tulisan dalam huruf Arab Jawi yang menerangkan nama beberapa orang.
Sunan Gunung Jati pada baris pertama!
Sunan Kalijaga pada baris kedua. Demikian seterusnya sampai jumlah nama tersebut mencapai sembilan orang.
Waktu pun tak terasa lagi oleh Parmin. Ternyata matahari telah tepat berada di atas ubun-ubunnya. Parmin lalu segera bergegas melakukan salah satu kewajiban rukun Islam, yaitu melakukan shalat Dzuhur. Ia segera bertayamum karena tak ada sumber air di sekitar situ, dan segera melaksanakan niatnya.
Ketika Parmin telah mencapai tahap akhir shalatnya, tepat di bagian Tahyatul Akhir, indranya menangkap sesuatu yang tidak beres di sekitarnya. Tepat ketika ia mengucapkan salam kedua menjelang salam ketiga, telinganya yang sangat terlatih mendengar suara kaki bergeser dengan halus dan mendekat ke arahnya.
Tiba-tiba secara refleks tubuhnya meletik ke udara bagaikan seekor belalang ketika empat buah senjata rahasia dengan kilatan cahaya berwarna hijau meluncur dengan deras ke arahnya.
"Ser...! Seerrrr...! Siuuut...!"
Serangan yang tiba-tiba itu dapat dihindari Parmin dengan manis, namun belum sempat kakinya menginjak tanah kembali, ia harus jungkir balik lagi untuk menghindari serangan kedua.
"Hiiiihhh...!" "Tep!"
Sambil berjungkir balik itu Parmin berhasil menangkap salah satu senjata rahasia itu dan melontarkannya kembali ke si pemilik yang menyerangnya secara gelap itu. Parmin berusaha untuk mendarat kembali di tanah setelah melemparkan senjata rahasia tersebut sebagai serangan balasan. Namun sebelum kakinya mencapai tanah, kembali seberkas sinar merah menyergap ke arahnya.
"Wuuussss... Duaarrr...!"
Sinar itu meledak di udara dan mengeluarkan asap berwarna hitam merah. Senjata rahasia yang tadi dilemparkan Parmin secara jitu berhasil memukul senjata berupa sinar merah tersebut di tengah jalan. Kembali Parmin terpaksa berjumpalitan beberapa kali untuk menghindari serangan dan menjaga kemungkinan serangan berikutnya. Bersamaan dengan itu melayanglah sesosok tubuh dengan dua bilah pedang di tangan yang langsung menyerbu ke arah Parmin. Jaka Sembung melompat beberapa kali ke belakang dan memandang dengan mata membelalak melihat keberingasan orang menyerbu ke arahnya karena ia merasa tak mengenali siapa penyerangnya itu.
"Tunggu dulu! Siapakah gerangan anda dan kenapa tiba-tiba anda menyerangku?" bentak Parmin sambil terus bersiaga terhadap serangan berikutnya yang sewaktu-waktu menyusul.
Belum habis keheranan Parmin atas serangan bertubi-tubi terhadap dirinya itu, kini di hadapannya telah muncul seorang dara manis berpakaian ala pendekar dari daratan Tiongkok. Rambutnya diikat dengan pita merah yang membelah rambut itu menjadi dua bagian. Pakaian berwarna merah membungkus ketat tubuh langsing namun berisi dara tersebut.
Seperti kilat, dara itu kembali menyerang bagian-bagian tertentu dari tubuh Parmin dengan dua buah pedangnya yang dimainkan sekaligus. Sekalipun begitu berbahaya, namun gerakannya begitu indah dipandang mata seperti sebuah tarian ballet yang menakjubkan. Semula Parmin agak kerepotan menghindarinya.
Bukanlah Jaka Sembung namanya kalau tak segera menguasai keadaan. Dengan segera ia dapat membaca gerakan-gerakan lawan, dan dengan cekatan pula ia dapat menghindar sambil sesekali melancarkan serangan gertakan terhadap lawan.
"Hmm, gadis asing ini sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk bicara dengannya," gumam Parmin dalam hati sambil terus menghindar. "Apakah aku harus terus menghindar?" tanyanya lagi dalam hati. Di suatu kesempatan yang baik Parmin melancarkan sebuah serangan balasan.
"Traangg...!" Dua buah senjata beradu sampai mengeluarkan percikan api.
"Au...!" Si dara berteriak kesakitan lalu melompat ke belakang sambil memegangi kedua telapak tangannya yang terasa kesakitan sewaktu senjatanya kena dihantam oleh Jaka Sembung. Bibirnya menyeringai menahan sakit karena rasa panas di kedua telapak tangannya.
Dengan suatu gerakan manis, Parmin kembali melompat ke udara untuk menangkap dua bilah pedang yang terlempar dari tangan gadis tersebut, ia lalu menyerahkan pedang itu kepada pemiliknya.
Tanpa diduganya sama sekali, dara itu justru menyerangnya dengan sebuah tendangan lurus ke arah ulu hati Parmin. Dengan sedikit egoskan pinggangnya, Parmin kembali lolos dari serangan yang dilakukan dari jarak dekat itu.
"Tunggu, nona beri aku kesempatan bicara!" teriak Parmin sambil bersiaga ketika dilihatnya si dara bersiap menyerangnya lagi.
"Minggirlah Ling Pei! Dia memang bukan tandinganmu!" sebuah suara keras dari belakang Parmin telah mengejutkannya. Dara itu segera mundur ke belakang dengan pedang tetap terhunus siap menyerangnya sewaktu-waktu.
Parmin menoleh ke belakang dengan penuh tanda tanya di kepalanya, ia geser letak kaki kanannya ke samping untuk berjaga-jaga terhadap serangan dari dua arah.
"Heh, siapakah anda?" tanya Parmin dengan nada terkejut karena datangnya orang tersebut. Keningnya berkerut mengingat-ingat siapakah orang yang baru datang tersebut.
"Hmm, kalau tidak salah, bukankah kau si Dewa Suci Penyebar Bala dari Tiongkok itu?" sergah Parmin masih bertanya-tanya, ia khawatir dugaannya keliru dan ia salah mengenali orang.
Orang yang diajak bicara itu bertengger di atas sebuah batu besar dengan kaki terbuka dan terpentang lebar sambil bertolak pinggang. Pakaiannya tampak seperti pakaian pendekar dari daratan Tiongkok. Tubuhnya gemuk pendek dengan kepala plontos yang ikut bergoyang-goyang sewaktu tertawa.
"Ha ha ha... Ha ha ha... Betul! Bettuuull... Agaknya ingatanmu masih cukup baik, haiyaa...!" katanya dengan aksen Cina yang kental. "Dunia belum kiamat, dan secara kebetulan kita bertemu lagi di tempat yang jauh dan sunyi ini. hiiyyya..." sambungnya lagi.
Dengan wajah serius, Parmin memperhatikan sikap di Dewa Suci Penyebar Bala yang terus saja berbicara.
"Tentu anda masih ingat perhitungan kita beberapa waktu yang lalu di desa Kandang Haur! Setahun sudah cukup bagi Dewa Suci untuk memperdalam ilmunya. Demi nama leluhurku, akan kubuktikan bahwa ilmu silat kami lebih unggul dibanding orang-orang di tanah Jawa ini. Kami akan menebus kembali kekalahan yang pernah dialami oleh nenek moyang kami, Sam Poo Toa Lang yang gugur di tanah Jawa beberapa waktu berselang!"
Nama Sam Poo Toa Lang yang baru saja disebut si Dewa Suci Penyebar Bala adalah seorang pendekar pengembara Tiongkok yang legendaris. Ia pernah datang ke tanah Jawa dan kemudian dikenal dengan nama Dampo Awang. Niatnya adalah hendak menguasai tanah Jawa, namun berhasil dikalahkan oleh para pendekar di tanah Jawa. Sam Poo Toa Lang mengira ilmunya tak mungkin dikalahkan oleh pendekarpendekar pribumi, namun ternyata ia salah perhitungan. Karena kegagalannya itulah, maka Dewa Suci Penyebar Bala lantas berusaha menebus kekalahan yang merupakan legenda tersebut.
"Dewa Suci! Bangsa kami adalah bangsa yang cinta damai, tetapi juga lebih mencintai kemerdekaan." Parmin berkilah. "Nenek moyangmu datang ke tanah Jawa dengan maksud menguasai dan menjajah kami, maka sudah kewajiban pula bagi kami untuk menumpasnya!" sahut Parmin kembali sambil berusaha menekan emosi di dadanya mendengar kesombongan lawan.
Dewa Suci Penyebar Bala yang berwajah bundar dengan mata sipit tersembunyi di antara pipinya yang tembem dan hidung yang pesek terus tertawa. Matanya yang sipit itu kelihatan seperti orang tertidur.
"Ha ha ha... Ha ha ha... Bangsamu adalah bangsa yang suka merendah dalam berkata-kata, tetapi di balik kata-kata halus itu tersembunyi senjata tajam yang mematikan lawan. Sudahlah, kita tak perlu banyak bicara lagi. Mari kita buktikan siapa yang lebih unggul!" lantang Dewa Suci sambil menyunggingkan senyum sinis.
Bersamaan dengan selesainya katakatanya. Dewa Suci melesat seperti gumpalan batu yang melesat dari kawah gunung berapi yang sedang meletus. Tubuh si Dewa Suci langsung menyergap Parmin yang telah siap siaga sejak tadi.
"Haiiiayaaat...!" bentaknya mengguntur.
"Hup!" Parmin telah bersiap dengan tenaga dalamnya.
"Gedebruuuk...!"
Terdengar suara benturan yang cukup keras. Tubuh Parmin yang kekar terpental jauh ke belakang menghantam sebuah batu besar di belakangnya. Batu besar itu hancur berkeping-keping, Parmin meringis menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Dalam segebrakan tadi Parmin telah dapat mengukur tenaga dalam lawannya. Sengaja ia hanya menerima serangan, dan dengan demikian diketahuinya bahwa kepandaian lawan telah jauh meningkat dibanding setahun lalu ketika keduanya bentrok di Kandang Haur, sewaktu Parmin berusaha menyelamatkan Bajing Ireng dari cengkeraman pendekar Tiongkok itu.
"Hebat juga tenaga dalam si botak ini," gumam Parmin dalam hatinya, la segera bangkit memusatkan konsentrasi. Tangannya menyilang di depan dada, kaki kirinya digeser ke depan sedikit. Kudakuda yang kokoh itu disertai tatapan matanya yang tajam menatap setiap gerakan Dewa Suci. Kedua orang perkasa itu melangkah perlahan melingkar dengan posisi kuda-kuda yang berbeda.
Masing-masing berusaha mengukur gerak tipu dan tenaga dalam lawannya. Tiba-tiba dengan teriakan keras yang merobek kesunyian di tempat itu, keduanya meloncat bersamaan.
"Heaaat...!"
"Ciaatt...!"
Bentrokan tenaga dalam terjadi di udara. Parmin menyalurkan hawa panas ke tangannya. Demikian pula yang dilakukan oleh Dewa Suci Penyebar Bala. Bahkan tak kalah hebat, tangannya sampai mengeluarkan asap berwarna putih.
"Braaakkk...!"
Keduanya terpental jauh ke belakang. Tubuh Parmin jatuh berdebam menimpa tanah, persis seperti nangka malang yang jatuh dari atas pohon.
"Weesss..."
Rumput di tanah yang tertimpa tubuh Parmin langsung menghitam hangus karena dahsyatnya pengaruh pukulan Dewa Suci Penyebar Bala. Sementara itu tubuh Dewa Suci pun terpental jauh sampai menerobos semak-semak di belakangnya dan kemudian berhenti ketika sebuah pohon sebesar dua pelukan orang dewasa menahannya.
"Krosssaaakkk... Bukk!"
Dewa Suci Penyebar Bala merasakan dada dan punggungnya sesak dan remuk, kepalanya berkunang-kunang. Pendekar Tiongkok itu segera bersila menghimpun pernafasannya untuk mengusir rasa sakit tersebut.
Parmin berusaha untuk bangkit kembali dari jatuhnya dan bersiap memasang kuda-kuda. Ketika ia berdiri, dirasakannya perutnya seolah akan meledak. Rasa mual berontak ke atas. Parmin merasakan hal yang tidak beres, ia pun segera bersila mengheningkan nafas untuk memusatkan tenaganya.
Perlahan Parmin mulai mempersiapkan jurus Wahyu Taqwa yang menjadi andalannya. Sebuah jurus maut dari ilmu silat gunung Sembung ciptaan Ki Sapu Angin guru si Jaka Sembung. Jurus itu hanya dipergunakan Parmin pada saat-saat terdesak. Kakinya terpentang lebar membuat kuda-kuda. Tangan kirinya ditekuk sedikit di depan dada sedang tangan kanannya sejajar dengan daun telinga sebelah kanan.
Melihat hal itu, tahulah Dewa Suci Penyebar Bala bahwa lawan tengah menyiapkan sebuah ilmu andalan, ia pun segera memasang kuda-kuda dengan kaki membentang, kedua tangannya terangkat sebatas muka dengan jari-jari terpentang seolah akan menerkam. Dewa Suci Penyebar Bala telah menyiapkan jurus Naga Liar Menerkam Bumi. Salah satu jurus yang sangat diandalkannya.
Kedua seteru itu mulai bermandikan keringat karena pengaruh ilmu yang mereka amalkan. Butir-butir keringat sebesar biji jagung menetes di kening mereka. Suasana tegang mencekam dan menyelimuti puncak Ciremai dalam kebisuannya. Rumput ilalang di sekitar mereka pun ikut tegang.
Ling Pei yang sedari tadi memperhatikan hal itu menjadi ikut tegang dan waswas, ia sadar bahwa kedua orang di hadapannya itu telah langsung mengeluarkan jurus-jurus andalan yang tentunya sangat berbahaya buat keselamatan jiwa mereka. Suatu perasaan aneh berdesir dalam hatinya. Di satu sisi ia mengkhawatirkan keselamatan jiwa ayahnya, tetapi di lain sisi ia pun merasa sayang jika pemuda berwajah tampan yang menjadi lawan ayahnya itu akan tewas di tangan ayahnya, ia menahan nafas ketika tubuh kedua orang itu melesat di udara dalam waktu bersamaan.
"Heeeaaatttt...!" teriak mereka berbarengan.
"Plak! Tak! Duaaarrr..."
Beberapa kali terdengar bunyi pukulan beradu dengan diakhiri oleh sebuah suara ledakan yang sangat keras. Ling Pei tercengang ketika melihat asap putih membumbung ke udara sewaktu telapak tangan kedua orang itu beradu.
Ling Pei yang melihat hal itu menjadi tercengang. Tubuh Parmin yang tepat berada di pinggir jurang tadi terpental kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya mental dan langsung jatuh ke jurang yang sangat dalam itu.
Sebaliknya tubuh si Dewa Suci sendiri terus terpental jauh ke belakang dan kembali menerabas semak serta akhirnya berhenti di sebuah batu besar berwarna hitam yang menahan daya luncur tubuhnya yang telah tak terkendalikan itu. Kali ini Dewa Suci merasakan akibat yang jauh lebih parah dibanding tadi, ia segera memusatkan perhatian penuh untuk membantu memulihkan tenaganya sekaligus menghilangkan rasa sakit yang menyergapnya. Dari jubahnya keluar asap, sementara pakaiannya robek-robek tak keruan lagi bentuknya.
"Ayaah...!" Ling Pei segera memburu tubuh ayahnya dengan perasaan penuh kekhawatiran dan haru. Sementara itu tubuh Parmin terus meluncur ke dasar jurang yang terjal.
"Aaaaaa.....!" menggema suaranya. Dalam kecepatan tinggi, tubuh
Parmin terus meluncur tak terkendali ke bawah jurang yang sangat dalam. Sejenak ia seperti kehilangan semangat dan kesadarannya. Untunglah ia sempat menguasai kembali dirinya. Matanya yang tajam menangkap bayangan sebuah pohon yang tumbuh di permukaan tebing. Parmin berusaha mengerahkan ilmu peringan tubuhnya untuk menggaet dahan pohon tersebut.
"Hait! Hup!"
Dengan tepat, tangan Parmin menggaet dahan pohon tepi tebing itu untuk kemudian bergelantungan. Cepat ia pergunakan tenaga penahan dari dahan pohon tersebut, kemudian dengan meminjam daya penahan itu, ia angkat tubuhnya ke dataran yang terdapat di pinggir tebing tersebut.
"Alhamdulillah, Tuhan masih menyelamatkan jiwaku," gumam Parmin mengucapkan syukur ke hadiratNya atas keselamatan yang diperolehnya sampai saat itu. "Aku harus berhati-hati untuk mencapai tempat itu kembali," gumam Parmin.
Dewa Suci Penyebar Bala telah berhasil mengatasi luka dalam yang dideritanya. Ia segera melangkah menghampiri tepi tebing untuk melihat ke bawah di mana Parmin terjatuh.
"Aku rasa ia masih dapat menyelamatkan dirinya." katanya perlahan. "Ling Pei, mari kita berangkat sekarang. Mungkin di lain saat kita dapat bertemu lagi dengannya," kata si Dewa Suci kepada putrinya.
"Dia belum mati, ayah?" tanya Ling Pei dengan satu kekhawatiran yang tak dapat dimengertinya segera, ia sendiri heran kenapa di hatinya muncul sedikit kekhawatiran tentang nasib pemuda itu.
"Belum," jawab ayahnya singkat. "Ling Pei, mari kita tinggalkan tempat ini segera. Kulihat ada tanda-tanda akan datangnya halimun maut di tempat ini," sambung Dewa Suci Penyebar Kulit sambil beranjak meninggalkan tempat itu. Ling Pei hanya menganggukkan kepalanya saja untuk kemudian mengikuti langkah ayahnya. Tak lama kemudian terlihat dua bayangan tubuh melesat dengan cepatnya bagaikan kijang dan kemudian lenyap di balik kesunyian tebing cadas. Mereka
menuruni lembah tersebut dengan cepat.
2
Parmin masih berjuang melawan keterjalan tebing menuju tempat di mana tadi ia terjatuh. Parmin terus merayap ke atas dengan langkah pasti. Dengan susah payah disertai keringat yang menggeros keluar dari tubuhnya dengan deras, akhirnya ia sampai ke tempatnya semula. Tempat itu telah sepi kembali. Dewa Suci Penyebar Bala dengan putrinya telah lama meninggalkan tempat itu. Parmin menemukan kembali sarung dan serulingnya yang tadi tertinggal. Hari telah sore, ia segera mencari sumber air di sekitar tebing itu untuk membersihkan tubuhnya dan melakukan shalat Ashar yang telah tiba waktunya.
Selesai shalat, Parmin berdoa memohon lindunganNya dalam menunaikan tugas suci yang sedang diembannya. Tujuannya masih sangat jauh di atas sana. Puncak Ciremai belum digapainya. Namun belum jauh kakinya melangkah, seekor burung kecil berwarna ungu menyambarnyambar di sekitarnya.
"Hmm, menurut guru, burung kecil itu memberi tanda kepada manusia bahwa akan datang halimun yang mengerikan dan membahayakan jiwa manusia," gumam Parmin sambil mengingat kembali pesan Ki Sapu Angin, gurunya. Benar saja, dalam waktu singkat segumpal awan tebal telah datang menghampiri tempat tersebut.
Parmin segera merasakan rasa dingin yang menyergap sekujur tubuhnya. Kabut berwarna kelabu yang datang dari lembah sebelah Barat itu hampir menutupi seluruh kawasan lereng Ciremai. Pendekar dari gunung Sembung itu berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi rasa dingin yang mulai membekukan tubuhnya itu. Ia merasakan dadanya mulai sesak karena kekurangan udara segar. "Aduh, dadaku sesak," keluh Parmin dalam hati. Ia berdoa memohon kebesaran Yang Maha Kuasa. Segera Parmin memusatkan perhatiannya untuk mengerahkan tenaga dalamnya dan mengatur pernafasannya untuk menghasilkan hawa panas dari dalam tubuhnya guna mengusir hawa dingin yang semakin membekukan tubuhnya itu.
Sekuat tenaga Parmin berkonsentrasi menyalurkan hawa panas ke seluruh tubuhnya. Sementara ia menggigil hebat, tampaknya kekuatan tubuh Parmin belum dapat melawan dingin yang disebabkan oleh halimun (kabut yang sangat tebal) tersebut. Dinginnya menyusup sampai ke tulang sumsum.
Dingin yang disebabkan oleh halimun tersebut memang sangatlah dingin, sampai jauh di bawah titik beku. Tak heran jika sampai saat ini banyak pendaki gunung yang hilang dan di kemudian hari baru ketahuan mati beku oleh tim pencari dan penyelamat.
Demikian pula yang terjadi pada diri Parmin. sekalipun ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, namun tetap saja kekuatannya tak mampu menandingi kekuatan alam yang sangat dahsyat. Parmin segera merasakan pandangannya berkunang-kunang, nafasnya mulai sesak, dadanya seperti hendak pecah sementara telinganya didera oleh suara seribu air terjun yang jatuh berbarengan. Parmin tak kuat lagi menahan kebekuan yang mengungkung dirinya, ia tak dapat bertahan lebih lama lagi. Tak lama kemudian ia jatuh tak sadarkan diri dalam kondisi kaku dan posisi kuda-kuda jurus Hening Cipta ajaran gurunya. Demikian dahsyat pengaruh halimun yang datang itu.
Dalam kesamaran halimun yang pekat itu mendadak terlihat sesosok bayangan melayang ke arah Parmin. Wajah orang itu kurang jelas terlihat, tetapi ia sepertinya tak terpengaruh oleh rasa dingin yang menggila itu. Dengan santai bayangan tubuh itu lantas menghampiri Parmin.
"Kasihan! Kasihan kau, anak muda yang belum berpengalaman, begitu berani menentang bahaya," desahnya dalam hati sambil meraba tubuh Parmin. Orang yang baru datang itu berpakaian serba putih dengan ikat kepala berupa kain putih menutupi seluruh rambutnya. Di tangannya terlihat sebatang tongkat besi untuk menyanggah tubuhnya yang tua itu.
"Kasihan! Sungguh kasihan, ia masih hijau dan memerlukan banyak pendidikan," gumam orang itu sambil mengangkat tubuh Parmin yang berdiri kaku lalu meletakkannya di atas pundak. Orang itu mengangkat Parmin seperti mengangkat sekarung kapas saja, begitu ringan ia melangkah. Hawa dingin di sekitarnya sama sekali tak berpengaruh terhadap dirinya. Bisa dibayangkan bahwa ia merupakan orang yang memiliki ilmu dalam yang sempurna.
Beberapa saat kemudian sampailah sudah ia di kediamannya, sebuah lembah yang terletak di lereng Ciremai itu. Tubuh Parmin lalu diletakkannya di sebuah dipan, kemudian orang itu membuat api unggun untuk menghangatkan suasana. Malam telah menyelubungi seluruh alam, langit berwarna pekat. Malam merambat terus merangkak dan merayap menuju dinihari. Langit di sebelah Timur lembah berwarna lembayung ketika Parmin siuman.
"Uhh, di mana aku? Ya Allah, ya Rabbi... apa yang terjadi...?" Parmin berkata pelan seperti kepada dirinya sendiri ketika sadar. Rasa pedih yang disebabkan oleh lambatnya tubuh beradaptasi dari dingin yang membekukan ke udara hangat yang terhembus dari api unggun orang itu terasa menyengat di sekujur tubuhnya. Bola matanya bergerak ke sana ke mari memperhatikan keadaan sekelilingnya.
"He he... Syukurlah kau telah sadar!" terdengar sebuah suara lembut menyapanya. Parmin menoleh dan melihat seorang tua dengan wajah lembut mengulurkan sebuah mangkuk berisi air hangat ke wajahnya. "Kau berada di tempat yang aman, anak muda," katanya kemudian dengan nada penuh kasih sayang, kentara sekali sikap bijak dan arif yang dimilikinya. "Minumlah ramuan ini, buatanku sendiri untuk menyegarkan kembali pembuluhpembuluh darahmu yang membeku. Kau akan segera merasakan kehangatan yang segar setelah meminumnya." Orang tua itu menjelaskan apa yang diberikannya pada Parmin.
"Siapakah orang tua ini? Anda begitu baik hati, mau menolongku," tanya Parmin sambil menerima mangkuk tersebut. Ia teringat bahwa beberapa saat yang lalu sepertinya ia sedang bergulat dengan kematian yang diantarkan oleh kebekuan udara yang disebabkan datangnya halimun tadi.
Orang tua yang kulitnya sudah keriput dan giginya tinggal dua serta alis mata dan jenggot yang sudah memutih itu tidak segera menjawab. Diperhatikannya wajah Parmin dengan seksama. Perlahan ia menarik nafas, untuk kemudian tertawa kecil. Suaranya merdu didengar.
"He he he... Orang menjuluki aku dengan nama Begawan Sokalima, mungkin karena rupaku yang buruk ini mirip dengan penggambaran Begawan Dorna dalam cerita pewayangan itu. Aku tak menolak julukan tersebut, bahkan senang karenanya," jawabnya merendah.
"Terima kasih. Semoga Allah membalas kebaikan hati anda," sahut Parmin hormat, ia lalu menenggak habis isi ramuan yang diberikan orang tua itu tanpa ragu karena telah melihat sikap orang yang menyenangkan hatinya.
"Kau, anak muda, boleh juga memanggilku dengan sebutan itu, he he he..." kata Begawan Sokalima seraya tersenyum lembut. "Siapakah namamu, anak muda?" tanyanya lagi.
"Parmin." jawab Parmin singkat dan sopan. Tangan kirinya mengulurkan kembali mangkuk minumannya. Suasana hening sejenak. Begawan Sokalima menatap Parmin dengan tajam seolah-olah akan menelan habis tubuh pemuda itu. Yang ditatap tetap tenang sekalipun ia tahu orang tengah mengawasi dirinya.
"Parmin? Hmmm, aku sudah lama sekali berkeinginan untuk mengangkat murid, namun kiranya baru hari ini keinginanku terkabul. Aku sudah tua, sayang sekali bila ilmu yang kumiliki ini tak bisa kuturunkan kepada siapapun," katanya tiba-tiba sambil memegang pundak Parmin erat-erat. Sikapnya seolah meminta kesediaan Parmin untuk menjadi muridnya.
"Terima kasih atas kebaikan orang tua, tetapi saya telah mempunyai seorang guru. Tentunya tidak baik bila saya harus menerima ilmu dari orang lain tanpa sepengetahuan beliau," kata Parmin takut membuat Begawan Sokalima kecewa mendengar jawabannya, ia pun sebenarnya tertarik untuk menjadi murid Begawan Sokalima, cuma perasaan hormatnya terhadap Ki Sapu Angin membuatnya tak enak bila sembarangan memperoleh ilmu dari orang atau cabang lain.
"Aku mengerti kekhawatiranmu itu. Katakanlah siapa gurumu yang telah beruntung memperoleh murid sepertimu?" tanya Begawan Sokalima setelah meneliti bakat yang terpendam dalam diri Parmin, yang terlihat dari sorot mata dan bentuk tulangnya.
"Guruku dikenal orang dengan sebutan Ki Sapu Angin dari Ciremai..." jelas Parmin yang disambut dengan senyum gembira di wajah Begawan Sokalima.
"He he he bagus, bagus... Kau murid Ki Sapu Angin, berarti bukan orang lain bagiku. Gurumu adalah sahabat dekatku, dan ilmu yang kami miliki sama-sama berasal dari satu sumber. Bagus. Kalau kau murid Ki Sapu Angin, berarti tak perlu berizin-izin segala. Dia pasti mau mengerti, he he... Beruntunglah aku, ilmuku jatuh tak jauh dari sumbernya."
Orang tua itu tampak senang sekali mendengar nama guru Parmin. Melihat sikap orang yang tampak seperti orang senang dan kangen, Jaka Sembung dapat mempercayai ucapan orang. Dalam hatinya ia berkata bahwa tak ada salahnya ia menerima ilmu dari orang yang merupakan sahabat gurunya, tentunya hal itu bukan berarti ia telah berkhianat terhadap perguruan maupun gurunya.
"He he he, tapi kau juga harus melewati ujianku dulu sebelum kuterima sebagai muridku. Nah, bersiaplah untuk esok pagi. Kau harus bertempur di lembah Banyu Panas. Sanggupkah kau?" tanya Begawan Sokalima yang memperoleh jawaban berupa anggukan kepala tanda setuju dari Parmin.
"Kalau kau berhasil lulus, aku akan mengajarkanmu ilmu tongkat yang sangat ampuh untuk menandingi jago-jago kebatilan yang selalu membuat rusuh dunia ini! Kau tak bisa hanya mengandalkan ilmu silat dengan golok pendek yang kau miliki itu!"
Begawan Sokalima berkata-kata sambil mengelus-elus jenggotnya yang berwarna putih. Parmin memperhatikan dengan serius apa yang diucapkan Begawan Sokalima. Sementara sang Begawan berbalik untuk menambahkan kayu bakar ke api unggun yang mulai meredup nyalanya. Ia lalu menambahkan lagi.
"Jangan kaget, Parmin. Aku bisa menebak ilmu silat yang kau miliki ketika melihat kau berdiri dalam keadaan beku di atas sana. Caramu melakukan jurus Hening Cipta itu segera memperlihatkan siapa dan darimana asal ilmumu," Orang tua itu menghembuskan nafas panjang sejenak, lalu berkata lagi dengan perhatian serius dari Parmin.
"Aku tahu ilmu Gunung Sembung merupakan ilmu silat yang sangat ampuh, tetapi pelaksanaan dan penghayatan ilmu tersebut harus disertai dengan penyempurnaan yang tidak tanggung-tanggung," jelas Begawan Sokalima memberi petunjuk pada Parmin.
Jaka Sembung sama sekali tidak tersinggung karena ilmu silat perguruannya dinilai orang tua itu, justru ia merasa bahwa matanya baru terbuka sekarang dengan adanya petunjuk dari Begawan Sokalima. Ia mengangguk tersenyum mendengarkan ucapan Begawan Sokalima untuk menyatakan kesediaannya menjadi murid orang tua yang bermata awas dan memiliki wawasan yang cukup luas itu.
"Istirahatlah dulu kau, besok pagi kau harus sudah bersiap. Atur pernafasanmu perlahan-lahan, jangan di paksakan apabila tidak kuat," kata Begawan Sokalima lagi sambil berbalik meninggalkan Parmin.
"Baik, guru," sahut Parmin. Pagi-pagi sekali di lembah Banyu Panas telah terlihat dua sosok tubuh saling berhadapan dan berdiri tegak di tengah-tengah lembah yang penuh asap belerang dan air mendidih di sekitarnya. Bau belerang yang tidak enak itu membuat dada serasa sesak dan susah bernafas.
"Sudah siap kau, Parmin?" tanya Begawan Sokalima.
"Siap, guru!" sahut Parmin cepat. Bersamaan dengan selesainya perkataan Parmin, entah dari mana datangnya tibatiba sebuah rajawali besar melayang menghampiri dan kemudian bertengger di pundak sebelah kanan Begawan Sokalima dengan enaknya seolah terbiasa berlaku seperti itu.
"He he he... Parmin. Lihatlah di sekelilingmu, sedikit saja kau salah langkah, tak ayal lagi kau pasti jadi daging rebus di bawah sana!" tegur Begawan Sokalima memperingatkan. Parmin berdiri tegak dengan penuh konsentrasi bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Kau lihat rajawali di tanganku ini? Burung ini pernah mentotol mata seorang raja rampok sakti yang coba-coba menggangguku," jelas Begawan Sokalima.
Burung rajawali itu lantas mengkepak-kepakkan sayapnya pertanda mengerti bahwa orang tengah membicarakan dirinya. "Pernahkah engkau mendengar tentang seorang perampok yang kejam dan ganas bernama Gembong Wungu?!" tanya Begawan Sokalima yang membuat hati Parmin terkejut juga mendengar nama itu.
"Orang itu sudah mati!" jawab Parmin cepat.
"He he he, sudah mati? Bagus! Berarti satu lagi jenis manusia pembawa malapetaka tersingkir dari muka bumi ini," kata Begawan Sokalima dengan wajah lega. Parmin hanya terdiam saja, ia terus memusatkan perhatiannya.
"Baik! Sekarang bersiaplah kau," sentak sang Begawan. Tiba-tiba mata sang Begawan memancarkan sinar merah dan melotot tajam ke arah Parmin.
"Sekarang... mulai!" seru Begawan Sokalima dengan suara keras. Rajawali itu segera melesat bak peluru dari pundak Begawan Sokalima langsung menuju tempat di mana Parmin berdiri.
"Ayo, terkam dia rajawaliku!" Begawan Sokalima berteriak memberi perintah. Ternyata rajawali itu tak langsung menyerbu, ia justru membumbung tinggi ke angkasa dan berputar-putar di atas kepala Parmin. "Yak, habisi dia!" Terdengar kembali Begawan Sokalima berseru.
Parmin yang berada di bawah terus mengikuti gerak rajawali tersebut. Tubuhnya ikut berputar dengan penuh kesiagaan untuk menjaga segala kemungkinan.
"Rajawali ini tak dapat dipandang ringan! Betapa tidak, perampok tangguh macam Gembong Wungu saja dapat dipecundangi oleh rajawali ini. Rupanya itulah sebabnya Gembong Wungu menjadi buta sebelah!" Parmin bergumam sambil terus mengawasi rajawali tersebut.
Tiba-tiba burung rajawali tersebut menukik keras ke bawah dengan cepat seperti luncuran sebuah meteor, kedua cakarnya mengembang di muka. Parmin segera memasang kuda-kuda dengan kedua tangan di depan untuk melindungi mukanya.
"Swiiingggg...! Brett...!"
Baju Parmin robek di bagian pundak kanannya. Sekalipun Parmin sempat mengelakkan serangan rajawali tersebut, namun tetap saja pundaknya kena tersambar. Burung perkasa itu kembali melesat ke udara untuk kemudian dengan cepat berbalik menukik dan mengancam Parmin lagi.
Untunglah Jaka Sembung cukup lincah mengelak ke sana ke mari. Rajawali itu terus terbang dan menyambar-nyambar berulang kali. Parmin kewalahan juga pada akhirnya. Seberapapun cepatnya ia bergerak menghindar, tetap saja bajunya kena tersambar. Masih untung ia dapat menyelamatkan bagian wajahnya dari cakaran rajawali tersebut.
Kelihatannya rajawali itu sangat terlatih untuk bertempur. Ia terus mendesak Parmin ke tempat-tempat yang sangat berbahaya. Sementara harus menghindarkan serangan-serangan maut si rajawali itu, uap belerang semakin menyengat hidung Parmin. Semakin lama ia semakin terdesak ke pinggir jurang.
"Asap belerang ini menyesakkan nafasku dan juga melemahkan gerakangerakanku," desah Parmin khawatir. Rajawali itu terus menyerang dan berhasil menyudutkan Parmin ke sudut yang berbahaya. Lama-lama Parmin kehilangan kesabarannya pula, ia segera berteriak kepada Begawan Sokalima.
"Begawan Sokalima," Parmin memanggil sang Begawan dengan sebutannya, bukan dengan panggilan guru karena rasa kesalnya telah memuncak. "Apakah kau menginzinkan ku untuk membunuh rajawali mu?" teriak Parmin dengan suara lantang.
"He he he... Parmin, berbuatlah sesuka hatimu. Kalau kau tidak mau membunuh rajawali itu, akhirnya engkau sendiri yang akan dibunuhnya!" sahut sang Begawan mengancam. Ia tertawa bangga atas kehebatan rajawalinya.
"Hmm, dia terus menyambarku dari belakang. Aku bisa menghantamnya dengan berpura-pura lengah. Kesempatan baik buatku," pikir Parmin. Ia terus mengawasi dengan ekor matanya ke setiap gerakan rajawali itu.
"Keeaakk...!"
Terdengar seruan rajawali itu diiringi sambaran mautnya ke arah tengkuk Parmin yang saat itu tengah berdiri membelakanginya, ia telah membayangkan sekumpulan urat nadi yang empuk di leher Parmin itu.
Ketika jarak burung itu semakin dekat dengan dirinya, tiba-tiba Jaka Sembung miringkan tubuhnya ke kiri dan tangan kanannya bergerak dengan kecepatan yang sulit dilihat mata biasa. Leher rajawali tersambar tepat di bagian yang diincar Parmin.
"Beuuuttt...! Kraaak...! Kek...!"
Sambaran tangan Jaka Sembung berhasil menyambar leher burung tersebut tepat di bawah paruhnya. Tangannya segera bergerak kilat mematahkan leher burung tersebut dalam sekali puntir. Ia lalu membanting tubuh rajawali itu ke tengahtengah telaga yang mendidih airnya. Rajawali itu mati seketika ketika lehernya dipatahkan Parmin, tubuhnya melayang tak berdaya ke telaga itu dan dalam waktu singkat menjadi matang karena panasnya air telaga tersebut.
"He he he... bagus! Kau ternyata cukup tangkas dan cerdik, Parmin. Meskipun aku merasa sayang kehilangan rajawali yang telah sangat berjasa dalam hidupku itu, tetapi aku bangga mendapat murid sepertimu. He he he... Marilah, anak muda. Hari ini juga akan kuajarkan jurus pertama dari serangkaian ilmu tongkatku!" ajak Begawan Sokalima dengan hati gembira.
"Alhamdulillah," gumam Parmin bersyukur. Demikianlah setelah melewati ujian itu dan berhasil. Parmin lalu diangkat sebagai murid oleh Begawan Sokalima sesuai dengan janji yang telah diucapkannya. Sejak saat itu Begawan Sokalima menurunkan ilmu tongkat yang dimilikinya kepada Parmin dan pemuda itu menerimanya dengan sepenuh hati. Dalam hatinya, Jaka Sembung telah berjanji untuk mempelajari ilmu itu dengan sungguh-sungguh dan akan mengamalkannya demi kebaikan.
Begawan Sokalima segera memperagakan jurus yang sangat diandalkannya itu. Ia menggunakan sebatang tongkat sebagai senjata andalannya.
"Lihat! Tangan kanan digunakan sebagai sumbu putar atau semacam engsel dan tangan kiri kita pergunakan sebagai alat kemudinya. Kuda-kuda yang mesti kau lakukan adalah seperti ini," Begawan Sokalima memberi petunjuk yang diamati oleh Jaka Sembung dengan serius. "Heaat...!"
Kuda-kuda yang digambarkan oleh Begawan Sokalima adalah mementang kaki lebar dengan lutut sebelah kanan hampir menyentuh tanah, sementara lutut kiri ditekuk sedikit sejajar dengan pangkal paha. Tubuh Begawan Sokalima miring sedikit ke kiri dengan sebatang tongkat besi menyilang depan dada.
Setelah memberikan peragaan tersebut. Begawan Sokalima mempersilahkan Parmin untuk memulai latihan. Ia sendiri lantas meloncat ke atas sebuah batu besar berwarna hitam yang dilapisi lumut berwarna hijau tua sekali. Batu itu sangatlah licin, kalau tak memiliki keseimbangan tubuh dan kepandaian meringankan tubuh yang tinggi, pasti akan terpeleset berdiri di atas batu tersebut. Parmin lantas mengikuti contoh gerakan yang telah diperlihatkan oleh Begawan Sokalima. Dengan penuh semangat serta keseriusan yang tinggi, dengan dukungan bakat serta kecerdasan yang dimiliknya, Parmin dengan cepat dapat memahami segala perintah dan petunjuk yang datang dari sang guru Begawan Sokalima yang dikerjakannya dengan
bersungguh-sungguh
Begawan Sokalima pun sangat bangga dengan kesungguhan anak asuhnya itu mempelajari ilmu yang diberikannya. Ia memperhatikan dengan seksama apa yang diperlihatkan Parmin di awal latihannya. Setelah melihat kesungguhan dan kecerdasan Parmin, Begawan Sokalima tak sungkan-sungkan lagi untuk menurunkan seluruh ilmu yang dimilikinya. Ilmu silat gunung Sembung yang dimiliki Parmin sangat mirip dengan ilmu silat yang diajarkannya, oleh karena itu Parmin tak banyak mengalami kesulitan dalam menyerapnya. Hari demi hari, minggu demi minggu, dan beberapa bulan berlalu. Parmin terus menjalankan dengan tekun apa yang diperintahkan oleh guru barunya itu tanpa sedikit pun mengeluh. Begawan Sokalima semakin sayang padanya melihat sikap Parmin.
Di suatu pagi yang cerah setelah menginjak bulan kedelapan, seperti biasanya Parmin menjalankan latihannya bersama-sama dengan gurunya.
"Perhatikan gerak putar balik jurus yang keempat puluh lima. Lirikan matamu harus dibarengi gerakan balik menyabet ke belakang dan tangan kiri siap menangkis ke muka" perintah Begawan Sokalima dengan penuh wibawa. Parmin melaksanakannya dengan baik sekali setiap perintah dan wejangan yang diberikan gurunya itu. Ia menanamkan setiap perintah dengan baik dalam benaknya. Pada suatu malam di bulan berikutnya, di tengah malam saat bulan purnama bersinar terang menyinari lembah Banyu Panas, terlihat dua sosok sedang bersila di atas sebuah batu besar yang berada tepat di tengah-tengah lembah. Bau belerang menyebar di mana-mana, tetapi dua tubuh yang sedang bersila berhadapan itu tampak tak terpengaruh sama sekali. Keduanya saling berhadapan dengan telapak tangan menjadi satu dan mata mereka terpejam. Tampaknya kedua orang itu sedang berkonsentrasi penuh.
Tubuh Begawan Sokalima terlihat bergetar, dari ubun-ubunya keluar gumpalan asap berwarna putih pertanda pengerahan tenaga dalam seseorang telah mencapai puncaknya. Parmin yang duduk di hadapannya tetap duduk bersila dengan tenang dan mala terpejam.
"Sekarang, bersiaplah. Melalui telapak tanganmu aku akan menyalurkan tenaga dalamku," bisik Begawan Sokalima perlahan. Parmin segera melaksanakan petunjuk gurunya.
Malam semakin merambat, perlahan tapi pasti menuju pergantian hari. Fajar mulai menyingsing di ufuk Timur, dan Begawan Sokalima telah selesai pula, mereka telah kembali ke pondoknya.
Menurut perhitungan Begawan Sokalima, ilmu tongkat sakti yang diturunkannya itu paling cepat dipelajari dalam waktu paling tidak dua tahun. Namun Parmin berhasil menamatkan pelajaran itu dan menguasainya dalam bulan yang keduabelas. Singkat cerita, hari itu juga Parmin minta diri pada gurunya untuk turun gunung guna menunaikan tugas dan perjalanannya yang telah tertunda sekian lama. Begawan Sokalima dengan hati berat terpaksa merelakan Parmin yang telah dianggapnya sebagai anak sendiri.
"Baiklah. Kurestui perjalanan menunaikan tugas sucimu itu, anakku. Tugasmu jauh lebih penting dari segala-galanya dibanding rasa sentimen karena kita harus berpisah. Kita pasti akan bertemu lagi suatu saat," Begawan Sokalima berkata perlahan sambil menghela nafas berat. Bagaimanapun ia telah menyayangi Parmin sebagai anaknya sendiri, dan kini tiba waktunya mereka harus berpisah.
"Kuwariskan tongkat besi ini padamu sebagai pelengkap bagimu dalam menjalankan tugasmu itu. Sampaikan salamku pada kakang Sapu Angin kalau kau bertemu dengannya lagi. Selamat jalan. Parmin, selamat jalan Jaka Sembung!" kata Begawan Sokalima dengan suara menggeletar. Tanpa terasa dari kedua belah matanya menitik air mata. Telah puluhan tahun ia tak merasakan kesedihan seperti itu.
"Selamat tinggal, guru," kata Parmin perlahan tapi sendu sambil mencium tangan gurunya. Ia pun dapat merasakan kesedihan itu, tetapi sebagai orang berjiwa besar ia dapat mengatasinya
"Berangkatlah sekarang juga, nak. Jangan sekali-kali kau menengok ke belakang bila kau pergi meninggalkan orang dan tempat yang kau cintai, karena hal itu hanya akan menimbulkan beban dalam hatimu." Sambung Begawan Sokalima lagi sambil memegang pundak Parmin.
Tak lama kemudian terlihat Jaka Sembung telah meninggalkan pondokan Begawan Sokalima yang telah menjadi perguruannya yang kedua. Di tengah perjalanan ia kembali teringat akan pesan Ki Sapu Angin, gurunya yang pertama. Pesan Ki Sapu Angin kembali terngiangngiang di telinganya seolah gurunya itu tengah berkata pada dirinya saat itu.
"Pergilah ke arah Selatan dan satukanlah para pendekar di sana. Sayang, aku sudah tua dan tak bertenaga lagi, kalau tidak... Pergilah kau mendaki gunung Ciremai sampai ke puncaknya karena ada sesuatu yang sangat penting yang akan kau temui di sana, selain juga untuk menguji mental dan kemampuanmu."
Semangat Parmin kembali timbul, ia berjalan dengan penuh keyakinan. Seminggu kemudian Jaka Sembung telah berhasil mencapai tempat yang ditujunya. Terlihatlah kepundan Ciremai tinggal beberapa langkah lagi. Udara di sekitarnya terasa sangat dingin. Angin berhembus pelahan dan awan menggumpalgumpal terasa begitu dekat dengannya.
"Angin seperti ini biasanya menandakan hujan akan turun," kata Parmin pada dirinya sendiri. Dugaannya memang betul, dalam waktu singkat langit telah berubah menjadi gelap sekali. Tak lama kemudian gerimis segera turun membasahi bumi. Parmin segera berlari-lari mencari tempat berteduh. Beberapa lama ia berlari, akhirnya pendekar dari gunung Sembung itu berhasil menemukan sebuah goa.
Sesampainya di goa itu, Parmin segera masuk dan beristirahat di dalam untuk menghilangkan rasa penat dan lelah setelah mendaki gunung Ciremai. Matanya memandang jauh ke depan menembus rintikrintik hujan gerimis.
Parmin termenung sejenak. Dikeluarkannya sebatang seruling yang merupakan teman setianya selama perjalanan. Tak lama kemudian segera mengalun irama penuh kerinduan dari hati yang nelangsa, menggema ke seluruh goa. Binatangbinatang di dalam goa pun seolah berhenti bergerak seakan-akan larut dalam irama seruling yang syahdu. "Tuliit... tiut tut tuilliiiiiut...
... Betapa rindunya hati ini...
... Siang dan malam engkau selalu kukenang...
... Wajahmu selalu terbayang-bayang
Tiba-tiba senandung Parmin terhenti, matanya yang tajam menembus ke dalam kegelapan di sela-sela hujan gerimis, ia menangkap gerakan suatu bayangan di depannya.
"He, siapakah itu...?" gumam Jaka Sembung tersentak sambil berdiri dan terus memperhatikan sosok tubuh yang tampak dari kejauhan itu. Ia melihat sesosok bayangan sedang berlari-lari menuju tempatnya berteduh itu. Jaka Sembung alias Parmin berusaha menajamkan indera pendengaran dan penglihatannya agar dapat menangkap bayangan orang itu lebih jelas lagi. Bayangan itu tampak seperti memakai payung pelindung agar bajunya tidak basah.
Orang itu semakin dekat menuju goa tempat Parmin berteduh. Dari gerakannya yang lincah dan tangkas, tentunya ia adalah seorang pendekar yang berilmu cukup tinggi. Jaka Sembung terkejut ketika melihat dengan jelas bahwa yang berlari-lari ke tempatnya berteduh itu ternyata seorang wanita muda. Lebih terkejut lagi pendekat gunung Sembung itu ketika melihat bahwa ternyata bukan payung yang berada di tangan wanita muda itu, melainkan sebuah pedang bermata dua yang diputarnya sedemikian cepat di atas kepalanya. Begitu cepatnya putaran pedang itu sehingga membentuk payung yang tak tembus oleh air hujan sekalipun. Betapa kagumnya Parmin melihat kepandaian si gadis yang kini telah berdiri tegak di hadapannya itu.
"Hei, siapakah anda?" tanyanya penuh selidik.
"Aku seorang musafir yang tersesat ke puncak Ciremai ini," jawab Parmin sedikit berbohong untuk memancing reaksi dara muda di hadapannya itu.
Dara manis itu memakai pakaian ketat yang menggambarkan bentuk tubuhnya dengan jelas. Lekuk tubuhnya tampak jelas sedang mekar-mekarnya, diperindah dengan sepasang buah dada yang bulat kencang. Pinggangnya ramping. Bulu matanya lentik dengan sepasang alis yang tersusun rapi. Bibirnya mungil. Rambutnya disanggul ke belakang, diikat dengan pita biru muda yang sewarna dengan kemeja dan celana yang dipakainya.
"Begitu sempurna," pikir Parmin. Kejadian itu berlangsung hanya sekejap, sepasang mata mereka bertemu pandang dan keduanya lalu sama-sama tertunduk. Jaka Sembung tertunduk, sementara itu sekilas ia merasa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Aneh, aku serasa pernah mengenal gadis ini, entah di mana dan kapan," pikir Parmin dalam hati.
Wajah si dara memerah dadu dalam sekejap adu pandang tadi. Maklumlah baru kali ini dipandang oleh sorotan mata seorang pemuda yang gagah dan tampan. Demikian pula Parmin. Sebagai manusia normal, apalagi statusnya masih bujangan, pantaslah bila Parmin memandang dara manis itu dengan sorotan mata yang agak lain. Ketika Jaka Sembung hendak mencuri pandang sekali lagi, pada saat yang bersamaan si gadis itu pun memergokinya. Wajahnya semakin kemerah-merahan, semula ia tertunduk, tetapi tak lama kemudian segera berubah. Matanya melotot, sambil bertolak pinggang ia membentak Parmin.
"Mengapa anda menatapku seperti itu?" tanya dara itu dengan cepat. Suaranya tak terdengar lembut seperti tadi. Parmin terkesiap, untuk sejenak mulutnya seakan-akan tersumbat sesuatu sehingga ia tak segera menjawab.
Terdengar kembali dara itu memaki-
maki.
"Anda pikir aku wanita apa? Jangan
mengira karena aku perempuan, maka anda dapat menganggap remeh dan berbuat sesuka hati hendak melampiaskan nafsu dan keisengan anda yang rakus! Jangan gegabah!" bentak si gadis tanpa memberikan kesempatan pada Parmin untuk menjelaskan masalahnya.
"Apa maksud anda, nona?" tanya Parmin gugup.
"Huh! Dasar laki-laki hidung belang, mata keranjang! Tak usah berlagak tolol kalau sudah kepergok, kurang ajar!" gadis itu membentak lebih keras untuk melampiaskan kemarahannya. Ia segera mengayunkan pedangnya menusuk titik kematian di tubuh Jaka Sembung yang masih tidak memahami kenapa gadis itu tiba-tiba menjadi sangat marah.
"Ciaaattt...!" Pedang si gadis telah mengayun dengan deras ke tubuh Parmin.
Bukanlah Jaka Sembung namanya kalau hanya untuk menghindari serangan seperti itu saja tak mampu. Dengan meletikkan tubuhnya ke atas seperti seekor jangkrik kena geprak, Jaka Sembung bersalto beberapa kali ke udara melewati kepala gadis tersebut.
Dara manis yang berpakaian serba biru muda itu merasa penasaran karena serangannya hanya mengenai tempat kosong belaka, ia kembali mengulangi serangannya dengan mempercepat gerakan pedangnya untuk memburu tubuh Parmin yang masih bersalto di udara. Gadis itu memutar pedangnya ke depan seperti sebuah mata bor dengan cepat sampai menimbulkan cahaya kehijauan yang membentuk lingkaran-lingkaran kecil langsung menerjang ke arah Parmin.
Dengan ketenangan yang luar biasa, mengingat ia pun baru lepas dari gemblengan gurunya yang luar biasa, Parmin tak menjadi gugup, ia hanya menggeser kakinya ke samping kanan, maka luputlah serangan dara tersebut.
Dara manis berbaju biru muda yang bernama Sri Ayu Ningrum itu kembali melanjutkan serangannya. Ketika untuk kesekian kalinya Sri Ayu menyerang dan menyabetkan pedangnya ke arah lambung, dengan seenaknya Parmin menggunakan tongkat pemberian Begawan Sokalima untuk menangkisnya.
"Traangg...!"
"Auhhh...!"
Terdengar denting nyaring dua senjata tajam yang beradu. Gadis itu tampak mundur beberapa tindak sambil meringis kesakitan. Pedangnya terlepas dari tangannya, sementara ia merasakan tangannya seperti kesemutan. Beberapa saat ia celingukan mencari ke mana jatuhnya pedang yang tadi dipegangnya. Ternyata pedang itu tidak jatuh ke tanah. Sri Ayu Ningrum jadi penasaran. Apa yang terjadi? Ternyata pedangnya itu sudah bertengger dan melekat dengan kerasnya di tongkat besi yang dipegang Parmin. Tongkat pemberian Begawan Sokalima itu ternyata terbuat dari bahan berupa magnit yang dapat menarik dan menempelkan bendabenda logam lainnya.
"Tunggu, nona! Aku sama sekali tak bermaksud buruk terhadapmu. Ambillah pedangmu ini kembali." sapa Parmin dengan sopan seraya menyerahkan pedang tersebut. Belum sampai tangannya terulur penuh, tiba-tiba Parmin harus menghindar kembali dengan satu loncatan karena ternyata Sri Ayu Ningrum telah menyabetkan sesuatu yang sejak tadi
melilit di pinggangnya. "Ctar! Ctarrrr...!"
Suara tali pinggang yang dilecutkan dengan keras itu terdengar menggema di dalam goa. Ujungnya menerpa dinding goa sampai mengeluarkan percikan api dan batu dinding itu lantas menjadi hancur lebur berkeping-keping.
Parmin menjadi semakin kagum kepada dara berbaju biru muda itu, ia terus saja menghindar tanpa membalas. Rupanya ujung ikat pinggang itu merupakan sebuah benda yang runcing dan tajam, semacam senjata rahasia yang bentuknya seperti sehelai angkin.
Jaka Sembung merasa geraknya di dalam goa yang sempit dan gelap itu tidak leluasa apabila ia terus diserang bertubi-tubi. Lagipula ia tak ingin sampai salah tangan dan melukai dara manis yang belum dikenalnya itu.
Belum sempat kakinya menginjak tanah, gadis itu telah kembali menyerang dengan ganasnya. Rupanya gadis itu menjadi marah dan penasaran karena sedemikian jauh ia belum dapat mengenai lawan. Hujan masih turun dengan derasnya, dan tidak terlihat tanda-tanda akan berhenti. Tanah di sekitar goa dan mulut goa itu sendiri telah basah dan menjadi becek.
Sri Ayu tetap penasaran tanpa memperdulikan pakaiannya menjadi basah kuyup dan memperlihatkan bentuk tubuhnya yang padat berisi dengan jelas. Lekuklekuk tubuh yang membayang jelas itu membuat Parmin menjadi kikuk dan canggung memandangnya sehingga gerakannya menjadi lamban. Hal ini membuat si gadis menjadi semakin bernafsu untuk menyerang dan mengalahkannya.
"Jangan merasa bangga dulu dengan tongkatmu! Tali pinggangku ini terbuat dari logam anti besi berani!" Suara Sri Ayu begitu keras terdengar.
Sementara pertarungan itu terus berlangsung. Di bawah sana terdapat pemandangan yang indah dengan pohon-pohon rindang dan padi-padi yang sedang menguning serta tanaman palawija yang mulai siap dipanen. Seorang pemuda remaja bertelanjang dada tampak sedang beristirahat di sebuah saung beratap daun kelapa, menantikan hujan yang tak kunjung reda sejak tadi.
Wajahnya sejak tadi berseri-seri memandang hasil jerih payahnya bersama keluarga selama ini. Dalam hatinya ia bersyukur kepada Sang Pencipta yang telah memberikan rahmat-Nya selama ini. Pemuda itu bertubuh ramping dan berotot kekar, matanya tajam, rambutnya sebatas bahu dengan senjata kesayangan berupa sebuah beliung yang sedang ia bersihkan dengan hati-hati. Pemuda itu bernama Kaswita.
"Lama sekali mbakyu pergi ke puncak Ciremai," keluh Kaswita pada dirinya sendiri. "Biasanya ia tidak lama di sana. Apakah ada sesuatu yang terjadi pada dirinya?" desah Kaswita mulai khawatir.
Sri Ayu terus mencecar Parmin dengan jurus-jurus kilat yang berbahaya pada saat Parmin merasa terdesak, sehingga pendekar dari gunung Sembung itu mulai merasa kehilangan sabarnya, ia memutuskan untuk segera bertindak.
Traaakk...!
Dengan penuh perhitungan Parmin menyambut senjata Sri Ayu dengan tongkat besi beraninya. Di saat kedua senjata itu beradu, kedua seteru itu berkutat mempertahankannya. Senjata tongkat khas Jaka Sembung kini terlibat oleh ikat pinggang milik Sri Ayu.
"Maafkan jika tindakanku kasar, nona. Kau pasti tak akan mau percaya padaku," bentak Parmin masih dalam nada sopan. Sri Ayu tak mau mendengar ucapan Parmin, ia terus saja berusaha menarik kembali senjatanya sekuat tenaga. Matanya bersinar merah karena marah.
Sewaktu Jaka Sembung membelot tongkatnya, Sri Ayu ngotot untuk tidak melepaskannya. Dengan satu sentakan, Parmin berhasil melepaskan belitan ikat pinggang Sri Ayu.
"Hup, maaf, nona," kata Parmin sopan.
"Ah," si gadis berteriak kesakitan dan juga terkejut, yang disusul dengan suara gedebuknya tubuh yang jatuh.
Buk!
Hentakan Jaka Sembung tadi membuat Sri Ayu merasakan tongkatnya seperti ditarik dengan keras sehingga ia berusaha menahannya sekuat tenaga. Siapa yang menyangka di saat ia tengah berusaha bertahan sekuat tenaga menahan itu, lawan justru melepaskannya dengan sebuah sentakan kecil tetapi bertenaga besar. Akibatnya tubuh Sri Ayu terjerembang ke belakang dengan kerasnya, langsung menimpa kubangan lumpur yang tercipta karena derasnya hujan di tanah. Pakaian dara manis itu jadi kotor sekali.
"Oh, maafkan aku, nona," kata Jaka Sembung merasa tidak enak, tetapi juga merasa lucu melihat keadaan lawan. Ia segera mengulurkan tangannya untuk menolong orang.
Tanpa disangka-sangka, Sri Ayu justru menyambuti uluran tangan Jaka Sembung dengan suatu gerakan kilat yang sangat cepat. Tangannya cekalan melontarkan tiga buah senjata rahasia ke tubuh Parmin.
Langkah Parmin terhenti seketika, tongkat besinya bergerak menghentak tanah di bawah. Tubuhnya bersalto beberapa kali di udara untuk menghindarkan diri dari serangan gelap yang dilancarkan Sri Ayu. Gadis itu langsung mencecar Jaka Sembung dengan beberapa senjata rahasia yang dilontarkan secara beruntun. Dengan memutar-mutar tongkatnya, Parmin terus bersalto di udara beberapa kali lalu menjauh dari tempat itu.
Tep! Tep!
Beberapa senjata rahasia yang dilontarkan Sri Ayu melekat di tongkat Parmin yang mengandung besi berani itu. Ia kembali melayang turun dengan lincahnya.
"Tahan, nona! Kalau tidak, aku akan menghajarmu!" gertak Parmin menakutnakuti.
"Coba, kalau kau berani!" Sri Ayu berkata kesal dan marah bercampur satu sambil melemparkan beberapa senjata rahasia yang masih berada di tangannya.
Bersamaan dengan berdesingnya senjata rahasia itu, meluncurlah sesosok bayangan ke arah Parmin.
Telinga Jaka Sembung yang terlatih dapat menangkap suara berdesirnya angin serangan yang datang dari belakang tubuhnya, ia menyadari bahwa ada orang lain yang membokongnya dari belakang. Sebuah benda runcing yang sangat keras tengah mengancam jiwanya saat itu.
Dengan gerakan yang sangat cepat Parmin mengeluarkan jurus Elang Terbang Mematuk Anak Itik, dan tubuhnya meletik ke samping kiri unluk menghindari serangan gelap tersebut sementara tongkatnya masih bergerak menangkis senjata rahasia yang dilontarkan oleh Sri Ayu.
Creeeppp...!
Tanah di bekas tempat Parmin berdiri tadi langsung berlubang terhantam sebuah beliung bermata runcing yang merupakan senjata penyerang Jaka Sembung barusan.
"Tahan! Siapakah anda? Mengapa menyerangku secara tiba-tiba?" bentak Parmin dengan penuh tanda tanya. "Heaaatt...! Pengembara tersesat!
Jangan coba-coba mengganggu kakakku. Bangsat kau!" jawab anak muda yang kini telah bersikap mengancam lagi dengan sebuah beliung melintang di dadanya.
Jaka Sembung dengan tenang mengawasi anak muda bertelanjang dada dengan senjata berupa beliung tajam di depannya itu. Pemuda itu adalah Kaswita yang datang menyusul kakak perempuannya, dan mendapatkan mbakyunya sedang bertarung dengan Parmin, maka ia pun segera turun tangan membantu kakaknya.
"Hati-hati, adikku! Ia sangat tangguh," sergah Sri Ayu.
"Jangan takut, mbakyu!" jawab Kaswita yakin.
"Tunggu, saudara! Sabar... Aku sungguh-sungguh tak bermaksud buruk terhadap mbakyumu ini. Anda berdua telah salah paham," Parmin berusaha mencegah terjadinya kesalahpahaman yang lebih ruwet.
Kaswita sama sekali tak menggubris omongan Jaka Sembung, ia segera menyerang dengan beliung yang merupakan senjata andalannya dengan cepat dan bertubi-tubi.
"Yeeeaaahhhh...!" teriak Kaswita keras dan panjang. Beliungnya mengarah dengan deras ke arah ubun-ubun Parmin. Pendekar dari gunung Sembung itu merundukkan kepalanya dan ujung beliung yang runcing itu lolos lewat belakang kepalanya. Sama sekali tak terduga oleh lawannya, Parmin membuat sebuah gerakan yang cepat.
Tiba-tiba saja tongkat Parmin menyusup melalui dada sampai ke celah paha Kaswita dan dengan cepat pula tubuh Kaswita yang kekar itu terangkat ke atas sehingga untuk beberapa detik tubuh Kaswita dapat berdiri tegak di tanah dengan ringannya setelah tubuhnya berjungkir balik beberapa kali di udara.
Belum habis rasa heran Parmin, Kaswita telah kembali menyerang dengan jurus Beliung Menyambar Alang-alang. Parmin melompat kian ke mari menghindar seperti seorang penari ballet. Kaswita sama sekali tak memberi peluang sedikit pun pada Jaka Sembung yang terus menghindar. Di suatu ketika yang baik, Parmin berhasil melewati tubuh Kaswita dan menepak pundaknya.
"Aahhh...!" teriak Kaswita, tubuhnya segera jatuh bergulingan beberapa kali di tanah. Namun ia segera bangkit kembali dan siap menyerang Parmin lagi. Sementara itu Sri Ayu telah siap pula untuk membantu adiknya dalam menghadapi lawan yang cukup tangguh buat mereka berdua.
"Tunggu, anak muda! Kalian telah salah paham," cegah Parmin sambil menghindar ke samping kanan. Namun Kaswita tak mau memperdulikan kata-kata Parmin dan terus menyerang dengan nafsu membunuh.
"Adikku, mari kita sama-sama menyerang!" suara Sri Ayu terdengar tegas memberi komando.
"Baik, mbakyu! Aku pun telah siap sejak tadi!" terdengar Kaswita menimpali. Kedua kakak beradik itu lalu mundur membuat jarak untuk menyerang dari tempat Parmin berdiri. Kaswita di sebelah kanan, sedangkan Sri Ayu di sebelah kiri. Dengan senjata di tangan, kedua kakak beradik
itu telah bersiap-siap menyerang Parmin. "Ciiaaattt...!" berbarengan mereka
menyerang. Dengan penuh kewaspadaan Parmin menanti serangan itu sampai tepat pada jarak yang diperhitungkannya.
"Haaattt...!" Jaka Sembung berteriak sambil melompat ke atas membuat beberapa kali putaran.
Traaaanngg...!
Dua buah senjata beradu mengeluarkan percikan api, kiranya senjata mereka beradu satu sama lainnya sehingga kedua kakak beradik itu sama-sama tercengang. Kini mereka melanjutkan serangannya kembali secara bersama-sama untuk mendesak Parmin.
Ketiga pendekar muda yang berkelahi itu terus terlibat dalam kemelut sampai ke bibir kepundan Ciremai. Gulungangulungan cahaya yang keluar dari senjatasenjata mereka saling menindih. Dari kejauhan kelihatan tubuh mereka seolaholah seperti makhluk-makhluk ajaib yang melenting ke sana ke mari.
3
Di bawah tebing itu terlihat sesosok bayangan berkelebat dengan gerakan yang sulit diikuti mata biasa. Gerakannya sangat lincah dan cekatan melompat ke sana ke mari, dari batu ke batu tanpa membuat batu-batu yang dipijaknya tergeser, seolah-olah tak pernah tersentuh kakinya.
Bayangan itu kian mendekat dan kini terlihat bentuknya. Sesosok manusia berpakaian serba putih, kepalanya dililit sorban berwarna putih pula. Penampilannya mencerminkan seorang mualim yang saleh. Orang yang berpakaian serba putih itu bernama Elang Sutawinata, umurnya sudah mencapai setengah ahad.
Elang Sutawinata mendaki tebing Ciremai dengan maksud mencari anakanaknya yang belum kembali.
Sri Ayu dan Kaswita terus menyerang Parmin sampai ke pinggir jurang ke pundan. Parmin yang hanya menghindar dan terus berkelit sejak tadi hingga kelihatan terdesak. Hal itu semata-mata dilakukan Parmin alias Jaka Sembung karena ia enggan menangani orang-orang yang tidak mutlak menjadi musuhnya.
Kali ini Sri Ayu dan Kaswita membuat kuda-kuda yang cukup aneh. Mereka saling berpegangan tangan dan bersamasama seperti lengket saja tubuh mereka, keduanya membuat gerakan menyerang. Jurus ini mereka namakan jurus Menyatukan Sukma.
"Ciaaattt...!" lengking suara mereka berbarengan.
"Heeeaatt...!" Parmin alias Jaka Sembung pun tak mau kalah. Ia bersalto beberapa kali dan terus berlaku demikian hingga mendarat tepat di bibir tebing. Di bawahnya kawah Ciremai menganga siap menyambut siapa pun yang jatuh ke dalamnya.
Di saat yang genting itu tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan lain memecahkan suasana tegang itu dan berdiri di tengah-tengah mereka dengan sikap gagah dan berwibawa. Wajahnya arif bijaksana, yang baru datang itu tak lain adalah si orang tua Elang Sutawinata adanya.
"Tahan!" terdengar suara berat penuh wibawa menggema.
Seketika itu juga pertarungan terhenti, Sri Ayu dan Kaswita segera menghampiri orang tersebut.
"Ayah!" kedua kakak beradik itu berteriak hampir bersamaan. Di wajah mereka terbayang kegembiraan.
"Kalian tidak tahu malu mengeroyok orang yang tidak melawan dan membiarkan kalian menyerangnya," suara Elang Sutawinata terdengar halus tetapi penuh teguran kepada kedua putra putrinya.
"Dia telah kurang ajar padaku, ayah!" ujar Sri Ayu dengan penuh kemanjaan.
"Aku hanya membantu mbakyu, ayah," potong Kaswita membela diri. Sekalipun usianya sudah remaja, namun sikap pemuda ini masih seperti anak-anak bila berhadapan dengan orang tuanya.
"Kalianlah yang terburu nafsu, anakku," sahut Elang Sutawinata menimpali pembelaan kedua anaknya itu. Parmin kembali tertegun melihat kejadian di depannya itu.
"Ketiga anak dan bapak ini seakanakan pernah kulihat, tetapi entah di mana." pikirnya dalam hati. Kini Elang Sutawinata memandang Parmin dengan penuh selidik, demikian pula halnya dengan Parmin. Seolah ada sesuatu yang mereka percakapkan dalam pertemuan mata itu.
"Maafkanlah kelakuan anak-anakku yang masih hijau ini, mereka belum mengerti bagaimana menjadi pendekarpendekar yang baik," kata Elang Sutawinata dengan sopan.
"Oh, tidak mengapa, pak! Paling tidak, mereka telah menunjukkan bakat dan keuletan mereka sebagai calon pendekar dalam latihan barusan," jawab Parmin merendah. Ia merasa suka dengan sikap orang tua tersebut.
"Hendak ke manakah kau, anak muda?" tanya orang tua Elang Sutawinata.
"Saya hendak mencapai puncak Ciremai ini."
"Apa tujuanmu hendak mendaki ke atas itu?"
"Saya hanya memenuhi perintah guru saya, pak."
"Siapakah kau anak muda? Dan siapakah gurumu? Maafkan bila pertanyaan ku seolah mendesakmu. Aku bertanya seperti ini karena mendadak dalam hatiku berkata sebuah firasat yang belum kuketahui juntrungannya," sergah Elang Sutawinata. Tak salah memang apa yang dikatakannya, ia merasa hatinya berdegup tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
"Nama saya, Parmin, murid Ki Sapu Angin dari Eretan. Saya diperintahkan oleh beliau untuk mengembara mencari pengalaman dan berjuang mengumpulkan para pendekar untuk mencapai tujuan menumpas penjajah dari bumi Nusantara ini," jawab Jaka Sembung jujur dan apa adanya. "Parmin...? Murid Ki Sapu Angin?
Ya, Allah, Ya Rabbi!" si orang tua Elang Sutawinata mendesah pelan hampir tak terdengar. Di bibirnya tersungging senyum yang masih belum dapat ditebak maknanya oleh Jaka Sembung. Kegembiraan jelas terlukis di wajah putih bersih itu
"Parmin, aku sangat gembira bertemu denganmu! Inilah saat yang ditunggutunggu selama dua puluh tiga tahun! Marilah kita bercakap-cakap dalam pondok kami. Ke marilah, nak," Elang Sutawinata berkata ramah dan terus menggandeng Parmin. Yang digandeng menurut saja, cuma dalam hatinya timbul sedikit rasa heran.
Selama dalam perjalanan. Parmin terus bertanya-tanya dan berfikir dalam hatinya, siapakah mereka ini sebenarnya? Wajah mereka sangat mirip dengan dirinya sendiri, ia merasa seperti berkaca pada tiga buah cermin, Parmin alias si Jaka Sembung seolah melihat ketiga bayangannya sendiri.
Keempat orang itu lalu menuruni tebing meninggalkan bibir kepundan menuju sebuah pondok kecil yang terletak di sebuah dataran yang luas dan indah. Tempat itu sangat indah, sebuah rumah yang seluruhnya terbuat dari bambu dengan pohon rindang di sekelilingnya. Di samping kanan ada sebuah kolam dengan ikan-ikan yang besar-besar dan siap untuk dipanggang. Tempat itu sungguh asri dan elok dilihat, diperindah dengan pemandangan di sekitar lereng-lereng Ciremai yang menghijau. Jaka Sembung terus menatap dengan kagum. Ketika mereka sampai di pondok itu, hujan pun telah berhenti.
"Nah duduklah, nak. Semoga kau dapat menganggap tempat ini seperti rumahmu sendiri," bersilah Elang Sutawinata.
"Terima kasih, pak! Tapi saya ingin membersihkan diri dulu sebelumnya," kata Parmin sopan. Elang Sutawinata menganggukkan kepalanya tanda setuju. Sepeninggal pendekar muda dari gunung Sembung itu, ia pun segera mengatakan pada Sri Ayu untuk menyiapkan hidangan berupa teh hangat dan singkong rebus untuk dihidangkan pada tamu mereka itu. Setelah selesai, barulah ia kembali memanggil anak-anaknya untuk berkumpul.
"Sri! Kaswita! Duduklah di dekat ayah. Akan ayah ceritakan siapakah tamu kita ini sebenarnya," ujarnya lembut.
"Siapakah orang itu, ayah?" Sri Ayu tak sabar bertanya.
"Ya. ayah. Ceritakanlah segera," Kaswita ikut mendesak. Jawab Elang Sutawinata menyabarkan kedua anaknya. Tak lama kemudian Parmin telah selesai dan ia pun ikut duduk berhadapan dengan Elang Sutawinata yang dikelilingi oleh Sri Ayu dan Kaswita.
"Ah, sayang ibu kalian telah meninggal, kalau tidak, pertemuan ini akan lebih menggembirakan." desah Elang Sutawinata dengan nada haru mengenang masa silam. Matanya menerawang sesaat, memandang jauh ke masa silam. Parmin pun ikut terharu melihatnya.
"Sri! Kaswita! Tentunya tak akan terjadi baku hantam antara kalian kalau kalian tahu siapa pengembara yang gagah perkasa ini. Sebetulnya kalian berdua memang bukan apa-apa bila dibandingkan dengannya." ujar Elang Sutawinata mengingatkan kedua anaknya. Parmin hanya tersenyum mendengarnya.
"Nah, pak. Ceritakanlah apa yang ingin bapak ceritakan. Saya ingin segera mendengarnya," desak Parmin halus.
"Sabarlah, nak. Sebelum aku mulai bercerita, minumlah dulu teh hangat dan singkong rebus ini untuk menghangatkan tubuhmu," Elang Sutawinata mempersilahkan Parmin untuk mencicipi hidangan di depannya.
"Terima kasih, pak!" ujar Parmin sambil tersenyum. Tangannya segera terulur mengambil cangkir air teh dan sepotong singkong yang masih hangat. Setelah mengucapkan bismillah, Parmin memakan singkong yang masih hangat itu. "Semua ini hasil tanaman Sri dan
Kaswita, nak Parmin."
"Ayah juga turut menanamnya." sela Sri Ayu manja. Heran, langsung hilang begitu saja rasa kesalnya terhadap Parmin setelah kedatangan ayahnya. Ia pun merasakan ada hal yang aneh dalam dirinya, seperti yang dirasakan oleh Elang Sutawinata dan juga Parmin. Demikian pula halnya dengan Kaswita yang tak luput dari perasaan seperti itu.
"Betul, nak Parmin. Selama lebih dari dua puluh tahun kami di sini bercocok tanam. Semuanya kami lakukan bersama-sama sampai detik ini," jawab Elang Sutawinata.
"Apakah bapak tidak punya pekerjaan sampingan?"
"Tidak, nak. Pekerjaan ini sudah menjadi bagian dari hidup bapak karena bapak tak mau lagi mencampuri urusan orang lain." Mata Elang Sutawinata menerawang kembali jauh ke masa silam. Tidak terasa saking asyiknya mereka mengobrol, matahari di ufuk Barat telah menghilang dan diganti dengan seberkas sinar di ufuk Timur yang berupa cahaya keemasan dari sang rembulan pertanda malam lelah menjelang.
Elang Sutawinata pun segera mengajak Parmin dan anak-anaknya untuk melakukan kewajiban sebagai orang muslim untuk mendirikan shalat Maghrib berjamaah dengan dia sendiri bertindak selaku imam.
4
Dua puluh tiga tahun yang lalu pada saat itu di Keraton Kanoman yang pilarpilarnya berdiri megah dengan dinding berukir hasil buah tangan pemahat yang mahir, serta lantai rumah tangga yang hampir semuanya berlapis emas, terasa sekali suasana yang lenggang.
Di sudut sebelah kanan terlihat seperangkat guci yang terbuat dari keramik pilihan dengan ukiran-ukiran yang sangat indah tertata rapi dengan beralas sebuah meja yang ukirannya sendiri tak kalah indah dibanding dengan ukiranukiran keramik tersebut.
Keraton tersebut diperintah oleh seorang Sultan dengan gelar Sultan Anom Wicaksana. Di bangunan bagian dalam terlihat lima orang sedang duduk di lantai yang berlapis permadani tebal dengan kombinasi warna kuning dan hijau dengan garis pinggir berwarna hitam. Seseorang yang tak lain adalah Sultan Kanoman duduk di sebuah kursi berukiran sangat indah, ia tampak sedang berbicara serius dengan seseorang di hadapannya itu.
Di hadapan Sultan Kanoman terlihat
seorang lelaki duduk dengan sikat takzim. Lelaki itu masih tergolong keluarga keraton Kanoman sendiri karena ia adalah saudara dari selir sang Sultan sendiri.
Lelaki bernama Sutawinata yang baru berumur dua puluh lima tahun. Dalam usia semuda itu, Sutawinata sudah memiliki kepandaian dalam soal agama dan pemerintahan. Oleh karena itulah ia sangat disayang oleh Sultan Kanoman. Segala persoalan pemerintahan yang sulit dapat diselesaikan dengan baik berkat saran-sarannya. Oleh sebab itu tak heranlah kalau Sultan Kanoman mengangkatnya sebagai seorang penasehat yang sangat diandalkan.
"Sutawinata! Hari ini kau akan kuberi gelar karena engkau telah banyak berjasa terhadap keraton ini," ujar Sultan Kanoman tegas dan penuh wibawa.
"Terima kasih, kanjeng tuanku. Cuma hamba rasa hamba tak pantas menerima gelar tersebut," jawab Sutawinata merendah.
"Tidak, Sutawinata! Kau harus menerimanya karena ini sudah menjadi keputusanku. Tak boleh ada yang membantah!" tegas Sultan Kanoman. Mendengar kata-kata tersebut, Sutawinata terdiam dengan kepala tertunduk, meskipun hatinya sebenarnya menerima dengan senang hati.
"Nah. Sutawinata. Kini engkau bergelar "Elang Sutawinata," tegas Sultan Kanoman. 'Elang' adalah sebutan bagi kedudukan di kalangan bangsawan Cirebon yang tingkatnya kira-kira setaraf dengan sebutan 'Raden Mas' di kalangan bangsawan di Jawa.
"Terima kasih, kanjeng Ratu. Terima kasih," Sutawinata bersujud berkali-kali di hadapan Sultan Kanoman karena sangat gembira hatinya, ia menyembah penuh hormat pada junjungannya itu.
Sultan Kanoman tersenyum puas. Ia lalu berdiri dan memegang pundak Elang Sutawinata sebagai tanda selamat yang segera diikuti oleh sesepuh keraton dan pejabat-pejabat istana lainnya.
Setelah acara itu. Sultan Kanoman pun minta diri dan Elang Sutawinata serta para punggawa dan orang-orang lain yang tadinya berkumpul di ruangan itu pelahanlahan mundur untuk kembali ke tempat masing-masing.
Sementara itu di salah satu bangunan yang terletak di pojok belakang istana keraton terdengar suara anak kecil menangis manja. Rupanya anak kecil itu sedang menantikan ibunya yang sedang mempersiapkan hidangan di atas meja makan. Setelah hidangan tersedia, digendongnya anak tersebut dan dibelainya dengan penuh kasih sayang. Seketika itu juga tangis si anak berhenti dan kemudian ia tertidur dalam pelukan ibunya.
Rupanya anak lelaki berumur dua tahun itu sedang mulai disapih atau dipisah dari ibunya agar tidak menyusu lagi pada ibunya. Baru saja sang ibu meletakkan anaknya di tempat tidur, terdengar suara pintu diketuk dari luar.
"Tok tok tok...!"
"Diajeng! Diajeng! Buka pintu!" suara itu memanggil.
"Sebentar, kangmas!" suara itu terdengar lembut di telinga. Tak lama kemudian pintu pun terbuka dan terlihat sesosok tubuh berdiri dengan wajah gembira dan senyum tersungging di bibirnya, ia lalu mengecupkan bibirnya dengan mesra di kening istrinya.
Orang yang baru datang itu tak lain adalah Elang Sutawinata yang baru kembali dari keraton. Ia segera menggendong istrinya dengan mesra yang disambut dengan lingkaran tangan di leher. Istrinya menyandarkan kepalanya dengan manja di bahu suaminya, mereka memasuki ruangan dalam.
"Kangmas. Kau kelihatannya gembira sekali malam ini." sapanya mesra dan manja.
"Diajeng, aku baru saja diangkat menjadi penasehat keraton dan memperoleh gelar Elang." ujarnya sambil membelai rambut istrinya yang terurai dengan penuh kasih sayang.
"Syukurlah, tetapi janganlah Kangmas jadi sombong dan angkuh dengan kedudukan itu," istrinya mengingatkan.
"Tidak, diajeng. Aku tak akan silau dengan gemerlapannya harta benda, sanjungan, kedudukan, dan juga gelar!" jawab Sutawinata yang kini telah bergelar Elang Sutawinata.
"Sudahlah, kangmas. Lupakanlah itu dulu. Apakah kangmas tak ingin makan dulu?" tanya istrinya manja sambil tersenyum manis sehingga semakin jelas lesung pipit di pipinya.
"Aku belum lapar, diajeng. Aku ingin mengajakmu ke peraduan dulu," kala Elang Sutawinata sambil membopong tubuh istrinya yang menggelendot manja ke dalam kamar.
"Cumbulah aku, kangmas..." desah istrinya hangat.
"Ah..." Elang Sutawinata mendesah lirih. Tak ada lagi kata-kata yang terucap setelah itu, yang terdengar hanyalah desah nafas yang hampir rak beraturan. Suasana di kamar itu menjadi misteri tersendiri.
Pada masa itu penjajah kompeni Belanda sudah menguasai beberapa pulau. Di setiap daerah yang dikuasai oleh penjajah selalu dikenakan pajak. Bermacam-macam jenis pajak yang dikenakan terhadap penduduk, mulai dari pajak hasil bumi. Tak perduli apakah tanah itu merupakan tanah milik perorangan maupun tanah milik keraton yang seharusnya berdaulat secara otonom.
Pada suatu hari dalam Keraton Kanoman terlihat Sultan Kasepuhan sedang berbincang-bincang dengan Sultan Kanoman. Mereka duduk di kursi yang terbuat dari kayu jati dan diukir sangat indah. Di depan mereka tersedia seperangkat minuman teh lengkap dengan hidangan lainnya di atas sebuah meja marmer yang berukiran semotif dengan kursinya. Di wajah mereka tercermin ketegangan.
"Aku tak mau memenuhi keinginan penjajah itu untuk membayar pajak," ucap Sultan Kasepuhan tegas.
"Itu terserah kangmas, tetapi apa daya kita? Kita tak punya kekuatan untuk menentang penjajah Belanda. Aku akan tetap mengikuti peraturan dan membayar pajak seperti yang diinginkan," ujar Sultan Kanoman tegas.
"Tidak, Dimas! Kita harus berontak! Kalau tanah keraton mau dikenakan pajak, itu sudah sangat keterlaluan dan menginjak harga diri kita. Dimas!" tukasnya cepat dengan nada agak kesal. "Sia-sia saja usaha kita, Kangmas. Berfikirlah baik-baik, bangsa Belanda menjajah hampir seluruh kepulauan Nusantara!" sanggahnya sambil berdiri.
"Bagaimana pun aku akan tetap berontak!" tegas Sultan Kanoman menjadi semakin sengit, seakan-akan mereka berdua tidak dapat mencapai kata sepakat.
"Kangmas, penjajah Kumpeni Belanda berpusat di Batavia itu sewaktu-waktu mengerahkan kekuatan untuk mematahkan kita punya kekuatan, sedangkan kita cuma merupakan kesultanan kecil yang mempunyai keraton di dalam kota yang juga dikuasai oleh Belanda. Setiap gerak kita tentunya diawasi." jelas Sultan Kanoman memperingatkan saudaranya.
"Jadi kau tidak mau berontak? Kau mau dijadikan budak oleh Belanda?" tanya Sultan Kasepuhan dengan nada ditekan menahan emosi.
"Bukan begitu, Kangmas. Jangan salah paham. Kita bukan pengecut, tetap kita harus menyusun kekuatan secara perlahan-lahan."
"Tapi sampai kapan? Belanda sudah terlalu menginjak kepala kita! Apakah kita tak percaya pada kekuatan sendiri, kita bukan bangsa lemah yang mudah diinjak-injak begitu saja, Dimas!"
"Akan sia-sia, Kangmas! Akan siasia! Percayalah kekuatan kita tak ada seujung rambut pun dibandingkan kekuatan Belanda," lanjut Sultan Kanoman dengan wajah sinis.
Mendengar kata-kata Sultan Kanoman itu, wajah Sultan Kasepuhan menjadi merah padam menahan marah. Ia lalu meninggalkan ruangan keraton itu tanpa berkata apa-apa lagi. Sultan Kasepuhan segera kembali ke keraton Kasepuhan tempat kediamannya. Kepergiannya diikuti pandangan mata Sultan Kanoman yang juga merasa kecewa melihat sikap saudaranya yang paling tua itu.
Demikianlah dualisme yang terjadi dalam kepemimpinan keraton itu berlangsung tanpa suatu jalan keluar yang bersifat musyawarah untuk mencapai kata mufakat. Sultan Kasepuhan menghendaki suatu revolusi, sedangkan sebaliknya Sultan Kanoman menghendaki evolusi.
Kini tinggallah Sultan Kanoman seorang diri sambil mondar-mandir di ruangan pendopo keraton Kanoman. Wajahnya muram, langkahnya gontai memikirkan tindakan apa yang harus dilakukan selanjutnya, ia lalu memerintahkan seorang punggawa untuk memanggil penasehat nya. Elang Sutawinata.
Dengan tergopoh-gopoh Elang Sutawinata dalang ke pendopo di mana Sultan Kanoman telah menunggu dengan wajah bingung atas kejadian yang baru saja dialaminya.
"Ampun kanjeng Ratu, ada apakah gerangan hamba diminta menghadap Kanjeng Tuanku?" tanya Elang Sutawinata setelah menyembah hormat pada saudara tua yang juga sekaligus merupakan iparnya itu.
"Elang Sutawinata! Saat ini penjajah Kumpeni Belanda meminta kita untuk membayar pajak atas tanah keraton ini. Bagaimanakah pendapatmu?" tanya Sultan Kanoman Raden Agung Anom Wicaksana itu.
Elang Sutawinata tidak langsung menjawab, keningnya berkerut tanda ia sedang berfikir keras. Hatinya terbakar setelah mendengar betapa kurang ajarnya pihak Kumpeni Belanda yang telah lancang hendak memungut pajak atas tanah keraton yang merupakan lambang kebanggaan leluhur itu.
"Ampun Kanjeng Ratu, menurut pendapat hamba lebih baik paduka jangan menuruti kehendak penjajah Kumpeni Belanda, dan lebih baik kita diamkan saja karena tanah keraton ini merupakan lambang kedaulatan kita sebagai bangsa yang mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri!" jawab Elang Sutawinata tegas.
"Bagaimana kalau penjajah Belanda dalang menyerang keraton?" tanya Sultan Kanoman kembali dengan gigi gemeretak menahan amarah. "Kita lawan penjajah Belanda itu dan minta bantuan pada Kanjeng Sultan Kasepuhan," jawab Elang Sutawinata dengan cepat, ia memang belum mengetahui adanya perbedaan paham yang meruncing antara kedua orang Sultan di daerah Cirebon tersebut.
Mendengar jawaban Elang Sutawinata sebagai penasehat keraton, wajah Sultan Kanoman menjadi merah padam. Ia menjadi sangat gusar karenanya. Ternyata saran dari penasehat utamanya itu justru sependapat dengan Sultan Kasepuhan. Hal ini telah membuat Sultan Kanoman menjadi marah bukan kepalang. Elang Sutawinata sama sekali tak mengetahui hal ini, karenanya ia hanya bisa memandang tak mengerti saja ketika Sultan Kanoman tibatiba meledak marah terhadapnya.
"Kau sama tololnya dengan Kangmas Kasepuhan! Mulai delik ini juga keluarlah kau dari tempat ini dan jangan pernah injak tanah keraton ini lagi! Cepat enyah dan pergi!!!" bentak Sultan Kanoman histeris sambil bertolak pinggang sambil membuang muka.
"Ampunilah kebodohan hamba, kanjeng Ratu," kata Elang Sutawinata lirih dengan wajah tertunduk lesu. Ia tahu betul watak kakak iparnya itu yang tak pernah mau dibantah.
"Tidak! Tidaaakk...! Kataku pergi, pergi! Aku sudah muak melihat wajahmu!" lanjut Sultan Kanoman sambil membelakangi Elang Sutawinata.
Tanpa berkata apa-apa lagi. Elang Sutawinata lalu melangkah gontai meninggalkan ruangan keraton untuk kembali ke rumahnya. Tinggallah Sultan Kanoman seorang diri sambil menahan marah dan bingung atas apa yang harus dilakukannya setelah itu.
Sesampai di rumah. Elang Sutawinata menjumpai istrinya yang sudah menunggu dengan tatapan mata yang sayu dan hati penuh tanda tanya apakah gerangan yang telah terjadi pada diri suaminya itu. Dilihatnya suasana wajah suaminya sangatlah muram dan bertolak belakang dengan keadaannya kemarin malam.
"Kangmas, apakah yang telah terjadi pada dirimu? Wajahmu tampak muram dan bersedih," kata istri Elang Sutawinata sambil menyambut kedatangan suaminya.
Elang Sutawinata tidak langsung menjawab pertanyaan istrinya, ia hanya diam tak berkata sepatah pun. Dipeluknya leher istrinya dengan penuh perasaan haru sehingga debaran dadanya dapat dirasakan oleh Purnamasari, istrinya. Setelah dapat menenangkan hatinya, barulah Elang Sutawinata dapat menceritakan kemalangan yang baru saja dialaminya.
"Oh, Kangmas. Kenapa nasib kita jadi begini..." lirih istrinya berkata sambil menyandarkan kepalanya di dada Elang Sutawinata. Ia mulai menangis sesenggukan, sementara Elang Sutawinata dengan penuh kasih sayang membelai kepala istrinya. Demikianlah mereka sebagai suami istri hidup dengan penuh saling pengertian dan saling membagi perasaan.
Memang demikianlah semestinya hidup bersuami istri di mana keterbukaan menjadi faktor yang menentukan bagi kelanggengan hidup suami istri. Saling berbagi rasa dan saling menjaga perasaan masing-masing. Setiap pihak berlaku jujur kepada pasangannya dalam keadaan suka maupun duka.
"Sudahlah, Diajeng," kata Elang Sutawinata berusaha menenangkan hati istrinya. "Tak ada yang perlu disesalkan lagi, barangkali memang demikianlah takdir bagi kita."
"Apakah Kanjeng Ratu Sultan Kanoman tak mungkin memaafkan dirimu. Kangmas?" tanya istrinya penasaran di sela isak tangisnya.
"Tidak, Diajeng. Kanjeng Sultan berhati keras, dan kata-katanya tak mungkin dicabut kembali. Kata-katanya adalah undang-undang, setiap kata-katanya tak bisa dibantah dan digugat," suaminya menjelaskan pada istrinya.
"Sudahlah, Diajeng. mari kita berkemas-kemas sekarang sebelum Kanjeng Sultan marah untuk kedua kalinya. Justru lebih parah lagi keadaannya bila hal itu terjadi," tegas Elang Sutawinata.
Suami istri itu kemudian berkemaskemas untuk mengumpulkan barang-barang yang bekal mereka perlukan dalam pengasingan tersebut.
Hari pun telah berganti malam, bulan telah muncul walau masih selengah ditutupi oleh awan gelap yang seakan-akan turut bersedih dengan keluarga yang sedang tertimpa musibah tersebut.
Elang Sutawinata dan istri bersama anaknya yang baru berumur dua tahun meninggalkan keraton Kanoman diam-diam dengan perasaan sedih yang tak terkira. Dengan seekor kuda dan perbekalan yang diperlukan, mereka memulai perjalanan yang belum diketahui arah dan tujuannya. Elang Sutawinata menuntun kuda yang membawa istri dan anaknya. Mereka berjalan gontai dengan hati pilu dan resah.
Mereka terus berjalan meninggalkan perbatasan keraton Kanoman dan terus menyusuri jalan yang ada di depan mereka. Bila malam tiba, mereka menginap dan beristirahat di rumah-rumah yang dijumpai serta bersedia menerima mereka menginap di situ.
Jika fajar kembali menyingsing, mereka kembali melanjutkan pengembaraan yang tanpa tujuan, berjalan dan berjalan ke arah Selatan. Hari demi hari, Minggu demi Minggu mereka terus berjalan, keluar dan masuk kampung menuruti ke mana langkah kaki membawa mereka.
Akhirnya dengan tak terasa mereka telah sampai di kaki gunung Ciremai yang berhawa sejuk dengan keindahan alam yang belum terjamah oleh tangan manusia.
"Akan ke manakah kita, Kangmas?" tanya istri yang masih tetap setia bertekad akan mengikuti suaminya tercinta. "Apakah kau tidak lelah. Kangmas?"
Betapa terharunya hati Elang Sutawinata demi mendengar perkataan istrinya yang masih memperhatikan suaminya walaupun keadaan dirinya sendiri lebih payah. Sebagai wanita, tentunya Ajeng Purnamasari memiliki kekuatan terbalas, berbeda dengan Elang Sutawinata.
"Entahlah. Diajeng. Mungkin di puncak Ciremai sana kita bisa memulai hidup yang tentram." sahut Elang Sutawinata sambil tangannya menunjuk ke arah puncak Ciremai yang berdiri kokoh di depan mereka.
"Kangmas, marilah kita beristirahat dulu di bawah pohon itu," ajak istrinya. Peluh mulai deras mengalir di kening istri tercintanya.
"Baiklah, Diajeng. Aku pun sudah merasa lelah," jawab Elang Sutawinata sambil menuntun kudanya menuju pohon yang rindang di depan mereka.
Keluarga itu lalu berhenti di bawah sebuah pohon yang rindang. Elang Sutawinata lalu menurunkan anaknya dari gendongan istrinya. Setelah itu barulah ia membimbing Ajeng Purnamasari dari atas kudanya. Mereka lalu bersandar di batang pohon itu untuk melepas lelah dengan pandangan kosong menatap jauh ke puncak gunung Ciremai. Sebersit harapan yang belum jelas segera membayang.
Suami istri itu lalu membuka bungkusan makanan yang mereka bawa untuk dicicipi sedikit. Setelah memakan sedikit bekal untuk mengisi perut, mereka segera membungkus kembali makanan itu untuk bekal di perjalanan selanjutnya.
Ajeng Purnamasari lalu meraih si kecil yang masih berada dalam gendongan ayahnya. Si kecil yang diberi nama Parmin itu memang masih belum mengerti apa-apa. Ia tertidur begitu tenang seolah-olah tak ada persoalan apa pun bagi dirinya. Kini ia tertidur di pangkuan ibunya dengan damai.
Setelah cukup lama beristirahat, Elang Sutawinata lalu mengajak istrinya untuk kembali melanjutkan perjalanan. Dengan keyakinan dan doa memohon perlindunganNya, kedua suami istri yang saling setia itu kembali melanjutkan perjalanannya untuk mencapai puncak Ciremai yang menjanjikan sedikit harapan untuk dapat hidup tentram dan damai, jauh dari segala persoalan manusia.
5
Di sebuah hutan yang sangat lebat dan angker, yaitu hutan Geger Pati terdapat segerombolan perampok yang dipimpin oleh seorang bertubuh tinggi besar dan kasar. Kumis dan brewoknya tumbuh lebat menutupi sebagian besar wajahnya.
Tindakan pemimpin gerombolan perampok sangat ganas dan kejam. Tak ada satu pun anak buahnya yang berani melawan maupun membantah bila diperintah oleh sang pemimpin. Sepak terjangnya sungguh tak pandang bulu, siapa saja yang berani melawannya akan dihabisi segera nyawanya tanpa perduli perempuan maupun anak-anak.
Dengan tubuhnya yang tinggi besar dan kasar serta wajahnya yang seram ia menjuluki dirinya sendiri Gembong Kuning Pencabut Nyawa.
Di dalam hutan tersebut terdapat sebuah goa tempat para begundal di bawah pimpinan Gembong Kuning. Dari dalam goa tersebut terdengar gelak tawa yang tak henti-hentinya. Kiranya kawanan perampok itu sedang berpesta pora merayakan keberhasilan mereka setelah beraksi menggondol harta milik saudagar dari desa Lambu Karang, sebelah Utara hutan Geger Pati itu. Bau minuman keras berbaur dengan wangi hidangan yang sedang mereka santap.
Di dalam goa sang pemimpin rampok itu sedang menenggak tuak dan membuang kendi yang sudah kosong, ia berdiri bertolak pinggang sambil tertawa keras terbahak-bahak sambil membentak-bentak.
"Ha ha ha... Japra! Tambah lagi tuakku ini!"
"Baik... baik tuanku!" jawab Japra cepat. Ia segera bergerak dengan cepat mengambil apa yang dimakan oleh majikannya. Sebuah guci besar berisi tuak segera diserahkannya pada Gembong Kuning.
Tiba-tiba Gembong Kuning berdiri dan tertawa terbahak-bahak dengan kerasnya. Suaranya menggema ke seluruh sudut ruangan goa dan memekakkan telinga anak buahnya yang sedang berpesta. Kegembiraan itu terhenti sejenak karena suara sang Gembong yang mengandung tenaga dalam itu telah memotong suasana. Ia terus tertawa tiada henti.
Suara Gembong Kuning terus membahana, melengking tinggi menyengat telinga anak buahnya yang mendengar suara tertawa tersebut. Beberapa anak buahnya yang tidak memiliki kepandaian apa-apa. kecuali tenaga kasar saja lantas menggelosor ke lantai tanpa daya. Sebagian lagi berusaha bertahan dengan menekap telinganya rapat-rapat.
Akibat suara tertawa Gembong Kuning sungguh dahsyat bagi anak buahnya. Mereka yang tak sanggup mendengarnya langsung jatuh pingsan, sebagian lagi berteriakteriak berusaha mengatasi suara tersebut. Beberapa orang tampak mulai mengeluarkan darah dari telinga dan hidungnya.
"Aduuuh, toloooooong...!!" "Kupingku copot, auuuwwww...!" "Ampuuunn, guuusttiiii...!" jerit
si Pincang sambil berguling-gulingan tanpa memperdulikan lagi kakinya yang pincang.
"Aku tidak tahaaan, hentikkaann..!" si Picak terkencing-kencing, sementara telinganya telah mengeluarkan darah tanpa bisa dihentikan.
Suasana di dalam goa menjadi hiruk pikuk dengan jeritan di sana sini, sementara tubuh mereka lantas menerjang ke sana ke mari dalam upaya mengatasi rasa sakit dan nyeri karena pengaruh suara yang menghantam pendengaran mereka tanpa ampun.
Suara kendi-kendi tuak yang jatuh ke tanah, meja-meja yang porak poranda menambah tidak keruan keadaan. Di sudut kanan goa sudah terlihat lima orang bertumpang tindih satu dan lainnya dengan hidung dan telinga mengucurkan darah menahan rasa sakit yang tak terhingga.
Di sudut lain yang hanya diterangi sebuah obor terlihat meja dan kursi serta kendi-kendi tuak sudah berserakan di lantai dengan orang-orang yang menggelepar gelepar seperti ikan mahok.
"Maaak, tolooong...!" suara si Codet meraung-raung berusaha menahan rasa sakit. Tubuhnya telah beberapa kali menimpa tubuh temannya.
"Hentikaaan... Aku tak tahaaan...!" si botak telah meggeliat-geliat di tanah tak kuat menahan siksaan itu.
Beberapa saat keadaan di dalam goa itu sudah tidak menentu. Kegembiraan yang semula mereka rasakan sebelumnya, kini menjadi kacau balau setelah mendengar suara tertawa yang mengandung tenaga dalam begitu tinggi sehingga melumpuhkan urat syaraf mereka yang mendengarkannya.
Setelah merasa puas mempermainkan anak buahnya. Gembong Kuning segera menghentikan tawanya dan terdiam sejenak sambil menenggak tuak sepuas-puasnya.
Dengan berhentinya tawa sang Gembong, berhenti pula siksaan yang mendera anak buahnya. Teriakan serta jeritan mereka berhenti seketika. Sebagian besar di antara mereka sudah berada dalam keadaan tak sadarkan diri. Sebagian lagi berupaya mengembalikan tenaga mereka dengan berbagai cara.
Beberapa lama kemudian, suasana sudah kembali seperti semula. Mereka kembali hanyut dengan suasana pesta pora yang sangat meriah, penuh gelak tawa yang tak berkesudahan. Sepertinya mereka telah melupakan kejadian yang baru saja mereka alami.
Guci-guci tuak dan kendi-kendi arak telah kembali dikeluarkan. Berbagai hidangan pun segera disajikan, mereka segera melahapnya dengan penuh nafsu seperti tak pernah makan sebelumnya.
"Tambah lagi hidangannya!" teriak beberapa orang hampir bersamaan dengan suara sangat keras.
"Jangan lupa tuaknya!" terdengar suara dari sudut kiri goa yang diterangi oleh pelita yang terbuat dari minyak jarak, namun mampu menerangi seluruh isi goa.
"Keluarkan daging kambingnya!" si Buntung tak mau kalah berteriak dari yang lainnya.
"Jangan lupa penghiburnya!" Lodra ikut berteriak. Para pelayan itu adalah tawanan yang dijadikan budak dengan tergopoh-gopoh menyiapkan semua permintaan mereka dengan segera. Budakbudak yang terdiri dari wanita-wanita cantik itu dengan sangat terpaksa menyediakan makanan dan minuman kepada para begundal yang berteriak-teriak itu. Mereka pun tak dapat menghindari tangantangan usil mereka menyelusup ke dalam kutang atau ke celah paha mereka.
"Ayo, manis. Temani Kangmas saja di sini!" kata si pitak sambil mencolek pantat seorang pelayan yang lewat di depannya.
"Dengan aku saja tidurnya, ya, manis," si Bopeng pun tak mau kalah sambil mencium pipi pelayan yang sedang membungkuk di depannya.
"Aku mau kelonan sama kamu, neng," sergah si Sumbing sambil meraba dada budak di depannya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menyambar pantat budak lainnya.
Selagi mereka asyik dengan wanitawanita itu sambil menikmati hidangan serta minuman keras di hadapan mereka, tiba-tiba terdengar kembali suara menggeledek yang membuat mereka terpaksa menghentikan tindakannya. Suasana segera menjadi sunyi seketika.
"Hei, anak buahku! Lihatlah ke mari semuanya!"
Gembong Kuning kembali mengejutkan anak buahnya dengan teriakannya itu. Mereka menoleh secara bersamaan ke arah suara yang baru datang itu.
Para begundal itu melihat Gembong Kuning berdiri dengan seguci tuak di tangannya. Diminumnya tuak tersebut langsung dari mulut guci. Untuk sesaat ia berkumur-kumur, lalu disemburkannya tuak dari dalam mulutnya ke udara.
Sungguh mengagumkan. Dengan menggunakan tenaga panas dari dalam tubuhnya. Gembong Kuning telah menjadikan tuak yang tersembur dari mulutnya itu menjadi api yang berkobar-kobar sehingga seluruh ruangan goa tersebut menjadi terang benderang.
Kiranya Gembong Kuning kembali memamerkan keahliannya di hadapan anak buahnya. Para begundal itu memandangi dengan perasaan kagum, takut, dan juga bangga terhadap pemimpin mereka. Setelah puas dengan permainannya. Gembong Kuning kembali berteriak.
"Ayo, anak-anak! Kita rayakan pesta ini sampai pagi!"
Mendengar aba-aba dari sang pemimpin, anak buahnya segera menyambut dengan teriak-teriakan riuh bersemangat.
"Hidup Gembong Kuning!" teriak si Picak bersemangat.
"Hidup sang pemimpin!" sahut yang lainnya.
"Gembong Kuning tetap jaya!" teriak si Pincang bersemangat sambil menenggak tuaknya. Ia lupa pada luka di telinganya yang masih mengeluarkan darah. Teriakannya segera disambut oleh temantemannya dengan bersemangat. Mereka berjingkrak-jingkrak tak keruan seperti orang kehilangan akal sehat.
"Hidup! Hidup! Hidup! Horreeee...
Horrreeee...!"
Sorak sorai mereka bertambah riuh ketika melihat Gembong Kuning melambailambaikan tangannya menambah semangat. Sambil menenggak tuak tangan kanan Gembong Kuning menyusup masuk ke dada seorang wanita cantik yang berada dalam pelukannya. Tampak ia meremas-remas beberapa saat di dalam, lalu tangannya bergerak turun. Wanita itu tampak meringis kesakitan dan juga ketakutan, tetapi ia sama sekali tak berdaya apaapa.
Melihat kelakuan sang pemimpin, yang kini bertambah gila dengan menyelomoti leher wanita itu dengan penuh nafsu, anak buahnya ikut mencontohnya. Mereka segera meraih budak terdekat untuk diperlakukan seperti itu. Beberapa orang tampak sudah bergerak-gerak tak keruan dalam keadaan tengkurap di pojok-pojok goa.
Sungguh malang nasib wanita-wanita tawanan yang dijadikan budak tersebut. Mereka hanya bisa meronta-ronta dan berteriak-teriak diperlakukan seperti binatang. Namun perbuatan mereka justru menambah nafsu para pemerkosanya.
Sementara di tengah maksiat yang tengah berlangsung di ruangan goa itu, ada sebuah ruangan khusus tertutup di balik dinding goa yang memang disediakan Gembong Kuning untuk suatu acara khusus yang sengaja ia persiapkan untuk menyenangkan hati anak buahnya.
Tiga orang wanita penghibur tampak berbincang-bincang dengan genit di ruangan itu. Mereka hampir tak berpakaian sama sekali. Hanya beberapa carik kain tipis yang tembus pandang yang menutupi bagian-bagian tertentu dari tubuh mereka. Wajah yang telah dipoles dengan bedak dan gincu yang tebal menambah seronok penampilan mereka.
Ketiga wanita itu bertubuh montok menggiurkan, dengan buah dada yang membusung menantang dan pinggul yang melebar indah yang mampu merontokkan iman lelaki yang melihatnya. Masing-masing menggunakan kain penutup dengan warna yang khas.
Salah satu di antara mereka bernama Jamilah. Ia hanya mengenakan secarik kain tipis tembus pandang berwarna merah menyala yang hanya menutupi bagian di antara kedua belah pahanya yang membayangkan warna hitam penggoda imajinasi lelaki yang menatapnya. Di dadanya ia hanya menempelkan dua carik kain tembus pandang, sewarna dengan yang menutupi bagian vital nya.
Satunya lagi mengenakan kain tipis berwarna kuning dengan tali melilit di pinggangnya. Kain tipis tembus pandang itu pun sepertinya hanya menempel di balik bayangan hitam di antara kedua belah pahanya, demikian pula dengan bagian dadanya. Alis matanya dicukur membentuk garis tipis memanjang. Pinggulnya ramping dengan pinggang yang melebar ke bawah, kulitnya kuning langsat. Ia bernama Lastri Sari.
Wanita satunya lagi punggungnya bongkok udang. Namanya adalah Anggun Puspa. Betisnya indah seperti padi bunting, dengan kuku-kuku kaki yang panjang dan diberi pewarna merah. Rambutnya terurai sebatas pinggang.
Seperti kedua wanita penghibur lainnya, ia pun hanya mengenakan kain tipis tembus pandang berwarna merah menyala di bagian antara kedua belah pahanya yang juga membayangkan setumpuk warna hitam. Dadanya ditutup dengan dua buah pita berwarna merah menyala yang melintang sampai ke bahu.
Ketiga wanita itu sedang berbincang-bincang tentang apa saja yang akan mereka lakukan di hadapan begundalbegundal anak buah Gembong Kuning. Mereka cekikikan sendiri membayangkan apa yang akan mereka lakukan nanti.
"Akan kubuat mereka sampai ileran melihatku," kata Lastri Sari.
"Kalau aku tak akan memberikan kesempatan untuk mereka bernafas," sahut Jamilah tak mau kalah.
"Aku akan bikin mereka menggelosor untuk mereka memegang tongkat antik masing-masing." sahut Anggun Puspa sambil tertawa cekikikan.
Sementara itu di ruangan goa, para begundal anak buah Gembong Kuning semakin parah keadaannya. Mereka tengah mengumbar maksiat dengan para budak wanita yang mereka paksa untuk melayani nafsu mereka. Di salah satu sudut terlihat si Botak yang jalannya sudah goyang karena terlalu banyak minum tengah merayu seorang pelayan yang lewat di depannya.
Dengan nafas terengah-engah di Botak meraih pelayan wanita itu dan kemudian melumat bibirnya dengan penuh nafsu. Wanita itu meronta-ronta tak berdaya, sementara tangan si Botak mulai menyibak kain wanita tersebut. Kasihan wanita itu, padahal baru saja ia selesai dipaksa melayani nafsu begundal lainnya.
Namun baru saja tangan si Botak meraih apa yang diinginkannya, tiba-tiba terdengar suara teriakan Gembong Kuning menghentikan perbuatannya.
"Anak-anak. sekarang kalian dengarkan aku! Sebentar lagi kalian akan memperoleh pertunjukan yang sangat menarik, nantikanlah. Japra! Cepat panggil mereka!"
Dengan hati mendongkol si botak terpaksa menghentikan perbuatannya, sementara budak itu cepat-cepat berlari menyelamatkan diri. Orang yang dipanggil Japra itu pun segera berlari ke ruangan di balik dinding tersebut.
Mendengar kata-kata tersebut, semua yang ada di dalam goa tersebut menjadi girang bukan kepalang. Mereka semua adalah lelaki-lelaki kasar yang setiap harinya berurusan dengan kekerasan, wajarlah bila mereka jadi haus dengan bentuk-bentuk hiburan semacam itu. Mereka tahu apa yang dimaksudkan oleh sang pemimpin, karenanya mereka segera menyambut dengan perasaan yang sangat gembira.
Terdengar tepukan-tepukan tangan dan suara teriakan serta suit-suitan di sana sini. Keriuhan itu seolah tak ada henti-hentinya.
Plok....! Ploookk..! Ploook...! "Cepat. Japra!"
"Ayo, Japra, segera panggil mereka, aku sudah tak sabar menanti-nanti dari tadi...!"
"Cepatlah, montok! Aku sudah tak sabar ingin menelanmu bulat-bulat!"
"Ayolah, manis! Keluarlah segera!"
Teriakan-teriakan itu semakin menjadi-jadi diiringi tepukan-tepukan tangan ketika tiga orang penari bahenol itu ke luar berbaris. Mata mereka melotot seolah akan ke luar dari tempatnya ketika melihat kemontokan penari-penari yang dipanggil oleh Gembong Kuning itu. Masing-masing berusaha untuk bisa lebih dekat melihat dan memegang bagian apa saja dari para wanita itu. Apa saja bagian tubuh penari-penari itu langsung menjadi sasaran tangan-tangan jahil dibarengi dengan teriakan-teriakan manja menggoda dari wanita-wanita penghibur itu. Suasana yang sudah kacau itu menjadi semakin kacau, mereka langsung berdesakdesakan satu sama lain.
"Tenang! Tenang! Beri mereka jalan!" teriak Japra berusaha mengatasi keadaan.
"Minggir! Minggir, biarkan si bahenol lewat!"
"Beri jalan, hei, beri jalan!" yang lain segera menimpali dengan berteriakteriak.
Suasana yang sudah kacau itu bertambah kacau dengan adanya teriakanteriakan itu. Akhirnya Gembong Kuning sendiri yang berteriak untuk mengatasinya.
"Minggir semuanya!" bentak Gembong Kuning menggelegar. Dengan seketika keriuhan itu dapat teredam. Anak buahnya dengan patuh memberi jalan untuk wanitawanita penghibur yang berjalan dengan lagak yang centil dan genit seolah-olah menantang kejantanan setiap lelaki yang melihatnya.
Dengan berlenggak-lenggok, mereka berjalan melewati para begundal itu dan langsung menuju ke arah Gembong Kuning yang telah berdiri dengan tangan terentang seolah akan merangkul mereka bertiga. Ketiga penghibur itu langsung berdiri berjejer mengapit Gembong Kuning yang bergaya dan berlaku seolah raja besar saja.
Dua orang budak wanita berdiri di samping Gembong Kuning yang tengah diapit wanita-wanita penghibur itu. Mereka berdiri sambil memegangi sebuah kipas bertangkai panjang dengan hiasan-hiasan yang terbuat dari bulu burung merak yang indah.
"Kalian semua! Buatlah lingkaran!" kembali terdengar Gembong Kuning memberi perintah yang segera dipatuhi oleh anak buahnya. Mereka segera berlarian membentuk sebuah lingkaran besar dengan bagian tengah kosong, yang akan dipergunakan sebagai panggung nantinya.
Setelah lingkaran itu terbentuk. Gembong Kuning mencium ketiga wanita penghibur itu sambil tangannya bergerak memegang bagian-bagian tertentu mereka. Terakhir tangannya bergerak menepuk pantat ketiga wanita itu. Mereka lalu berjalan berlenggak lenggok memasuki arena.
Tetabuhan gendang segera terdengar bertalu-talu mengiringi para penari tersebut. Mula-mula gerakan tarian mereka begitu lemah gemulai dengan goyangangoyangan yang merangsang menggoda iman.
Ketiga wanita penghibur itu lalu melakukan gerakan-gerakan seperti orang sedang melakukan hubungan intim. Dari perlahan, gerakan mereka bertambah cepat seiring dengan bertambah cepatnya irama tabuhan gendang. Mereka lantas berputarputar dan bergoyang sambil mengangkat kepalanya tinggi seperti sedang mencapai kepuasan yang tiada taranya.
Mata para penonton mengikuti gerakan-gerakan para penari tersebut dengan mulut menganga membayangkan diri sendiri sedang berada dalam pelukan para penari itu.
Suasana bertambah riuh ketika para penari itu merubah gerakan tarian mereka. Ketiga penari tersebut mendadak duduk dengan paha terlipat, mereka lantas menggoyang-goyangkan tubuh mereka sambil mengepalkan tangan dan menghunjamkannya ke belahan paha mereka, berbuat seperti orang sedang merancap.
Tentu saja hal itu semakin menambah riuh suasana. Teriakan-teriakan segera terdengar di sana sini ditingkahi suarasuara suitan yang melengking tinggi.
"Goyang teruuus! Kibul teruuus...!" "Tancap terus... sampai
jebooollllll...!"
"Oh. surga! Kau begitu dekat, uuu uhhhhhh...!"
Para penonton yang terdiri dari kawanan rampok tersebut tak hentihentinya memberi semangat, sehingga para penari itu semakin bergairah menari seperti orang kesurupan. Tampak beberapa orang sudah tak dapat menahan nafsunya lagi, mereka segera menghampiri penari tersebut dan mulai berbuat usil, diikuti oleh yang lainnya.
Para penari itu pun tak tinggal diam, dengan lincahnya mereka bergerak menghindar, tetapi sekaligus melakukan gerakan yang tambah merangsang. Hal tersebut semakin membuat penontonnya bertambah gemas dan pusing, tetapi mereka tak pernah berhasil merengkuh para penari tersebut. Akhirnya mereka mencari pelampiasan dengan mencari kembali budakbudak wanita yang kini tengah bersembunyi di dapur.
Segera terulang kembali kemaksiatan di tempat tersebut. Gembong Kuning memandangi tingkah laku anak buahnya sambil tertawa-tawa keras. Pesta itu berlangsung sampai pagi, sampai akhirnya mereka kelelahan sendiri dalam keadaan tak keruan, bergelimpangan di sana sini, baik para begundal itu maupun wanita yang menjadi korbannya. Ketiga wanita itu pun sudah menggeletak tak keruan di beberapa tempat. Gembong Kuning sudah tak terlihat lagi.
6
Memasuki Minggu kedua dalam perjalanannya yang tak menentu itu. Elang Sutawinata dan istrinya tiba di sebuah dataran luas di kaki Ciremai sambil menggendong anaknya. Terlihat suatu pemandangan indah dataran tersebut, di kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon besar yang rindang. Mereka melangkah gontai dengan pakaian lusuh penuh debu.
Tidak jauh dari tempat mereka berjalan, di balik semak-semak terdengar suara orang berbisik-bisik.
"Lodra, rasanya tak ada gunanya mereka kita begal! Mereka hanya pengembara gelandangan yang tak punya apa-apa," suaranya pelan hampir tak kedengaran.
"Aku tak menghendaki harta bendanya, aku hanya ingin perempuan di atas kuda itu," jawab Lodra sambil matanya terus mengawasi calon mangsa di depannya. Mereka ternyata adalah anggota kawanan perampok di bawah pimpinan Gembong Kuning. Wajah mereka tampak amat
seram dengan mata yang bersinar jalang. "Sudah satu Minggu lebih aku tak
melihat perempuan. Bantar, kau hajar lelakinya sementara aku mengerjai perempuan itu!" kata Lodra pada temannya yang segera menganggukkan kepala tanda setuju.
Sementara itu Elang Sutawinata dan istrinya terus berjalan menelusuri tanah berbatu-batu kerikil, sehingga langkah mereka menjadi sangat lambat apalagi harus menuntun seekor kuda yang ditunggangi oleh anak mereka yang masih kecil itu.
"Kangmas, tiba-tiba perasaanku tidak enak. Aku takut, Kangmas," ujar istrinya dengan sinar mata ketakutan.
"Tenanglah, Diajeng. Berdoalah semoga tak terjadi apa-apa dengan diri kita." kala Elang Sutawinata berusaha menenangkan hati istrinya.
"Tapi, Kangmas, aku takut." "Tenanglah. Diajeng," Memang hati Elang Sutawinata pun merasakan akan datangnya bahaya. Telinganya lapat-lapat menangkap suara daun-daun yang tergeser oleh benda bergerak dengan cepat.
"Apa boleh buat! Barangkali mereka hendak membegalku. Rawe-Rawe rantas, malang-malang putung!" desah Elang Sutawinata pada dirinya sendiri. Bersamaan dengan itu berkelebatlah dua sosok bayangan dari semak-semak belukar yang langsung menghadang langkah Elang Sutawinata.
"Heyaaaah... Berhenti!" bentak Lodra keras, sementara Bantar telah siap siaga dengan golok di tangan kanannya.
"Oh, awas Kangmas! Mau apa orangorang ini?" tanya istrinya dengan perasaan terkejut dan khawatir.
"Hai, apa yang kalian kehendaki!" tanya Elang Sutawinata tegas sambil menatap kedua orang itu dengan tatapan penuh selidik.
"Ha ha ha... Perempuan itu cantik dan manis, persis seperti buah yang ranum. Agaknya keturunan orang keraton," kata Lodra sambil melangkah menghampiri Ajeng Purnamasari.
Berbarengan dengan selesainya Lodra bicara, Bantar pun segera menerjang Elang Sutawinata tanpa banyak bicara. Goloknya membabat keki Elang Sutawinata, tetapi dengan gerakan cepat Elang Sutawinata melompat ke belakang untuk menghindar. "Yeeaahh...!" Elang Sutawinata
bersalto beberapa kali sehingga tali kuda yang dipegangnya terlepas dan kuda itu pun meringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya ke atas. Hal tersebut mengakibatkan anaknya, Parmin yang baru berumur dua tahun menangis ketakutan.
"He he he... Mari manis. Mari sayangku...!" kata Lodra sambil berusaha memeluk Ajeng Purnamasari yang membelalak ketakutan melihat kejadian di depan matanya itu.
"Tolong! Jangan sentuh aku, bajingan!" teriak Ajeng Purnamasari meronta-ronta dari pegangan tangan Lodra yang tengah memeluk tubuhnya dengan pegangan yang kuat dan kokoh.
"Binatang kau! Jahanam, lepaskan aku...!" jerit Ajeng Purnamasari mengumpat begundal itu, ia terus berusaha melepaskan diri dari pelukan Lodra. Suatu ketika tangannya berhasil mencakar wajah Lodra sehingga pelukan penjahat itu sempat terlepas beberapa saat. Lodra memegangi wajahnya yang berdarah.
"Adddaaauuuww...! Galak betul kau!" teriak Lodra berusaha menahan sakit. Tetapi luka di wajahnya itu tak membuatnya surut, ia malah semakin bernafsu mengejar Ajeng Purnamasari yang saat itu telah berlari menjauhinya. Pada saat yang sama tampak Elang Sutawinata sedang sibuk bertarung dengan Bantar yang terus saja mencecarnya dengan golok di tangan. Ia memberikan perlawanan dengan gigih terhadap lawan, sekalipun tangannya sama sekali tak bersenjata.
"Ciaaattt...!"
"Moddiaarrrr kau...!" maki Bantar sambil mengayunkan goloknya dengan keras ke arah Elang Sutawinata.
"Haaaiiit...!" Elang Sutawinata tak menjadi gugup karenanya. Ia bungkukkan tubuh sedikit ke depan, kemudian kakinya bergerak mengirim tendangan keras mengarah ke dada Bantar yang tak terjaga.
Buk ..!
Kaki Elang Sutawinata mendarat tepat di dada Bantar. Seketika itu juga Bantar terpental beberapa langkah ke belakang sementara dari mulutnya menetes darah segar.
Beberapa detik lamanya Bantar berkonsentrasi untuk membersihkan darah yang masih meleleh di bibirnya akibat tendangan Elang Sutawinata tadi. Bantar lalu memandang musuhnya dengan sorot mata tajam, ia kembali menyerang dengan sabetan-sabetan goloknya yang disertai nafsu membunuh yang sangat besar.
"Mampus kau, monyet!" bentak Bantar dan goloknya membabat pinggang serta kaki Elang Sutawinata yang terus menghindar dengan lompat-lompatan dan sekali-sekali membalas dengan tendangan-tendangan maut. Setiap kali Bantar membabatkan goloknya yang terkena hanyalah dahan dan ranting pohon di sekitarnya saja. karena Elang Sutawinata mampu menghindar dengan
cepat.
Dengan bernafsu Bantar terus menyerang Elang Sutawinata dengan keinginan membunuh yang sangat besar. Serangan yang gencar itu menimbulkan suara berkesiulan yang nyaring ditingkahi teriakan dan bentakan Bantar. Hal itu mampu membuat Elang Sutawinata bergidik diam-diam.
Elang Sutawinata kewalahan menghadapi serangan-serangan yang dilontarkan Bantar secara bertubi-tubi, sementara konsentrasinya pun harus terpecah mendengar teriakan-teriakan istrinya yang berteriak minta tolong karena perbuatan Lodra yang benar-benar tak berperikemanusiaan.
Saat itu Lodra sedang bergumul untuk melampiaskan nafsu setannya, sementara Ajeng Purnamasari berusaha untuk mempertahankan dan melepaskan diri. Dengan nafsu yang telah merasuki jiwanya, Lodra berhasil menyibak kain Ajeng Purnamasari dan hampir berhasil melampiaskan nafsu iblisnya.
Namun sedetik lebih cepat dari tindakannya, tiba-tiba tubuh Lodra terpental sambil mengeluarkan suara rintihan. Ia terus menggelepar, menggeliat dibarengi darah yang menyembur dengan deras dari batok kepalanya yang retak.
"Ehhk...! Eechk.. Ehhkkk...!" terdengar suara Lodra tertahan-tahan dalam keadaan sekarat. Sejenak kemudian tampak ia memegangi kepalanya sendiri, untuk kemudian terpaksa melepaskan nyawanya pergi begitu saja.
Bersamaan dengan itu sesosok bayangan tampak melayang seakan-akan turun dari langit. Bayangan itu begitu ringan menjejakkan kakinya ke tanah tanpa mengeluarkan suara apa pun. Bahkan tak ada bekas debu beterbangan karena kedatangannya saking ringannya ia turun.
Sementara itu Elang Sutawinata masih sibuk melayani Bantar yang terus menyerang dengan membabi buta. Suatu ketika, karena berulangkali didesak tanpa kesempatan membalas, apalagi ia tak bersenjata. Elang Sutawinata terpojok. Keadaannya sungguh kritis, ia tak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menghindar, nyawanya sudah berada di ujung golok Bantar. Tepat pada saat itu bayangan tadi kembali berkelebat dengan disusul jeritan tertahan dari Bantar.
"Akkh...!" Tubuh Bantar pun ambruk ke tanah dengan balok kepala retak. Tubuhnya kaku tak bernyawa setelah itu, menyusul temannya yang telah mati lebih dulu.
"Oh, siapakah yang telah menolong jiwaku?" gumam Elang Sutawinata menyadari bahwa nyawanya lelah diselamatkan oleh orang lain.
Bayangan itu kembali menjejakkan kakinya setelah bersalto beberapa kali di udara, ia kini telah berada di hadapan Elang Sutawinata yang masih berdiri keheranan.
"Kangmas kau tidak apa-apa?" sapa Ajeng Purnamasari yang telah membereskan pakaiannya dan menurunkan anaknya dari atas punggung kuda yang membawanya.
"Tidak, Diajeng. Bagaimana dengan kau, tidak apa-apakah kalian?" tanya Elang Sutawinata dengan nada khawatir sekali pun ia melihat sendiri bahwa istri dan anaknya memang tak kurang suatu apapun. Ia kembali menengok kepada sang penolong yang masih berdiri tegak di hadapannya.
Orang itu bertelanjang dada, dengan demikian tampaklah dadanya yang bidang, ia hanya mengenakan celana pangsi berwarna hitam sebatas betis dengan kaki beralaskan terompah tipis. Sehelai kain sarung berwarna hitam dengan garis-garis putih melilit di lehernya. Rambutnya terurai sebatas bahu dengan kumis tipis yang terawat rapi, menyatu dengan jenggot yang sudah memutih pula.
Rambutnya yang dibiarkan terurai serta kain sarung yang melilit di lehernya itu berkibar-kibar tertiup angin. Sekalipun kulitnya telah menunjukkan keriput ketuaan, namun jalur-jalur otot di lengannya masih kukuh menampakkan diri. Sorot matanya tajam menatap Elang Sutawinata dan istrinya, tetapi di balik ketajaman pandangan itu terselip keramahan dan kebajikan yang tersembunyi. "Terima kasihku yang tak terhingga,
tuan pendekar. Kalau tak karena pertolongan tuan, tentunya kami sudah jadi korban keganasan para perampok itu," ujar Elang Sutawinata memberi hormat.
"Ah, anda terlalu berlebihan," jawabnya merendah. "Berbahaya sekali menempuh perjalanan di tempat seperti ini," sambungnya mengingatkan. Elang Sutawinata bersikap sangat hormat sambil membungkukkan badan seperti layaknya adat dan tata cara orang Keraton.
"Terima kasih, pendekar. Kami memang sedang berkelana tanpa tujuan. Lantas dengan apa kami dapat membalas budi baik yang telah tuan pendekar berikan pada kami. Kami sungguh tidak tahu, nama saya Elang Sutawinata dan ini istri serta anak saya." "Hmmm, jika anda berkenan, bolehkah kami tahu siapa gerangan tuan pendekar ini?" tanya Elang Sutawinata lagi.
"Hmm. orang biasa memanggilku Ki Sapu Angin." jawabnya singkat. Kalimat berikut yang diucapkannya sungguh mengejutkan suami istri itu.
"Ah, sejak tadi aku tertarik pada si kecil ini! Sangat berbahaya menempuh perjalanan di gunung bersama dengan seorang anak seusia dia. Oleh karena itu, lebih baik berikanlah dia padaku. Aku akan mendidiknya menjadi seorang pendekar pilih tanding kelak."
"Oh...!" seru Ajeng Purnamasari terkejut.
Beberapa saat lamanya kedua suami istri itu saling memandang seakan-akan mereka sedang berunding untuk mengambil satu keputusan. Ajeng Purnamasari hanya terdiam saja memandang suaminya, pertanda bahwa ia menyerahkan segala keputusan di tangan suaminya.
Akhirnya dengan berat hati sekali suami istri itu melepaskan anaknya dan menyerahkannya pada Ki Sapu Angin dengan rasa percaya yang besar bahwa anak mereka akan tumbuh selamat dan aman di tangan pendekar tersebut. Ki Sapu Angin terus berlalu seperti angin, sesuai dengan nama kependekarannya. Apa boleh buat! Barangkali memang sudah suratan takdir bahwa mereka harus berpisah dengan anaknya.
Belajarlah berpisah dengan kecintaanmu, karena suatu ketika ini pasti terjadi di dalam hidupmu, bertemu dan berpisah. Itulah roda kehidupan yang akan terus berputar.
Elang Sutawinata meneruskan ceritanya. Parmin, Sri Ayu dan Kaswita tetap mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kemudian kami terus mengembara sampai ke puncak Ciremai ini. Selama dua puluh tiga tahun kami mengasingkan diri dari dunia ramai dan segala urusan duniawi. Kami pun tak pernah lagi mendengar kabar tentang keadaan keraton Kanoman. Kemudian di puncak Ciremai ini kami kembali dikaruniai dua orang putra dan putri, yaitu Sri Ayu dan Kaswita."
"Sayang istriku telah berpulang ke Rahmatullah ketika anak-anak menginjak usia remaja. Tetapi hari ini adalah saat penuh kegembiraan melihat kembalinya anakku yang pertama," Elang Sutawinata berhenti sesaat sambil memandangi Parmin. "Dia... dia kini telah menjadi seorang pendekar perkasa dan shaleh sesuai dengan janji Ki Sapu Angin dulu. Aku sangat berterima kasih terhadap pendekar tersebut. Dia telah menggembleng anakku, anakku yang berusia dua tahun itu kini telah dewasa dan kembali kepadaku. Dia adalah... Parmin Sutawinata. Sayang istriku tidak dapat melihat kembalinya anak yang selama dua puluh tiga tahun dirindukannya. Hmmm, sayang sekali. Tetapi aku bersyukur ke hadirat Ilahi dengan pertemuan ini, aku bangga melihatnya." ucap Elang Sutawinata mengakhiri cerita masa silamnya.
"Jadi... jadi bapak adalah...?" sergah Parmin dengan terputus-putus menahan rasa gembira, haru, dan juga bangga bercampur menjadi satu.
"Parmin, anakku!" seru Elang Sutawinata tak tahan lagi menahan kerinduannya.
"Ayaah...!" seru Parmin menubruk kaki Elang Sutawinata memberi hormat, memberi sembah sebagaimana layaknya seorang anak terhadap orangtua nya.
Air mata keharuan tertumpah seakanakan berhasrat menyaingi tumpahnya air hujan, suasana di rumah itu menjadi haru dan penuh kegembiraan. Parmin pun segera memeluk adik-adiknya dengan kegembiraan dan keharuan yang meluap-luap. Tangis keharuan yang bercampur kegembiraan terdengar membahana mewarnai suasana yang tercipta dalam pertemuan anak beranak dan saudara itu.
"Ohh, kakang... Maafkanlah kelakuan kami tadi terhadapmu," kata Sri Ayu dan Kaswita hampir berbarengan di antara isak tangis kegembiraan mereka.
"Ah, tak apa-apa, adikku. Kakang malah bangga punya adik-adik tangkas dan gesit seperti kalian. Apalagi kalian punya sifat saling membela," sahut Parmin sambil memeluk erat-erat kedua adiknya.
Malam pun merambat semakin kelam, tetapi gelak tawa yang terdengar dari pondok tersebut terus saja membahana. Agaknya mereka menyelingi pertemuan tersebut dengan cerita-cerita lucu.
Keesokan harinya di tepi kepundan Ciremai yang sangat indah berdiri tafakur ketiga orang kakak beradik yang tengah menekuri sebuah nisan.
"Ibu, semoga ibu dapat beristirahat dengan tenang. Anakmu datang mengunjungi dengan panjatan doa ke hadirat Ilahi. Semoga Allah menerima ibu di sisiNya dan memberi pula rahmat bagi yang ditinggalkan... Amien!" Parmin menundukkan kepalanya di makam ibunya, ia lalu berdiri menghampiri adik-adiknya.
"Adik-adikku, kalian lebih beruntung dapat melihat wajah ibu sampai akhir hayatnya. Aku hanya bisa membayangkan samar-samar wajah ibu dua puluh tiga tahun yang lalu."
Setelah seminggu lamanya Parmin menetap bersama ayah dan adik-adiknya yang baru saja ia ketemukan, Parmin merasa sudah tiba saatnya baginya untuk meneruskan perjalanan menyelesaikan tugas mulia dari Ki Sapu Angin. Ia pun segera minta diri dari hadapan orang tua dan adik adiknya.
"Tugasmu itu sungguh mulia, anakku. Berangkatlah dan jangan merasa berat hati meninggalkan kami karena tugas ini menyangkut kepentingan bangsa. Ayahmu pun dulu pergi dari keraton Kanoman karena tak setuju dengan penjajahan itu!" Elang Sutawinata menghapus keraguan Parmin dengan ucapannya yang mengandung semangat patriot itu.
"Ananda pamit, ayah," ujar Parmin sambil berdiri mencium tangan ayahnya.
"Doaku selalu mengiringi perjalanan mu, anakku!" sahut Elang Sutawinata penuh haru. Parmin meninggalkan ayah dan adikadiknya dengan langkah mantap diiringi pandangan bangga dari mereka.
Sri Ayuningrum dan Kaswita mengamati Jaka Sembung sampai ke lereng kepundan Ciremai, di mana terlihat jauh di bawah sana daerah Kuningan, daerah yang paling dekat dengan tempat itu.
"Sudahlah adik-adikku, kurasa kalian cukup mengantar sampai di sini saja. Selamat tinggal, adik-adikku. Patuhilah segala nasehat ayahanda. Jika tiba waktunya kalian berdua tentu diizinkan turun gunung pula."
"Adikku, Sri Ayu. Kau adalah pengganti ibu kita, rawatlah ayahanda baik-baik. Kita beruntung masih memiliki seorang ayah," ucap Parmin memberi pesan kepada adik-adiknya, ia lalu mencium kening Sri Ayuningrum yang tampak menangis sedih.
"Selamat tinggal, adik-adikku.
Sampai bertemu lagi, sayang."
"Selamat jalan, Kakang Parmin. Berhati-hatilah di jalan! Jaga diri baikbaik," kata kedua adiknya.
Parmin lalu melangkah meninggalkan adik-adiknya yang memandangi dengan perasaan bangga, haru dan juga sedih karena harus berpisah dengan kakak yang baru saja mereka ketemukan lagi setelah sekian tahun mereka tak tahu bahwa mereka masih memiliki kakak
Betapa bangganya mereka memiliki kakak seperti Parmin alias Jaka Sembung yang merupakan seorang pendekar gagah dan shaleh, yang saat ini tengah memperjuangkan kemerdekaan bangsanya yang sedang terjajah oleh bangsa asing.
Jaka Sembung terus melanjutkan perjalanannya menuruni lereng Gunung Ciremai sebelah Selatan untuk menuju tanah Pasundan.
Peristiwa apa lagi yang akan dialaminya?
Keganasan gerombolan pendekar sesat siap menghadang perjalanannya, mampukah ia menghadapinya?!
Nantikan judul serial Jaka Sembung selanjutnya yang berjudul: MENUMPAS GEROMBOLAN LALAWA HIDEUNG
T A M A T