Senja Jatuh di Pajajaran Jilid 19

Jilid 19  

Dari arah lain datang Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati. Mereka melihat dirinya dengan bertolak pinggang.

"Tangkap pembunuh itu hidup-hidup dancangkalak . Tapi kalau dia tetap melawan bunuh saja!" kata Ki Bagus Seta.

Dua tiga orang prajurit datang menjemput dan segera mengikat kedua tangan Ginggi ke belakang kendati seluruh tubuh pemuda itu masih dipenuhi libatan-libatan tali.

Ki Bagus Seta berbicara pada komandan agar tidak mengabarkan dulu peristiwa ini ke istana.

"Dia hanya pembunuh kecil saja, tak perlu istana turun tangan sendiri. Penjahat ini biar kuurus di sini!" kata Ki Bagus Seta.

Komandan pasukan mengangguk hormat. Dan sesudah memeriksa Ginggi tak mungkin bisa melepaskan diri, komandan menyerahkan pemuda itu pada jagabaya puri Bagus Seta. Ginggi diseret ke sebuah bangunan di bagian belakang puri. Pemuda itu hafal betul, sebab beberapa waktu lalu pun pernah dibawa ke tempat itu.

Ginggi menduga, dia akan menerima siksaan lebih hebat ketimbang penyiksaan yang pernah dialaminya tempo hari di bangunan itu. Kalau dulu diuji saja sejauh mana dia memiliki kepandaian berkelahi, tapi sekarang lain lagi. Ki Bagus Seta akan benar-benar menyiksanya karena kemarahan pada dirinya.

Ginggi dibawa ke sebuah ruangan di mana di sana sudah disiapkan sebuah kerekan. Akan dihukum gantungkah dirinya? Di bawah kerekan juga terdapat sebuah tong besar berisi air. Ginggi belum bisa menduga apa yang sebenarnya akan mereka lakukan terhadap dirinya.

"Gantung kakinya di atas!" Ki Bagus Seta memerintahkan jagabaya. Dan serta-merta kaki Ginggi diikat menjadi satu. Sesudah itu tubuhnya dikerek ke atas. Kini Ginggi bergantunggantung di udara dan di bawahnya siap menanti tong berisi air. Ginggi menduga, tubuhnya akan dibenamkan ke dalam tong yang berisi air tersebut.

"Kalian keluarlah!" Ki Banaspati menyuruh para jagabaya meninggalkan tempat itu. Tinggallah kini Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati, menyaksikan Ginggi yang digantung terbalik.

"Ini saat terakhir kau melakukan pilihan," kata Ki Bagus Seta menatap tajam wajah Ginggi yang terbalik.

Ginggi bersyukur dalam hatinya. Perkataan ini berarti masih memberikan celah-celah kehidupan bagi dirinya.

Ki Banaspati berkata,"Apa pun perangaimu, sebetulnya antara kami dan kamu masih ada pertalian saudara karena keterkaitan dengan Ki Guru. Kami masih memberikan kesempatan bagimu untuk memilih. Mati karena mengkhianati Ki Guru atau kau mentaati perintahnya!" katanya sungguh-sungguh.

Ginggi masih diam. Ucapan Ki Banaspati ini sepertinya hanya memutar-balik fakta saja. Menempatkan Ginggi sebagai pengkhianat dan menganggap diri mereka sebagai pengemban amanat.

"Kalau aku kalian sebut pengkhianat, kalian sendiri apa?" tanya Ginggi. Dan … Tlaaarrr! Ki Bagus Seta melayangkan ujung cemeti (cambuk), tepat mengenai pelipis Ginggi. Pemuda itu merasakan cairan hangat meleleh turun ke rambut kepalanya. Ginggi menduga kulit pelipisnya luka mengalirkan darah karena ujung cemeti.

"Jelas, kaulah pengkhianat sebab kau tak mau bergabung dengan kami. Selama ini kami berjuang menjalankan amanat guru, sedangkan kau tidak. Lebih buruk lagi kelakuanmu setelah menolak bahkan berani melawan dan mengacau kami. Itulah pengkhianatan!" kata Ki Bagus Seta.

"Tapi kalian bunuh Ki Darma!" kata Ginggi.

"Engkau hanya meributkan urusan kecil sambil tak menghiraukan urusan lebih besar lagi," kata Ki Banaspati. "Dalam perjuangan besar, semua orang hanya merupakan bagian-bagian kecil saja. Kita ibarat anak panah yang setiap kali dilepas tak mungkin kembali lagi. Namun anak panah yang hilang tak perlu kita jadikan pikiran serta tidak perlu disesali, apalagi kalau anak panah itu mengenai sasaran yang jitu. Begitu pun dengan nasib Ki Darma. Kematiannya tak perlu kita sesali sebab telah berhasil mendorong perjuangan kita. Kau harus tahu sekarang, mengapa justru Ki Bagus Seta yang memerintahkan langsung penyerbuan ke Puncak Cakrabuana. Ini karena kekhawatiran dan kecurigaan kita terhadap Ki Rangga Wisesa. Dia orang setengah gila dan dia banyak memiliki rasa sakit hati kepada Ki Guru juga terhadap muridnya yang lain. Sudah aku katakan tadi, Rangga Wisesalah yang telah membocorkan di mana Ki Guru berada. Dialah pengkhianat sebenarnya dari perjuangan kita. Ki Bagus Seta khawatir, kalau Rangga Wisesa berani melaporkan identitas kami sebenarnya. Bila Raja sudah tahu bahwa kami murid-murid Ki Darma, maka kami akan ditangkap juga sehingga pupuslah perjuangan, pupuslah amanat Ki Guru. Kami tidak berpikiran picik sepertimu, Ginggi. Kalau hanya meributkan nyawa seseorang, maka tidak akan berarti bila harus merugikan perjuangan. Itulah sebabnya, untuk menghapus anggapan bahwa kita punya kaitan dengan Ki Guru, maka Ki Bagus Seta tampil mempelopori rencana penyerbuan ke Cakrabuana. Apa kau anggap kami enteng saja melakukan hal-hal seperti ini? Hati kami menangis, sebab perjuangan ini kian berat dan terasa pahit. Namun itu harus kami lakukan demi mencapai cita-cita yang lebih besar!" kata Ki Banaspati dengan suara sungguh-sungguh.

Ginggi tetap diam membisu. Dan hal ini rupanya amat membuat kesal Ki Bagus Seta.

"Sudahlah, kita tak usah merengek-rengek minta dikasihani oleh bocah tak tahu terima kasih ini. Dia memang bocah tak punya hati dan perasaan. Dia bocah yang tak acuh dengan pengorbanan Ki Guru. Malu aku jadi murid sepertimu. Menggunakan kepandaian hasil pemberian Ki Guru tapi secuil pun tidak digunakan untuk melaksanakan amanat si pemberi kepandaian!" kata Ki Bagus Seta mendengus.

"Ginggi, sebetulnya kami tak ingin membunuhmu. Selain kau masih kerabat kami, juga kami menyayangkan kepandaianmu. Kalau kau gabung akan sangat berarti bagi perjuangan kita.
Cepat kau bilang setuju, sebab kalau tidak kau harus mati!" teriak Ki Banaspati mulai kesal.

Karena Ginggi masih diam membisu, maka Ki Bagus Seta menurunkan kerekan. Karena kerekan turun, otomatis tubuh Ginggi pun turun. Sedikit demi sedikit kepalanya terbenam ke permukaan air. Dingin sampai menusuk-nusuk tulang kepala rasanya.

Ginggi menahan napas dan menutup mata. Kedudukan tubuh terbalik bukan masalah berat bagi dia, sebab di Puncak Cakrabuana, selama empatpuluh hari empatpuluh malam dia berlatihtapa sungsang (bertapa di dahan pohon dengan kepala di bawah) tanpa mengalami gangguan sedikit pun. Tapi kepala di bawah sambil dibenamkan ke dalam air, Ginggi belum pernah coba.

Ginggi terus menahan napas sampai dadanya membusung, sampai detak jantungnya bertalu cepat. Kedua orang itu seperti benar-benar hendak membunuhnya karena kerekan tak pernah ditarik lagi. Tapi sebelum Ginggi benar-benar tak kuat lagi, dia tak akan menyerah begitu saja. Kematian pasti datang kepada siapa saja dan kapan saja. Tapi kendati begitu, Ginggi harus berusaha agar kematian tidak datang secepat itu, apalagi di saat-saat hidupnya tak berarti. Ginggi harus melakukan upaya penyelamatan, jangan mati sia-sia seperti ini.

Sekarang dada pemuda itu terasa sesak sebab tubuhnya sudah menderita kekurangan udara. Ubun-ubunnya pun terasa berputar-putar. Ada macam-macam warna melayang-layang di kelopak matanya. Warna-warni itu indah semata, biru, biru muda, merah, merah membara sampai coklat kehitam-hitaman. Namun pada suatu saat semua warna menghilang dan muncullah semua wajah-wajah orang yang pernah dikenalnya. Mula-mula ada wajah Nyi Santimi yang cantik dan lugu, kemudian ada wajah anggun Nyimas Banyak Inten yang selalu mempesona bak dewi dari kahyangan. Sesudah itu muncul orang-orang yang sudah mati. Ki Ogel, Ki Banen, Seta dan Madi, semua muncul. Ki Ogel dan Ki Banen melambaikan tangan dengan wajah berseri, tapi Seta dan Madi, seperti meronta-ronta minta tolong padanya. Dan terakhir yang muncul adalah wajah Ki Darma. Wajah tua berkumis tebal berjanggut panjang rambut riap-riapan tapi kulit wajahnya tetap bersinar tanpa keriput.

Ki Darma menatapnya dengan sorot penuh semangat. Dia bahkan seperti berkata-kata mengulang pelajaran yang pernah diajarkannya berkali-kali.

"Tidak mengapa tak punya huma asal kita punya beras. Tidak mengapa tak punya beras asal bisa makan. Tidak mengapa tak bisa makan asal kita bisa hidup …"

"Bisakah kita hidup tanpa makan, Aki?"

"Mengapa tidak bisa? Hidup kita tidak saja ditemani makanan, tapi pun ditemani empat unsur kehidupan, api-air-udara dan tanah. Kau lihat orang bertapa, satu tahun tanpa makan dan minum sebab dia dihidupi udara. Suatu waktu kau akan membuktikan bahwa tapa dalam air akan memberimu kehidupan juga!"

Air memberi kehidupan? Ginggi kembali mengingat-ingat pelajaran Ki Darma. Bagaimana mungkin air tanpa udara akan memberi kehidupan? Air tanpa udara? Ki Darma pernah berkata, air dan udara selamanya akan bersatu, sebab air tanpa udara, air itu sendiri akan lenyap berubah bentuk menjadi menjadi semacam gas.

Ingat uraian Ki Darma, Ginggi menjadi penuh harapan, dirinya bisa bertahan di dalam air bila sanggup menghirup udara yang ada di dalam air itu sendiri. Tapi bagaimana caranya?

Kesalahan fatal yag dia lakukan adalah mengabaikan keberadaan air itu sendiri. Dia secuil pun tidak memanfaatkan air untuk membantunya mendapatkan udara. maka teringat akan kekeliruannya ini, sedikit demi sedikit dia menelan air tong itu. Bersamaan dengan air yang masuk, udara pun akan sama masuk mengisi urat-urat darahnya. Tapi udara kotor di dalam tubuhnya pun harus segera dia keluarkan melalui hidung. Dan memasukkan yang bersih dari air tong yang ditelannya.

Ada gelembung dan buih karena upaya-upaya ini. Dan Ginggi kemudian menggoyanggoyangkan kepalanya agar air bergoyang keras. Goyangan air akan menimbulkan celah-celah di sekitarnya dan memungkinkan udara dari luar berpeluang masuk ke wilayah tong.

Rupanya gerakan-gerakan Ginggi ditafsirkan oleh Ki Bagus Seta dan Ki Banaspti sebagai penyerahan diri sebab Ginggi merasa tak kuat lagi terbenam berlama-lama di dalam air. Terdengar tali dikerek ke atas dan kepala Ginggi mumbul lagi ke udara. Ginggi bernapas dalam-dalam menghirup udara segar.

"Bagaimana, kau siap bergabung?" tanya Ki Bagus Seta. Ginggi hanya menarik napas dalam-dalam mengisi paru-parunya dengan udara yang didapat secara langsung.

"Kalau aku tak gabung apakah aku harus mati?" tanya Ginggi.

"Ya, harus mati, sebab kau hanya akan menjadi duri. Perjuangan kita adalah perjuangan besar yang penuh rahasia. Jadi, tidak boleh ada yang tahu rahasia ini kecuali orang-orang yang setuju dengan perjuangan ini," kata Ki Bagus Seta.

Ginggi diam sejenak.

"Sebutkan syarat-syaratnya bila aku ikut gabung!" gumam Ginggi. "Syaratnya kau harus taat perintah kami!"
"Apa saja perintah itu?"

"Engkau punya pekerjaan berat tapi mulia!" "Apa itu?"
"Pertama bunuh Suji Angkara!" "Pasti ada perintah yang kedua …"
"Ya, inilah perintah dan tugas paling berat tapi mulia. Kau bunuhlah Sang Prabu Ratu Sakti!" "Membunuh Raja?"
Yang Penting Jangan Mati Dulu

"Ya, tugasmu membunuh Raja!" kata Ki Bagus Seta pendek.

"Bagaimana?" Ki Banaspati bertanya tak sabar. Tapi karena Ginggi masih tak menjawab, Ki Bagus Seta kembali menurunkan kerekan. Otomatis tubuh Ginggi pun turun kembali, kepalanya sebatas leher terbenam ke permukaan air tong.

Lama tak diangkat sebab Ginggi tak memberi tanda agar dia mau bicara.

Tapi beberapa lama kemudian kerekan diangkat kembali. Untuk kedua kalinya Ki Bagus Seta bertanya kembali, apakah dia bersedia mengemban tugas ini atau tidak.

"Selama kau belum memberikan jawaban kepalamu akan terbenam di dalam tong. Coba kau lihat ke atas kerekan," kata Ki Bagus Seta menjambak kepala Ginggi sehingga kepalanya mendongak ke atas, "Di atas kerekan ada semacam genta. Bila kau tarik tali genta akan terdengar nyaring dan suaranya bisa sampai ke puri di mana aku berada. Kalau kau setuju dengan keinginanku, kau tarik tali genta itu!" kata Ki Bagus Seta. Ginggi selintas ada melihat, di samping kerekan ada genta baja menggantung serta ujungnya diikat sebuah tali. Tali itu berjarak kurang lebih satu depa dari ujung sepasang kakinya yang diikat di tali kerekan.

"Nah, sudah kau lihat genta beserta talinya, ya. Jadi aku tunggu suara genta itu terdengar," kata Ki Bagus Seta, menurunkan kembali kerekan dan berlalu bersama Ki Banaspati dari ruangan itu.

Sialan orang-orang itu, kutuk Ginggi dalam hatinya. Benar-benar hanya dua pilihan bagi dirinya, memukul genta atau mati. Ki Bagus Seta pandai sekali mengatur siasat. Genta itu sebetulnya berfungsi pula sebagai alat untuk memberitahu dirinya bila Ginggi berniat akan lari, sebab genta hanya akan tertarik talinya bila dia mencoba membuka ikatan di bagian kakinya. Ki Bagus Seta juga kejam, sebab bila Ginggi berniat menarik tali genta, otomatis harus bisa membuka ikatan di kedua tangannya. Selama sepasang tangannya yang dipelintir dan diikat ke belakang belum dibuka, mana mungkin dia bisa menarik tali genta?

Jadi bila Ginggi setuju dengan keinginan mereka, sebelumnya harus berjuang dulu membuka ikatan di kedua pergelangan tangannya.

Ya, mereka benar-benar kejam. Tapi bisa juga kekejaman ini sekaligus mereka maksudkan untuk menguji sejauh mana Ginggi memiliki kemampuan. Bila Ginggi sanggup menarik tali genta, itu hanya punya arti dirinya sanggup melepaskan ikatan tangannya. Dan Ki Bagus Seta benar-benar licik, sebab bila Ginggi sanggup membebaskan diri, hanya punya arti bahwa dirinya setuju dengan perintah mereka.

Sementara itu bagian tubuh yang terbenam di air tong hanya sebatas leher sampai ubun-ubun saja. Ini memungkinkan Ginggi untuk sesekali menekuk lehernya agar kepala dan wajah bisa sedikit terangkat serta bisa menghirup udara langsung. Di sini juga Ginggi mengerti bahwa Ki Bagus Seta tidak berniat membunuh Ginggi secara cepat. Kepala pemuda itu akan benarbenar terbenam selamanya bila dia sudah begitu payah mendongak dan menekukkan lehernya saja. Jadi selama Ginggi masih sanggup mengangkat kepala dari permukaan maka selama itu pula kematian tak akan menjemput. Namun tentu saja tenaga Ginggi ada batasnya dalam upaya menekuk lehernya. Kalau seharian dia dalam keadaan begitu, malah bisa-bisa mati pegal. Dengan demikian, sebenarnya Ki Bagus Seta menyodorkan satu pilihan yang sifatnya memaksa. Kalau Ginggi ingin lolos dari kematian, akalnya harus menyetujui keinginan mereka.

Bila Ginggi merasa pegal lehernya, dia terpaksa membenamkan kepalanya ke dalam tong. Di dalam tong yang penuh air itu dia berusaha menahan napasnya. Bila sudah tak tahan, kembali mendongakkan kepala untuk menghirup udara baru, begitu seterusnya.

Dan selama dalam keadaan tergantung, Ginggi pun terus berpikir. Bukan mencari jalan bagaimana cara melarikan diri, melainkan mencoba menimang-nimang kedudukan mereka.

Dia mengulang kembali perjalanan hidupnya mulai dari turun gunung. Oleh Ki Darma Ginggi disuruh bergabung dengan murid-muridnya, Ki Bagus Seta, Ki Banaspati, Ki Rangga Guna dan Ki Rangga Wisesa. Ki Rangga Wisesa sudah diketahui menyeleweng dari kebenaran. Dia menjadi penjahat setengah gila dan berkhianat mencelakakan Ki Darma. Ki Rangga Guna memang patut dia ikuti jejak langkahnya. Namun dia kini menjadi buronan pemerintah sehingga tidak memiliki kebebasan bergerak. Ki Rangga Guna bahkan selalu hidup dalam  pengasingan sehingga hampir-hampir tak mengikuti perkembangan negara lagi. Mungkin baru belakangan ini, sesudah bertemu dengan Ginggi dan diberitahu kejadian paling akhir Ki Rangga Guna tergerak lagi untuk mengikuti perkembangan negara. Tapi jelas Ginggi tak bisa bergabung terang-terangan dengan Ki Rangga Guna kalau tak mau sama-sama dituduh pemberontak.

Sedangkan yang dua orang lagi, Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta, sampai sejauh ini belum benar-benar meyakinkan hati pemuda itu. Mendengar berita terakhir yang disampaikan, ternyata kedua orang itu benar-benar akan melawan Raja. Ki Banaspati mempersiapkan kekuatan di luar Pakuan dan Ki Bagus Seta bersiap-siap di dalam istana. Keduanya akan bekerjasama untuk menghancurkan Raja. Tapi sejauh mana mereka akan tetap bekerjasama? Ginggi ingat cita-cita Ki Banaspati yang berniat menggantikan kedudukan Raja. Sedangakan yang juga sama-sama punya cita-cita seperti itu adalah pula Kandagalante Sunda Sembawa. Dia merasa punya hak jadi Susuhunan di Pakuan dan berupaya untuk merebut kekuasaan. Dan Ki Bagus Seta sendiri bagaimana?

Ginggi kembali teringat obrolan Ki Bagus Seta dengan Bangsawan Soka. Kedua orang ini pun nampaknya memiliki ambisi yang sama untuk menguasai Pakuan kendati tak pernah bicara ingin duduk sebagai orang pertama di istana. Bangsawan Soka ingin menjadi penasihat Raja. Begitu pun Ki Bagus Seta menginginkan agar yang menjadi penasihat Raja adalah Bangsawan Soka. Sedang di lain fihak, Sang Prabu Sakti sendiri telah merencanakan Bangsawan Yogascitra yang akan memegang jabatan penasihat.

Mengapa Ki Bagus Seta tak setuju Bangsawan Yogascitra menjadi penasihat Raja, kemungkinan dia merasa akan terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan bagi kegiatannya di istana. Ginggi memang sudah mendengar khabar bahwa Bangsawan Yogascitra seorang negarawan yang baik. Dia setia, jujur, tidak berambisi dan selalu siap membela negara dengan taruhan nyawa. Barangkali Ki Bagus Seta khawatir, bila Bangsawan Yogascitra menjadi penasihat Raja akan menjadi penghalang besar dalam melakukan gerakan rahasia. Lain lagi bila Bangsawan Soka yang menjabat. Orang ini bukan tipe pejabat yang setia kepada Raja dan negara, melainkan hanya setia kepada harta dan kedudukan semata.

Ginggi belum benar-benar percaya akan tindak-tanduk Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati. Mungkin benar kedua orang itu bekerja mengatasnamakan amanat Ki Darma, tapi amanat guru sepertinya mereka manfaatkan untuk meniti jalan merangkul cita-citanya, yaitu jadi orang berpengaruh di Pakuan. Kalau benar dugaannya ini, akankah Ginggi bergabung dengan mereka? Kalau dia tak bergabung pasti mati. Tapi bila bergabung apa untung-ruginya?

Ginggi berpikir lagi perihal keberadaan Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan. Selama Raja ini memerintah banyak terjadi gejolak sosial. Beberapa wilayah Kandagalante dan kerajaan kecil berusaha melepaskan diri sehingga banyak terjadi bentrokan-bentrokan antara pasukan kerajaan melawan pasukan wilayah-wilayah di bawah Pakuan. kehidupan rakyat sangat terganggu. Rakyat tidak tentram karena banyak terjadi pemberontakan, juga tak tentram karena beban pajak yang tinggi. Jadi, bijaksanakah Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati yang bercita-cita meruntuhkan kekuasaan Raja yang tengah berkuasa sekarang?

Ginggi jelas harus membantu rakyat dari tekanan Raja. Tapi tepatkah bila menjalankan amanat Ki Darma dibuktikan dengan cara mendukung cita-cita kedua orang itu? Ginggi tetap belum mengerti dengan segala tindakan yang dilakukan mereka. Mereka mengaku tengah menjalankan amanat Ki Darma dalam upaya membela kepentingan rakyat tapi sambil mengumpankan rakyat itu sendiri. Buktinya, Ki Banaspati bergerak mengumpulkan dana dari pajak-pajak rakyat dalam membangun kekuatan pasukan dan Ki Bagus Seta bergerak seolah-olah mendorong Raja agar semakin terjerumus dalam kesalahan. Raja terus didorong agar melaksanakan kebijaksanaan yang sekiranya tidak disenangi rakyat seperti menaikkan pajak tahunan misalnya. Bahkan belakangan, Raja juga digiring untuk melakukan tindakan yang sekiranya akan dinilai rakyat sebagai tindakan melanggar aturan moral. Ginggi sudah ingat kekhawatiran Purohita Ragasuci yang cemas kalau-kalau Sang Prabu benar mempersunting putri larangan. Nyimas Layang Kingkin menurut Purohita adalah putri larangan dan tidak boleh di kawin Raja karena gadis itu sudah bertunangan. Kalau perkawinan ini dilaksanakan, dikhawatirkan akan terjadi kegoncangan di kalangan istana. Dan peristiwa ini sepertinya sengaja diatur Ki Bagus Seta. Di samping ingin memiliki kedudukan tinggi, Ki Bagus Seta juga punya tujuan ganda yaitu mengharapkan terjadi gejolak di istana karena tindakan Raja yang keliru mengawini putri larangan.

Ya, segalanya sepertinya diumpankan oleh mereka berdua agar terjadi berbagai kemelut di istana. Mereka sepertinya akan menangguk di air keruh. Di saat-saat kekacauan terjadi di pusat pemerintahan, Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati akan bertindak mengambil-alih kekuasaan.

Sungguh pandai dan sekaligus licik mereka. Tapi apakah berbagai kelicikan ini merupakan bagian yang sah dari perjuangan? Ginggi bingung memikirkannya.

Hati kecilnya tidak pernah setuju akan berbagai kebijaksanaan kedua murid Ki Darma ini. Tapi Ginggi pun tak mau mati percuma. Menantang mereka secara membabi-buta hanya akan berkorban sia-sia. Tentu, Ginggi tak mau nasib buruk seperti itu menimpanya. Jadi kalau begitu, dia harus cari akal. Setuju atau tidak dengan cita-cita mereka jangan dulu dipikirkan sekarang. Yang perlu dia lakukan kini adalah bagaimana caranya agar tidak mati sia-sia.

Berpikir sampai di sini, Ginggi segera meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan di kedua tangannya. Tali itu terbuat dari lintingan kulit binatang. Alot dan kenyal, tidak mungkin diputus begitu saja. Satu-satunya jalan adalah melemaskan otot pergelangan tangan. Bila otot dilemaskan akan seperti licin dan bisa memudahkan dalam meloloskan ikatan. Tapi kesulitannya, tali terbuat dari kulit ini akan mengerut bila kena air. Kulit yang kena air pun menjadi tidak licin dan sedikit lengket pada kulit tangannya. Dan Ginggi perlu membikin lecet pergelangan tangannya untuk meloloskan tali kulit itu.

Dengan susah ayah akhirnya Ginggi bisa juga melepaskan ikatan di tangannya. Sekarang dia perlu menggerak-gerakkan tubuhnya untuk mencari ancang-ancang agar kedua tangannya bisa menangkap sepasang kakinya yang berada di bagian atas. Ginggi berayun-ayun. Pada ayunan kesekian dia segera membuat lentingan sambil serentak menangkap kakinya. Sesudah beberapa kali mengalami kegagalan, akhirnya berhasil juga. Sedikit demi sedikit tangannya berpegangan pada betisnya, sudah itu naik memegang telapak kakinya. Kalau Ginggi langsung membuka ikatan di kakinya, maka tali yang menghubungkan genta akan ikut tertarik dan genta akan berbunyi. Tidak! Genta tak boleh berbunyi. Itulah sebabnya, sebelum membuka ikatan di kaki, terlebih dahulu dia harus naik ke atas kerekan. Genta digantung di atas tiang kerekan. Jadi tujuan Ginggi sekarang meredam genta agar tak terjadi bunyi. Tubuh pemuda itu terus melenting untuk menggapai genta. Sesudah bisa mendapatkannya, secara perlahan tali genta dia lepas. Perlahan sekali, agar bola genta tak bergoyang.

Tali genta sudah berhasil dia lepaskan. Dengan perasaan lega Ginggi membuka ikatan tali di kakinya. Sesudah bisa lepas, Ginggi segera jumpalitan dan turun dengan sepasang kaki jatuh tepat menginjak tanah.

Dan bertepatan dengan itu, terdengar suara tepukan tangan.

"Bagus! Kau tepat menjadi pembantu utamaku!" seru Ki Bagus Seta yang tanpa diketahui Ginggi sudah berada di ruangan itu. Ketika Ginggi menoleh, Ki Banaspati pun sudah berada di sana. Pemuda itu amat kesal. Susah-payah dia melepaskan diri dari ikatan tali, sudah bebas dipergoki mereka. Atau barangkali mereka memang mengintip sejak tadi, seperti seekor kucing mempermainkan tikus.

"Bagaimana, sudah kau pikirkan dalam-dalam?" tanya Ki Banaspati menatapnya. "Sudah …" jawab Ginggi.
"Ya, bagaimana?"

"Aku tidak membunyikan genta!"

Ki Banaspati tersenyum kecil dan Ki Bagus Seta mendengus.

"Kalau begitu, engkau harus mati!" kata Ki Bagus Seta pendek dan dingin. Ki Bagus Seta hendak bergerak tapi segera dicegah oleh Ki Banaspati.
"Kau pikirlah baik-baik," katanya, "Kalau kau tak setuju artinya kau harus dibunuh di sini juga. Bisa jadi kau melawan dan kau melarikan diri dari puri ini. Tapi di luaran kau tak bisa aman sebab semua prajurit bahkan perwira Pakuan akan mengejarmu. Dengan mudah Ki Bagus Seta akan menuduhmu sebagai penjahat dan pembunuh. Pikirlah secara baik-baik.
Kalau kau sudah diketahui fihak penguasa bahwa kau jahat, maka tak ada ampun bagimu dan kami sudah tak bisa melindungimu, sama sulitnya seperti kami hendak berusaha melindungi Ki Rangga Guna, saudara seperguruan yang lain," kata Ki Banaspati panjang-lebar.
Mendengar ini Ginggi termenung untuk beberapa saat. "Kalian sudah bertemu Ki Rangga Guna?" tanya Ginggi.
Ki Banaspati malah terlihat tertawa. Namun kemudian wajahnya serentak menjadi kelabu dan keningnya berkerut.

"Itulah ruginya bagi yang tak faham dengan taktik perjuangan," kata Ki Banaspati lagi. "Sejak dulu dia dikejar-kejar pemerintah. Celakanya, dia pun tak mau mengerti taktik perjuanganku. Dia datang ke wilayah Kandagalante Sagaraherang dan menantang serta menegurku. Terpaksa aku dan Kandagalante Sunda Sembawa turun tangan. Ki Rangga Guna ditangkap dan ditahan di sana. Aku masih berbaik hati sebab keinginan Sunda Sembawa, dia harus dibunuh!" kata Ki Banaspati, membuat Ginggi terhenyak. "Oleh sebab itu, taatilah kami. Kau tak perlu sangsi dengan perjuangan kami, sebab semua tetap berpegang kepada amanat Ki Guru!" kata Ki Banaspati lagi.

Ginggi termenung lama-lama. Hatinya mulai meragu akan kebenaran yang ada pada dirinya.

"Aku juga berpegang kepada amanat Ki Darma. Tapi yang aku tak mengerti, mengapa musti bunuh Raja?" tanya Ginggi mencoba menghabiskan rasa penasarannya.

"Sudah aku katakan, perjuangan ini membangun. Dan membangun juga bisa diartikan merusak, merusakkan sendi-sendi lama yang dianggap tak cocok dan diganti dengan sendisendi baru. Yang namannya merusak adalah menghancurkan, menghilangkan dan membersihkan. Kita ganti dengan yang baru, dengan yang bersih dan berguna bagi siapa saja!" kata Ki Banaspati lagi. Ginggi termangu-mangu.

"Kau pikirlah itu baik-baik …" kata Ki Bagus Seta yang sejak tadi tak begitu banyak bicara.

Terus didesak dan ditekan seperti itu membuat Ginggi bingung sendiri. Akhirnya dia duduk meloso di lantai dan menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.

"Kalau aku melaksanakan tugas ini, bersediakah kalian melaksanakan permintaanku?" tanya Ginggi pada akhirnya.

"Apa permintaanmu?"

"Lepaskan Ki Rangga Guna dan bebaskan aku!"

Ki Banaspati tersenyum, "Membebaskan Ki Rangga Guna amat bergantung pada kesuksesanmu mengemban perintah, sebab bila Raja telah mati, otomatis semua kebijaksanaannya tak berlaku, termasuk mencap murid-murid Ki Darma sebagai pengkhianat!" kata Ki Banaspati lagi.

"Dan sesudah selesai perjuangan kita, bukan sesuatu yang sulit membebaskanmu ke mana kau suka," katamya lagi

Ginggi termenung sejenak, tapi kemudian berkata, "Baik kalau begitu …"

Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta saling pandang dan kemudian mengangguk dan tersenyum.

***

Begitu besarnya pengaruh Ki Bagus Seta seperti yang Ginggi rasakan. Peristiwa terbunuhnya belasan jagabaya di purinya yang dituduhkan pada Ginggi tidak berbekas sama sekali. Para jagabaya di puri tidak menganggap Ginggi sebagai musuh yang harus ditangkap. Dia kembali bisa bebas bergerak. Ini hanya menandakan bahwa kebebasan dirinya karena pengaruh Ki Bagus Seta. Paling tidak di sekitar purinya sendiri.

Ki Bagus Seta demikian berkuasa untuk menentukan kebenaran. Sepertinya di puri itu, hukum berada di lidah dan mulutnya. Baru saja Ginggi dituduh pembunuh dan Ki Bagus Seta mengerahkan prajurit untuk mengepungnya, namun belakangan dengan entengnya dia membatalkan tuduhannya, sehingga Ginggi pun bebas kembali. Lantas, belasan jagabaya yang mati bergeletakan, mau diapakan selanjutnya?

Ini amat mengherankan Ginggi. Bukan saja heran memikirkan situasi di dalam puri Ki Bagus Seta, bahkan situasi keseluruhan Pakuan pun Ginggi merasa heran. Bagaimana sebenarnya hukum yang berlaku di Pakuan ini? Ada terjadi beberapa peristiwa yang memakan korban jiwa. Dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu begitu saja sanggup melepaskan diri dari urusan itu. Para hamba hukum yang ada di Pakuan sepertinya tidak pernah tahu akan adanya peristiwa di puri Suji Angkara yang memakan korban misalnya. Para pejabat hukum Pakuan sepertinya benar tak mengetahui peristiwa itu karena Suji Angkara pandai menyembuyikannya. Tapi peristiwa di puri Bagus Seta di mana belasan jagabaya terbunuh dan semua dituduhkan padanya, mengapa bisa tak diketahui oleh para pejabat hukum istana, padahal Ki Bagus Seta sempat memanggil prajurit istana?

Timbul dugaan bahwa pengaruh-pengaruh Ki Bagus Seta benar-benar telah merambah ke istana. Dengan kata lain, di istana pun sudah banyak terdapat orang-orang yang bekerja untuk kepentingan Ki Bagus Seta. Bila tidak begitu, tidak mungkin banyak berita perihal istana sampai dengan cepat ke puri Bagus Seta.

Keputusan yang dijatuhkan Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati dalam upaya membunuh Raja pun karena adanya berita-berita yang datang dari istana. Ki Bagus Seta menerima khabar bahwa Sang Prabu Ratu Sakti tidak akan mengubah keputusannya dalam memilih orang yang dianggap cocok sebagaai penasihat Raja. Seperti yang sudah disebutkannya semula, Pangeran Yogascitra akan tetap diangkat sebagai penasihat.

Ini suatu berita yang amat menyakitkan Ki Bagus Seta. Padahal dia sudah berkorban banyak untuk memperjuangkan Bangsawan Soka sebagai penasihat. Putrinya satu-satunya telah terlanjur dia "tawarkan" pada Sang Prabu untuk dipersunting dan tak mungkin dibatalkan.
Dengan demikian Ki Bagus Seta benar-benar rugi segalanya.

Pada suatu hari Ginggi dipanggil ke ruangan tengah puri yang berfungsi sebagai paseban, yaitu tempat untuk mengadakan berbagai pertemuan penting.

Ginggi masuk ke ruangan itu manakala di sana sudah berkumpul pejabat penting. Selain Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati juga terdapat Bangsawan Soka. Mereka duduk bersila saling berhadapan dan wajah-wajahnya nampak tegang sekali.

"Masuklah!…" kata Ki Bagus Seta pendek. Bangsawan Soka nampak keheranan melihat Ginggi disuruh duduk di satu tempat.

"Bukankah anak muda ini badegamu, Seta?" tanya Bangsawan Soka mengerutkan dahi.

"Sekarang sudah aku angkat menjadi pembantu utamaku," kata Ki Bagus Seta. Bangsawan Soka hanya mengangguk-angguk pelan sambil mata menatap penuh selidik pada Ginggi.

"Ada perkembangan penting yang harus segera kita tangani, Ginggi," kata Ki Bagus Seta menoleh pada pemuda itu.

Ginggi hanya duduk membisu. "Sang Prabu yang seharusnya kita hormati dan junjung tinggi telah mengecewakan kita," kata Ki Bagus Seta. "Menurut berita yang sampai ke Bangsawan Soka, Sang Prabu selain akan mempersunting putriku, Nyimas Layang Kingkin, juga tidak akan membatalkannya dalam melaksanakan pernikahannya dengan putri Pangeran Yogascitra. Padahal tadinya aku menyerahkaan anakku dengan harapan Sang Prabu mengabaikan hubungan dengan Pangeran itu dan berbalik padaku. Kita kecewa sebab Sang Prabu ternyata tak begitu menghargai kita," katanya lagi masih menatap Ginggi.

Pemuda ini belum tahu persis apa sebenarnya maksud penyampaian berita ini. Hanya yang jelas ada juga rasa tak enak di hatinya. Mengapa begitu, Ginggi sendiri belum mengetahuinya.

"Tapi kita belum mau putus asa, perjuangan harus dilanjutkan," kata Ki Bagus Seta lagi, kini menatap wajah Bangsawan Soka.

"Soka, kalau engkau punya rencana, kemukakan pada pembantu utamaku!" katanya masih melihat Bangsawan Soka.

Yang ditatap malah menoleh kepada Ginggi. Matanya menyorot penuh selidik dan ada kesan menyangsikan Ginggi.

"Berhargakah seorang badega kuajak bicara?" gumamnya seolah merendahkan Ginggi. "Boleh kau selidik, serendah apa pembantuku ini," kata Ki Bagus Seta tersenyum kecil.
Begitu selesai ucapan ini, Bangsawan Soka segera mengirim tonjokan tangan kanannya mengarah hidung Ginggi. Dengan gerakan ringan tapi mantap, sambil duduk bersila Ginggi hanya miringkan kepala sedikit ke kiri, tonjokan tangan kanan Bangsawan Soka nyeplos memukul angin. Kegagalan ini segera disusul dengan tonjokan tangan kiri dan Ginggi enteng saja miringkan kepalanya ke kanan. Rupanya bangsawan ini belum merasa puas dan masih penasaran untuk mencoba serangan ketiga. Kali ini kedua belah tangannya dia satukan dan sepasang telapak tangan dirangkap seperti akan menyembah. Tapi dengan tenaga penuh dia sodokkan ke depan mengarah wajah Ginggi. Ginggi tak mau wajahnya disodok sepuluh jarijari tangan yang nampak runcing dan kuat. Dengan gerakan kilat wajah dan tubuhnya dia doyongkan ke belakang dan serangan ketiga ini masih lolos.

Bangsawan Soka rupanya lupa bahwa tadi dia hanya ingin mencoba saja. Tapi karena tiga serangan begitu entengnya dihindarkan Ginggi, sepertinya dia menjadi merasa terhina dan direndahkan. Apalagi pemuda itu dalam menghindar tak pernah menggerakkan badannya secara berlebihan.

Kini Bangsawan Soka segera memutar-mutar sepasang tangannya, membusungkan dada, menahan pernapasan dan menarik sepasang tangannya ke belakang. Dengan kedua telapak tangan terbuka, dia mendorong angin pukulan ke depan disertai teriakan keras. Ginggi tak tinggal diam. Sambil membaca doa-doa yang diberikan Ki Rangga guna, Ginggi mencoba menahan pukulan lawannya.

Suji Angkara Harus Diwaspadai

Hampir setahun lalu Ki Rangga Guna memberikan pengetahuan singkat perihal penjagaan diri. Kata Ki Rangga Guna, setiap benda, baik itu benda mati atau pun hidup memiliki daya kekuatan (energi). Bisa mengeluarkan energi tapi bisa pula menahan diri dari kekuatan yaang datang menyerang. Kalau disadari kekuatan itu ada, maka semakin besar, maka semakin besar daya dobrak lawan, akan semakin kuat pula daya tahannya. Ibarat sebuah benda yang dijatuhkan ke atas bantalan karet, semakin berat benda itu jatuh ke atas karet, maka akan semakin kuat pula tenaga karet untuk melontarkan kembali benda yang menimpanya itu.

"Engkau harus percaya akan adanya tenaga dalam yang ada pada diri manusia," kata Ki Rangga Guna tempo hari. "Ada tenaga maha kuat dalam diri kita. Kalau kita sanggup mengendalikannya, selain berguna untuk melakukan serangan terhadap lawan, juga lebih berguna lagi digunakan sebagai perisai. Kala pernapasanmu baik, kalau jiwamu kuat, maka semakin besar tenaga dalam lawan menyerang kita, maka akan semakin besar pula tenaga tolakan yang ada dalam dirimu,"

Sudah berapa kali ilmu yang diberikan Ki Rangga Guna dia praktekkan. Peragaan paling berat ketika menghadapi serangan-serangan Ki Bagus Seta kemarin dulu. Dan benar belaka apa yang dikatakan Ki Rangga Guna, bila dia sanggup menghimpun pernapasan serta memiliki ketahanan jiwa yang tangguh, energi yang ada di dalam dirinya sanggup menahan serbuan tenaga dalam dari lawan. Ki Bagus Seta yang pandai menggunakan tenaga dalam, bisa dia tolak dengan pengerahan batinnya.

Sekarang peristiwa adu tenaga dalam rupanya akan terulang lagi, sebab Bangsawan Soka begitu bernafsunya untuk menyerang pemuda itu. Ginggi sebetulnya khawatir menerima serangan ini. Bukan karena takut kalah, tapi selintas pemuda ini bisa melihat, tenaga dalam Bangsawan Soka kurang begitu kuat. Tenaga dalam yang lemah menandakan jiwa yang lemah pula. Ginggi takut, bila Bangsawan Soka menyerang Ginggi dengan sangat bernafsu, hanya akan mencelakakan dirinya saja.

Untuk menolong agar Bangsawan Soka tidak terluka sebetulnya amat mudah, caranya, Ginggi jangan bersifat menolak kepada serangan tenaga dalam lawan. Tapi kalau begitu, dirinyalah kelak yang akan celaka. Mana mungkin pemuda itu mandah saja dibuat celaka. Jadi apa pun yang terjadi, Ginggi harus melayani serangan ini.

Bangsawan Soka membentak keras sambil mendorong sepasang telapak tangannya ke depan. Serentak Ginggi pun mengumpulkan tenaga batin membuat pertahanan.

Blaarr! Terdengar suara keras. Dan tubuh Ginggi hanya bergoyang sebentar sambil kedudukan tak pernah berubah, yaitu masih tetap duduk bersila. Namun lain lagi dengan keadaan Bangsawan Soka. Begitu angin pukulannya ditolak oleh dorongan balasan pemuda itu, serentak tubuhnya terpental ke belakang, jatuh berguling-guling hampir menubruk pilar kayu.

Untuk sejenak Bangsawan Soka tak bisa bangkit, kecuali menggerak-gerakkan tubuhnya dengan susah-payah. Ki Bagus Seta berdiri menolong bangsawan jumawa itu. Nampak ada lelehan darah di sudut bibirnya.

Bangsawan Soka digandeng karena tak sanggup melangkah sendiri. Sesudah itu duduk susahpayah, bersandar pada tiang kayu.

"Mengapa kau sembunyikan kepandaian anak muda itu?" tanya Bangsawan Soka terengahengah dan sedikit menekan dadanya. Bangsawan Bagus Seta tersenyum tipis mendengar pertanyaan ini.

"Hanya menandakan bahwa puri ini memiliki banyak kekuatan tersembunyi," gumamnya sedikit sombong.

Namun Bangsawan Soka tak melihat ini sebagai kesombongan. Dia malah menganggukangguk seperti puas dengan kenyataan ini.

"Bagus. Dengan demikian lebih meyakinkan diriku akan kesuksesan perjuangan kita," kata Bangsawan Soka masih mengusap-ngusap dadanya karena rasa sakit.

"Itu artinya kau sudah tak menyangsikan kemampuan pembantu utamaku," kata lagi Ki Bagus Seta sambil melirik pada Ginggi. "Kemukakanlah apa yang menjadi rencanamu pada pembantuku," lanjutnya.

Ginggi menatap tajam, ingin sekali mendengarkan apa yang akan dikemukakan bangsawan berwajah bundar ini.

"Kegagalan kita membujuk Raja agar mengangkatku sebagai penasihatnya adalah karena kelicikan Pangeran Yogascitra. Dia penjilat. Ucapannya hanya yang manis-manis yang disampaikan pada Raja. Tapi yang lebih parah dari itu, Yogascitra gemar memburukburukkan sesama pejabat. Ya, itu hanya karena ambisinya, agar dirinyalah yang dipercaya dan dianggap baik oleh Raja. Dia bahkan menjilat tak kepalang tanggung, anak gadisnya, Nyimas Banyak Inten dia serahkan pada Sang Prabu, padahal dia tahu, Nyimas Banyak Inten dicintai oleh Raden Suji Angkara, putra Ki Bagus Seta," kata Bangsawan Soka menatap tajam pada Ginggi dan menoleh sebentar pada Ki Bagus Seta.

Ginggi masih sama memandang kepadanya sebab bangsawan bermata kecil ini belum mengemukakan apa yang disebutnya sebagai rencana seperti apa kata Ki Bagus Seta tadi.

"Yang menjadi gara-gara kegagalan semua ini karena kehadiran Pangeran Yogascitra. Jadi bunuhlah orang itu!" kata Bangsawan Soka seperti atasan yang memerintah bawahannya.

Ginggi hanya termenung mendengar ucapan Bangsawan Soka ini, sehingga semua orang menatap dirinya seperti memaksa meminta jawaban pasti.

"Banyak sekali pesanan membunuh padaku…" gumam Ginggi memangku tangan dan menghela napas.

"Itu memang sudah menjadi tugasmu. Ikut dalam perjungan punya risiko tinggi dalam melakukan pembunuhan," kata Ki Banaspati yang sejak tadi hanya diam saja.

"Ini perintah dan bukan sekadar pesanan! Kau harus tahu itu!" kata Ki Bagus Seta pasti dan seperti tak mau ditawar-tawar.

Namun belum juga Ginggi menjawabnya, dari luar ada suara jagabaya mohon izin untuk menghadap.

"Masuk!" kata Ki Bagus Seta. Jagabaya masuk dengan kaki beringsut, duduk bersila dan menyembah takzim. "Ada apa?"
"Raden Suji Angkara mohon menghadap, Juragan …" "Suji Angkara?" gumam Ki Bagus Seta.
"Biarkan dia masuk…" kata Ki Banaspati. "Ya … suruh dia masuk!"
Jagabaya undur dari ruangan itu dengan penuh hormat.

"Ginggi, kau mundur ke sudut sana. Perlihatkan seolah-olah kau tetap seorang badega!" kata Ki Banaspati.

Tidak banyak bicara, pemuda itu segera ke belakang, duduk agak jauh di sudut.

Tidak begitu lama Suji Angkara memasuki ruangan. Walau pun datang dengan sikap hormat, tapi nampak sekali wajahnya muram dan pakaiannya kusut, sehingga hilang sudah sikap pesoleknya itu.

"Ayahanda …" kata Suji Angkara menyembah takzim, juga menyembah pada yang lainnya. Ketika giliran memberi hormat kepada Ki Banaspati terlihat kesan keterpaksaan. Ki Banaspati hanya tersenyum pahit memandang pemuda itu.

"Sepertinya kau punya sesuatu yang amat dirisaukan, Suji?" tanya Ki Bagus Seta memandang tajam pemuda itu.

"Barangkali Ayahanda sudah tahu masalahnya," kata pemuda itu balik menatap. "Soal Nyimas Banyak Intenkah …?" tanya Ki Bagus Seta.
"Ya … siapa lagi?" Suji Angkara tetap memandang Ki Bagus Seta seperti memendam satu kepenasaran.

"Yogascitra memang tidak sopan padaku …" gumam ayahandanya, dengan nada pahit dan sepasang matanya menerawang entah ke mana.

"Ayahanda sepertinya tidak begitu memperhatikanku …" gumam Suji Angkara memalingkan wajah dan menunduk. Dadanya turun naik dengan cepat. Barangkali dia menahan kepedihan hati, barangkali juga karena menekan kemarahan.

"Justru karena aku memperhatikanmu aku punya rasa sakit hati oleh tindakan Pangeran Yogascitra itu. Dia tak memandangmu. Juga tak memandangku," kata lagi Ki Bagus Seta.

"Ya … mereka amat merendahkan aku …" Suji Angkara bergumam pahit. "Betul … harus dilakukan satu tindakan tegas agar mereka tahu siapa kita!" kata Ki Bagus Seta seperti memanas-manasi hati Suji Angkara.

"Ya … harus ada tindakan tegas … Harus ada tindakan tegas," Suji Angkara mengulangulang perkataan ini sambil mata menerawang ke tempat jauh. Nada suaranya dingin dan wajahnya pucat sekali, sehingga Ginggi bergidik melihatnya.

"Kau bunuhlah Yogascitra, karena orang itulah yang menghalangi cita-citamu!" Bangsawan Soka ikut menyela pembicaraan sehingga mengagetkan semua orang. Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati serta Ginggi menoleh pada pejabat berperut buncit ini.

"Membunuh Yogascitra? hehehe …" masih dengan wajah pucat dan nada suara dingin, pemuda itu terkekeh-kekeh.

"Ya, bunuh keparat itu! Bunuhlah Suji. Sebab dengan membunuh Yogascitra di samping citacitamu akan terlaksana, juga kau membantu sebuah perjuangan!" kata Bangsawan Soka dengan nada berapi-api.

"Bunuh Yogascitra, ya … Hehehe, bunuh Yogascitra …" gumam lagi Suji Angkara ketawa seperti setan. "Ayahanda … restui aku. Karena kau tak sanggup memperjuangkan hidupku, maka aku yang akan memperjuangkannya …" kata Suji Angkara berjingkat dan tanpa memberi hormat berlalu dari tempat itu.

"Soka, kau sembrono mempengaruhi anakku membunuh Yogascitra!" kata Ki Bagus Seta dengan nada penuh teguran.

Yang ditegur hanya tertawa terkekeh-kekeh.

"Kita harus berusaha memanfaatkan berbagai peluang. Anakmu berpeluang baik dalam membantu perjuangan kita. Dia tengah digoda kebencian. Orang akan mudah membunuh karena benci," jawab Bangsawan Soka masih dengan senyum menghiasi bibirnya yang tebal.

"Tapi orang yang tengah dipenuhi rasa benci akan melakukan tindakan sembrono. Dia tidak akan hati-hati. Dan kalau dia menyerbu puri Yogascitra dengan terang-terangan, hanya akan merugikan aku saja!" kata Ki Bagus Seta masih tak setuju dengan pendapat Bangsawan Soka.

"Dengan adanya urusan ini, semua orang sudah tahu bahwa terjadi pertentangan antara kau dan Pangeran Yogascitra. Tapi harus kau ingat, urusanmu dengan Yogascitra paling parah adalah persaingan kalian dalam mempersembahkan anak gadis pada Raja. Sedangkan rasa sakit Suji Angkara karena kekasihnya direnggut dari cita-citanya adalah urusan tersendiri. Sekali pun Suji Angkara benar-benar membuat huru-hara di puri Yogascitra orang tak akan menuduh bahwa anakmu dikendalikan olehmu!" kata bangsawan berkumis jarang ini.

Ki Bagus Seta termenung. Rupanya dia telah menimbang-nimbang perkataan Bangsawan Soka. Dan akhirnya dia pun menoleh pada Ginggi yang masih duduk di sudut.

"Ginggi, kawal Suji Angkara dan awasi dia!" katanya pada Ginggi. "Dan jangan lupa, kalau dalam huru-hara itu Suji Angkara mengalami kesulitan membunuh Yogascitra, kaulah yang harus menyelesaikannya. Bunuh Yogascitra olehmu secara diamdiam!" kata Bangsawan Soka.

Mendengar ucapan pejabat ini, Ki Banaspati yang sejak tadi terlibat pembicaraan tertawa terbahak-bahak sehingga yang lainnya melirik heran padanya.

"Bangsawan Soka benar-benar calon penasihat yang cerdik. Dia sanggup mengukir taktik dengan jitu," kata Ki Banaspati memuji, sehingga yang dipuji tertawa renyah.

"Dan jangan lupa, sesudah Ginggi secara diam-diam berhasil membunuh Yogascitra, dia harus ikut mengejar Suji Angkara, bahkan dia pulalah yang harus membunuh Suji Angkara. Usahakan agar pembunuhan dilakukan secara terang-terangan di hadapan orang-orang Yogascitra!" kata Ki Banaspati.

Yang lain menatap penuh rasa heran. Taktik Ki Banaspati belum dimengerti benar oleh siapa pun.

"Mengapa harus dilakukan di depan orang-orang Yogascitra?" tanya Bangsawan Soka.

"Agar Ginggi dianggap berjasa oleh mereka sehingga mendapatkan penghargaan dari orangorang Yogascitra. Akan lebih baik kalau akhirnya Ginggi dipercaya untuk mengabdi di lingkungan puri Yogascitra!"

Mulanya ucapan Ki Banaspati ini ditanggapi dengan kerutan dahi oleh kedua orang pejabat yang duduk di hadapannya. Tapi sesudah berpikir sebentar, Bangsawan Soka nampak berwajah cerah bahkan tertawa terkekeh-kekeh.

"Kau pandai! Kau pandai Banaspati. Aku tahu akalmu. Kau akan menyusupkan orangmu ke dalam puri Yogascitra sehingga kelak akan lebih mudah menyelesaikan tugas-tugas penting, begitu kan?" tanya Bangsawan Soka. Ki Banaspati mengangguk dengan senyum dikulum.

"Betul. Karena orang-orang Yogascitra nampaknya mendapatkan kepercayaan yang baik dari kalangan istana, maka diharapkan Ginggi bisa keluar-masuk istana dengan mudah," kata Ki Banaspati lagi.

Bangsawan Soka menepuk pahanya tanda setuju dengan taktik ini, begitu pun Ki Bagus Seta nampak tersenyum tipis.

"Ini tugas maha penting bagimu, Ginggi. Bila kau sanggup menjalankan tugas ini dengan baik, maka kedudukanmu kelak akan mulia," kata Ki Banasapati menoleh pada Ginggi.

"Kau berangkatlah sekarang, awasi Suji Angkara. Kalau anakku mulai menyerbu puri Yogascitra, kau harus pandai-pandai menyelinap ke sana," kata Ki Bagus Seta memerintah Ginggi.

Ginggi mengangguk bahkan menyembah takzim. Sesudah itu dia undur dari ruangan paseban. Tiba di halaman puri, Ginggi bertemu jagabaya dan bertanya ke mana kira-kira Suji Angkara pergi.

"Saya lihat dia menuju puri Nyimas Layang Kingkin, Raden …jawab jagabaya hormat sekali. Ginggi tersenyum pahit mendengar dirinya dipanggil Raden. Begitu mudahnya Ki Bagus Seta mengubah keadaan, termasuk yang menyangkut nasib seseorang.

Ginggi tak banyak cakap, serta-merta dia menuju puri tempat tinggal Nyimas Layang Kingkin. Menoleh kiri-kanan dulu. Sesudah yakin tak ada orang di sekitar tempat itu, dia segera meloncat naik ke atas benteng. Loncat lagi kiri-kanan, kemudian masuk ke ruangan dalam. Ginggi dapatkan Suji Angkara tengah duduk berhadapan dengan adik tirinya. Melalui celah dinding kayu, Ginggi mendapatkan pemuda itu duduk termenung dan ada lelehan airmata di sepasang pipinya.

"Aku mencintai Nyimas Banyak Inten, sungguh mati, aku cinta," kata Suji Angkara dengan suara memelas.

"Ya, kau harus berjuang sendiri kalau memang itu yang kau inginkan. Kita sebenarnya punya keinginan sama, yaitu tak mengizinkan Nyimas Banyak Inten bersanding dengan Sang Prabu, kendati kepentingan kita berbeda. Aku tak mau ada saingan. Sang Prabu memang banyak memelihara selir, tapi yang namanya selir baru, pasti mendapatkan perhatian lebih. Jadi aku tak mau perhatian Sang Prabu pada selir baru terbagi dua. Engkau harus jauhkan Nyimas Banyak Inten dari puri istana, sebab kalau kau tak berhasil memboyongnya, maka akulah yang akan menyingkirkan pesaingku, Kakanda Suji …" kata Nyimas Layang Kingkin dengan suara mantap dan tegas.

"Jangan … Jangan engkau yang menggagalkan keinginan Sang Raja. Tanganmu terlalu bersih dan hatimu terlalu halus. Jangan kau kotori nama baikmu dengan tindakan-tindakan seperti itu. Biarlah Kanda yang berjuang menjauhkan Nyimas Banyak Inten dari kesempatannya memasuki puri istana. Hanya engkau, hanya engkau yang akan menjadi selir terkasih Sang Raja, yang menghiasi puriSri Bima Untarayana MaduraSuradipati dan yang sanggup membahagiakan penghunikedaton (istana) Pakuan itu …"

"Terima kasih bila Kakanda merasa aku lebih berharga duduk menjadi penghuni Taman Mila Kancana atau jadi penumpang perahu hias di Telaga Rena Maha Wijaya. Aku pun akan berdoa agar ciat-citamu bersanding dengan Nyimas Banyak Inten bisa terlaksana …" kata Nyimas Layang Kingkin. Keduanya saling berpegangan tangan dan Suji Angkara nampak berurai air mata kembali.

Wajahnya masih tetap pucat dan bibirnya bergetar, tapi oleh Ginggi terlihat senyum di bibir pucat itu.

***

Malam harinya terpaksa Ginggi harus keluar puri Ki Bagus Seta. Dia akan berusaha mengawasi gerakan Suji Angkara.

Sudah sejak senja hari sebetulnya Ginggi mengamati puri pemuda itu. Jagabaya yang sempat dia tanya selalu mengatakan bahwa pemuda itu sejak siang hari tak pernah keluar dari puri itu. "Beliau pergi keluar ketika akan menghadap ayahandanya saja. Sepulang dari puri Bagus Seta, Raden tak pernah keluar lagi. Ada apakah engkau tanya-tanya tentang majikanku, hey badega?" tanya jagabaya. Ginggi tersenyum lagi.

Di puri Bagus Seta dia sudah terangkat julukannya menjadi Raden. Etika basa-basi di Pakuan begitu kuat memisahkan tahapan-tahapan hidup manusia. Antara puri Bagus Seta dan puri Suji Angkara letaknya tak begitu jauh, tapi penilaian orang pada Ginggi sudah berbeda jauh. Di hormati dan dipanggil raden di puri Bagus Seta serta dianggap enteng dipanggil badega di puri Suji Angkara, padahal baik wajah mau pun penampilan Ginggi tak berubah. Hanya karena tahu dan tidak tahu saja maka orang menghormat dan tak menghormati dirinya. Orangorang puri Bagus Seta menghormati dirinya karena mereka tahu dirinya diangkat menjadi pembantu utama. Para pembantu utama kaum bangsawan dan juga pejabat istana akan juga dihormati seperti itu. Sebaliknya orang-orang Suji Angkara hanya tahu Ginggi keluyuran di puri itu beberapa waktu lalu sebagai badega saja. Menyebalkan basa-basi dan aturan ini, pikir Ginggi dalam hatinya.

Sampai malam tiba, Suji Angkara tidak terlihat keluar puri. Ini sebetulnya meresahkan Ginggi. Kalau benar pemuda itu mengurung diri di dalam puri, tak mengapa. Ini hanya menandakan bahwa pemuda itu tidak melakukan apa-apa. Tapi benarkah Suji Angkara diam mengurung diri di purinya?

Ginggi teringat perbuatan Bangsawan Soka yang mengipas-ngipasi Suji agar hatinya panas dan marah terhadap Pangeran Yogascitra.

Suji Angkara memang terpengaruh dan kemarahannya tersulut sehingga sepertinya dia hendak melakukan pembunuhan terhadap diri Pangeran Yogascitra. Namun ketika percakapan dengan Nyimas Layang Kingkin secuil pun tidak membicarakan kemarahannya terhadap Pangeran Yogascitra. Yang mereka bicarakan adalah bagaimana caranya agar Nyimas Banyak Inten tak jadi "masuk" ke puri istana. Dari pendengarannya ini Ginggi baru mengetahui perasaan Nyimas Layang Kingkin. Ternyata gadis anggun yang berpenampilan dewasa ini punya ambisi besar dalam memenangkan persaingan menjadi selir Raja. Tidak sekadar ingin menjadi selir saja, melainkan juga menginginkan hanya dia seorang yang menjadi selir baru bagi Raja. Gadis itu tak mau disaingi oleh Nyimas Banyak Inten. Berbahaya juga gadis itu, pikir Ginggi. Tapi jalan pikirannya ini segera dikoreksi kembali. Berbahayakah seseorang mempunyai ambisi? Jahatkah bila seseorang mendambakan satu ambisi setinggi-tingginya?
Gadis itu berambisi tinggi masuk ke puri istana raja dan ingin menempatkan dirinya sebagai selir terkasih Raja. Untuk itulah sejak dulu dia membujuk kakandanya, Suji Angkara agar tak segan-segan mempersunting Nyimas Banyak Inten. Baru belakangan ini Ginggi maklum akan maksud gadis itu. Dia selalu berdoa dan mendukung cita-cita Suji Angkara dalam upaya mendapatkan Nyimas Banyak Inten bukan karena rasa sayang seorang adik terhadap kakaknya, melainkan berdasarkan pada kepentingan dirinya semata. Ginggi amat maklum kini, kalau Suji Angkara berhasil mempersunting Nyimas Banyak Inten, maka cita-cita dirinya untuk menjadi selir Raja tidak akan mengalami hambatan. Sekarang sebenarnya Nyimas Layang Kingkin sudah mencapai cita-citanya sebab Raja berkenan mengambilnya sebagai selir. Namun tetap saja gadis itu belum merasa puas sebab masih dibayang-bayangi persaingan. Dia tak menginginkan rasa kasih Raja terhadap selir baru terbagi dua. Itulah sebabnya, gadis itu selalu memanas-manasi kakandanya dengan doa dan dukungan agar Suji Angkara tetap setia dengan cita-citanya. Sebegitu jauhkah ambisi seseorang, sampai-sampai Nyimas Layang Kingkin tidak mempedulikan lagi Banyak Angga yang padahal menurut khabar, mereka telah bertunangan?

Kini Ginggi mencoba berpikir perihal hubungan Suji Angkara dengan Nyimas Banyak Inten. Sejauh mana hubungan cinta mereka berjalan? Kalau Suji Angkara sudah jelas. Pemuda cabul yang gemar berlaku tak senonoh ini sebenarnya punya rasa cinta juga di hatinya. Terbukti, kendati dia beberapa kali memcoba memasuki puri gadis itu dengan cara tidak sah, namun sepertinya ada perasaan cinta sungguh-sungguh yang bersemi di hatinya. Tapi Nyimas Banyak Inten sendiri bagaimana?

Ginggi sulit menyimak perasaan gadis itu. Ketika dia diributkan dicinta oleh dua orang lelaki sekaligus, tak ada sikap tertentu yang ditampilkan. Malah di Taman Mila Kancana beberapa bulan lalu, ketika Ginggi diutus Suji Angkara menyerahkan surat pada gadis itu, Nyimas Banyak Inten hanya mengatakan bahwa sejauh ini dia tak memikirkan urusan cinta sebab dia belum dewasa benar. Tapi ketika purinya diganggu "penjahat" dan Suji Angkara menampilkan diri sebagai "pahlawan", gadis itu dengan penuh perhatian merawat luka Suji Angkara, hampir-hampir membuat Ginggi sedih dan cemburu.

"Cinta pulakah Nyimas Banyak Inten terhadap Suji Angkara?" gumamnya sendirian di gelap malam sudut benteng puri. Ginggi menghela napas dalam-dalam. Bila teringat Nyimas Banyak Inten membuat hatinya sedih. Kemelut cinta di antara mereka sebenarnya kemelut besar, dan Ginggi terlalu kecil untuk ikut-ikutan terjun dalam kemelut tersebut. Tapi entah mengapa, perasaan hatinya tak bisa dibendung. Setiap malam tiba dia selalu susah tidur karena wajah anggun putri bangsawan itu selalu menghiasi kelopak matanya. Beberapa kali dia bertemu wanita, bahkan merasakan hangatnya tubuh seorang wanita seperti Nyi Santimi, tapi perasaan yang ada di jiwanya kali ini terasa lain. Ginggi boleh bertemu dengan macammacam pengalaman, yang menyedihkan, menjengkelkan bahkan membuat dirinya marah, tapi tak ada yang membuat dirinya serasa nestapa selain bila harus berpikir perihal keberadaan Nyimas Banyak Inten.

Ratapan Nyimas Banyak Inten

Nyimas Banyak Inten itu gadis bangsawan terhormat. Ayahnya berkedudukan tinggi di Pakuan, bahkan sekarang di percaya Raja untuk diangkat menjadi penasihat. Nyimas Banyak Inten demikian molek, anggun dan cantik laksana bidadari. Dia diperebutkan banyak ksatria dan dicinta Raja. Maka bila diukur dengan kedudukannya, dirinya seperti burung gagak merindukan bulan. Seperti setetes air ingin menyamai lautan, atau seperti asap tungku ingin disejajarkan dengan awan berarak di angkasa. Dirinya hanya seujung kuku bila dibandingkan dengan posisi gadis itu. Seharusnya Ginggi tahu diri. Seharusnya dia menghukum dirinya dengan cara membuang jalan pikirannya dan pergi jauh dari Pakuan. Tapi mengapa ia tak mampu bertindak begitu? Ginggi bertahan dengan banyak kesengsaraan di Pakuan. Bukan karena terlalu setia dengan penyelidikannya, melainkan juga karena selalu ingin membayangkan Nyimas Banyak Inten.

"Ah, sialan aku ini!" keluhnya seorang diri.

Sekarang bulan sudah mulai timbul lagi, hanya berupa sabit tipis, setipis kesempatannya dalam menjangkau impian muluk. Bulan sabit banyak ditemani bintang-gemintang, ribuan banyaknya. Tapi apakah bulan sabit bisa percaya diri bakal menerangi jagat raya ini? Tidak, seharusnya bulan sabit tahu diri, dia tak sanggup menggapai bumi, dia tak sanggup menerangi alam raya dalam keadaan begitu. Ribuan bintang yang menemaninya hanyalah mengolok-olok dirinya, sebab para gemintang pun tidak akan sanggup membantu dirinya untuk menerangi alam raya ini.

Ginggi terus berceloteh dalam hatinya, sampai-sampai dia hampir melupakan tujuannya mengamati Suji Angkara.

Hanya setelah kesadarannya pulih, maka dia ingat lagi Suji Angkara.

Maka dengan heran dia amati, mengapa pemuda itu terus mengurung diri selama ini? Pemuda itu amat pesolek. Tukang pesta dan gemar foya-foya. Kalau malam baik seperti ini, dia sering mengundang prepantun atau para penembang cantik untuk menghibur dirinya. Di cuaca malam yang baik ini biasanya pemuda itu mengundang teman-teman sesama putra bangsawan untuk menikmati hiburan sambil minum tuak.

Suasana pesta mungkin dia lupakan mengingat hatinya tengah gundah-gulana. Tapi setidaknya pemuda itu harus terlihat biar barang sebentar.

Ginggi curiga. Itulah sebabnya, sesudah suasana dianggap aman dari tugur, Ginggi segera meloncat ke atas benteng puri dan menyelinap masuk ke sebuah bangunan utama di mana biasanya Suji Angkara berada.

Puri itu sunyi saja. Lentera di beberapa sudut kamar pemuda itu tidak dipasang sehingga kegelapan ruangan amat mencekam. Ginggi mencoba meloncat dan naik ke atas atap sirap hitam. Lapisan sirap dia buka sedikit sehingga bisa mengawasi ruangan tempat tidur Suji Angkara. Tapi di tempat tidur tak ada siapa-siapa. Suji Angkara tidak ada di sana dan berarti sedang berada di luar, tapi di mana?

Ginggi meloncat turun lagi. Kini dia tuju ruangan belakang di mana biasanya terdapat beberapa pekerja puri. Kebetulan Ginggi masuk ke ruangan dapur dan mendapatkan seorang wanita setengah baya. Wanita itu sejenak kaget melihat ada orang masuk secara tiba-tiba.
Namun sesudah diketahuinya bahwa yang masuk adalah Ginggi, dia hanya senyum kecil.

"Dasar anak kurang sopan, masuk ke tempat orang tidakuluk salam (mengucap salam). Mau apa bocah gendeng masuk ke sini?" tanyanya.

"Aku cari tuan muda Suji Angkara, di mana dia?"

Yang ditanya termenung sejenak seolah-olah mengingat-ingat sesuatu.

"Oh,ya … di mana yaSi Kasep (Si Tampan) itu? Tadi senja bibi lihat di taman belakang tapi sudah lama tak lihat masuk puri. Coba engkau cari di taman belakang …" jawab wanita setengah baya itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar