Senja Jatuh di Pajajaran Jilid 23

Jilid 23  

Ginggi dan Purbajaya cukup lama menunggu. Namun pada suatu saat ada terdengar bunyi gong dipukul lambat-lambat beberapa kali. Ginggi menengok ke selatan. Bukan atap istana dengan latar belakang Puncak Gunung Salak yang tengah ia saksikan, melainkan adanya sebuah iring-iringan kecil yang baru keluar dari sebuah pintu berukir dengan warna emas itu.

Ginggi berdebar, ternyata iring-iringan itu duapuluh perwira kerajaan yang berpakaian gagahgagah tengah mengawal seorang lelaki tampan nan elok.

"Sang Prabu Ratu Sakti…" gumam Ginggi tak terasa. Inilah untuk yang ketiga-kalinya pemuda itu menatap Raja Pajajaran yang banyak diperbincangkan orang karena tindakan dan kebijaksanaannya banyak mengundang pro dan kontra itu.

Sang Prabu melangkah lambat-lambat namun mantap dan pasti. Ada suara gemerincing merdu ketika Raja tampan berkumis tipis itu melangkahkan kaki. Itu karena gelang-gelang emas yang tersusun di sepasang kakinya bergerak saling beradu ketika kaki itu melangkah. Suara gemerincing kaki Raja pun disambut gemerincing lain. Suaranya kurang begitu nyaring. Dan suara itu keluar dari gelang-gelang perak yang menghiasi kaki-kaki para pengawalnya.

Namun melihat duapuluh pengawal raja yang berjalan di belakang, Ginggi jadi ingat beberapa pengakuan. Ki Banaspati dengan yakinnya mengabarkan padanya bahwa di sekeliling Raja kini sudah berdiri orang-orang yang berada di bawah pengaruhnya. Belakangan Purbajaya pun berkata bahwa hampir separuh dari pengawal Raja yang bertugas hari ini kesetiaannya sudah berpaling dari Raja. Lalu, apakah yang dilakukan Ki Banaspati juga sama dengan apa yang dikatakan Purbajaya?

"Engkau juga bersekutu dengan Ki Banaspati?" tanya Ginggi tadi pagi sebelum berangkat, tapi Purbajaya menggelengkan kepalanya. Ini hanya menandakan bahwa pemuda itu tak ada keterkaitan dengan Ki Banaspati. Dan kalau benar begitu, maka apa yang disebut Purbajaya tidak sama dengan apa yang dikatakan Ki Banaspati. Artinya lagi, bahwa para pengawal raja semakin terpecah-pecah. Satu kelompok ikut Ki Banaspati dan satu kelompok lainnya juga sama memalingkan kesetiaannya. Tapi mereka ikut siapa? Apakah Purbajaya juga ikut kelompok kedua ini atau berdiri sendiri? Berkerut alis Ginggi memikirkannya.

Di Pakuan ini terlalu banyak rahasia. Apa yang dilihat mata belum tentu itu yang sedang berlangsung. Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta kendati selalu nampak paling setia dan paling banyak bekerja untuk "memajukan" Pakuan, padahal terbukti, di benak mereka penuh dengan rencana dan tujuan yang bertolak belakang dengan sangkaan Raja. Sekarang Purbajaya, pemuda tampan, jujur dan tidak terlalu banyak tingkah, belakangan diketahui Ginggi seperti tengah memendam hal-hal tertentu.

"Kalau kau mampu, maka di Balai Penghadapan Raja inilah kau laksanakan tugasmu!" kata Purbajaya tadi pagi. Ini hanya punya arti bahwa pemuda itu setuju Raja dibunuh. Siapa pemuda ini dan dari kelompok manakah?

Ancaman pada Raja Sang Ratu Sakti sudah memasuki ruangan paseban. Purbajaya serentak menyembah takzim. Ginggi pun ikut menyembah hormat, namun selintas dia melihat lirikan Purbajaya ke arahnya. Berdesir lagi darah di urat-urat nadi Ginggi. Lirikan Purbajaya penuh arti. Apakah ini sebuah isyarat agar Ginggi melakukan tugas seperti apa yang dikatakan Ki Banaspati?

Sang Prabu berjalan lambat ke arah kursinya, sedangkan di belakang, duapuluh perwira melangkah rapih dengan jarak hampir tiga tindak di belakang Sang Prabu. Kalau Ginggi mau, dengan satu loncatan dia bisa menerkam dan mencengkram wajah atau leher Sang Prabu.
Dalam satu gerakan saja mungkin sudah berhasil membunuh Raja. Mungkin separo dari para perwira benar-benar pengawal setia dan akan balas menyerang. Tapi sudah dipastikan Raja tak akan bisa diselamatkan. Dan Ginggi akan selamat meloloskan diri dengan mudah sebab separo dari para pengawal tidak akan bernafsu membalas perlakuan Ginggi.

Ginggi dan Purbajaya selesai menyembah ketika Sang Prabu sudah duduk dengan tegak di kursi indah berukir itu. Purbajaya nampak menghela napas sambil sedikit melirik ke samping di mana Ginggi duduk bersila.

"Engkaukah yang bernama Ginggi, ksatria tangguh yang akan segera diangkat Pamanda Yogascitra sebagai pembantu utama di purinya?" tanya Sang Prabu dengan suara halus namun nyaring.

"Hamba hanya sekadar pembantu biasa saja, Paduka Raja," sahut Ginggi dengan suara sedikit bergetar. Bagaimana tak begitu, sebab apa pun kenyataannya, yang kini tengah duduk dengan anggun di kursi berukir indah itu adalah seorang raja dari sebuah kerajaan besar yang berdiri hampir 900 tahun lamanya.

"Engkau pandai merendah, anak muda. Tapi ada juga orang yang memperlihatkan kesombongan dengan sifat merendah-rendah. Jangan membuat orang tercengang karena kepura-puraan. Kalau kau pandai maka perlihatkanlah kepandaianmu secara wajar agar orang pun bisa menghargai dan menilaimu secara wajar pula," ujar Sang Prabu dengan nada halus tapi tetap nyaring.

Wajah Ginggi terasa sedikit panas. Tidakkah Sang Prabu menyindirnya, sebab dia memang gemar berpura-pura bodoh?

"Namun Paduka, orang tidak akan dianggap bijaksana bila tidak bisa memerankan orang bodoh dalam satu keadaan," kata Ginggi sambil kembali menyembah.

Nampak Sang Prabu tersenyum kecil memperlihatkan deretan giginya yang putih dan bersih.

"Dan yang berbahaya adalah orang bodoh yang pura-pura bijaksana dansok merasa tahu segala perkara," ujar Sang Prabu kemudian.

"Lebih celaka lagi, ada orang bodoh yang tidak menyadari dirinya bodoh. Orang bodoh yang merasa dirinya pintar dan apalagi berkuasa, maka kekuasaannya hanya akan membahayakan kepentingan orang banyak, Paduka," kata Ginggi menyela. Untuk sejenak Sang Prabu menatap sedikit terbelalak dengan ucapan lantang ini. Namun kemudian beliau tertawa renyah sambil sesekali punggung tangan kanannya yang putih halus digunakan menutupi mulutnya yang masih tertawa.

"Hahaha! Engkau seorang pemuda yang berani dan jujur, anak muda. Aku suka sikapmu itu. Tapi hati-hati, perasaan orang tidaklah sama, sebab ada juga yang mudah tersinggung. Kalau yang tersinggung adalah seorang penguasa misalnya, maka alamat celakalah dirimu," sahut Sang Prabu lagi namun masih dengan nada halus.

"Tapi Paduka, lebih baik tersinggung karena mendengar kata-kata bijak, dari pada terhibur dengan kata-kata palsu. Yang palsu tak bisa dikatakan baik. Dan bila mata-hati dibutakan olehnya, maka rasa bijaksana pun akan hilang dan kehancuran akan menjelang," kata lagi Ginggi semakin berani berkata-kata.

Sang Prabu masih nampak tersenyum, tapi senyumnya kian menipis, bahkan ada sedikit kerut-kerut di dahinya.

"Serasa aku pernah menyimak kata-kata yang kau ucapkan barusan, anak muda…" gumam Sang Prabu sambil mencubit dan menarik-narik kulit jidatnya seolah tengah menghilangkan rasa pening atau sedang berpikir sesuatu.

Namun sebelum Sang Prabu melanjutkan ucapannya, dari pekarangan paseban datang tergopoh-gopoh beberapa orang. Ketika Ginggi melirik, ternyata yang datang adalah Pangeran Yogascitra, diiringi Banyak Angga dan beberapa perwira kerajaan.

Dengan sopan tapi dilakukan dengan tergesa-gesa, Pangeran Yogascitra memasuki ruangan paseban, beringsut dan menyembah.

"Ada apakah Pamanda?" tanya Sang Prabu.

"Ampun beribu ampun Paduka, hamba memang terlalu tua untuk melakukan tindakan cepat. Kita terlambat menangkap Pangeran Jaya Perbangsa…" kata Pangeran Yogscitra sambil tetap menyembah hormat.

"Apakah Jaya Perbangsa berhasil melarikan diri?" tanya Sang Prabu mengerutkan dahi.

"Tidak melarikan diri. Dia kami dapatkan sudah tergolek kaku di purinya," ujar Pangeran Yogascitra.

"Mati?" tanya Sang Prabu. "Begitulah…"
"Bunuh diri?"

"Hamba kira begitu, sebab adacupu (botol kecil) berisi cairan racun di tangan kanannya," kata Pangeran Yogascitra.

Sang Prabu mendengus kecil sambil kepalan tangan kanannya menopang dagu. Ginggi melirik meneliti wajah-wajah perwira pengawal Raja. Namun tidak seorang pun berubah mimik. Mereka menunduk tetap bersila dengan tubuh tegak. Ginggi kagum karena mereka bisa menjaga penampilan. Padahal kalau di antara mereka terdapat kaki-tangan Ki Banaspati, seharusnya ada perubahan wajah karena terkejut mendengar sekutu Ki Banaspati mati.

"Aku percaya pada Jaya Perbangsa, mengapa dia tega berkhianat padaku?" gumam Sang Prabu.

"Kita harus lebih hati-hati, sebab Pakuan sudah dipenuhi oleh orang yang akan mencelakakan anda, Paduka…" kata Pangeran Yogascitra.

Sang Prabu mengangguk-angguk, "Mengapa ada orang yang ditakdirkan tidak setia kepada Raja, padahal para wiku selalu berkata raja adalah pilihan Sang Rumuhun…" gumam lagi Sang Prabu.

"Raja memang dipilih oleh Sang Rumuhun. Tapi Raja juga bisa didera bermacam-macam godaan. Kalau Raja bisa menahan godaan, semuanya akan aman dan tak akan ada lagi orang memalingkan kesetiaan, Paduka…" kata Pangeran Yogascitra.

"Aku tahan akan berbagai godaan. Sejak aku jadi perwira dalam mengawal Ayahanda Ratu Dewata, sudah banyak godaan mendera, tapi aku selalu lolos dari bahaya maut," kata Sang Prabu.

"Terima kasih bila Paduka sadar akan godaan," gumam Pangeran Yogascitra. Sang Prabu menangguk-angguk. Namun bagi Ginggi, ucapan Pangeran Yogascitra terlalu dalam artinya. Bisakah Sang Prabu mafhum akan ucapan yang tersirat di dalamnya?

"Tadinya aku ingin memanggil Jaya Perbangsa ke balai penghadapan raja ini dan mempertemukan dia dengan engkau, Ginggi," ujar Sang Prabu sambil melirik ke arah Ginggi. Membuat pemuda itu terkejut setengah mati. Baru sekarang dia tahu bahwa dirinya akan dijadikan sebagai saksi atas perbuatan Pangeran Jaya Perbangsa.

"Sekarang Jaya Perbangsa mati bunuh diri. Hanya menandakan bahwa dia memang bersalah, atau sekurang-kurangnya, ada sesuatu gerakan yang dia tak mau orang lain tahu. Tapi menurut Pamanda Yogascitra, tadi malam engkau menghubungi Jaya Perbangsa dan melakukan beberapa percakapan penting. Coba kau terangkan, soal apa yang engkau bicarakan itu?" tanya Sang Prabu menatapnya.

Wajah Ginggi sedikit memucat. Sejenak dia melirik ke arah Pangeran Yogascitra. Pangeran tua ini sudah melapor perihal pertemuannya dengan Pangeran Jaya Perbangsa. Dengan demikian, Raja pun sudah mengetahui bahwa dirinya punya hubungan dengan Ki Banaspati. Tidakkah ini membahayakan dirinya?

"Jangan takut, Pamanda Yogascitra sudah menerangkan perihalmu. Kata Pamanda, mulanya engkau diutus oleh Ki Banaspati untuk mengirimkan surat rahasia pada Jaya Perbangsa. Kau juga pernah ditangkap Pamanda tapi tak terbukti terlibat urusan ini. Karena Pamanda percaya terhadapmu, maka aku pun sebagai penguasa Pajajaran akan percaya kamu juga. Ingat, aku seorang raja dan bertanggung jawab menjaga keutuhan negri. Tapi engkau pun sebagai penghuni negri dan apalagi sebentar lagi akan diangkat menjadi ksatria di Pakuan, harus juga ikut bertanggung-jawab menyelamatkan negri dari kehancuran. Kau katakan sejujurnya tentang apa-apa yang telah engkau ketahui," ujar Sang Prabu lagi. Ginggi termenung mendengar keinginan Raja ini. Ini sebuah permintaan berat sebab akan membahayakan keselamatan dirinya.

Sekarang, di ruangan paseban yang hanya dihuni beberapa puluh orang, sebenarnya dia telah dihimpit oleh beberapa kekuatan. Sekurang-kurangnya di ruangan paseban ini terdapat tiga kekuatan, yaitu kelompok yang sudah dipengaruhi Ki Banaspati, kelompok yang telah memalingkan kesetiaan terhadap Raja, dan yang terakhir kekuatan Sang Prabu itu sendiri.
Belum lagi tentang kehadiran Purbajaya yang jelas-jelas tidak berfihak pada Raja tapi yang Ginggi belum tahu, berada di fihak mana sebetulnya pemuda itu berada.

Ginggi bingung sebab tidak bisa memilih. Bila melaporkan semua yang diketahuinya, berarti sudah memihak kepada Raja dan akan berhadapan dengan kekuatan lainnya, atau dengan tiga kekuatan yang ada di ruangan itu kalau Purbajaya mau Ginggi hitung. Tapi kalau Ginggi bungkam, berarti harus membiarkan banjir darah di Pakuan. Padahal sudah sejak awal dia mengukuhkan sikap untuk tak berfihak kepada siapa pun. Tapi keadaan ini benar-benar menjepitnya. Sebab kendati dia tak mau memihak, tapi Ginggi pun tak mau ada peperangan.

Melihat Ginggi seperti bimbang, dengan alis berkerut Sang Prabu mengulang pertanyaannya untuk kedua kalinya.

"Mengapa engkau diam? Atau, tidakkah penilaian Pamanda Yogascitra keliru?" kata Sang Prabu lagi dan nadanya mulai tak senang.

"Hamba akan uraikan yang hamba ketahui asal dengan sesuatu syarat," kata Ginggi secara tiba-tiba.

"Apakah persyaratan itu?" tanya Sang Prabu. "Paduka harus memenuhi keinginan hamba."
"Ya, sebutkan, apa itu?" kat Sang Prabu lagi tak sabar. "Paduka harus berjanji untuk dua keputusan!" kata Ginggi.
"Bedebah! Tak biasa aku ditekan seperti ini. Anak muda, apa kedudukanmu di sini?" kata Sang Prabu berang dan wajahnya merah padam. Ginggi masih duduk bersila dengan tenang. Dia melirik meneliti sikap para perwira yang duduk bersila berderet di kiri kanan Sang Prabu. Ada sebanyak duabelas perwira pengawal yang nampak turut melotot marah melihat kelancangan Ginggi ini. Tapi sepuluh orang lagi, termasuk di antaranya yang duduk di belakang Pangeran Yogascitra berwajah biasa kecuali menatapnya dengan perasaan tegang.

Ginggi memutar otak dan mulai dapat menduga, mana perwira yang bersetia dan mana yang sudah dipengaruhi fihak lain.

"Hamba bukan siapa-siapa dan tak mempunyai peran penting di sini. Jadi bila Paduka tak mau memenuhi dua syarat yang hamba ajukan tidak apa dan hamba akan keluar dari ruangan ini," kata Ginggi menyembah takzim dan akan segera berjingkat. "Tunggu!" teriak Sang Prabu. Ginggi kembali duduk tegak dan mencoba menatap Sang Prabu. Ornamen emas yang ada di kiri-kanansusumping(perhiasan kuping) bergoyang-goyang memantulkan cahaya gemerlapan dan mahkota yang juga sama terbuat dari emas bertahtakan zamrud dan mutiara keindahannya tak sanggup menutupi wajah keruh Sang Prabu.

"Sudah kukatakan, aku tak biasa ditekan oleh ikatan janji atau pun persyaratan. Tapi mengingat ini urusan keselamatan negara, maka aku sebagai Raja Pakuan mau merendahkan diri untuk mengikuti keinginanmu. Coba kau katakan apa dua persyaratan yang engkau inginkan," kata Sang Prabu akhirnya.

Ginggi menghela napas lega mendengar ucapan Sang Prabu ini. Namun ketika matanya mengerling ke samping, wajah Purbajaya kelihatan murung dan sedikit pucat. Apa boleh buat, pikir Ginggi.

"Syarat pertama, hamba mau menjelaskan situasi di Pakuan akhir-akhir ini, asalkan Paduka mau mengubah sikap dan kebijaksanaan. Semua perubahan sikap dan kebijaksanaan Paduka penting untuk mengembalikan keadaan ke arah hal-hal yang diinginkan semua fihak," kata Ginggi menatap Sang Prabu. Yang ditatap balik menatap. Dan Ginggi menunduk karena sorotan mata Sang Prabu demikian tajam dan seperti sulit untuk dilawan.

Hening sejenak, sehingga bunyitonggeret , sejenis binatang serangga yang ada di pepohonan beringin terdengar nyata.

"Sabda wiku paraloka (akhli kebatinan) sikap Raja haruslahseuseug keupeul lega aur, tenget suling panyaweuyan, teuas peureup leuleus usap (Tegas tapi bijaksana). Sebetulnya aku harus bicara seperlunya. Tapi bicara terlalu singkat, ucapanku selalu salah diartikan aparatku. Aku pun harus teliti memilih laporan dan pengaduan. Namun terkadang ada laporan yang dipalsukan dan aku terkecoh mempercayainya. Dan karena banyak hal tak benar terdengar sampai ke telingaku, maka terpaksa aku harus memilihteuas peureup (bertindak tegas) tanpa mengikutsertakan sikapleuleus usap (bijaksana, welas asih)," ujar Sang Prabu sesudah lama merenung.

Kemudian Sang Ratu Sakti bersabda lagi,"Kuakui, tindakanku selalu keras, aku mudah menghukum kepada orang yang dianggap salah, tapi juga tak segan-segan memberi penghargaan kepada yang dianggap berjasa. Kalau yang kau maksud, aku harus mengubah sikap kerasku, kurasa sulit sekali terkabul. Kau harus maklum anak muda, sekarang zaman keras. Hanya yang berhati baja yang bisa bertahan. Bukan berarti sikap welas asih tak berlaku lagi, tapi cara mengasihi kehidupan sekarang tak dilakukan dengan lemah-lembut. Sikap Ayahandaku Sang Ratu Dewata yang welas asih dan lemah-lembut diartikan salah sebagai jiwa yang lemah, sehingga musuh dari luar tidak merasa jerih, begitu pun aparat dan ambarahayat. Kalau kau mau bertanya kepadabujangga (akhli sejarah), akan begitu jelas, betapa Pajajaran banyak diserang musuh dari luar karena kepemimpinan waktu itu dianggap lemah."

Sang Prabu Sakti dadanya turun naik karena terlalu banyak berbicara. Dan suasana amat hening ketika beliau menghentikan ucapannya sambil menatap tajam pemuda itu.

"Coba kau sebutkan syarat yang kedua!" ucap Sang Prabu kemudian. Ginggi kembali menatap Sang Prabu, "Syarat yang kedua…ampuni Ki Darma dan Paduka harus mencabut tuduhan bahwa Ki Darma pengkhianat dan pemberontak!" kata Ginggi nyaring.

Mendengar ucapan ini, semua orang nampak terkejut dan sama membelalakkan mata, kecuali Pangeran Yogascitra dan Purbajaya nampak tenang.

Namun Ginggi merasa heran sebab mimik wajah Sang Prabu tak berubah. Beliau hanya menatap tajam secara terus-terusan saja terhadap Ginggi.

"Sudah aku duga, engkau punya hubungan dengan Ki Darma. Ucapan-ucapanmu itu tajam, menyakitkan dan mudah membuat orang tersinggung, anak muda," ujar Sang Prabu."Persis seperti apa yang gemar diucapkan oleh Ki Darma," sambung Sang Prabu lagi.

"Sepuluh tahun hamba bersamanya di Puncak Cakrabuana , Paduka," kata Ginggi, sengaja menyebutkannya agar Sang Prabu ingat dirinya pernah memerintahkan pasukan perwira untuk menyerbu Puncak Cakrabuana.

Ucapan Ginggi hanya ditanggapi Sang Prabu dengan tatapan matanya disertai beberapa kerutan di dahi. Dan untuk beberapa lama suasana menjadi hening kembali.

"Rupanya tak ada keputusan penting di sini. Maafkan, hamba akan meninggalkan paseban," kata Ginggi menyembah dan mengangkat tubuhnya hendak berlalu.

"Tidak semudah itu engkau meninggalkan tempat ini, anak muda!" kata Sang Prabu.

"Apakah hamba pun masuk dalam tuduhan memberontak juga, Paduka?" tanya Ginggi menatap Sang Prabu dengan berani.

"Jalan pikiran Ki Darma membahayakan ketentraman negri sebab meresahkan dan menimbulkan gejolak pro dan kontra di kalangan pejabat istana. Aku kenal Ki Darma sejak kami sama-sama menjadi perwira pengawal Raja. Betapa bahayanya ucapan-ucapannya. Dan itu bisa merongrong kewibawaan Raja," kata Sang Prabu lagi.

"Barangkali Paduka lupa, di mana baru saja mengatakan sikap Paduka, bahwa kasih sayang sekarang tidak dilakukan dengan lemah-lembut. Ki Darma hanya melontarkan kritik pada keadaan yang tengah berlangsung dan kritik tidak sama dengan pemberontakan. Kritik hanyalah sebuah kasih sayang yang dilakukan secara keras. Itu juga sebenarnya yang dilakukan Paduka terhadap bawahan dan rakyat Paduka," ujar Ginggi.

Merah-padam wajah Sang Prabu mendengar ucapan Ginggi ini. Dadanya turun-naik menahan gelora hatinya dan matanya memandang tajam kepada pemuda itu.

Ginggi kini tak menggubrisnya dan segera akan berlalu. Namun Sang Prabu bangun berdiri. Sambil menuding ke arah Ginggi beliau berseru,"Tangkap pemuda itu!"

Dari duapuluh pengawal hanya duabelas perwira yang serentak berdiri, sedangkan yang lainnya masih duduk bersila dengan punggung tegak. Keduabelas perwira segera menghambur dan mengepung. Tapi Ginggi kini lebih pengalaman lagi. Dia sudah kenal, para perwira pandai taktik berkelahi yang sifatnya beregu. Mereka punya formasi tempur, baik menyerang mau pun bertahan. Dan pemuda itu tak mau meladeninya sebab pernah merasakan dan pernah dikalahkan oleh taktik kepunganasu-maliput di Puri Bagus Seta beberapa waktu lalu.

"Kalau akan melumpuhkan ular, maka tangkaplah kepalanya," kata Ki Darma ketika di Puncak Cakrabuana. Ginggi ingat pepatah ini. Maka pada kesempatan inilah teori Ki Darma akan dilaksanakan. Jadi, ketika beberapa pengawal menghambur ke depan, Ginggi bukan melayaninya, melainkan meloncat tinggi, bersalto beberapa kali melewati kepala-kepala mereka.

Rupanya semua orang tak menduga kenekatan Ginggi, sehingga nampaknya para perwira lebih nampak kaget ketimbang melakukan satu tindakan. Bagaimana tak kaget, sebab Ginggi yang jungkir balik beberapa kali itu, tubuhnya bergerak ke arah di mana Sang Raja berdiri.
Sebelum semua orang sadar apa yang terjadi, Ginggi sudah berdiri tepat di belakang Sang Prabu. Tangan kiri Ginggi mencengkram pakaian di bagian pundak Sang Prabu, sedangkan tangan kanan siap menghantam batok kepala penguasa Pakuan itu.

"Semua berhenti bila tak ingin keselamatan Raja terancam!" teriak Ginggi. Tindakan ini mungkin keterlaluan, tapi inilah satu-satunya cara agar dia terlindungi.

Semua perwira kini berdiri seperti patung, tak terkecuali delapan orang perwira yang sejak tadi hanya duduk bersila dengan wajah tegang.

Dalam suasana seperti ini mata Ginggi terkuak lebar dan bisa mengenal semua orang. Mana yang berfihak kepada Sang Prabu Ratu Sakti dan mana yang sudah berpaling, nampak jelas kelihatan. Duabelas perwira nampak berdiri dengan sikap siaga, tubuh menggigil menahan kemarahan dan mata melotot serta gigi berkerot. Namun yang lainnya hanya berlaku siaga saja tapi tidak menampakkan mimik tertentu.

Pangeran Yogascitra nampak berwajah pucat. Sambil berdiri dengan tubuh bergetar dia berseru agar Ginggi tak melakukan tindakan seperti itu.

"Ginggi, apa pun yang dilakukan Ki Darma, sebenarnya dia orang yang amat menghargai Raja dan tak pernah berniat mencelakakan Raja. Lepaskan Sang Prabu! Jangan kotori perjuangan Ki Darma dengan perbuatan tercela seperti itu!" teriak Pangeran Yogascitra.

Ginggi tersentak mendengar ucapan ini. Pangeran Yogascitra memang amat meningatkannya, bahwa selama Ki Darma berbicara perihal rasa kecewanya, tidak secuil pun dia mengakui membenci Raja, apalagi memerintahkannya untuk mencelakai Raja. Ki Darma tak menyuruhnya melakukan pemberontakan atau menyingkirkan Raja, jadi kalau sekarang dia bertindak kasar terhadap Raja, akan dianggap keterlaluan dan tidak sesuai dengan keinginan Ki Darma. Ingat ini, Ginggi segera akan melepaskannya. Namun sebelum dirinya pergi menjauh dari tempat di mana Raja berdiri, Ginggi dengan kaget melihat gerakan yang dilakukan Purbajaya secara tiba-tiba.

"Jangan lepaskan dia!" teriak Purbajaya sambil meloncat ke depan. Sepasang kaki Purbajaya terpentang lebar dan kedua belah tangan diayun ke depan. Ginggi berteriak kaget sebab pemuda itu menghunjam pukulan jarak jauh yang dikerahkan dengan kekuatan penuh. Serangan itu diarahkan ke dada Sang Prabu dan jelas-jelas tujuannya hendak membunuh Raja.

Ginggi mendorong tubuh Sang Prabu ke samping sehingga jatuh terjerembab.

Cinta Berjatuhan

"Hiaaattt!!!" teriak Ginggi mengerahkan tenaga dalam dan sepasang telapak tangannya dibuka lebar menahan serbuan Purbajaya. Terdengar suara benturan keras. Purbajaya menjerit ngeri dan tubuhnya terpental ke belakang. Dia berguling-guling beberapa kali dan akhirnya telentang dengan mulut penuh darah segar.

Ginggi pucat wajahnya sebab ini sesuatu yang di luar dugaannya. Namun pemuda itu tak boleh tinggal berlama-lama di sana, sebab Sang Prabu sudah bebas dari kungkungannya. Maka sebelum bahaya mengancam, dia segera meloncat amat cepatnya. Tubuh Purbajaya dia buru, kemudian diangkat dan dipanggulnya di bahu kirinya. Ginggi meloncat beberapa kali dan berlari menjauhi tempat itu. Tidak ada yang melakukan pengejaran. Ini karena di halaman paseban sebenarnya telah terjadi pula pertempuran kecil. Ginggi bisa menduga, pertempuran terjadi antara para perwira yang setia terhadap Raja dan perwira-perwira yang sudah membelot. Para pembelot mungkin melakukan tindakan untuk mencegah Ginggi melarikan diri, atau untuk menyelamatkan Purbajaya. Atau, entah apalah, sebab pemuda itu masih menduga-duga, apakah para pembelot itu anak buah Ki Banaspati ataukah teman-teman Purbajaya.

"Masuk…masuk ke bangunan itu…!" perintah Purbajaya di antara erang kesakitannya.

Ginggi memasuki sebuah bangunan seperti tempat orang memuja. Ketika sudah berada di dalam hanya mendapatkan sebuah batu bertulis. Ada huruf palawa berjumlah sembilan baris. Ketika Ginggi membacanya, itu merupakan sebuah peringatan atau kenang-kenangan perihal kebesaran Sri Baduga Maharaja, ditulis oleh putranya Sang Prabu Surawisesa pada tahun 1533 atau delapan belas tahu lalu sebelum hari ini. Batu bertulis ini disimpan di sebuah bangunan tertutup dan bercungkup. Banyak bunga dan wewangian bertebaran di sekitar batu bertulis itu. Menandakan bahwa tempat ini kerapkali dikunjungi tapi oleh orang-orang tertentu saja, mengingat tempat ini demikian tertutupnya.

"Turunkan aku," keluh Purbajaya.

Ginggi menurunkan tubuh pemuda itu. Dibaringkan di lantai tanah secara terlentang dan diurut-urut dadanya. Namun pemuda itu menolaknya.

"Biarkan aku mati…" gumam pemuda itu.

"Jangan mati. Kalau engkau mati, aku akan amat berdosa, Raden…" kata Ginggi khawatir dan penuh sesal.

"Biarkan aku mati…Hidupku tak berharga," keluh pemuda itu menyeka sisa darah di ujung bibirnya. "Raden… mengapa engkau hendak membunuh Sang Prabu?" tanya Ginggi penasaran. "Karena engkau tidak jadi membunuhnya!"
"Aku memang tak berniat membunuh Raja!" "Raja sepatutnya dibunuh!"
"Mengapa?"

"Banyak dosa-dosanya. Bagi rakyat Pajajaran, Raja dianggap telah melanggar aturan moral. Dia selalu memaksakan kehendaknya untuk mengawini wanita larangan. Kau akan berjasa bila bisa membunuh Raja…" kata Purbajaya sambil menahan rasa sakitnya.

Aku akan berjasa membunuh Raja yang berdosa melanggar aturan moral? Mengapa aku harus menghukum seseorang yang padahal aku sendiri pun sama pernah bersalah dan sama pernah melanggar aturan moral, pikir Ginggi tak mengerti akan ucapan Purbajaya

"Tidak! Aku tidak akan punya jasa apa-apa hanya karena membunuh Raja. Aku bahkan akan semakin berdosa!" kata Ginggi lantang. Wajah Purbajaya nampak murung mendengar ucapan Ginggi ini.

"Engkau membingungkan aku. Sikapmu dan posisimu, ada di manakah sebenarnya?" gumam pemuda itu seraya tetap memegangi dadanya yang mungkin dirasakan amat sakit.

"Mengapa engkau merasa bingung hanya karena aku tak mau membunuh Raja? Yang harus dibuat pikir, malah orang yang ingin membunuh sesama. Aku pernah dengar ucapan Ki Rangga Guna, murid Ki Darma, bahwa bukan kita yang menghidupkan makhluk di dunia, maka kita pun tak berhak membunuhnya," kata Ginggi.

Nampak Purbajaya mengatupkan mata.

"Aku malu padanya…aku malu pada Ki Rangga Guna…" ucapnya.

"Engkau sudah mengenalinya?" Ginggi heran menatap wajah pemuda itu yang kini kian memucat.

"Ya…aku kenal dia…aku kenal dia…!" gumam pemuda itu semakin payah berbicara. "Raden!…Raden!…" Ginggi mengguncang-guncang tubuh pemuda itu.
"Ginggi…terima kasih!" gumam pemuda itu lagi. Serasa dingin tengkuk Ginggi mendengar gumaman pemuda itu.

Ginggi menganggap kesadaran Purbajaya telah mulai menurun. Ginggi berduka dan selalu penuh sesal, sekaligus juga merasa berdosa. Dia tahu, sebenarnya kepandaian pemuda ini tidak terlalu tinggi. Namun karena Ginggi merasa kaget melihat Purbajaya menyerang dan hendak membunuh Raja secara tiba-tiba, maka serentak Ginggi pun menolak serangan pemuda itu dengan kekuatan penuh. Akibatnya, tenaga dalam pemuda itu menghantam dirinya sendiri. Ginggi tahu, luka dalam pemuda ini amat parah dan sulit ditolong. Ini semua gara-gara dia. Kalau pemuda itu tewas, Ginggi berdosa.

"Ginggi…terima kasih…engkau berjasa… engkau berjasa…" gumam pemuda itu datar dan dingin.

"Raden, sadarlah! Sadarlah!" Ginggi mengguncang-guncang tubuh pemuda itu.

"Bila tak kau cegah, maka aku akan melakukan pembunuhan. Padahal dalam agamaku, membunuh karena benci adalah dosa…Apalagi…apalagi rencana pembunuhan itu hanya karena dasar cemburu…" gumam pemuda itu.

Ginggi mengerutkan dahi. Tidak. Pemuda ini masih memiliki kesadaran. Tapi mengapa katakatanya begitu aneh?

"Engkau mau membunuh Raja karena cemburu?"

"Aku sakit hati…Raja begitu berkuasa untuk mengambil dan menolak cinta…Nyimas Banyak Inten, dia hancurkan hidupnya. Begitu gampangnya Raja menyuruh gadis itu masukmandala
…" ujar Purbajaya memejamkan mata dan terengah-engah. Tubuh Purbajaya semakin melemah, begitu pun detak jantungnya. "Raden!…Raden!…"
"Ginggi … Kau pergilah kemandala , temui Nyimas Banyak Inten…Katakan padanya…katakan padanya…"

"Raden, apa yang harus aku katakan?"

Mulut Purbajaya berkomat-kamit. Dia masih ingin berbicara tapi gerakan mulutnya sudah amat sulit. Ginggi mencoba mendekatkan telinganya ke bibir pemuda itu.

"Katakan padanya…aku…aku mencintainya…Allohu Akbar…"

Ginggi tersentak karena terkejut. Terkejut oleh kematian pemuda itu dan terkejut karena ucapan terakhirnya. Purbajaya mengucapkan sebuah kalimat yang Ginggi kenal sebagai kalimat suci yang biasa diserukan pemeluk agama baru.

Ginggi sedikit tergoncang jiwanya. Purbajaya yang dalam kesehariannya tidak terlalu menonjol, kurang banyak mengemukakan pendapat dan selalu bicara apa adanya, ternyata banyak memendam rahasia. Dia mengenal Ki Rangga Guna, dia pemeluk agama baru dia…mencintai Nyimas Banyak Inten. Hanya karena cintanya pada gadis itu dia nekad akan membunuh Raja. Pantas saja pemuda itu seperti mendorongnya untuk melaksanakan perintah Ki Banaspati. Dan ketika ternyata Ginggi tidak melakukan apa-apa pada kesempatan paling baik, Purbajaya hendak turun tangan sendiri untuk membunuh Raja.

"Ah…malang sekali nasibmu, Raden…" keluh Ginggi seorang diri. Pemuda itu harus menunggu malam tiba untuk menyampaikan amanat Purbajaya.Mandala adalah sebuah asrama tempat pendeta wanita berkumpul. Kata Purbajaya, Nyimas Banyak Inten ada di sana dan Sang Prabulah yang memerintahkan gadis itu untuk menjadi seorang pendeta yang kerjanya mempelajari ilmu-ilmu yang jauh dari urusan duniawi. Kata Purbajaya, Sang Prabu bersalah menyuruh Nyimas Banyak Inten memasukimandala. Raja sudah menjauhkan harapan-harapan hidup gadis itu hanya karena kecewa melihat peristiwa aib yang menimpa gadis itu. Purbajaya marah menerima kebijaksanaan Sang Prabu. Barangkali pemuda itu menginginkan, seandainya Raja batal mempersunting Nyimas Banyak Inten, maka tak perlulah mengirim gadis itu kemandala. Purbajaya diam-diam mencintai gadis itu.
Sekarang dengan masuknya Nyimas Banyak Inten ke pusat para pendeta, artinya sudah tertutup harapan untuk mendekatinya. Itulah pangkal kemarahan Purbajaya sehingga akhirnya nekat hendak membunuh Raja.

Ginggi amat berduka mengingatnya. Cinta memang membutakan segalanya. Cinta juga membuat hati menjadi duka. Paling tidak sekarang ini yang tengah dirasakan Ginggi.

"Kalau engkau masih hidup, mungkin engkau akan kaget, sebab aku sendiri pun mencintai Nyimas Banyak Inten…" keluh Ginggi sambil menatap wajah pucat-pasi Purbajaya yang sudah tak bergerak itu.

Ketika malam sudah tiba, Ginggi merawat dan membenahi tubuh Purbajaya, membaringkannya di sudut ruangan. Sesudah itu, dengan berindap-indap pemuda itu keluar dari ruangan bercungkup.

Ginggi harus begitu hati-hati, sebab ternyata di beberapa tempat didapati kelompok-kelompok prajurit dan nampaknya mereka tengah melakukan pencarian. Dirinyakah yang mereka cari? Mungkin hanya dirinya, mungkin juga lebih banyak lagi. Sang Prabu pasti sudah mengetahui, bahwa dengan kejadian di paseban berarti sudah ada unsur-unsur yang melawan Raja di kalangan istana. Ginggi khawatir, bagaimana dengan nasib Pangeran Yogascitra? Karena tindakan Purbajaya, Pangeran itu pasti dituduh ikut terlibat. Kalau Raja demikian marah dengan peristiwa siang tadi, ada kemungkinan Pangeran Yogascitra ditangkap pemerintah.
Memikirkan hal ini, Ginggi menjadi amat berduka. Kemelut di Pakuan ini semakin menjlimet dan terus memanjang. Pangeran Yogascitra mungkin benar terlibat mungkin tidak. Tapi kemarahan Sang Prabu terhadap pangeran tua itu pasti terjadi karena perkara Purbajaya dan perkara dirinya. Tadi sudah dia saksikan, Sang Prabu tak mau memaafkan Ki Darma yang dianggapnya membuat keresahan dan menurunkan wibawa Raja karena kritik-kritiknya.
Dengan demikian sikap Sang Prabu juga jelas, akan menganggap kepada setiap yang memiliki hubungan dengan Ki Darma adalah orang yang harus diburu.

Ginggi harus meloncat ke atas wuwungan dan berjalan di atap sebab bila melakukan perjalanan biasa, akan amat mudah berpapasan dengan pasukan penjaga. Untung sekali bulan tertutup awan. Cahaya bulan, hanya akan muncul sebentar lagi. Ginggi yakin karena awan di langit begitu tebal.

Ginggi sudah tahu di mana letak paseban. Tempat itu agak terpencil, yaitu agak diujung setelahbale watangan (ruang peradilan) danbale tulis (ruang administrasi).Mandala atau ruangan dan bangunan tempat berkumpulnya para wiku wanita terpaut jauh agak terpencil, mungkin untuk mendapatkan suasana tenang. Ginggi harus berlari mengunakan ilmumencek-mesat , sebuah ilmu berlari cepat yang diberikan Ki Darma untuk mencapai bangunanmandaladengan cepat. Ini karena bangunan itu terpisah oleh lapangan yang cukup terbuka.Mencek-mesat adalah ilmu lari yang dilakukan dengan pengarahan tenaga dalam. Langkah kaki saking cepatnya seperti putaran roda dan hampir-hampir tak menapak tanah saking cepatnya. Bila dilihat oleh mata orang awam, gerakan berlari tak mungkin terikuti, kecuali hanya menyerupai sebuah bayangan melesat saja.

Ginggi langsung saja memasuki pintu yang selamanya selalu terbuka sebab tak ada sesuatu yang dirahasiakan di sana. Hanya bedanya, kemandala tak boleh sembarangan masuk, apalagi kaum lelaki. Penghunimandala semuanya wanita semata, yaitu wanita yang sudah benar-benar ingin meninggalkan kehidupan duniawi.

Tapi, benarkah demikian yang dikehendaki Nyimas Banyak Inten? Ginggi berduka mengingatnya. Bagi gadis itu, sebenarnya masih banyak rencana hidup yang musti dia jalani. Mengapa Sang Prabu begitu kejam memasukkan gadis itu kemandala ? Ini pula yang jadi kemarahan Purbajaya sehingga akhirnya nekat berusaha membunuh Raja.

Semua penghuni asrama pendeta wanita itu terkejut setengah mati. Mereka semua tak memiliki kepandaian khusus, sehingga tidak sanggup merasakan kehadiran Ginggi jauh sebelumnya. Hanya tiba-tiba saja mereka melihat seorang pemuda berdiri di sana, persis seperti kehadiran makhluk gaib saja.

"Jangan kaget dan panik, saya tidak akan berbuat jahat. Saya hanya ingin menemui Nyimas Banyak Inten…" kata Ginggi pelan dan sopan agar penghuni asrama tidak merasa ketakutan.

"Aku sendirilah Banyak Inten…" gumam seseorang berkerudung putih. Semua penghuni memang menggunakan pakaian putih. Beberapa di antaranya kepalanya dikerudung sehingga wajahnya sulit dikenal.

Kerongkongan Ginggi seperti tersekat karena kesedihan yang sangat. Betapa tidak, sebenarnya dia amat mencintai gadis itu. Tapi putri Bangsawan Yogascitra yang dulu anggun, cantik jelita dengan sorot mata berbinar dan senyum kecil berlesung pipit, sekarang seperti hilang lenyap. Kehalusan kulit wajahnya masih terlihat nyata, namun warna putihnya begitu pucat. Sorot matanya sayu dan sepasang pipinya tak ranum lagi.

Nyimas Banyak Inten begitu kurus tak bercahaya.

Hanya dalam jangka waktu satu bulan saja segalanya berubah banyak. Wajah gadis itu seperti maju belasan tahun. Nyimas, nasibmu benar-benar malang, keluh Ginggi dalam hatinya.

"Sebetulnya amat tabu kaum lelaki memasuki asrama pendeta wanita. Tapi engkau seperti memendam satu keperluan amat penting. Paling tidak untuk kepentingan bagimu sendiri. Bicaralah seperlunya, barangkali para pendeta yang ada di sini tak keberatan mendengarnya," kata Nyimas Banyak Inten dengan suara halus.

Ginggi melirik ke kiri dan kanan, di sana ada belasan wanita yang kebanyakan usianya di atas Nyimas Banyak Inten. Namun nampak sekali ada rasa hormat kepada gadis itu. "Nyimas, saya tak bisa mengemukakan keperluan saya di hadapan banyak orang," Ginggi seperti salah tingkah.

"Semuanya orang sendiri dan tak ada sesuatu yang harus dirahasiakan di sini…" sahut gadis itu masih dengan suara halus.

Ginggi menghela napas.

"Baiklah kalau begitu…" gumam Ginggi."Ada berita sedih, Raden Purbajaya telah tewas…" kata Ginggi.

Gadis itu membelalakkan matanya sejenak, kemudian mengatupkannya. Sambil menunduk dia merapatkan kedua tangannya dan mulutnya komat-kamit, berdoa. Nampak semua pendeta lain pun ikut berdoa.

"Dia sahabat saya dan pengawal saya ketika masih di luarmandala . Tak disangka, dialah yang lebih dahulu membebaskan diri dari kesengsaraan dunia…" gadis itu masih merangkapkan sepasang tangannya yang halus.

"Nyimas…ada amanatnya sebelum dia menghembuskan napasnya yang terakhir," kata Ginggi.

Nyimas Banyak Inten membuka matanya. "Cintanya hanya untukmu…" lanjut Ginggi.
Gadis itu masih menatap Ginggi tapi sorot matanya semakin sayu.

"Adalah anugerah semua manusia diberkati cinta. Tapi mari kita kembalikan rasa cinta itu kepada yng memberiNya agar rasa cinta tak membuat nestapa," kata Nyimas Banyak Inten kembali merangkapkan sepasang tangannya.

Ginggi menatap tindak-tanduk gadis itu dengan perasaan tidak menentu. Ada perasaan sendu dalam hatinya dan terasa pahit serta pedih.

"Kau kembalilah, Ginggi. Kami semua akan berdoa agar arwah Kakanda Raden Purbajaya mendapatkan kesentausaan di alam sana…" gumam gadis itu.

Ginggi tetap berdiri mematung. Ribuan kata akan dia serahkan kepada gadis itu. Tapi lidahnya mendadak kelu dan kerongkongannya seperti tersumbat. Semua maksud hatinya serasa terbendung oleh sikap gadis itu yang berubah drastis.

Kembali Nyimas Banyak Inten menyuruh Ginggi meninggalkan asrama, tapi Ginggi masih berdiri mematung sambil tatapannya menyorot tajam pada mata gadis itu.

"Masih ada lagi yangakan engkau sampaikan, Ginggi?" tanya Nyimas Banyak Inten.

"Saya …mencintaimu!" kata Ginggi pendek. Gadis itu sedikit membelalakkan matanya, namun kemudian menunduk dan tersenyum kecut. "Ini nasibku. Tapi juga anugerah. Dari mulai raja, para ksatria sampaibadega (jongos) berkata cinta padaku. Ginggi, mari kita sama-sama memuji syukur kepada keagunganSangRumuhun
,Hyang penguasa jagat raya, bahwa semua orang diberi perasaan cintanya. Kuterima cintamu sebagaimana aku mencintai dan dicintai oleh semua pendeta di sini. Hidup manusia memang harus saling kasih-mengasihi jauh dari perasaan iri dan dengki…" Nyimas Banyak Inten merangkapkan kedua belah telapak tangannya dan berdoa komat-kamit.

"Nyimas, cinta saya adalah seorang lelaki kepada wanita…" "Ssssttt…jangan bicara urusan kehidupan duniawi di sini," potong gadis itu.
"Nyimas, jangan mengubur diri dalam keterasingan. Tak baik melakukan kehidupan beragama dengan keterpaksaan!"

"Tidak ada keterpaksaan di sini."

"Engkau dipaksa Raja karena dia kecewa terhadapmu. Engkau juga dipaksa kemandala karena hatimu putus asa dengan cintanya Raden Suji. Dengarkanlah hai wanita malang, perasaan hatimu terhadap pemuda itu sebetulnya percuma belaka sebab Raden Suji bukan orang baikbaik. Kau korbankan cinta sucimu kepada sesuatu yang seharusnya engkau jauhi!" kata Ginggi setengah berteriak karena kecewa dan kesal. Sedang yang diajak bicara hanya tersenyum tipis dengan pandangan mata sayu.

"Itulah kelemahan manusia, merasa diri sendiri lebih baik dari yang lainnya. Bila ada nafsu dan cemburu serta iri hati merasuki jiwa, maka pikiran kita tidak terkontrol lagi dalam memilih benar atau salah," kata gadis itu, benar-benar seperti akhli kebatinan.

"Aku bicara benar! Engkau telah salah memilih cinta, sebab Raden Suji orang jahat!" teriak Ginggi.

"Kuburkanlah masa lalu sebab tak akan terulang kembali," ujar gadis. "Tapi yang penting harus kita simak, cinta itu memang buta, sebab bukan baik atau buruknya yang dilihat, melainkan cocok atau tidaknya. Mungkin adabujangga danpohaci bermain cinta sebab mereka sudah merasa cocok karena mereka adalah dewa dan dewi dari kahyangan. Tapi seorang penjahat pun punya peluang untuk menyinta dan dicinta. Ada pencuri di Pakuan yang begitu sayang dan setianya terhadap istrinya. Dia kasih makan anak istrinya dari keringat mencuri.
Aku ketika itu tak berani menuding Kakanda Suji lelaki jahat. Mungkin jahat bagi orang yng merasa dirugikannya, tapi tidak bagiku. Dia mati karena mencintaiku, mengapa aku harus membencinya? Tapi aku bersyukur bahwa aku sekarang masukmandala . Inilah tempat paling damai, jauh dari keruwetan duniawi. Jangan khawatir, aku tinggal dimandala bukan membuang diri, melainkan sedang belajar saling mengasihi dan menjauhkan sikap saling menyakiti," kata Nyimas Banyak Inten dengan kata-kata yang tenang dan lembut, tidak meledak-ledak seperti Ginggi tadi.

Entah apa lagi yang kini bergayut di hati Ginggi kini. Sedih, kecewa dan kesal sudah bercampur aduk menjadi satu. Kini dia hanya memandangi wajah gadis itu yang tertunduk menutupkan kedua matanya dan duduk bersimpuh sambil merangkapkan kedua belah tangannya. "Anak muda, cepatlah keluar dan tinggalkan tempat ini. Kalau kau diketahui penjaga, kau akan mengalami kesulitan," kata seorang pendeta setengah tua.

Ginggi masih menatap gadis itu sebelum pada akhirnya dia berlalu dari tempat itu.

Setibanya di luar dia meloncat pergi, berlari kencang sekencang-kencangnya. Dia memang takut bertemu dengan para prajurit yang pasti akan menghadangnya. Bukan takut kalah atau takut mati, tapi dia takut membunuh orang. Ada kemarahan dan kekesalan tak terkendali, bercampur menjadi satu dengan duka dan kecewa. Kalau bertemu dengan penghadang, dia khawatir akan menimpakan segalanya kepada mereka. Itulah sebabnya Ginggi berlari secepatnya. Secepatnya, yang penting keluar jauh-jauh dari Pakuan. Dia ingin pergi, meninggalkan Pakuan jauh-jauh. Pergi entah ke mana. Yang penting tidak melihat lagi dayo (ibukota) yang dipenuhi berbagai kemelut ini. Biarkanlah Pakuan kacau dengan segala kemelut dan permasalahannya. Biarkanlah orang-orang saling jatuh-menjatuhkan dan biarkan pula Raja tewas oleh gerakan pemberontak dan pembunuh. Biarkan pula perang terjadi!
Biarkan! Biarkan!

Dan Brusss!!!

Tubuh Ginggi kecemplung ke dalam permukaan air. Tubuhnya timbul tenggelam dan bergerak terbawa aliran air. Ginggi tak tahu air apa yang membawanya ini. Dia tak mau tahu. Mungkin dia akan tenggelam dan akhirnya mati. Biarlah aku mati saja, biarlah!

Dan tubuhnya memang tenggelam. Mulutnya terkunci, hidungnya tersumbat. Segalanya tak bisa dipergunakan untuk menghirup pernapasan.

Tapi Ginggi tak mati. Hanya isi dadanya saja yang membusung seperti mau meledak. Ini karena dia selalu menahan napas. Sampai pada suatu saat napasnya tak bisa ditahan lagi. Dan bersamaan dengan hirupan air yang masuk ke lubang hidungnya tubuh pemuda itu terantuk sesuatu yang keras. Dia sedikit gelagapan karena banyak air memasuki lubang hidungnya.
Dengan cepat dia berdiri. Tak terasa memang, dia sudah berada di tepi. Bukan di seberang sungai, tapi di sebuah gugusan tengah sungai. Kebetulan bulan keluar dari persembuyiannya, sehingga sinarnya menerangi alam raya. Bulan itu begitu bundar namun pucat. 

Ginggi menatap ke arah gugusan terlihat sebuah bangunan pasanggrahan. Sekarang dia ingat ada di mana. Ternyata gugusan ini adalah Pulo Parakan Baranangsiang, tempat kerabat Raja bersenang-senang menghirup udara segar dan menyaksikan pemandangan elok. Namun Ginggi juga ingat, di sinilah Suji Angkara menemui ajalnya.

Ingat ini Ginggi menjadi sedih. Beberapa orang sudah tewas dan semua karena ulahnya. Paling tidak, dia terlibat langsung sehingga orang-orang itu mati. Boleh dikata pula, karena gara-gara dirinyalah orang-orang itu tewas. Suji Angkara memang dibunuh ramai-ramai oleh para prajurit kerajaan, tapi pemuda itu begitu mudah dibunuh karena sebelumnya sudah dibuat tak berdaya olehnya. Purbajaya bahkan tewas karena adu tenaga langsung dengannya. Padahal berulang kali dia ingat kata-kata Ki Rangga Guna bahwa selama manusia tak mampu menghidupkan maka dia tak berhak membunuh.

Ginggi juga malu dan sedih mengingat sikapnya. Purbajaya tewas karena sikap Ginggi yang ragu-ragu dan membingungkan orang lain, termasuk membingungkan Purbajaya. Suji Angkara bahkan tewas karena sikap cemburu Ginggi terhadap pemuda itu. Dia melumpuhkan pemuda itu sehingga digunakan peluang oleh para prajurit kerajaan untuk membunuhnya. Tapi tetap Ginggi yang punya andil. Bukan karena alasan membela kebenaran, melainkan karena alasan cemburu yang tak disadarinya. Ginggi cemburu terhadap Suji Angkara, sebab kendati pemuda itu jahat, tokh tetap dicintai Nyimas Banyak Inten. Ginggi terpukul oleh ucapan gadis itu, bahwa untuk mencintai seseorang tak melihat baik-buruknya orang yang dicinta, melainkan adanya kecocokan hati. Seribu kali Ginggi mengaku orang baik, kalau Nyimas Banyak Inten tidak menyukainya bisa apa? Ginggi berduka dan merasa malu.
Sebetulnya lancang benar dia berkata cinta kepada Nyimas Banyak Inten. Disangkanya siapa gadis itu? Memang benar Nyimas Banyak Inten sudah menjadi pendeta. Tapi apapun yang terjadi, gadis itu tetap saja seorang putri bangsawan dan terlalu tinggi untuk bisa disanding Ginggi.

"Ini sebuah anugrah bagiku, dari sejak raja, para ksatria hinggabadega (jongos) mencintaiku…" ucapan Nyimas Banyak Inten terdengar begitu menyakitkan sebab secara tak langsung menyadarkan siapa dia dan apa kedudukan dia. Sakit sekali! Benar, dia hanyalah seorangbadega, sebab pangkat itulah yang resmi disandangnya. Kalau pun ada orang mau mengangkatnya sebagai ksatria, itu baru rencana dan mustahil terlaksana sesudah terjadi peristiwa tadi siang di paseban istana.

"Oh, Ki Darma … engkau membuatku sengsara saja," keluh pemuda itu di tepi gugusan.

Ginggi berjingkat dan melangkah menuju bangunan pasanggrahan. Tubuhnya lelah sekali dan perutnya pun terasa pedih karena seharian tidak dimasuki makanan barang sejumput.

Pemuda itu membaringkan tubuhnya. Tidur telentang sambil kepala berbantalkan kedua belah tangannya. Banyak kemelut di istana yang membuat dirinya pusing tujuh keliling. Sekarang dirinya baru sadar, betapa berat sebenarnya amanat yang diberikan Ki Darma. Begitu beratnya sehingga tak semua orang yang menerima amanat mengerti akan makna sebenarnya. Ya, Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati adalah salah satu pengemban amanat yang salah menerapkannya. Dan barangkali Ginggi pun termasuk orang yang tak tahu bagaimana cara melaksanakan amanat tersebut, sehingga akhirnya dia merasa tak sanggup lagi memikul beban amanat ini.

"Aku akan kembali saja ke Puncak Cakrabuana. Kalau Ki Darma benar sudah tewas oleh penyerbuan para perwira Pakuan, aku akan minta maaf karena tak sanggup mengemban apa yang dia inginkan," gumam pemuda itu sendirian. Ya, gumamnya dalam hati, aku sudah tak mau tahu lagi akan keadaan di Pakuan. Silakan orang berusaha berebut kekuasaan! Silakan orang saling berperang dan saling bunuh! Dia tak ada kepentingannya sama sekali.

Tak ada kepentingannya? Pemuda itu bangun dan duduk merenung. Alisnya pun berkerut tanda memikirkan jalan pikirannya sendiri. Bisa saja perang bukan urusannya dan dia tak punya kepentingan dengan itu. Tapi, apakah hanya karena dia tak berkepentingan maka akan tega membiarkan orang saling bunuh sesamanya? Membiarkan orang saling bunuh berarti dia setuju pembunuhan. Padahal pendapat Ki Rangga Guna amat dia hargai bahwa selama manusia tak sanggup menghidupkan, maka dia tak berhak membunuh. Dengan begitu, Ginggi pun tetap masih terikat dengan sebuah kewajiban yaitu mencegah pembunuhan. Perang jangan sampai terjadi!

"Ya, perang jangan sampai terjadi sebab akan menyengsarakan rakyat!" gumam Ginggi. Dan itulah amanat Ki Darma. Jangan sengsarakan rakyat! Ginggi menghitung-hitung hari. Di malam bulan purnama akan diadakan upacarakuwerabakti. Tapi sehari sebelumnya, akan ada upacara cara mandi suci di Telaga Rena Maha wijaya. Raja dan seluruh keluarganya akan mandi suci di telaga itu. Kapan?

Bulan purnama terjadi dua hari lagi. Berarti upacara mandi suci akan dilangsungkan besok pagi. Akan berlangsungkah upacara di Telaga Rena Maha Wijaya padahal tadi siang hampir terjadi percobaan pembunuhan terhadap Raja?

Ginggi mengingat-ingat lagi surat sandi yang dikirim dari Ki Banaspati untuk Pangeran Jaya Perbangsa :

Ribuan pipit terbang dari timur ketika senja jatuh di barat
tiga hari sebelum kuwerabakti

pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya

Ribuan pipit itu jelas pasukan besar yang datang dari Sagaraherang (timur). Mereka akan tiba pada senja hari. Mungkin yang dimaksudnya senja hari tadi. Tiga hari sebelumkuwerabakti adalah dimulainya pemberangkatan pasukan besar itu, sebab perjalanan dari Sagaraherang makan waktu dua hari. Sedangkan pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya, mungkin adalah hari penyerbuan!

Siapa yang sudah tahu isi surat rahasia ini? Tidak ada yang benar-benar tahu, sebab Pangeran Yogascitra pun menerima penjelasan ini kurang begitu rinci. Kemudian kalau Pangeran Yogascitra mengabarkannya pada Raja, belum tentu Raja akan benar-benar percaya, apalagi dengan terjadinya peristiwa tadi siang. Pangeran tua itu pasti akan dianggap kabar bohong belaka.

Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan benar-benar merugi. Hanya karena tak mau memberi pengampunan kepada Ki Darma dia tidak mendapatkan keterangan rahasia yang amat berharga, pikir Ginggi. Ya, kalau pun penjelasan dari pangeran Yogascitra mau dia terima, tapi keterangan tersebut sepotong-sepotong. Orang-orang Pakuan tidak tahu, pasukan mana dan siapa yang memimpin. Kepada Pangeran Yogascitra Ginggi tidak pernah bicara tentang Sagaraherang beserta situasi yang ada di sana. Ginggi juga tidak pernah menyebut-nyebut nama KandagaLante Sunda Sembawa kepada siapa pun, padahal dirinya merasa yakin, yang akan memimpin penyerbuan kelak adalah Sunda Sembawa.

Ki Banaspati adalah otak penggerak yang sebenarnya. Dia akan membiarkan pertarungan antara Sang Prabu Ratu Sakti dengan Ki Sunda Sembawa, tak ubahnya seekor serigala menunggu hasil pertarungan dua keledai. Pemenang dari pertarungan pasti sudah lemah dan sang serigala tinggal menyerangnya dengan mudah.

Tidak boleh terjadi, sebab kalau peperangan berlangsung, banyak orang tak berdosa akan jadi korban! Karena teringat hal inilah maka Ginggi tak jadi pergi meninggalkan Pakuan. Sedapat mungkin dia akan mencegah pertempuran. Bukan untuk kepentingan para penguasa atau pun para pengejar ambisi, melainkan demi kepentingan rakyat semata!

Suasana Semakin Genting

Ginggi yang sudah lelah dan yang sedianya hanya akan bersembunyi saja di Pulo Parakan Baranangsiang, akhirnya kembali meninggalkan tempat itu. Dia harus memburu dan meneliti daerah sekitardayo . Pertama yang diburunya adalah kota di wilayahjawi khita (benteng luar). Kota berpenduduk hampir 50 ribu jiwa itu malam itu nampak ramai sekali. Menurut beberapa pedagang kain yang dihampirinya, setiap upacarakuwerabakti Pakuan memang selalu dipenuhi keramaian. Ini karena hari-hari itu dayo dikunjungi oleh orang-orang yang datang dari berbagai wilayah. Wilayah-wilayah Kandagalante atau kerajaan kecil yang hingga saat itu masih setia kepada Pakuan.

Kuwerabaktiadalah upacara menghormati suami Dewi Sri, Ratu dan Dewi Padi. Pakuan sehabis musim panen tahunan akan menerimaseba (upeti) dari wilayah-wilayah kekuasaannya. Semua rombongan seba dari setiap wilayah akan hadir di Pakuan.
Rombongan-rombongan itu merupakan barisan besar, datang dengan bawaan hasil bumi, seperti kapas diangkutnya menggunakan carangka dan berbagai hasil bumi pangan diangkutnya menggunakan dondang. Ada juga yang diangkut menggunakan roda pedati ditarik kerbau. Ginggi bisa lihat, di pusat-pusat keramaian banyak dondang ditaruh di halaman rumahwadha(petugas penerima seba), begitu pun barisan pedati.

Di pusat-pusat keramaian, berbagai macam hiburan juga diadakan. Di sudut sana prepantun membawakan kisah-kisah kepahlawanan para ksatria Pajajaran. Sedangkan di sudut lainnya ada seni pewayangan tengah dibawakan para dalang. Ginggi menghitung ada sekitar tiga buah panggung pewayangan dan tiga pangung pertunjukan pantun digelar di tiap sudut alunalunjawi khita . Kata orang, semua dalang akan mempertunjukkan cerita-cerita terkenal seperti kisah-kisahDarmajati, Jayasena, Ramayana, Adiparwa atauSedamana . Begitu pun prepantun melantunkan kisah terkenal mulai dari ceritaPamanah Rasa , hinggaSanghyang Lutung Kasarung , dari mulai kisahAnggalarang hingga kisahBanyakcitra atauKaturwargi .
Namun para prepantun juga tidak pernah lupa untuk membawakan kisah pengelelanaanRaden Mundinglaya DiKusumah atauGuru Gantangan . Pada saat ksatria ini dinobatkan menjadi raja dengan nama Prebu Surawisesa, nama perwira pengawal Raja berjuluk Ki Darma Tunggara disebut-sebut. Mulanya sebagai perwira gagah berani, namun belakangan berubah menjadi seorang perwira yang rewel karena terlalu banyak berkehendak, serta dianggap orang tinggi hati, sok tahu dan tidak hormat kepada Raja.

Ginggi tersenyum pahit mendengar kisah ini. Dan dia segera berlalu, sebab bukan tujuannya untuk menonton berbagai pertunjukan di alun-alun itu. Tujuannya untuk menyelidiki "pasukan dari timur" yang menurut surat rahasia harus sudah tiba di Pakuan pada senja hari.

Sekarang sudah lewat senja hari, berarti pasukan penyerbu sudah lama tinggal di sini. Namun Ginggi tak melihat hal-hal aneh atau pun mencurigakan. Tak ada ketegangan atau pun hal-hal merisaukan di sana. Bahkan yang Ginggi lihat, semua orang larut dalam pesta. Orang sibuk kesana-kemari melihat berbagai ragam pertunjukan. Di bagian lain Ginggi lihat para penembang sedang melantunkan kawihBongbong Kaso, Porod Surih, SisindiranatauKawih Bangbarongan . Malah di panggung lain orang tengah terpingkal-pingkal karena ada pertunjukan senipamaceuh(permainan lucu) sepertitatapukan (permainan topeng),ceta niras danngadu nini . Semua ceria dan seperti tak satu pun mengingat sesuatu bahaya.

"Entah mengapa, pengunjung dari luar daerah upacaraKuwerabakti tahun ini demikian banyaknya. Aku juga heran, padahal hasil panen tahun ini tidak menggebu dan keamanan di beberapa wilayah kurang terjamin," kata seorang pedagang yang mengaku datang dari wilayah sebrang Sungai Cisadane.

"Berapa kali pengujungKuwerabakti ramai seperti tahun ini, Paman?" tanya Ginggi.

"Berapa kali? Bahkan baru kali inilah sepengetahuanku. Aneh, begitu banyaknya orang yang datang ke Pakuan ini…" gumam pedagang itu heran.

Berdebar jantung Ginggi. Tak pelak lagi, pasukan dari timur sudah tiba di Pakuan. Ginggi sudah menduganya, Pakuan seramai ini karena yang datang bukan hanya rombongan pengirim seba saja, melainkan juga pasukan dari Sagaraherang. Tapi bagaimana cara membedakan mana pasukan dan mana orang-orang biasa?

Ginggi terus berkeliling meneliti kesana-kemari. Dari berbagai macam pedagang di pasar malam tepi alun-alun benteng luar, pemuda itu mendapatkan para pedagang macam-macam senjata, digelar begitu saja di atas tanah. Ketika Ginggi tanya kepada orang di sana, mereka mengatakan, setiap keramaianKuwerabakti memang sudah biasa ada pedagang alat-alat, mulai dari alat-alat pertanian, sampai kepada alat-alat yang biasa digunakan sebagai senjata.

Dalam keramaianKuwerabakti juga diadakan latihan perang-perangan. Dalam saat-saat ini, pemerintah pun membuka lamaran kepada semua orang untuk mengabdi sebagai prajurit Pakuan.Kuwerabakti juga adalah musim orang pamernya kedigjayaan karena ingin terpakai sebagai pengabdi negara. Inilah saat-saat orang mencari pekerjaan terhormat.

"Jadi amat wajar di keramaian pasar malam juga digelar dagangan macam-macam senjata sebab memang erat hubungannya dengan pamer kedigjayaan," kata seseorang yang tengah meneliti berbagai ragam dagangan senjata. Ginggi pun ikut meneliti. Di samping jajaan alat pertanian seperti belincong, baliung, patik, kored, sadap dankujang, atau alat-alat yang biasa digunakan para pendeta seperti peso pengot, peso raut, peso dongdang, dan pakisi, juga dijajakan benda-benda berupa senjata, mulai dari golok, pedang, abet, pamuk golok, peso teudeut sampai kepada keris yang sebetulnya hanya digunakan para raja. Namun tentu saja keris yang dijajakan di sini hanya kualitas pasaran saja.

Pedagang senjata ini tidak berkumpul pada satu tempat. Mereka berpencaran jauh. Kalau meneliti hanya selintas, tak akan menimbulkan perhatian khusus. Lain lagi dengan Ginggi yang perhatiannya tengah meneliti sesuatu. Pedagang senjata ini amat mencurigakan.
Jumlahnya serasa terlalu banyak. Di sekitar benteng luar, Ginggi menghitung hampir duapuluh pedagang senjata betul-betul mencurigakan. Benarkah mereka hanya pedagang biasa?

Ginggi mencoba mendekati satu pedagang. Ditelitinya dengan seksama, siapa-siapa saja pembelinya. Satu dua orang pembeli wajar-wajar saja. Tapi yang lainnya begitu ganjil. Mereka beli benda-benda tajam tidak terlalu banyak bicara, tidak rewel menawar harga dan langsung dibeli. Banyak pedagang hanya dalam waktu singkat sanggup menghabiskan dagangannya. "Enak sekali, jualan benda-benda tajam cepat laku, Paman," kata Ginggi pada seorang pedagang. Yang diajak bicara hanya ketawa kecil.

"Kenapa yang banyak laku barang-barang berupa senjata, sedangkan alat pertanian tidak, Paman?" tanya lagi Ginggi. Pedagang itu mengeryitkan dahi dan menatap Ginggi sedikit bercuriga. Namun karena dagangannya sudah habis, dia segera melipat kantung-kantung goni di mana barang-barang dagangannya di simpan. Tanpa banyak cakap orang itu segera berlalu meninggalkan Ginggi seorang diri. Pemuda itu termangu sejenak. Namun sesudah orang itu menghilang dibalik sebuah gang di antara dua bangunan kedai, Ginggi segera berjingkat. Dia ingin mengikuti ke mana dua orang itu pergi.

Ginggi tiba di gang itu, hanya nampak bayangan hitam berkelebat menjauh. Ginggi pun melangkah lebih cepat lagi, bayangan itu semakin pergi menjauh. Kecurigaan pemuda itu semakin menebal. Orang tadi, atau bahkan beberapa orang lainnya pasti bukan benar-benar pedagang, melainkan anggota pasukan yang bertugas membagikan senjata.

Ginggi sudah menduga, pasukan yang datang dari Sagaraherang tidak datang secara terangterangan. Kalau mereka menampakkan diri sebagai pasukan tentu akan amat mencurigakan bagi fihak Pakuan. Mereka pasti masuk Pakuan secara terpisah dan dipecah-pecah dalam bentuk rombongan kecil. Mungkin berpura-pura sebagai rakyat biasa, mungkin berpura-pura sebagai anggota rombongan pengangkut seba. Sedangkan perlengkapan perang, mereka angkut dan disamarkan seolah-olah barang dagangan.

Melihat banyak "dagangan" sudah habis, Ginggi sudah bisa menduga bahwa semua atau kebanyakan anggota pasukan sudah mendapatkan jatah senjata. Ginggi bingung dan sedikit menyesal. Hanya karena dia banyak berdiam diri di Pulo Parakan Baranangsiang, maka upaya pencegahan menjadi terlambat. Padahal bila Ginggi sudah sejak sore hari melakukan penelitian, sedikitnya dia bisa melakukan tindakan, misalnya berusaha menggagalkan upaya mereka dalam membagikan senjata. Senjata tajam bagi prajurit biasa adalah perlengkapan vital. Jadi bila berperang tanpa senjata, akan amat menyulitkan. Tapi semua sudah terlambat, senjata sudah dibagikan dan Ginggi pusing sendiri dibuatnya.

Tapi Ginggi terus mencoba membuntuti orang itu. Sang "pedagang" rupanya hendak memasuki sebuah rumah. Namun ternyata dia tak jadi masuk, malah mencoba membalikkan badan, berdiri bertolak pinggang dan nampaknya sengaja menanti kehadiran Ginggi.

Sudah barang tentu pemuda itu agak merandek dibuatnya. Dia menyumpah-nyumpah dirinya sebagai kurang hati-hati. Sebab kalau tak begitu tak nanti tindakannya diketahui orang tadi.

"Mau apa kau membuntuti aku?" teriak orang itu, sengaja memperkeras suaranya. Ginggi mengerti, suara ini hanya sebagai tanda dalam upaya memanggil teman-temannya. Dan benar perkiraannya. Begitu teriakan itu berhenti, pintu terkuak lebar dan ada sekitar lima orang keluar dari pintu.

"Serbu!" teriak orang yang dibuntuti tadi. Dan lima orang serentak menghambur ke arah Ginggi. Semua melakukan serangan ganas dan tujuannya hendak membunuh. Ginggi merasakannya sebab semua serangan ditujukan ke arah bagian badan yang amat lemah. Satu orang menyerang mata Ginggi dengan dua ujung jari siap menusuk. Lainnya mengarah ke bagian pusar dengan tendangan beruntun. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar