Senja Jatuh di Pajajaran Jilid 16

Jilid 16  

"Bukan begitu," kata Ki Bagus Seta. "Aku sedang berpikir sejauh mana kekuatan dan pengaruh Pangeran Yogascitra di mata Sang Prabu. Aku tidak hafal benar kepadanya. Yogascitra jarang bergaul, sehingga sifatnya pun aku kurang mengenalnya. Kalau sekarang secara tiba-tiba Sang Prabu akan memilihnya sebagai Penasihat Raja, tentu ada sesuatu sebab…" kata Ki Bagus Seta.

"Kalau engkau tak tersinggung, ingin kukemukakan sesuatu, barangkali akan terungkap mengapa Sang Prabu menoleh kepada Bangsawan Yogascitra," kata Bangsawan Soka.

"Cobalah kau katakan…"

Sunyi lagi sejenak. Rupanya Bangsawan Soka tengah menyusun perkataan agar bisa diterima dengan baik oleh Ki Bagus Seta.

Sementara malam sudah mulai jatuh, sehingga penerangan di sekeliling hanya mengandalkan lampu taman saja.

"Aku merasa bahwa kepercayaan Sang Prabu mulai terganggu…" kata Bangsawan Soka pada akhirnya.

"Hm… terganggu, ya…" gumam Ki Bagus Seta pelan.

"Dalam beberapa bulan terakhir ini engkau banyak mengalami kegagalan. Pemasukan pajak semakin berkurang dan ada beberapa wilayah di sebelah barat Cisadane mulai berpaling dari Pakuan. engkau harus berusaha mengembalikan kepercayaan Sang Pabu agar kedudukanmu kuat kembali, Bagus Seta," kata Bangsawan Soka.

Sunyi lagi. "Selama ini aku berusaha mengatur kebijaksanaan agar pajak masuk dengan lancar dan besar…"

"Bagaimana dengan wilayah timur yang kau katakan tengah diperjuangkan?" tanya Bangsawan Soka.

"Jangan salah mengerti. Sejak dulu kita bersatu dalam memperkuat kedudukan kita di Pakuan. Pertanyaanku tadi justru menginginkan satu jawaban pasti bahwa kedudukan kita tak terganggu," sanggah Bangsawan Soka.

Sunyi lagi.

"Kau pernah melaporkan kepada Sang Prabu, untuk memperkuat pengaruh Pakuan di wilayah timur Sungai Citarum, di beberapa wilayah kekuasaan Kandagalante harus dibangun kekuatan pasukan. Penyusunan pasukan sudah dilaksanakan. Tapi sejauh ini, wilayah timur belum terasa apa-apa bagi Pakuan. Hasil pajak yang diambil dari wilayah timur masih tak berarti ketimbang dana yang sudah dikirim ke sana untuk membangun pasukan. Engkau harus bertanya pada pada pejabat kepercayaanmu yang bernama Ki Banaspati, sejauh mana dia berjuang untuk kepentingan Pakuan," kata Bangsawan Soka.

"Sudah aku tanyai dia. Menurutnya, seba atau pajak yang ditarik dari wilayah timur untuk tahun-tahun awal pembentukan pasukan akan sangat sedikit dikirim ke Pakuan sebab sebagian besar masih digunakan untuk mengongkosi pembentukan pasukan itu sendiri," jawab Ki Bagus Seta pasti.

Bangsawan Soka untuk sementara tak memberikan komentar sehingga Ginggi hanya menyimak sesuatu yang sunyi sekali kecuali suara binatang malam jenis serangga yang terdengar dari arah pekarangan.

"Tapi apa pun yang terjadi, kita harus berjuang agar perhatian dan kepercayaan Sang Prabu jangan sampai pindah kepada Bangsawan Yogascitra!" tiba-tiba Bangsawan Soka berkata lagi.

"Ya, memang harus diusahakan. Tapi kita menghadapi kendala amat berat. Sang Prabu tengah menginginkan sesuatu dari Bangsawan Yogascitra. Beliau tertarik kepada keelokan Nyimas Banyak Inten. Kalau keinginan Sang Prabu terlaksana dan putri Bangsawan Yogascitra menjadi selir Raja, kedudukan bangsawan itu akan semakin kuat!"

"Hahaha!" Bangsawan Soka terdengar tawanya. "Mengapa engkau tertawa, Soka?"
"Itulah rupanya kuncinya. Kalau putri Bangsawan Yogascitra dipersunting Raja hubungan mereka semakin erat dan kedudukan Bangsawan itu semakin kuat!"

"Ya, begitu. Tapi mengapa kau tertawa?" Ki Bagus Seta bertanya bingung.

"Sudah aku katakan, itulah kuncinya. Jadi, kalau kau inginkan Yogascitra gagal memegang jabatan penasihat Raja, maka carilah akal agar hubungan mereka menjadi renggang!" kata Bangsawan Soka. "Kau maksudkan, keinginan Sang Prabu dalam mempersunting putri Yogascitra harus kita gagalkan?"

"Nah, ternyata kau pandai menebak!" seru Bangsawan Soka.

"Tapi amat berbahaya menjegal keinginan Raja…" kata Ki Bagus Seta sesudah agak lama tak terdengar komentarnya. "Rasanya itu perjuangan amat berat dan penuh risiko…" lanjutnya.

"Tidak berat kalau kau tahu caranya," desak Bangsawan Soka, "Raja belum pernah mengemukakan keinginannya itu secara langsung. Berita ini pun datangnya baru berupa bisikbisik para dayang istana Raja saja. Oleh karena itu, kita harus berpacu. Kau cepatlah pinang Nyimas Banyak Inten untuk putramu Suji Angkara, sebab bukankah kau pun maklum tentang keinginan putramu itu?"

Sunyi sebentar.

"Jangan kau risau dengan ini. Barangkali benar Sang Prabu akan sedikit tersinggung. Namun aku hafal betul perangai Sang Prabu. Kemarahannya akan cepat sirna kalau ada sesuatu keinginan lain sebagai penggantinya. Kau serahkanlah putrimu, Nyimas Layang Kingkin pada Raja, beliau pasti senang!"

"Gila!"

"Kau jangan merendahkan anakmu sendiri, Seta! Nyimas Banyak Inten memang putri elok tapi Nyimas Layang Kingkin lebih matang dan lebih dewasa. Dia akan lebih pandai melayani keinginan-keinginan Sang Prabu!"

"Tapi kau harus tahu, putriku sudah lama berhubungan dengan Banyak Angga, bahkan Bangsawan Yogascitra sudah mengajukan pinangan. Kami hanya menunggu waktu yang baik, kapan mereka akan kunikahkan!" kata Ki Bagus Seta.

"Betul, tapi persetujuanmu dengan keluarga Bangsawan Yogascitra terjadi sebelum ada masalah pencalonan penasihat Raja. Sekarang kau harus berpikir lain. Urusan pertikahan putrimu kini sudah bukan sekadar memilih besan, melainkan sudah beranjak ke masalah kedudukan bahkan mempengaruhi nasib kerajaan ini sendiri. Segalanya kini bergantung kepada kebijaksanaanmu. Kalau kau mengalah dan membiarkan Yogascitra menjadi penasihat Raja, kebijaksanaan di Pakuan dengan sendirinya akan banyak bergulir. Padahal selama ini kebijaksanaan Raja dalam mengendalikan Pakuan, lebih terpusat dari lontaran-lontaran gagasan kita. Kau pikirkanlah itu, Seta!" kata Bangsawan Soka sungguh-sungguh.

Kembali keheningan terjadi, sehingga Ginggi yang mendekam di atas atap sirap tidak mengetahui lagi, apa yang sebetulnya tengah mereka lakukan.

Kecurigaan

Burung merpati yang senang berkeliaran di sekitar puri, sudah banyak mencari tempat berlindung dalam menghabiskan malam. Beberapa di antaranya ada yang hinggap di tepi-tepi genteng sirap di mana Ginggi mendekam. Semula, binatang-binatang unggas yang bentuknya lucu-lucu itu tidak menjadikan masalah bagi Ginggi. Namun suatu saat, pemuda itu amat terkejut ketika ada suara panggilan datang untuknya. Ki Bagus Seta berteriak memanggil dirinya untuk suatu keperluan.

Ginggi tercekat hatinya. Tidak datang menghampiri akan jadi pertanyaan. Tapi kalau meloncat turun juga akan menjadi kecurigaan sebab burung-burung akan kembali terkejut oleh gerakannya.

Namun karena suasana begitu menjepitnya, pemuda itu mengambil risiko. Secara hati-hati dia meloncat turun dan sepasang kakinya menjejak tanah dengan ringan. Namun naluri merpati itu begitu halus. Gerakan meloncat turun tubuh pemuda itu masih terkontrol kendati tak menimbulkan bunyi. Desiran angin ketika tubuh pemuda itu turun rupanya yeng menyebabkan beberapa merpati terkejut dan beterbangan secara mendadak.

Ginggi cepat menyelinap masuk ke ruangan belakang dan tergopoh-gopoh menuju ruangan tengah. Pemuda itu sedikit berdebar ketika kedua orang pejabat itu memandangnya dengan penuh selidik, terutama pandangan mata Ki Bagus Seta yang demikian tajam seperti hendak menembus ke lubuk hatinya.

"Ada apa, Juragan?" kata Ginggi mencoba bicara dengan suara wajar.

"Aku dengar di luar amat berisik, ada apakah?" Ki Bagus Seta masih menatap penuh selidik. "Oh…Baik saya periksa, ada apa di luar sana…" Ginggi hendak berlalu.
"Tidak usah pergi. Aku tahu di atas atap banyak burung dara menumpang tidur," gumam Ki Bagus Seta lagi. Ginggi tak jadi melangkah pergi.

"Kau bawalahoncor (obor), kemudian antar Juragan Soka pulang ke purinya!" kata Ki Bagus Seta.

Ginggi mengangguk dan segera beranjak dari tempat itu. Dia menuju ruangan belakang di mana di setiap sudut tiang penyangga banyak obor yang batangnya terbuat dari logam dengan sinar apinya menyala merah. Salah satunya dia ambil untuk dipakai penerangan dalam mengantar tamu Ki Bagus Seta.

Di pekarangan depan Bangsawan Soka sudah menantinya. Sedangkan Ki Bagus Seta hanya berdiri di beranda. Kedua pejabat itu memandang dirinya dengan penuh seksama, saling pandang, kemudian menatap Ginggi lagi penuh selidik.

"Ya, antarkan Juragan Soka ke rumahnya. Tapi kau harus kembali lagi secepatnya!" kata Ki Bagus Seta.

"Baik, Juragan … Saya jalan di depan," kata Ginggi sambil melangkah duluan. Bangsawan Soka berjalan di belakangnya.

"Sudah berapa lama kau menjadibadega di puri Bagus Seta?" tanya Bangsawan Soka di tengah perjalanan. "Hampir satu bulan, Juragan…" jawab Ginggi mengawasi jalan tempat mereka melangkah. Jalanan cukup gelap, sedangkan cahaya oboryang apinya bergoyang-goyang terkena hembusan angin, hanya membuat matanya silau saja.

"Rupanya engkau bukanbadega biasa …" gumam Bangsawan Soka lagi. "Mengapa, Juragan?"
"Langkahmu ringan, begitu pun gerakanmu. Aku suka padamu. Kalau semua badega memiliki kepandaian sepertimu, semua majikan akan merasa terjaga keamanannya," kata lagi Bangsawan Soka. Berdebar dada pemuda itu ketika mendengar omongan ini. Baru disadarinya kini, bahwa selama ini dia kurang berhati-hati dalam bertindak. Membodohi pemuda Seta, Madi atau bahkan setingkat Suji Angkara masih tak mengapa sebab kepandaian mereka yang sudah dia ukur berapa tingginya tidak akan bermata jeli. Namun kedua orang tua ini sudah memiliki asam-garam pengalaman. Ginggi sudah mendengar, Bangsawan Soka dulunya adalah anggota perwira seribu pengawal Raja. Ki Bagus Seta, selain murid terpandai Ki Darma juga dikhabarkan banyak mencari ilmu tambahn sesudah lama berpisah dengan sang guru. Ginggi terlalu merendahkan kemampuan mereka, sebab terbukti kini, Bangsawan Soka sudah bisa meraba bahwa dirinya "berisi".

Ginggi kini sudah tak mungkin berpura-pura lagi. Kalau secara tiba-tiba gerakannya diperberat, hanya akan menambah kecurigaan bangsawan ini saja.

"Sebelum bertugas di Puri Bagus Seta, saya adalah badega Raden Suji Angkara. Di sana banyak jagabaya pandai-pandai dan kadang-kadang saya diperbolehkan ikut serta latihan kewiraan. Saya memang berhasrat jadi jagabaya juga …" kata Ginggi mencari-cari alasan semampunya. Namun rupanya bangsawan ini sedikit maklum dan dapat mengurangi rasa curiganya.

Sampai tiba di puri kediamannya, Bangsawan Soka tidak mengajukan pertanyaan yang anehaneh lagi dan membuat pemuda itu merasa lega karenanya.

Tapi sesudah mengantar pulang bangsawan bertubuh gemuk itu, perasaan khawatir mulai menyelimuti dirinya. Sekilas tadi Ginggi bisa menyaksikan sorot tajam penuh selidik dari Ki Bagus seta.

Barangkali benar, selama ini Ki Bagus Seta sudah memendam rasa curiga terhadapnya. Bayangkan, hanya dalam sekilas, Bangsawan Soka bisa menduga dia "berisi", apalagi Ki Bagus Seta yang hampir sebulan punya kesempatan menelitinya.

"Mudah-mudahan penilaianmu tidak keliru, sehingga aku pun tak meragukannya…" terngiang lagi ucapan Ki Bagus Seta terhadap Suji Angkara ketika pemuda itu menyerahkan Ginggi untuk mulai bertugas di puri Ki Bagus Seta.

Sejak hari itu pun sebenarnya Ginggi sudah merasakan ada kesangsian dari orang tua tangguh itu. Namun dugaannya ini dia tepis kembali dan suara hatinya yang lain mengatakan bahwa perasaannya hanya sesuatu yang dilebih-lebihkan saja.

Sekarang terbukti bahwa dugaannya tempo hari benar belaka. Ginggi perlu hati-hati dan bersiap menghadapi segala kemungkinan setibanya di Puri Bagus Seta. Perlukah dia berterus-terang saja bahwa dirinya adalah murid Ki Darma juga? Kalau Ki Bagus Seta tahu Ginggi masih utusan Ki Darma yang mengemban amanat orang tua itu, bagaimana pandangan Ki Bagus Seta terhadapnya? Akan menariknya sebagai sekutu? Sekutu dalam hal apa?

Ginggi masih bingung memikirkannya. Ki Bagus Seta selama ini bergerak di lingkungan istana. Namun pemuda itu belum tahu persis, apa sebenarnya yang tengah dilakukan Ki Bagus Seta di sana. Apakah semua kegiatan di Pakuan masih ada pertaliannya dengan misi yang dibebankan Ki Darma?

Bila menyimak obrolan Ki Bagus Seta dengan Bangsawan Soka senja tadi, kentara sekali murid Ki Darma ini berupaya memegang kendali di Pakuan. Dan kalau dipertalikan dengan gerakan Ki Banaspati sepertinya punya persamaan tujuan, yaitu sama-sama berambisi memiliki pengaruh di Pakuan. Gerakan Ki Banaspati malah lebih jelas dalam pandangan Ginggi, yaitu ingin merebut kekuasaan negara dari tangan Raja yang ada sekarang.

Keduanya memiliki persamaan tujuan, tapi apakah mereka sejalan dan bergabung dalam satu persekutuan?

Ginggi belum bisa menebak sampai ke sana. Di Pakuan, hanya satu kali dia melihat Ki Banaspati, yaitu di saat uji ketrampilan di alun-alun benteng luar. Sesudah itu, Ginggi tak melihatnya lagi, sehingga pemuda itu tak sempat menyelidik, sejauh mana hubungan Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati berlangsung. Ginggi mendapat khabar, Ki Banaspati hari itu datang ke Pakuan pertama untuk melaporkan kegiatannya di wilayah timur dan kedua untuk menghadiri perayaan Kuwerabakti (penghormatan pada dewa suami Dewi Sri, penguasa padipadian dan dilangsungkan 49 hari sehabis panen tahunan). Sesudah perayaan itu selesai, khabarnya dia pun segera kembali ke timur.

Gerakan Ki Banaspati yang di wilayah timur tengah membangun pasukan, dengan jelas sudah bisa disimak oleh Ginggi. Segalanya kini tinggal bergantung pada Ginggi, apakah akan bergabung dengan gerakan Ki Banaspati atau tidak. Tapi terhadap Ki Bagus seta dia perlu hati-hati dan penyelidikan harus terus dilakukan. Menurut penilaiannya, gerakan Ki Bagus Seta di Pakuan masih samar-samar. Sekali pun benar orang ini berusaha menanamkan pengaruhnya di Pakuan, namun Ginggi belum bisa meraba, apa tujuan sebenarnya. Apakah benar demi amanat yang dibebankan Ki Darma? Masih adakah hubungan antara gerakan Ki Bagus Seta dengan amanat Ki Darma? Kalau benar Ki bagus Seta melangkah di atas perintah guru, mengapa dia berperan sebagai pengendali penarikan pajak tinggi? Gerakan Ki Bagus Seta sepertinya bertolak belakang dengan perintah Ki Darma yang menginginkan semua muridnya berdiri di atas kepentingan rakyat.

Sebelum benar-benar tahu apa tujuan sebenarnya Ki Bagus Seta, Ginggi berniat akan terus menyembunyikan identitas pribdinya.

***

Ginggi mengetuk pintu benteng puri yang sudah ditutup jagabaya. Namun pintu tidak lama sudah dibuka sebab jagabaya tahu siapa yang akan masuk "Padamkanoncor …" kata seorang jagabaya bertubuh kekar dengan cambang bauk cukup lebat. Ginggi menurut memadamkan cahaya obor dan situasi di pintu menjadi meremang karena hanya mendapatkan cahaya sebatas penerangan lampu pekarangan yang letaknya agak jauh.

Ginggi heran, mengapa di depan puri tak dipasang obor, padahal biasanya di kiri-kanan tembok benteng dipasang masing-masing dua buah obor.

Pintu benteng segera ditutup dan di keremangan terdapat empat orang jagabaya lagi.

"Ikut aku…" kata si cambang bauk bertubuh kekar. Ginggi pun ikut di belakangnya, sedangkan di belakang dirinya ada dua jagabaya ikut menguntit.

Berdesir darah pemuda itu. Nalurinya mengatakan, ada sesuatu yang tak beres menyangkut dirinya. Tidakkah ini lantaran kecurigaan Ki Bagus Seta terhadapnya?

Ginggi harus siap-siap, kendati belum tahu persiapan apa yang musti dia lakukan.

Kecurigaan semakin menebal ketika jagabaya kekar itu membawanya ke sebuah gudang halaman belakang yang amat sunyi. Bangunan itu besar dan terkesan angker, letaknya terpencil, sehingga kalau ada kejadian membayakan yang menyangkut dirinya, tak mungkin diketahui penghuni puri yang lainnya.

"Masuk," gumam jagabaya ketus. Ginggi menghentikan langkah.
"Ada apakah, Paman?" tanya Ginggi heran dan sengaja menampakkan wajah takut penuh khawatir. Harus begitu, sebab bila pemuda itu berlaku tenang hanya akan membuat curiga mereka saja.

"Masuk, kataku!"

Dan Ginggi didorong masuk.

Sesudah tiba di dalam, daun pintu segera ditutup oleh dua jagabaya yang ikut di belakang. Namun, begitu pintu tertutup rapat, ketiga orang itu segera menghambur ke depan dan mengirim beberapa pukulan telak terhadap Ginggi.

Walau pun ada serangan dari tiga jurusan sekaligus, namun dalam pandangan Ginggi, serangan ketiganya hanya lamban saja. Ketiga jagabaya ini hanya memiliki gerakan-gerakan luar dan mengandalkan tenaga kasar saja. Kalau Ginggi mau, hanya satu tindak ke belakang sudah bisa menghindar gebrakan mereka. Dan kalau Ginggi mau, dalam satu sapuan kaki kirinya saja sebetulnya sudah bisa merobohkan ketiganya sekaligus, sebab kuda-kuda kaki mereka lemah. Tapi bila Ginggi melakukan kesemuanya, mereka akan bisa membuktikan kecurigaannya.

Ginggi maklum, ketiga orang jagabaya ini tengah menjalankan tugas majikannya untuk menguji dan mengorek dirinya. Ginggi tak mau kecurigaan Ki Bagus Seta terbukti. Untuk itulah dia membiarkan serangan itu berlangsung. Bak-bik-buk, bak-bik-buk! Beberapa pukulan bersarang ke tubuh Ginggi. Ada yang mengarah telak ke arah hidung sehingga dari lubang hidung Ginggi keluar darah segar. Ada juga yang mengarah ke ulu hati sehingga tubuh Ginggi terjengkang dan ulu hatinya terasa sedikit ngilu.

"Ada apa ini! Ada apa ini?" Ginggi berguling-guling di tanah ketika ketiganya terus mengejarnya.

"Hei, kalau mau berkelahi harap jujur, ya! Jangan main keroyok seperti ini. Aduh! Pengecut kamu!" Ginggi berteriak-teriak.

"Coba kau layani sendirian, Sarpani!" kata Si Kekar terhadap seorang jagabaya.

"Disangka aku tak bisa berkelahi, ya? Ayo, maju satu persatu!" kata Ginggi menyeka darah di hidungnya.

Ginggi memasang kuda-kuda, namun gerakannya kasar saja. Ketika datang serangan pukulan tangan kanan lawan, Ginggi tepis dengan tangan kiri. Dua pasang tangan beradu keras dan Ginggi berteriak "kesakitan" memegangi pergelangan tangannya. Sebelum dia berjingkat mundur, sudah datang lagi sodokan tangan kiri lawan, kali ini mengarah ke ulu hati. Ginggi mundur setindak namun kakinya tersandung ember kayu dan tubuhnya jatuh telentang.
Sodokan gagal dan si penyerang menggantinya dengan menggerakkan kaki kanan dengan niat memijak perut pemuda itu. Ginggi tak sempat berguling. Akibatnya kaki yang bertelapak kasar itu dia tahan dengan sepasang tangannya. Kini terjadi adu tenaga. Lawan dari atas berusaha keras menekan kakinya dan Ginggi di bawah berusaha menahannya.

Tenaga pijakan itu sebetulnya biasa saja dan tak mengakibatkan bahaya apa pun. Dan kalau mau, sekali pelintir kaki lawan bukan saja sekadar keseleo, tapi sambungan tulang-tulangnya akan patah dan lepas.

Namun Ginggi tak melakukan ini. Dia malah berteriak-teriak minta tolong karena sedikitsedikit tangan yang menahan pijakan kaki semakin turun karena "tak kuat".

Akhirnya serangan kaki "berhasil" masuk ke ulu hati. Ginggi menjerit-jerit ketika kaki bertelapak kasar itu menekan-nekan ke ulu hatinya.

Pintu gudang tiba-tiba terbuka dari luar dan Ki Bagus Seta nampak berdiri membentuk bayangan hitam karena ruangan gudang hanya remang-remang saja.

"Cukup!" kata Ki Bagus Seta. Ginggi terengah-engah bangun dan memegangi perutnya. Sesekali disekanya hidung yang masih mengeluarkan sedikit darah.

"Apa dosa saya, Juragan, disiksa seperti ini?" keluh Ginggi namun dengan nada hormat.

Ki Bagus Seta tidak menjawabnya, kecuali memberi tanda agar para pembantunya segera meninggalkan tempat itu.

"Engkau mencurigakan, anak muda. Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki bagus Seta sesudah yang lain pergi meninggalkan tempat itu. "Nama saya Ginggi, Juragan!"

"Itu aku sudah tahu. Yang aku maksud, mengapa kau datang ke puri ini?"

"Saya tak bermaksud ke puri ini. Siapa saja yang menyalurkan saya kerja, di sanalah saya berada, Juragan. Saya tinggal di sini karena Raden Suji mengirim saya ke sini dan kebetulan Juragan mau menerima saya. Hanya itu. Dan mengapa dianggap sesuatu dosa sehingga saya musti dianiaya seperti ini?" Ginggi kembali menyeka darah di lubang hidungnya.

Ki Bagus Seta mendengus kemudian menatap Ginggi dalam-dalam.

"Tidakkah kau datang karena diutus anakku?" tanyanya. Giliran Ginggi yang balik menatap.

"Ya, memang begitu. Bukankan tadi sudah saya katakan demikian?’ jawab Ginggi berpurapura polos.

"Tapi engkau diutus anakku untuk mencari dengar atau meneliti apa yang terjadi di sini, begitu kan?"

Ginggi terkejut. Benar murid Ki Darma ini selalu penuh selidik. Buktinya pikirannya ada menduga sampai ke sana.

"Saya tak tahu apa yang dimaksud Juragan…" kata Ginggi mengerutkan dahi.

"Kepandaianmu kasar, tak sebanding dengan para pembantuku. Tapi sebetulnya tak layak bagi seorangbadega memiliki ilmu kewiraan. Benar-benarkah engkau seorangbadega atau kau berlindung di balik pekerjaanmu agar bebas melakukan penyelidikan?’ tanya Ki bagus Seta lagi, tetap penuh selidik.

"Saya seorangbadega tulen, Juragan. Tapi kalau saya pandai memainkan jurus, itu karena di puri Raden Suji banyak didapat orang pandai dan saya diam-diam berlatih meniru-niru mereka yang sedang latihan. Saya masih muda dan cita-cita saya tinggi. Masa dari mulai kecil sampai sekarang saya terus-terusan jadibadega ? Tahun depan pada perayaanKuwerabakti saya akan ikut uji ketrampilan. Siapa tahu saya lulus jadi prajurit Pakuan," kata pemuda itu berkelak-kelok mencari alasan.

Mendengar ocehan ini, Ki bagus seta termangu sejenak, kemudian tertawa terkekeh-kekeh. Ginggi tak bisa menduga, apa maksusd tawa ini. Apakah karena mencemooh semata ataukah benar-benar tertawa karena mendengar akal-akalannya yang sebenarnya sudah diketahui olehnya.

Yang jelas, hari itu Ginggi dibebaskan dan Ki Bagus Seta tak berkepanjangan lagi terhadapnya. Ginggi kembali mengerjakan tugas sehari-hari di puri, yaitu berdinas sebagai aparat rumah tangga di puri. Kerjanya menyodor-nyodorkan makanan, pakaian atau keperluan apa saja bagi pemilik puri.

Kini, setelah peristiwa itu, Ginggi semakin hati-hati dalam bertindak. Setiap dia berjalan diusahakan tidak segesit dan seringan sebelumnya, sebab gerakan-gerakan seperti itu nyatanya mengundang perhatian khusus bagi orang-orang pandai seperti Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta. Pemuda itu pun tak berlaku sembrono lagi menguping pembicaraan Ki Bagus Seta. Peristiwa penting yang bisa dia simak di puri ini sesudah kejadian malam itu, hanyalah rencana Ki Bagus Seta "menawarkan" putrinya pada Sang Prabu.

Suatu senja Ginggi masuk ke ruangan tengah dan di sana tengah duduk-duduk anak-beranak, yaitu Ki Bagus Seta dan istri di lain fihak, serta Nyimas Layang Kingkin di fihak lain.

Mereka duduk saling berhadapan. Ki Bagus Seta bersila duduk tegak di atas bangku terbuat dari kayu jati berukir dan istri serta putrinya duduk bersimpuh di atas hamparan tikar beludru hitam bersulam benang emas.

Tidak semua pembicaraan mereka bisa didengar Ginggi. Tapi inti dari percakapan adalah perihal keinginan Ki Bagus Seta itu.

"Bagaimana, sudah kau pikirkan baik-baik, anakku?’ tanya Ki Bagus Seta menatap gadis elok yang duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk malu.

"Kehormatan paling besar Nyimas bila kau berhasil dipersunting Raja …" istri Ki Bagus Seta berkomentar dan nampaknya begitu mendukung cita-cita suaminya.

"Hidup saya adalah untuk kebahagiaan Ramanda dan Ibunda. Namun saya mempunyai masalah berat yang mungkin Ramanda dan Ibunda pun maklum adanya," kata Nyimas Layang Kingkin tetap menunduk.

Nampak Ki Bagus Seta tersenyum mendengarnya.

"Ucapanmu hanya berarti kau setuju dengan pendapatku, anakku," katanya masih mengulum senyum. "Jangan kau risaukan urusan itu. Aku memang maklum, kau menghadapi masalah berat sebab engkau sudah berhubungan intim dengan Raden Banyak Angga. Pertunanganmu dulu itu aku yang buat dan aku pula yang akan memutuskannya," kata Ki Bagus Seta.

"Saya tak berani menghadapi kemarahan Raden Banyak Angga beserta Pangeran Yogascitra, Ramanda …" "Mereka tidak akan marah sebab risikonya amat tinggi. Marah terhadapmu, sama dengan marah terhadap Raja. Beranikah mereka berlaku kurang ajar terhadap Sang Prabu?" tanya Ki Bagus Seta. Istrinya ikut mengangguk.

"Hai, Ginggi! Pergi kau!" Ki Bagus Seta setengah membentak menyuruh Ginggi pergi dari ruangan itu. Serta-merta pemuda itu pun pergi berjingkat dari ruangan itu sambil menjinjing baki kayu.

Sesampainya di ruangan belakang, Ginggi termangu-mangu. Dia masih mengingat-ingat pembicaraan penghuni puri ini barusan. Aneh sekali rasanya, cinta bisa dioper-oper sedemikian mudahnya. Setahu Ginggi, antara Nyimas Layang Kingkin dan Banyak Angga sudah lama menjalin hubungan cinta. Bahkan khabarnya, Pangeran Yogascitra pun sudah mengirimkan surat pinangan untuk kepentingan putranya itu dan Ki Bagus Seta sudah menerimanya. Sekarang, bagaimana mungkin ikatan ini akan dibatalkan demikian mudahnya?

Yang amat mengherankan adalah sikap Nyi Mas Layang Kingkin itu sendiri. Masih terbayang di pelupuk mata Ginggi ketika acaramarak dileuwi Kamala Wijaya atauLeuwi Sipatahunan dalam mengisi acara perayaanKuwerabakti beberapa bulan yang lalu. Hubungan pasangan muda-mudi bangsawan itu demikian mesra dan intim. Nampak sekali ada perhatian berlebih dari Banyak Angga terhadap Nyimas layang Kingkin, dan demikian pun sebaliknya. Beberapa minggu lalu bahkan Ginggi sibuk mondar-mandir sebab bertugas sebagai pengirim surat untuk kepentingan dua belah fihak.

"Pantas saja akhir-akhir ini Nyimas Layang Kingkin tak lagi menyuruhku mengantarkan suratnya …" gumam Ginggi dalam kesendirian di ruangan belakang puri.

Begitu tegakah Nyi Mas Layang Kingkin mempermainkan cinta? Namun demikian, pemuda itu pun ingat akan beberapa kejadian yang berlangsung di kalangan istana Pakuan ini. Dalam beberapa bulan ini ada putra-putri bangsawan yang melangsungkan perkawinan. Kebanyakan dari mereka, perkawinan ini seperti tidak didasari cinta, melainkan karena kewajiban terhadap orangtuanya semata. Apabila putrinangganan (salah satu tingkatan jabatan) dicintai oleh atasannya, misalnya pejabat berpangkatmangkubumi , maka sang putri akan diserahkannya tanpa bertanya apakah putrinya itu bersedia ataukah tidak, apalagi harus berbicara urusan cinta. Keberadaan putra-putri bangsawan istana, sepertinya hanya berfungsi sebagi penguat kedudukan para orangtua belaka.

Begitu pun rupanya yang terjadi atas nasib diri Nyimas Layang Kingkin. Dulu hubungan antara Nyimas Layang Kingkin dan Banyak Angga direstui Ki Bagus Seta karena rupanya murid Ki Darma ini ingin memperkuat kedudukannya di Pakuan. Bangsawan Yogascitra merupakan orang penting, termasuk kerabat Raja. Mungkin perhitungan Ki Bagus Seta pada waktu itu, bila bisa berbesan dengan kerabat Raja, akan memperkuat kedudukannya di Pakuan.

Namun belakangan, Bangsawan Yogascitra secara tak sadar telah menjadi "rival" bagi Ki Bagus Seta. Didukung oleh pengaruh-pengaruh Bangsawan Soka sebagai sahabat perjuangannya dalam memperkuat ambisi di Pakuan, akhirnya Ki Bagus Seta secara berani akan memutuskan sefihak hubungan pertunangan anaknya dan segera akan "menyerahkannya" kepada Raja.

Berbesan dengan Raja secara politis akan lebih menguntungkan ketimbang berbesan dengan Pangeran Yogascitra yang kemungkinan kelak akan menjadi penghalang ambisinya.

Ya, menurut pengamatan Ginggi, tindak-tanduk sebagian bangsawan Pakuan ini ternyata menyebalkan. Mereka lebih banyak berbicara urusan kedudukan dari pada hal-hal yang lainnya. Membela kepentingan rakyat, misaknya. Sepertinya sudah tak ada lagi kata hati sebab yang ada hanyalah ambisi!

Pertunangan Dibatalkan

Suatu hari, Ginggi pun menyaksikan kerunyaman akibat dari kebijaksanaan Ki Bagus Seta ini.

Ketika Ginggi tengah menuntun kuda dijalandurian (sepanjang jalan menuju istana, tepitepinya ditanami pohon buah durian), dia dicegat oleh Banyak Angga. Rupanya pemuda itu secara khusus menunggunya. Tiga kali dalam seminggu, Ginggi sudah biasa membawa kuda dari Puri Bangsawan Bagus Seta. Kuda-kuda pilihan itu tinggi besar dan larinya kencang.
Tapi kalau kuda-kuda itu tak dipakai, Ginggi mesti membawanya keliling-keliling agar binatang itu tidak kaku dan tidak jenuh tinggal di dalam istal.

"Ginggi …!" "Oh … Raden Angga!"

Ginggi menghentikan langkah-langkah kuda dan menghampiri Banyak Angga yang berteduh di bawah pohon durian.

"Sedang apakah, Raden?" tanya Ginggi menatap wajah pemuda yang putih dan tampan itu.

"Sudah lama aku tak melihatmu. Biasanya kau datang ke puriku. Ke mana sajakah kau akhirakhir ini?" tanya pemuda itu ikut mengusap-usap leher kuda yang berbulu hitam tebal.

"Saya tak ke mana-mana. Sekurang-kurangnya tiga hari dalam seminggu saya lewati jalan durian ini," jawab Ginggi hormat. Namun Ginggi tahu, yng dimaksud pemuda ini bukanlah apa yang barusan ditanyakannya.

Banyak Angga mengambil sesuatu yang disimpan di saku bajunya yang lebar. Benda itu ternyata kotak surat terbuat dari kayu cendana. Tercium wangi kayu itu ketika pemuda itu menyodorkannya kepada Ginggi.

"Untuk Nyimas Layang Kingkinkah?" tanya Ginggi. Banyak Angga mengangguk.
"Tolong balasannya, Ginggi…" gumam Banyak Angga penuh harap. Ginggi hanya menganggukkan kepala, tak lebih dari itu. Sesudah itu Ginggi mohon diri, takut kalau-kalau pemuda itu bertanya lebih jauh perihal gadis kekasihnya.

Hari itu juga kotak surat diserahkannya kepada Nyimas Layang Kingkin. Dan Ginggi selintas melihat wajah gadis itu sedikit berubah. Sebentar nampak pucat, sebentar kemudian bersemu merah.

Ginggi akan segera berlalu sebab serasa tak pantas menyaksikan orang membaca surat.

"Kau tunggulah di sini, Ginggi…" gadis itu mencegah Ginggi meninggalkan tempat itu. Namun lama sekali, tak tahu apa yang sedang dilakukan gadis itu di ruangan dalam. Yang jelas, Ginggi begitu penat menunggunya.

Sesudah menunggu lama, baru kemudian gadis itu muncul. Wajahnya kelabu dan nampak sekali tengah gundah.

"Ginggi…sudah, pergilah kamu!" gumamnya seperti bingung.

Ginggi hendak berlalu. Tapi kemudian gadis itu memanggilnya lagi, membuat Ginggi sedikit kesal dibuatnya.

"Ada apakah, Nyimas?" tanya Ginggi menatap gadis itu.

"Aku barusan mau membuat surat balasan. Tapi tak ada kata-kata yang harus kususun dengan baik. Setiap aku goreskan kata, setiap itu pula terasa berat tanganku…" gadis itu sedikit mengeluh. "Jadi harus bagaimana aku?" tanyanya menatap Ginggi. Yang ditatap hanya tersenyum tipis.

"Bagaimana saya bisa membantu, sedangkan masalahnya saja saya tidak tahu…" jawab Ginggi berpura-pura.

Gadis itu nampak menghela napas panjang.

"Aku berdosa besar padanya. Bagaimana aku harus katakan perihalku?" tanyanya lebih ditekankan pada dirinya sendiri saja.

"Saya tak tahu apa-apa, Nyimas…" gumam Ginggi.

"Kau sampaikanlah padanya. Kadang-kadang hidup ini penuh arti bila sanggup meraih ambisi paling besar. Dan untuk meraih sesuatu yang paling besar, pengorbanan pasti terjadi…" kata gadis itu pada akhirnya. Ginggi hanya mengangguk-angguk pelan.

Dan ketika Ginggi mengundurkan diri dari pelataran rumah di mana gadis itu tinggal, Ginggi berjalan sendirian di tepi-tepi taman dengan senyum pahit menghias bibirnya.

Barangkali gadis itu tengah terombang-ambing antara cinta dan ambisinya. Namun ternyata ambisinyalah yang harus dia menangkan. Dia akan memilih ambisi sambil mengorbankan cintanya. Cinta? Benarkah gadis itu memiliki cinta? Benarkah ada cinta yang dia korbankan?

Ginggi teringat kembali obrolan Nyimas Layang Kingkin dengan Suji Angkara, saudara tirinya. Ketika itu Suji Angkara nampak gundah-gulana sebab perasaan cintanya terhadap Nyimas Banyak Inten seperti akan menghadapi tantangan besar karena harus bersaing dengan cintanya seorang Raja. Namun perasaan putus asa pemuda ini selalu dicoba ditepis oleh Nyimas Layang Kingkin. Gadis itu tetap memberikan dorongan bahkan terkesan mendesak agar pemuda itu selalu memperjuangkan agar keinginannya berhasil.

Sehingga Ginggi mengira bahwa dorongan-dorongan gadis itu terhadap Suji Angkara karena perasaan kasih ingin membela kepentingan sang kakak dalam mendapatkan cintanya.

Namun setelah terjadi peristiwa beberapa hari ini, Ginggi punya dugaan lain, bahwa Nyimas Layang Kingkin selalu mendesak Suji Angkara untuk mendapatkan cintanya Nyimas Banyak Inten karena ada maksud-maksud tertentu. Bila Nyimas Banyak Inten bisa digaet Suji Angkara, Sang Prabu Ratu Sakti akan mencari gadis pengganti. Siapa yang akan menggantikannya? Ya, sekarang hampir terbukti, siapa yang siap menggantikan kedudukan Nyi Mas Banyak Inten!

Kentara sekali, Nyimas Layang Kingkin sebenarnya punya ambisi untuk menjadi selir Raja. Ketika gadis itu ditanya ayahnya tempo hari tentang kemungkinan ini, tak ada bantahan berarti dari gadis itu, padahal dia tahu dirinya telah bertunangan dengan Banyak Angga, kakak kandung Nyimas Banyak Inten.

"Hm…pandai sekali mereka mencari peluang…" gumam Ginggi sambil melangkah menuju bangsal tengah.

Di bangsal ternyata dia sudah dinanti Ki Bagus Seta. "Lama sekali engkau bepergian, Ginggi…" kata penghuni puri ini.

"Saya berkeliling ke benteng luar agar kuda-kuda tak merasa jenuh dengan suasana istal. Sudah hampir dua minggu mereka tidak berlari jauh. Juragan sudah lama tidak berburu ke lereng Gunung Salak," kata Ginggi menyodorkan alasan.

Ki Bagus Seta tidak mengomentari. Dia malah mengambil sesuatu dari atas meja yang terletak di sudut bangsal.

"Antarkan kotak surat ini kepada Pangeran Yogascitra," kata Ki Bagus Seta menyerahkan kotak kayu cendana berukir indah.

Ginggi segera menerima kotak itu dengan kedua belah tangannya. "Harus hari ini juga tiba di Puri Yogascitra," kata Ki Bagus Seta lagi. "Baik, Juragan…"
"Nah, pergilah!"

Ginggi kembali berangkat ke luar puri. Berjalan menyusuridalem khita , memotong ke lorong yang diapit dua benteng, ke luar lagi menyusuri jalan berbalay.

Tibalah di Puri Pangeran Yogascitra.

"Ada keperluan apakah Ki Silah (saudara) datang ke puri ini?" tanya jagabaya sopan.

"Saya utusan Ki Bagus Seta, hendak mengirimkan kotak surat untuk Juragan Yogascitra, Paman…" kata Ginggi hormat.

"Mari aku antar ke dalam puri…" "Terima kasih, Paman…"
Ginggi diantar seorang jagabaya, sedangkan seorang lagi tetap menjaga gerbang. "Ginggi!"
Ginggi merandek, melihat siapa yang berteriak memanggilnya. Ternyata dia adalah Banyak Angga.

"Apakah itu kotak surat untukku, Ginggi?" tanya pemuda itu bergairah. Hampir saja dia memburunya kalau Ginggi tak menarik mundur tangannya.

"Mengapa Ginggi?" Banyak Angga heran dibuatnya. Dan berdebar hati Ginggi. Dia membayangkan, bagaimana kelak rasa hati pemuda itu bila sudah tahu nasib dirinya.

"Ini surat untuk ayahandamu, Raden…" kata Ginggi. Pemuda itu masih menatap heran. "Kiriman dari Juragan Ki Bagus Seta," lanjutnya lagi. Tapi masih terbayang keheranan pemuda itu terhadapnya.

"Kiriman surat balasan untukku bagaimana, Ginggi?" Banyak Angga masih penasaran. Yang ditanya hanya menghela napas kendati hanya sejenak.

"Saya hanya diperintahkan mengirimkan kotak surat ini oleh Juragan Bagus Seta. Ini pun hanya untuk Juragan Yogascitra," kata Ginggi mengulang perkataannya yang sudah diucapkan barusan. "Mari Paman, antar saya menghadap Juragan," Ginggi mengajak jagabaya pergi.

"Biarlah aku yang mengantar dia pada ayahanda," kata Raden Banyak Angga.

"Baik Raden," kata jagabaya dan mohon undur untuk kembali bertugas di pintu gerbang puri.

"Mari bersamaku…" kata Banyak Angga. Ginggi tak banyak bicara. Dia melangkah menyusuri jalan kecilberbalay kerikil yang membawanya ke sebuahpaseban .

Dipaseban (bangsal) yang cukup luas, terlihat dua orang lelaki tengah duduk bersila saling berhadapan. Mereka duduk di balai-balai kayu berukir indah.

Ginggi sudah kenal kepada yang berusia setengah baya, itulah Pangeran Yogascitra. Sedangkan yang seorang lagi, lelaki berusia tua memakai sorban putih dan berjenggot putih panjang, Ginggi tak kenal siapa gerangan.

"Sampurasun…"

"Rampes…" jawab Bangsawan Yogascitra halus. "Silahkan duduk anakku. Oh ya, siapa yang kau ajak serta itu?" kata bangsawan berwajah ramah itu seraya menatap Ginggi.

"Dia Ginggi, badega Ki Bagus Seta. Dulu pernah ke puri kita ketika menjemput Raden Suji…" kata Banyak Angga menerangkan.

Mendengar badega ini utusan Ki Bagus Seta, Bangsawan Yogascitra agak merandek sejenak, kendati kemudian parasnya kembali biasa.

"Duduklah anak muda."

"Terima kasih, Juragan. Saya diutus Juragan Bagus Seta menyerahkan kotak surat ini…" sambil menyodorkan kotak kayu cendana dengan kedua belah tangannya.

"Surat apakah ini?" gumam Bangsawan Yogascitra.

"Bacalah sekarang juga agar tak membuat penasaran, adikku," kata orang tua berjubah putih itu.

Bangsawan Yogascitra pelan-pelan membuka tutup kotak itu. Di dalamnya ada seikat daun nipah. bangsawan itu membeberkan susunan daun nipah itu dan segera membacanya. Lama dia membaca. Namun kian lama menyimak tulisan di atas daun nipah, semakin berkerut dahinya. Sesudah selesai membacanya, Bangsawan Yogascita menatap tajam Banyak Angga.

"Apakah isinya adikku, sepertinya bukan berita menggembirakan buatmu…" kata orang tua berjenggot putih.

"Sebaiknya Kakanda Purohita meneliti isi daun nipah ini," kata Bangsawan Yogascitra seraya menyodorkan untaian surat yang diikat benang hitam itu.

Ginggi kembali memperhatikan orang tua itu. Barangkali usianya di atas enampuluh tahun. Berwajah lembut dan seperti berperangai halus. Ginggi pernah mendengar, yang dimaksud purohita adalah semacam jabatan kependetaan di istana yang tingkatannya paling tinggi.
Ginggi pernah mendengar purohita itu berjuluk Ragasuci.

Purohita Ragasuci membaca rentetan aksara Palawa di daun nipah dengan wajah tenang. Sesudah selesai menyimak, pelan-pelan menoleh kepada Banyak Angga sambil mulut tersenyum.

"Sebaiknya sampaikan segera kepada yang bersangkutan agar hatinya tidak dipenuhi berbagai pertanyaan, adikku," katanya kepada Bangsawan Yogascitra.

Ginggi meyaksikan, kedua ayah dan anak saling pandang. Yang seseorang menatap dengan penuh rasa penasaran dan yang seorang lagi menampakkan wajah cemas sedikit murung.

"Bagus Seta membatalkan pertunanganmu dengan Nyimas Layang Kingkin," akhirnya Bangsawan Yogascitra bicara juga kendati dengan nada sedikit pahit.

Wajah Banyak Angga mendadak memucat dan bibirnya gemetar. Dia menatap nanar pada ayahnya, kemudian beralih kepada Ginggi.

"Apa artinya ini, Ginggi?" tanyanya dingin. Ginggi hanya bisa menundukkan kepala.

Untuk kedua kalinya pemuda itu bertanya kepada Ginggi, kini dengan suara agak tinggi. Namun untuk kesekian kalinya yang ditanya tak menggoyang bibir meski hanya sedikit.

"Dia hanyalah seorang badega, tak bisa kau mintai penjelasan," kata Bangsawan Yogascitra tetap tenang.

"Kalau begitu kita sama-saama berangkat ke puri Bagus Seta untuk minta penjelasan, Ayahanda!" teriak Banyak Angga sedikit keras.

"Penjelasan sudah ada di dalam surat ini. Mereka membatalkan pertunangan karena keinginan Sang Prabu. Beliau berkenan mengangkat Nyimas Layang Kingkin sebagai selir …" kata Bangsawan Yogascitra dengan suara lemah.

Ginggi melihat Banyak Angga mengatupkan mulutnya dan gigi-giginya berkerutuk menahan amarah. "Saya malah mendengar bisik-bisik di kalangan para dayang istana bahwa Sang Prabu tengah tergila-gila pada adikku, Banyak Inten. Mana yang benar?" gumam pemuda itu dengan nada pedih.

"Dalam surat ini, Bagus Seta malah ingin merundingkan pertunangan putranya, Raden Suji dengan adikmu…" gumam Bangsawan Yogascitra. Kini giliran tubuh Ginggi yang mendadak panas dingin. Namun rupanya yang merasa tak enak atas "penawaran" ini bukan saja Ginggi, Banyak Angga pun seperti memiliki perasaan ini kendati alasannya berlainan dengan Ginggi.

"Ayahanda, begitu mudahnya mereka menukar-nukar pertunangan? Benar-benarkah pemuda anak Ki Bagus Seta itu cinta pada adikku atau sekadar keinginan orangtuanya untuk stel sana stel sini?" tanya Banyak Angga.

"Bagus Seta menginginkan, kendati hubungan pertunangaan antara kau dan Nyimas Layang Kingkin batal, tapi katanya jangan sampai hubungan kekerabatan putus begitu saja. Itulah sebabnya dia mengajukan pinangan agar adikmu dipersunting putra tertuanya yaitu Raden Suji Angkara. Memang ada benarnya perkataan Ki Bagus Seta. Tapi entahlah, apakah ucapannya ini terlahir dari maksud-maksud baiknya?" kata Bangsawan Yogascitra.

Ginggi ingin sekali ikut bicara. Tapi akan lancang benar bila dia tiba-tiba menyela pembicaraan, apalagi suasana sedang diliputi ketidakenakan.

Sementara itu Bangsawan Yogascitra segera menyuruhbadeganya untuk menjemput Nyamas Banyak Inten di puri belakang.

Seperti ada suara bertalu-talu di dalam dada Ginggi ketika dari luar datang dua orang. Satu di depan seorang gadis dan satu mengiringkannya dari belakangnya. Bukanbadega yang tadi disuruh Bangsawan Yogascitra, melainkan seorang pemuda tampan berpakaiansantana .
Ginggi hapal betul, gadis itu tak lain Nyimas Banyak Inten. Dia melangkah pelan dan pendekpendek karena kain sutra warna biru tua berkembang membungkus tubuh agak sedikit ketat sehingga bentuk-bentuk keindahan tubuhnya terbayang nyata. Selendang warna kuning tua polos juga terbuat dari sutra tipis berkibar-kibar di bahunya yang sebagian terjuntai ke bawah. Indah sekali selendang yang berkibar itu. Dan keindahan semakin sempurna manakala matahari senja menyorot tubuh gadis itu menimbulkan rona-rona cahaya khas.

Sedangkan pemuda yang mengiringkannya di belakangnya adalah Purbajaya. Dengan amat santunnya dia berjalan di belakang sehingga langkahnya terbawa pelan.

Ginggi agak tertegun, mengapa Purbajaya bersama Nyimas Banyak Inten. Di dalam hatinya seketika timbul perasaan cemburu. Hanya tentu saja pemuda itu segera menekan perasaannya yang dianggap gila ini.

Nyimas Banyak Inten menyembah takzim baik kepada ayahnya mau pun kepadaPurohita Ragasuci. Sesudah itu gadis elok berwajah lembut ini segera duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk.

"Nampaknya kalian habis berjalan-jalan, ya…" kata Bangsawan Yogascitra menatap kedua muda-mudi itu saling bergantian. "Sekadar menghirup udara segar di sore hari, Ayahanda…" jawab Nyimas Banyak Inten tersipu.

"Dan saya hanya sekadar mengawalnya, Paman Yogascitra…" kata Purbajaya. Perkataannya ini bagai orang yang takut mendapatkan kecurigaan karena berani-berani dekat dengan putri elok penghuni puri ini.

Dan mendengar jawaban ini, Bangsawan Yogascitra hanya senyum dikulum.

Sudah sejak dari Tanjungpura, Ginggi sebenarnya sudah tahu kepada Purbajaya. Ginggi sebenarnya merasa bersyukur, pemuda ini hingga kini masih dalam keadaan bugar. Padahal menurut perkiraannya, pemuda ini tengah dikuntit bahkan diuber Suji Angkara. Ginggi tak bisa menduga, mengapa tidak terjadi gangguan dari Suji Angkara terhadap pemuda ini.
Padahal menurut ancaman Suji Angkara, Purbajaya akan dibereskan saja. Ginggi menganggap, istilah "dibereskan" artinya dibunuh. Suji Angkara yang kini dinilai jahat oleh Ginggi, amat beralasan untuk melenyapkan Purbajaya. Dengan alasan akan "menghukum" dosa Purbajaya karena telah menyakiti hati tunangannya sehingga gadis putri Juragan Ilun Rosa mati bunuh diri, pemuda bejat itu akan berusaha menghapus jejak kejahatannya. Padahal kini Ginggi mulai yakin, Suji Angkara di Tanjungpura pasti telah berbuat sesuatu yang amat merugikan harga diri gadis putri Juragan Ilun Rosa. Dengan amat licin dosa-dosanya dia timpakan kepada Purbajaya. Sehingga orang-orang di Tanjungpura pasti akan mengira bahwa kematian gadis putri Juragan Ilun Rosa karena kesalahan pemuda kekasihnya itu.

"Nampaknya Ayahanda amat berkepentingan memanggil saya. Ada urusan apakah?" tanya Nyimas Banyak Inten dengan suaranya yang halus dan merdu.

"Benar sekali anakku. Kalau ibundamu masih hidup, seharusnya akulah dan ibundamulah yang harus duduk berkumpul di sini, sebab yang akan aku bicarakan ini menyangkut masa depanmu. Namun sekali pun demikian, hatiku cukup tenang. Ada Mamanda Purohita di sini. Juga ada kakakmu. Dan semuanya bisa kita pintakan pertimbangan-pertimbangannya," kata Bangasawan Yogascitra. Tapi ucapan bangsawan ini rupanya menimbulkan kebingungan di hati gadis itu. Buktinya Ginggi menyaksikan wajah Nyimas Banyak Inten dipenuhi tanda tanya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar